Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KONSEP IDEAL PENATAAN RUANG MENURUT UNDANG-


UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 DAN UNDANG-UNDANG
CIPTA KERJA

Disusun Oleh :

Andra Wina Br Panjaitan 2009136007

Anggie Andika Putri 2009135044

Rizqy Aredo 2009125068

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2023
KATA PENGANTAR

Tiada kalimat yang pantas penulis ucapkan kecuali rasa syukur kepada Allah swt.
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan
makalah tentang “Konsep Ideal Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 Dan Undang-Undang Cipta Kerja”. Sebagai penyusun, kami menyadari
bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa
penyampaian dalam makalah ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami
berharap semoga makalah ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.

2 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................................3
B. Rumusan Masalah......................................................................................5
C. Tujuan .......................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Penataan Ruang...........................................................................................7
B. Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007...........9

C. Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Cipta Kerja.............................12

D. Konsep Ideal Penataan Ruang....................................................................14


BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses penentuan penggunaan lahan masyarakat berdasarkan
analisis dan keseimbangan tuntutan yang bersaing telah dikenal
sebagai perencanaan tata ruang dalam beberapa tahun terakhir. 1
Dinamika penggunaan lahan dipengaruhi oleh pertumbuhan
penduduk, aktivitasnya, dan keterbatasan lahan.2 Perubahan
penggunaan lahan merupakan fenomena umum perkotaan yang
disebabkan oleh persaingan antar penggunaan lahan. Masalahnya di
sini adalah bahwa modifikasi ini seringkali menyimpang dari tata
ruang yang telah ditetapkan, yang memiliki efek merugikan.3
Tekanan dari perkembangan pasar, mekanisme kontrol yang tidak
jelas, dan lemahnya penegakan hukum menjadi faktor penyebab
penyimpangan/ketidaksesuaian dengan pelaksanaan rencana tata
ruang.4 Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap rencana tata ruang
dan kurangnya sosialisasi terkait keduanya berdampak pada
penyimpangan tata ruang yang memang muncul.5 Berdasarkan hal-hal
tersebut, dapat dipahami bahwa pelanggaran penataan ruang
disebabkan antara lain oleh (1) potensi konflik antar wilayah, (2)
potensi konflik antar sektor, dan (3) potensi konflik antara pemerintah

1
Segura, S., & Pedregal, B. (2017). Monitoring and Evaluation Framework for Spatial Plans: A
Spanish Case Study. Sustainability, 9(10), hlm. 1.
2
Putra, D. R., & Pradoto, W. (2016). Pola dan Faktor Perkembangan Pemanfaatan Lahan di
Kecamatan Maranggen, Kabupaten Demak. Jurnal Pengembangan Kota, 4(1), hlm. 66.
3
Kustiwan, I., & Anugrahani, M. (2015). Perubahan Pemanfaatan Lahan Perumahan ke
Perkantoran: Implikasinya Terhadap Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota (Studi Kasus:
Wlayah Pengembangan Cibeunying, Kota Bandung). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota,
11(1), hlm. 87.
4
Rosdiana, Y. (2018). Analisis Yuridis Penyelenggaraan Izin Pemanfaatan Ruang (Study Pada
Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Izin Pemanfaatan Ruang Kabupaten Labuhan batu). De
Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, 3(1), hlm. 81.
5
Eko, T., & Rahayu, S. (2012). Perubahan Penggunaan Lahan dan Kesesuaiannya Terhadap
RDTR di Wilayah Peri-Urban Studi Kasus: Kecamatan Mlati. Jurnal Pembangunan Wilayah dan
Kota, 8(4), hlm. 330.

3
dan masyarakat.6 Berdasarkan kajian di Kabupaten Tanah Datar,
43,7% pembangunan kawasan permukiman di kabupaten tersebut
tidak mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Oleh karena
itu, diperlukan kebijakan mengenai konsistensi pelaksanaan tata ruang
dan respon penegakan hukum terhadap pelanggaran pemanfaatan
ruang.7
Penegakan hukum harus terus berjalan untuk menunjukkan bahwa
peraturan lebih dari sekedar kebijakan dengan implementasi yang
tidak konsisten dan untuk mengurangi konsekuensi dari pelanggaran
itu sendiri.8 Pengertian umum penegakan hukum adalah perbuatan
menggunakan perangkat hukum tertentu untuk melaksanakan sanksi
hukum guna mengamankan tatanan hukum yang telah ditetapkan. 9
Terdapat 5 (lima) faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
yakni: (1) faktor hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan),
(2) faktor penegak hukum, (3) faktor sarana, (4) faktor masyarakat,
dan (5) faktor kebudayaan.10 Jika persoalannya adalah salah satu
undang-undang, maka pelaksanaan rencana tata ruang untuk izin yang
dikeluarkan pemerintah tunduk pada penegakan hukum administrasi,
yang meliputi pengawasan dan pengenaan sanksi.11
Oleh karena itu, kurangnya pengawasan dan penerapan hukuman
(controlling) mengungkapkan kelemahan penegakan hukum.
Pelanggaran tata ruang terus terjadi baik di tingkat nasional maupun
daerah akibat lemahnya penegakan hukum.12 Pelaksanaan
6
Jazuli, A. (2017). Penegakan Hukum Penataan Ruang dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan
Berkelanjutan. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 6(2), hlm. 263.
7
Umar, I., Dewata, I., & Barlian, E. (2019). Konsistensi Rencana Tata Ruang Permukiman dan
Arahan Kebijakan Pembangunan di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Journal of
Natural Resources and Environmental Management, 9(2), hlm. 277.
8
Sodikin, S. (2017). Eksistensi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Penegakan Hukum
Terhadap Pelanggaran Tata Ruang. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional,
6(2), 283-300.
9
Junef, M. (2021). Penegakkan Hukum Dalam Rangka Penataan Ruang Guna Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Penelitian Hukum, 17(4), 373-390.
10
Soekanto, S. (2004). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
11
Dianto, R., & Cahyaningtyas, I. (2021). Administrative Law Enforcement against Urban Spatial
Planning Based onthe Spatial Planning Law. International Journal of Social Science and Human
Research, 04(05), 1174-1179
12
Jazuli, A. (2017). Penegakan Hukum Penataan Ruang dalam Rangka Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 6(2),

4
pembangunan baik di pusat maupun di daerah harus sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan, sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Terdapat
sumber daya manusia dengan berbagai aktivitas pemanfaatan ruang
yang berbeda di dalam subsistem ini.13 Namun, penataan ruang yang
telah ditetapkan seringkali tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini
antara lain disebabkan oleh tidak adanya sistem politik pembangunan
yang mampu mengakomodir penataan ruang sebagaimana mestinya
atau sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Oleh karena itu, saat membahas
masalah penataan ruang, mereka harus diatur dalam kerangka
konseptual yang mempertimbangkan bagaimana konsep penataan
ruang yang ideal harus dipraktikkan sesuai dengan prinsip asasnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penataan ruang ?

2. Bagaimana penataan ruang dalam Undang-Undang No. 26


Tahun 2007 ?

3. Bagaimana penataan ruang dalam Undang-Undang Cipta


Kerja ?
4. Bagaimana konsep penataan ruang yang ideal ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi penataan ruang

2. Untuk mengetahui penataan ruang dalam Undang-Undang


No. 26 Tahun 2007

3. Untuk mengetahui penataan ruang dalam Undang-Undang


Cipta Kerja
4. Untuk mengetahui konsep penataan ruang yang ideal

263-282.
13
Eko Budiardjo, 2011. Penataan Ruang Pembangunan Perkotaan. Bandung: PT. Alumni (Hlm.
43-44).

5
BAB II
PEMBAHASAN

6
A. Penataan Ruang
Menurut istilah geografi umum, yang dimaksud dengan ruang (space)
adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera, tempat
hidup tumbuh tumbuhan, hewan, dan manusia. Menurut geografi regional,
ruang dapat merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu
batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan, yang terjadi dari
sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara
di atasnya.14 Ruang dapat juga diartikan sebagai wadah kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya dan sebagai sumber daya alam. Maka ruang baik
sebagai wadah maupun sebagai sumber daya alam terbatas. Sebagai wadah
yang terbatas daya dukungnya. Maka menurut pemanfaatannya ruang perlu
ditata agar tidak terjadi pemborosan dan penurunan kualitas ruang.15 Menurut
D.A. Tisnaadmidjaja, yang dimaksud dengan ruang adalah wujud fisik wilayah
dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia
dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas kehidupan
yang layak.16
Tata ruang dapat diartikan susunan ruang yang teratur. Teratur
mencakup pengertian serasi dan sederhana sehingga mudah dipahami dan
dilaksanakan. Pada tata ruang, yang ditata adalah tempat berbagai kegiatan
serta sarana dan prasarananya dilaksanakan. Tata ruang yang baik dapat
dilaksanakan dari segala kegiatan menata yang baik disebut penataan ruang.
Dalam hal ini penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan utama yakni
perencanaan tata ruang, perwujudan tata ruang dan pengendalian tata ruang.17
Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa
ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
dan makhluk hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidup.
14
Jayadinata, Johara T. 1992. Pembangunan Desa dalam. Perencanaan. Bandung: ITB.
15
Kantaatmadja, M.K. Hukum Angkasa Dan Hukum Tata Ruang, Bandung:Mandar Maju
Bandung, 1994, hal.15
16
D.A Tiasnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf. Pranata Pembangunan. Bandung: Universitas
Parahiayang 1997. hlm. 6.
17
Silalahi, M. Daud. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indenesia.
Alumni Bandung. 2006. hal 80.

7
Kartasasmita mengemukakan bahwa penataan ruang secara umum
mengandung pengertian sebagai suatu proses yang meliputi proses
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan
ruang yang harus berhubungan satu sama lain.18
Wilayah adalah suatu tempat kedudukan berupa hamparan yang dibatasi
oleh dimensi luas dan isi. Dimensi luas wilayah ditentukan oleh kesamaan
komponen sumber daya alam dan sumber daya buatan yang terdapat secara
horizontal di permukaan, sedangkan dimensi isi ditentukan oleh kesamaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan baik teknis, sosial, budaya,
ekonomis, politis, maupun administratif yang terlingkup pada posisi horizontal
maupun vertikal di suatu wilayah tertentu.19
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan penataan
ruang yang dimaksudkan untuk mengatur ruang dan membuat suatu tempat
menjadi bernilai dan mempunyai ciri khas dengan memperhatikan kondisi fisik
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana,
budaya, politik, hukum, pertahanan, keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan, geostrategic, geopolitik, dan
geoekonomi (UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang).
Menurut Herman Hermit, sebagaimana asas hukum yang paling utama
yaitu keadilan, maka arah dan kerangka pemikiran serta pendekatan-
pendekatan dalam pengaturan (substansi peraturan perundang-undangan) apa
pun, termasuk Undang-Undang Penataan Ruang, wajib dijiwai oleh asas
keadilan.20 Tugas negara dalam penyelenggaraan penatan ruang meliputi dua
hal, yaitu; (a) police making, ialah penentuan haluan negara; (b) task
executing, yaitu pelaksanaan tugas menurut haluan yang telah ditetapkan oleh
negara.21
Dapat disimpulkan bahwa tata ruang wilayah merupakan wujud susunan
dari suatu tempat kedudukan yang berdimensi luas dan isi dengan
18
Kartasasmita, G. Administrasi Pembangunan (Perkembangan Pemikiran Dan Prakteknya Di
Indonesia). LP3ES. Jakarta.1997 hal 51.
19
Subroto. 2003. Tanah : Pengelolaan dan Dampaknya. Fajar Gemilang, Samarinda.
20
Herman Hermit. Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang. Bandung: Mandar Maju. 2008.
hlm. 68.
21
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: RadjaGrafindo Persada. 2006. hlm. 13.

8
memperhatikan struktur dan pola dari tempat tersebut yang berdasarkan
sumber daya alam dan buatan yang tersedia serta aspek administratif dan aspek
fungsional untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan demi
kepentingan generasi sekarang dan di masa yang akan datang.

B. Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007


UU No. 26 Tahun 2007 (disingkat UUPR), sebagai land policy
instrument, akan menjadi dasar kebijakan dan perencanaan pemanfaatan lahan
yang amat penting. karena di dalamnya setiap unsur dapat dikendalikan dan
diarahkan agar tidak lebih menambah kompleksitas permasalahan ruang, tidak
hanya ditujukan untuk mengantisipasi urban form tertentu, tetapi justru yang
lebih fundamental adalah mengupayakan agar dapat meningkatkan efisiensi
dan distribusi tanah perkotaan, mempertahankan daya dukung lingkungan
yang nyaman, sehat, dan lestari.22 UUPR merupakan formalisasi kegiatan
perencanaan pemanfaatan ruang di Indonesia, yang berarti bahwa pada setiap
aktivitas pembangunan, proses penyusunan rencana, legalisasi dan
implementasinya, didasarkan atas jalur-jalur legal formal yang telah
ditetapkan. Untuk itu, selain disyaratkan memenuhi unsur-unsur legal formal
dan filosofis, juga harus memperhatikan kekuatan berlaku secara sosiologis di
masyarakat.23
Kegiatan penataan ruang di Indonesia dibagi menjadi 3 kegiatan yang
saling terkait antara satu dengan yang lain, yakni perencanaan tata ruang,
pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dapat melalui
produk rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
secara hierarki terdiri dari :
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/Kota).
Sebagai UU utama (core) dalam melaksanakan penyelenggaraan
penataan ruang, maka UU Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan

22
Jamaluddin Jahid Haneng. (2012). Analisis Kritis Terhadap UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang. Plano Madani: Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 2(1), hlm. 1.
23
Ibid, hlm. 1.

9
rencana tata ruang yang mampu mengoptimalisasikan dan memadukan
berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan sumber daya
alam maupun sumber daya buatan.24 Implikasi dari pemberlakuan UU Pemda
terhadap penyelenggaraan penataan ruang lainnya adalah proses evaluasi
terhadap Rancangan Perda Rencana Tata Ruang provinsi / kabupaten / kota
yang menjadi lebih diperpanjang karena dalam proses evaluasi, menteri dalam
negeri harus berkoordinasi dan berkolaborasi dengan Menteri Agraria dan Tata
Ruang. Di samping itu, rancangan, “Kajian Terhadap Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Tata Ruang Perda Rencana Tata Ruang
Kabupaten/Kota” yang sebelumnya cukup dievaluasi oleh gubernur, harus
dikonsultasikan terlebih dahulu dengan menteri dalam negeri. Hal ini
diperlukan tindak lanjut penyesuaian terhadap Permendagri Nomor 28 Tahun
2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang
Rencana Tata Ruang Daerah.25
Dalam konteks Undang-undang Penataan Ruang diyakini sebagai
pendekatan yang tepat dalam mewujudkan keterpaduan pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Diharapkan dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang, kualitas ruang
wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya
kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
Ketiadaan peraturan pelaksanaan untuk bidang-bidang tertentu
sebagaimana disyaratkan, akan menyebabkan ketentuan-ketentuan tersebut
belum dapat dilaksanakan, apalagi untuk hal-hal yang mendesak dan prinsip
seperti undang-undang tentang Penataan Ruang Lautan dan Udara Wilayah
Propinsi dan Kabupaten/ Kota (Pasal 25), yang dalam kenyataannya di
masyarakat telah turut mengalami ketidakteraturan. Fenomena reklamasi
pantai dan pengkaplingan "tanah tumbuh" di pesisir pantai, pinggir danau,
bahkan pada muara sungai, sampai sekarang ini telah menimbulkan
permasalahan-permasalahan mengenai kepastian tentang bisa atau tidaknya
24
I Wayan Parsa, dkk, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Penegakan Hukum
Penataan Ruang Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Tahun
2014, hlm 4.
25
Dahfid Ari, “Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penataan Ruang Setelah Berlakunya UU
No.23 Tahun 2014”. Jurnal Hukum Maranatha Christian University. Vol.9 No.1, November 2017,
hal.2-3.

1
0
menjadi objek hak oleh karena pada satu sisi, pemerintah membolehkan
pengkaplingan (penguasaan) atas kawasan tersebut, namun biasanya tidak
diberikan alas hak yang jelas. Kondisi seperti ini akan menimbulkan
kebingungan warga masyarakat mengenai status mereka pada lokasi tersebut.
Kebelumadaan peraturan pemerintah mengenai Penentuan Kriteria dan
Tata Cara Peninjauan Kembali dan/atau Penyempurnaan Rencana Tata Ruang
(Pasal 23 ayat 4), juga telah menjadi permasalahan yang sangat penting yang
dalam kenyataannya telah menyebabkan para perencana tata ruang telah salah
arah. Hasil penelitian di lokasi penelitian mengindikasikan terjadinya
fenomena "Review Rencana Tata Ruang" yang sekedar melegalisasi
pelanggaran norma-norma tata ruang yang telah ada sebelumnya, dan sama
sekali tidak berlandaskan atas norma-norma keruangan dan pembangunan
yang berkelanjutan.
Berbagai aktivitas penutupan area resapan air misalnya, secara yuridis
formal, adalah tidak melanggar hukum karena produk tata ruang yang dibuat
kemudian. justru membenarkannya, sehingga sebuah rencana tata ruang yang
notabene adalah sebuah produk hukum, justru turut memperburuk kualitas
ruang dan lingkungan hidup. Demikian pula halnya dengan amanat Pasal 14
(3) untuk adanya peraturan perundang-undangan tentang Tata Cara
Penyusunan Perencanaan Tata Ruang yang Berkaitan dengan Fungsi
Pertahanan dan Keamanan, amanat Pasal 16 (2) yang menghendaki adanya
peraturan pemerintah tentang Pengelolaan Tata Guna Tanah, Tata Guna Air,
Tata Guna Udara, dan Sumber Daya Lainnya, akan tetap menjadi macam
kertas belaka karena tidak akan pernah berlaku sebelum adanya peraturan
pelaksana yang menjadi syarat berlakunya.
Memang telah ada sekadar Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi, tetapi tentu saja hal ini
tidak cukup, baik secara substansi materinya, serta substansinya secara yuridis
formal yang semestinya berbentuk peraturan pemerintah. Selain itu, UUPR ini
tidak memiliki ketentuan sanksi yang tegas kepada pelanggar rencana tata
ruang, kecuali sekedar pembatalan izin (vide Pasal 69 ayat 1). telah
menyebabkan tingkat/kualitas pengimplementasian UUPR pun menjadi sangat

1
1
lemah.26

C. Penataan Ruang Menurut Undang-Undang Cipta Kerja


UU Cipta Kerja, mendorong percepatan dan perluasan investasi dan
pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek pembangunan
berkelanjutan, khususnya abai dalam memperhatikan keselamatan manusia
dan kelestarian fungsi ekologi. Hal ini dapat dilihat dengan sembilan langkah
perubahan atas UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagai
berikut: pertama, penghapusan izin pemanfaatan ruang; kedua,
penyederhanaan sistem rencana tata ruang dengan dihilangkan kawasan
strategis provinsi dan kawasan strategis kabupaten serta penataan ruang
kawasan perdesaan; ketiga, sentralisasi perizinan dan kelembagaan; keempat,
pengaburan hubungan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR); kelima, penyelesaian tumpang tindih tata
ruang dengan izin maupun kawasan hutan yang menggunakan pendekatan
pragmatis (penyesuaian dan bahkan pemutihan) alih-alih berdasarkan prinsip
kehati-hatian (precautionary principle); keenam, penghilangan kriteria
kawasan hutan minimal 30%; ketujuh, penambahan satu kriteria untuk
melakukan peninjauan kembali tata ruang kurang dari 5 (lima) tahun, yakni
adanya “perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis”. Penambahan
kriteria ini sifatnya sangat terbuka dan tanpa kewajiban untuk dituangkan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam kriteria yang
lain; kedelapan, pengurangan ruang partisipasi masyarakat termasuk di
dalamnya akses keadilan; kesembilan, perubahan perumusan sanksi pidana
dari delik formil menjadi delik materiil yang berpotensi menyulitkan
pembuktian dan pengenaan sanksi atas pelanggaran dan kejahatan dalam
penataan ruang.27
Undang-Undang Cipta Kerja untuk mendorong perluasan dan
percepatan investasi melakukan penyederhanaan atas persyaratan dasar

26
Jamaluddin Jahid Haneng. (2012). Analisis Kritis Terhadap UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang. Plano Madani: Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 2(1), hlm. 3.
27
Sipit Riyanto, dkk. 2020. KERTAS KEBIJAKAN CATATAN KRITIS TERHADAP UU NO 11
TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, hlm. 5.

1
2
perizinan. Pasal 13 UU Cipta Kerja menyatakan bahwa penyederhanaan
persyaratan dasar perizinan berusaha dan pengadaan lahan meliputi tiga aspek,
yakni: (1) kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang; (2) persetujuan lingkungan;
dan (3) persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi. Untuk tujuan
ini, perizinan yang sebelumnya ada, mulai dari izin pemanfaatan ruang, izin
lingkungan, hingga izin mendirikan bangunan diintegrasikan ini ke dalam satu
rezim bernama “perizinan berusaha” yang diartikan sebagai “legalitas yang
diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha
dan/atau kegiatannya.”
Sesudah terbit UUCK penyelenggaraan penataan ruang diatur melalui
PP 21 Tahun 2021. Dalam PP kegiatan pengendalian dilaksanakan melalui: (1)
penilaian pelaksanaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan pernyataan
mandiri pelaku UMK; (2) penilaian perwujudan RTR; (3) pemberian insentif
dan disinsentif; (4) pengenaan sanksi; dan (5) penyelesaian sengketa Penataan
Ruang. Instrumen pengendalian berupa perizinan dan peraturan zonasi diubah
menjadi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR). Dalam regulasi ini
tidak ada lagi ancaman sanksi pidana. Tantangan di dalam pelaksanaan
pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang pasca ditetapkannya UUCK
akan semakin bertambah karena akan berhadapan dengan adanya persoalan
yang mungkin timbul akibat persetujuan KKPR yang diproses tanpa adanya
rencana detail tata ruang (RDTR).
Berdasarkan data pada portal Protaru Kementerian ATR/BPN, saat ini
baru terdapat 173 RDTR yang diperdakan, sehingga dapat dikatakan sebagian
besar pemerintah daerah belum memiliki RDTR. Banyaknya pemerintah
daerah yang belum menyediakan RDTR diprediksi akan membuat tingkat
permohonan persetujuan KKPR ke Pemerintah Pusat sangat tinggi. Di sisi lain,
persetujuan KKPR yang diberikan nantinya, dimungkinkan memiliki tingkat
ketepatan lokasi yang rendah karena umumnya peta RTRWN, RTR
Pulau/Kepulauan, RTR KSN, dan/atau RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota
merupakan peta berskala kecil. Tumpang tindih lokasi di dalam persetujuan
KKPR sangat mungkin akan terjadi. Persoalan akan menjadi lebih berat lagi
karena instrumen “perizinan” digantikan dengan “kesesuaian” yang

1
3
memungkinkan lebih banyak celah untuk dilakukannya diskresi oleh aparatur
sipil negara (ASN). Diskresi tanpa batasan jelas dan pemahaman yang sama
tentang rencana tata ruang merupakan potensi bagi terjadinya pelanggaran
pemanfaatan ruang. Persoalan berikutnya adalah adanya pergeseran dalam hal
pengenaan sanksi, dimana pasca UUCK sanksi pidana ditiadakan dan sanksi
administratif yang mendapatkan prioritas. Dalam hal ini, pemberian sanksi
administratif akan menghilangkan efek jera bagi para pelanggar. Namun
demikian, dalam regulasi ini dasar dalam pengenaan sanksi lebih jelas, yakni
berupa: (a) hasil penilaian pelaksanaan ketentuan KKPR; (b) hasil pengawasan
penataan ruang; (c) hasil audit tata ruang; dan/atau (d) pengaduan pelanggaran
pemanfaatan ruang. Berkenaan dengan beberapa hal di atas, maka perlu
dirumuskan strategi baru yang mampu mengatasi ketidakefektifan
pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang selama ini. Strategi tersebut
sangat memungkinkan untuk diwujudkan berdasarkan regulasi pasca UUCK,
yang meliputi strategi penguatan regulasi, sumberdaya manusia, dan
kelembagaan serta pengalokasian anggaran secara memadai.28

D. Konsep Ideal Penataan Ruang


Penataan ruang adalah alat yang penting untuk membahas pembangunan
berkelanjutan. Karena pembangunan berkelanjutan juga dapat dilihat dari segi
pertumbuhan sosial dan ekologis di samping pembangunan ekonomi. Tujuan
penataan ruang adalah untuk menyediakan ruang wilayah nasional yang aman,
bermanfaat, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan tujuan agar
pertumbuhan Indonesia berlandaskan pada prinsip-prinsip berkelanjutan.
Masih banyak masalah dengan upaya perencanaan tata ruang Indonesia.
Dimulai dari konflik kepentingan, kurangnya koordinasi tata ruang antar
daerah, dan diakhiri dengan variasi penggunaan ruang oleh beberapa daerah.
Hal ini terkait erat dengan urbanisasi di Indonesia, yang sebagian besar masih
merupakan proses alami. Dalam artian pola berkembangnya tidak memiliki

28
Sutaryono, S., Nurrokhman, A., & Lestari, N. D. (2021). Penguatan Pelaksanaan Penertiban
Pemanfaatan Ruang Pasca Terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal Pengembangan
Kota, 9(2), hlm. 162.

1
4
pengarahan atau perencanaan yang terpadu.
UU No. 26 Tahun 2007 mengatur tata ruang sebelum disahkannya UU
Cipta Kerja. UU Cipta Kerja kemudian membawa sejumlah penyesuaian
terkait tata ruang, yang jika diamati, pada hakekatnya dapat dilihat sebagai
cara penyederhanaan aturan dan perizinan. Tujuan utama Undang-undang Hak
Cipta, seperti halnya modifikasi-modifikasi lain yang dibuatnya, adalah untuk
mempercepat dan memperluas investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Penghapusan izin pemanfaatan ruang oleh UU Cipta Kerja merupakan
perubahan pertama dan paling signifikan terkait dengan penataan ruang. Izin
tidak langsung dicabut, sebaliknya model kegiatan pemanfaatan ruang
digunakan sebagai gantinya. Alasannya sederhana, izin pemanfaatan ruang
yang selama ini digunakan dinilai telah menambah perizinan yang diperlukan
untuk memulai kegiatan usaha. Sementara dengan model kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang, pelaku usaha dapat menempuh mekanisme yang lebih
sederhana.

Namun dibandingkan dengan pendahulunya, kesesuaian aktivitas


pemanfaatan ruang merupakan jenis kontrol yang jauh lebih lemah.
Pemantauan yang diberikan hanyalah indikasi awal bahwa suatu kegiatan
sesuai dengan peruntukan ruang. Mekanisme pengawasan semacam ini dapat
menimbulkan keresahan sosial jika tidak ada observasi lapangan. Penyesuaian
kedua UU Cipta Kerja adalah kesederhanaan sistem geografis. Rencana tata
ruang kawasan strategis merupakan salah satu jenis dalam sistem perencanaan
tata ruang. Pada awalnya, tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dapat
membuat rencana tata ruang untuk kawasan strategis. Namun kini setelah UU
Cipta Kerja disahkan, hanya pemerintah pusat yang memiliki kewenangan
untuk mengembangkan lokasi-lokasi strategis.
Perubahan selanjutnya, UU Cipta Kerja menciptakan sentralisasi
penataan ruang. Seperti misalnya dalam 34A UU Penataan Ruang
sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja. pemberian persetujuan kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan oleh pemerintah pusat. Lalu sekarang
ini pemerintah juga dapat mengambil alih penetapan rencana tata ruang

1
5
wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan catatan provinsi dan
kabupaten/kota terlambat menetapkan rencana tata ruang mereka dalam waktu
yang sudah ditentukan. Salah satu hal yang kemudian mendapat kritik dari
perubahan tentang penataan ruang, yaitu pelemahan fungsi Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS). KLHS merupakan instrumen wajib ketika
pemerintah pusat maupun daerah sedang menyusun rencana tata ruang wilayah
(RTRW). Namun saat ini, dalam Pasal 14A UU Penataan Ruang yang diubah
dalam Cipta Kerja justru hanya meletakkan KLHS hanya menjadi bahan
pertimbangan dan bukan kewajiban.
Masih banyak perubahan lain yang dimuat dalam UU Cipta Kerja terkait
Penataan Ruang. Namun bagaimanapun tata ruang merupakan instrumen
penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Sistem yang
dibangun dalam perencanaan tata ruang menjadi kunci dari kegiatan apa yang
bisa dan tidak bisa dilakukan dalam sebuah unit ruang. Hal ini bertujuan untuk
memastikan keselamatan manusia dan kelestarian fungsi ekologi. Sekali lagi,
UU Cipta Kerja memperlihatkan eksistensinya dengan membongkar sistem-
sistem yang ada untuk sekedar mempercepat perluasan investasi dan
pertumbuhan ekonomi.
Undang-Undang (UU) No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
merupakan salah satu UU yang terdampak dari UU No.11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja. Sebagian ketentuan UU No.26 Tahun 2007 diubah, dihapus, dan
ditetapkan ketentuan haru melalui UU Cipta Kerja. Misalnya, UU Cipta Kerja
mengubah Pasal 6 UU No.26 Tahun 2007, antara lain terkait penjelasan
tentang penataan ruang wilayah secara berjenjang yakni dilakukan dengan cara
tata ruang wilayah nasional dijadikan acuan dalam penyusunan rencana tata
ruang wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/kota, dan RTRW provinsi
menjadi acuan penyusunan RTRW kabupaten kota.
Kemudian perubahan Pasal 8 UU No.26 Tahun 2007 mengganti frasa
“pemerintah” menjadi “pemerintah pusat.” Kemudian menghapus ketentuan
Pasal 8 ayat (4) yang sebelumnya memberikan peluang pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional oleh pemerintah
daerah melalui tugas dekonsentrasi dan/atau tugas perbantuan. Pasal 9 juga

1
6
turut diubah dan menegaskan penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan
oleh pemerintah pusat.
Esensi penataan ruang oleh pemerintah idealnya untuk keadilan karena
tidak semua golongan masyarakat mampu mendapatkan haknya terkait tata
ruang. Misalnya, tempat tinggal yang layak, lingkungan yang bersih dan sehat.
Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah
seharusnya dengan melibatkan masyarakat. Tapi praktiknya selama ini
partisipasi masyarakat kerap diabaikan, sekalipun dilibatkan hanya sekedar
formalitas.
Penataan ruang yang dilakukan selama ini tak jarang “bertabrakan”
dengan hak masyarakat, seperti masyarakat hukum adat. Hal ini terjadi karena
proses penataan ruang tidak melibatkan masyarakat secara serius. Masyarakat
hukum adat sudah bertempat tinggal di wilayahnya jauh sebelum Indonesia
merdeka, tapi kemudian digusur dengan alasan, antara lain tidak sesuai lagi
dengan perencanaan tata ruang.
Penataan ruang yang minim melibatkan masyarakat berpotensi
menimbulkan sengketa dan konflik lahan. Tak hanya itu, ada juga sengketa
yang disebabkan karena pendaftaran tanah yang tidak sesuai prosedur,
sehingga diduga terjadi maladministrasi dan korupsi. Sehingga dibutuhkan
undang-undang yang ideal dalam mengatur tata ruang. Sehingga dengan
terbitnya UU Cipta Kerja mengubah perspektif penataan ruang menjadi lebih
sentralistik ketimbang pengaturan UU No.26 Tahun 2007. Artinya,
kewenangan pengaturan penataan ruang lebih banyak dipegang/dikuasai
pemerintah pusat. Penataan ruang yang dilakukan pemerintah daerah harus
mengikuti acuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Sehingga UU Cipta Kerja
ini dianggap lebih ideal dibandingkan UU No. 26 Tahun 2007 dalam mengatur
penataan ruang di Indonesia. Selain penataan ruang di darat, terdapat
perubahan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil melalui UU Cipta Kerja ini.
Dalam pelaksanaan penataan ruang, strategi penguatan pelaksanaan
penertiban pemanfaatan ruang agar mencapai konsep tata ruang yang ideal,
perlu diarahkan pada :

1
7
1. Regulasi
a. Diperlukan regulasi pada level pusat dan daerah terkait pedoman
teknis penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang.
b. Diperlukan regulasi yang menjembatani peralihan pengenaan
sanksi administratif ke sanksi pidana untuk menimbulkan efek
jera dan menghindari tindakan ‘pemutihan’ atas pelanggaran
pemanfaatan ruang yang terjadi.
c. Diperlukan regulasi yang merinci tata cara pengambil alihan
kewenangan pengenaan sanksi administratif oleh Gubernur dan
Menteri.
2. Sumber Daya Manusia
a. PPNS Penataan Ruang hendaknya tidak diposisikan sebagai
subordinat dari kepala daerah melainkan menjadi organ
pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah.
b. Kemampuan teknis SDM pemerintah di bidang penataan ruang
hendaknya didukung dengan kepekaan moral sehingga menjadi
filter dalam menentukan tindakan diskresi yang diambil.
3. Kelembagaan
Dalam rangka memperkuat kinerja PPNS Penataan Ruang,
fungsi penataan ruang (pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan
pengawasan) dapat dimasukkan pada organ pemerintah pusat yang
terdapat di daerah, yakni pada kantor wilayah BPN.
4. Pembiayaan
Diperlukan pengalokasian anggaran yang memadai pada APBD
untuk pelaksanaan kegiatan penertiban pemanfaatan ruang. Namun
demikian, hal ini memerlukan political will dari kepala daerah untuk
menempatkan agenda penertiban pemanfaatan ruang sebagai agenda
prioritas daerah.29
Menurut Prof. Djoko Sujarto, seorang ahli perencanaan ternama
di Indonesia, ada beberapa konsep penataan ruang yang ideal
berdasarkan UU 26/2007 dan UU Cipta Kerja. UU 26/2007

29
Ibid, hlm. 164.

1
8
menitikberatkan pada pembangunan berkelanjutan yang dicapai dengan
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam, meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, dan menjaga kualitas lingkungan.
Sementara itu, UU Cipta Kerja menekankan pentingnya inovasi dan
kreativitas dalam penataan ruang. Undang-undang ini mendorong
terselenggaranya proses perencanaan berbasis teknologi dan terpadu
yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Andy Simarmata, seorang arsitek dan urbanis Indonesia,
memaparkan bahwa konsep ideal penataan ruang harus melibatkan
partisipasi aktif masyarakat dalam proses perencanaan dan
pengambilan keputusan. Selain itu, penataan ruang harus
memperhatikan keberlanjutan lingkungan, keterjangkauan perumahan,
dan kemudahan akses ke layanan publik seperti transportasi dan
fasilitas kesehatan dan pendidikan. Dalam konteks permukiman
informal dan komunitas berpagar, Simarmata menekankan pentingnya
mengintegrasikan permukiman informal ke dalam tata kota yang ada
dan memberikan akses yang lebih baik kepada layanan publik bagi
penduduknya. Selain itu, ia juga menyoroti perlunya mengembangkan
perumahan terjangkau untuk kelas menengah yang memenuhi standar
keberlanjutan dan kualitas hidup yang layak.
Menurut para ahli, kedua UU tersebut belum mencerminkan
penataan ruang yang ideal. Berikut adalah argumentasi dari para ahli:
1. UU 26/2007 lebih memperhatikan aspek keberlanjutan dan partisipasi
masyarakat dalam penataan ruang, sedangkan UU Cipta Kerja lebih
menekankan pada aspek ekonomi dan prioritas pembangunan nasional.
Hal ini dapat mengabaikan aspek lingkungan dan sosial dalam
penataan ruang.

2. Kewenangan pemerintah untuk menetapkan RDTRN tanpa melalui


tahapan penyusunan rencana tata ruang wilayah dalam UU Cipta Kerja
dapat mempermudah proses, namun juga dapat mengabaikan
partisipasi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

1
9
3. Izin perubahan tata ruang yang diberikan kepada pihak swasta dalam
UU Cipta Kerja dapat memudahkan investasi, tetapi juga dapat
menimbulkan konflik kepentingan antara pihak swasta dan
masyarakat.

4. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengelolaan


ruang memang dapat mempermudah proses dan meningkatkan
efisiensi, namun juga dapat mengabaikan aspek sosial dan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Untuk mencapai penataan ruang yang ideal, perlu diperhatikan


beberapa hal yang telah diusulkan oleh para ahli, yaitu:
1. Memperkuat partisipasi masyarakat dalam penataan ruang, dengan
cara memastikan bahwa setiap warga memiliki akses yang sama dalam
pengambilan keputusan mengenai perencanaan tata ruang.

2. Meningkatkan perhatian terhadap aspek lingkungan dan sosial dalam


penataan ruang, sehingga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi
semata.

3. Membatasi izin perubahan tata ruang yang diberikan kepada pihak


swasta, dan memastikan bahwa kepentingan masyarakat diutamakan
dalam pengambilan keputusan.

4. Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengelolaan


ruang dengan bijak, sehingga dapat memperkuat partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan.

5. Memperkuat koordinasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam


penataan ruang, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.

6. Mengadopsi pendekatan berkelanjutan dalam penataan ruang, sehingga


tidak hanya memperhatikan kepentingan jangka pendek, tetapi juga
kepentingan jangka panjang.

Pada akhirnya, penataan ruang yang ideal harus dapat menciptakan


ruang publik yang inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan, yang

2
0
dapat memberikan manfaat bagi seluruh warga masyarakat. Hal ini dapat
dicapai dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial, partisipasi
masyarakat, dan keberlanjutan dalam setiap tahapan penataan ruang.

Perlu diingat bahwa penataan ruang yang ideal adalah sebuah proses
yang terus menerus, yang selalu berubah sesuai dengan kebutuhan dan
dinamika masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah, masyarakat, dan sektor
swasta harus bersama-sama menjaga dan mengembangkan penataan ruang
yang sudah ada, serta memperbaiki dan mengembangkan regulasi yang
ada agar dapat mencapai penataan ruang yang lebih baik di masa depan.

Dalam hal ini, kedua UU yang ada, yaitu UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,
telah mencerminkan upaya untuk mencapai penataan ruang yang lebih
baik. Namun, masih diperlukan upaya-upaya lebih lanjut untuk
memperkuat partisipasi masyarakat, memperhatikan aspek lingkungan dan
sosial, dan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan secara lebih baik
dalam penataan ruang.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan terbitnya UU Cipta Kerja mengubah perspektif penataan
ruang menjadi lebih sentralistik ketimbang pengaturan UU No. 26
Tahun 2007. Artinya, kewenangan pengaturan penataan ruang lebih
banyak dipegang/dikuasai pemerintah pusat. Penataan ruang yang

2
1
dilakukan pemerintah daerah harus mengikuti acuan yang ditetapkan
pemerintah pusat. Sehingga UU Cipta Kerja ini dianggap lebih ideal
dibandingkan UU No. 26 Tahun 2007 dalam mengatur penataan ruang
di Indonesia. Selain itu, diperlukan regulasi, sumber daya manusia,
kelembagaan, serta pembiayaan untuk mencapai konsep tata ruang
yang ideal.

DAFTAR PUSTAKA

Dahfid, A. (2017). Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penataan


Ruang Setelah Berlakunya UU No.23 Tahun 2014. Jurnal Hukum
Maranatha Christian University. Vol. 9 No.1, November 2017.
D.A Tiasnaadmidjaja. (1997). Pranata Pembangunan. Bandung:
Universitas Parahiayang.
Dianto, R., & Cahyaningtyas, I. (2021). Administrative Law Enforcement
against Urban Spatial Planning Based onthe Spatial Planning Law.

2
2
International Journal of Social Science and Human Research,
04(05), 1174-1179. Doi: https://doi.org/10.47191/ijsshr/v4-i5-36
Eko, T., & Rahayu, S. (2012). Perubahan Penggunaan Lahan dan
Kesesuaiannya Terhadap RDTR di Wilayah Peri-Urban Studi
Kasus: Kecamatan Mlati. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota,
8(4), 330-340. Doi: https://doi.org/10.14710/pwk.v8i4.6487
Haneng, J. J. (2012). Analisis Kritis Terhadap UU Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang. Plano Madani: Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota, 2(1), 1-4.
Herman H. (2008). Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang.
Bandung: Mandar Maju.
I Wayan Parsa, dkk. (2014). Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum
tentang Penegakan Hukum Penataan Ruang Dalam Kerangka
Otonomi Daerah. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Jayadinata, Johara T. (1992). Pembangunan Desa dalam Perencanaan.
Bandung: ITB.
Jazuli, A. (2017). Penegakan Hukum Penataan Ruang dalam Rangka
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Rechts Vinding:
Media Pembinaan Hukum Nasional, 6(2), 263-282. Doi:
https://doi.org/10.33331/rechtsvinding.v6i2.156
Junef, M. (2021). Penegakkan Hukum Dalam Rangka Penataan Ruang
Guna Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Penelitian
Hukum, 17(4), 373-390. Doi:
https://doi.org/10.30641/dejure.2017.V17.373-390
Kantaatmadja, M.K. (1994). Hukum Angkasa Dan Hukum Tata Ruang.
Bandung: Mandar Maju Bandung.
Kartasasmita, G. (1997). Administrasi Pembangunan (Perkembangan
Pemikiran Dan Prakteknya Di Indonesia). Jakarta: LP3ES.
Kustiwan, I., & Anugrahani, M. (2015). Perubahan Pemanfaatan Lahan
Perumahan ke Perkantoran: Implikasinya Terhadap Pengendalian
Pemanfaatan Ruang Kota (Studi Kasus: Wlayah Pengembangan
Cibeunying, Kota Bandung). Jurnal Perencanaan Wilayah dan

2
3
Kota, 11(1), 87-98.
Putra, D. R., & Pradoto, W. (2016). Pola dan Faktor Perkembangan
Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Maranggen, Kabupaten Demak.
Jurnal Pengembangan Kota, 4(1), 66-74. Doi:
http://dx.doi.org/10.14710/jpk.4.1.66-74
Ridwan HR. (2006). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Radja Grafindo
Persada.
Rosdiana, Y. (2018). Analisis Yuridis Penyelenggaraan Izin Pemanfaatan
Ruang (Study Pada Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Izin
Pemanfaatan Ruang Kabupaten Labuhan batu). De Lega Lata:
Jurnal Ilmu Hukum, 3(1), 81-95. Doi:
https://doi.org/10.30596/dll.v3i1.3149
Segura, S., & Pedregal, B. (2017). Monitoring and Evaluation Framework
for Spatial Plans: A Spanish Case Study. Sustainability, 9(10),
1706. Doi: https://doi.org/10.3390/su9101706
Silalahi, M. Daud. (2006). Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan
Hukum Lingkungan Indenesia. Alumni Bandung.
Sipit Riyanto, dkk. (2020). Kertas Kebijakan Catatan Kritis Terhadap Uu
No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Yogyakarta: Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada.
Sodikin, S. (2017). Eksistensi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Tata Ruang.
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 6(2),
283-300.
Soekanto, S. (2004). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Subroto. (2003). Tanah : Pengelolaan dan Dampaknya. Samarinda: Fajar
Gemilang.
Sutaryono, S., Nurrokhman, A., & Lestari, N. D. (2021). Penguatan
Pelaksanaan Penertiban Pemanfaatan Ruang Pasca Terbitnya
Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal Pengembangan Kota, 9(2),
154-165.

2
4
Umar, I., Dewata, I., & Barlian, E. (2019). Konsistensi Rencana Tata
Ruang Permukiman dan Arahan Kebijakan Pembangunan di
Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Journal of
Natural Resources and Environmental Management, 9(2), 277-286.
Doi: https://doi.org/10.29244/jpsl.9.2.276-287
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.

2
5

Anda mungkin juga menyukai