Anda di halaman 1dari 11

Latar Belakang

Undang-Undang 1945, pasal 33 ayat 3, mengamanatkan bahwa bumi, air, dan


kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan dasar itu, setiap upaya pengelolaan
sumber alam perlu dilakukan secara terencana, terkoordinasi dan terpadu dengan
sumber daya manusia serta sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang
berkelanjutan. Kualitas dan keberlangsungan hidup lingkungan sangatlah bergantung pada
manusia dan makhluk hidup lainnya yang hidup dan tinggal bersama. Lingkungan hidup
memberikan berbagai macam manfaat baik yang dapat dirasakan secara langsung maupun
yang tidak dapat dirasakan secara langsung. Manusia mempunyai peran yang sangat besar
dalam menjaga kualitas lingkungan hidup. Bagaimana manusia dapat membentuk dan
menata lingkungan hidup yang baik dan benar merupakan kunci utama dalam melestarikan
lingkungan. hukum lingkungan memiliki peran penting untuk turut merefleksikan dan
menyusun strategi mengenai pengendalian pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup
melalui pendalaman terhadap instrument hukum lingkungan seperti penetapan standar,
larangan dan pembatasan, perizinan, analisa mengendai dampak lingkungan1.

Dapat kita ketahui penduduk di Indonesia saat ini sangatlah padat, terutama kota-kota
besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surakarta, dan masih banyak lagi kota-kota
lainnya. Jumlah penduduk di perkotaan menunjukkan kecenderungan pertumbuhan yang
semakin meningkat dan cepat. Menjadi sesuatu yang wajar karena daerah perkotaan
mempunyai daya tarik yang kuat. Jumlah penduduk perkotaan yang relatif padat tersebut
membutuhkan ketersediaan prasarana dan sarana perkotaan dan berbagai fasilitas pelayanan
ekonomi juga sosial dalam jumlah yang cukup besar serta kualitas pelayanan umum yang
cukup memadai. Permintaan pelayanan prasarana dan sarana yang dibutuhkan di daerah
perkotaan pada umumnya dirasakan jauh lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan
prasarana dan sarana yang dibangun. Tidak seimbangnya prasarana dan sarana perkotaan
dibanding dengan pertumbuhan penduduk menimbulkan ketidakteraturan2

Istilah tata ruang merupakan suatu kenyataan objektif. Wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang dapat bersifat teratur dan serasi, dapat pula kacau.Termasuk yang harus
dipahami bahwa wujud struktural terjadi karena proses-proses sosial, ekonomis, teknologis,

1
Wibisana, Andri G. “Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia”. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan
Indonesia. Vol 2. No. 4
2
Nurfitriati, Ilva. “Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) dalam Menata Ruang Kota”. 2015
1
politis dan administratif. Manfaat dan fungsi mestinya juga berarti yang di permukaan, bawah
permukaan dan atas permukaan bumi yang bersifat tetap. Dapat berupa bangunan, ladang,
hutan dan lain-lain di permukaan bumi, dapat juga suatu tambang, sumur bor, aquifier, dan
lain-lain di bawah permukaan dan rute penerbangan, penghawaan, pembawa hujan, dan lain-
lain diatas permukaan bumi3.

Pembangunan lingkungan hidup diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi


lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan
perkembangan kependudukan dan upaya pembangunan nasional untuk menjamin
pembangunan yang berkelanjutan. Peranan tata ruang pada hakikatnya dimaksudkan untuk
mencapai pemanfaatan sumber daya1 optimal dengan sedapat mungkin menghindari konflik
pemanfaatan sumber daya, mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup serta
meningkatkan keselarasan. Dalam lingkup tata ruang itulah maka pemanfaatan 4. Di sini
penulis akan membahas dan mengkaji peranan tata kota dalam menjaga dan melestarikan
lingkungan hidup.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran rencana tata ruang dalam kaitanya dengan kelestarian lingkungan?
2. Bagaimana fungsi tata ruang kota dalam kelestarian lingkungan?

Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana peran rencana tata ruang dalam kaitanya dengan kelestarian
lingkungan secara global
2. Untuk mengetahui bagaimana fungsi tata ruang dalam menjaga kelestarian lingkungan
secara global

3
Wirasaputri, Nina Mirantie. “Proses Penyusunan Rencana Tata Ruang dalam Kaitan Kelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup” Kanun Jurnal Ilmu Hukum. No. 62
4
Imran, Suwitno Y. “Fungsi Tata Ruang dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Kota Gorontalo”
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo.
2
PEMBAHASAN
1. Peran Rencana Tata Ruang Dalam Kaitanya dengan Kelestarian Lingkungan
a) Pengaturan Tata Ruang Kota di Indonesia

Peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang di Indonesia telah dimulai


pada tahun 1948, dengan berlakunya Stadsvormingsordonnantic pada tanggal 23 Juli
1948. Stadsvormingsordonnantic, disingkat SVO yaitu Ordonansi Pembentukan Kota,
merupakan peraturan untuk pembentukan kota yang dipertimbangkan dengan seksama, 5
teristimewa untuk kepentingan pembangunan kembali secara cepat dan tepat di daerah-
daerah yang tertimpa bencana peperangan.

Mengingat bahwa pertimbangan yang mendasari SVO tersebut adalah untuk


kepentingan pembangunan kembali daerah-daerah tertentu, yaitu daerah-daerah yang
ditimpa bencana peperangan atau daerah yang diduduki Belanda pada waktu itu, maka
jelas bahwa peraturan tersebut sudah tidak sesuai dengan pembangunan nasional
sekarang.

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, terutama penduduk di daerah perkotaan,


pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, serta pesatnya perkembangan pembangunan
kota-kota di Indonesia, maka diperlukan pedoman baru untuk perencanaan kota-kota.
Sejak era pemerintahan orde baru telah dibuat beberapa peraturan mengenai pedoman
pembentukan kota-kota, seperti surat edaran Menteri Dalam Negeri Nomor Perda
18/2/6 Tanggal 14 Mei 1973 mengenai Rencana Pembangunan Kota bagi tiap Ibukota
Kabupaten.

Surat edaran tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi, setelah


ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1980 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kota yang menyatakan bahwa tindakan perencanaan yang
dimaksud merupakan rumusan kebijaksanaan serta pedoman pengarahan bagi
pelaksanaan pembangunan. Tindakan perencanaan pada dasarnya mempunyai sifat
seperti tindakan pembangunan, yakni sebagai proses keberlanjutan.

Dalam UU Tata Ruang, yang dimaksud dengan tata ruang adalah wujud struktural
dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Istilah tata ruang
merupakan suatu kenyataan objektif. Wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang

5
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Cet-7, Yogyakarta, 1999,
hlm. 123-124.
3
dapat bersifat teratur dan serasi, dapat pula kacau. Termasuk yang harus dipahami
bahwa wujud struktural terjadi karena proses-proses sosial, ekonomis, teknologis,
politis dan administratif. Manfaat dan fungsi mestinya juga berarti yang di permukaan,
bawah permukaan dan atas permukaan bumi yang bersifat tetap. Dapat berupa
bangunan, ladang, hutan dan lain-lain di permukaan bumi, 6 dapat juga suatu tambang,
sumur bor, aquifier, dan lain-lain di bawah permukaan dan rute penerbangan,
penghawaan, pembawa hujan, dan lain-lain diatas permukaan bumi.

Untuk mengatur ruang beserta masyarakatnya diperlukan sebuah aturan dalam


bentuk hukum. Untuk tujuan inilah, terbentuk Hukum Tata Ruang (HTR) seperti yang
disampaikan oleh Yunus Wahid, “Hukum Tata Ruang adalah keseluruhan peraturan
hukum yang mengatur tentang proses perencanaan, peruntukan, pemanfaatan, serta
pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang. , Hukum Tata Ruang sebagai sarana
diharapkan berfungsi dalam mendukung tercapainya tujuan penataan ruang.7

Dalam rangka peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan pengelolaan


lingkungan hidup di masa mendatang agar dapat berkelanjutan, Budihardjo dan Sujarto
mengusulkan atau merekomendasikan sebagai berikut :

 Agar pengelolaan dan tata ruang tidak lagi dilihat sebagai management of growth
atau management of changes melainkan lebih sebagai managemant of conflicts.
Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan
masalah jangka pendek yang bersifat inpremental;
 Mekanisme development control yang ketat agar ditegakan, lengkap dengan sanksi
(dis insentif) untuk yang melanggar dan bonus (insentif bagi mereka yang taat pada
peraturan);
 Penataan ruang kota secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-model
participatory planning dan over-the-board planning atau perencanaan lintas
sektoral sudah dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan;
 Kepekaan sosial-kultural para penentu kebijakan dan para profesioanal khususnya
di bidang tata ruang kota dan lingkungan hidup seyogyanya lebih ditingkatkan
melalui forum-forum pertemuan/ diskusi/ ceramah/ publikasi, penataran dan
pelatihan baik secara formal maupun informal;

6
Poerbo T. Kuswartojo, Lingkungan Binaan Untuk Rakyat, AKATIGA, Bandung, 1999, hlm. 212.
7
Yunus Wahid, Pengantar Hukum Tata Ruang 79 (Kencana, Jakarta, 2014).
4
 Dalam setia perencanaan tata ruang kota dan pengelolaan lingkungan hidup agar
lebih diperhatikan perihal kekayaan khasanah lingkungan alam termasuk iklim
tropis yang bersahabat, yang selain akan memberikan kenyamanan biologis
tersendiri juga kan lebih menghemat energi (BBM maupun listrik) yang sekatang
sudah semakin mahal.Selain itu sepatutnya segenap pihak mencurahkan kepedulian
yang tinggi terhadap warisan budaya yang beberapa waktu terakhir ini cenderung
dilecehkan;
 Peran serta penduduk dan kemitraan dengan swasta agar lebih digalakan untuk bisa
memecahkan masalah tata ruang kota dan pengelolaan lingkungan hidup dengan
prinsip win-win solution, tanpa ada yang merasa terlalu dirugikan.8

Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amandemen ke 2 Tahun 2000 sebagai


Landasan dasar Konstitusional mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dibagi atas Daerah-daerah Propinsi dan Daerah Propinsi di bagi atas Kabupaten
dan Kota yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintah
Daerah yang diatur dengan Undang-Undang.Dalam sistem NIKRI, Propinsi merupakan
subsistem NKRI dan Kabupaten/Kota merupakan sub-sub sistem NKRI.

Dalam sistem ruang, wilayah nasional, Propinsi, Kabupaten dan Kota merupakan
subsistem ruang menurut batas administrasinya. Daratan, lautan dan udara merupakan
subsistem ruang sebagai suatu kesatuan wilayah. Pengelolaan subsistem ruang yang
satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain yang pada akhirnya akan
mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, oleh karena itu pengaturan ruang
menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya.

Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak
terpisahkan satu dengan yang lainnya. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
(RTRWP) dengan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2003. RTRWP tersebut sebagai
hasil revisi RTRWP sebagaimana yang tertuang dalam Perda No. 8 Tahun 1992. UU
Otonomi Daerah tersebut mengharuskan adanya kesepakatan baru dalam RTRWP
sesuai dengan kewenangan antara pemerintah Propinsi dengan pemerintah
Kabupaten/Kota, dan di samping ada perubahan-perubahan kondisi yang bersifat
substantif-teknis.
8
Budihardjo, E & D.Sujarto, Kota Berkelanjutan, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hlm. 212-213.
5
Proses penyusunan telah dilakukan secara bertahap dimulai dari penjaringan
aspirasi dan komunikasi dengan pelaku-pelaku pembangunan terkait secara bertahap
dan berulang, baik dengan Pemerintah Pusat, Propinsi Tetangga, Kabupaten/Kota,
Represertatif dunia usaha, Perguruan Tinggi, Masyarakat dan Pers sehingga pada
akhirnya dapat dicapai suatu kesepakatan dan disyahkan menjadi Perda.

Dalam rangka mengantisipasi berbagai permasalahan tata ruang dan


pembangunan wilayah dimasa yang akan datang maka dipandang perlu melakukan
revisi atau penyempurnaan terhadap RTRW. Kebutuhan untuk melakukan revisi ini
juga didasarkan pada beberapa pertimbangan yang lain, yaitu adanya berbagai
kebijakan dan paradigma baru pembangunan pasca reformasi yang belum terakomodasi
didalam RTRW seperti pelaksanaan otonomi daerah, pemberdayaan ekonomi rakyat,
kebijakan pengembangan SDA kelautan dan lain- lain. Di samping itu, adanya beberapa
peraturan perundang-undangan terkait di bidang penataan ruang yang telah berubah.

Berkaitan dengan hal-hal yang menjadi pertimbangan atas perlunya Pemerintah


daerah menentukan dan membuat suatu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), maka
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi merupakan matra ruang dari Program
Pembangunan Daerah Propinsi yang didalamnya memuat suatu upaya-upaya
pemecahan akan masalah- masalah pokok yang berkaitan dengan ruang. Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi dalam hal ini merupakan suatu penjabaran dari strategi dan
arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional kedalam strategi dan unsur
wilayah propinsi dan juga menjadikan pedoman bagi penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota.

Untuk itu dalam menyusun struktur wilayah Propinsi dilakukan melalui


pendekatan fungsional yang memandang wilayah dalam satu kesamaan sifat tertentu
baik secara fisik, ekonomi, maupun sosial-budaya dengan prinsip komplementer. Pada
dasarnya dalam proses penyusunan Tata Ruang telah melakukan beberapa prinsip-
prinsip dasar perencanaan yakni yang meliputi : 9 konsisten, operasional, mudah, utuh,
fleksibel, dan keberpihakan.

Berdasarkan dari uraian masing-masing bab diatas, maka dalam hal ini perlu
penulis simpulkan bahwa: Pertama, proses penyusunan Tata Ruang Wilayah dilakukan
dengan metode perencanaan yakni pendekatan wilayah, pendekatan ekonomi,

9
Badan Pusat Statistik, Jawa Tengah dalam angka 2005, Propinsi Jawa Tengah, 2005, hlm. 97.
6
pendekatan lingkungan yang berkelanjutan, pendekatan sosial budaya dan pendekatan
peran serta masyarakat dalam menyukseskan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Selanjutnya dalam hal ini kemudian dirumuskan suatu metode perencanaan yang
disusun berdasarkan suatu kerangka berpikir secara logis, terdiri dari serangkaian
tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara konsisten dan sistematik.

Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Tengah ini
adalah pada hal ini para aparatur Pemerintah Daerah belum mempunyai kesamaan
dalam pola pikir, persepsi dan tata cara pandang dalam berbagai kegiatan penataan
ruang wilayah dan tidak adanya keterpaduan dalam perencanaan dan sinkronisasi
program pembangunan antara dinas daerah dan instansi yang ada di bawahnya maupun
yang ada di atasnya.

Kedua, dalam kajian proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah bahwa
Pemerintah tetap memperhatikan beberapa kebijakan penataan ruang bertambah besar
serta mengakibatkan pengurangan kewenangan Propinsi dalam penataan ruang
Kabupaten/Kota, yang mana dalam hal ini Pemerintah Daerah juga.

Ketiga, dalam hal peran serta masyarakat, Pemerintah senantiasa berusaha


melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan RTRW karena dalam hal ini
masyarakat berusaha dijadikan oleh Pemerintah Daerah sebagai pengawas, penyusun
dan lain sebagainya. Namun seringkali hal tersebut berbenturan dengan kendala-
kendala yang terjadi seperti : Keterbatasan kewenangan pemerintah daerah,
keterbatasan kemampuan aparat, keterbatasan pendanaan, kelemahan managemen,
kelemahan mekanisme pengendalian pembangunan, dan kendala lainnya.

Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah seharusnya masyarakat luas


dilibatkan langsung, dan perlu adanya konsultasi kepada masyarakat luas sebelum
perencanaan itu disahkan. Serta dilakukan secara terbuka sehingga haknya dapat
dimafaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat itu sendiri.

2. Fungsi Tata Ruang dalam Kelestarian Lingkungan

7
Dalam ruang terdapat tiga komponen-komponen lingkungan yang dapat berupa
biotik dan abiotik serta kultural. Ketiga komponen tersebut selalu saling interaksi,
integrasi dan interdependensi dalam suatu ruang.

Karenanya untuk tidak menurunkan fungsi ketiga komponen tersebut, maka


diperlukan pengelolaannya. Pemahaman tentang tata ruang dalam arti luas mencakup
keterkaitan dan keserasian tata guna lahan, tata guna air, tata guna udara serta alokasi
sumber daya melalui koordinasi dan upaya penyelesaian konflik antar kepentingan yang
berbeda.10

Asas penataan ruang menurut undang-undang penataan ruang adalah sebagai


berikut, pertama, Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya
guna dan berhasil guna, serasi dan seimbang dan berkelanjutan; dan kedua, Keterbukaan,
persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.11

Asas tersebut di atas memberi isyarat 3 (tiga) aspek pokok yang harus diperhatikan
dalam penataan ruang. Pertama, aspek lingkungan hidup fisik umumnya dan sumber daya
alam khususnya yang dimanfaatkan; kedua, Aspek masyarakat termasuk aspirasi sebagai
pemanfaat; ketiga, aspek pengelola lingkungan fisik oleh pemerintah yang dibantu
masyarakat, yang mengatur pengelolaannya dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan kondisi dan potensi lingkungan fisik serta kebutuhan masyarakat agar
pemanfaatan ruang tersebut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.12

Sebagai suatu manajemen untuk mengatasi konflik, maka tujuan penataan ruang
meliputi: pertama, mewujudkan optimalisasi pemanfaatan ruang, baik sebagai sumber
daya alam maupun sebagai wadah kegiatan; kedua, meminimalisir konflik dari berbagai
kepentingan; ketiga, mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah dampak
negatif terhadap lingkungan; keempat, melindungi kepentingan nasional dalam rangka
pertahanan dan keamanan.13

Fungsi tata ruang dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Sebagaimana


diketahui mempunyai potensi sumber daya alam yang didukung ruang kondisi lahan dan
iklim yang sesuai bagi pengembangan tata ruang dalam menjaga kelestarian lingkungan
10
Eko Budihardjo, 1997, Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 68
11
“Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata”,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol.12 No.3
12
Jurnal Media Hukum, , Vol.14 No. 2 Desember 2007, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, hlm. 173
13
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24 No.1 Februari 2012, Fakultas Hukum UGM, hlm. 147
8
hidup. Dengan mengacu pada UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 seharusnya tata
ruang berasaskan sebagai berikut :

 Pertama, keterbukaan, yakni memperhatikan kesatuan kegiatan pemanfaatan ruang


yang dilakukan oleh pemerintah (pusat, propinsi dan kota), sektor swasta/dunia usaha
dan masyarakat berdasarkan pertimbangan menyeluruh;
 Kedua, asas daya guna dan hasil guna, yakni memperhatikan segenap potensi dan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada, agar dapat
menghasilkan manfaat dan kualitas ruang yang optimal bagi wilayah;
 Ketiga, asas keserasian, keseimbangan dan keselarasan, yakni memperhatikan
persebaran penduduk, pertumbuhan serta keterkaitan antar sektor dan antar kawasan,
agar tercapai keselarasan, keserasian dan keseimbangan struktur dan pola
pemanfaatan ruang wilayah;
 Keempat, asas keberlanjutan, yakni memperhatikan kemampuan daya dukung SDA,
lingkungan dan kepentingan generasi berikut agar tercapai kelestarian daya dukung
secara berkelanjutan;
 Kelima, asas keterbukaan, yakni memperhatikan adanya hak yang sama pada setiap
masyarakat untuk menikmati manfaat dan atau nilai tambah ruang, serta hak untuk
mendapatkan penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya akibat kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana;dan
 Keenam, asas perlindungan hukum, yakni memperhatikan perlunya jaminan
perlindungan hukum untuk memberikan kepastian dan rasa aman dalam berusaha
terhadap setiap hak aas pemanfaatan ruang yang diberikan.14

Dan pada dasarnya fungsi penataan ruang antara lain, agar tercapai pemanfaatan
ruang yang berkualitas yakni mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatip terhadap lingkungan, dan mewujudkan keseimbangan
antara kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Sementara kebijakan dan strategi
pengembangan tata ruang dan lingkungan hidup pada dasarnya meliputi: pertama,
kebijakan dan strategi pemantapan kawasan lindung; kedua, kebijakan dan strategi
pemanfaatan kawasan budidaya; dan ketiga, kebijakan dan strategi pengembangan
kawasan strategis kota.15
14
“Arti Penting dan Implementasi Hukum Perijinan dalam Bidang Lingkungan Hidup Di Indonesia”, Vol.2
No.2 Desember 2005, Jurnal Civics Media Kajian Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta, hlm. 88
15
Imran, Suwitno Y. “Fungsi Tata Ruang dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Kota Gorontalo”
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo.
9
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pembangunan dalam arti luas, merupakan upaya sadar untuk mengubah suatu
keadaan secara berencana, dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pada umumnya. Dalam pembangunan terkandung perubahan yang meliputi perubahan
struktur ekonomi, perubahan fisik wilayah, perubahan pola konsumsi, perubahan sumber
alam dan lingkungan hidup, perubahan teknologi, dan perubahan sistem nilai.

2. Saran
Dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 seharusnya tata
ruang kota berasaskan sebagai berikut. Pertama, keterbukaan, yakni memperhatikan
kesatuan kegiatan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh pemerintah (pusat, propinsi dan
kota), sektor swasta/dunia usaha dan masyarakat berdasarkan pertimbangan menyeluruh.
Kedua, asas daya guna dan hasil guna, yakni memperhatikan segenap potensi dan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada, agar dapat
menghasilkan manfaat dan kualitas ruang yang optimal bagi wilayah. Ketiga, asas
keserasian, keseimbangan dan keselarasan, yakni memperhatikan persebaran penduduk,
pertumbuhan serta keterkaitan antar sektor dan antar kawasan, agar tercapai keselarasan,
keserasian dan keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah. Keempat,
asas keberlanjutan, yakni memperhatikan kemampuan daya dukung SDA, lingkungan dan
kepentingan generasi berikut agar tercapai kelestarian daya dukung secara berkelanjutan.
Kelima, asas keterbukaan, yakni memperhatikan adanya hak yang sama pada setiap
masyarakat untuk menikmati manfaat dan atau nilai tambah ruang, serta hak untuk
mendapatkan penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya akibat kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana. Keenam, asas perlindungan hukum, yakni
memperhatikan perlunya jaminan perlindungan hukum untuk memberikan kepastian dan
rasa aman dalam berusaha terhadap setiap hak asas pemanfaatan ruang yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Eko Budihardjo. 1997. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Budihardjo, E & D.Sujarto. 1999. Kota Berkelanjutan. Bandung: Penerbit Alumni.

10
Koesnadi Hardjasoemantri. 1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press Cet-7.
Poerbo T. Kuswartojo. 1999. Lingkungan Binaan Untuk Rakyat. Bandung: AKATIGA.
Badan Pusat Statistik, Jawa Tengah dalam angka 2005, Propinsi Jawa Tengah, 2005.
Jurnal Media Hukum, , Vol.14 No. 2 Desember 2007, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24 No.1 Februari 2012, Fakultas Hukum UGM, hlm. 147
Wibisana, Andri G. “Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia”. Lembaga Pengembangan
Hukum Lingkungan Indonesia. Vol 2. No. 4
Wirasaputri, Nina Mirantie. “Proses Penyusunan Rencana Tata Ruang dalam Kaitan
Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup” Kanun Jurnal Ilmu Hukum. No. 62
“Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim Di
Peradilan Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.12 No.3
Imran, Suwitno Y. “Fungsi Tata Ruang dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Kota
Gorontalo” Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo.
Nurfitriati, Ilva. “Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) dalam Menata
Ruang Kota”. 2015
Yunus Wahid, Pengantar Hukum Tata Ruang 79 (Kencana, Jakarta, 2014).

11

Anda mungkin juga menyukai