0. Spontan, saya punya kesan ada contradictio in terminis ketika topik tentang
post-truthmau diperbincangkan dalam konferensi AFHI.Dalam pemahaman
spontan saya, kalau sedikit diekstremkan, post-truth adalah fenomena
irrasionalitas, sementara filsafat dan hukum berpilar rasionalitas. Pembicaraan
tentang fenomena post-truth dalam sebuah perbincangan intelek oleh para
anggota AFHI ibarat pembicaraan tentang genderuwo oleh para fisikawan, atau
setidaknya seperti pembicaraan tentang wong edan oleh orang-orang waras yang
mencoba memahami fenomena ke-edan-an itu dengan tolok-ukur orang waras.
Meski begitu, bukan hanya karena permintaan panitia, melainkan juga karena
post-truth sudah menjadi fenomena sosial, bukan hanya politik, baiklah kita coba
perbincangkan fenomena itu dalam kaitannya dengan hukum.
1
antara keduanya. Jika disederhanakan, hukum ada dalam tarik menarik antara
kepetingan masyarakat sebagai kesatuan atau entitas dengan kepentingan
individu. Dalam kasus post-truth, kepentingan individu ini -terutama dalam
pandangan eksistensialis- ada di kutub yang jauh berseberangan dengan
kepentingan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari sejarah perkembangan hukum
dari hukum yang berlatar masyarakat homogen ke masyarakat heterogen, dan
makin heterogen dengan perkembangan teknologi. Heterogenitas ini membuat
kedua kutub kepentingan makin jauh.
5. Gesekan pada tujuan menjamin keadilan terjadi ketika 'rasa keadilan' pun
menjadi jauh berbeda karena 'makin berwarna,' bahkan makin samar. Keadilan
menurut homo digitalis akan sangatberbeda dengan yang dipahami homo sapiens
yang rasional. Bahwa akan selalu ada jarak antara rasa keadilan individu dengan
keadilan hukum, adalah sebuah keniscayaan karena keadilan hukum adalah
keadilan minimal. Hanya, dengan penekanan pada emosi atau rasa-perasaan dan
keyakinan pribadi dalam melihat realitas, termasuk terhadap diri, kriteria
keadilan personal juga makin subyektif dan karena itu makin beragam. Baik
diingat bahwa pada dasarnya pemahaman tentang keadilan, realitas, juga diri
adalah penafsiran dengan paradigma masing-masing. Hukum menawarkan
paradigma yang sama untuk menafsirkan realitas dan keadilan, tetapi kalau
dasar pijaknya berbeda, perbedaan makin kentara.
(6. Persoalan akan menjadi makin rumit ketika yang namanya keyakinan pribadi
berdasarkan preferensi sensasi dan emosi itu dikaitkan dengan ajaran agama.
Agama jelas mempunyai truth claim yang membuat keyakinan bisa makin
menggumpal sehingga rasionalitas diabaikan. Dalam konteks Indonesia,
fenomena agama 'digital', yaitu pengajaran agama melalui televisi yang mencari
rating demi iklan, membuat persoalan menjadi-jadi. Demi rating, para pengajar
agama bukan mencari kedalaman, melainkan sensasi yang mengaduk emosi
2
pemirsa. Dengan kata lain, pengajaran mengikuti selera pasar daripada
sebaliknya. Yang juga membuat masalah makin parah adalah bahwa masing-
masing pengajar agama merasa paling benar, tanpa lembaga formal yang
menjadi pengontrol atau pengendali lintang-pukangnya persoalan ini.)
7. Di samping itu, ada masalah yang lebih substansial: apakah dalam persoalan
ini individu yang tenggelam dalam post-truth adalah individu yang berkesadaran
sebagai pribadi moral, yang bisa mempertanggung-jawabkan perbuatannya? Jika
mengingat bahwa ada kaitan sangat erat antara post-truth dengan homo digitalis,
bahkan dapatlah dikatakan bahwa post-truth adalah anak kandung dari homo
digitalis, konsep keadilan minimal dalam hukum bisa kedodoran menghadapi
makhluk-makhluk yang lebih dikendalikan informasi ini daripada sebagai
pengendali.Disini, ada pertanyaan mendasar bukan hanya tentang kebenaran,
tetapi juga tentang arti kebebasan dan kehendak manusia. Sejauh mana homo
digitalis mengambil keputusan dengan kehendak bebasnya? Dalam pandangan
klasik, kaitan kebebasan dan kehendak sebagai wujud moralitas dengan
tindakan seseorang tercermin dalam azas actus non facit reum, nisi mens sit
rea(suatu perbuatan tidak dapat dianggap salah jika tidak dilakukan dengan niat
jahat), yang dalam dunia pidana dibuat perbedaan antara actus reus dengan
mens rea.
9. Juga dalam kaitan dengan homo digitalis yang menjadi induk post-truth, ada
persoalan yang juga lebih eksistensial, yaitu pemahaman tentang ketertiban.
Homo digitalis yang terbiasa bergerak sebebas-bebasnya di ruang virtual tanpa
aparat pengontrol, tentu tidak gampang memahami pentingnya ketertiban dan
kepastian sosial. Sikap dan pola-pikir dibentuk dari kebiasaan memakai
kebebasan seluas-luasnya. Pun, disini, sikap dan pola pikir tentang pentingnya
kehidupan bersama sudah sangat berbeda. Hukum pada dasarnya tetap
memperhitungkan kontrol atas diri melalui perjumpaan nyata dengan orang lain,
tetapi perjumpaan virtual tidak memberi kesempatan kontrol dari dalam itu
berkembang.
10. Gesekan ini pun akan menjadi benturan ketika penafsiran yang lebih bersifat
subyektif itu mau dipaksakan kepada orang lain, apalagi disertai dengan
pembohongan. Dalam hal ini, persoalan tidak hanya terkait dengan hukum, yang
sebenarnya relatif 'mudah.' Masalah pokok adalah bagaimana membatasi ruang
tersebarnya tafsiran subyektif itu. Ruang publik makin meluas dengan adanya
ruang publik virtual yang didukung teknologi digital yang juga makin bersifat
3
personal. Penegak hukum biasanya keteteran menghadapi persoalan-persoalan
seperti ini, bukan hanya dalam perkara teknisnya, melainkan juga dalam perkara
non-teknis. Ruang publik virtual nyaris tanpa hirarki, bersifat spontan,
sensasional dan emosional karena itu a-personal!
11. Yang terkait dengan hal ini adalah maraknya hoax atau berita 'palsu' untuk
pembohongan. Setidaknya ada dua faktor penting mengapa hoax marak, yaitu
faktor eksternal dan internal. Yang internal karena begitu gampangnya membuat
berita atau gambar palsu. Berita dengan gambar bisa diproduksi dengan cepat
dan relatif gampang, plus merebaknya media sosial yang makin personal sebagai
sarana persebarannya. Sekarang, otoritas kantor berita, atau koran, 'resmi' atau
yang terpercaya, semakin dilemahkan. Sementara itu, secara internal manusia
cenderung untuk membuat sensasi tanpa berpikir kritis.
13. Bagaimana hal itu bisa dipahami? Perlu diingat lebih dahulu bahwa ada
fungsi ketiga hukum bagi masyarakat yang belum disinggung, yaitu fungsi
kemanfaatan. Fungsi ini bisa ditafsirkan sebagai fungsi pendidikan, yang dalam
bahasa Roscoe Pound disebut sebagai tools of social engineering. Dari titik inilah
hal itu bisa dipahami, sekaligus bisa menjadi inspirasi bagaimana menyikapi
ketegangan hukum di era post-truth ini. Artinya, hukum perlu dilihat sebagai
bagian upaya mendidik individu supaya bisa berkeadaban publik dimana
masyarakat pun bisa hidup dengan baik. Pengandaiannya adalah bahwa individu
dan masyarakat bukan entitas statis, melainkan dinamis.
14. Dalam pengandaian itu, yang perlu dibedakan lebih dahulu adalah post-truth
sebagai keyakinan pribadi di ruang privat dan gejala atau fenomena post-
truthyang mau didesakkan ke orang lain di ruang publik, terlebih jika dilakukan
dengan cara-cara pembohongan. Post-truthdi ruang privat disikapi hukum
sebagai urusan pribadi, meski tetap dipantau, bahkan diupayakan untuk
berdialog supaya tidak menjadi 'ideologi tertutup.' Peran faktor non-hukum juga
menentukan, meski bisa didorong oleh hukum. Pada pengandaian kedua, ketika
memasuki ruang publik, kaidah-kaidah ketertiban umum perlu ditegakkan,
meski penegakannya juga memerlukan diskresi. Dalam hal ini, prinsip dasar
dalam doktrin margin of appreciation yang ada dalam pengadilan HAM Eropa
bisa menjadi panduan. Dalam prinsip ini penegakan suatu hukum
memperhatikan konteks masing-masing negara. Mutatis-mutandis, hal itu bisa
4
diterapkan dalam menyikapi individu yang terjangkit post-truth yang mau
memaksakan pandangannya ke orang lain. Tentu, keluasan pandangan dan
kebijaksanaan para penegak hukum menjadi kunci. Baru, pada tataran ketiga,
ketika upaya penyebar-luasan pandangan atau keyakinan itu disertai dengan
pembohongan, hukum yang lebih keras bisa ditegakkan, misalnya hukum pidana.