Anda di halaman 1dari 28

NASKAH AKADEMIK

RAPERDES DESA KENDUNG KAMPIL KEC. PORONG KABUPATEN SIDOARJO


TENTANG TATA KELOLA TANAH KAS DESA

Oleh :

Nama : Hisyam Fakhrul Ulum


Angelo Emanuel Flavio Sea
Laode Muhammad Suhardiman
DosenPembimbing : Dr. Sirajudin, SH. MH.
Program Studi : Ilmu Hukum

UNIVERSITAS WIDYAGAMA
MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber kekayaan alam yang sangat melimpah.
Khususnya tanah yang digunakan dan dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kesejahteraan
rakyat. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membuat rencana umum persediaan, peruntukan
dan penggunaan tanah. Hal ini diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan-Peraturan Pokok Agraria yang mengatur bahwa :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dari Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2) serta Pasal
10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya:

a. Untuk keperluan Negara

b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainya, sesuai dengan dasar
KeTuhanan yang Maha Esa

c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain


kesejahteraan

d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan serta


sejalan dengan itu

e. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan

Sehubungan dengan hal tersebut, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun


2007 tentang Penataan Ruang. Tujuan penyelenggaraan penataan ruang diatur dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang mengatur bahwa, penyelanggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan terwujudnya :

a. Keharmonisan antara lingkungan alam dengan lingkungan buatan

b. Keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. Perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat
pemanfaatan ruang.
Pemanfaatan ruang tidak terlepas dari penggunaan tanah, sebab tanah merupakan obyek
utama dalam upaya memanfaatkan ruang, Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004
mengatur bahwa :

I. Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga
pola pengelolaan tata guna tanah

II. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan di bidang
Pertanahan di kawasan lindung dan budidaya

III. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan
rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota

IV. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota

Dalam rangka menindaklanjuti ketentuan dan kebijakan dari pemerintah tentang pengelolaan
kekayaan desa maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa, Pasal 2 ayat (1)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2007 mengatur bahwa, Jenis
kekayaan desa terdiri atas :

a. Tanah kas desa

b. Pasar desa

c. Pasar hewan

d. Tambatan perahu

e. Bangunan desa

f. Pelelangan ikan yang dikelola oleh desa; dan

g. Lain-lain kekayaan milik desa.

Tanah Kas Desa merupakan salah satu aset desa yang perlu diperhatikan terutama dalam hal
pengembangan fungsi Tanah, agar tidak terjadi tumpang tindih. Akibat pola pergantian jabatan dan
sistem pemerintahan desa.

Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk pengaturan pemanfaatan Tanah Kas Desa dalam mewujudkan


penatagunaan ruang wilayah yang baik dan terstruktur, dan bermamfaat bagi masyarakat
desa.
2. Bagaimana system pengaturan pemanfaatantanah kas desa ditinjau dari sistem
pemerintahan pusat maupun daerah

Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya naskah akademik ini yaitu :

1. Mengetahui bentuk pengaturan pemanfaatan Tanah Kas Desa dalam mewujudkan


penatagunaan ruang wilayah yang baik dan terstruktur, dan bermamfaat bagi masyarakat
desa.

2. Mengetahui Sistem pengaturan pemanfaatantanah kas desa ditinjau dari sistem


pemerintahan pusat maupun daerah agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan terkait.

Metode Penulisan

Dalam penulisan naskah akademik ini, metode/pendekatan yang digunakan adalah yuridis
sosiologis yakni suatu pendekatan dengan berdasarkan norma-norma atau peraturan yang mengikat,
sehingga diharapkan dari pendekatan ini dapat diketahui bagaimana hukum yang secara empiris
merupakan gejala masyarakat itu dapat dipelajari sebagai suatu variabel penyebab yang
menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan sosial.1

Adapun sistematika penulisan yang digunakan dalam naskah akademik ini mengikuti
sistematika penulisan berdasarkan Perpres No. 68/2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional.

1
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Bandung, 1990) hlm. 34-35
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Penata Gunaan Tanah

a. Pengertian Tata Guna Tanah

Tata Guna Tanah "Tanah" dipakai dalam berbagai arti, maka dalam pengunaannya perlu
mengetahui batasan dari pada tanah, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut
digunakan. "Tanah", dalam arti yuridis, menurut undang-undang pokok agraria (UUPA)
pasal 4 disebutkan, bahwa atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanaya
bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang .

Dengan demikian jelaslah, bahwa "tanah" dalam pengertian yuridis adalah permukaan
bumi (ayat 1). Sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi,
yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Tanah yang diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk
digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak
tersebut tidak akan bermakna, jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai
permukaan bumi saja. Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga
penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada di
atasnya.

Oleh karena itu dalam (ayat2) dinyatakan, bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya
memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang
bersangkutan, yang disebut "tanah", tapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air
serta ruang yang ada di atasnya. Dengan demikian, maka yang dipunyai dengan hak atas
tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tapi
wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga
penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada
diatasnya. Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksud itu bukan kepunyaan pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya. Penggunaan
tanah ini ada batasnya menurut pasal 4 ayat (2) sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-
undang (UUPA) dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedangkan berapa tubuh
bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada di atasnya boleh digunakan,
ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis
kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

b. Asas Penatagunaan Tanah

Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2004 menyatakan asas penatagunaan tanah
meliputi : Penatagunaan tanah berasaskan keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna,
serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan
perlindungan hukum.

c. Tujuan Penatagunaan Tanah

Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Penatagunaan tanah bertujuan
untuk :

1. Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan


kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah;

2. Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan


arahan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang wilayah;

3. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan


pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;

4. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah


bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan.

d. Kegiatan Penatagunaan Tanah

Menurut Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah
yaitu :

1. Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga
pola pengelolaan tata guna tanah

2. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan dibidang
pertanahan di kawasan lindung dan kawasan budidaya

3. Penatagunaan tanah sebagimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan


rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota

4. Penatagunaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota

e. Kebijakan Penatagunaan Tanah

Kebijakan penatagunaan tanah dibagi menjadi tiga bagian :

1. Kebijakan penatagunaan tanah

2. Penguasaan tanah

3. Pengunaan dan Pemanfaatan Tanah


f. Penyelenggaraan Penatagunaan tanah

Pelaksanaan penyelenggaraan penatagunaan tanah. Dalam rangka menyelenggarakan


penatagunaan tanah dilaksanakan kegiatan yang meliputi :

1. Pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah

2. Penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan


pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan.

3. Penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan


rencana tata ruang wilayah

B. Tinjauan tentang Tanah Kas Desa

1. Pengertian Tanah Kas Desa


Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa, Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2007 mengatur bahwa, Jenis kekayaan
desa terdiri atas :
a. Tanah kas desa
b. Pasar desa
c. Pasar hewan
d. Tambatan perahu
e. Bangunan desa
f. Pelelangan ikan yang dikelola oleh desa; dan
g. Lain-lain kekayaan milik desa.
2. Pemanfaatan Tanah Kas Desa
Pemanfaatan tanah kas desa adalah usaha mengoptimalkan daya guna dan hasil
guna tanah kas desa baik digunakan sendiri oleh Pemerintah Desa maupun melalui
kegiatan sewa menyewa, kerja sama pemanfaatan, bangun serah guna dan bangun guna
serah dengan tidak mengubah status tanah kas desa.
3. Perubahan Peruntukan Tanah Kas Desa
Perubahan peruntukan tanah kas desa adalah perubahan dari suatu bentuk
pemanfaatan atau penggunaan tertentu menjadi bentuk pemanfaatan atau penggunaan
lainya yang dilaksanakan oleh pemerintah desa
C. Tinjauan tentang Penataan Ruang
1. Pengertian Penataan Ruang
DalamUndang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diberikan
penjelasan-penjelasan mengenai ketentuanketentuan rencana tata ruang.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menentukan : Ruang
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Asas penataan ruang
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyebutkan asas asas penataan
ruang antara lain :
a. Keterpaduan
b. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan
c. Keberlanjutan
d. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan
e. Keterbukaan
f. Kebersamaan dan kemitraan
g. Perlindungan kepentingan umum
h. Kepastian hukum dan keadilan
i. Akuntabilitas
3. Tujuan penataan ruang
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menentukan bahwa : Tujuan
penataan ruang yaitu bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan
nasional dengan :
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia
c. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
4. Penyelenggaraan penataan ruang
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 ayat (1) dan (2)
menentukan bahwa :
1. Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesarbesarnya kemakmuran
rakyat
2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Negara
memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah
daerah.

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG


MENJADI DASAR HUKUM DAN YANG TERKAIT

A. KONDISI HUKUM DAN SATUS HUKUM YANG ADA


Dengan diberlakukannya UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
seluruh instansi pemerintah dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang sebaik-
baiknya kepada masyarakat yaitu pelayanan yang cepat, mudah, murah dan akuntabel.
Untuk itu setiap unit pelayanan diharapkan mampu berinovasi menciptakan berbagai
terobosan yang memudahkan masyarakat mendapatkan layanan tanpa melanggar norma
hukum yang berlaku.

Pemerintah Daerah menyadari bahwa dalam meningkatkan kesejahteraan


masyarakat dan daya saing daerah, salah satu faktor yang menentukan adalah kualitas
pelayanan publik. Dalam hal peningkatan kualitas pelayanan publik, Pemkab Jembrana
memiliki komitmen yang jelas, hal itu dapat dibuktikan dalam RPJMD Kabupaten
Jembrana dengan tegas tercantum peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi salah
satu prioritas pembangunan daerah. Atas dasar prioritas pembangunan daerah tersebut,
berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik
diantaranya membentuk Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu sebagai wujud Pelayanan
Terpadu Satu Pintu dan memberikan penghargaan bagi SKPD/unit pelayanan yang
berprestasi dan memiliki komitmen dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat.
Pembentukan (BPPT) yang mulai beroperasi 1 Mei 2013 lalu merupakan wujud nyata
komitmen kami dalam mempermudah dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat
serta mendorong tumbuhnya iklim investasi yang sehat di Kabupaten Jembrana, tegas
Bupati seraya menambahkan dalam memberikan pelayanan dan memimpin Jembrana
selalu dengan hati yang tulus.
Selain itu menurut Bupati, bahwa dalam upaya untuk mendapatkan masukan
dari masyarakat, Jembrana juga sudah mengarahkan agar seluruh SKPD untuk
melakukan survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM).
Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan
Peraturan Daerah Kabupaten Jembranatentang Pelayanan Publik adalah:
1. Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038).
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 473 ).
6. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
7. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi
Nomor 36 Tahun 2012 Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, Dan
Penerapan Standar Pelayanan.
8. Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana(Lembaran Daerah Kabupaten
Jembrana Tahun 2008 Nomor 2).
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan ini merupakan landasan hukum
konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah. Pemerintahan daerah provinsi,
pemerintah daerah kabupaten/kota adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2) UUD
1945). Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat
(Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).
Ketentuan tersebut menjadi politik hukum pembentukan peraturan daerah tentang
Pelayanan Publik. Sebagai dasar hukum formal pembentukan perda ini adalah Pasal 18
ayat (6) UUD 1945, sebagaimana juga ditentukan pada Pedoman 39 Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3U) Lampiran UU 12/2011, yang
menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan
Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945..

B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN YANG LAIN
Dalam sistem negara hukum modern, kekuasaan Negara dibagi dan dipisah-
pisahkan antara cabang-cabang kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif.
Kekuasaan untuk membuat aturan dalam kehidupan bernegara dikonstruksikan berasal
dari rakyat yang berdaulat yang dilembagakan dalam organisasi negara di lembaga
legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat misalnya kekuasaan membentuk undang-
undang merupakan kekuasaan negara yang dipegang oleh badan legislatif.14 Sedangkan
cabang kekuasaan pemerintahan negara sebagai organ pelaksana atau eksekutif hanya
menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh cabang legislative. Sementara itu
cabang kekuasaan kehakiman atau yudikatif bertindak sebagai pihak yang menegakkan
peraturan-peraturan itu melalui proses peradilan.

Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya dituangkan dalam undang-


undang dasar atau hukum yang tertinggi di bawah undang-undang dasar ada undang-
undang sebagai bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislatif. Namun karena materi
yang diatur dalam undang-undang itu hanya terbatas pada soal-soal umum, diperlukan
pula bentuk-bentuk peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana undang-
undang yang bersangkutan. Lagi pula sebagai produk lembaga

14 Made Subawa, 2003, Implikasi Yuridis Pengalihan Kekuasaan Membentuk


Undang-Undang terhadap Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca perubahan
UUD 1945, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 1.
politik seringkali undang-undang hanya dapat menampung materi-materi kebijakan yang
bersifat umum. Forum legislatif bukanlah forum teknis melainkan forum politik,
A.V.Dicey menyetujui adanya pendelegasian kewenangan ;

The cumbersomeness and prolixity of English statute is due in no small measure


to futile endeavoursof Parliament to work out the details of large legislative
changes the substance no less than the form of law would,it is probable, be a
good deal improved if the executive government of England could, ike that of
France , by means of decrees, ordinances, or proclamations having yhe force
of law, work out the detailed application of the general principles embodied in
the acts of the legislature [(1898),1959,pp52-53].15

( terjemahan bebasnya : Kesulitan dalam penggunaan dan bertele-telenya


Undang-undang di Inggris adalah dikarenakan tidak adanya ukuran untuk
melakukan usaha yang sia-sia dari parlemen untuk menyelesaikan pekerjaan
perubahan legislative yang besar secara
terperincipersoalan bentuk hukum yang diinginkan, dimana hal tersebut
memungkinkan, akan merupakan peningkatan persetujuan yang baik apabila
pemerintah eksekutif di Inggris bisa seperti di Prancis, yang diartikan sebagai
dekrit, peraturan, atau proklamasi yang memiliki tekanan akan hukum,
menyelesaikan rincian penerapan dari prinsip secara umum yang diwujudkan
dalam undang- undang dari badan pembuat undang-undang . [(1898),1959,pp52-
53].

Dalam kaitannya dengan adanya pendelegasian kewenangan mengatur dimana


sumber kewenangan pokoknya ada ditangan legislator maka pemberian kewenangan
untuk mengatur lebih lanjut itu kepada lembaga eksekutif atau lembaga pelaksana
haruslah dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang akan dilaksanakan hal
inilah biasanya dinamakan legislative

15 Hilaire Barnett, 2003, Constitusional & Adminittratif Law, Fourth Edition


Cavendish Publishing hal. 485.
delegation of rule making power.16 Berdasarkan prinsip pendelegasian ini norma hukum
yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa di dasarkan atas
delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan.

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka


pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Mengingat arti pentingnya pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang


cukup besar terhadap pelayanan publik. Hal ini terbukti dengan diperlukannya beberapa
peraturan perundangan yang mengatur tentang pelayanan publik.
Materi pokok yang diatur mengenai Penyelenggaraan Kearsipanyang akan diatur
dalam Peraturan Daerah yang sedang disusun Naskah Akademisnya ini mempunyai
keterkaitan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.

Tabel 5 : Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan


Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANAN YANG LAIN
Perda Jembrana UU No 23 ANALISIS
No 2 Tahun 2008 Tahun 2014
tentang Urusan tentang
Pemerintah Pemerintahan
Kabupaten Daerah
Jembrana

a. pelaksanaan Pasal 4 Urusan Pemerintah Pengkajian


pelayanan; wajib Daerah wajib kewenangan kaitan
b. pengelolaan sebagaimana menjamin antara jenis
pengaduan dimaksud terselenggara peraturan

16 Jimly Asshiddiqie II, Op.cit, hal. 215.


masyarakat; dalam Pasal 3 nya pelayanan dan materi muatan
c. pengelolaan adalah urusan publik peraturan perundang-
informasi; pemerintahan berdasarkan undangan menunjukkan
d. pengawasan yang wajib Urusan terdapat adanya dasar
internal; diselenggarak an Pemerintahan kewenangan
e. penyuluhan oleh Pemerintahan yang pembetukan Peraturan
kepada Daerah yang menjadi Daerah
masyarakat; dan berhubungan kewenangan
f. pelayanan dengan pelayanan Daerah
konsultasi. dasar

Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat


Daerah, UU No 23 Tahun 2014 dan Peraturan Daerah Kabupaten JembranaNo. 2
Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintah Kabupaten Jembrana
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. PANDANGAN AHLI DAN UU 12/2011


Validitas hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Hans Kelsen, adalah eksistensi
spesifik dari norma-norma. Dikatakan bahwa suatu norma adalah valid adalah sama
halnya dengan mengakui eksistensinya atau menganggap norma itu mengandung
kekuatan mengikat bagi mereka yang perbuatannya diatur oleh peraturan tersebut17.
Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum yang menyatakan bahwa norma-
norma hukum itu mengikat dan mengharuskan orang untuk berbuat sesuai dengan
yang diharuskan oleh norma-norma hukum tersebut. Suatu norma hanya dianggap valid
apabila didasarkan kondisi bahwa norma tersebut termasuk ke dalam suatu sistem norma.
Berkenaan dengan validitas hukum ini, Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada
pandangan Gustav Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan
berlakunya suatu hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum tersebut.
Bahwasanya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch
disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan, dan kepastian
hukum18.
Uraian tersebut menunjukkan keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-
nilai dasar hukum, bahwasanya hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya
hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya
hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan

17 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul
Muttaqien dari judul asli: General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit
Nusamedia dan Penerbit Nuansa, 2006), hal. 40
18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
2000), hal. 19
didasarkan pada keberlakuan yuridis agar hukum itu
mencerminkan nilai kepastian hukum.
Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan hukum dalam kaitannya
dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan dalam sejumlah
buku yang ditulis oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly Assiddiqie19, Bagir
Manan20, dan Solly Lubis21.. Pandangan ketiga sarjana itu dapat disajikan dalam tabel
berikut.
Tabel 6: Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut
Para Sarjana Indonesia22

Landasan Jimly Bagir Manan M. Solly Lubis


Asshiddiqie

Filosofis Bersesuaian dengan Mencerminkan nilai Dasar filsafat


nilai- nilai filosofis yang terdapat dalam atau pandangan,
yang dianut oleh suatu cita hukum atau ide yang
Negara. (rechtsidee), baik menjadi dasar cita-
Contoh, nilai- sebagai sarana cita sewaktu
nilai filosofis yang melindungi nilai- menuangkan hasrat
Negara Republik nilai maupun sarana dan
Indonesia terkandung mewujudkannya dalam kebijaksanaan
dalam Pancasila tingkah (pemerintahan
sebagai staatsfunda- laku masyarakat. ) ke dalam
mentalnorm. suatu rencana atau
draft
peraturan Negara.

19 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006),


hal . 169-174, 240-244
20 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Ind-Hill.Co, 1992), hal. 14-17.
21 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung:
Penerbit CV Mandar Maju, 1989), hal. 6-9.
22 Gede Marhaendra Wija Atmaja, Politik Pluralisme Hukum .,
Op. Cit., hal. 38.
Sosiologis Mencerminkan Mencerminkan -
tuntutan kebutuhan kenyataan yang
masyarakat sendiri hidup dalam
akan masyarakat.
norma hukum. [Juga Kenyataan itu
dikatakan, keberlakuan dapat berupa
sosiologis berkenaan kebutuhan atau
dengan (1) tuntutan atau
kriteria pengakuan masalah- masalah
terhadap daya yang
ikat norma dihadapi yang
hukum; (2) memerlukan
kriteria penerimaan penyelesaian.
terhadap daya
ikat norma
hukum; dan (3)
kriteria faktisitas
menyangkut norma
hukum
secara faktual
memang berlaku
efektif dalam
masyarakat].

Yuridis Norma hukum Keharusan (1) Ketentuan hukum


itu sendiri adanya kewenangan yang
memang ditetapkan (1) dari pembuat peraturan menjadi dasar
sebagai norma perundang- undangan; hukum bagi
hukum berdasarkan (2) adanya pembuatan suatu
norma hukum kesesuaian bentuk peraturan, yaitu:
yang lebih tinggi; atau jenis (1) segi formal,
(2) menunjukkan peraturan yakni landasan
hubungan
keharusan antara perundang- undangan yuridis yang
suatu dengan materi memberi
kondisi dengan yang diatur; kewenangan untuk
akibatnya; (3) menurut (3) tidak membuat peraturan
prosedur pembentukan bertentangan dengan tertentu; dan
hukum yang peraturan perundang- (2) segi
berlaku; dan (4) oleh undangan yang materiil, yaitu
lembaga lebih tinggi; dan landasan yuridis
yang memang (4) mengikuti untuk
berwenang untuk itu. mengatur hal- hal
tata cara
tertentu.
tertentu dalam
pembentukanny a.

Politis Harus tergambar Garis kebijaksanaan


adanya cita-cita dan politik yang
norma dasar yang menjadi dasar bagi
terkandung dalam kebijaksanaan
UUD NRI 1945 - kebijaksanaan dan
sebagai pengarahan
politik hukum ketatalaksana an
yangmelandasi pemerintahan.
pembentukan undang- Misalnya, garis
undang [juga politik otonomi
dikatakan, dalam GBHN (Tap
pemberlakuanny a MPR No. IV
itu memang Tahun 1973)
didukung oleh memberi
faktor-faktor kekuatan pengarahan dalam
politik yang nyata pembuatan UU
dan yang Nomor 5 Tahun
mencukupi di 1974.
parlemen].
Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan
tersebut menunjukan:
1. Pemahaman keabsahan peraturan perundang-undangan pada ranah (1) normatif;
dan (2) sosiologis. Pemahaman dalam ranah sosiologis tampak pada pandangan
Jimly Asshiddiqie tentang landasan sosiologis dan politis yang terdapat dalam
tanda kurung ([]). Dalam konteks landasan keabsahan peraturan perundang-
undangan yang menyangkut pembentukan peraturan perundang- undangan,
lebih tepat memahami landasan keabsahan peraturan perundang-undangan dalam
ranah normatif.
2. Landasan keabsahan politis pada ranah normatif dari Jimly Asshiddiqie,
mengambarkan politik hukum, yakni adanya cita-cita dan norma dasar yang
terkandung dalam UUD NRI 1945 (Pembukaan dan pasal-pasalnya), yang
dapat diakomodasi dalam landasan filosofis dan yuridis.
3. Landasan keabsahan politis dari M. Solly Lubis yang menggambarkan garis
politik hukum dalam Ketetapan MPR, yang dapat diakomodasi dalam landasan
yuridis
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang landasan keabsahan atau
dasar keberlakuan peraturan perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis,
sosiologis, dan yuridis dapat dirangkum sebagai berikut:
Tabel 7 : Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan 23
LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang
terdapat dalam cita hukum (rechtsidee).
Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.

Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan


masyarakat yang memerlukan penyelesaian.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.

Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan


dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta
tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan
dengan yang lebih tinggi. Diperlukan sebagai sarana menjamin
kepastian hukum.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan (UU 12/2011) mengadopsi validitas tersebut sebagai (1) muatan menimbang
yang memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Peraturan Perundang undangan, ditempatkan secara berurutan dari
filosofis, sosiologis, dan yuridis; dan (2) harus juga ada dalam naskah akademis rancangan
peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah dikemukakan di atas,
dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan 24 dan teknik
penyusunan naskah akademik25 yang diadopsi Undang-Undang

23 Gede Marhaendra Wija Atmaja, Politik Pluralisme Hukum ., Ibid., hlm. 29.
24 Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011).
25 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Nomor 12 Tahun 2011, ketiga aspek dari validitas tersebut dapat disajikan dalam tabel
berikut:

Tabel 8 : Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan


Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN URAIAN

Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang


meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, pada dasarnya
berkenaan dengan keadilan yang mesti dijamin dengan adanya
peraturan perundang-undangan.

Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek yang


memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut fakta
empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan
kemanfaatan adanya peraturan perundang- undangan.

Yuridis Menggambarkan permasalahan hukum yang akan diatasi, yang


sesungghunya menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur.
Permasalahan hukum yang akan diatasi itu pada dasarnya berkenaan
dengan kepastian hukum yang mesti dijamin dengan adanya
peraturan perundang-undangan, oleh karena itu harus ada
konsistensi ketentuan hukum, menyangkut dasar kewenangan dan
prosedur pembentukan, jenis dan materi muatan, dan tidak adanya
kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan dengan yang
lebih tinggi.
Tanggung jawab Negara diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke 4
anatara lain adalah ; 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia
; dan 2) memajukan kesejahteraan umum

Perlindungan yang menjadi tanggung jawab Negara itu tidak saja terhadap setiap
orang baik dari arti individual dan kelompok berikut identitas budaya yang melekat
padanya, tetapi juga perlindungan terhadap tanah air, yang tercakup di dalamnya sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Perlindungan tersebut diarahkan dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum yang juga merupakan tanggung jawab Negara.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Pemerintahan Kabupaten Jembranaperlu


membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Berdasarkan
Pasal 4 UU No 25 Tahun 2009 Penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan:

a. kepentingan umum;
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Penjabaran asas tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya mewujudkan


penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan bersih serta dalam menjaga agar
dinamika gerak maju masyarakat, bangsa, dan negara ke depan agar senantiasa berada
pada pilar perjuangan mencapai cita-cita dan bahan pembelajaran masyarakat
BAB V

JANGKAUAN, ARAHAN PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN


RAPERDES DESA KENDUNG KAMPIL KEC. PORONG KABUPATEN SIDOARJO
TENTANG TATA KELOLA TANAH KAS DESA

5.1 Jangkauan Pengaturan


Jangkauan peraturan dalalam rancangan peraturan daerah kota malang tentang
penyelenggaraan pemakaman, mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.1.1 Ketentuan umum
1.1.2 Asas dan Kedudukan tanah kas desa
1.1.3 Pengelolaan dan pemanfaatan tanah kas desa
1.1.4 Pelaporan
1.1.5 Ketentuan penutup
5.2 Arah Pengaturan
Pemanfaatan Tanah Kas Desa selama ini hanya dimanfaatkan oleh pejabat desa beserta
masyarakat menengah keatas demi kepentingan pribadinya tanpa ada timbal balik keuntungan yang
diterima oleh desa. Sehingga adanya Raperdes tentang tata kelola tanah kas desa ini dibentuk atas
dasar demi tercapainya kesejahteraan masyarakat desa dengan pemanfaatan tanah kas desa yang
dilakukan dengan prosedur peraturan desa tentang pemanfaatan tanah kas desa ini. Sehingga
mampu meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat desa.
Arah pengaturan dari tata kelola tanah kas desa dalam peraturan desa ini ditujukan untuk
melaksanakan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dengan mengoptimalkan kekayaan desa untuk
kepentingan masyarakat.

5.3 Ruang Lingkup


1.3.1 Ketentuan umum
Sesuai dengan ruang lingkup atau hal yang diatur dalam peraturan daerah ini, maka terminologi
yang diangap perlu dirumuskan dalam ketentuan umum peraturan desa ini, yaitu:
Dalam Peraturan Desa ini yang dimaksud dengan :
1. Desa adalah Desa Kedung kampil Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo

2. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa Kedung kampil dibantu Perangkat Desa Kedung kampil
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa
3. Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disebut BPD adalah lembag yang merupakan
perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa Kedung kampil sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Desa;

4. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat


setempat dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

5. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh
Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis;

6. Peraturan Desa adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan olah Kepala Desa
Kedung kampil setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa Kedung
kampil;

7. Kepala Desa atau Penjabat Kepala Desa adalah seorang pejabat yang ditunjuk dan diangkat oleh
pejabat yang berwenang untuk melaksanakan hak, wewenang dan kewajiban Kepala Desa dalam
kurun waktu tertentu;

8. Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Desa adalah Sekretaris Desa atau Perangkat Desa yang
ditetapkan oleh Camat atas nama Bupati untuk melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa;

9. Perangkat Desa adalah seseorang yang diangkat Kepala Desa dan mempunyai tugas membantu
Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya;

10. Pelaksana Tugas (PLT) Sekretaris Desa adalah Perangkat Desa yang ditunjuk oleh Kepala Desa
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban Sekretaris Desa;

11. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, selanjutnya disingkat APBDesa adalah rencana
keuangan tahunan Pemerintahan Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Desa;

12. Alokasi Dana Desa, selanjutnya disingkat ADD adalah dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/kota setelah
dikurangi Dana Alokasi Khusus;

13. Penghasilan Tetap adalah Penghasilan yang diberikan kepada Kepala Desa dan Perangkat Desa
setiap bulan yang ditetapkan dalam APB Desa;

14. Tanah Desa adalah Barang milik Desa berupa tanah bengkok, kuburan dan titisara;
15. Keuangan Desa adalah Semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta
segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban;

16. Aset Desa adalah Barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh
atas beban Anggaran Pendapatan dan belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah;

17. Pengelolaan adalah rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pengadaan, penggunaan,
pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanagann, penatausahaan,
penilaian, pembinaan, pengawasan dan pengendalian;

18. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan dan pelaporan hasil
pendataan kekayaan milik Desa;

19. Sewa adalah Pemanfaatan kekayaan Desa oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu untuk
menerima imbalan uang tunai;

20. Pemanfaatan adalah Pendayagunaan kekayaan Desa yang tidak dipergunakan dalam bentuk
sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan dan bangun serahguna / bangun gunaserahdengan
tidak mengubah status kekayaan Desa;

21. Kerja sama pemanfaatan adalah Pendayaangunaan kekayaan Desa oleh pihak lain dalam jangka
waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan Desa bukan pajak dan sumber
pembiayaan lainnya;

22. Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan kekayaan Desa antar Pemerintah Desadalam
jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir harus
diserahkan kembali kepada Pemerintah Desa yang bersangkutan;

23. Hibah adalah Pengalihan kepemilikan barang dari Pemerintah daerah kepada Pemerintah Desa,
antar Pemerintah Desa atau dari Pemerintah pusat/ Pemer intah Daerah kepada pihak lain tanpa
memperoleh penggantian.

1.3.2 Asas dan Kedudukan Tanah Kas Desa


Penyelenggaraan Pemakaman bertujuan :
1. Untuk melaksanakan keyakinan agamanya;

2. Untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat;

3. Untuk memberikan kepastian hukum;

4. Menjaga kerapian dan keindahan;


5. Pelestarian tata budaya;

6. Mengoptimalkan Kekayaan Desa untuk kepentingan masyarakat.

1.3.3 Pengelolaan Dan Pmanfaatan Tanah Kas Desa

Tanah Kas Desa dikelola oleh Pemerintah Desa sebagai kekayaan Milik Desa dan menjadi
Sumber Pendapatan Desa. Sumber Pendapatan Desa dari Tanah Kas Desa sepenuhnya dikelola
oleh Pemerintah Desa dan hasilnya digunakan untuk menyelenggarakan Pemerintahan Desa,
Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa serta Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Pemanfaatan tanah kas desa dilakukan dengan metode sewa dan kerjasama pemanfaatan.
Pemanfaatan sewa dilaksanakan atas dasar menguntungkan desa beserta masyarakat dan dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan besaran tarif sewa ditetapkan dengan keputusan
kepala desa. Sewa menyewa tanah kas desa diprioritaskan hanya untuk penduduk desa dan
perangkat desa mejuet.

Pemanfaatan Tanah Kas Desa berupa Kerjasama pemanfaatan dilakukan atas dasar
Mengoptimalkan dayaguna dan hasilguna Tanah Kas Desa, dan Meningkatkan pendapatan Desa.
Kerjasama pemanfaatan Tanah Kas Desa dilaksanakan atas kondisi Tidak tersedia atau tidak cukup
tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) untuk memenuhi biaya
biaya operasional pengelolaan Tanah Kas Desa. Tidak dibolehkan menggadaikan /
memindahtangankan kepada pihak lain selama kerjasama dilakukan. Jangka waktu paling lama 1
(Satu) tahun serta mitra kerjasama pemanfaatan berdasarkan ditetapkan berdasarkan musyawarah
mufakat dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
1.3.4 Pelaporan
Panitia Lelang Tanah Kas Desa wajib menyampaikan laporan terhadap kegiatan
Perencanaan dan Pelaksanaan pelelangan Tanah Kas Desa kepada Kepala Desa. Laporan hasil
pelelangan Tanah Kas Desa merupakan bagian dari laporan Pertanggungjawaban.

1.3.5 Ketentuan Penutup


Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Desa ini menjadi pedoman
dalam Pengelolaan/ Penyewaan Tanah Kas Desa. Dengan berlakunya Peraturan ini, semua
ketentuan yang mengatur Tanah Kas Desa dan Ketentuan lain yang bertentangan dengan Peraturan
ini dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Desa ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Desa ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Desa.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bertolak dari paparan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting
sebagai berikut:
Sebagai perwujudan esensi demokrasi dan tujuan desentralisasi, maka tanah yang
digunakan dan dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Hal ini
sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menent Alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat, maka diperlukan adanya payung hukum yang kuat dalam bentuk Perdes.
Tanah Kas Desa merupakan salah satu aset desa yang perlu diperhatikan terutama
dalam hal pengembangan fungsi Tanah, agar tidak terjadi tumpang tindih. Akibat pola
pergantian jabatan dan sistem pemerintahan desa.

B. Saran-Saran

Saran-saran yang penting dalam naskah akademis sebagai berikut:


Pihak Legislator perlu segera membahas RAPERDES tentang peran serta
masyarakat ini sehingga dapat membuka peluang berkembangnya demokratisasi daerah.
Sehingga diperlukan adanya kesadaran bersama dari segenap stakeholder pemerintahan
daerah untuk mewujudkan pengembangan fungsi Tanah, agar tidak terjadi tumpang tindih
dalam sistem pengaturan tanah kas desa.

Anda mungkin juga menyukai