Anda di halaman 1dari 12

Peran Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota

Bandar Lampung

I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Peran pengelolaan tata ruang pada hakekatnya ditujukan untuk mencapai
penggunaan sumber daya sebaik mungkin, sehingga menghindari konflik
pemanfaatan sumber daya, mencegah kerusakan lingkungan dan
meningkatkan keselarasan. Dalam ruang lingkup penataan ruang, yaitu
pemanfaatan dan alokasi tanah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan
dalam kosep ruang dalam pembangunan.

Kenyataan yang terjadi pada akhir-akhir ini, memunculkan beberapa


permasalah dalam penyelenggaraan tata ruang. Seperti perbedaan
kepentingan antar sektor, contohnya pertambangan, lingkungan hidup,
kehutanan, infrastruktur daerah, dan lain sebagainya. Selain itu dalam
pengelolaan tata ruang belum berjalan optimal untuk menyelaraskan,
sinkronisasi dan integrasi rencana dan program sektoral; sehingga terjadi
penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan standar yang harus
diterapkan. Penyebabnya yaitu inkonsistensi kebijakan terhadap
perencanaan tata ruang serta kurangnya pengendalian pembangunan.
Adapun isu lain yang berkaitan dengan tata ruang dan lingkungan yakni,
pertama, konflik antar sektor dan antar wilayah; kedua, akibat degradasi
lingkungan penyimpangan spasial, baik di darat maupun di laut dan udara;
dan ketiga, dukungan terhadap pembangunan daerah belum optimal yang
ditunjukkan dengan belum adanya kebijakan yang mendukung
pembangunan kawasan strategis nasional seperti daerah perbatasan.

Sebagian besar kota di Indonesia perkembangan dan pertumbuhannya


masih terjadi secara alami, dengan kata lain berkembang tanpa arah dan
perencanaan yang terjadwal. Akibatnya, dalam tahap perkembangan yang
lebih kompleks, muncul berbagai permasalahan perkotaan, antara lain:
penggunaan ruang yang tidak teratur sebagai lahan perkotaan, penggunaan
lahan yang tidak tepat, berbagai permasalahan lalu lintas, tidak
terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan fasilitas dan pelayanan publik
kota, munculnya permasalahan lingkungan perkotaan. masalah polusi, dan
lain-lain. Dengan demikian kota tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, sehingga akan memberikan hambatan-hambatan terhadap
perkembangan ekonomi kota.

Berbagai kenyataan dan isu-isu tersebut di atas, menjadi permasalahan di


berbagai daerah tidak terkecuali yang ada di Kota Bandar Lampung. Pada
dasarnya, dalam pengelolaan tata ruang terkesan adanya pola yang
mengarah pada eksploitasi sumber daya alam secara pasif yang memiliki
konotasi dan eksploitasi yang berlebihan. Ini dapat dilihat dari pembagian
ruang di Kota Bandar Lampung yang diperuntukan bagi pembangunan
yang menaifkan keberlanjutan.

b. Permasalahan
Berdasarkan isu-isu yang telah dijelaskan diatas, ada 2 (dua) permasalahan
yang akan dibahas pada artikel ini, yaitu yang pertama bagaimana
pelaksanaan peran penataan ruang dalam menjaga kelestarian lingkungan
hidup di daerah bandar lampung serta yang kedua apa kendala yang muncul
dalam menjalankan peran pengelolaan ruang terbuka hijau.
II. PEMBAHASAN

A. Peran Penataan Ruang Dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup di


Daerah Bandar Lampung
Hukum tata ruang (ruimtelijke ordeningrech; spasial law) merupakan cabang ilmu
hukum yang relatif baru. Hukum tata ruang umumnya dimasukkan sebagai bagian
hukum administrasi, karena sebagian besarsubstansinya mengatur kebijakan
penataan ruang mulai dari perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, sampai pada
pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. A.V. Van
Den Berg bahkan mengklarifikasikan hukum tata ruang sebagai bagian hukum
lingkungan.1
Sebagaimana cabang ilmu hukum lainnya, belum ada pengertian yang
baku hukum tata ruang. Secara sederhana Van Driel dan Van Vliet memberikan
pengertian hukum tata ruang sebagai hukum yang mengatur penataan ruang
(ruimte) yang terdiri dari sudut sosial, ekonomi, dan budaya menciptakan syarat-
syarat yang paling menguntungkan bagi pengembangan hidup masyarakat di
wilayah tersebut.2
Sementara Drupsteen mengartikan hukum tata ruang yaitu hukum yang
berhubungan dengan kebijakan tata ruang, diarahkan kepada tercapainya atau
terpeliharanya penyesuaian timbal balik yang terbaik anatar ruang dan kehidupan
masyarakat. Menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2007 “ bahwa ruang itu
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara. Termasuk
ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempatmanusia dan makhluk
lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.3
Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang No 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi, yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang No 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
1
Siti Sundari Rangkuti, hukum lingkungan dan kebijaksanaan lingkungan nasional, universitas airlangga
press, 1996, hlm. 3
2
Koesnadi hardjasoemantri, Hukum tata lingkungan, gadjah mada university press, 2000, hlm.
3
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Undang-undang ini terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur lebih
mendalam tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan
mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah terdapat penguatan yang
terkandung dalam Undang-Undang ini mengenai asas-asas perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan tata kelola yang baik karena
dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen-instrumen untuk
mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pencegahan
dan penerapan hukum yang menerapkan keterpaduan aspek transparansi,
transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan
bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan kehidupan, kehidupan, dan kesejahteraan
masyarakat. manusia dan makhluk hidup lainnya. Menurut Koesnadi
Hardjosoemantri, pengertian hukum tata lingkungan adalah sebagai berikut:
Hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup untuk mencapai
keharmonisan hubungan manusia dan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosial budaya.
Sesuai dengan pasal 33 ayat (1) sampai (3) UUD 1945, ditetapkan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian dalam
pasal 33 ayat 4 ditetapkan bahwa Perekonomian Nasional diselenggarakan atas
dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efektifitas berkeadilan,
kelestarian lingkungan, kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi. Namun akibat eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan
secara eksploitatif, keseimbangan dan kelestariannya mulai terganggu. Oleh
karena itu, untuk menjaga keseimbangan dan kesinambungan, perlu dilakukan
berbagai langkah dan tindakan strategis sesuai dengan bidang pembangunan yang
dicakupnya. pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam
pembangunan hutan, pengelolaan hutan untuk kepentingan ekonomi yang
berlebihan, meskipun telah dibarengi dengan berbagai upaya rehabilitasi hutan
dan lahan, namun sejauh ini telah mengakibatkan laju kerusakan/degradasi hutan
yang sangat tinggi.
Lingkungan hidup yang keseimbangannya telah terganggu perlu
dipulihkan fungsinya sebagai kehidupan dan memberikan manfaat bagi
kesejahteraan masyarakat dan kelangsungan antar generasi dengan meningkatkan
pembinaan dan penegakan hukum.
Dalam konsep sistem kehidupan berkelanjutan di bumi, terdapat empat
sistem lingkungan yang sangat perlu mendapat perhatian serius dari setiap orang.
Keempat sistem lingkungan tersebut adalah::
a. Sistem biofisik;
Lingkungan biofisik adalah lingkungan yang terdiri dari komponen biotik
dan abiotik yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Komponen biotik
adalah makhluk hidup, seperti hewan, tumbuhan, dan manusia. Komponen abiotik
terdiri dari benda mati, seperti tanah, air, udara, dan sinar matahari. Kualitas
lingkungan biofisik dikatakan baik jika interaksi antar komponen berlangsung
secara seimbang.
b. Sistem sosial dan ekonomi
Lingkungan sosial ekonomi adalah lingkungan manusia dalam
hubungannya dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Standar
kualitas lingkungan sosial ekonomi dikatakan baik jika kehidupan manusia untuk
kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kebutuhan hidup lainnya
dapat terpenuhi.
c. Sistem politik
Sistem politik sebagai konsep ekologi menunjukkan adanya organisasi
yang berinteraksi dengan lingkungan, yang mempengaruhi atau dipengaruhi. Ini
berarti bahwa setiap sistem politik tidak pernah hidup dalam ruang hampa.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang kini telah diganti dengan Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup, yang
mengatur dan melaksanakan perlindungan atau perlindungan terhadap sumber
daya alam yaitu udara, tanah, air, pesisir dan laut, keanekaragaman hayati,
pedesaan pedesaan, perkotaan, lingkungan sosial agar tidak mengalami kerusakan
dan atau pencemaran. Dalam UU tersebut di uraikan pada Pasal 1 bahwa
pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup.
Khusus dalam kebijakan pengawasan sangat berkaitan erat dengan
penegakan hukum dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.
Pengawasan di lakukan oleh menteri negara lingkungan hidup dan untuk
melaksanakan pengawasan tersebut Menteri Negara Lingkungan Hidup
mengangkat Pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan. Pejabat yang
diangkat tersebut adalah Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) baik di
Pusat mapun daerah Daerah. Kewenangan PPLH yakni:
a. Melakukan pemantauan;
b. Meminta keterangan;
c. Membuat dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.

B. Faktor Kendala Dalam Menjalankan Peran Penata Ruang Dalam Pengelolaan


Ruang Terbuka Hijau
Faktor-faktor yang memengaruhi ketersediaan RTH dihimpun dari hasil
wawancara dengan stakeholder terkait sebagai berikut:
1) Wahana Lingkungan Hidup Lampung (WALHI)
a) Minimnya keinginan Pemerintah
Melalui SKPD nya pemerintah Kota Bandar Lampung hendaknya mampu
melakukan pengawasan terhadap kewajibankewajiban yang harus dilakukan.
Namun pada pelaksanaannya, pemerintah kota Bandar Lampung belum memiliki
keinginan untuk mengedepankan perihal lingkungan hidup yang dalam hal ini
Ruang Terbuka Hijau. Hal ini tercermin dari tidak adanya penambahan prosentase
luasan RTH di Kota Bandar Lampung hingga saat ini.
b) Tidak adanya ketegasan Pemerintah
Pemerintah belum kembali menjalankan program CSR (Company Social
Responsibility) kepada pelaku usaha di Kota Bandar Lampung. Jika ada ketegasan
dari pemerintah tekait hal ini, tidak menutup kemungkinan prosentase luasan RTH
Kota Bandar Lampung dapat dicapai dengan banyaknya pelaku usaha di Bandar
Lampung.
c) Belum adanya punish dan reward dalam program penghijauan
Lemahnya pengawasan Pemerintah terhadap pelaku usaha, menjadikan pelaku
usaha tidak melaksanakan peraturanperaturan yang hendaknya dijalankan bagi
pelaku usaha terkait penyediaan TRH di lingkup usahanya.
d) Political Will
Pembangunan RTH dinilai kurang memiliki nilai keuntungan dan kurang menjual
dari sudut pandang politik, sehingga pemerintah yang sedang mengemban tugas
saat ini lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur yang lebih menjual dari
sudut pandang.
e) Konsep berfikir konvensional
Framing berfikir konvensional pemerintah dan masyarakat Kota Bandar Lampung
yang menilai keberhasilan dan majunya suatu kota adalah dengan tolak ukur
banyaknya pembangunan infrastruktur, menjadikan RTH semakin tidak bernilai
dan terlupakan.

2) Keluarga Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup


a) Godaan Pelaku Usaha
Faktor kepentingan pelaku usaha yang menyebabkan pergeseran dan perubahan
fungsi lahan dari fungsi yang semestinya.
b) Belum memiliki konsep dasar yg jelas terkait RTH
Perencanaan strategis pembangunan RTH di Kota Bandar Lampung belum
memadai, karena dianggap sebagai ruang publik (commom property) yang secara
ekonomis tidak menguntungkan sehingga saling melepas tanggung jawab.
c) Inkosistensi pemerintah dalam Pelaksana Program Ketidakpastian
pemerintah dalam menjalankan program yang telah disusun terkait ruang terbuka
hijau menjadi penghambat ketersediaan ruang terbuka hijau publik di Kota Bandar
Lampung. Berbagai pertimbangan dilakukan dalam merealisasikan ruang terbuka
hijau Kota Bandar Lampung baik dari sisi politis, PAD, urgensi dan lainnya
menjadikan program pemenuhan ruang terbuka hijau tersingkirkan.
d) Keseriusan pemerintah Menjadi sebuah pertanyaan di publik tentang keseriusan
pemerintah dalam memenuhi ketersediaan ruang terbuka hijau publik saat
pemerintah mampu menghasilkan berbagai aturan, rencana, dan program namun
dalam implementasinya berbanding terbalik dengan apa yang telah direncanakan.
e) Implementasi perencanaan tidak tepat sasaran (Bakri, 2013)
Implementasi kebijakan ruang terbuka hijau selalu konsisten dengan informasi
serta peraturan yang ada, namun dalam proses di lapangan ada sedikit kendala dan
itu mengharuskan para implementor untuk merubah konsep ruang terbuka hijau.
Perubahan selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan kepentingan.

3) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Pengelolaan dan


Pengendalian Lingkungan Hidup dan Dinas Perumahan dan Pemukiman
a) Perencanaan pembangunan
Permasalahan yang terjadi dalam lingkup perencanaan pembangunan Kota Bandar
Lampung, yang di antaranya mengakibatkan kurangnya ketersediaan RTH.
Perencanaan pembangunan mempengaruhi arah perkembangan kota Bandar
Lampung kedepannya. Kesulitan dalam penyusunan perencanaan pembangunan
antara lain karena meliputi banyak stakeholder yang terlibat, disamping masalah
politik yang tidak dapat diabaikan.
b) Sumber Daya Finansial.
Finansial sangat diperlukan ketika pelaksanaan kebijakan ruang terbuka hijau
untuk memenuhi sarana dan prasarana yang diperlukan guna mengelola,
menyediakan dan menata ruang terbuka hijau. Dana untuk kebijakan ruang
terbuka hijau Kota Bandar Lampung didapatkan dari Pusat/Provinsi dan SKPD.
Anggaran dari Pusat/Provinsi digunakan sebagai anggaran proyek sedangkan
anggaran dari SKPD digunakan untuk pemeliharaan ruang terbuka hijau yang
telah ada. Dana untuk penyediaan, penataan dan pemeliharaan ruang terbuka hijau
sangat terbatas. Demikian pula dengan alokasi anggaran yang diberikan oleh pihak
pemerintah Kota Bandar Lampung untuk biaya penyediaan/pengadaan dan
kegiatan penyelenggaraan. Dalam pelaksanaan dilapangan untuk menyediakan
sebuah taman memerlukan biaya, namun biaya tersebut kurang memenuhi
kebutuhan untuk menyelesaikan sebuah taman kota, karena terhambat alokasi
biaya untuk penyediaan RTH yang kurang inilah, RTH di Kota Bandar Lampung
masih tergolong minim.
c) Sistem Birokrasi
Kondisi birokrasi yang mengharuskan instansi kedinasan melakukan pengusulan
kegiatan tahunannya melalui DPR secara global menjadikan hambatan tersendiri
dalam merealisasikan ketersediaan RTH publik di Kota Bandar Lampung. DPR
memiliki kewenangan penuh dalam mengoreksi, menganulir dan mengesahkan
jumlah anggaran yang diajukan. Dari keterbatasan ini, maka Pemerintah Kota
Bandar Lampung memaksimalkan anggaran yang tersedia dengan melihat skala
prioritas pengadaan dan faktor urgensi.
d) Pertambahan penduduk yang sangat cepat
Kota Bandar Lampung merupakan magnet dari kota-kota di sekitar kota Bandar
Lampung, hal ini menyebabkan pertumbuhan penduduk di Kota Bandar Lampung
tiap tahunnya meningkat pesat. Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung yang
tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut akan memberikan
implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga
penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus,
terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan
sosial, serta ruang-ruang terbuka publik (open spaces) di Kota Bandar Lampung
untuk mengatasi kondisi lingkungan kota.
e) Ketersediaan lahan
Faktor pesatnya pertumbuhan penduduk berdampak besar terhadap ketersediaan
lahan, menjadikan permintaan akan lahan terbangun semakin banyak
dibandingkan lahan yang diperuntukkan sebagai lahan hijau. Pergeseran
penggunaan lahan dari yang semula non terbangun menjadi lahan terbangun
merupakan dampak buruk dari pesatnya perkembangan aktivitas Kota Bandar
Lampung. Padahal ruang perkotaan sangat terbatas luasnya dan tidak mungkin
dapat diperbaharui keberadaan luasnya.
f) Nilai Lahan
Berasal dari jumlah kepadatan penduduk yang meningkat tiap tahunnya dan sudah
mulai banyaknya pusat-pusat bisnis, niaga, akses transportasi dan perbelanjaan
mempengaruhi lingkungan sekitarnya, termasuk berdampak pada harga jual tanah
yang tinggi. Hal tersebut ayang menjadikan lahan di kota Bandar Lampung yang
terbatas ini melampaui batas normal, terutama di pusat kota Bandar Lampung.
Untuk pemerintah kota dapat memiliki lahan dan mengelolanya menjadi kawasan
hijau untuk paru-paru kota, pemerintah harus membeli lahan. Pihak privat yang
juga sudah mulai mengerti potensi yang dimiliki oleh Kota Bandar Lampung tidak
serta merta memberi harga yang normal (Nama, 2018).
g) Urgensi Pembangunan
Faktor ini menjadi penentu pemerintah dalam mempertimbangkan pelaksanaan
suat program. Kepentingan dalam memenuhi kebutuhan yang dianggap mendesak
oleh pemerintah baik bagi instansi maupun yang berkenaan dengan masyarakat
dan pelaku usaha cenderung menjadi prioritas untuk segera direalisasikan.

III. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka yang dapat di simpulkan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Implementasi fungsi rencana tata ruang wilayah Kota Bandar Lampung
belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, seperti pengerukan bukit yang
seharusnya sebagai daerah resapan air dan kawasan ruang terbuka hijau, alih
fungsi dari daerah resapan air menjadi pemukiman dan perumahan, serta
pemanfaatan ruang di Kota Bandar Lampung belum memperhatikan analisis
yang didasarkan sistem Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
2. Faktor yang menjadi kendala dalam pemenuhan RTH Publik Kota Bandar
Lampung adalah:
a. Sumber daya finansial yang dimiliki Pemerintah Kota Bandar Lampung
masih sangat terbatas;
b. Pertambahan penduduk akibat dari Kotaa Bandar Lampung itu sendiri yang
menjadi magnet bagi kota-kota di sekitar Bandar Lampung;
c. Inkonsistensi Pemerintah dalam menerapkan ataupun mengaplikasikan
program dan peraturan yang berlaku;
d. Tidak adanya punishment dan reward dari Pemerintah kepada pelaksana
dan pelanggar kebijakan;
e. Kurangnya keterlibatan masyarakat akibat minimnya sosialisasi dari
Pemerintah;
f. Urgensi dalam hal pembangunan Kota.Pengguna jalan untuk memilih pada
saat terjadi kepadatan di ruas jalan tol maupun di ruas jalan nasional
DAFTAR PUSTAKA

Literatur Buku :
Akib, Muhammad, 2014, Hukum Lingkungan “Perspektif Global dan Nasional”,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Akib Muhammad, Jackson Charles, Triono Agus, Eka Marlia, 2013, Hukum
Penataan Ruang, PKKPUU FH UNILA Bandar Lampung.
Budiardjo Ekodan Sujarto, 1999, Kota Berkelanjutan, alumni Bandung, Bandung.
Hardja Soemantri, 2000, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University
press,
Yogyakarta.
Hermawan sumantri, 2004, Hukum Tata Ruang Perkotaan , PT. alumni, bandung
NHT.siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, pancuran alam, Jakarta.
Nurhadi, 2002, Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan , tarsito.
Otto J.M. dan Ateng Syarifudin, 1990, Hukum Tata Ruang di Indonesia dan
Sugianto, 2004, Teori-teori Hukum Tata Ruang, rajawali press , Jakarta

Peraturan perundang-undangan :
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 Kota Bandar Lampung Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah

Anda mungkin juga menyukai