Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau yang dikelilingi
oleh lautan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dengan adanya wilayah yang begitu
luas pastinya menjadikan wilayah Indonesia memiliki banyak kota yang tersebar di masing-
masing pulau, namun tata kota di Indonesia masih harus mendapatkan perhatian yang serius
karena belakangan ini kemacetan, polusi udara, kemiskinan, dan tentang masyarakat ataupun
lingkungan di wilayah perkotaan seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota besar lainnya.
Masalah tersebut dampak dari perbuatan manusia sendiri yang bertindak tanpa perencanaan
atau tanpa fikir panjang dampak ke depannya pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Hal ini menuntut perkembangan pembangunan fisik baik di kawasan perkotaan yang
memerlukan sebuah penataan, dengan betujuan meletakan fungsi strategis sebuah ruang agar
dapat didayagunakan secara optimal dan menghindari kontra produktif atas kemanfaatan
sebuah ruang. Oleh karena itu, ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan
lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup
lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal.

Secara normatif masyarakat berhak untuk dilibatkan dalam pengaturan tata ruang, dapat
dilihat pada Konsideran butir d Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, disebutkan bahwa “keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang
berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penataan ruang yang
transparan, efektif dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan”. Sehingga dapat dipahami bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta
dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan serta masyarakat berkewajiban
berperan serta dalam memelihara kualitas ruang dan berkewajiban menaati rencana t
ata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, produk Rencana Tata Ruang Wilayah
Perkotaan merupakan hasil kesepakatan seluruh pelaku pembangunan (stakeholders), termasuk
masyarakat.

Karena ruang merupakan tempat interaksi sosial, maka dalam penataan ruang tentu akan
bersinggungan dengan masyarakat sebagai elemen di dalam ruang itu sendiri. Ruang itu sendiri
berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa: “Ruang adalah
wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hiduplain, melakukan kegiatan,
dan memelihara kelangsungan hidupnya”.
Pelibatan masyarakat dalam perencanaan kota di Indonesia masih sering diabaikan,
padahal penting sekali artinya untuk menumbuhkan harga diri, percaya diri dan jati diri.
Apalagi bagi kaum menengah kebawah, keterlibatan mereka boleh dikatan tidak ada. Sehingga
peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup masih
sangat terbatas.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yaitu:

1. Apa saja yang menjadi hambatan dalam proses perencanaan tata ruang?
2. Bagaimana peraturan perundang-undangan dalam mengatasi hambatan tersebut?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi hambatan dalam proses perencanaan tata ruang.
2. Untuk mengetahui bagaimana peraturan perundang-undangan dalam mengatasi hambatan
tersebut.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Hambatan-hambatan dalam Perencanaan Tata Ruang


1. Hambatan Struktural

Dapat dikatakan bahwa hambatan struktural adalah semua hambatan yang bersifat
kelembagaan, institusional, personal, dan termasuk juga produk-produk hukum yang
digunakan oleh pemerintah dalam implentasi berbagai kebijakan terutama yang terkait dengan
kepentingan masyarakat, baik dalam bidang pemerintahan, pelayanan, dan pembangunan.

Saat ini, penataan ruang telah diatur dengan jelas melalui Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, yang merupakan revisi terhadap Undang Undang Nomor 24
Tahun 1992. Sementara itu, disadari sepenuhnya bahwa Undang Undang No. 26 Tahun 2007
tersebut lebih pada penataan ruang darat, sehingga kemudian sesuai dengan amanat dalam
pasal 6 angka 5 bahwa ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-
undang tersendiri.

Siklus pelaksanaan penataan ruang, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 26


Tahun 2007, terdiri dari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Produk Rencana Tata Ruang (RTR) adalah hasil dari tahap perencanaan. Mengingat bahwa
masih banyak produk rencana yang belum selesai, maka dapat dipastikan tahapan pemanfaatan
dan pengendalian pemanfaatan ruang belum dapat dilaksanakan secara efektif.

Pada akhirnya, penataan ruang diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah


dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berkeadilan sosial dalam
lingkungan hidup yang lestari dan berkesinambungan melalui penataan ruang.

Sehingga peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam pengaturan
tata ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan
masyarakat dengan menikmati manfaat ruang berupa manfaat ekonomi, sosial, lingkungan
sesuai tataruang, serta demi tercapainya tujuan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berdasarkan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional.

Peran serta masyarakat di bidang tata ruang semula diatur di dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 69 tahun 1996 yang merupakan peraturan operasional dari Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1992 tantang Penataan Ruang Peraturan Pemerintah tersebut berisi tentang
Pelaksanaan hak dan kewajiban serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam
penataan ruang, setelah berlakunya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 yang
menggantikan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 kemudian muncul kembali pengganti
atas PP Nomor 69 Tahun 1996 yang pada tahun 2010 di tetapkan PP Nomor 68 Tahun 2010
tentang Bentuk dan Tata Cara Masyarakat Dalam Penataan Ruang.

Dalam PP Nomor 68 tahun 2010 yang disebut masyarakat adalah: “orang perseorangan,
kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan
nonpemerintah lain dalam penataan ruang” sedangkan untuk peran masyarakat dalam PP
tersebut juga disebutkan bahwa “Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang”.

Dengan demikian dapat disebutkan bahwa penataan ruang diselenggarakan oleh berbagai
instansi pemerintah dengan melibatkan masyarakat seperti telah disebutkan dan atau pemangku
kepentingan non pemerintah dalam penataan ruang, yang dalam pelaksanaannya harus
dilakukan secara koordinasi, baik ditingkat administrasi pemerintahan maupun antar
pemerintah dan masyarakat sehingga terhindar dari kesenjangan penanganan ataupun
penanganan yang tumpang tindih dalam upaya mewujudkan tujuan penataan ruang1.

Namun dalam prakteknya, peran masyarakat dalam perencanaan sering terabaikan atau
tidak ditanggapi dan dalam beberapa kasus sering dikorbankan atas nama pembangunan. Inilah
yang menjadi indikasi hambatan struktural masyarakat. Hal ini menyebabkan tidak optimalnya
penyampaian aspirasi masyarakat dalam perencanaan tata ruang. Oleh karena itu perlu
peningkatan dan penguatan kelembagaan masyarkat. Tujuannya agar dalam penyampaian
aspirasi bisa lebih didengar oleh pemerintah2.

Salah satu contoh kasus di kota Bandung, pada pembangunan kondominium yaitu karena
terdapat data awal bahwa pembangunan kondominium yang kurang lebih sejarak 4meter dari
pemukiman. Dalam hal ini mayarakat meragukan surat izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerahkepada pelaku usaha. Berkaitan dengan pembangunan kondominium La Grande
Merdeka Tamansari3, selanjutnya ditelusuri lebih lanjut penggunaan lahan di kota Bandung
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah kota Bandung 2011-2031 khusus bagi pembangunan
kondominium.

Bahwa terjadi penyimpangan penggunaan tata ruang dengan adanya pembangunan


kondominium La Grande Merdeka Tamansari, karena dalam RTRW kota Bandung tahun
2011-2031 kota Bandung diatur bahwa peruntukan Jalan merdeka untuk pusat perbelanjaan
dengan maksud kegiatan ekonomi masyarakat terpusat tidak tercampur antara pemukiman dan
pusat perbelanjaan. Berdasarkan hal tersebut mengakibatkan adanya ketidak konsistenan antara

1
Aca Sugandhi, 1999, Tata Ruang dalam Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, hal. 12.
2
Diana Conyers, 1992, Perencanaan Sosial Dunia Ketiga Suatu Pengantar, Yogyakarta: GADJAH MADA
UNIVERSITY PRESS, hal. 152.
3
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/1965539/pembangunan-apartemen-la-grande-dijamin-tak-bikin-macet
diakses pada hari sabtu, 19 Oktober 2019 jam 09.10.
produk kebijakan dengan pembuat kebijakan itu sendiri, yang disebabkan oleh tidak
memperhatikan peran masyarakat.

2. Hambatan Internal Masyarakat

Pada pasal 65 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan:
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran
masyarakat. (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan antara lain, melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b.
partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan
ruang.

Terdapat pihak yang tidak berkompeten yang mengatasnamakan masyarakat. Pada tataran
praktis, peran serta masyarakat dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun kelompok atau
perwakilan. Dalam kondisi sosial-politik Indonesia saat ini, dipandang bahwa proses peran
serta masyarakat secara perorangan sangat lemah dan kurang efektip. Hal ini disebabkan
terutama karena kekuasaan pemerintah dan swasta yang masih cukup dominan, sehingga
upaya-upaya keterlibatan perorangan, khususnya dalam proses perencanaan dan pengendalian
ruang tidak efektif.

Dalam konteks ini peran serta masyarakat dalam bentuk kelompok atau perwakilan
dipandang lebih kuat dan menjanjikan. Kelompok disini dapat berupa kelompok masyarakat
berdasar satuan wilayah misalnya RT, RW, Kelurahan dan lain-lain. kelompok masyarakat
berdasar profesi/mata pencaharian misalalnya pedagang kaki lima, buruh, sopir, seniman, dlan
lain-lain. Kelompok masyarakat adat dan asosiasi-asosiasi berdasar kepentinganlain.

Individu atau kelompok yang mengatasnamakan masyarakat setidaknya dipengaruhi oleh


beberapa faktor4, yaitu:

a. Menyangkut sejarah komunitas itu sendiri, apakah mempunyai sejarah yang panjang
dan solid ataukah pendek dan tidak solid. Komunitas yang mempunyai sejarah
perjuangan panjang dan telah teruji dalam banyak tantangan tentunya akan lebih maju
dibandingkan komunitas yang tidak mempunyai sejarah perjuangan panjang.
b. Berkaitan dengan struktur dan kapasitas organisasi dalam komunitas tersebut. Satu
komunitas terkadang mempunyai kapasitas organisasi yang baik, sementara komunitas
lain tidak.
c. Terkait dengan sumber daya atau resources yang dimiliki komunitas. Satu komunitas
terkadang mempunyai sumber daya (baik alam maupun manusia) yang leboih
disbanding dengan komunitaslain. Komunitas seperti ini tentunya mempunyai

4
Hesty Hastuti, 2010, Penelitian Hukum Tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pengaturan Tata Ruang. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, hal. 83-84.
kemungkinan berkembang lebih tinggi dibanding komunitas yang tidak mempunyai
sumber daya.

Dalam konteks peran serta masyarakat melalui kelompok atau asosiasi, faktor-faktor yang
disebutkan di atas memiliki hubungan yang menyebabkan kesuksesan dan kegagalan peran
serta masyarakat.

Salah satu contoh kasus Penyimpangan juga diduga dilakukan oleh kondominium bernama
Grand dago, kawasan ini termasuk ke dalam Kawasan Bandung Utara (KBU). KBU memiliki
fungsi dan peranan penting dalam menjamin keberlanjutan kehidupan dan keseimbangan
lingkungan hidup di Cekungan Bandung, telah ditetapkan menjadi Kawasan Strategis
Provinsi5. Pemanfaatan ruang di KBU yang tidak terkendali akan mengancam keberlangsungan
fungsi konservasi kawasan sebagai tangkapan air dan menimbulkan berbagai bencana6.

Berbagai dampak negatif lingkungan mulai dirasakan, seperti longsor, meningkatnya


limpasan air, berkurangnya daerah resapan, hilangnya beberapa mata air, berkurangnya debit
mata air, hingga berkurangnya kesejukan udara. Dampak lain adalah terjadinya gangguan pada
cadangan dan konservasi air, karena KBU merupakan sub DAS Cikapundung, Cimahi, Citarik
Hulu, Cigugur, Cibeureum, Citepus dan beberapa anak sungai lainnya yang bermuara di
Sungai Citarum. Oleh karena itu, perlu upaya pengendalian yang ketat dan tepat terhadap
pembangunan di KBU dalam rangka mengembalikan kondisi fungsi hidroorologis terutama
pada lahan dengan kondisi sangat kritis.

Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan, sedikitnya 60% dari sekitar 108 juta
M3 air tanah dari dataran tinggi sekitar Bandung yang masuk ke cekungan Bandung berasal
dari Kawasan Bandung Utara, dengan demikian kawasan ini berfungsi sebagai kawasan
resapan air yang memepunyai peran sangat penting dalam penyediaan air tanah baik untuk
wilayah Bandung Utara tersebut maupun untuk daerah cekungan Bandung7.

Berdasarkan pemaparan mengenai KBU di atas nampak bahwa pembangunan


kondominium Grand Dago telah menyalahi aturan tata ruang karena dibangun di Kawasan
Bandung Utara. Berikut disajikan dalam bentuk tabel data pembangunan kondominium, letak,
serta peruntukannya sesuai dengan RTRW Kota Bandung tahun 2011-2031.

5
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029.
6
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung
Utara sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat, Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016 Nomor 2
Seri E, Konsideran Huruf a dan b.
7
Ketut Wikantika, Ashwin Ismail dan Akhmad Riqqi, Bandung Utara Nasibmu Kini. Departemen Teknik Geodesi
ITB, www.Pikiranrakyat.com edisi Kamis 7 April 2005. Terakhir diakses pada tanggal 26 Agustus 2017.
Sedangkan sebagaimana diketahui masyarakat perkotaan umumnya memiliki
kemajemukan, termasuk pada tingkat dan latar belakang pendidikan, hal tersebut dapat
berpengaruh pada tingkat keaktifan masyarakat untuk ikut berpartisipasi.

Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama, akan


tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak sama. Hal ini ditunjukkan
dimana Pemerintah Daerah sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat,
akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup hanya dengan proses tersebut. Jadi semua proses
keputusan yang diambil harus melibatkan masyarakat.

3. Hambatan Teknis

Salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap penyimpangan tata ruang di kota
Bandung terkait dengan pembangunan kondominium itu adalah berkaitan dengan masalah
perizinan. Bahwa izin adalah suatu instrumen pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang
digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat 8.
Mencermati uraian di atas, dapat dipahami bahwa izin dalam kontek pengelolaan lingkungan
memuat batasan dan berfungsi sebagai:

a. Alat legitimasi dari suatu larangan untuk diperbolehkannya suatu kegiatan.


b. Instrumen hukum administrasi yang bersifat preventif dalam pengendalian pencemaran
lingkungan.
c. Berisikan limitasi atau syarat-syarat teknis tentang pertimbangan dikeluarkannya izin
untuk beroperasinya suatu kegiatan.
d. Landasan hukum administrasi guna melakukan tindakan represif apabila dalam
pelaksanaannya tidak memenuhi limitasi yang tertuang dalam izin khususnya dan
peraturan perundang-undangan umumnya.

Terbukti dalam beberapa kasus yang telah diungkapkandi atas, beberapa kondominium
yang menyimpangi aturan tata yaitu Pemerintah Daerah terlalu memberikan kelonggaran
dalam menegakan hukum. Terlepas dari adanya kepentingan pribadi dengan menerbitkan izin
pembangunan kondominium sehingga terjadi ketidakpatuhan terhadap hukum. Apabila
pemerintah melakukan hal yang sebaliknya maka yang terjadi adalah adanya kepatuhan
terhadap hukum yang berhubungan dengan apa yang masyarakat anggap sebagai moral.

Pembangunan kondominium memang merupakan ide yang sangat strategis dengan


menyediakan tempat tinggal yang dapat menampung banyak orang tetapi dengan
memanfaatkan lahan yang cenderung lebih sedikit. Akan tetapi harus pula diperhitungkan

8
Asep Warlan Yusuf, 1999, Bahan Kuliah Hukum Perizinan dalam Bisnis, Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Katolik Parahyangan.
mengenai kondisi tanah dan peruntukannya, hingga tanah untuk ruang terbuka hijau digunakan
untuk pemukiman atau penyimpangan lainnya

Masyarakat yang kurang memahami tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Bandung.
Hal ini memudahkan bagi pihak pengembang proyek pembangunan kondominium untuk
meminta salah satu syarat izin gangguan kepada masyarakat sekitar demi memenuhi syarat
untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Masyarakat yang memahami RTRW di
kota Bandung persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang tidak
mengetahui. Pada akhirnya pengembang dapat sedikit demi sedikit memenuhi persyaratan
dalam membangun kondominium.

B. Peraturan Perundang-Undangan dalam Mengatasi Hambatan-Hambatan

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang cukup memberikan


peran bagi masyarakat dalam pengaturan tata ruang. Asas merupakan cerminan jiwa dari
sebuah undang-undang, sehingga sangat penting meletakan berbagai asas sebagai landasan isi
pasal-pasal yang terkandung di dalam sebuah peraturan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 pasal 2 menyebutkan bahwa: (a) Keterpaduan (b) Keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan; (c) Keberlanjutan; (d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; (e)
Keterbukaan; (f) Kebersamaan dan kemitraan; (g) Perlindungan kepentingan umum; (h)
Akuntabilitas.

Melalui asas-asas tersebut, maka proses pengaturan tata ruang harus sesuai dengan
asas-asas yang berlaku yang terdapat dalam Undang-undang Penataan Ruang, hal ini selain
merupakan kontrol atas pengaturan tata ruang yang dilakukan oleh pemerintah juga merupakan
pembatasan kewenangan, karena pada beberapa asas yang ada di dalamnya melibatkan peran
masyarakat.

Dari sisi asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, maka dapat dipahami bahwa dari sisi regulasi peran serta mayarakat
telah cukup dipenuhi, tinggal bagaimana mengimplementasikannya, akankah konsisten atau
tidak.

Selain itu telah diatur pula mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 60 bahwa dalam
penataan ruang, setiap orang berhak: (a) Mengetahui rencana tata ruang; (b) Menikmati
pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; (c) Memperoleh penggantian yang
layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang; (d) Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; (e) Mengajukan
tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang kepada pejabat berwenang; dan (f) Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada
pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Pada pasal 61 bahwa dalam pemanfaaatan ruang, setiap orang wajib: (a) Menaati
rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (b) Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; (c) Mematuhi ketentuan yang ditetapkan
dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan (d) Memberikan akses terhadap kawasan yang
oleh ketentuan peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pada pasal 65 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan:
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran
masyarakat. (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan antara lain, melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b.
partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan
ruang.

Berbagai pengaturan di atas terlihat bahwa melalui undang-undang penataan ruang yang
terakhir semakin menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai objek pengaturan tata
ruang tetapi merupakan subyek yang ikut berperan aktif dalam pengaturan tata ruang.

Seperti disebutkan secara eksplisit bahwa masyarakat mempunyai hak untuk: mengetahui
rencana ruang; menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang,
memperoleh ganti rugi sampai dengan tersedianya upaya hokum bilamana terdapat
pelanggalaran pengaturan tata ruang. Ini menandakan bahwa peran serta masyarakat telah di
akomodir melalui undang-undang penataan ruang terbaru.

Selama ini, sudah menjadi rahasia umum, bahwa sulit untuk sekedar mengetahui peta-peta
rencana kota, terutama mereka yang tidak mempunyai akses khusus. Buntut dari keadaan ini
adalah timpangnya informasi mengenai kawasan-kawasan yang diprioritaskan akan
berkembang. Ketimpangan ini, menyebabkan hanya beberapa kelompok dan individu tertentu
yang mempunyai peluang untuk mendapatkan nilai lebih atas peningkatan nilai ekonomi suatu
kawasan.

Melalui proses penyusunan rencana yang lebih transparan, setiap individu atau kelompok
akan mempunyai informasi dan kesempatan yang sama untuk mengantisipasi perkembangan
suatu kawasan. Sementara itu, peluang partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana juga
akan memberikan posisi tawar-menawar antar berbagai pihak yang sehat dalam proses
pengambilan keputusan terhadap suatu ruang.
Selama ini terjadi ketimpangan bahwa pemilik lahan seringkali menjadi pihak yang
dirugikan dalam suatu implementasi rencana, terutama karena mereka tidak dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan terhadap lahannya. Meskipun perlu dirumuskan lebih lanjut
mekanismenya, kesertaan masyarakat dalam proses penyusunan rencana berarti meningkatkan
proses dan hasil pembentukan kesepakatan dalam pemanfaatan ruang. Dengan kata lain,
melalui suatu proses pembentukan kesepakatan yang lebih demokratis, dapat diredam
kemungkinan konflik pada saat implementasinya. Lebih lanjut, proses penyusunan rencana
yang melibatkan masyarakat juga menjamin bahwa masyarakat akan mendapatkan manfaat
dari perencanaan tersebut
BAB 3

PENUTUTUP

A. Kesimpulan

Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang bisa dilakukan dengan
cara peningkatan kesadaran untuk partisipasi dan akuntabilitas dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang kebutuhan dan hak mereka untuk berpartisipasi dalam proses
perencanaan dan pengambilan kebijakan publik. Kegiatan utamanya yaitu melalui
pendampingan, pelatihan serta kampanye publik.

Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada telah menempatkan masyarakat bukan


semata-mata sebagai objek pengaturan tata ruang tetapi merupakan subyek yang ikut berperan
aktif dalam pengaturan tata ruang. Ini menandakan bahwa peran serta masyarakat telah di
akomodir melalui undang-undang penataan ruang terbaru. Oleh karena itu Dibutuhkan
Pemerintah yang konsisten untuk menegakan penataan ruang
DAFTAR PUSTAKA

Aca Sugandhi. Tata Ruang dalam Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1999.
Diana Conyers. Perencanaan Sosial Dunia Ketiga Suatu Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 1992.
Hesty Hastuti. Penelitian Hukum Tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pengaturan Tata Ruang.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia. 2011.
Peraturan Perundang-Undangan:

Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Masyarakat Dalam
Penataan Ruang.

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Anda mungkin juga menyukai