Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEBUMIAN

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum dan
Perundang-undangan kebumian Oleh Dosen Pengampuh,

Bapak Ayub Pratama Aris S.T.,M.T

DISUSUN OLEH:

AULYA TIARA PUTRI

(471421026)

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa atas segala limpahan Rahmat- Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam pemahaman mahasiswa tentang“
HUKUM TATA RUANG DI INDONESIA“dan pembuatan makalah ini
bertujuan untuk menyelesaikan tugas Hukum dan Perundang-undangan di
Indonesia. Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini saya
akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang sayamiliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Gorontalo, 26 Februari 2023

Aulya Tiara Putri

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar belakang ............................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 3

1.3 Tujuan .......................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 4

2.1 Peran Masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang .


............................................................................................................ 4

2.2 Faktor– faktor yang harus di perhatikan dalam penyusunan rencana tata
ruang ........................................................................................................... 6

BAB III PEMBAHASAN ....................................................................... 7

3.1Study kasus Jurnal 1 ..................................................................... 7

3.2 Study kasus Jurnal 2 ..................................................................... 11

BAB IV PENUTUP ............................................................................... 18

3.1 Kesimpulan ................................................................................... 18

3.2 Saran ............................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Perencanaan tata ruang wilayah menjadi salah satu problematika pada
perkembangan Kota dewasa ini, perkembangan kota yang cukup cepat dengan
pertumbuhan penduduk yang cukup pesat juga, maka masalah lingkungan
mejadi suatu masalah yang cukup urgen dalam pembahasan mengenai
keberlanjutan lingkungan untuk masa depan generasi. Pembangunan
merupakan upaya sadar yang dilakukan manusia untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik. Hakekat pembangunan adalah bagaimana agar kehidupan hari
depan lebih baik dari hari ini. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa
pembangunan selalu bersentuhan dengan lingkungan hidup. Bruce Mitchell
mengatakan pengelolaan sumber daya lingkungan akan mengalami
empatsituasi pokok, yaitu (1) perubahan (change), (2) kompleksitas
(complexity), (3) ketidakpastian (uncertainty), (4) konflik (conflict)1 .
Seiring dengan kebutuhan akan pemenuhan kewajiban terhadap negara.
Kabupaten Subangpun mengeluarkan beberapa peraturan daerah
demimenunjang kebutuhan Negara. Seperti hal nya kabupaten subang
mengeluarkan peraturan daerah No. 3 Tahun 2014 tentang rencana tata ruang
wilayah kabupatensubang. Perda ini dilatarbelakangi oleh keinginan negara
dalam menyesuaikan tata ruang wilayah dalam pembangunan berkelanjutan
yang terkordinir dan ter zonasi, sehingga pemanfaatannya bias dirasakan oleh
masyarakat banyak.
Perencanaan tata ruang menjadi hal yang penting maka setiap wilayah
Provinsi, Kota/ Kabupaten harus mempunyai aturan yang akan menjadi
pedoman dalam penataan ruang dan menjadi acuan dalam pelaksaanaan
pembangunan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Kota Subang diatur
dalam Perda Nomor 4 tahun 2014, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008
tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan pemanfaatan
ruang wilayah, Undang- undang RI Nomor 26 tahun 2007 pasal 2 penataan

1
tata ruang diselenggarakan berasaskan: keterpaduan, keserasian dan
keseimbangan, keberlanjutan, keserasian, keselarasan, dan kesinambungan
keberlanjutan, keberdayagunaan dankeberhasil gunaan, keterbukaan,
kebersamaan dan kemitraan, pelindung kepentingan umum, kepastian hukum
dan keadilan, dan akuntabilitas.
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RT/RW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota (RT/RW). Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang menjelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan, baik tingkat
pusat maupun tingkat daerah, seharusnya sesuai dengan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan. Di dalam subsistem tersebut, terdapat sumberdaya
manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan ruang yang
berbedabeda2 . Namun, realitasnya rencana tata ruang yang ditetapkan
seringkali tidak sesuai dengan peruntukkannya. Ini dikarenakan antara lain
belum terbinanya sistem politik pembangunan yang mampu mewadahi
penyelenggaraan tata ruang sebagaimana mestinya atau sebagaimana asasnya.
Oleh karena itu, berbicara masalah tata ruang harus diluruskan pada suatu
kerangka pemikiran tentang bagaimana tata ruang seharusnya terselenggara
sesuai dengan asasnya.
Penataaan ruang yang optimal dan tepat sesuai dengan arahan
memanfaatkan ruang, Kabupaten Subang secara geografis karakteristik
wilayah terdiri dari tiga yaitu: pertama Wilayah pegunungan kedua; daratan
bergelombang, dan ketiga pesisir, sehingga perlu pertimbangan yang tepat
untuk membuat sebuah kebijakan agar tidak terjadi dampak yang
mengakibatkan masalah ekonomi, social dan lingkungan, penataan ruang yang
tepat sasaran bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, mengunakan
sumberdaya alam secara bijak tanpa mengorbankan kebutuhan generasi
dimasa akan datang, pilar pembangunan berkelanjutan.
Untuk permasalahan yang berkaitan dengan peraturan daerah yang telah
disebutkan diatas, maka telah terjadi tindakan penyalahgunaan wewenang oleh
para pihak yang tidak bertaggung jawab karena tidak mengindahkan peraturan

2
daerah yang berlaku, hal tersebut tentu saja banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor salahsatunya adalah ketidak efektifan pemerintah dalammelakukan
pengawasan pengendalian di kota .

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka penulis dapat
merumuskan masalah berikut :

1. Bagaimana peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang?

2. Faktor– faktor apasaja yang harus di perhatikan dalam perencanaan tata ruang?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui upaya Masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan tata


ruang.

2. Untuk mengetahui apa saja Faktor yang harus di perhatikan dalam


perencanaan tata ruang.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peran Masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang


Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan Pasal 65 ayat (3)
Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang
mengatur bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengatur
bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Peme rintah dan
pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
Peran masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan
ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan
seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang,
yaitu terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan pada tahap perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang di
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Oleh karena itu, bentuk dan
tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang harus memperhatikan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilakukan secara berjenjang oleh Pemerintah kepada
pemerintah daerah dan pemerintah provinsi kepada pemerintah
kabupaten/kota. Dalam hal ini, Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki
tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan dan pengawasan pelaksanaan
peran masyarakat di bidang penataan ruang. Oleh karena itu, pembinaan dan
pengawasan pelaksanaan peran masyarakat di bidang penataan ruang oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah harus dilaksanakan secara terkoordinasi,

4
sehingga terhindar kesenjangan penanganan ataupun penanganan yang
tumpang tindih dalam upaya mewujudkan tujuan penataan ruang. Peran
masyarakat dapat dilakukan oleh orang perseorangan, kelompok orang
termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan
nonpemerintah lain dalam penataan ruang.
Pemangku kepentingan nonpemerintah lain dapat mewakili kepentingan
individu, kelompok orang, sektor, dan/atau profesi. Dalam penataan ruang,
pengaturan bentuk dan tata cara peran masyarakat sangat diperlukan antara
lain, untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat di bidang
penataan ruang, mewujudkan pelaksanaan penataan ruang yang transparan,
efektif, akuntabel, dan berkualitas, memperbaiki mutu perencanaan, serta
membantu terwujudnya pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan.
Bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang antara lain berupa
masukan serta kerja sama dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Adapun tata cara peran masyarakat
dilaksanakan sesuai tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Masyarakat sebagai mitra Pemerintah dan
pemerintah daerah, diharapkan dapat digali segala potensinya agar mereka
bisa mendayagunakan kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk
melaksanakan perannya dan sebagai perwujudan dari hak dan kewajiban
masyarakat dalam penataan ruang.
Dalam Peraturan Pemerintah ini juga diatur kewajiban, tugas, dan
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dalam mendukung
pelaksanaan peran masyarakat dalam penataan ruang, antara lain melalui
pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peran masyarakat di bidang
penataan ruang, pembangunan sistem informasi dan komunikasi penataan
ruang, dan pendanaan. Masyarakat yang makin maju menuntut keterlibatan
yang lebih besar dalam penyelenggaraan penataan ruang. Oleh karena itu,
Peraturan Pemerintah ini memberikan pengaturan yang memberikan peluang
bagi seluruh lapisan masyarakat untuk berperan dalam penataan ruang.

5
2.2 Faktor– faktor yang harus di perhatikan dalam penyusunan rencana tata ruang
1.Sosial
Jumlah penduduk dan proyeksi jumlah penduduk ke depannya
mempengaruhi banyak hal, termasuk penyedian perumahan dan fasilitas
lainnya (sekolah, pasar, rumah sakit dll).

2.Ekonomi
Setiap daerah memiliki potensi ekonomi yang berbeda. Pengembangan
potensi ekonomi yang berbeda memiliki kebutuhan infrastruktur yang
berbeda pula.

3.Lingkungan
Dengan pembangunan yang lebih terencana, maka kondisi lingkungan
dapat lebih terjaga. Selain itu, perlu selalu diingat bahwa Indonesia terletak
pada kawasan ring of fire, sehingga setiap daerah memiliki karakteristik
kebencanaan yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan mitigasi bencana
yang berbeda pula untuk jenis bencana yang berbeda.

4.Teknologi
Perkembangan teknologi menyebabkan perilaku dan mobilitas manusia
berubah.

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Study kasus Jurnal 1

KAJIAN YURIDIS MENGENAI PERAN PEMERINTAH DAERAH


DALAM PENATAAN RUANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR
26 TAHUN 2007

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui


bagaimana Peran Pemerintah Daerah Dalam Penataan Ruang dan apa
Kendala Yang Dihadapi Pemerintah Daerah Dalam Penataan Ruang yang
dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Peran pemerintah
daerah masih kurang dalam penataan ruang, sehingga membutuhkan peran
aktif pemerintah daerah untuk turut serta meningkatkan kualitas rencana tata
ruang dan harus mendasarkan pada rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Partisipasi pemerintah daerah dapat menentukan kualitas rencana tata ruang,
rencana tata ruang yang baik dinilai dari seberapa besar rencana tersebut
dapat diimplementasikan sebagai acuan pembangunan di daerah. 2. Faktor
penghambat pelaksanaan peran Pemerintah Daerah dalam penataan ruang
adalah tidak meratanya kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia dalam
bidang pelaksanaan penataan ruang dan keterbatasan sarana dan prasarana
yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal aparatur pemerintah
daerahnya sendiri masih kurangnya koordinasi antara legislative dan
eksekutif sehingga mengakibatkan tidak berjalannya Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) tersebut. Selain itu kurang dilibatkannya masyarakat dalam
hal penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sosialisasi yang
dilakukan oleh pemerintah daerah sangat minim sehingga masyarakat tidak
mengerti bagaimana peraturan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
maka setiap daerah dapat mengatur kebijakan pemerintahannya dalam
berbagai bidang termasuk di dalam penataan ruang. Kebijakan pembangunan

7
berkelanjutan tentu tidak bisa dilepaskan dari instrument hukum tata ruang.
Melalui instrument tata ruang berbagai kepentingan pembangunan baik antara
pusat dan daerah, antardaerah, antarsektor, maupun antarpemangku
kepentingan dapat dilakukan dengan selaras, serasi, seimbang, dan terpadu.
Meningkatnya kebutuhan ruang dalam pelaksanaan pembangunan
berimplikasi terhadap penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang. Padahal baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun
kabupaten/kota telah disusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Melalui
RTRW ini penggunaan ruang telah dikelompokkan berdasarkan struktur dan
fungsi ruang. Struktur dan fungsi ruang inilah yang seharusnya menjadi dasar
dalam penggunaan ruang.
Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Penataan Ruang tersebut meletakkan dan
menegaskan “Kewajiban Negara” dan “Tugas Pemerintah” untuk
menyelenggarakan penataan ruang bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam UUPR, kewenangan masing-masing pemerintah ini telah diperinci
dengan tegas, yakni wewenang pemerintah (pusat) tertuang dalam Pasal 8 dan
Pasal 9 Undang-Undang Penataan Ruang. Wewenang pemerintah daerah
provinsi tertuang dalam Pasal 10, sedangkan wewenang pemerintah
kabupaten/kota tertuang dalam Pasal 11 Undang-Undang Penataan Ruang.
Pasal 7 Undang-Undang Penataan Ruang tersebut menyatakan “kewenangan”
pemerintah dalam penataan ruang sebagai genus dari “wewenang-wewenang”
yang diberikan kepada masing-masing pemerintah dan pemerintah daerah
yang diperinci dalam Pasal 8-Pasal 11 Undang-Undang Penataan Ruang.
Dalam rangka fungsi penataan tata ruang, maka terdapat beberapa
kendala yang dihadapi. Kendala-kendala tersebut umumnya terdiri dari
berbagai macam yang biasanya dapat menghambat setiap program yang
diinginkan dalam rencana tata ruang. Kendala tersebut antara lain:
a). rencana yang tersusun tidak memperhitungkan keserasian, keseimbangan
dan kelestarian lingkungan. Karena itu jika rencana tersebut dijalankan
sebagaimana yang ditetapkan maka diperkirakan dalam waktu jangka
panjang akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lainnya. Misalnya pemanfaatan ruang lahan yang tidak

8
sesuai dengan asas tata ruang, dimana lahan yang awalnya sebagai ruang
lahan pertanian dijadikan sebagai pembangunan kantor-kantor
pemerintahan dan fasilitas usaha kredit perumahan. Hal ini tentunya bukan
suatu yang dapat dibenarkan, karena idealnya ruang lahan yang seharusnya
dapat menambah dan meningkatkan hasil pertanian masyarakat dan juga
pemerintahan menjadi berkuran, disebabkan lahan-lahan tersebut telah
berubah menjadi lahan kantor dan perumahan. Pemanfaatan fungsi tata
ruang sebaiknya bersinergi dengan komponen lingkungan hidup,
masyarakat serta steakholders yang ada. Kerjasama antara komponen
tersebut idealnya akan menghasilkan rencana tata ruang yang sesuai
dengan ketentuan hukum yang ada terutama Undasng-Undang tata ruang
dan berbagai peraturan yang berkaitan dengan fungsi tata ruang dan
lingkungan hidup itu sendiri.
b). kondisi tidak adanya ketegasan hukum bagi setiap orang yang melanggar
ketentuan dalam ruang. Artinya bahwa setiap orang yang melakukan
penyimpangan penggunaan rencana tata ruang tidak diberikan sanksi.
Padahal berbagai kelompok usaha seperti pengusaha pengemban
perumahan menjalankan usaha pembangunan perumahan tidak
mengindahkan prinsip ketentuan hukum tata ruang yang berlaku. Kawasan
persawahan yang selama ini dijadikan tanah pertanian masyarakat telah
diubah fungsinya menjadi tempat usaha kredit perumahan. Pola yang
hanya mengejar keuntungan sesaat dari bisnis kredit tersebut merubah
fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemunkiman. Dengan hanya
bermodalkan loby pada oknum-oknum tertentu ijin untuk mendirikan
usaha pembangunan perumahan dapat diperoleh tampa memperhitungkan
akibat dimasa yang akan datang. Dalam menghadapi kondisi demikian
ketegasan hukum dalam pemanfaatan fungsi tata ruang mutlak diperlukan.
c).Dalam perencanaan tata ruang selalu disatukan dengan rencana
pengembangan. Sehingga penetapan rencana tata ruang menjadi kabur
karena simpang siur dengan rencana pengembangan. Seharusnya rencana
pengembangan mengacu pada rencana tata ruang. Karena seharusnya
perencanaan tata ruang dijadikan acuan dalam rencana pembangunan.

9
d).Dalam penetapan rencana tata ruang lebih banyak didominasi oleh
keputusan politik, tidak bisa dipungkiri bahwa stabilitas politki di
Indonesia masih kurang baik. Banyak pengambil kebijakan dan keputusan
memutuskan atau mengeluarkan kebijakan yang tidak objektif. Seharusnya
perencanaan ttata ruang mengacu pada objetifitas karakteristik wilayah,
bukan kebijakan politik. sehingga objektifitas terhadap karakteristik
wilayah menjadi tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini sering menjadi
kenyataan dalam pengambilan keputusan pemerintah daerah dalam
pemanfaatan fungsi tata ruang yang serasi dengan lingkungan hidup yakni
keputusan politik yang tidak didasarkan pada objektifitas keadaan ruang.

Kesimpulannya :
1. Peran pemerintah daerah masih kurang dalam penataan ruang, sehingga
membutuhkan peran aktif pemerintah daerah untuk turut serta meningkatkan
kualitas rencana tata ruang dan harus mendasarkan pada rencana tata ruang
yang telah ditetapkan. Partisipasi pemerintah daerah dapat menentukan
kualitas rencana tata ruang, rencana tata ruang yang baik dinilai dari
seberapa besar rencana tersebut dapat diimplementasikan sebagai acuan
pembangunan di daerah.
2. Faktor penghambat pelaksanaan peran Pemerintah Daerah dalam penataan
ruang adalah tidak meratanya kualitas dan kemampuan sumberdaya manusia
dalam bidang pelaksanaan penataan ruang dan keterbatasan sarana dan
prasarana yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal aparatur
pemerintah daerahnya sendiri masih kurangnya koordinasi antara legislative
dan eksekutif sehingga mengakibatkan tidak berjalannya Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) tersebut. Selain itu kurang dilibatkannya
masyarakat dalam hal penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW),
sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah sangat minim sehingga
masyarakat tidak mengerti bagaimana peraturan tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW).

10
3.2 Study kasus Jurnal 2

PERBANDINGAN KEBIJAKAN TATA RUANG ANTARA INDONESIA


DENGAN BELANDA, DENMARK DAN SELANDIA BARU

Kebijakan penataan ruang di Indonesia diatur dalam Undang Undang


Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang undang ini
mengamanatkan bahwa pemanfaatan tata ruang harus direncanakan dengan
matang sehingga penyelenggaraan penataan tata ruang dapat mewujudkan
tata ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dan untuk
mengakomodasi dinamika perkembangan pembangunan yang tumbuh pesat.
1 Oleh karena itu Pasal 14 undang-undang ini menegaskan bahwa
perencanaan tata ruang harus dibuat dalam rencana umum tata ruang dan
rencana rinci tata ruang. Karena dalam konteks ini pemerintah harus mampu
melindungi dan mengelola kekayaan alam yang dimilikinya secara terpadu,
berkelanjutan dan memenuhi unsur-unsur ketertiban.
Pengelolaan rencana tata ruang seperti tersebut di atas dimaksudkan
agar penataan ruang dilakukan secara transparan, efektif, dan partisipatif,
untuk mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan,
oleh karena itu penggunaan lahan harus dilakukan secara terintegrasi dengan
memperhatikan keberadaan ruang terbuka, ruang hijau dan membatasi
pemekaran kota secara berlebihan, sehingga keadilan ekologis dapat
terpenuhi. 3 Oleh karena itu kebijakan tata ruang yang dibuat harus
memperhatikan berbagai faktor, tidak saja faktor penduduk dan kewilayahan
tetapi juga perubahan iklim atau pemanasan global sebagai isu dunia saat ini.

1. Kebijakan tata ruang di Belanda


Negara Belanda terdiri atas wilayah yang sebagian besar dataran
rendah yang dikelilingi oleh air. Pemerintah mulai mempublikasikan
kebijakan tata ruang, dan mulai dari pengembangan pusat pertumbuhan di
luar wilayah Metropolitan dan kebijakan kota yang berorientasi pasar.11
UU Perencanaan Tata Ruang (Wet op de Ruimtelijke Ordening, WRO),
yang mengatur perencanaan tata ruang dan perencanaan kota secara

11
terpisah dari perumahan, disahkan pada tahun 1965. Dalam kaitannya
dengan perubahan pemerintahan pada tahun 2010, Visi Struktural tentang
Infrastruktur dan Tata Ruang (SVIR) didirikan pada Maret 2012 dan
menggantikan Strategi Tata Ruang Nasional dan dinyatakan sebagai tujuan
jangka menengah menuju 2028, yaitu, meningkatkan daya saing dengan
memperkuat struktur ekonomi tata ruang, meningkatkan dan
mengamankan ruang yang dapat diakses dengan prioritas pertama kepada
pengguna dan mengamankan lingkungan yang berkelanjutan dan aman
yang menjaga kekayaan alam dan nilai budaya dan sejarah yang tinggi
Perencanaan Tata Ruang dilakukan oleh National Spatial Planning .
Agency, The Ministry of Housing, Spatial Planning and the
Environment (Ministerie van Volkshuisvesting, Ruimtelijke Ordening en
Milieu or VROM). Badan ini membuat perencanaan ruang yang bisa
mengakomodir penggunaan ruang dalam jumlah terbatas namun menarik,
enak ditinggali dan menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Undang–Undang Penataan Ruang (Wet op de ruimtelijke ordening / Wro)
yang dibuat sejak tahun 1965 telah beberapa kali mengalami perubahan.
Saat ini Wro baru mulai berlaku sejak 1 Juli 2008. Wro ini mengatur
tentang landscape Belanda hari ini dan masa yang akan datang. Dalam
Wro terbaru memuat perubahan diantaranya bahwa Pemerintah Kota
(Municipal authorities) harus membuat rencana zonasi serta harus tersedia
dokumen perencanaan dalam format digital bersamaan dengan hardcopy-
nya. Kebijakan lingkungan yang dimiliki Belanda juga telah mengatur
pengelolaan tata ruang terutama yang terkait dengan “ruang” sebagai
bagian dari kegiatan manusia dan memiliki dampak lingkungan dan sosial.
Kebijakan ruang dalam konteks Belanda diartikulasikan sebagai tempat
negosiasi yang diwujudkan dalam konsensus kolektif global dan regional
Uni Eropa.
Kebijakan Penataan Ruang terbaru ini memberikan porsi yang
besar kepada keterlibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan.
Melalui strategi ini pemerintah ingin menciptakan lebih besar ruang bagi
pengembangan serta memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada

12
dewan kota, lembaga-lembaga masyarakat serta warga masyarakat itu
sendiri. Selain itu, Strategi tata ruang nya mengatur tentang ruang untuk
alam, ruang untuk air, ruang untuk sungai, landscape nasional, zona hijau,
wilayah Randstad, serta koordinasi dengan kebijakan pembangunan
lainnya.

2. Kebijakan tata ruang di Denmark


Kebijakan tata ruang di Denmark dibagi menjadi tiga lapisan
administrasi; pemerintah pusat, kabupaten dan kotamadya. Tetapi, setelah
kekuasaan daerah kabupaten melemah kekuasaan administratif dibagi
kedalam dua lapisan yaitu pemerintah pusat dan kota.
Strategi perencanaan nasional yang dirumuskan oleh pemerintah
pusat disusun oleh 12 otoritas perencanaan regional (10 kabupaten,
Otoritas Kopenhagen, dan Dewan Kota Daerah Bornholm), dan rencana
kota dan lokal yang disiapkan oleh masing-masing kotamadya. Setiap
rencana tidak boleh dibuat bertentangan dengan keputusan perencanaan
tingkat atas. Ketika keputusan di tingkat atas diubah, rencana di tingkat
yang lebih rendah harus direvisi menyesuaikan keputusan tersebut.
Pertama, Menteri Lingkungan Hidup menetapkan kerangka kerja
menyeluruh untuk perencanaan tata ruang wilayah dan dewan lokal
melalui laporan perencanaan nasional, ringkasan kepentingan nasional,
arahan perencanaan nasional, dialog, dan sebagainya. Menteri memegang
hak veto untuk mencocokkan rencana tata ruang kota dengan kepentingan
nasional secara keseluruhan. Kedua, pemerintah daerah merumuskan
rencana pengembangan tata ruang berdasarkan visi pembangunan masing-
masing wilayah. Ini adalah jenis rencana strategis baru yang
menggambarkan gambaran umum perkembangan keseluruhan kawasan.
Rencana ini terkait erat dengan strategi pengembangan bisnis yang
disiapkan oleh forum pertumbuhan ekonomi regional. Setiap dewan kota
meringkas tujuan dan strategi kotamadya masing-masing dalam rencana
kotanya sendiri. Rencana tersebut akan menjadi kerangka rencana lokal
yang harus disediakan oleh kotamadya dan juga merupakan kerangka kerja

13
untuk menangani proyek pengembangan individu mengikuti UU
Perencanaan tata ruang dan berbagai undang-undang terkait.
Pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dapat menetapkan
aturan yang mengikat secara hukum tentang isi perencanaan. Dengan cara
ini, pemerintah dapat mempromosikan proyek-proyek dan arah
pembangunan tertentu. Arahan perencanaan nasional dapat digunakan
untuk mencari kegiatan yang diperlukan secara sosial dan dapat
mengesampingkan perencanaan lokal. Selain itu kementerian memiliki
tugas mengkoordinasikan dan melindungi kepentingan nasional dalam
perencanaan otoritas lokal. Karena itu pemerintah memiliki kewajiban
untuk menolak proposal perencanaan otoritas lokal yang bertentangan
dengan kepentingan nasional secara keseluruhan.
3. Kebijakan Tata Ruang di Selandia Baru
Sistem politik Selandia Baru adalah monarki konstitusional yang
memiliki ratu Inggris sebagai kepala negara yang menggunakan sistem
parlementer. Sistem pemerintahan daerah terdiri dari satu dewan daerah,
61 otoritas teritorial dan 6 otoritas kesatuan. Sistem perencanaan kota di
Selandia Baru terdiri dari dokumen perencanaan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Pengelolaan Sumberdaya (1991), Undang-Undang
Pemerintahan Daerah (2002) dan Undang-Undang Amandemen
Pengelolaan Transportasi Darat (2003).
Setiap dewan daerah didorong untuk membentuk Strategi
Pengembangan Ekonomi Daerah. Unit Infrastruktur Nasional yang
didirikan di Departemen Keuangan pada tahun 2009 telah mulai
merumuskan Rencana Infrastruktur Nasional termasuk bidang transportasi,
komunikasi, energi, penyediaan air bersih, pengairan dan infrastruktur
sosial. Visi jangka panjang selama 20 tahun menargetkan 2030 didirikan
pada tahun 2011 untuk menetapkan kerangka pembangunan infrastruktur.
Rencana Infrastruktur Nasional bertujuan untuk cara jangka panjang dan
terjadwal dalam menggunakan dana. Berdasarkan kegiatan sejak 2010,
mereka berencana merumuskan rencana yang andal pada 2015.
Setelah pembentukan Rencana Auckland yang merupakan

14
dokumen berdasarkan konsep "rencana tata ruang" baru, efektifitas
penetapan rencana tata ruang untuk daerah-daerah di luar Auckland telah
diperiksa kembali (terutama rencana yang terkait dengan pendanaan
nasional untuk pembangunan infrastruktur). Juga telah dibahas tentang
posisi "rencana tata ruang" di antara rencana nasional (termasuk gagasan
Rencana Tata Ruang Nasional).
Pembentukan Rencana Auckland yang merupakan rencana tata
ruang pertama dan juga rencana yang memiliki keterkaitan dengan rencana
keuangan. Kota Auckland menjadi Otoritas Kesatuan pada tanggal 1
November 2010, dengan menggabungkan satu Dewan Regional dan tujuh
Otoritas Teritorial. Diharapkan dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah
(Auckland Council) 2009 bahwa Auckland Plan akan berkontribusi
terhadap kesejahteraan sosial, ekonomi, lingkungan dan budaya Auckland
melalui Strategi Jangka Panjang Menyumbang Pertumbuhan dan
Pengembangan yang Efisien dan Komprehensif di Auckland (20-30
rencana tahun).

Setelah kita mempelajari model kebijakan penataan ruang di beberapa


negara, penulis mencoba untuk membandingkan kebijakan penataan ruang di
Indonesia. Pengaturan tata ruang di Indonesia berpedoman pada pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang selanjutnya ditindak
lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaran Penataan Ruang dan Peraturan Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR).
Untuk memberikan kepastian hukum, undang-undang Penataan Ruang
dijadikan pedoman dalam penyususunan rencana pembangunan di daerah,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di daerah,

15
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor,
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, dan penataan ruang
kawasan strategis daerah.19 Hal tersebut memberikan kejelasan tugas dan
tangung jawab serta pembagian wewenang antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota didalam
penyelenggaraan penataan ruang
Permasalahan tata ruang di Indonesia selain terjadinya alih fungsi lahan
dan konflik lintas sektoral, juga ketika ada faktor-faktor yang mendorong
terjadinya alih fungsi lahan seperti jumlah penduduk yang sangat besar,
meningkatnya kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan, penggunaan
ruang tidak sesuai peruntukan, menurunnya luas kawasan yang berfungsi
lindung, kawasan resapan air dan menurunnya kualitas lingkungan hidup.
Terjadinya berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan penataan ruang
di Indonesia karena berbagai hal, antara lain dominasi kebijakan sektoral yang
didasari oleh kepentingan tertentu di tiap sektoral, perencanan tata ruang tanpa
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), ketidaksesuaian antara rencana
tata ruang kota/kab, propinsi, dan nasional, rendahnya partisipasi masyarakat
dalam penataan ruang, hingga perencanaan pembangunan yang tidak sesuai
dengan penataan ruang atau bahkan tanpa disertai rencana tata ruang yang
komprehensif. Disisi lain, lemahnya aspek penegakan hukum menjadi salah
satu penyebab terjadinya pelanggaran penataan ruang. Kenyataan ini
menggambarkan keberadaan UU Penataan Ruang belum mampu dijadikan ruh
perbaikan penataan ruang di Indonesia.
Kebijakan Penataan Ruang terbaru ini memberikan porsi yang besar
kepada keterlibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan. Melalui Strategi
ini pemerintah ingin menciptakan lebih besar ruang bagi pengembangan serta
memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada dewan kota, lembaga-
lembaga masyarakat serta warga masyarakat itu sendiri.

Kesimpulan :
Dari perbandingan kebijakan tata ruang di Indonesia dengan beberapa
negara dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kebijakan

16
penataan ruang di Indonesia yang menimbulkan berbagai permasalahan tata
ruang, yaitu secara substansi, pemerintah harus segera merekontruksi Undang
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang karena sudah tidak
sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Secara struktural, pemerintah perlu
membentuk lembaga yang bersifat tetap dan independen untuk
mengkoordinasikan kebijakan tata ruang di tingkat pusat dan koordinasi antar
daerah. Secara kultural, perlu diupayakan peningkatan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan kebijakan penataan ruang, untuk menumbuhkan kesadaran
dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perencanaan dan pemanfaatan ruang. Sehingga tujuan penataan ruang untuk
mewujudkan tata ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan dapat
terpenuhi.

17
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Adapun bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang antara lain berupa
masukan serta kerja sama dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Adapun tata cara peran
masyarakat dilaksanakan sesuai tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Masyarakat sebagai mitra
Pemerintah dan pemerintah daerah, diharapkan dapat digali segala
potensinya agar mereka bisa mendayagunakan kemampuannya secara aktif
sebagai sarana untuk melaksanakan perannya dan sebagai perwujudan dari
hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang.
2. Adapun faktor-faktor yang harus di perhatikan dalam perencanaan tata
ruang adalah :

Sosial Jumlah penduduk dan proyeksi jumlah penduduk ke depannya


mempengaruhi banyak hal, termasuk penyedian perumahan dan fasilitas
lainnya (sekolah, pasar, rumah sakit dll).

Ekonomi setiap daerah memiliki potensi ekonomi yang berbeda.


Pengembangan potensi ekonomi yang berbeda memiliki kebutuhan
infrastruktur yang berbedam pula

Lingkungan dengan pembangunan yang lebih terencana, maka kondisi


lingkungan dapat lebih terjaga. Selain itu, perlu selalu diingat bahwa
Indonesia terletak pada kawasan ring of fire, sehingga setiap daerah
memiliki karakteristik kebencanaan yang berbeda. Oleh karena itu,
diperlukan mitigasi bencana yang berbeda pula untuk jenis bencana yang
berbeda,

Teknologi Perkembangan teknologi menyebabkan perilaku dan mobilitas


manusia berubah.

18
4.2 Saran

Saran saya kepada para pembaca untuktidak berpatokan pada satu


literatur saja melainkan juga terus mencari literatur-literatur lainnya sebagai
penambah pengetahuan dan wawasan. Dan kepada teman-teman Geologi
untuk tetap semnagat dan rajin kuliah agar selesai tepat pada waktunya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, Sudi Fahmi, The Implementation of the law on Spatial


Planning in Pekanbaru, Indonesia, IOP Conference Series: Earth
and Environmental Sciene, 2018.
Ahmad Jazuli, Penegakan Hukum Penataan Ruang Dalam Rangka
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan,
Jurnal Rechts Vinding Vol 6 No 2, 2017, JakartaCharles
Jakcson,Muhammad Akib Dkk. Hukum Penataan Ruang, PKKPU
FH UNILA Bandar Lampung 2013\
Edy Lisdiono, Legislasi Penataan Ruang:Studi tentang Pergeseran
kebijakan Hukum Tata Ruang Dalam Regulasi Daerah di Kota
Semarang, 2009, Semarang.
Kartasasmita.G. Administrasi Pembangunan (Perkembangan Pemikiran
dan Prakteknya di Indonesia. Jakarta 1997.
Robinson Tarigan Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi Aksara.
Medan 2003
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Dalam Pembangunan, Alumni
Bandung 2002. Silalahi M. Daud, Hukum Lingkungan dan Sistem
Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung 2006.

20

Anda mungkin juga menyukai