DKI JAKARTA
1
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang
Rencana tata ruang dibuat karena pada dasarnya ruang memiliki keterbatasan, oleh
karena itu dibutuhkan peraturan untuk mengatur dan merencanakan ruang agar dapat
dimanfaatkan secara efektif. Produk atau hasil dari perencanaan tata ruang wilayah
dituangkan dalam bentuk dokumen berupa peta rencana tata ruang wilayah.
Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah salah satu wilayah
strategis nasional karena merupakan pusat ekonomi dan pusat pemerintahan negara
Indonesia. Kompleksitas dalam penataan provinsi yang berskala megapolitan ini juga
sangat tinggi. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta yang terbaru sendiri
tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1
Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Sebagaimana wilayah lainnya
di Indonesia, setiap penataan wilayah haruslah mempertimbangkan kondisi fisik
wilayah yang rentan terhadap bencana. Banjir bisa dibilang menjadi permasalahan alam
utama di Provinsi Jakarta. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) DKI Jakarta, jumlah pengungsi akibat banjir di wilayah DKI Jakarta mencapai
45,183 jiwa (2015), 7,760 jiwa (2016), 9,100 jiwa (2017), serta 15,627 jiwa (2018),
sedangkan diukur dari jumlah satuan rukun warga (RW) terdampak yaitu 702 RW
(2015), 460 RW (2016), 375 RW (2017), serta 217 RW (2018).2
Beberapa pihak menyoroti tata ruang/pemanfaatan ruang DKI Jakarta yang
tidak sesuai dengan kondisi alam menjadi permasalahan utama banjir Jakarta yang
sudah regular terjadi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa
penyebab utama terjadinya banjir di Jakarta adalah kesalahan tata ruang Ibu Kota.3
Nirwono Joga, pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, dalam wawancara dengan
tirto.id mengatakan bahwa lebih dari 80% tata ruang di Jakarta menyalahi peruntukan
sehingga tidak heran beberapa wilayah langganan dilanda banjir.4 Isu ini menjadi
sebuah pintu masuk ke dalam pembahasan korelasi antara penataan ruang dengan
bencana alam, khususnya banjir.
1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan antara penataan ruang wilayah dengan bencana banjir di
wilayah DKI Jakarta?
2
https://beritagar.id/artikel/berita/data-banjir-jakarta-versi-anies-beda-dengan-bpbd-dki
3
http://lipi.go.id/berita/single/Banjir-Jakarta-akibat-Kesalahan-Tata-Ruang-Bertahun-tahun/9819
4
https://tirto.id/lebih-dari-80-persen-tata-ruang-di-kota-jakarta-salah-bFEg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teoritis dan Konseptual
2.1.1. Penataan Ruang
Kartasasmita mengemukakan bahwa Penataan Ruang secara umum
mengandung pengertian sebagai suatu proses yang meliputi proses
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan
ruang yang harus berhubungan satu sama lain.5 Tata ruang berarti susunan ruang
yang teratur. Kata teratur mencakup pengertian serasi dan sederhana sehingga
mudah dipahami dan dilaksanakan. Karena pada tata ruang, yang ditata adalah
tempat berbagai kegiatan serta sarana dan prasarananya dilaksanakan. Suatu
tata ruang yang baik dapat dilaksanakan dari segala kegiatan menata yang baik
disebut penataan ruang. Dalam hal ini penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan
utama yakni perencanaan tata ruang, perwujudan tata ruang dan pengendalian
tata ruang.6
Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(disingkat UUPR), ruang terdiri dari ruang wilayah dan ruang kawasan.
Pengertian wilayah dalam Pasal 1 butir 17 UUPR adalah ruang yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenapnya unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administartif dan/atau aspek fungsional.
Sedangkan pengertian kawasan dalam Pasal 1 butir 20 UUPR adalah wilayah
yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
UUPR merupakan Undang-Undang pokok yang mengatur tentang
pelaksanaan penataan ruang. Keberadan undang-undang tersebut diharapkan
selain sebagai konsep dasar hukum dalam melaksanakan perencanaan tata ruang
juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan pemerintah dalam
penataan dan pelestarian lingkungna hidup. Setiap pembangunan yang
dilakukan dalam suatu negara harus terarah, supaya terjadi keseimbangan,
keserasian (keselarasan), berdaya guna, berhasil guna, berbudaya dan
5
Kartasasmita, G. 1997. Administrasi Pembangunan (Perkembangan Pemikiran dan Prakteknya di
Indonesia). LP3ES. Jakarta). Hal. 51
6
Silalahi, M. Daud. 2006. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia. Alumni Bandung. hal 80.
berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
berkeadilan. Untuk perlu disusun suatu rencana yang disebut rencana tata
ruang.rencana tata ruang ada yang bersifat Nasional, artinya meliputi bidang
Nasional ada pula yang hanya berlaku untuk wilayah, atau regional tertentu
seperti RUTR.
2.1.2. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Rencana tata ruang wilayah atau RTRW adalah hasil perencanaan ruang
pada wilayah yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif. Rencana
tata ruang dibuat karena pada dasarnya ruang memiliki keterbatasan, oleh
karena itu dibutuhkan peraturan untuk mengatur dan merencanakan ruang agar
dapat dimanfaatkan secara efektif. Produk atau hasil dari perencanaan tata ruang
wilayah dituangkan dalam bentuk dokumen berupa peta rencana tata ruang
wilayah.
Dokumen tata ruang sebagai produk hasil dari kegiatan perencanaan
ruang berfungsi untuk mengefektifkan pemanfaatan ruang dan mencegah
terjadinya konflik antar fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, selain itu juga
bertujuan untuk melindungi masyarakat sebagai pengguna ruang dari bahaya-
bahaya lingkungan yang mungkin timbul akibat pengembangan fungsi ruang
pada lokasi yang tidak sesuai peruntukan.
Konsep penyusunan dokumen rencana tata ruang bersifat hierarkis,
tujuannya agar fungsi yang ditetapkan antar dokumen tata ruang tetap sinergis
dan tidak saling bertentangan karena dokumen tata ruang yang berlaku pada
lingkup mikro merupakan penjabaran dan pendetilan dari rencana tata ruang
yang berlaku pada wilayah yang lebih makro.
Dokumen tata ruang yang memiliki tujuan untuk mengatur ruang agar
dapat dimanfaatkan secara efektif dan untuk mencegah terjadinya konflik antar
fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, serta untuk melindungi masyarakat
sebagai pengguna ruang dari bahaya-bahaya lingkungan, untuk itu perlu
dilakukan evaluasi agar dokumen tata ruang dapat berfungsi sesuai dengan
tujuannya.
2.1.3. Banjir
Banjir7 merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di suatu kawasan yang
banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan
sebagainya hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi
kawasan tersebut. Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir
sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan Bumi
yang bergerak ke laut. Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang
mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat
peresapan air ke dalam tanah.
Secara sederhana, segmen aliran sungai itu dapat di bedakan menjadi daerah
hulu, tengah dan hilir.
7
Maryono, Agus, and Nunung Prajarto. Menangani banjir, kekeringan, dan
lingkungan. Gadjah Mada University Press, 2005.
endapan sungai yang berukuran butir kasar. Bila debit air meningkat, aliran air
dapat naik dan menutupi endapan sungai yang di dalam alur, tetapi air sungai
tidak melewati tebing sungai dan keluar dari alur sungai.
3. Daerah hilir: umumnya merupakan daerah dataran. Alur sungai lebar dan bisa
sangat lebar dengan tebing sungai yang relatif sangat rendah dibandingkan lebar
alur. Alur sungai dapat berkelok-kelok seperti huruf “S” yang dikenal sebagai
“meander”. Di kiri dan kanan alur terdapat dataran yang secara teratur akan
tergenang oleh air sungai yang meluap, sehingga dikenal sebagai “dataran
banjir”. Di segmen ini terjadi pengendapan di kiri dan kanan alur sungai pada
saat banjir yang menghasilkan dataran banjir. Terjadi erosi horizontal yang
mengerosi endapan sungai itu sendiri yang diendapkan sebelumnya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Penataan Ruang dan Bencana Banjir di Wilayah Provinsi DKI Jakarta
Bencana alam menjadi perhatian khusus dalam pengelolaan tata ruang di
Indonesia. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (UUPR), kondisi fisik wilayah NKRI yang rentan terhadap bencana menjadi
salah satu perhatian utama penyelenggaraan penataan ruang. Kesadaran akan rawannya
bencana membuat perencanaan dan implementasi penataan ruang menjadi salah satu
instrumen untuk meminimalisir dampak bencana. Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang menjadi salah satu dokumen penataan ruang perlu dipikirkan dan dibuat
dengan cermat karena merupakan salah satu pemeran penting dalam kekuatan mitigasi
bencana daerah.
Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah yang sangat vital di wilayah
Indonesia. Selain berkedudukan sebagai Ibu Kota di mana pusat pemerintahan berada,
Jakarta juga merupakan pusat perekonomian utama. Sesuai dengan amanat UUPR yang
merupakan regulasi utama penataan ruang, DKI Jakarta sebagai wilayah tingkat
provinsi harus memiliki sebuah RTRW yang berlaku selama dua puluh tahun. RTRW
Provinsi DKI Jakarta sendiri tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
Sebelumnya rencana penataan ruang DKI Jakarta tercatat pernah tertuang dalam
Rencana Induk Djakarta 1965-1985, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 1985-2005,
dan Rencana Tata Ruang Jakarta (RTRJ) 2010-2030. Semua perencanaan tersebut
sebagaimana diperintahkan oleh UUPR sebagai peraturan induk selalu
mempertimbangkan mitigasi dan antisipasi bencana.
Namun, bencana banjir masih menjadi momok yang terus menghantui Provinsi
DKI Jakarta. Tercatat setiap tahunnya Jakarta selalu mengalami bencana banjir dengan
jumlah wilayah dan jumlah korban terdampak yang variatif. Catatan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta dalam beberapa tahun terakhir
diantaranya jumlah pengungsi akibat banjir di wilayah DKI Jakarta mencapai 45,183
jiwa (2015), 7,760 jiwa (2016), 9,100 jiwa (2017), serta 15,627 jiwa (2018), sedangkan
diukur dari jumlah satuan rukun warga (RW) terdampak yaitu 702 RW (2015), 460 RW
(2016), 375 RW (2017), serta 217 RW (2018). Sebagai kota megapolitan yang memiliki
tingkat aktivitas dan mobilitas tinggi tentunya banjir selalu menjadi permasalahan
besar.
Banyak pihak menyoroti penataan ruang menjadi salah satu masalah utama dari
bencana banjir yang hampir tidak pernah dapat diantisipasi. Salah satu pendapat yang
mendasar dan umum adalah bahwa produk-produk RTRW tidak diikuti dengan
perubahan pada praktek pemanfaatan ruang. RTRW memang merupakan desain ideal
dari pemanfaatan ruang sebuah daerah karena dibuat dengan pertimbangan-
pertimbangan ilmiah, namun tanpa kesesuaian dalam praktiknya dokumen seperti
RTRW hanya akan menjadi macan kertas. Menurut Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan
Indonesia (IPLBI)8, dokumen perencanaan tata ruang malah sudah berubah perannya
sebagai dokumen untuk memutihkan penyimpangan tata ruang pada periode
sebelumnya dan sekaligus menjadi dokumen justifikasi untuk menjalankan praktek
pembangunan dari berbagai kelompok.
Implementasi terkait Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah contoh nyata dari
ketidaksesuaian perencanaan ruang dan praktiknya yang kemudian membawa masalah
termasuk yang berkaitan dengan banjir. UUPR dan peraturan turunannya yakni
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
memerintahkan bahwa RTH harus mencapai 30% dari luas wilayah (20% dikelola
publik dan 10% milik privat). Jangankan pada tingkat pelaksanaan, pada dokumen yang
lebih spesifik , yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta tahun 2030 yang
merupakan turunan dari RTRW DKI Jakarta tahun 2030, luas peruntukan hijau adalah
sebesar 12.116% dari luas Jakarta. Pada implementasinya, data yang diambil melalui
metode SPOT 69 pada tahun 2015 menunjukan bahwa lahan RTH di wilayah DKI
Jakarta baru mencapai 4,7%. Dapat disimpulkan bahwa implementasi dari perencanaan
tata ruang Provinsi DKI Jakarta dalam hal RTH masih sangat jauh dari ideal.
8
https://iplbi.or.id/banjir-jakarta-dan-inefektifitas-tata-ruang-di-indonesia/
9
... from Landsat 8 data, used NDVI from SPOT 6 data by Febrianti et al (2015), used NDVI
from Landsat TM by Ahmad et al (2014), used NDVI from IRS dan LIS III satellite images by Faryadi and
Taheri (2009), and used NDVI from Quickbird and IRS data by Shetty and Somashekar (2016). ...
Ketersediaan RTH merupakan salah satu faktor yang dapat menyelesaikan
permasalahan banjir karena RTH sendiri berfungsi untuk membantu peresapan air
hujan sehingga memperkecil erosi dan banjir. Pada Kawasan tepian air (reperieum)
tanah yang tererosi akan menjadi endapan yang masuk ke dalam badan air.10 Sehingga
dapat disimpulkan bahwa minimnya ketersediaan RTH memiliki hubungan erat dengan
masifnya bencana banjir di DKI Jakarta.
Sesungguhnya permasalahan RTH merupakan permasalahan yang dihadapi
banyak kota-kota lain di Indonesia. Jakarta yang padat akan penduduk dan menjadi
pusat ekonomi sehingga arah pembangunannya terfokus pada pembangunan
pemukiman dan komersialisasi.11 Contohnya jika membicarakan faktor proyek-proyek
nasional yang banyak memakan tempat di Ibu Kota seperti Light Rapid Transit, Mass
Rapid Transit (MRT), kereta cepat hingga reklamasi. Program-program nasional
tersebut menambah beban DKI Jakarta untuk memiliki RTH yang ideal. Belum lagi
10
Lilik Slamet, Ruang Terbuka Hijau di Jakarta, Jurnal Perencanaan Pembangunan No, 31/April-Juni
2003.
11
https://tirto.id/lebih-dari-80-persen-tata-ruang-di-kota-jakarta-salah-bFEg
revisi tata ruang yang tidak diorientasikan pada kepentingan publik namun kepentingan
bisnis developer. Pernyataan spekulatif bahwa kelompok kepentingan bisnis lebih
banyak berpengaruh dalam penataan ruang di Jakarta didasarkan oleh data banyaknya
wilayah yang dialihfungsikan menjadi Kawasan komersil dengan intensitas tinggi
seperti di daerah Senopati, Kemang, reklamasi Pantai Indah Kapuk, dan Kelapa
Gading.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah salah satu wilayah
strategis nasional karena merupakan pusat ekonomi dan pusat pemerintahan negara
Indonesia. Kompleksitas dalam penataan provinsi yang berskala megapolitan ini juga
sangat tinggi. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta yang terbaru sendiri
tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1
Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Sebagaimana wilayah lainnya
di Indonesia, setiap penataan wilayah haruslah mempertimbangkan kondisi fisik
wilayah yang rentan terhadap bencana. Banjir bisa dibilang menjadi permasalahan alam
utama di Provinsi Jakarta. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) DKI Jakarta, jumlah pengungsi akibat banjir di wilayah DKI Jakarta mencapai
45,183 jiwa (2015), 7,760 jiwa (2016), 9,100 jiwa (2017), serta 15,627 jiwa (2018),
sedangkan diukur dari jumlah satuan rukun warga (RW) terdampak yaitu 702 RW
(2015), 460 RW (2016), 375 RW (2017), serta 217 RW (2018)
Implementasi terkait Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah contoh nyata dari
ketidaksesuaian perencanaan ruang dan praktiknya yang kemudian membawa masalah
termasuk yang berkaitan dengan banjir. UUPR dan peraturan turunannya yakni
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
memerintahkan bahwa RTH harus mencapai 30% dari luas wilayah (20% dikelola
publik dan 10% milik privat). Jangankan pada tingkat pelaksanaan, pada dokumen yang
lebih spesifik , yaitu Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta tahun 2030 yang
merupakan turunan dari RTRW DKI Jakarta tahun 2030, luas peruntukan hijau adalah
sebesar 12.116% dari luas Jakarta. Pada implementasinya, data yang diambil melalui
metode SPOT 6 pada tahun 2015 menunjukan bahwa lahan RTH di wilayah DKI
Jakarta baru mencapai 4,7%. Dapat disimpulkan bahwa implementasi dari perencanaan
tata ruang Provinsi DKI Jakarta dalam hal RTH masih sangat jauh dari ideal.
Ketersediaan RTH merupakan salah satu faktor yang dapat menyelesaikan
permasalahan banjir karena RTH sendiri berfungsi untuk membantu peresapan air
hujan sehingga memperkecil erosi dan banjir. Pada Kawasan tepian air (reperieum)
tanah yang tererosi akan menjadi endapan yang masuk ke dalam badan air. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa minimnya ketersediaan RTH memiliki hubungan erat dengan
masifnya bencana banjir di DKI Jakarta.