Anda di halaman 1dari 5

POST-TRUTH:

USAI DAN USANGNYA KEBENARAN HUKUM?


Butir-butir Gagasan untuk Diskusi

oleh Al. Andang L. Binawan1

0. Spontan, saya punya kesan ada contradictio in terminis ketika topik tentang
post-truthmau diperbincangkan dalam konferensi AFHI.Dalam pemahaman
spontan saya, kalau sedikit diekstremkan, post-truth adalah fenomena
irrasionalitas, sementara filsafat dan hukum berpilar rasionalitas. Pembicaraan
tentang fenomena post-truth dalam sebuah perbincangan intelek oleh para
anggota AFHI ibarat pembicaraan tentang genderuwo oleh para fisikawan, atau
setidaknya seperti pembicaraan tentang wong edan oleh orang-orang waras yang
mencoba memahami fenomena ke-edan-an itu dengan tolok-ukur orang waras.
Meski begitu, bukan hanya karena permintaan panitia, melainkan juga karena
post-truth sudah menjadi fenomena sosial, bukan hanya politik, baiklah kita coba
perbincangkan fenomena itu dalam kaitannya dengan hukum.

1. Dalam refleksi penulis, fenomena post-truth tidak bisa dilepaskan dari


perkembangan teknologi digital yang berkembang super cepat, dan menciptakan
ruang virtual yang nyaris tanpa batas. Disini, teknologi 'memakan' penciptanya
sendiri, yaitu manusia. Homo sapiens masuk dalam gelombang digital, tenggelam
dalam dunia virtual, dan kemudian menjelma menjadi homo digitalis, yang salah
satu cirinya adalah 'aku nge-klik, maka aku ada'. Eksistensi diri diukur dari
respons dari pengguna lain, sehingga semakin sensasional suatu posting, akan
semakin membuat eksistensi diri terasakan. Inilah yang menggelembungkan
realitas menjadi hyper-realitas, yang bersaudara kandungkan post-truth. Karena
itu, berbicara tentang kaitan post-truth dengan hukum -dengan pengandaian
dasar bahwa hukum berbicara tentang relasi antar manusia- serta-merta akan
membicarakan manusianya, yaitu homo digitalis.

2. Seperti telah didiskusikan dalam sesi sebelumnya, problematik post-truth


dalam kaitan dengan hukum sebenarnya bukan terletak dalam diguncangnya
makna kebenaran, tetapi dalam penyebaran yang disertai dengan
pembohongannya. Artinya, sejauh pemaknaan kebenaran itu adalah dalam ruang
privat, hukum, yang nota bene mengatur ruang publik, tidak akan banyak
terpengaruh. Yang menjadi masalah adalah penyebaran yang disertai
pembohongan karena memasuki ruang publik. Dengan kata lain, dalam hingar
bingar post-truth itu negara hukum harus tetap tegak dan mengatur ketertiban
sosial. Hanya, masalahnya, apakah sesederhana itu?

3. Masalah memang bisa menjadi complicated kalau masuk dalam ruang


pertanyaan radikal tentang makna hukum, baik bagi individu maupun
masyarakat, karena makna masyarakat itu sendiri dipertanyakan. Karena itu,
supaya tidak terlalu complicated, dan tidak terlalu relevan untuk perbincangan
singkat, cukuplah diandaikan bahwa hukum (yang dijamin oleh negara hukum)
adalah conditio sine qua bagi individu, masyarakat, dan juga relasi dinamis

1 Staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Email: albi234@yahoo.co.uk

1
antara keduanya. Jika disederhanakan, hukum ada dalam tarik menarik antara
kepetingan masyarakat sebagai kesatuan atau entitas dengan kepentingan
individu. Dalam kasus post-truth, kepentingan individu ini -terutama dalam
pandangan eksistensialis- ada di kutub yang jauh berseberangan dengan
kepentingan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan hukum
dari hukum yang berlatar masyarakat homogen ke masyarakat heterogen, dan
makin heterogen dengan perkembangan teknologi. Heterogenitas ini membuat
kedua kutub kepentingan makin jauh.

4. Kembali ke guncangan pada hukum, perlu dicatat bahwa keberadaan hukum


pun pernah diterpa badai post-mo yang mengguncang akar tunggang hukum,
tetapi toh tetap tegak sampai sekarang. Angin post-truth memang bisa dirasa
mengguncang kebenaran politis yang dijamin oleh hukum, tetapi tidak akan
sampai membuat akar-akar hukum tercerabut. Yang dimaksud akar hukum
adalah kedua fungsi pokok hukum, yaitu menjamin keadilan dan kepastian.
Bagaimana dua akar hukum itu bergoyang karena angin post-truth tercermin
secara mikrodalam peristiwa yang terjadi di jalan raya ini, yaitu ketika seorang
yang memakai atribut keagamaan protes kepada polisi yang menilangnya. Dari
dialog, tampak perbenturan yang terjadi, yaitu dalam argumentasi atas alasan
penilangan. Argumentasi polisi adalah argumentasi hukum, sementara
argumentasi balasannya bukan sekedar argumentum ad hominem, melainkan
lebih bersifat argumen post-truth, yang lebih didasari emosi, sensasi, fakta yang
dilihat dengan kacamata berbeda, plus 'kebohongan' yang dilontarkan. Di satu
pihak polisi melihat adanya pelanggaran karena bapak itu tidak mengenakan
helm, tetapi di lain pihak bapak itu bersikeras, berdasarkan keyakinan
pribadinya, bahwa bagi dia surban lebih aman dari helm. Cara pandang bapak itu
beserta pendasarannya memang menimbulkan gesekan, tetapi gesekan menjadi
lebih besar karena pemaksaan cara pandang itu.

5. Gesekan pada tujuan menjamin keadilan terjadi ketika 'rasa keadilan' pun
menjadi jauh berbeda karena 'makin berwarna,' bahkan makin samar. Keadilan
menurut homo digitalis akan sangatberbeda dengan yang dipahami homo sapiens
yang rasional. Bahwa akan selalu ada jarak antara rasa keadilan individu dengan
keadilan hukum, adalah sebuah keniscayaan karena keadilan hukum adalah
keadilan minimal. Hanya, dengan penekanan pada emosi atau rasa-perasaan dan
keyakinan pribadi dalam melihat realitas, termasuk terhadap diri, kriteria
keadilan personal juga makin subyektif dan karena itu makin beragam. Baik
diingat bahwa pada dasarnya pemahaman tentang keadilan, realitas, juga diri
adalah penafsiran dengan paradigma masing-masing. Hukum menawarkan
paradigma yang sama untuk menafsirkan realitas dan keadilan, tetapi kalau
dasar pijaknya berbeda, perbedaan makin kentara.

(6. Persoalan akan menjadi makin rumit ketika yang namanya keyakinan pribadi
berdasarkan preferensi sensasi dan emosi itu dikaitkan dengan ajaran agama.
Agama jelas mempunyai truth claim yang membuat keyakinan bisa makin
menggumpal sehingga rasionalitas diabaikan. Dalam konteks Indonesia,
fenomena agama 'digital', yaitu pengajaran agama melalui televisi yang mencari
rating demi iklan, membuat persoalan menjadi-jadi. Demi rating, para pengajar
agama bukan mencari kedalaman, melainkan sensasi yang mengaduk emosi

2
pemirsa. Dengan kata lain, pengajaran mengikuti selera pasar daripada
sebaliknya. Yang juga membuat masalah makin parah adalah bahwa masing-
masing pengajar agama merasa paling benar, tanpa lembaga formal yang
menjadi pengontrol atau pengendali lintang-pukangnya persoalan ini.)

7. Di samping itu, ada masalah yang lebih substansial: apakah dalam persoalan
ini individu yang tenggelam dalam post-truth adalah individu yang berkesadaran
sebagai pribadi moral, yang bisa mempertanggung-jawabkan perbuatannya? Jika
mengingat bahwa ada kaitan sangat erat antara post-truth dengan homo digitalis,
bahkan dapatlah dikatakan bahwa post-truth adalah anak kandung dari homo
digitalis, konsep keadilan minimal dalam hukum bisa kedodoran menghadapi
makhluk-makhluk yang lebih dikendalikan informasi ini daripada sebagai
pengendali.Disini, ada pertanyaan mendasar bukan hanya tentang kebenaran,
tetapi juga tentang arti kebebasan dan kehendak manusia. Sejauh mana homo
digitalis mengambil keputusan dengan kehendak bebasnya? Dalam pandangan
klasik, kaitan kebebasan dan kehendak sebagai wujud moralitas dengan
tindakan seseorang tercermin dalam azas actus non facit reum, nisi mens sit
rea(suatu perbuatan tidak dapat dianggap salah jika tidak dilakukan dengan niat
jahat), yang dalam dunia pidana dibuat perbedaan antara actus reus dengan
mens rea.

8. Gesekan kedua dalam ranah ketertiban atau kepastian. Persoalannya bukan


pada penegakan hukum demi ketertiban yang menjadi tujuannya, tetapi
dampaknya. Dalam persoalan seputar post-truth, seperti kita ketahui,
argumentasi tidak diletakkan dalam obyektivitas, tetapi ditumpukan pada emosi
subyektif. Dalam hal ini, ketika hukum diberlakukan dengan keras dan dingin
tanpa kompromi, yang terjadi adalah makin tajamnya jurang perbedaan emosi,
sehingga yang terjadi adalah sekat-sekat yang makin kaku. Ketertiban yang
terjadi adalah ketertiban semu dan bisa menjadi bola liar. Banyak analisis terkait
dengan kampanye pemilihan Trump di AS dan Brexit di Eropa menunjukkan hal
ini.

9. Juga dalam kaitan dengan homo digitalis yang menjadi induk post-truth, ada
persoalan yang juga lebih eksistensial, yaitu pemahaman tentang ketertiban.
Homo digitalis yang terbiasa bergerak sebebas-bebasnya di ruang virtual tanpa
aparat pengontrol, tentu tidak gampang memahami pentingnya ketertiban dan
kepastian sosial. Sikap dan pola-pikir dibentuk dari kebiasaan memakai
kebebasan seluas-luasnya. Pun, disini, sikap dan pola pikir tentang pentingnya
kehidupan bersama sudah sangat berbeda. Hukum pada dasarnya tetap
memperhitungkan kontrol atas diri melalui perjumpaan nyata dengan orang lain,
tetapi perjumpaan virtual tidak memberi kesempatan kontrol dari dalam itu
berkembang.

10. Gesekan ini pun akan menjadi benturan ketika penafsiran yang lebih bersifat
subyektif itu mau dipaksakan kepada orang lain, apalagi disertai dengan
pembohongan. Dalam hal ini, persoalan tidak hanya terkait dengan hukum, yang
sebenarnya relatif 'mudah.' Masalah pokok adalah bagaimana membatasi ruang
tersebarnya tafsiran subyektif itu. Ruang publik makin meluas dengan adanya
ruang publik virtual yang didukung teknologi digital yang juga makin bersifat

3
personal. Penegak hukum biasanya keteteran menghadapi persoalan-persoalan
seperti ini, bukan hanya dalam perkara teknisnya, melainkan juga dalam perkara
non-teknis. Ruang publik virtual nyaris tanpa hirarki, bersifat spontan,
sensasional dan emosional karena itu a-personal!

11. Yang terkait dengan hal ini adalah maraknya hoax atau berita 'palsu' untuk
pembohongan. Setidaknya ada dua faktor penting mengapa hoax marak, yaitu
faktor eksternal dan internal. Yang internal karena begitu gampangnya membuat
berita atau gambar palsu. Berita dengan gambar bisa diproduksi dengan cepat
dan relatif gampang, plus merebaknya media sosial yang makin personal sebagai
sarana persebarannya. Sekarang, otoritas kantor berita, atau koran, 'resmi' atau
yang terpercaya, semakin dilemahkan. Sementara itu, secara internal manusia
cenderung untuk membuat sensasi tanpa berpikir kritis.

12. Bagaimana negara hukum bersikap menghadapi fenomena post-truth dengan


segala dilema-nya ini? Mari lebih dahulu kita ikuti rekaman lanjutan dari kisah
ditilangnya bapak bersurban tadi, yaitu ketika akhirnya dia minta maaf. Yang
menarik dari klip itu ada dua. Yang pertama adalah permintaan maaf bapak
bersurban, yang berarti bahwa dia mengakui kesalahannya dan mau belajar.
Yang kedua adalah bahwa, meski hanya implisit, dia dibebaskan dari hukuman
tilang. Disini, tampak bagaimana polisi sebagai penegak hukum berusaha
menegakkan hukum dengan diskresi. Artinya, hukum tetap ditegakkan tetapi
tidak dengan kaku, atau mempertimbangkan situasi dan kondisi. Memang, di
satu sisi hal itu menimbulkan dahi para penganut hukum ketat berkerenyit,
meski di sisi lain, bagi para penganut hukum yang lebih manusiawi hal itu bisa
dimengerti dan dipahami.

13. Bagaimana hal itu bisa dipahami? Perlu diingat lebih dahulu bahwa ada
fungsi ketiga hukum bagi masyarakat yang belum disinggung, yaitu fungsi
kemanfaatan. Fungsi ini bisa ditafsirkan sebagai fungsi pendidikan, yang dalam
bahasa Roscoe Pound disebut sebagai tools of social engineering. Dari titik inilah
hal itu bisa dipahami, sekaligus bisa menjadi inspirasi bagaimana menyikapi
ketegangan hukum di era post-truth ini. Artinya, hukum perlu dilihat sebagai
bagian upaya mendidik individu supaya bisa berkeadaban publik dimana
masyarakat pun bisa hidup dengan baik. Pengandaiannya adalah bahwa individu
dan masyarakat bukan entitas statis, melainkan dinamis.

14. Dalam pengandaian itu, yang perlu dibedakan lebih dahulu adalah post-truth
sebagai keyakinan pribadi di ruang privat dan gejala atau fenomena post-
truthyang mau didesakkan ke orang lain di ruang publik, terlebih jika dilakukan
dengan cara-cara pembohongan. Post-truthdi ruang privat disikapi hukum
sebagai urusan pribadi, meski tetap dipantau, bahkan diupayakan untuk
berdialog supaya tidak menjadi 'ideologi tertutup.' Peran faktor non-hukum juga
menentukan, meski bisa didorong oleh hukum. Pada pengandaian kedua, ketika
memasuki ruang publik, kaidah-kaidah ketertiban umum perlu ditegakkan,
meski penegakannya juga memerlukan diskresi. Dalam hal ini, prinsip dasar
dalam doktrin margin of appreciation yang ada dalam pengadilan HAM Eropa
bisa menjadi panduan. Dalam prinsip ini penegakan suatu hukum
memperhatikan konteks masing-masing negara. Mutatis-mutandis, hal itu bisa

4
diterapkan dalam menyikapi individu yang terjangkit post-truth yang mau
memaksakan pandangannya ke orang lain. Tentu, keluasan pandangan dan
kebijaksanaan para penegak hukum menjadi kunci. Baru, pada tataran ketiga,
ketika upaya penyebar-luasan pandangan atau keyakinan itu disertai dengan
pembohongan, hukum yang lebih keras bisa ditegakkan, misalnya hukum pidana.

Anda mungkin juga menyukai