Anda di halaman 1dari 26

PWL1561 Hari/Tanggal : Selasa, 12 Desember 2023

Tugas Teori dan Proses Dosen : Ir. Dedy S Bratakusumah BE, MURP, M.Sc, PhD.
Perencanaan

ANALISIS PERBEDAAN UU CIPTA KERJA NOMOR 6 TAHUN 2023 DENGAN


UU PENATAAN RUANG NOMOR 26 TAHUN 2007 SERTA DAMPAKNYA KE
TATA RUANG DI INDONESIA

Joycelyn Harmoko A1401201064

Muh. Wahyu Apriliandi A1506231004

Riza Nur Fajrin Majid A1506231020

Safrianti Asrin A1506231009

Suhul Rabiati A1506231011

PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH


SEKOLAH PASCASARJANA
IPB UNIVERSITY
BOGOR
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penataan ruang tidak dapat dipisahkan dari perencanaan pembangunan karena
pembangunan merupakan upaya berkelanjutan yang mencakup berbagai aspek lintas sektor
dan wilayah. Rangkaian pelaksanaan pembangunan dan penataan ruang di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Undang-undang tersebut bertujuan
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan serta
mengarahkan pembangunan nasional yang selaras dengan potensi ruang wilayah nasional
(Pambudi dan Sitorus 2021). Seiring dengan berjalannya waktu, Indonesia mengalami
perubahan pola dan struktur ruang akibat adanya permasalahan sumber daya dan aspek
pembangunan. Permasalahan tersebut mendorong para perencana untuk mengatasi berbagai
permasalahan tata ruang mealui dokumen perencanaan (RTRW) yang holistik, integratif,
dan adaptif terhadap perubahan. Namun secara praktis, penyusunan RTRW seringkali tidak
memuaskan karena adanya penyimpangan pada penggunaan lahan eksisting. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang RTRW bagi masyarakat, adanya kepemilikan
lahan yang sudah ada sebelum adanya RTRW, dan lain sebagainya (Khaerani et al. 2018).
Penyusunan RTRW yang berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
memiliki kelemahan lainnya, yaitu minim keterlibatan masyarakat dalam penyusunan
dokumen ini. Minimnya keterlibatan masyarakat terjadi karena sulitnya membuat
kesepahaman pada masyarakat yang memiliki kepentingan yang beragam. Masalah tersebut
membuat perspektif penataan ruang di Indonesia semakin bercabang. Oleh karena itu,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 mengenai Cipta Kerja hadir untuk membuat
perspektif penataan ruang menjadi lebih sentralistik dibandingkan dengan regulasi
sebelumnya. Pengaturan penataan ruang di Indonesia akan berpusat pada pemerintah pusat
dan bernuansa pemanfaatan ruang. Selain itu, UU Cipta Kerja dirancang sesuai dengan
fokus pemerintah saat ini, yaitu pembangunan nasional yang strategis (Mayasari 2020).
Namun, perubahan UU Cipta Kerja dari UU Nomor 26 Tahun 2007 juga memiliki dampak
lain yang menimbulkan kontroversi. Dengan demikian, diperlukan analisis lanjutan untuk
memahami perbedaan UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 serta dampak dari
perubahan tersebut.

1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan UU Cipta Kerja dengan UU Nomor
26 Tahun 2007 serta dampak perubahannya.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Jenis dan Sumber Data


Dalam penelitian ini yang berjudul analisis perbedaan Undang-undang Cipta Kerja
Nomor 6 Tahun 2023 dengan Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 serta
dampaknya ke tata ruang Indonesia menggunakan data sekunder yang bersumber dari
dokumen teks resmi yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja,
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan sumber ilmiah nasional
berupa jurnal-jurnal nasional yang berkaitan dengan penelitian ini.

2.2. Analisis Data


Penelitian ini menganalisis adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja yang digantikan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun
2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun
2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang jika dikaitkan dengan Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan melihat sejauh mana dampak yang
ditimbulkan ke tata ruang di Indonesia saat ini.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Undang - Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mencabut Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501) dan
dinyatakan tidak berlaku. Penataan ruang yang diamanatkan didalam UU No.26 tahun 2007
adalah bedasarkan Undang-Undang dasar Republik Indonesia tahun 1945 dengan tujuan
memanfaatkan sebesar-besarnya Ruang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
kemakmuran rakyat Indonesia sesuai dengan amanat pasal 33 ayat (3). Dengan tujuan
tersebut didalam UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang diatur tentang ruang, tata
ruang, sturktur ruang, penataan ruang, pengaturan penataan ruang, pembinaan, pelaksanaan,
pengawasan, perencanaan, pemanfaatan dengan pemerintah sebagai pengelola ruang dan
masyarakat berperan sebai pengawas pelaksanaan penataan ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatanyang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang. Dalam penataan ruang Menteri
adalah penyelenggara tertinggi negara yang berwenang dalam penataan ruang yang
dikoordinasi oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang nasional (BKPRN). Ada beberapa
kementrian yang terlibat dalam penataan ruang, diantaranya: Kementrian Pertahanan,
ESDM, Perindustrian, Pertanian, Kehutanan, Perhubungan, Kelautan dan Perikanan, Negara
Lingkungan Hidup dan Badan Pertahanan Nasional.
3.1. Asas Dan Tujuan
Penyelenggaraan penataan ruang bertuajuan untuk mewujudkan ruang wilayah bisa
dimanfaatkan secara aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berdasarkan asas sebagai
berikut:
1) Keterpaduan
2) Keserasian, Keselarasan dan keseimbangan
3) Keberlanjutan
4) Keberdayaguanaan dan keberhasilgunaan
5) Keterbukaan
6) Kebersamaan dan kemitraan
7) Perlindungan kepentingan umum
8) Kepastian hukum dan keadilan dan
9) Akuntabilitas
3.2. Klasifikasi Penataan Ruang
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sebagai berikut:
1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal
perkotaan.
2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan
kawasan budi daya.
3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah
nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota.
4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan
perkotaan dan
5) penataan ruang kawasan perdesaan.
6) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang
kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan
ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
3.3. Tugas Dan Wewenang
Dalam pelaksanaan tugas wewenang penyelenggaran penataan ruang meliputi
pengaturan, pembinaan dan pengawasan baik di tingkat Nasional, Provinsi Kota/Kabupaten
dilakukan dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Setiap tingkat
pemerintah mempunyai kewenangan untuk melaksanakan perencanaan, pemanfaatan ruang
wilayah dan pengendalian ruang wilayahnya.
3.4. Pengaturan Dan Pembinaan Penataan Ruang
Pengaturan dan pembinaan tata ruang dilakukan oleh nasional kepada pemerintah
kota/kabupaten dan kepada masyarakat dengan melalui koordinasi, sosialisasi, bimbingan,
penelitian pengembangan sistim informasi pengembangan ruang, penyebarluasan informasi
dan pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
3.4. Pelaksanaan Penataan Ruang
Pelaksanaan tata wilayah bertujuan untuk mendapatkan rencana umum tata ruang dan
rencana tata rinci tata ruang.. Tata wilayah didalamnya memuat rencana struktur ruang,
rencana pola ruang penetapan Kawasan strategis, arahan pemanfaatan ,arahan pengendalian
dan kerjasama penataan ruang. Rencana umum tata ruang secara berhierarki terdiri atas:
1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
2) Rencana tata ruang wilayah provinsi
3) Rencana tata ruang wilayah kabupaten
4) Rencana tata ruang wilayah kota
Rencana rinci tata ruang terdiri atas:
1) Rencana tata ruang pulau/kepulauan
2) Rencana tata ruang kawasan strategis nasional
3) Rencana tata ruang kawasan strategis provinsi
4) Rencana detail tata ruang kabupaten/kota
5) Rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota
3.5. Pengawasan Penataan Ruang
Pengawasan dilakukan supaya penataan ruang terjamin dan tercapai, peningkatan
fungsi dan manfaat penyelenggaraan. Pengawasan penataan ruang pada tingkat pemerintahan
dilakukan oleh pemerintah setingkat diatasnya untuk mengambil langkah sesuai dengan
kewenangannya.
3.6. Hak, Kewajiban dan Peran masyarakat
Hak masyarakat dalam penataan ruang adalah mengetahui, menikmati, memperoleh
penggantian, mengajukan keberatan, mengajukan tuntutan pembatalan izin serta mengajukan
gugatan kerugian kepada pemerintah atau pemegang izin terkait kegiatan pembangunan
penataan ruang. Selain hak dan kewajiban masyarakat terkait tata ruang yaitu menaati,
memanfaatkan, mematuhi ketentuan serta memberikan akses terhadap Kawasan sesuai
peraturan yang berlaku.
3.7. Penyelesaian Sengketa, penyelidikan dan ketentuan pidana
Penyelesaian sengketa bisa dilakukan dengan 2 cara yaitu musyawarah mufakat dan
melalui pengadilan sesuai undang-undang yang berlaku. Dalam pelaksanaan penyelidikan
sengketa dilakukan oleh kepolisian untuk melakukan pemeriksaan, meminta keterangan serta
meminta bantuan tenaga ahli. Segala kerugian bisa dituntut berdasarkan secara pidana dan
perdata sesuai hukum acara perdana dan perdata.

3.2. Undang - Undang Cipta Kerja terkait Penataan Ruang


Ditetapkannya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang
ditetapkan dengan semangat untuk percepatan investasi dan pelaksanaan pembangunan turut
berdampak pada penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia. Sebelumnya, kebijakan
terkait tata ruang yang dianggap berlapis – lapis serta panjangnya proses birokrasi perizinan
pemanfaatan ruang dianggap sebagai beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan
pembangunan, terutama dalam rangka percepatan Proyek Strategis Nasional. Dengan
ditetapkannya Undang – Undang Cipta Kerja, diharapkan dapat dilakukan pemangkasan
terhadap kebijakan peraturan perundangan yang mengatur pelaksanaan pembangunan
sehingga dapat memberikan kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha untuk memperoleh
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang merupakan salah satu kebijakan yang turut direvisi dalam Undang – Undang
Cipta Kerja. Yang menjadi sorotan dalam perubahan Undang – Undang Penataan Ruang pada
Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah berkurangnya urusan
penataan ruang di Daerah dan penyesuaian terhadap mekanisme perizinan di daerah. Pada
pasal 14, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi dan kawasan strategis kabupaten/kota
yang sebelumnya tercantum pada Undang – Undang 26 Tahun 2007 dihapus dari
nomenklatur Undang – Undang Cipta Kerja. Namun, Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan
dan Kawasan Strategis Nasional tetap ada bersama dengan Rencana Detail Tata Ruang
Kabupaten/Kota.
Pemangkasan aturan pemanfaatan ruang juga tercermin pada amanat pengintegrasian
rencana ruang laut pada Rencana Tata Ruang. Pada level Provinsi, Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RZWP3K) wajib untuk diintegrasikan pada Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 43 Undang – Undang Cipta
Kerja. Dokumen Integrasi RZWP3K kedalam dokumen RTRW Provinsi diharapkan dapat
menjadi acuan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah darat dan laut skala Provinsi.
Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang juga mengalami reformasi pasca
Undang – Undang Cipta kerja, dimana nomenklatur Izin pemanfaatan ruang disesuaikan
menjadi ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). KKPR yang
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat merupakan bentuk resentralisasi Kembali urusan perizinan
pemanfaatan ruang, dimana sebelumnya ketentuan perizinan diatur menurut kewenangan
masing-masing oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Proyek Strategis Nasional (PSN)
dan juga perubahan kebijakan nasional strategis yang dijadikan pengecualian untuk
dilanjutkan pelaksanaan pemanfaatan ruangnya, walaupun belum termuat dalam rencana tata
ruang yang telah ditetapkan.
Petunjuk lebih teknis terkait urusan tata ruang selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang
menggantikan Peraturan Pemerintah perihal sama Nomor 15 Tahun 2010. Selanjutnya
Peraturan dimaksud menjadi dasar dari pedoman teknis pelaksanaan penataan ruang di
daerah yaitu turunan peraturan perundangan dari Undang – Undang Cipta Kerja dan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021. Pada akhirnya, Undang - Undang Cipta Keja
ditetapkan sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan regulasi yang mendukung
percepatan proses perizinan dan pengembangan wilayah guna mendorong pertumbuhan
ekonomi. UU Cipta Kerja menyentuh aspek penataan kawasan perkotaan dan pedesaan
dengan memberikan fleksibilitas dalam pengembangan wilayah, termasuk pemanfaatan
lahan di daerah perkotaan dan pedesaan. UU Cipta Kerja memberikan dorongan untuk
optimalisasi penggunaan lahan, terutama lahan yang dianggap produktif untuk
pengembangan ekonomi. Hal ini melibatkan upaya-upaya untuk menghindari suboptimalitas
pemanfaatan lahan. Meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan daya
saing, dampaknya telah menjadi subjek perdebatan, terutama dalam konteks hak-hak
lingkungan dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait tata ruang.
Gambar 1. Perubahan Undang - undang Cipta Kerja tentang Penataan Ruang
Upaya perubahan untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai
aspek pengaturan yang berkaitan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan
usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek
strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan
melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi
dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan dan kepastian hukum
untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke
dalam satu Undang-Undang secara komprehensif dengan menggunakan metode omnibus.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
merupakan pelaksanaan dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November
2021 yang memutuskan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan formil pembentukannya.
Dalam amar putusan dinyatakan bahwa pembentukan UU tentang Cipta Kerja bertentangan
dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu
2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”, kemudian Mahkamah Konstitusi juga
memerintahkan kepada pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk melakukan
perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan
apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara
permanen.Pemerintah Republik Indonesia telah memberlakukan Undang-undang (UU)
Nomor 6 tahun 2023 pada 31 Maret 2023. Adapun UU tersebut berisi tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
menjadi Undang-Undang.
Pada UU No. 6 Tahun 2023 lebih menekankan peran Pemerintah Pusat dalam upaya
resentralisasi penyelenggaran penataan ruang terutama dalam menyusun pedoman bidang
Penataan Ruang dan menetapkan standar pelayanan bidang Penataan Ruang seperti yang
dijelaskan dalam Pasal 8.Wewenang Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai
dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam
Penyelenggaraan Penataan Ruang. Undang-Undang ini menegaskan bahwa penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pemanfaatan Ruang Laut juga menjadi topik penting dalam Undang - Undang Nomor
6 Tahun 2023. Dalam rangka melaksanakan kegiatan pemanfaatan ruang laut, setiap individu
atau entitas yang beroperasi secara menetap di wilayah perairan dan yurisdiksi harus
memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaaatan Ruang (KKPR) Laut. KPPR Laut penting
untuk memastikan bahwa kegiatan tidak merusak lingkungan laut, mempertimbangkan
pelestarian sumber daya alam dan mematuhi regulasi yang berlaku. Pentingnya aturan ini
adalah untuk mengatur dan mengawasi pemanfaatan ruang laut agar benar, sesuai dengan
prinsip keberlanjutan dan pelestarian lingkungan laut. Hal ini sejalan dengan komitmen untuk
menjaga keberlanjutan ekosistem laut serta memanfaatkan potensi sumber daya laut dengan
bijak.

3.3. Perbedaan dan Persamaan dari UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja dengan
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang terkait Tata Ruang
Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Penataan Ruang dari segi tata
ruang, memiliki tujuan yang berbeda. Pada Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun
2023), dibentuk dengan tujuan utamanya mendorong percepatan dan perluasan investasi serta
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Undang-Undang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun
2007), dibentuk dengan tujuan memastikan pembangunan di Indonesia sesuai dengan
prinsip-prinsip berkelanjutan.
Selain dari segi tujuan, perbedaan lain yang mencolok dari kedua Undang-Undang
tersebut diantaranya dari segi perizinan, rencana rinci tata ruang, ketetapan pelestarian
lingkungan, sistem tata ruang, dan sentralisasi. Dari segi perizinan, izin pemanfaatan ruang
yang ada dalam Undang-Undang Penataan Ruang disederhanakan di Undang-Undang Cipta
Kerja menjadi ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Kemudian dari
segi rencana rinci tata ruang, dalam Undang-Undang Penataan Ruang yang sebelumnya
terdiri atas tiga rencana, namun dalam dalam Undang-Undang Cipta Kerja disederhanakan
menjadi dua rencana rinci tata ruang. Selanjutnya pada ketetapan pelestarian lingkungan,
dimana dalam Undang-Undang Penataan Ruang, ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30
(tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai, sedangkan dalam Undang-Undang Cipta
Kerja, luas Kawasan hutan tidak didasarkan pada luasan aliran sungai. Dari segi sistem tata
ruang, sistem tata ruang dalam Undang-Undang Penataan Ruang disederhanakan dalam
Undang-Undang Cipta Kerja. Dimana dalam Undang-Undang Penataan Ruang, rencana tata
ruang kawasan strategis dapat dibentuk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Namun pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, yang berwenang mendesain
kawasan strategis hanyalah pemerintah pusat. Terakhir sentralisasi, dalam Undang-Undang
Cipta Kerja diciptakan/dibuat sentralisasi penataan ruang. Dimana, selain persetujuan
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah
juga dapat mengambil alih penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota. Dengan catatan provinsi dan kabupaten/kota terlambat menetapkan rencana
tata ruang mereka dalam waktu yang sudah ditentukan (UU No. 6 Tahun 2023 & UU No. 26
Tahun 2007).
Selain perbedaan terdapat beberapa persamaan antara Undang-Undang Cipta Kerja
dengan Undang-Undang Penataan Ruang. Adapun beberapa diantaranya yaitu definisi tata
ruang dan hierarki rencana umum tata ruang. Dari segi definisi, Undang-Undang Cipta Kerja
dan Undang-Undang Penataan Ruang sama-sama mendefinisikan tata ruang sebagai wujud
struktur ruang dan pola ruang. Kemudian dari segi hierarki rencana umum tata ruang,
dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Penataan Ruang, rencana umum
tata ruang sama-sama terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata
Ruang Wilayah provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dan Rencana Tata
Ruang Wilayah kota (UU No. 6 Tahun 2023 & UU No. 26 Tahun 2007).

3.4 Perubahan-Perubahan (pengurangan atau penambahan) dalam UU No. 6 Tahun


2023 Tentang Cipta Kerja terkait Penataan Ruang dengan UU No. 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang terkait Tata Ruang
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan UU No.6 Tahun 2023 Tentang
Cipta Kerja adanya Perubahan pengurangan dan penambahan pasal maupun ayat dalam UU
No.6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 17 ada
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2OO7 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO7 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 47251 diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1 ayat 7
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 1 ayat 8
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.
Pasal 1 ayat 9
Pengaturan Penataan Ruang adalah asya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam Penataan Ruang.
Pasal 1 ayat 10
Pembinaan Penataan Ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja Penataan Ruang
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Pasal 1 ayat 31
Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan aspek fungsi
ekologis, resapan air, ekonomi, sosial, budaya, dan estetika.
Pasal 1 ayat 32
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara rencana kegiatan
Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang.
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6 ayat 3
Penataan Ruang Wilayah secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (21)
dilakukan dengan cara Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dijadikan acuan dalam
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dan kabupaten/kota, dan Rencana
Tata Ruang Wilayah provinsi menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Tata Ruang
kabupaten/kota.
Pasal 6 ayat 4
Penataan Ruang Wilayah secara komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan Penataan Ruang Wilayah nasional, Penataan Ruang Wilayah provinsi, dan
Penataan Ruang Wilayah kabupaten/kota yang disusun saling melengkapi satu sama lain
dan bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan Rencana Tata Ruang.
Pasal 6 ayat 5
Penataan Ruang Wilayah nasional meliputi Ruang Wilayah yurisdiksi dan Wilayah
kedaulatan nasional yang mencakup Ruang darat, Ruang laut, dan Ruang udara, termasuk
Ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
Pasal 6 ayat 6
Penataan Ruang Wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi Ruang darat, Ruang laut,
dan Ruang udara, termasuk Ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
Pasal 6 ayat 7
Pengelolaan sumber daya Ruang laut dan Ruang udara diatur dengan Undang-Undang
tersendiri.
Pasal 6 ayat 8
Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara Pola Ruang Rencana Tata Ruang dan Kawasan
hutan, izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian ketidaksesuaian tersebut diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
3. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8 ayat 1
Wewenang Pemerintah Pusat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang meliputi:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Pelaksanaan Penataan Ruang
Wilayah nasional, provinsi, dan kabupatenf kota, serta terhadap Pelaksanaan
Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional.
b. Pemberian bantuan teknis bagi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi,
Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota, dan rencana detail Tata Ruang.
c. Pembinaan teknis dalam kegiatan pen5rusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
provinsi, Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota, dan rencana detail Tata
Ruang;
d. Pelaksanaan Penataan Ruang Wilayah nasional;
e. Pelaksanaan Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional; dan
f. kerja sama Penataan Ruang antarnegara dan memfasilitasi kerja sama Penataan
Ruang antarprovinsi.
Pasal 8 ayat 2
Wewenang Pemerintah Pusat dalam Pelaksanaan Penataan Ruang nasional meliputi:
a. Perencanaan Tata Ruang Wilayah nasional;
b. Pemanfaatan Ruang Wilayah nasional; dan
c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah nasional.
Pasal 8 ayat 3
Wewenang Pemerintah Pusat dalam Pelaksanaan Penataan Ruang Kawasan Strategis
Nasional meliputi:
a. penetapan Kawasan Strategis Nasional;
b. Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional;
c. Pemanfaatan Ruang Kawasan Strategis Nasional; dan
d. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Pasal 8 ayat 4
(Dihapuskan/ditiadakan dan digantikan ke ayat 5 dengan penambahan 1 ayat dibagian
ayat ke 6)
Pasal 8 ayat 5
Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (21, ayat (3),
dan ayat (4), Pemerintah Pusat:
a. Menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1. Rencana umum dan rencana rinci Tata Ruang dalam rangka Pelaksanaan Penataan
Ruang Wilayah nasional; dan
2. Pedoman bidang Penataan Ruang;
b. menetapkan standar pelayanan bidang Penataan Ruang.
Pasal 8 ayat 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan Penyelenggaraan Penataan Ruang diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9 ayat 1
Penyelenggaraan Penataan Ruang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 9 ayat 2
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab Penyelenggaraan Penataan
Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
5. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10 ayat 1
Wewenang Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norna, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam Penyelenggaraan
Penataan Ruang meliputi:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Pelaksanaan Penataan Ruang
Wilayah provinsi, dan kabupaten/ kota;
b. Pelaksanaan Penataan Ruang Wilayah provinsi; dan
c. kerja sama Penataan Ruang antarprovinsi dan memfasilitasi kerja sama Penataan
Ruang antarkabupaten/kota.
6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11 ayat 1
Wewenang Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam
Penyelenggaraan Penataan Ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Pelaksanaan Penataan Ruang
Wilayah kabupaten/kota;
b. Pelaksanaan Penataan Ruang Wilayah kabupaten/kota; dan
c. kerja sama Penataan Ruang antarkabupaten/kota.
7. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14 ayat 3
Rencana rinci Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Rencana Tata Ruang pulau/kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis
Nasional; dan
b. Rencana detail Tata Ruang kabupaten dan rencana detail Tata Ruang kota.
Pasal 14 ayat 6
(Dihapuskan/ditiadakan dan digantikan ke ayat 7 dengan total ayat sebelumnya ”7 ayat”
menjadi “6 ayat”)
Pasal 14 ayat 6
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana umum Tata Ruang dan
rencana rinci Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
8. Ketentuan Pasal 14A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A ayat 1
Pelaksanaan penJrusunan Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dilakukan dengan memperhatikan:
a. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan kajian lingkungan hidup
strategis
b. Kedetailan informasi Tata Ruang yang akan disajikan serta kesesuaian ketelitian peta
Rencana Tata Ruang.
Pasal 14A ayat 2
Penyusunan kajian lingkungan hidup strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang.
Pasal 14A ayat 3
Pemenuhan kesesuaian ketelitian peta Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan melalui penyusunan peta Rencana Tata Ruang di atas peta
dasar.
Pasal 14A ayat 4
Dalam hal peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, penyusunan
Rencana Tata Ruang dilakukan dengan menggunakan peta dasar lainnya.
9. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17 ayat 1
Muatan Rencana Tata Ruang mencakup:
a. rencana Struktur Ruang; dan
b. rencana Pola Ruang.
Pasal 17 ayat 2
Rencana Struktur Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi rencana
sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana.
Pasal 17 ayat 3
Rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi peruntukan
Kawasan Lindung dan Kawasan Budi Daya.
Pasal 17 ayat 5
Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (41, pada
Rencana Tata Ruang Wilayah ditetapkan luas Kawasan hutan dan penutupan hutan untuk
setiap pulau, daerah aliran sungai, provinsi, kabupaten/kota, berdasarkan kondisi
biogeofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.
10. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18 ayat 1
Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan rencana detail
Tata Ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
Pasal 18 ayat 2
Sebelum diajukan persetujuan substansi kepada Pemerintah Pusat, rencana detail Tata
Ruang kabupaten/kota yang dituangkan dalam rancangan peraturan kepala daerah
kabupaten/kota terlebih dahulu dilakukan konsultasi publik termasuk dengan dewan
perwakilan ralryat daerah.
Pasal 18 ayat 3
Bupati/wali kota wajib menetapkan rancangan peraturan kepala daerah kabupaten/kota
tentang rencana detail Tata Ruang paling lama 1 (satu) bulan setelah mendapat
persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
Pasal 18 ayat 4
Dalam hal bupati/wali kota tidak menetapkan rencana detail Tata Ruang setelah jangka
waktu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3), rencana detail Tata Ruang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 18 ayat 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan rencana detail Tata Ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20 ayat 1
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
a. Tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional;
b. Rencana Struktur Ruang Wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional
yang terkait dengan Kawasan Perdesaan dalam Wilayah pelayanannya dan sistem
jaringan prasarana utama;
c. Rencana Pola Ruang Wilayah nasional yang meliputi Kawasan Lindung nasional dan
Kawasan Budi Daya yang memiliki nilai strategis nasional;
d. Penetapan Kawasan Strategis Nasional;
e. Arahan Pemanfaatan Ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah 5
(lima) tahunan; dan
f. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah nasional yang berisi indikasi
arahan zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang,
arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Pasal 20 ayat 5
Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam
periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas Wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
12. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22 ayat 2
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi harus memperhatikan:
a. Perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi Penataan
Ruang provinsi;
b. Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi;
c. Keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten I kota;
d. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. Rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi yang berbatasan; dan
g. Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota
13. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23 ayat 1
Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi memuat:
a. Tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang Wilayah provinsi;
b. Rencana Struktur Ruang Wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam
Wilayahnya yang berkaitan dengan Kawasan Perdesaan dalam Wilayah
pelayanannya dan sistem jaringan prasarana Wilayah provinsi;
c. Rencana Pola Ruang Wilayah provinsi yang meliputi Kawasan Lindung dan Kawasan
Budi Daya yang memiliki nilai strategis provinsi;
d. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama
jangka menengah 5 (lima) tahunan; dan
e. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah provinsi yang berisi indikasi
arahan zonasi sistem provinsi, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang,
arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Pasal 23 ayat 2
Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi menjadi pedoman untuk:
a. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam Wilayah provinsi;
d. Pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah
e. Kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor;
e. Penetapan lokasi dan fungsi Ruang untuk investasi; dan
f. Penataan Ruang Wilayah kabupaten/kota.
Pasal 23 ayat 5
Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dapat dilakukan lebih dari 1
(satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis
berupa:
a. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan ;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas Wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
Pasal 23 ayat 7
Peraturan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib ditetapkan paling
lama 2 (dua) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
Pasal 23 ayat 8
Dalam hal peraturan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (71 belum
ditetapkan, gubernur menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi paling lama 3
(tiga) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
Pasal 23 ayat 9
Dalam hal Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
belum ditetapkan oleh gubernur, Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan
substansi dari Pemerintah Pusat.
Pasal 24
(Dihapus)
14. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25 ayat 2
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten harus memperhatikan:
a. Perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi Penataan
Ruang kabupaten;
b. Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kabupaten;
c. Keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten;
d. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. Rencana pembangunan jangka panjang daerah; dan
f. Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota yang berbatasan
15. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26 ayat 1
Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten memuat:
a. Tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang Wilayah kabupaten;
b. Rencana Struktur Ruang Wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di
Wilayahnya yang terkait dengan Kawasan Perdesaan dan sistem jaringan prasarana
Wilayah kabupaten;
c. Rencana Pola Ruang Wilayah kabupaten yang meliputi Kawasan Lindung kabupaten
dan Kawasan Budi Daya kabupaten;
d. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama
jangka menengah 5 (lima) tahunan; dan
e. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah kabupaten yang berisi
ketentuan umum zonasi, ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang,
ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Pasal 26 ayat 2
Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Wilayah kabupaten;
d. Pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan
e. Penetapan lokasi dan fungsi Ruang untuk investasi.
Pasal 26 ayat 3
Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten menjadi dasar untuk Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang dan administrasi pertanahan.
Pasal 26 ayat 6
Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dapat dilakukan lebih dari
1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis
berupa:
a. Bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan ;
b. Perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
c. Perubahan batas Wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
d. Perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
Pasal 26 ayat 8
Peraturan daerah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (71 wajib ditetapkan paling
lama 2 (dua) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
Pasal 26 ayat 9
Dalam hal peraturan daerah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (8) belum
ditetapkan, bupati menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten paling lama 3
(tiga) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
Pasal 26 ayat 10
Dalam hal Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
belum ditetapkan oleh bupati, Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat paling lama 4 (empat) bulan setelah mendapat persetujuan substansi
dari Pemerintah Pusat.
Pasal 27
(Dihapus)
16. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A ayat 1
Dalam hal terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) huruf d, Pasal 23 ayat (5) hurrrf d, dan Pasal 26 ayat
(6) huruf d belum dimuat dalam Rencana Tata Ruang dan/atau rencana zonasi,
Pemanfaatan Ruang tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 34A ayat 2
Pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan setelah mendapat rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dari
Pemerintah Pusat.
17. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Pengendalian Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui:
a. Ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
b. Pemberian insentif dan disinsentif; dan
c. Pengenaan sanksi.
18. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37 ayat 1
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 huruf a diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 37 ayat 2
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat
Pasal 37 ayat 3
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dikeluarkan dan/atau
diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.
Pasal 37 ayat 4
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diperoleh melalui prosedur
yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah,
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat
Pasal 37 ayat 5
Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan persetujuan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4l), dapat
dimintakan ganti kerugian yang layak kepada instansi pemberi persetujuan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
Pasal 37 ayat 6
Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan Rencana
Tata Ruang Wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan memberikan ganti
kerugian yang layak.
Pasal 37 ayat 7
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang dilarang menerbitkan persetujuan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
Pasal 37 ayat 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan persetujuan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang dan tata cara pemberian ganti kerugian yang layak sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
19. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(Dihapus ayat 4 dan ayat 5)
20. Pasal 49, 50,51,52,53,54 dihapus
21. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60
Dalam Penataan Ruang, setiap Orang berhak untuk:
a. Mengetahui Rencana Tata Ruang;
b. Menikmati pertambahan nilai Ruang sebagai akibat Penataan Ruang;
c. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang;
d. Mengajukan tuntutan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak
sesuai dengan Rencana Tata Ruang di Wilayahnya;
e. Mengajukan tuntutan pembatalan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata
Ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
dan/atau kepada pelaksana kegiatan Pemanfaatan Ruang apabila kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang menimbulkan kerugian.
22. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
Dalam Pemanfaatan Ruang, setiap Orang wajib:
a. Menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan;
b. Memanfaatkan Ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang;
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang; dan
d. Memberikan akses terhadap Kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum.
23. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 62
Setiap Orang yang tidak menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal6l huruf ayang mengakibatkan perubahan fungsi Ruang dikenai
sanksi administratif
24. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65 ayat 3
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas orang
perseorangan dan pelaku usaha.
Perubahan dalam UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja terkait Penataan Ruang
pada pasal 1 ayat 7 perubahan yang melahirkan Sentralisasi keruangan dalam persetujuan
kesesuaian kegiatan Pemanfaatan Ruang Pemerintah Pusat, kemudian tiap kepala daerah
menjadi rincian tanggung jawab dalam pelaksanaan sebagai pemimpim daerah. Perubahan
pasal 9 ayat 1 dari “Seorang Menteri” diganti menjadi “Pemerintah Pusat”. Perubahan pada
pasal 10 yakni dihapuskan 6 ayat dan hanya mempertahankan ayat 1 yang menjadi
wewenang dalam pelaksanaan sesuai dengan norma, standar dan prosedur. Perubahan
pada pasal 1 ayat 32 ini terkait aspek Perizinan dari “Izin pemanfaatan ruang adalah izin
yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan” diganti menjadi “Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR)
adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata
Ruang”.
Perubahan pada pasal 6 ayat 3 ini dalam sistem tata ruang dari “Penataan ruang
wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang
mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai
satu kesatuan” diganti menjadi “Penataan Ruang Wilayah secara berjenjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (21) dilakukan dengan cara Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
dijadikan acuan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dan
kabupaten/kota, dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi menjadi acuan bagi penyusunan
Rencana Tata Ruang kabupaten/kota”. Pada pasal 6 ayat 4 ini dari “Penataan Ruang wilayah
provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” diganti
menjadi “Penataan Ruang Wilayah secara komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) merupakan Penataan Ruang Wilayah nasional, Penataan Ruang Wilayah provinsi, dan
Penataan Ruang Wilayah kabupaten/kota yang disusun saling melengkapi satu sama lain dan
bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan Rencana Tata Ruang”.
Perubahan pada ayat 5 berupa peninjauan kembali dari Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional menjadi Rencana Tata Ruang dengan mempertimbangkan sebuah perubahan
lingkungan/melestarikan lingkungan yang terjadi selama 5 tahun terakhir. Perubahan lebih
dijelaskan terkait penetapan isi Rencana Tata Ruang Wilayah dalam UU No. 6 Tahun 2023
yang ditetapkan luas kawasan hutan. Perubahan pada Pasal 23 ayat 1 dihapuskan/dihilangkan
satu huruf yakni huruf d yang berbunyi “Penetapan kawasan stategis Provinsi” . dengan
perubahan pada huruf e dari “Arahan Perijinan“ diganti menjadi “Arahan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif”. Perubahan sebuah pertimbangan aspek
fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial, budaya, dan estetika.
Perubahan pada penambahan 3 ayat terakhir yakni pada ayat 7 tentang Penetapan
Rencana Rinci Tata Ruang, ayat 8 dan ayat 9. Penghapusan pada huruf g yang berbunyi
“Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten”. Perubahan Pada pasal 26 ayat 6 dibuat
perpoint huruf dengan menambahkan 3 ayat yakni ayat 8, ayat 9 dan ayat 10 untuk
melengkapi isi pasal 26. Pengendalian pemanfaatan ruang mengikuti ketentuan kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang sesuai ketentuan yang baru ditetapkan. Perubahan pada pasal 60
dihapuskan huruf d yang berbunyi “Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang
terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya”.
3.5. Dampak Undang-undang Cipta Kerja Terhadap Tata Ruang di Indonesia
Undang-undang yang dibuat serentak dalam model Omnibus Law ini telah mengubah
79 undang-undang yang ada. Di antara undang-undang yang diubah adalah yang mengatur
Penataan Ruang (UU 26/2007) (Fahmi Amhar, Mulyanto Darmawan, 2021). Perubahan
beberapa pasal pada Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang penataaan ruang tersebut
berbanding lurus dengan dampak yang terjadi di masyarakat akibat adanya perubahan
tersebut;
1. Terciptanya Sentralistik Kebijakan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dirasakan sentralistik.
Sentralisasi tersebut dapat dilihat dari Undang-undang Cipta Kerja yang menyatakan
bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah pusat.
Kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota yang sebelumnya
berwenang terhadap penataan ruang wilayah, penataan ruang kawasan strategis dan
penataan ruang antar kabupaten/kota atau antar provinsi serta kewenangan untuk
menetapkan, merencanakan, memanfaatkan hingga untuk mengendalikan kawasan
strategis kini menjadi hanya meliputi 3 (tiga) hal yakni: 1) Melakukan pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan terhadap penataan ruang wilayah provinsi, kabupaten/kota;
2) Melaksanakan penataan ruang wilayah provinsi; 3) Kerja sama penataan ruang antar
provinsi dan fasilitasi kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota dengan
menyesuaikan terhadap Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditentukan
oleh pemerintah pusat. Selain itu juga pemberian persetujuan kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang dinyatakan bahwa apabila pemerintah daerah belum menyusun dan
menyediakan (RDTR) Rencana Detail Tata Ruang, pelaku usaha mengajukan
permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan
usahanya kepada pemerintah pusat melalui sistem perizinan berusaha secara elektronik.
Selanjutnya, pemerintah pusat akan memberikan persetujuan dimaksud sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan, Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/kota yang tersusun secara hirarkis dan
komplementer.
2. Terjadinya Ketidaksesuaian Pemanfaatan Ruang
Pada Undang-udang Cipta Kerja juga dijelaskan bahwa pemanfaatan ruang bisa
dilakukan tanpa memperhatikan rencana tata ruang namun dengan catatan yaitu
apabila dalam peninjauan kembali rencana tata ruang yang dapat dilakukan lebih dari satu
kali dalam periode lima tahun terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat
strategis dan kegiatan pemanfaatan ruang yang dilakukan setelah mendapat rekomendasi
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dari pemerintah pusat. Adanya pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang tersebut dapat menyebabkan
ketidaksesuaian pemanfaatan ruang. Artinya apabila pemerintah pusat memiliki kebijakan
nasional bersifat strategis yang belum diatur dalam rencana tata ruang, maka kebijakan
nasional strategis tersebut tetap dilaksanakan setelah mendapatkan rekomendasi dari
pemerintah pusat. Di sini terlihat bahwa prinsip penataan ruang disimpangi di mana
pemanfaatan ruang semestinya berdasarkan pada perencanaan yang telah ditetapkan. Hal
ini karena “pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mewujudkan struktur dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang”.Oleh karena itu, apabila terdapat perubahan
kebijakan nasional yang bersifat strategis yang kemudian berimplikasi pada pemanfaatan
ruang di daerah, semestinya Rancangan Tata Ruang Wilayah atau Rencana Detail Tata
Ruang di daerah ditinjau dan diubah terlebih agar tindakan pemerintah dalam penataan
ruang dapat dikatakan taat asas dan taat hukum. Jika tidak, maka RTRW dan/atau RDTR
menjadi tidak berguna ketika dihadapkan dengan kebijakan nasional bersifat strategis.
Selain itu check and balances antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam
konteks penataan ruang menjadi hilang dimana ketika pemerintah pusat menghendaki
sesuatu maka pemerintah daerah tidak bisa menolak dengan alasan apapun juga
3. Memangkas Partisipasi Masyarakat
Peran serta masyarakat dalam Undang-undang Cipta Kerja yaitu meningkatkan
partisipasi yang bermakna (meaningful participation) yang mencakup 3 (tiga) komponen
yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan
pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau
jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explainedl. Untuk itu Pemerintah Pusat
telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi UndangUndang Cipta Kerja
(Satgas UndangUndang Cipta Kerja) yang memiliki tungsi untuk melaksanakan proses
sosialisasi dari Undang-UndangCipta Kerja. Satgas Undang-Llndang Cipta Kerja bersama
Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan telah
melaksanakan proses sosialisasi di berbagai wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
Salah satu peran serta masyarakat secara langsung dalam fungsi kontrol dalam penataan
ruang dapat ditemukan dalam Pasal 38 UUPPLH yang menetapkan bahwa selain
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 2, izin lingkungan dapat dibatalkan
melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Dalam ketentuan pasal tersebut, telah
ditentukan bahwa izin lingkungan untuk pemanfaatan ruang dapat dibatalkan melalui
keputusan pengadilan tata usaha negara, tetapi dalam Pasal 22 angka 16 UU Cipta Kerja
ketentuan tersebut dihapus sehingga bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh izin
lingkungan yang dikeluarkan tidak lagi dapat menggugat izin tersebut melalui proses
peradilan karena telah dihapuskan. Selain itu, dengan hilangnya Izin Pemanfaatan
Ruang dalam UUPR yang diganti oleh UU Cipta Kerja menjadi Persetujuan Kesesuaian
Kegiatan Pemanfaatan Ruang, maka yang sebelumnya izin pemanfaatan ruang merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat menjadi objek gugatan di Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN), kemudian akibat pergantian tersebut menyebabkan akses
masyarakat dihilangkan dan itu merugikan bagi masyarakat. Karena pada dasarnya
perencanaan pembangunan yang dilakukan harus mempertimbangkan karakteristik
masyarakat demi menghasilkan perencanaan yang tepat sasaran dan bermanfaat untuk
masyarakat.

3.6. Studi Kasus Perencanaan Strategis Nasional (PSN) Ibu Kota Negara (IKN)

Gambar 2. Tampilan Desain Ibu Kota Negara (IKN)


Perencanaan Strategis Nasional (PSN) Ibu Kota Negara (IKN) Baru adalah salah satu
proyek pembangunan nasional yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang dimana dalam
prosesnya dimudahkan dengan disahkannya undang-undang cipta kerja tersebut. Ibu Kota
Negara (IKN) Indonesia sejak resmi disetujuinya Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN
menjadi UU oleh DPR RI pada Sidang Paripurna DPR RI, 18 Januari 2022 lalu proyek
pembangunan ini terus menuai pro dan kontra dari kalangan masyarakat. Proses pengkajian
yang dirasa terlalu terburu-buru dan minimnya konsultasi publik disaat Negara masih
perlu fokus pada pemulihan pasca pandemic covid-19 membuat banyak masyarakat masih
sulit untuk menerima proyek tersebut. Dalam perspektif penataan ruang Perencanaan
Strategis Nasional pembangunan Ibu Kota Negara Baru di Kalimantan ini akan berdampak
pada peningkatan jumlah kepadatan penduduk yang tinggi sehingga akan berdampak pada
perubahan pola penggunaan lahan yaitu meningkatkanya konversi lahan besar-besaran yang
menyebabkan rusaknya tata guna lahan dan mengurangi ketersediaan lahan pertanian di
Kalimantan. Selain itu juga persoalan lingkungan akan turut berdampak akibat adanya
pembangunan Ibu Kota Negara baru tersebut seperti penurunan kualitas udara dan air di
Kalimantan. Selain itu juga dengan memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke
Kalimantan dirasa perlu pengkajian lebih dalam utamanya dalam hal kesesuain dalam aspek
sosial dan budaya masyarakat di Kalimantan. Namun Dengan alasan percepatan
perekonomian dan didukung dengan undang-undang cipta kerja mengenai perencanaan
strategis nasional membuat Perencanaan Strategis Nasional (PSN) Ibu Kota Negara (IKN)
sulit untuk dihentikan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Penataan Ruang memiliki tujuan
yang berbeda. UU Cipta Kerja bertujuan mendorong percepatan dan perluasan investasi serta
pertumbuhan ekonomi, sedangkan UU Penataan Ruang bertujuan memastikan pembangunan
di Indonesia berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Dari segi perizinan, izin
pemanfaatan ruang yang ada dalam UU Penataan Ruang disederhanakan di UU Ciptaker
menjadi ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Kemudian dari segi
rencana rinci tata ruang, dalam UU Penataan Ruang yang sebelumnya terdiri atas tiga
rencana, namun dalam dalam UU Ciptaker disederhanakan menjadi dua rencana rinci tata
ruang. Selanjutnya pada ketetapan pelestarian lingkungan, UU Penataan Ruang menetapkan
kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai, sedangkan
UU Ciptaker menetapkan luas kawasan hutan tidak didasarkan pada luasan aliran sungai.
Dari segi sistem tata ruang, sistem tata ruang dalam UU Penataan Ruang disederhanakan
dalam UU Ciptaker. Dalam UU Penataan Ruang, rencana tata ruang kawasan strategis dapat
dibentuk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun pasca disahkannya UU
Ciptaker, yang berwenang mendesain kawasan strategis hanyalah pemerintah pusat. Terakhir
sentralisasi, dalam UU Ciptaker diciptakan/dibuat sentralisasi penataan ruang. Selain
persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah juga dapat mengambil alih penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota. Dengan catatan provinsi dan kabupaten/kota terlambat menetapkan rencana
tata ruang mereka dalam waktu yang sudah ditentukan. Dampak dari UU Cipta Kerja
terhadap tata ruang di Indonesia adalah menciptakan sentralisasi penataan ruang di
pemerintah pusat, adanya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang, dan adanya pemangkasan
partisipasi masyarakat.

4.2. Saran

Dampak negatif UU Cipta Kerja terhadap tata ruang di Indonesia dapat diatasi dengan
beberapa hal, seperti meningkatkan peran serta pemerintah daerah dan masyarakat dalam
proses perencanaan tata ruang. Selain itu, penegakan hukum terhadap pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dapat diperkuat dengan memberi sanksi dan
meningkatkan pengawasan. Selain itu, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai
pentingnya tata ruang dapat ditingkatkan. Selanjutnya, diperlukan kajian lebih lanjut
mengenai dampak dari perubahan UU Cipta Kerja terhadap tata ruang di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Allmendinger, P. 2001. Planning in the Post Modern Times. London: Routledge.


Allmendinger, P. (2002) Planning Theory. New York: Palgrave.
Arsawan IGY, Yusa IG. 2022. Dampak Perubahan Pengaturan Penataan Ruang Pasca
Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Law Jurnal. Nationally Accredited Journal,
Sinta 5. Decree No. 105/E/KPT/2022
Fahmi Amhar & Mulyanto Darmawan. 2021. Perkembangan Penataan Ruang setelah
UU “Omnibuslaw” Cipta Kerja.Badan Informasi Geospasial.
Khaerani R, Sitorus SR, Rusdiana O. 2018. Analisis penyimpangan penggunaan lahan
berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sumedang. Jurnal Tataloka. 20(4) :
399 - 409.
Mayasari I. 2020. Kebijakan reformasi regulasi melalui implementasi omnibus law di
Indonesia. Jurnal Rectsvinding. 9(1) : 1 - 15.
Pambudi AS, Sitorus SRP. 2021. Omnimbus law dan penyusunan rencana tata ruang :
konsepsi, pelaksanaan, dan permasalahannya di Indonesia. Jurnal Ilmiah Wahana
Bhakti Praja. 11(2) : 198 - 216.
UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja.
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang terkait Tata Ruang.

Anda mungkin juga menyukai