Anda di halaman 1dari 21

Pengaturan dan Pemanfaatan Ruang di dalam Bumi

Dosen Pengampu: Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum.

Oleh:

I Gede Janitra Rad Winatha (2104551163)


Putu Surya Permana Putra (2104551291)
Delvino Ahmad Hidayat Lolianto (2104551166)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2023
ABSTRAK

Dalam hal penyelenggaraan penataan ruang, tugas negara meliputi dua hal, yaitu; (a)
policymaking, ialah penentuan haluan negara; (b) task executing, yaitu pelaksanaan tugas
menurut haluan yang telah ditetapkan oleh negara. Tugas negara ini kemudian dituangkan
lewat peraturan perundang-undangan yakni melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang yang diubah terakhir dengan Undang-Undang 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Perpu Ciptakerja. Salah satu komponen ruang yang diatur adalah
mengenai ruang di dalam bumi. Tulisan ini merupakan tulisan yang digolongkan pada
penelitian hukum normatif, oleh karena hal tersebut tulisan ini disusun menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Kemudian
disimpulkan mengenai tubuh bumi yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang,
yang dalam beberapa pasal dalam undang-undang tersebut juga mengatur batasan dan
kategori ruang bawah tanah hingga Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
02/PRT/M/2014 tentang Pedoman Pemanfaatan Ruang di dalam Bumi. Pemanfaatan dari
tubuh bumi ini juga diatur dalam peraturan perundang-undangan dan telah diaplikasikan
secara nyata seperti pembangunan rumah susun bawah tanah, jaringan utilitas, dan
sebagainya.

Kata Kunci: Penataan Ruang, Ruang di dalam Bumi


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu cara suatu negara untuk dikenal dunia internasional, yakni melalui
peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Hal ini juga sesuai dengan butir
‘Nawacita’ yang mengatakan bahwa salah satu tujuan pembangunan di Indonesia
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Ruang wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang
darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi maupun sebagai
sumber daya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia
yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33
Ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) yang menegaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.1 Untuk mewujudkan amanat tersebut maka dibentuklah
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725) (Selanjutnya disebut UU Penataan Ruang) yang sekarang
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856)
(selanjutnya disebut UU Ciptakerja) , yang menyatakan bahwa negara
menyelenggarakan penataan ruang yang pelaksanaan kewenangannya dilakukan
oleh Pemerintah pusat dan daerah (Pasal 7 ayat (2) dengan tetap menghormati hak
yang dimiliki oleh setiap orang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal ayat (3). Dalam hal penyelenggaraan penataan ruang,
tugas negara meliputi dua hal, yaitu; (a) policymaking, ialah penentuan haluan
1
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
negara; (b) task executing, yaitu pelaksanaan tugas menurut haluan yang telah
ditetapkan oleh negara. Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang
saling terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.2
Adapun salah satu ruang yang dapat dimanfaatkan saat ini adalah ruang
bawah tanah. Tujuan yang diharapkan dapat dicapai dari penggunaan ruang bawah
tanah adalah untuk dapat meningkatkan fungsi sumber daya tanah serta
memaksimalkan fungsi penggunaan lahan. Indonesia, sendiri telah mengenal
beberapa pemanfaatan ruang bawah tanah, misalnya MRT di Jakarta, seperti Blok M
Mall Jakarta3 dan Karebosi Link Makassar yang merupakan pusat perbelanjaan,
serta area parkir bawah tanah pusat perbelanjaan,4 termasuk saat ini di Bali yang
juga akan digadang gadang membuat kereta bawah tanah.5 Selain itu, penggunaan
ruang bawah tanah –disebut pula tubuh bumi– juga dilakukan dalam hal
memperoleh sumber daya alam, misalnya pertambangan mineral dan batubara
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959)
sebagaimana yang diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525)
(Selanjutnya disebut UU Minerba). Begitu Pula terdapat pengaturan mengenai

2
Jazuli, Ahmad. "Penegakan hukum penataan ruang dalam rangka mewujudkan pembangunan
berkelanjutan." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 6, no. 2 (2017): 272
3
Hmgp.geo. July 7,2022. MRT Jakarta Fase 2: Transportasi Bawah Tanah dan Melayani sebagai
PenyokongIbukota,https://hmgp.geo.ugm.ac.id/2022/07/07/mrt-jakarta-fase-2-transportasi-b
awah-tanah-dan-melayang-sebagai-penyokong-ibukota-2/ diakses pada 10 Oktober 2023)
4
Mahsyar, Abdul. "Public Private Partnership: Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Dalam
Pengelolaan Aset Publik di Kota Makassar." Jurnal Administrasi Publik 12, no. 1 (2015).
5
CNN Indonesia, Senin, 25 Sep 2023 10.30 WIB, LRT Bali akan dibangun di Bawah Tanah, Biaya
yang dibutuhkan Rp 9T,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230925101743-92-1003273/lrt-bali-akan-dibangun
-di-bawah-tanah-biaya-yang-dibutuhkan-rp9-t, diakses pada 10 Oktober 2023.
pemanfaatan tentang panas bumi yang diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5585) (Selanjutnya disebut UU Panas Bumi)
Dalam upaya pengoptimalan pemanfaatannya tubuh bumi, terdapat suatu
faktor yang mempengaruhi dan memperumit pengembangan ruang bawah tanah
yakni memastikan keberlanjutan (sustainability) yang sejatinya dimulai sejak tahap
sebelum perencanaan dan pembangunan dimulai, pada saat pembangunan, begitu
pula setelah pembangunan. Dalam setiap tahapan yang dilakukan tersebut tentu
akan dipengaruhi berbagai pertimbangan. Aspek-aspek penting yang
membutuhkan pertimbangan lebih komprehensif antara lain aspek geologi, teknik,
keselamatan dan psikologis, hukum dan pertimbangan administratif, serta
ekonomi.6 Oleh karena hal tersebut, penting untuk dipahami mengenai bagaimana
sejatinya pengaturan terhadap pemanfaat tubuh bumi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan terhadap tubuh bumi dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana pemanfaatan tubuh bumi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami pengaturan
perundang-undangan mengenai pemanfaatan tubuh bumi di Indonesia.

1.4 Metode Penelitian


Tulisan ini merupakan tulisan yang digolongkan pada penelitian hukum normatif,
oleh karena hal tersebut tulisan ini disusun menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan perbandingan (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Penyusunan, kualifikasi,

6
Hermawan, Sapto & Hananto, Supid Arso. Pengaturan Ruang Bawah Tanah berdasarkan Prinsip Agraria
Nasional. Jurnal Pandecta, Vol. 11, No. 1 (2021): 28
dan sistematika penyusunan tulisan ini dilakukan dengan menggunakan bahan
hukum sekunder baik berupa buku yang relevan, artikel yang mendukung, regulasi
yang relevan, serta digunakan pula beberapa bahan hukum lain yang memiliki
hubungan dengan tujuan dari penulisan karya tulis ini. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan metode content analysis dan comparative analysis, selanjutnya
dihubungkan dengan analisis data yang tersedia melalui logika penalaran deduktif
untuk menjawab pokok permasalahan yang dikemukakan.
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Pengaturan Tubuh bumi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia meliputi udara, laut, dan darat
yang termasuk juga ruang di dalam bumi. Maka negara wajib melakukan
pengelolaan yang sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Sebagaimana dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945), menegaskan bahwa sumber daya alam yang dikuasai oleh negara
dipergunakan secara keseluruhan untuk fungsi kemakmuran rakyat. Dalam
rumusan pasal ini jika dilihat secara gramatikal terhadap dua frasa kunci yakni
“dikuasai negara” dan “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
sebagaimana pada Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Uji
Materiil UU Ketenagalistrikan yang kemudian melahirkan peran penguasaan
negara seperti mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengaturan (regelendaad),
mengurus (bestuursraad), mengelola (beheersbaar), dan mengawasi
(toezichthoudenstaad).7 Maka dalam ini, dibuatlah UU Penataan Ruang yang
wewenang pelaksananya dimiliki oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tetap
menghormati hak setiap orang yang memilikinya.
Ruang dalam pengertian Pasal 1 angka 1 UU Penataan Ruang (yang diubah
terakhir dengan UU Ciptakerja) juncto Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2021 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6633) (Selanjutnya disebut PP Penyelenggaraan Penataan Ruang) adalah wadah
yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Keberadaan pengaturan terkait tubuh bumi tentu dapat ditemukan pada
peraturan perundang-undangan yakni:

7
Chandranegara, Ibnu Sina. "Desain konstitusional hukum migas untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat." Jurnal Konstitusi 14, no. 1 (2017): 52-53.
Peraturan Perundang-Undangan Penjelasan

Pasal 1 angka 1 UU Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi


sebagaimana yang diubah terakhir ruang darat, ruang laut, dan ruang
dengan UU Ciptakerja juncto PP tentang udara, termasuk ruang di dalam bumi
Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk hidup lain,
melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya

Pasal 6 ayat (5) dan (6) UU Ciptakerja (5) Penataan Ruang Wilayah nasional
meliputi Ruang Wilayah yurisdiksi dan
Wilayah kedaulatan nasional yang
mencakup Ruang darat, Ruang laut,
dan Ruang udara, termasuk Ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan.

(6) Penataan Ruang Wilayah provinsi


dan kabupaten/kota meliputi Ruang
darat, Ruang laut, dan Ruang udara,
termasuk Ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan

Pasal 1 angka 1 dan 6 Peraturan angka 1


Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021
tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah adalah permukaan bumi baik
Tanah, Satuan Rumah Susun, dan berupa daratan maupun yang tertutup
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara air, termasuk ruang di atas dan di
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor dalam tubuh bumi, dalam batas
28, Tambahan Lembaran Negara tertentu yang penggunaan dan
Republik Indonesia Nomor 6630) pemanfaatannya terkait langsung
(Selanjutnya disebut PP 18/2021) maupun tidak langsung dengan
penggunaan dan pemanfaatan
permukaan bumi.

angka 2
Ruang Bawah Tanah adalah ruang yang
berada di bawah permukaan Tanah
yang digunakan untuk kegiatan
tertentu yang penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya
terpisah dari penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan pada
bidang Tanah.

Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Ruang di Dalam Bumi yang selanjutnya


Pekerjaan Umum Nomor disingkat RDB adalah ruang yang
02/PRT/M/2014 tentang Pedoman berada di bawah permukaan tanah
Pemanfaatan Ruang di dalam Bumi yang digunakan untuk berbagai
kegiatan manusia.
Tabel 1. Pengaturan Tubuh Bumi dalam Peraturan Perundang-Undangan
3.2 Pemanfaatan tubuh bumi di Indonesia
Penggunaan ruang bawah tanah sudah sering terjadi di Indonesia, terutama di
kota besar seperti Kota Bandung. Sudah banyak bangunan yang dibangun di bawah
tanah yang kemudian dimanfaatkan sebagai lahan parkir (basement), ataupun
sebagai tempat tinggal yang seringkali digunakan untuk tempat penyimpanan
barang (gudang). Hal tersebut terjadi tidak lain disebabkan oleh adanya
keterbatasan jumlah lahan (tanah), sedangkan jumlah manusia yang membutuhkan
tanah semakin bertambah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah tidak terlepas dari
status hak atas tanah yang melekat pada tanah yang digunakan. Berdasarkan Pasal 4
Ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) (yang
selanjutnya disebut UUPA) ditentukan bahwa adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut tanah, yang melekat wewenang atas hak-hak atas
tanah tersebut bagi para pemegang haknya untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah dalam batas batas menurut UUPA dan peraturan peraturan
hukum yang lebih tinggi.8
Dasar pemanfaatan ruang di dalam bumi sejatinya telah diatur pula dalam UU
Penataan Ruang yang pada Pasal 32 ayat (1) dan (2) yang menyatakan: (1)

8
Afifah, Siti Sarah, Nia Kurniati, and Yusuf Saepul Zamil. "Penggunaan Ruang Bawah Tanah
untuk Bangunan Gedung ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan terkait yang berlaku."
Jurnal Bina Hukum Lingkungan 3, no. 1 (2018): 2.
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang
beserta pembiayaannya dan ayat (2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang, baik pemanfaatan
ruang secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi. Pasal a quo telah
secara nyata menunjukan salah satu bentuk pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan
ruang di dalam bumi (tubuh bumi).
Pada perubahannya (UU Penataan Ruang menjadi UU Ciptakerja) pemanfaatan
atas ruang bawah tanah dapat ditemukan pada Pasal 7 ayat (2) UU Ciptakerja yang
pada pokoknya menjelaskan penggunaan ruang atas tanah dan/atau bawah tanah
dan/atau air untuk bangunan gedung harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Berikut beberapa pemanfaatan atas ruang bawah
tanah:
A. Rumah Susun
Rumah susun pada umumnya digunakan untuk hunian. Namun hunian
merupakan bagian dari pemukim yang memerlukan sarana penunjang seperti
pertokoan dan perkantoran sehingga pembangunan rumah susun juga dapat
diperuntukkan untuk yang sifatnya non hunian. Selain rumah susun, untuk
perkantoran dan atau pertokoan dapat memanfaatkan ruang bawah tanah (tubuh
bumi). Bangunan gedung dalam ruang bawah tanah dapat dibedakan dalam 2 (dua)
jenis, yaitu pertama; bangunan yang merupakan bangunan terkait dengan
bangunan yang ada di atasnya (bangunan induk berdiri di atas tanah), kedua;
bangunan yang berdiri sendiri, dalam artian di atasnya tidak ada bangunan lain tapi
berupa jalan atau fasilitas umum lainnya.
Keberadaan bangunan gedung di ruang bawah tanah telah diatur dalam dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002, Nomor 134 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4247) (Selanjutnya UU Bangunan Gedung) dan
dijabarkan dalam peraturan pelaksanaannya melalui pembentukan Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005, Nomor 63 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4532) (Selanjutnya disebut PP 36/2005). Dalam pasal 1 angka 1
menyatakan bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan atau di dalam tanah. Hal ini berarti gedung dimaksud dapat berupa basement
maupun gedung yang bersifat mandiri.
B. Ruang Bawah Tanah (Under Ground)
UU Ciptaker dalam Pasal 146 memuat ketentuan baru tentang hak atas tanah
yakni tentang pemanfaatan ruang bawah tanah (under ground claster), yang pada
prinsipnya mengatur bahwa tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas
dan/atau ruang bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat
diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. Ketentuan pasal ini
memberikan kewenangan pada negara untuk memberikan hak atas ruang baik di
bawah maupun di atas tanah dengan batas kedalaman dan ketinggian tertentu.9
C. Jaringan Utilitas
Jaringan Utilitas adalah jaringan pendukung utilitas yang terletak di bawah
permukaan tanah, termasuk di dalam laut dalam bentuk kabel atau pipa. Utilitas
yang dimaksud di sini adalah mengenai fasilitas yang menyangkut kepentingan
umum antara lain listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak, gas dan bahan
bakar lainnya, sanitasi, dan sejenisnya. Frasa “kepentingan umum” dalam peraturan
tersebut menjadi kata kunci yang penting untuk di bagian pembahasan selanjutnya.
Pembangunan Utilitas misalnya di wilayah Provinsi DKI Jakarta diatur dalam
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 106 Tahun 2019 tentang Infrastruktur
Jaringan Utilitas (Selanjutnya disebut PERGUB Jaringan Utilitas). Perlu diketahui
pula Bahwa dalam rangka menciptakan keterpaduan perencanaan dalam
penyelenggaraan Jaringan Utilitas, maka perlu dilakukan penataan serta
pengendalian pembangunan dan penempatan Jaringan Utilitas secara terpadu agar
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta. Jaringan Utilitas

9
Suyanto, Suyanto. "Pemberian Hak Atas Ruang Bawah Tanah: Perspektif Hukum Agraria."
LAW Proscientist: Journal of Law Professional Scientist 1, no. 2 (2023): 62.
hadir untuk menjadi solusi bagi permasalahan tata ruang kota di Jakarta. Hal ini
dikarenakan distribusi kabel bawah tanah merupakan solusi dari sulitnya
pembebasan lahan yang akan digunakan untuk jaringan kabel atas.
Batas Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah
UU Ciptakerja telah mengatur batas kepemilikan pada ruang bawah tanah yakni
pada Pasal 146 ayat (3) yang mengatur bahwa batas kepemilikan tanah pada ruang
bawah tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan batas
kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengaturan lebih lanjut pasal ini merujuk pada PP 18/2021
yang memperluaskan pengertian tanah menjadi “permukaan bumi baik berupa
daratan maupun yang tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh
bumi, dalam batas tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung
maupun tidak langsung dengan penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi”.
Selanjutnya dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b menjelaskan mengenai batas kedalaman
yang diatur dalam rencana tata ruang atau sampai dengan kedalaman 30 (tiga
puluh) meter dari permukaan Tanah dalam hal belum diatur dalam rencana tata
ruang yang kemudian pada Pasal 74 ayat (4) PP 18/2021 batas kedalaman 30 (tiga
puluh) meter ini juga disebut sebagai ruang bawah tanah dangkal. Sedangkan ruang
bawah Tanah dalam merupakan Tanah yang secara struktur dan/atau fungsi
terpisah dari pemegang Hak Atas Tanah atau dapat dikatakan Ruang Bawah Tanah
yang dikuasai negara.
Gambar 1. Batas Pemanfaatan Ruang dalam Tanah10
Hal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh negara untuk bisa melakukan aktifitas
pertambangan, misalnya pertambangan Mineral Pirit (Fe-sulfide), Mineral
Serisit-Lempung, Mineral Silika-Kuarsa di kedalaman 2850 meter dpl (dibawah
permukaan air laut)11 atau pertambangan Batubara yang hanya mencapai
kedalaman 48.93 meter dpl.12

10
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 02/PRT/M/2014 tentang Pedoman Pemanfaatan
Ruang di dalam Bumi Dalam Pasal 11 disebutkan jenis kegiatan beserta letaknya ditetapkan
dengan memperhatikan tingkat kedalaman pemanfaatan RDB, tingkat kedalaman sebagaimana
dimaksud terdiri atas : a. RDB dangkal; dan b. RDB dalam. RDB dangkal berada pada
kedalaman 0 (nol) sampai dengan 30 (tiga puluh) meter di bawah permukaan tanah. sedangkan
RDB dalam berada pada kedalaman lebih dari 30 (tiga puluh) meter di bawah permukaan
tanah.
11
Syafri, Ildrem, and Euis Tintin Yuningsih. "Kontrol Mineralogi Terhadap “Problematic Ore”
Cadangan Grasberg Block Cave (GBC) Tambang Bawah Tanah Freeport Indonesia di Papua."
Bulletin of Scientific Contribution: GEOLOGY 16, no. 1 (2018): 5-6.
12
Widodo, W., and Totok Sulistyo. "Hubungan Kualitas Batubara terhadap Kedalaman pada
Lapisan Batubara Seam A20 daerah Merandai Kotamadya Samarinda Kalimantan Timur." JTT
(Jurnal Teknologi Terpadu) 2, no. 1 (2014): 4.
Gambar 2. Ilustrasi Lapisan Bumi13

Gambar 3. Ilustrasi Pertambangan Batubara14


Pengaturan mengenai pemanfaatan Ruang Bawah Tanah juga dapat ditemukan
dalam tataran Peraturan Gubernur seperti dapat ditemukan dalam Peraturan
Gubernur DKI Jakarta Nomor 167 Tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah
(Selanjutnya disebut PERGUB Ruang Bawah Tanah) yang kemudian memberikan
batas-batas pemanfaatan Ruang Bawah Tanah. Pasal 4 PERGUB Ruang Bawah
Tanah membagi ruang bawah tanah menjadi 2 (dua) bagian yakni ruang bawah
tanah dangkal dan ruang bawah tanah dalam. Ruang bawah tanah dangkal

13https://kumparan.com/berita-update/lapisan-bumi-pengertian-dan-strukturnya-1u
yujf2Tezu diakses pada 18 Oktober 2023
14https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5f747289459e3/sinyal-kuat-perpanjanga
n-izin-pertambangan-batu-bara-kakap diakses pada 18 Oktober 2023
merupakan ruang di bawah permukaan tanah sampai dengan kedalaman 10 meter,
sedangkan ruang bawah tanah dalam merupakan ruang di bawah permukaan tanah
dari kedalaman di atas 10 meter sampai dengan batas kemampuan penguasaan
teknologi dalam pemanfaatan ruang bawah tanah atau batasan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pada ruang bawah tanah dangkal mengacu pada Pasal 5 ayat (1) PERGUB Ruang
Bawah Tanah terdapat beberapa kegiatan yang diperbolehkan yaitu: a) akses stasiun
MRT; b)sistem jaringan prasarana jalan; c) sistem jaringan utilitas; d) kawasan
perkantoran; e) fasilitas parkir; f) perdagangan dan jasa; g) pendukung kegiatan
gedung di atasnya; dan h) pondasi bangunan gedung di atasnya. Sedangkan
kegiatan yang diperbolehkan pada ruang bawah tanah dalam diatur dalam Pasal 5
ayat (2) yaitu: a) sistem angkutan massal berbasis rel (MRT); b) sistem jaringan
prasarana jalan; c) sistem jaringan utilitas; dan d) pondasi bangunan gedung di
atasnya.
Dalam upaya pemanfaat tubuh bumi tentu langkah tepat yang dapat ditempuh
adalah melihat bagaimana pemanfaatan tanah negara. Pemanfaatan Barang Milik
Negara/Barang Milik Daerah dapat dilakukan dengan cara sewa, pinjam pakai,
kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna Tanah yang
dapat dibangun rumah susun dengan pemanfaatan barang milik negara berupa
tanah tersebut haruslah tanah yang telah diterbitkan sertifikat hak atas tanah.
Mengacu pada pada UU No. 1 tahun 2004 dan PP No. 6 tahun 2006 dijelaskan
bahwa pensertipikatan a.n. Pemerintah RI dilakukan berdasar pada petunjuk yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan BPN. Dengan
demikian Kementerian Keuangan telah berkoordinasi dengan BPN dan berhasil
menyusun Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Kepala BPN RI No.
189/PMK.06/2009 dan No. 24 Tahun 2009 tentang Pensertipikatan Barang Milik
Negara Berupa Tanah. Seperti kita ketahui bahwa Tanah Negara tidak dapat
disewakan, karena Negara bukan sebagai pemilik tanah tetapi hanya sebagai
penguasa sebagaimana dimaksud dalam Hak Menguasai Negara, namun tanah
yang berada di bawah hak pengelolaan suatu lembaga yang merupakan Barang
Milik Negara, dapat disewakan.
Seperti diketahui, dalam UU Rumah Susun, yang dimaksud rumah susun
sebagaimana Pasal 1 angka 1 yakni “Rumah susun adalah bangunan gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki
dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.” apabila dimaknai,
bahwa maksud vertikal disini tidak terbatas hanya pada permukaan bumi saja,
melainkan juga dapat menyentuh dasar bumi pula.
Dalam proses pemanfaatannya juga perlu diperhatikan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (LN. 2002/ No. 134, TLN NO. 4247, LL
SETNEG : 23 HLM) serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2021 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
Tentang Bangunan Gedung. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud bangunan gedung
adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat
kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah
dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya.
Dalam hal pemanfaatan ruang bawah tanah perlu diketahui bahwa dalam PP ini
menjelaskan bahwa penting mengetahui Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang
merupakan angka persentase berdasarkan perbandingan antara luas seluruh lantai
dasar Bangunan Gedung terhadap luas lahan perpetakan atau daerah perencanaan
sesuai KRK. Koefisien Dasar Bangunan ini berbeda di setiap daerahnya, apabila di
cermati, di Kota Denpasar, Provinsi Bali, mengacu pada Peraturan Walikota
Denpasar Nomor 17 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan
(Rtbl) Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi! Bali Kecamatan Denpasar Timur
(Kluster-A) Denpasar Provinsi Bali, intensitas pemanfaatan lahan untuk Perkantoran
Pemerintah Skala Wilayah dan Nasional ditetapkan sejumlah maksimal 50%;
sarana pendidikan maksimal 50%; Sarana kesehatan 50%, Sarana perdagangan jasa
skala kawasan maksimal 70%, sarana peribadatan maksimal 70%. Selain itu perlu
dilihat pula peraturan diatasnya apabila ingin membuat rumah susun di suatu
wilayah, misalnya saja mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2
Tahun 2023 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023-2043.
Disebutkan bahwa dalam Pasal 101, terdapat peluang pemanfaatan ruang dalam
bumi, baik dangkal (kurang dari 30 meter) maupun dalam (lebih dari 30 meter),
akan tetapi penggunaannya terbatas dan tidak menyebutkan adanya izin untuk
membuat hunian di area tersebut. Tentunya hal ini tidak akan memungkinkan izin
penggunaan ruang bawah bumi untuk dijadikan hunian bawah tanah (rumah
susun)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penulisan ini maka dapat disimpulkan terdapat pengaturan
mengenai tubuh bumi yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi
Undang-Undang, yang dalam beberapa pasal dalam undang-undang tersebut juga
mengatur batasan dan kategori ruang bawah tanah hingga Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 02/PRT/M/2014 tentang Pedoman Pemanfaatan Ruang di dalam Bumi.
Pemanfaatan dari tubuh bumi ini juga diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan telah diaplikasikan secara nyata seperti pembangunan rumah susun bawah tanah,
jaringan utilitas, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal:

Afifah, Siti Sarah, Nia Kurniati, & Yusuf Saepul Zamil. "Penggunaan Ruang Bawah
Tanah untuk Bangunan Gedung ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan
terkait yang berlaku." Jurnal Bina Hukum Lingkungan 3, no. 1 (2018)

Chandranegara, Ibnu Sina. "Desain konstitusional hukum migas untuk


sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Jurnal Konstitusi 14, no. 1 (2017)

Hermawan, Sapto & Hananto, Supid Arso . Pengaturan Ruang Bawah Tanah berdasarkan
Prinsip Agraria Nasional. Jurnal Pandecta, Vol. 11, No. 1 (2021)

Jazuli, Ahmad. "Penegakan hukum penataan ruang dalam rangka mewujudkan


pembangunan berkelanjutan." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional 6, no. 2 (2017)

Mahsyar, Abdul. "Public Private Partnership: Kolaborasi Pemerintah dan Swasta Dalam
Pengelolaan Aset Publik di Kota Makassar." Jurnal Administrasi Publik 12, no. 1
(2015)

Suyanto, Suyanto. "Pemberian Hak Atas Ruang Bawah Tanah: Perspektif Hukum
Agraria." LAW Proscientist: Journal of Law Professional Scientist 1, no. 2 (2023):

Syafri, Ildrem, and Euis Tintin Yuningsih. "Kontrol Mineralogi Terhadap “Problematic
Ore” Cadangan Grasberg Block Cave (GBC) Tambang Bawah Tanah Freeport
Indonesia di Papua." Bulletin of Scientific Contribution: GEOLOGY 16, no. 1 (2018)

Widodo, W., and Totok Sulistyo. "Hubungan Kualitas Batubara terhadap Kedalaman
pada Lapisan Batubara Seam A20 daerah Merandai Kotamadya Samarinda
Kalimantan Timur." JTT (Jurnal Teknologi Terpadu) 2, no. 1 (2014)

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005, Nomor 63 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4532)

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6856)

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang


Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005, Nomor 63 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4532)

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan
Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6630)
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 31, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6633)

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 02/PRT/M/2014 tentang Pedoman Pemanfaatan


Ruang di dalam Bumi

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 167 Tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 106 Tahun 2019 tentang Infrastruktur Jaringan Utilitas

Lain-lain:

Hmgp.geo. July 7,2022. MRT Jakarta Fase 2: Transportasi Bawah Tanah dan Melayani sebagai
PenyokongIbukota,https://hmgp.geo.ugm.ac.id/2022/07/07/mrt-jakarta-fase-2-transp
ortasi-bawah-tanah-dan-melayang-sebagai-penyokong-ibukota-2/ diakses pada 10
Oktober 2023

CNN Indonesia, Senin, 25 Sep 2023 10.30 WIB, LRT Bali akan dibangun di Bawah Tanah, Biaya
yang dibutuhkan Rp 9T,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230925101743-92-1003273/lrt-bali-akan-di
bangun-di-bawah-tanah-biaya-yang-dibutuhkan-rp9-t, diakses pada 10 Oktober 2023

Anda mungkin juga menyukai