Widyagama Malang/Angelo/V/2017 1
BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM
Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis
filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin
dalam berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya.2 Filsafat dapat juga
diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan
yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain
filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat
universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai
suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat.
Menurut Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni
objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan
penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu
yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada
dan mungkin ada. Pada intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia.
Barangkali, objek materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang
membedakan adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut
pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari keterangan sampai
sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga terdapat
kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.3
Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok,
yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. 4 Menyeluruh, artinya cara berfikir
filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau
sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar,
artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang
mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan
ilmu biasa.
2
Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995,
halaman 4.
3
I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9.
4
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1998.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 3
Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkah-
langkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi
harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu
ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.5 Refleksi berarti pengendapan
dari pemikiran yang dilakukan secara berulang-ulang dan mendalam
(contemplation). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan
yang lebih jauh lagi dan dilakukan secara terus-menerus. Kritis berarti analisis
yang dibuat filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab,
jika yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut baru
melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala semata. Lain halnya, jika
yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan gejala-gejala melainkan hakikat.
Ada beberapa sarjana penulis filsafat yang mengemukakan pendapatnya
tentang filsafat, antara lain:
a. Plato : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang asli.
b. Aristoteles : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
c. Al Farabi : Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud
bagaimana hakekat yang sebenarnya.
d. Descartes : Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana
Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
e. Immanuel Kant : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok
dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di
dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama,
dan antropologi.6
5
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 7.
6
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990,
halaman 5.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 4
bertemu pada obyek materia (segala yang ada dan mungkin ada) tetap berbeda,
karena perbedaan itu terletak pada obyek formanya.
Tentu saja perbedaan itu tidak berlaku pada kedudukan filsafat dengan agama,
karena agama merupakan sesuatu yang ada, sehingga agama juga masuk ke dalam
lingkungan filsafat, dari sini muncul apa yang dinamakan filsafat agama.
Dalam agama ada beberapa hal penting yang diselidiki oleh filsafat, misalnya:
Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut ada
atau paling tidak mungkin ada, namun antara filsafat dan agama memiliki dasar
penyelidikan yang berbeda. Di satu sisi, sudut pandang penyelidikan agama
didasarkan atas wahyu Tuhan atau firman Tuhan. Pada agama, kebenaran
tergantung kepada diwahyukan atau tidak. Yang diwahyukan Tuhan harus
dipercayai, oleh akrena itu agama ada dan disebut kepercayaan.
Di sisi lain, kebenaran diterima oleh filsafat bukan karena kepercayaan,
melainkan diterima dengan penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak
mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya
atas wahyu. Dengan kata lain, filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan
agama berdasarkan wahyu.
Tentu saja untuk melakukan pernilaian harus ada tolok ukurnya (kriteria),
sehingga timbul pertanyaan seperti: apakah sebetulnya nilai itu dan lebih-
lebih dalam tingkah laku manusia, apakah yang dipakai ukuran untuk
menentukan baik buruknya? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ethica.
Jadi, secara garis besar, pembagian filsafat menurut obyek dan subyek dapat
digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:
a. Menurut Objek:
Ada-umum (fils. ada-umum, ontologia, metaphysica generalis)
b. Menurut Subjek:
Logika Mayor & Minor
Soal Pengetahuan
Anthropologia
Ontologia
Theodicea
Soal Ada
Kosmologia
Anthropologia
3. Pengertian Hukum
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 9
Bagi mahasiswa yang baru belajar tentang hukum tentu sangat bermanfaat jika
disodori definisi atau pengertian hukum sebelum mengetahui dan mempelajari
filsafat hukum.
MacIver menggambarkan masyarakat sebagai sarang laba-laba, karena di
dalamnya terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antarindividu yang
bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan.7
Kaidah/norma sengaja diciptakan agar tidak terjadi benturan-benturan dalam
masyarakat, terutama anatara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan.
Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan,
terciptalah 4 (empat) kaedah/norma, yaitu: kaedah kepercayaan (keagamaan),
kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun (adat), dan kaedah hukum. 8 Dari ke-4
kaedah/norma tersebut hanya kaedah hukum-lah yang lebih melindungi
kepentingan-kepentingan manusia yang sudah dan belum mendapat perlindungan
dari ketiga kaedah tersebut, dengan alasan sebagai berikut:
a. Dari segi tujuan, kaedah hukum ditujukan kepada pelaku yang konkrit,
untuk ketertiban masyarakat, agar jangan sampai jatuh korban.
b. Dari segi isi, kaedah hukum ditujukan kepada sikap lahir.
c. Dari segi asal-usul, berasal dari kekuasaan luar yang memaksa.
d. Dari segi sanksi, berasal dari masyarakat secara resmi.
e. Dari segi daya kerja, membebani kewajiban dan memberikan hak.
Dengan melihat gambaran mengenai kaedah hukum sebagaimana telah
diuraikan tersebut, rasanya masih terlalu sulit untuk mendefinisikan hukum,
karena memang tidak ada satu pun sarjana yang dapat membuat pengertian atau
definisi hukum secara sempurna. Tentu saja, untuk mendefinisikan hukum
bukanlah pekerjaan yang mudah dan ini terkait dengan perkembangan sejarah
hukum dan aliran-aliran dalam filsafat hukum yang tentunya dapat mempengaruhi
pengertian dari hukum.
7
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1991, halaman 31.
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
1988, halaman 5.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 10
Sebagai contoh pertama, pada zaman Romawi, para pemikir hukum lebih
banyak dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran ke arah pembentukan
hukum yang dapat diberlakukan secara luas di semua wilayah Romawi.
Kedua, pada Zaman Pertengahan, kekuasaan gereja sedemikian besar sehingga
turut melakukan intervensi ke dalam masalah duniawi, termasuk mengatur
pemerintahan, sehingga hukum yang dihasilkan pada waktu itu bernafaskan
keagamaan dengan mengaitkan inti pemikiran hukum dengan ajaran-ajaran gereja,
misalnya saja Thomas Aquino, yang membagi hukum ke dalam 4 (empat)
golongan, yaitu:9 Lex Aeterna, Lex Divina, Lex Naturalis, dan Lex Positivis yang
nantinya akan dikupas dalam bagian lain dari tulisan ini mengenai berbagai aliran
dalam filsafat hukum.
Ketiga, pada abad ke-19 hukum dipengaruhi oleh perkembangan dunia
ekonomi yang dibarengi dengan kedudukan negara yang semakin kuat dan kukuh
dalam hal melakukan kontrol dan mengarahkan masyarakat ke arah yang
dikehendakinya, sehingga pada masa ini lahirlah aliran positivisme (analitis
maupun murni) yang menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai
pembentuk hukum. Pada masa ini, pemikiran dari John Austin dan Hans Kelsen
sangat berpengaruh pada dunia ilmu maupun teori hukum, baik pada masa
tersebut maupun sesudahnya.
Di samping itu, masih banyak pendapat dari pemikir-pemikir hukum lain,
seperti Carl von Savigny dan Puchta, juga yang lainnya yang nantinya akan
dibahas dalam madzab filsafat hukum.
filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat
hukum sebagai subspecies.10 Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Umum
Ada Ada Mutlak
Ada Khusus Alam
Ada
Tidak Mutlak Anthropologia
Manusia Etika Filsafat Hukum
Logika
Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika
mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan
objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang
disebut hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan memberikan
definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung dari sudut
pandang para ahli hukum melihatnya seperti yang dikemukakan oleh beberapa
sarjana dalam uraian di bawah ini.
J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan
kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan
orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von
Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang
memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen
menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.
Pendapat tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono
Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian peraturan mengenai
tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-
satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata
tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi hukum tersebut menunjukkan betapa
10
Lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 10. Bandingkan juga dengan Lili
Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, halaman
4.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 12
luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita
dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.
Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler
yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang
hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum
merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische
bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen
berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis tentang masalah-
masalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum,
dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het
systematisch nadenken over alle fundamentele kwesties en grensproblemen het
verschijnsel recht samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de
realisatie van de rechtsidee).11
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar
tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat
keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan
keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan
sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke
lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
11
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 13
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM
dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos
(rasio).13 Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang
dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus
disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah
keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai
dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan
dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat
bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu
keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke
dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak
menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena
dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat
bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif,
karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates
berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas
dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan
terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara
itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa
untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan
(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak
dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan
13
Logos menciptakan bentuk , ukuran, dan harmoni yang menghasilkan aturan. Aturan ini
terwujud dalam polis di mana warga-warga polis memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan
logos (Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 20).
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 16
menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan
agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya.
Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai
kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan
dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles
berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran
Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles,
manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum
yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum
positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif
muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut
Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan
di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak
pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada
ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara
bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum
positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan
diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan
kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama
filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno).
Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian,
dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif)
yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu,
sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori
perjanjian masyarakat.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 17
14
Lihat Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990, halaman 13.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 18
(Lex Positivis).15 Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan
oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum
pada bagian lain dari tulisan ini.
Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels
yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam
masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan
bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan perkembangan
masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor sejarah ke dalam
pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum.
Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.17
16
Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 37.
17
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 82.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 20
Dari beberapa fase perkembangan filsafat hukum yang diawali sejak zaman
Yunani (Kuno) dapat digambarkan dalam suatu ikhtisar berikut ini:
5. Latihan Soal
1. Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides)
berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan keadilan diperlukan
nomos yang bersumber pada logos (rasio)?
2. Mengapa Socrates tidak percaya terhadap kebenaran subjektif
sebagaimana dikemukakan oleh kaum Sofis?
3. Di mana letak pengaruh pemikiran filsuf zaman Yunani terhadap
pemikiran para filsuf di zaman pertengahan? Bagaimana pula Thomas
Aquinas membagi hukum?
4. Mengapa zaman modern dikatakan sebagai zaman Renaissance? Jelaskan!
5. Mengapa Hegel dikatakan sebagai penerus Immanuel Kant?
6. Jelaskan teori dialektika Hegel?
DAFTAR PUSTAKA
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 21
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 22
BAB III
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
1. Mahasiswa dapat memahami berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.
2. Mahasiswa dapat membandingkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.
18
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990,
halaman 26-27.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 23
19
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 1.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 24
20
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 25
manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah
sebagai satu-satunya sumber hukum.
Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari
Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik
der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis
(kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya
Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni).
Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia,
yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).21
Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia
(homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang
bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze),
tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri
menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang
penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada
manusia ideala berkepribadian humanistis.
Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der
Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian
dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah
bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk
berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan
kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna
mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa
hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri
dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah
hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap
mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat
21
b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
- hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif
yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang,
peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun
rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-
haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
- Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam
organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya
terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang
tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
2) Murni
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena
pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen
seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan
dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam.
Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam
walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans
Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam,
walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana
tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran
Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran
hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau
tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu
(hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme
hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah.
Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 29
a) Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah
meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan
keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
b) Teori filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki,
masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
c) Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap)
yang dikuasai oleh hukum kausalitas.
d) Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan
kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e) Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur
perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f) Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif
tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum
yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan
norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma
dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik,
etiika atau agama.
Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau
susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl
(1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering,22 yang kemudian diambil
alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu tergantung pada
norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada suatu
Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya
keseluruhan hukum positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan
dalam arti hukum kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental Logische
Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan bahwa norma
dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus
berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan norma-
22
Bandingkan dengan Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 43.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 30
norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
Penulis lain bernama Rudolf Stammler (1856-1938) merupakan tokoh
kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum kodrat gaya baru, yaitu hukum kodrat
yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa filsafat hukum adalah
ilmu/ajaran tentang hukum yang adil (die lehre vom richtigen recht). Apabila
ilmu hukum meneliti dan mengkaji, secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat
hukum ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara
transendental kritis (metode yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran
manusia hingga menerobos sampai pada landasan/dasar transendental logis
penghayatan hukum yang berujud hakekat pengertian hukum.
Hakekat pengertian hukum atau pengertian hukum yang transendental ini
mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak
bisa diganggu (wollen, verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari
hakekat ini lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek
hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum,
penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan melawan hukum.
Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa metode pikiran formil yang
adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asas-
asas hukum umum yang menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk
pengertian hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah
hukum yang memenuhi syarat atau tertentu social-ideal, yakni ujud dari
manusia dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak bebas
(Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial ini berfungsi
regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak semata-mata pada bentuk
hukumnya.
c. Aliran Utilitarianisme
Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill
(1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa
alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 31
d. Aliran Sejarah
Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan
Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 32
dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat,
berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat
kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke
vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen
eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan
adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai
berikut:
1) Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan
sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2) Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena
dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris
yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras.
3) Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya,
tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi
bentuk hukum.
4) Dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar
daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang
dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari
Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di
samping itu juga hendak memberi tempat yang terhormat bagi hukum rakyat
Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum
Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman. Tantangan von Savigny
terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya
Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von
Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von
Savigny berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:
1) Langsung, berupa adat-istiadat.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 33
2) Melalui undang-undang.
3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa
bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.
Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian bangsa ke dalam dua jenis,
yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa
dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian
nasional (negara), sedangkan bangsa alam memiliki hukum sebagai keyakinan
belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga
akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik
hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli
hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh
negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran
mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai
hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan
apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa
menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat-
istiadat.
Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut
Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan
Positivisme Yuridis.23 Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht.
23
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 120-121.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 34
Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin
Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika,
pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.24 Kata sesuai
diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan
rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari
hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu
mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara
hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi
yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping
juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap
masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan
sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological
jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat,
sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada
hukum.
Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law
as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan
harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan
kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha
penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan
anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu
diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan
aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan
primat pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung
24
Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 47.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 35
diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan
sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
3) Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen
dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu
mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan
observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak
boleh dipenuhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
4) Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh
karena realisme bermaksud melukiskan apa yang sebenarnya oleh
pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-
definisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang
apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan
keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan
perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada
jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5) Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum
haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.
Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan
program tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut:
1) Keterampilan diperlukan bagi seseorang dalam memberikan
argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya
bukan hanya sekedar argumen-argumen yang diajukan oleh ahli hukum
yang nilainya tidak berbobot.
2) Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan
relativitas makna peraturan-peraturan tersebut.
3) Menggantikan katagori-katagori hukum yang bersifat umum dengan
hubungan-hubungan khsusus dari keadaan-keadaan yang nyata.
4) Cara pendekatan seperti tersebut di atas mencakup juga penyelidikan
tentang faktor-faktor/unsur-unsur yang bersifat perseornagan maupun
umum dengan penelitian atas kepribadian sang hakim dengan disertai data-
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 37
25
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997,
halaman 77.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 38
2. Latihan Soal
26
DAFTAR PUSTAKA
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, 1990, halaman.
BAB IV
PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUM SECARA FILOSOFIS
dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12 konsepsi Pound
tentang hukum tersebut terdiri dari:27
a. Pertama, boleh kita
kemukakan gagasan tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang
diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia, misalnya undang-
undang Nabi Musa, atau undang-undang Hammurabi, yang diturunkan oleh
Dewa Matahari setelah selesai disusun, atau undang-undang Manu yang
didiktekan kepada para budiman oleh putra Manu, Bhrigu namanya, di
depan Manu sendiri dan atas petunjuknya.
b. Ada satu gagasan
tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat
diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh
ditempuh manusia dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang
menganggap dirinya dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam yang
banyak tingkah dan suka membalas dendam, terus-menerus dalam ketakutan
kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan
demikian ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh mahkluk gaib
tersebut. Kesalahan umum menuntut supaya orang melakukan hanya apa
yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara yang digariskan oleh
kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan melakukan apa yang
tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan perintah yang
tradisional akan dicatat, yang di alam kebiasaan itu dipelihara dan
dinyatakan. Bilamana kita menjumpai sehimpunan hukum primitif yang
merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi
ia akan dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi
yang sama tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan dipandang
sebagai yang telah diwahyukan oleh Tuhan.
c. Gagasan ini rapat
dengan yang kedua, yakni memahamkan hukum sebagai kebijaksanaan yang
27
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara,
Jakarta, 1996, halaman 28-32.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 43
dicatat dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan yang
selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila
satu kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan telah
dituliskan dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap
sebagai hukum. Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum
Masehi dapat melukiskan hukum Athena dengan kata-kata tadi.
d. Hukum dapat
dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filasaft,
yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus
menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu. Demikianlah,
gagasan sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya merupakan cangkokan
dari gagasan kedua dan ketiga tadi, dan dari satu teori politik tentang hukum
sebagai perintah dari bangsa Romawi; dan semuanya dirukunkan dengan
memahamkan tradisi dan kebijaksanaan yang tercatat dan perintah bangsa-
bangsa yang semata-mata sebagai pernyataan atau pencerminan dari asas-
asas yang dicari kepastiannya secara filsafat, harus diukur, dibentuk,
ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah diolah oleh ahli-ahli
filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali mendapat bentuk lain,
e. Sehingga kelima
hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari
satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.
f. Ada satu gagasan
mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di
dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur
hubungan antara yang seorang dengan yang lainnya. Ini adalah suatu
pandangan demokratis tentang identifikasi hukum dengan kaidah hukum,
dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari negara kota yang
diperbincangkan di dalam buku Minos dari Plato. Sudah sewajarnyalah
Demosthenes menganjurkan kepada satu juri di Athena. Sangat mungkin
dengan teori serupa itu, satu gagasan filsafat akan menyokong gagasan
politik dan kewajiban moril yang melekat pada suatu janji akan
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 44
28
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 129-
130.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 48
3. Latihan Soal
a. Ada berapa konsepsi hukum yang
dikemukakan oleh Roscoe Pound?
b. Sebut dan jelaskan secara singkat keduabelas
konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pound!
c. Mengapa Roscoe Pound juga digolongkan ke
dalam tokoh aliran Utilitarianisme? Jelaskan!
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 50
DAFTAR PUSTAKA
BAB V
KEADILAN DAN HUKUM YANG BENAR DAN ADIL
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat :
1. Memahami bermacam-macam
arti keadilan.
2. Memahami pengertian hukum
yang benar dan adil.
1. Arti Keadilan
Membicarakan hukum tidak lepas dari kata keadilan yang sudah ada sejak
jaman Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato
dan Aristoteles melontarkan pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang
perenungan tentang keadilan yang menguasai filsafat hukum.29 Plato mencoba
mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari inspirasi, sedang Aristoteles
mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan prinsip-prinsip
rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan peraturan-peraturan
hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan mereka adalah
concept of virtue, yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah
mencakup segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya.
Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian keimbangan (balance) dan
harmoni sebagai suatu ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil,
sehingga dari sini tidak jarang pula antara keimbangan dan harmoni terpisah jalan
29
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997,
halaman 11.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 52
30
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154.
31
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 29.
32
Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 53
33
4. Latihan Soal
a. Sebutkan pengertian keadilan menurut para
penganut aliran hukum alam dan positivisme !
b. Bagaimana pendapat Sdr. Tentang suatu
hukum yang adil dan benar? Bagaimana pula kaitannya dengan keberadaan
UU No. 23 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jika
dikaitkan dengan teori tentang hukum yang benar dan adil? Jelaskan!
34
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, halaman 48.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 56
DAFTAR PUSTAKA
BAB VI
FILSAFAT HUKUM BERDASARKAN PANCASILA
35
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 44.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 58
36
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 60
Woro Winandi & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence Dalam
Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi kelas, Program Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 9.
37
Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 106.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 61
tanggal 22 Juni 1945 yang selanjutnya dipakai sebagai Pembukaan UUD 1945.
Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Causa Finalis Pancasila ialah dasar
filsafat negara, sebab Pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI dimaksudkan sebagai dasar filsafat negara.
Causa Efficient Pancasila ialah PPKI, karena PPKI secara resmi menetapkan
Pembukaan UUD 1945 yang berintikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara.
Dengan demikian, causa efficient Pancasila sebagai dasar filasafat negara ialah
pembentuk negara Indonesia, dalam hal ini PPKI.
Pancasila merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan
dijungkirbalikkan tanpa mengubah inti dari isinya, karena susunan Pancasila
berbentuk hirarkis piramidal. Dikatakan hirarkis, karena jika dilihat dari isinya,
urut-urutan lima sila tersebut menunjukkan satu rangkaian tingkatan dalam luas
dan isinya. Selanjutnya, dikatakan piramidal, karena tiap-tiap sila yang ada di
belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila/sisla-sila yang ada di
depannya. Penjelasan selanjutnya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis
dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial.
Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilans osial,
demikian seterusnya. Sehingga tiap-tiap sila yang ada di dalamnya terkandung
sila-sila lainnya. Kecuali itu, ditegaskan bahwa sila ketuhanan dan kemanusiaan
meliputi seluruh hidup manusia dan menjadi dasar dari sila-sila persatuan,
kerakyatan, keadilan sosial. Mengenai susunan hirarki Pancasila bahwa nilai-nilai
Ketuhanan lebih tinggi dari nilai kemanusiaan, nilai kemanusiaan lebih tinggi
daripada nilai kerakyatan, dan nilai kerakyatan lebih tinggi daripada nilai keadilan
sosial. Namun mengenai bentuk piramid dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap sila
yang berada di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang
ada di depannya. Jadi kalau diterapkan dalam sila-sila pada Pancasila dapat
dijelaskan sebagai berikut: Bahwa sila kemanusiaan merupakan pengkhususan
dari sila Ketuhanan, sila kerakyatan merupakan pengkhususan dari sila persatuan
Indonesia dan sila keadilan sosial merupakan pengkhususan dari sila kerakyatan.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 62
Pancasila sebagai pandangan hidup, Ideologi Nasional dan Dasar Negara pada
esensinya adalah perwujudan dari pelaksanaan hak dan kewajiban individu
sebagai anggota masyarakat untuk mengejawantahkan pola perilaku sebagaimana
tercermin dalam masing-masing kelima sila tersebut. Demikian pula sebagai
bangsa Indonesia dan warga negara. Pancasila dengan dimensinya pada
hakekatnya selaras dengan aliran dalam filsafat hukum, yaitu Sociological
Jurisprudence, sebagaimana keinginan dan tujuan dari tiga dimensi Pancasila yang
bertujuan menciptakan harmoni berupa keserasian pelaksanaan hak dan kewajiban
sehingga secra optimal kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat
dapat terpenuhi secara tidak memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan
terdapat 3 kepentingan hukum yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:
a. Kepentingan Umum.
b. Kepentingan Masyarakat.
c. Kepentingan Individu.
Aliran Sociological Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara
positivisme hukum dan mazhab sejarah. Pada aliran Positivisme Hukum,
memandang tidak ada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa,
sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama
masyarakat. Kedua mazhab tersebut dapat dilihat pada kepentingannya, yaitu:
Positivisme mementingkan logika, sedang mazhab Sejarah mengutamakan
pengalaman. Namun Sociological Jurisprudence mementingkan keduanya. Oleh
karena itu dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, ideologi
negara, dan dasar negara, terdapat kesamaan dengan mazhab Sociological
Jurisprudence, karena adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapainya. Seperti
yang dikatakan Roscoe Pound yang menganggap hukum sebagai alat untuk
rekayasa sosial/masyarakat, dan ini tercermin dalam kelima sila dari Pancasila,
yang di dalamnya terkandung cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat
adil dan makmur. Dengan demikian, pencerminan kedua aliran tersebut terdapat
kesesuaian dengan apa yang terkandung di dalam UUD 1945, baik pembukaan,
batang tubuh, maupun penjelasannya.
3. Latihan Soal
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 63
Winandi, Woro & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence
Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi
kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,
Semarang, 1997
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 64
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 65