Anda di halaman 1dari 65

Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ.

Widyagama Malang/Angelo/V/2017 1

BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM

Tujuan Instruksional Umum:


Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
1. Memahami pengertian filsafat.
2. Memahami pengertian hukum.
3. Mengetahui pengertian filsafat hukum.

Tujuan Instruksional Khusus:


Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Membedakan pengertian Ilmu Filsafat dan Agama.
2. Menyebutkan ruang lingkup Ilmu Filsafat.
3. Menyebutkan pengertian hukum dari berbagai sarjana.
4. Mengetahui pengertian Filsafat Hukum dari berbagai sarjana.

1. Pengertian Filsafat dan Agama


Adakalanya orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk
dapat berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan
filsafat. Sesungguhnya, istilah filsafat merupakan suatu istilah dari bahasa Arab
yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani, yaitu: Filosofia.1
Secara etimologis, kata filsafat berasal dari kata majemuk, yakni: filo dan
sofia. Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena
ingin itu, lalu berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya
kebijaksanaan. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya ialah
pandai: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis, filsafat dapat
dimaknakan: Ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada
kebijaksanaan. Dengan demikian, rumusan tersebut di atas dapat disebut sebagai
suatu definisi atau pembatasan yang semata-mata berdasarkan atas keterangan
nama atau pembatasan nama.
1
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta,
1990, halaman 1.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 2

Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis
filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin
dalam berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya.2 Filsafat dapat juga
diartikan sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan
yang metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain
filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih bersifat
universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai
suatu ilmu, yaitu adanya objek tertentu yang dimiliki filsafat.
Menurut Poedjawijatna, objek suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni
objek materia dan objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan
penyelidikan suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu
yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada
dan mungkin ada. Pada intinya objek materia filsafat dapat dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu tentang hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia.
Barangkali, objek materia filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang
membedakan adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut
pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari keterangan sampai
sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat sesuatu, sehingga terdapat
kebenaran, jika filsafat dikatakan sebagai ilmu tanpa batas.3
Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok,
yaitu: menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. 4 Menyeluruh, artinya cara berfikir
filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau
sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada. Mendasar,
artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah pekerjaan yang
mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di luar jangkauan
ilmu biasa.

2
Lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995,
halaman 4.
3
I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9.
4
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1998.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 3

Untuk itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkah-
langkah spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi
harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu
ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis dari filsafat.5 Refleksi berarti pengendapan
dari pemikiran yang dilakukan secara berulang-ulang dan mendalam
(contemplation). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan
yang lebih jauh lagi dan dilakukan secara terus-menerus. Kritis berarti analisis
yang dibuat filsafat tidak berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab,
jika yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut baru
melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala semata. Lain halnya, jika
yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan gejala-gejala melainkan hakikat.
Ada beberapa sarjana penulis filsafat yang mengemukakan pendapatnya
tentang filsafat, antara lain:
a. Plato : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang asli.
b. Aristoteles : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu matematika,
logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
c. Al Farabi : Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud
bagaimana hakekat yang sebenarnya.
d. Descartes : Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana
Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
e. Immanuel Kant : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok
dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di
dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika, agama,
dan antropologi.6

Dari perumusan filsafat sebagaimana dikemukakan oleh para penulis filsafat


tersebut dapat ditarik intisarinya bahwa filsafat merupakan karya manusia tentang
hakikat sesuatu.
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa filsafat dapat diartikan
sebagai ilmu, meskipun demikian antara filsafat dengan keseluruhan ilmu yang

5
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 7.
6
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990,
halaman 5.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 4

bertemu pada obyek materia (segala yang ada dan mungkin ada) tetap berbeda,
karena perbedaan itu terletak pada obyek formanya.
Tentu saja perbedaan itu tidak berlaku pada kedudukan filsafat dengan agama,
karena agama merupakan sesuatu yang ada, sehingga agama juga masuk ke dalam
lingkungan filsafat, dari sini muncul apa yang dinamakan filsafat agama.
Dalam agama ada beberapa hal penting yang diselidiki oleh filsafat, misalnya:
Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut ada
atau paling tidak mungkin ada, namun antara filsafat dan agama memiliki dasar
penyelidikan yang berbeda. Di satu sisi, sudut pandang penyelidikan agama
didasarkan atas wahyu Tuhan atau firman Tuhan. Pada agama, kebenaran
tergantung kepada diwahyukan atau tidak. Yang diwahyukan Tuhan harus
dipercayai, oleh akrena itu agama ada dan disebut kepercayaan.
Di sisi lain, kebenaran diterima oleh filsafat bukan karena kepercayaan,
melainkan diterima dengan penyelidikan sendiri, pikiran belaka. Filsafat tidak
mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya
atas wahyu. Dengan kata lain, filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan
agama berdasarkan wahyu.

2. Ruang Lingkup Ilmu Filsafat


Objek materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada,
dengan kata lain objek filsafat itu ada. Adapun ada ini dapat ditinjau atau dilihat
dari berbagai penjuru sudut pandang, sehingga muncul bermacam-macam bagian
filsafat. Pembagian filsafat dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
a. Berdasarkan Objek, yang dibedakan menjadi dua:
1) Filsafat Umum (Ada-Umum):
Pada filsafat umum, ada mungkin dipandang dari sudut keumumannya.
Segala sesuatunya itu ada. Dalam realitas, terdapat bermacam-macam hal,
yang semuanya mungkin ditangkap dalam adanya. Oleh karena itu,
terdapat ada yang bermacam-macam dan ada-umum. Ada menjadi dasar
dari segala yang ada, misalnya sifat-sifatnya, sehingga filsafat ada-umum
disebut Ontologia atau Metaphysica generalis.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 5

2) Filsafat Khusus (Ada-Khusus):


Dalam filsafat khusus (ada-khusus), ada dipandang dari sudut pandang
tertentu yang lain dari umum. Oleh karena itu sudut pandang tersebut
banyak macamnya, sehingga memunculkan filsaft bagian yang bermacam-
macam pula, yang terdiri dari:
a) Theodicea (Ada-Mutlak):
Kekhususan dari ada itu mungkin terdapat dalam mutlaknya. Padahal
di dunia terdapat ada yang tidak mutlak. Jadi, apabila nanti terdapat
ada yang mutlak, maka harus diselidiki sifat-sifatnya, kemampuannya,
dan hubungannya dengan ada-khusus-tak mutlak. Dengan demikian,
filsafat yang mempersoalkan ada-mutlak disebut filsafat ada-mutlak,
yang lazim disebut sebagai Theodicea.
b) Ada-Tidak-Mutlak:
Di samping ada-mutlak terdapat ada-tidak mutlak. Pada ada-tidak
mutlak terdapat banyak macamnya ke golongan ini yang harus
diselidiki oleh filsafat darti sudut pandang tertentu, yang hendak dicari
sebabnya yang terakhir atau sebab yang sedalam-dalamnya, yang
dapat dibagi-bagi lagi ke dalam:
1)) Filsafat Alam (Cosmologia):
Alam semesta dan isinya merupakan ada yang tidak harus ada,
sehingga dapat disebut sebagai ada-tidak mutlak. Alam dicari
intinya oleh filsafat inti alam itu, apakah sebenarnya itu, apakah isi
alam pada umumnya, dan apakah hubungannya satu dengan yang
lain serta hubungannya dengan ada-mutlak, dengan demikian
filsafat alam disebut kosmologia.
2)) Manusia:
Alam merupakan ada-tidak mutlak, karena ada-nya tidak dengan
niscaya. Segala isi alam mungkin lenyap dan pernah tidak ada,
namun alam mempunyai kedudukan yang istimewa yang
menyelidiki semuanya, yaitu: manusia, yang dapat dibagi lagi ke
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 6

dalam tiga kelompok sebagaimana diuraikan dalam uraian di


bawah ini:
a)) Filsafat Manusia (Anthropologia-Metaphysika):
Dengan sendirinya, kekhususan ada-tidak mutlak merupakan
manusia yang mempunyai kemanusiaan yang tercakup di
dalamnya soal-soal tentang manusia, seperti: apakah manusia
itu sebenarnya, apakah hubungannya satu sama lain, apakah
kemampuan-kemampuannya, apa pendorong hidupnya, apa
sifat-sifat pendorong hidup itu, dan lain-lain. Sehingga
filsafatnya disebut filsafat manusia atau anthropologia
metphysica.
b)) Filsafat Tingkah Laku (Ethica):
Pada filsafat tingkah laku (ethica) yang diselidiki adalah
tindakan-tindakan manusia, yang terdorong oleh kehendaknya
dan diternagi budinya. Tindakan manusia sendiri dapat
dibedakan lagi menjadi tindakan yang baik atau buruk
sehingga untuk menilai tindakan tersebut diperlukan tolok ukur
yang terdiri dari norma (aturan) subyektif maupun yang
obyektif (terlepas dari subyek yang menilai) dan ini dilakukan
dalam ethica atau filsafat tingkah laku.
c)) Filsafat Budi (Logika):
Untuk melakukan penyelidikan, manusia memerlukan alat
penyelidikan yang disebut budi yang harus diselidiki, sebab
tanpa budi tidak akan ada penyelidikan. Oleh karena itu dicari
jawabannya mengenai persoalan-persoalan sebagai berikut:
adakah manusia mempunyai budi dan akal, dapatkah budi
mencapai kebenaran? Dari sini timbul persoalan baru: apakah
kebenaran itu, sampai di mana kebenaran itu dapat dicapai
budi, seluruh kebenaran ataukah hanya sebagian saja?
Dengan kata lain, seluruh isi budi diselidiki oleh filsafat yang
disebut filsafat budi (logika). Namun, dalam bekerjanya budi,
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 7

ia harus mentaati aturan-aturan yang ada, seperti: pengertian,


jalan pikiran, serta putusan-putusan. Penyelidikan tentang
bahan dan aturan berfikir merupakan bagian dari logika dan
disebut logika minor. Sedangkan penyelidikan terhadap isi
berfikir disebut logika mayor.
b. Pembagian filsafat berdasarkan Subjek:
Selain pembagian filsafat berdasarkan objek, dalam filsafat juga dikenal
pembagian filsafat berdasarkan subjek, karena dalam filsafat tentu ada yang
berfilsafat, dan itu dilakukan oleh subjeknya, yaitu manusia, sehingga perlu
dikenali pembagian filsafat menurut subjeknya, yang terdiri dari 3 (tiga) bidang,
yaitu:
1) Soal Tahu (Pengetahuan):
Soal pengetahuan ada 2 macam menurut sifatnya, yaitu pengetahuan
bermacam-macam yang tidak tetap dan pengeatahuan yang berlaku umum,
yang tidak beruba-ubah dan tetap satu macam. Dari sini timbul persoalan
menganai: bagaimanakah cara mencapai pengetahuan itu? Adakah bawaan
yang dibekalkan kepada manusia waktu lahir ataukah itu hasil dari usaha
kemampuan yang ada padanya dan merupakan pengambilan dari objek yang
dikenalnya itu. Mungkinkah itu hanya gambaran samar-samar atau nama-
nama belaka yang tidak ada hubungannya dengan realitas? Tentu saja semua
pertanyaan tersebut harus dijawab sebagian oleh Logika dan sebagian oleh
Anthropologia.
2) Soal Ada:
Orang berfikir tentu ada. Sehingga, jika ia tidak ada maka dia tidak berfikir.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang ada yang memiliki
bermacam-macam sudut pandang, dan ini dijawab oleh filsafat tentang ada
(ontologia, theodicea, kosmologia, dan anthropologia).
3) Soal Pernilaian:
Dalam berfikir dan mengadakan putusan, setiap orang akan memiliki
pernialaian yang berbeda dan saling bertentangan, misalnya: ada yang
tinggi dan rendah, baik lawan buruk, indah lawan jelek, dan sebagainya.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 8

Tentu saja untuk melakukan pernilaian harus ada tolok ukurnya (kriteria),
sehingga timbul pertanyaan seperti: apakah sebetulnya nilai itu dan lebih-
lebih dalam tingkah laku manusia, apakah yang dipakai ukuran untuk
menentukan baik buruknya? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ethica.
Jadi, secara garis besar, pembagian filsafat menurut obyek dan subyek dapat
digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:
a. Menurut Objek:
Ada-umum (fils. ada-umum, ontologia, metaphysica generalis)

Ada Ada-mutlak (filsafat ada-mutlak, theodicea)

Ada-khusus Alam (filsafat alam, kosmologia)

Fils. manusia (anthropologia)


Tidak-ada mutlak

Manusia Fils. tingkah laku (ethica)

Fils. budi (logika mayor & minor)

b. Menurut Subjek:
Logika Mayor & Minor
Soal Pengetahuan

Anthropologia

Ontologia

Theodicea
Soal Ada
Kosmologia

Anthropologia

Soal Penilaian Ethica

3. Pengertian Hukum
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 9

Bagi mahasiswa yang baru belajar tentang hukum tentu sangat bermanfaat jika
disodori definisi atau pengertian hukum sebelum mengetahui dan mempelajari
filsafat hukum.
MacIver menggambarkan masyarakat sebagai sarang laba-laba, karena di
dalamnya terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antarindividu yang
bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan.7
Kaidah/norma sengaja diciptakan agar tidak terjadi benturan-benturan dalam
masyarakat, terutama anatara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan.
Dengan adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan,
terciptalah 4 (empat) kaedah/norma, yaitu: kaedah kepercayaan (keagamaan),
kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun (adat), dan kaedah hukum. 8 Dari ke-4
kaedah/norma tersebut hanya kaedah hukum-lah yang lebih melindungi
kepentingan-kepentingan manusia yang sudah dan belum mendapat perlindungan
dari ketiga kaedah tersebut, dengan alasan sebagai berikut:
a. Dari segi tujuan, kaedah hukum ditujukan kepada pelaku yang konkrit,
untuk ketertiban masyarakat, agar jangan sampai jatuh korban.
b. Dari segi isi, kaedah hukum ditujukan kepada sikap lahir.
c. Dari segi asal-usul, berasal dari kekuasaan luar yang memaksa.
d. Dari segi sanksi, berasal dari masyarakat secara resmi.
e. Dari segi daya kerja, membebani kewajiban dan memberikan hak.
Dengan melihat gambaran mengenai kaedah hukum sebagaimana telah
diuraikan tersebut, rasanya masih terlalu sulit untuk mendefinisikan hukum,
karena memang tidak ada satu pun sarjana yang dapat membuat pengertian atau
definisi hukum secara sempurna. Tentu saja, untuk mendefinisikan hukum
bukanlah pekerjaan yang mudah dan ini terkait dengan perkembangan sejarah
hukum dan aliran-aliran dalam filsafat hukum yang tentunya dapat mempengaruhi
pengertian dari hukum.

7
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1991, halaman 31.
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
1988, halaman 5.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 10

Sebagai contoh pertama, pada zaman Romawi, para pemikir hukum lebih
banyak dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran ke arah pembentukan
hukum yang dapat diberlakukan secara luas di semua wilayah Romawi.
Kedua, pada Zaman Pertengahan, kekuasaan gereja sedemikian besar sehingga
turut melakukan intervensi ke dalam masalah duniawi, termasuk mengatur
pemerintahan, sehingga hukum yang dihasilkan pada waktu itu bernafaskan
keagamaan dengan mengaitkan inti pemikiran hukum dengan ajaran-ajaran gereja,
misalnya saja Thomas Aquino, yang membagi hukum ke dalam 4 (empat)
golongan, yaitu:9 Lex Aeterna, Lex Divina, Lex Naturalis, dan Lex Positivis yang
nantinya akan dikupas dalam bagian lain dari tulisan ini mengenai berbagai aliran
dalam filsafat hukum.
Ketiga, pada abad ke-19 hukum dipengaruhi oleh perkembangan dunia
ekonomi yang dibarengi dengan kedudukan negara yang semakin kuat dan kukuh
dalam hal melakukan kontrol dan mengarahkan masyarakat ke arah yang
dikehendakinya, sehingga pada masa ini lahirlah aliran positivisme (analitis
maupun murni) yang menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai
pembentuk hukum. Pada masa ini, pemikiran dari John Austin dan Hans Kelsen
sangat berpengaruh pada dunia ilmu maupun teori hukum, baik pada masa
tersebut maupun sesudahnya.
Di samping itu, masih banyak pendapat dari pemikir-pemikir hukum lain,
seperti Carl von Savigny dan Puchta, juga yang lainnya yang nantinya akan
dibahas dalam madzab filsafat hukum.

3. Pengertian Filsafat Hukum


Untuk mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus
mengetahui di mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah
diketahui bahwa hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama
untuk mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia
yang disebut dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan bahwa
9

Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 29-30.


Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 11

filsafat manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat
hukum sebagai subspecies.10 Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Umum
Ada Ada Mutlak
Ada Khusus Alam
Ada
Tidak Mutlak Anthropologia
Manusia Etika Filsafat Hukum

Logika
Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika
mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan
objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang
disebut hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan memberikan
definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung dari sudut
pandang para ahli hukum melihatnya seperti yang dikemukakan oleh beberapa
sarjana dalam uraian di bawah ini.
J. van Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan
kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan
orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von
Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang
memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen
menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.
Pendapat tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono
Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian peraturan mengenai
tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-
satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata
tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi hukum tersebut menunjukkan betapa

10

Lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 10. Bandingkan juga dengan Lili
Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, halaman
4.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 12

luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita
dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.
Uraian tentang definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler
yang menyatakan bahwa definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang
hukum yang adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum
merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische
bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen
berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran sistematis tentang masalah-
masalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena hukum,
dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het
systematisch nadenken over alle fundamentele kwesties en grensproblemen het
verschijnsel recht samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de
realisatie van de rechtsidee).11
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat hukum dikemukakan oleh
Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar
tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu? Apakah semua syarat
keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah hubungannya antara hukum dan
keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan
sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan kakinya ke
lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu hukum.

DAFTAR PUSTAKA
11
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 13

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan


Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty,


Yogyakarta, 1988.

Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka


Cipta, Jakarta, 1990.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.

________________, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT.


Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.

Sastrosoehardjo, Soehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program


Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit


Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 14

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM

Tujuan Instruksional Umum:


Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat membedakan sejarah
perkembangan filsafat hukum dari zaman Yunani sampai dengan abad dewasa ini.

Tujuan Instruksional Khusus:


Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman Yunani
(Kuno).
2. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
pertengahan.
3. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman modern.
4. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman
sekarang.

1. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)


Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang
sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu
pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat
membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman
Yunani (Kuno).
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan
sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan
sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada
zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato,
dan Aristoteles.12 Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM),
Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya
keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya
12
Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 70-71.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 15

dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos
(rasio).13 Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang
dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus
disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah
keadilan (dike).
Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai
dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan
dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos.
Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat
bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu
keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke
dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak
menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena
dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat
bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif,
karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates
berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas
dari hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan
terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara
itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa
untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan
(theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak
dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan

13
Logos menciptakan bentuk , ukuran, dan harmoni yang menghasilkan aturan. Aturan ini
terwujud dalam polis di mana warga-warga polis memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan
logos (Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 20).
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 16

menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan
agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya.
Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai
kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan
dari hukum dan negara yang ideal.
Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles
berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran
Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles,
manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum
yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum
positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif
muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut
Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan
di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak
pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya.
Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada
ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara
bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum
positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan
diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan
kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama
filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno).
Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian,
dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif)
yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu,
sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori
perjanjian masyarakat.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 17

Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam


hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang
bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya.
Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan logos, yang
selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut Stoisisme, tujuan
hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga
ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif
sesuai dengan hukum alam.

2. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan


Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak
runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the
dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa
scholastic),14 dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman
pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada
saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga
tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga
masa ini dikenal sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus
(354-430) dan Thomas Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam
perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari
pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh
dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi.
Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang
diketemukan dalam jiwa manusia.
Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah
meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu
Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina),
hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif

14
Lihat Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990, halaman 13.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 18

(Lex Positivis).15 Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan
oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum
pada bagian lain dari tulisan ini.

3. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern


Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri,
yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh
yang berperan sangat penting pada abad pertengahan ini, antara lain: William
Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679),
John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-
1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius
(1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-
1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut
Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan
menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak
perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi
yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru,
lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya.
Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi
dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama
sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai
satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para
penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme
hukum.

4. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang


Yang dimaksud dengan zaman sekarang dimulai pada abad ke-19. Filsafat hukum
yang berkembang di zaman modern berbeda dengan filsafat hukum yang
15
Lihat Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 39.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 19

berkembang pada zaman modern. Jika pada zaman modern berkembang


rsionalisme, maka pada zaman sekarang rasionalisme yang berkembang
dilengkapi dengan empirisme, seperti Hobbes. Namun, aliran ini berkembang
pesat pada abad ke-19, sehingga faktor sejarah juga mendapat perhatian dari para
pemikir hukum pada waktu itu, seperti Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-
1883), juga von Savigny sebagai pelopor mazhab sejarah.
Hegel merupakan tokoh utama dalam idealisme Jerman, ia merupakan penerus
rasionalisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Menurut Hegel, rasio
tidak hanya rasio individual melainkan juga rasio Keilahian. Teorinya disebut
Dialektika, yang popularitasnya mengalahkah ahli pikir di zamannya, seperti J.F.
Fichte (1762-1814) dan F.W.J. Schelling (1775-1854).
Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase dalam perkembangan dunia
merupakan rentetan dari fase berikutnya, artinya setiap pengertian mengandung
lawan dari pengertian itu sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak
ada atau sebaliknya mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi.
Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang pada akhirnya dari
setiap synthese merupakan titik tolak dari tritunggal yang baru. 16 Teori dialektika
Hegel ini dapat digambarkan dalam ikhtisar berikut ini:
Ada Tidak Ada Negara diktator Negara Anarkhis

Ide Menjadi Negara demokratis konstitusional

Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl Marx dan Engels
yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai pernyataan hidup dalam
masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga von Savigny yang menyatakan
bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh bersama-sama dengan perkembangan
masyarakat. Pandangan Savigny ini telah memasukkan faktor sejarah ke dalam
pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif terhadap hukum.
Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab Sejarah.17

16
Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 37.
17
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 82.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 20

Dari beberapa fase perkembangan filsafat hukum yang diawali sejak zaman
Yunani (Kuno) dapat digambarkan dalam suatu ikhtisar berikut ini:

Z. Yunani (Kuno) Z. Pertengahan Z. Modern Z. Sekarang


Masa Gelap

Anaximander Augustinus W. Occam Hegel


Herakleitos Thomas Aquino R. Descartes Fichte
Parmenides T. Hobbes Schelling
Socrates J. Locke von Savigny
Plato G. Berkeley
Aristoteles D. Hume
F. Bacon
Wolf
Montesquieu
J.J. Rousseau
Immanuel Kant

5. Latihan Soal
1. Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos, dan Parmenides)
berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan keadilan diperlukan
nomos yang bersumber pada logos (rasio)?
2. Mengapa Socrates tidak percaya terhadap kebenaran subjektif
sebagaimana dikemukakan oleh kaum Sofis?
3. Di mana letak pengaruh pemikiran filsuf zaman Yunani terhadap
pemikiran para filsuf di zaman pertengahan? Bagaimana pula Thomas
Aquinas membagi hukum?
4. Mengapa zaman modern dikatakan sebagai zaman Renaissance? Jelaskan!
5. Mengapa Hegel dikatakan sebagai penerus Immanuel Kant?
6. Jelaskan teori dialektika Hegel?
DAFTAR PUSTAKA
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 21

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan


Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,


Yogyakarta, 1993.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 22

BAB III
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum:
1. Mahasiswa dapat memahami berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.
2. Mahasiswa dapat membandingkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum.

Tujuan Instruksional Khusus:


1. Mahasiswa dapat menyebutkan berbagai aliran dalam Filsafat Hukum,
yaitu: a. Aliran Hukum Alam.
b. Aliran Hukum Positif.
c. Aliran Utilitarianisme.
d. Aliran Sejarah.
e. Alian Positivisme.
f. Aliran Sociological Jurisprudence.
g. Aliran Legal Realism.

1. Berbagai Aliran Dalam Filsafat Hukum dan Perbedaannya


Dalam filsafat hukum dikenal pembagian pelbagai aliran atau mazhab, yang
dikemukakan oleh beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G. Northrop dan Lili
Rasjidi.18
Northrop membagi aliran atau madzhab filsafat hukum ke dalam 5 (lima)
aliran, yaitu:
a. Legal Positivism.
b. Pragmatic Legal Realism.
c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence.
d. Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence.
e. Naturalistic Jurisprudence.

18
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990,
halaman 26-27.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 23

Sedangkan Lili Rasjidi membagi aliran/madzhab filsafat hukum ke dalam 6


(enam) aliran besar, masing-masing:
a. Aliran Hukum Alam:
1) Yang Irrasional.
2) Yang Rasional.
b. Aliran Hukum Positif:
1) Analitis.
2) Murni.
c. Aliran Utilitarianisme.
d. Madzhab Sejarah.
e. Sociological Jurisprudence.
f. Pragmatic Legal Realism.
Selain kedua orang tokoh tersebut ada juga sarjana lain, yaitu Soehardjo
Sastrosoehardjo yang membagi filsafat hukum ke dalam 9 (sembilan) aliran atau
madzhab, yaitu:19
a. Aliran Hukum Kodrat/Hukum Alam.
b. Aliran Idealisme Transendental (Kantianisme).
c. Aliran Neo Kantianisme.
d. Aliran Sejarah.
e. Aliran Positivisme.
f. Aliran Ajaran Hukum Umum.
g. Aliran Sosiologi Hukum.
h. Aliran Realisme Hukum.
i. Aliran Hukum Bebas.
Ketiga sarjana tersebut dalam membagi-bagi aliran dalam filsafat hukum tidak
sama, karena memang tergantung pada penafsiran masing-masing orang dalam
memilah-milahkan aliran dalam filsafat hukum.

19
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 1.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 24

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pembagian aliran/madzhab filsafat


hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru besar imu hukum dari
Universitas Padjadjaran, Bandung dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut
Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan
yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku
secara universal dan abadi.20
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui
penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum
alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Irrasional:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi
bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain:
Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius
Padua, dan John Wyclife.
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
a) Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal
dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap
oleh pancaindera manusia.
b) Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia
berdasarkan waktu yang diterimanya.
c) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan
penjelmaan dari rasio manusia.
d) Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam
oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh

20
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 25

keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan


hukum positif buatan manusia.
Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis
hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:
a) Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia
yang bersumber dari rasio alam.
b) Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal
dari alam.
c) Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat
diubah oleh penguasa.
Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak
Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari Spanyol berpendapat demikian,
manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan
umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah
pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan waktu. Berdasarkan
akalnya manusia dapat menerima hukum alam tersebut, sehingga manusia
dapat membedakan antara yang adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan baik
atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia adalah sebagian
saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio) manusia.
1) Rasional:
Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal
dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman
Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib
ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam
muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk
penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya,
antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant,
dan Samuel Pufendorf.
Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia
menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 26

manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah
sebagai satu-satunya sumber hukum.
Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari
Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik
der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis
(kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya
Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni).
Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia,
yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).21
Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia
(homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang
bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze),
tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri
menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang
penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada
manusia ideala berkepribadian humanistis.
Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der
Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian
dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah
bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk
berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan
kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna
mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa
hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri
dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah
hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap
mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat

21

Soehardjo Sastrosoehardjo, Op. Cit., halaman 12.


Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 27

unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini


sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan
penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari
Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme.
Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam
itu bersumber dari rasio manusia.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman. Yang
dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar adalah nyata,
dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich
ist, das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is
reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau
realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan
proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang
senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup
seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan
dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis
melalui tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan
terus-menerus. Filsafat hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan
esensinya juga dikuasai oleh hukum dialektika. Negara merupakan
perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum.

b. Aliran Hukum Positif


Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum
yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undang-
undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
1) Analitis
Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat
asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain,
yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical
Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
a) Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 28

b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
- hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif
yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang,
peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun
rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-
haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
- Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam
organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya
terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang
tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
2) Murni
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena
pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen
seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan
dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam.
Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam
walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans
Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam,
walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana
tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran
Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran
hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau
tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu
(hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme
hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah.
Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 29

a) Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah
meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan
keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
b) Teori filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki,
masalah cipta, bukan karsa dan rasa.
c) Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap)
yang dikuasai oleh hukum kausalitas.
d) Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan
kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
e) Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur
perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f) Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif
tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum
yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan
norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma
dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik,
etiika atau agama.
Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau
susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl
(1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering,22 yang kemudian diambil
alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu tergantung pada
norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada suatu
Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya
keseluruhan hukum positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan
dalam arti hukum kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental Logische
Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan bahwa norma
dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus
berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan norma-

22
Bandingkan dengan Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 43.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 30

norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada
hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
Penulis lain bernama Rudolf Stammler (1856-1938) merupakan tokoh
kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum kodrat gaya baru, yaitu hukum kodrat
yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa filsafat hukum adalah
ilmu/ajaran tentang hukum yang adil (die lehre vom richtigen recht). Apabila
ilmu hukum meneliti dan mengkaji, secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat
hukum ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara
transendental kritis (metode yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran
manusia hingga menerobos sampai pada landasan/dasar transendental logis
penghayatan hukum yang berujud hakekat pengertian hukum.
Hakekat pengertian hukum atau pengertian hukum yang transendental ini
mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak
bisa diganggu (wollen, verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari
hakekat ini lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek
hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum,
penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan melawan hukum.
Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa metode pikiran formil yang
adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asas-
asas hukum umum yang menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk
pengertian hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah
hukum yang memenuhi syarat atau tertentu social-ideal, yakni ujud dari
manusia dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak bebas
(Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial ini berfungsi
regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak semata-mata pada bentuk
hukumnya.

c. Aliran Utilitarianisme
Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill
(1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa
alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 31

memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah


kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan.
Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan
kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk
itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka
akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang
lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang
individual.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih
banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan
manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui
hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang
mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum.
Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada
hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu
menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara
utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal
sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan
antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari
John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-
kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan
melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan
tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan
menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang
lain.

d. Aliran Sejarah
Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan
Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 32

dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat,
berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat
kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke
vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen
eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan
adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai
berikut:
1) Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan
sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2) Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena
dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris
yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras.
3) Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya,
tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi
bentuk hukum.
4) Dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar
daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang
dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari
Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di
samping itu juga hendak memberi tempat yang terhormat bagi hukum rakyat
Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum
Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman. Tantangan von Savigny
terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya
Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von
Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von
Savigny berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:
1) Langsung, berupa adat-istiadat.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 33

2) Melalui undang-undang.
3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa
bangsa (volksgeist) yang bersangkutan.
Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian bangsa ke dalam dua jenis,
yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa
dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian
nasional (negara), sedangkan bangsa alam memiliki hukum sebagai keyakinan
belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus
disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga
akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik
hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli
hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh
negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran
mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai
hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan
apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa
menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat-
istiadat.
Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut
Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan
Positivisme Yuridis.23 Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht.

e. Aliran Sociological Jurisprudence

23
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 120-121.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 34

Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin
Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika,
pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.24 Kata sesuai
diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan
rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari
hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu
mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara
hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi
yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping
juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap
masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan
sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological
jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat,
sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada
hukum.
Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law
as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan
harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan
kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha
penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan
anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu
diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan
aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan
primat pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung

24
Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 47.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 35

und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan


kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari
these positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran
tersebut ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal
agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu
hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji
oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh
pengalaman . Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem
hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal,
yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-
undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi
politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.

f. Pragmatic Legal Realism


Salah seorang sarjana bernama Friedman membahas aliran ini dalam
kaitannya sebagai salah satu subaliran dari positivisme hukum. Sebab, pangkal
pikir dari aliran ini bersumber pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber
hukum. Pendasar mazhab/aliran ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell
Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan sebagainya. Friedman
juga berpendapat bahwa Roscoe Pound juga dapat digolongkan ke dalam
Pragmatic Legal Realism di samping masuk ke dalam Sociological
Jurisprudence. Hal ini disebabkan oleh pendapat atau pandangan Roscoe Pound
yang mengatakan bahwa hukum itu adalah a tool of social engineering. Sementara
itu, Llewellyn berpendapat bahwa Pragmatic Legal Realism bukan aliran tapi
suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan
dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
2) Realisme adalah suatu konsep mengenai hukum yang berubah-ubah dan
sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 36

diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan
sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.
3) Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen
dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar penyelidikan itu
mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai dan
observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak
boleh dipenuhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
4) Realisme telah mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh
karena realisme bermaksud melukiskan apa yang sebenarnya oleh
pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-
definisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang
apa yang akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan
keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan
perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada
jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.
5) Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum
haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.
Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan
program tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut:
1) Keterampilan diperlukan bagi seseorang dalam memberikan
argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya
bukan hanya sekedar argumen-argumen yang diajukan oleh ahli hukum
yang nilainya tidak berbobot.
2) Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan
relativitas makna peraturan-peraturan tersebut.
3) Menggantikan katagori-katagori hukum yang bersifat umum dengan
hubungan-hubungan khsusus dari keadaan-keadaan yang nyata.
4) Cara pendekatan seperti tersebut di atas mencakup juga penyelidikan
tentang faktor-faktor/unsur-unsur yang bersifat perseornagan maupun
umum dengan penelitian atas kepribadian sang hakim dengan disertai data-
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 37

data statistik tentang ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat oloeh


pengadilan dan lain-lain.25
Mengenai aliran Pragmatic Legal Realism yang berkembang pada waktu itu
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1) Aliran Realisme Hukum Amerika
Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank. The path
of Law berasal dari Holmes, sedang Law in the modern mind berasal dari
Jerome Frank. Sifat normatif hukum agak dikesampingkan. Hukum pada
hakekatnya adalah berupa pola perilaku/tindakan (pattern of behaviour) nyata dari
hakim dan petugas/pejabat hukum (law officials) lainnya. Pendorong utama
perilaku Hakim atau pejabat-pejabat hukum segarusnya berpijak pada moral
positif dan kemaslahatan masyarakat (social advanrage). Bagi Frank, hukum
dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum yang senyatanya dan hukum yang
mungkin (actual law and probable law). Peraturan-peraturan hukum dan asas-asas
hukum tidak lain adalah semacam stimuli yang mempengaruhi perilaku hakim
yang dapat dilihat dalam putusan-putusan hakim, di samping faktor-faktor lain,
yakni, prasangka politis, ekonomis, dan moril, simpati maupun antipati pribadi
(Frank). Terhadap sikap yang agak ekstrim dari kedua tokoh tersebut, yakni
Roscoe Pound dan benjamin Cardozo dalam bukunya yang berjudul The nature
of the juridical process mengambil pendirian yang lebih moderat, yakni wawasan
sosiologis.
2) Aliran Realisme Skandinavia
Di Skandinavia, para sarjana hukum modern mengembangkan cara berfikir
tentang hukum yang memiliki ciri khas ala Skandinavia yang tidak ada
persamaannya di negara-negara lain. Walaupun istilah realisme sering
dipergunakan untuk gerakan cara berfikir di Skandinavia akan tetapi persamaan
nama dengan gerakan cara berfikir di Amerika Serikat, hanyalah sebatas
persamaan nama saja. Realisme Skandinavia adalah dasar-dasar filsafat yang
memberikan kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika hukum (Skandinavian

25
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997,
halaman 77.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 38

realism is essentialy a philosophical critique of the metaphysical foundations


law). Gerakan ini menolak cara pendekatan yang dipergunakan oleh kaum realis
Amerika Serikat yang mempunyai nilai rendah. Dalam caranya memberi kritik
dan pengupasan prinsip-prinsip pertama yang seringkali sangat abstrak, grakan
realis mempunyai ciri-ciri yang mirip sekali dengan ciri-ciri Filsafat Hukum
Eropa. Adanya persamaan cara pendekatan antara penganut-penganut gerakan
relaisme Skandinavia diusebabkan oleh pengaruh dari Axel Hagestrom terhadap
tokoh-tokoh gerakan realisme Skandinavia pada waktu itu, yaitu Oliverscrona,
Lundstedt, sekalipun pengaruh Axel tidak sebesar Ross.
Para ahli hukum tersebut di atas menolak adanya pengertian-pengertian
mutlak tentang keadilan yang menguasai dan yang memberi pedoman pada
sistem-sistem hukum positif. Mengenai nilai-nilai hukum gerakan realisme
Skandinaviamempunyai pendirian yang sama dengan filsafat relativisme; mereka
menolak pendirian yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hukum
dapat disalurkan secara memaksa dari prinsip-prinsip tentang keadilan yang tidak
adapat diubah.
Menureut Friedman, 26 keberadaan realisme Skandinavia telah memberikan
sumbangan yang amat besar kepada teori hukum, yaitu tentang penggunaan
pengertian kehendak kolektif, satu kehendak umum atau kehendak negara (a
collective or general will or of the state) oleh ilmu hukum analitis. Menurut
Hargerstrom dan kawan-kawan, pengertian-pengertian tersebut adalah semacam
satu pengertian gaib yang dipergunakan mereka untuk memberi dasar hukum pada
kemahakuasaan orang-orang yang memegang perintah negara; dan cara mereka
membuktikan legitimitas (dasar hukum) kekuasaan negara tersebut menurut
Hargerstrom dan kawan-kawan adalah pada dasarnya sama dengan cara-cara yang
dipergunakan filsafat hukum kodrat.

2. Latihan Soal

26

Ibid., halaman 86.


Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 39

a. Mengapa hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang


sengaja dibentuk oleh manusia? Jelaskan!
b. Apa yang melatarbelakangi Thomas Aquinas membagi hukum
menjadi 4, serta sebutkan dan jelaskan ke-4 hukum menurut
Thomas Aquinas?
c. Mengapa dalam aliran hukum positif timbul aliran analitis dan
murni dan bagaimana pula perbedaan yang menonjol antara dua
liran tersebut? Jelaskan!
d. Siapakah pendasar aliran Utilitarianisme dan bagaimana pula
pendapat atau pandangan para ahli hukum penganut aliran
Utilitarianisme terhadap hukum? Sebut dan jelaskan!
e. Adakah perbedaan pendapat antara Karl von Savigny dan Puchta?
Jelaskan jawaban Sdr.!
f. Ada berapa pandangan realisme hukum? Di manakah pertama kali
realisme hukum itu timbul? Jelaskan perbedaannya masing-masing!
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 40

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan


Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 1995.

Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,


Yogyakarta, 1993.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, 1990, halaman.

Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program


Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,


1997.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 41

BAB IV
PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUM SECARA FILOSOFIS

Tujuan Instruksional Umum:


Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat:
1. Memahami berbagai pengertian hukum secara
filosofis.
2. Memahami berbagai tujuan hukum secara filosofis.
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Menyebutkan dan
menjelaskan konsepsi hukum menurut Roscoe Pound.
2. Menyebutkan dan
menjelaskan tujuan hukum secara tradisional.
3. Menyebutkan dan
menjelaskan tujuan hukum secara modern.

1. Konsepsi Hukum Menurut Roscoe Pound


Roscoe Pound sebagai salah seorang pendasar aliran Sociological
Jurisprudence yang tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat, memiliki 12
(dua belas) konsepsi tentang hukum. Kedua belas konsepsi hukum yang
dikemukakan oleh Pound tersebut dipergunakan untuk menjelaskan gagasan
tentang hak-hak asasi yang sebenarnya berguna untuk menerangkan untuk apa
sebenarnya hukum itu, dan menunjukkan bahwa seberapa mungkin harruslah
sedikit hukum itu, karena hukum merupakan satu kekangan terhadap kebebasan
manusia, dan kekangan itu walaupun hanya sedikit menuntut pembenaran yang
kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya 12 konsepsi Pound tentang
hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung sebagian besarnya di
dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan pendek mengenai
gagasan tentang sifat hukum dipandang dari pendirian ini akan sangat berguna
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 42

dalam mepelajari tujuan hukum dari segi filososfis. Adapun ke-12 konsepsi Pound
tentang hukum tersebut terdiri dari:27
a. Pertama, boleh kita
kemukakan gagasan tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang
diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia, misalnya undang-
undang Nabi Musa, atau undang-undang Hammurabi, yang diturunkan oleh
Dewa Matahari setelah selesai disusun, atau undang-undang Manu yang
didiktekan kepada para budiman oleh putra Manu, Bhrigu namanya, di
depan Manu sendiri dan atas petunjuknya.
b. Ada satu gagasan
tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat
diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh
ditempuh manusia dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang
menganggap dirinya dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam yang
banyak tingkah dan suka membalas dendam, terus-menerus dalam ketakutan
kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib. Dengan
demikian ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh mahkluk gaib
tersebut. Kesalahan umum menuntut supaya orang melakukan hanya apa
yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara yang digariskan oleh
kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya jangan melakukan apa yang
tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum adalah himpunan perintah yang
tradisional akan dicatat, yang di alam kebiasaan itu dipelihara dan
dinyatakan. Bilamana kita menjumpai sehimpunan hukum primitif yang
merupakan tradisi golongan dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi
ia akan dianggap sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi
yang sama tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan dipandang
sebagai yang telah diwahyukan oleh Tuhan.
c. Gagasan ini rapat
dengan yang kedua, yakni memahamkan hukum sebagai kebijaksanaan yang
27

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara,
Jakarta, 1996, halaman 28-32.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 43

dicatat dari para budiman di masa lalu yang telah dipelajari. Jalan yang
selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan. Apabila
satu kebiasaan tradisional dari keputusan dan kebiasaan tindakan telah
dituliskan dalam kitab undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap
sebagai hukum. Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum
Masehi dapat melukiskan hukum Athena dengan kata-kata tadi.
d. Hukum dapat
dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filasaft,
yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus
menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu. Demikianlah,
gagasan sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya merupakan cangkokan
dari gagasan kedua dan ketiga tadi, dan dari satu teori politik tentang hukum
sebagai perintah dari bangsa Romawi; dan semuanya dirukunkan dengan
memahamkan tradisi dan kebijaksanaan yang tercatat dan perintah bangsa-
bangsa yang semata-mata sebagai pernyataan atau pencerminan dari asas-
asas yang dicari kepastiannya secara filsafat, harus diukur, dibentuk,
ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah diolah oleh ahli-ahli
filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali mendapat bentuk lain,
e. Sehingga kelima
hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari
satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.
f. Ada satu gagasan
mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di
dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur
hubungan antara yang seorang dengan yang lainnya. Ini adalah suatu
pandangan demokratis tentang identifikasi hukum dengan kaidah hukum,
dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari negara kota yang
diperbincangkan di dalam buku Minos dari Plato. Sudah sewajarnyalah
Demosthenes menganjurkan kepada satu juri di Athena. Sangat mungkin
dengan teori serupa itu, satu gagasan filsafat akan menyokong gagasan
politik dan kewajiban moril yang melekat pada suatu janji akan
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 44

dipergunakan untuk menunjukkan mengapa orang harus menepati


persetujuan yang mereka buat di dalam majelis rakyat.
g. Hukum dipikirkan
sebagai satu pencerminan dari akal Illahi yang menguatkan alam semesta
ini; satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda
dengan yang masih dilakukan, yang ditujukan kepada mahkluk lain selain
manusia. Begitulah konsepsi Thomas Aquino, yang mempunyai penganut
banyak sampai abad ke-17 dan semenjak itu masih besar pengaruhnya.
h. Hukum telah
dipahamkan sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat
di dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan,
tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat itu, dan
perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap
terdapat di belakang wewenang dari yang berdaulat. Demikianlah anggapan-
anggapan sarjana-sarjana Romawi pada masa republik dan masa klasik
mengenai hukum positif. Dan karena Kaisar memegang kedaulatan rakyat
Romawi yang diserahkan kepada baginda, maka Institutiones dari Kaisar
Justinianus dapat menetapkan bahawa kemauan kaisar mempunyai keuatan
satu undang-undang. Cara berfikir serupa itu cocok dengan pikiran-pikiran
ahli-ahli hukum yang giat menyokong kekuasaan raja dalam memusatkan
kerajaan Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, dan dengan perantaraan ahli-
ahli hukum itu masuklah cara berfikir itu ke dalam hukum publik. Rupanya
dia sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi Parlemen di tanah
Inggris sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris yang kolot.
Demikianlah dia dicocokkan dengan satu teori politik tentang kedaulatan
rakyat yang menurut teori itu, rakyat dianggap sebagai pengganti parlemen
untuk memegang kedaulatan pada waktu Revolusi Amerika, atau sebagai
pengganti Raja Perancis pada waktu Revolusi Perancis.
i. Satu gagasan yang
menganggap hukum sebagai satu sistem pemerintah, ditemukan oleh
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 45

pengalaman manusia yang menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia


perseorangan akan mencapai kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan
dengan kebebasan serupa itu pula, yang diberikan kepada kemauan orang-
orang lain. Gagasan ini yang dianut dalam salah satu bentuk oleh mazhab
sejarah, telah membagi ksetiaan sarjana hukum kepada teori hukum sebagai
perintah dari pemegang kedaulatan, dan hal in terjadi hampir di sepanjang
abad yang lalu. Menurut anggapan pada masa itu, pengalaman manusia
yang menemukan prinsip hukum ditentukan dengan sesuatu cara yang tak
dapat dielakkan lagi. Ini bukanlah soal daya upaya manusia yang
dilakukannya dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh pengembangan suatu
gagasan mengenai hak dan keadilan, satu gagasan tentang kebebasan yang
mewujudkan dirinya di dalam pelaksanaan peradilan oleh manusia, atau
oleh kerja-kerja hukum yang biologis atau psikologis atau tentang sifat-sifat
jenis bangsa, yang kemudian menghasilkan sistem hukum daru suatu masa
dan suatu bangsa yang bersangkutan.
j. Orang menganggap
hukum itu sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat dan
dikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum
dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu
kehidupan lahir manusia diukur oleh akal, atau pada taraf lain, dengan
tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak diselaraskan
dengan kehendak orang lain. Cara berfikir ini muncul pada abad ke-19
sesudah ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk yang mempengaruhi
pikiran hukum selama dua abad, dan filsafat diminta untuk memberikan satu
terhadap kritik susunan sistematik dan perkembangan detail.
k. Hukum dipahamkan
sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia di
dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat
memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar
maupun tidak sadar. Interpretasi ekonomis dari hukum ini banyak
bentuknya. Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 46

pengembangan satu gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan. Di dalam


satu bentuk sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan pada perjuangan
kelas atau satu perjuangan untuk hidup di lapangan perekonomian, dan
hukum adalah akibat dari pekerjaan tenaga atau hukum yang terlibat atau
menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam betuk Positivistis-Analistis,
hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kedaulatan, tetapi
perintah itu seperti yang ditentukan isi ekonomisnya oleh kemauan kelas
yang berkuasa, pada gilirannya ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri.
Semua bentuk ini terdapat dalam masa peralihan dari stabilitas kematangan
hukum ke satu masa pertumbuhan baru. Apabila gagasan bahwa hukum
dapat mencukupkan keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai
mencoba menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya,
yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi. Tambahan
lagi pada masa undang-undang banyak dibuat peraturan perundang-
undangan yang dundangkan mudah dianggap orang sebagai type
darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak membentuk satu teori
tentang pembuatan undang-undang oleh badan legislatif dianggap
memberikan uraian tentang semua hukum.
l. Akhirnya ada satu
gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undang-undang ekonomi dan
sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di dalam
masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah
yang disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa yang akan
terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggaraan peradilan.
Teori type ini terdapat pada akhir abad ke-19, tatkala orang mulai mencari
dasar fisik dan biologis, yang dapat ditemukan oleh pengamatan, dan bukan
lagi dasar metafisik, yang ditemukan oleh perenungan filsafat. Satu bentuk
lain menemukan satu kenyataan sosial yang terakhir dengan pengamatan
dan mengembangkan kesmpulan yang logis dari kenyataan itu, mirip seperti
yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah akibat lagi dari
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 47

suatu kecenderungan dalam tahun mutakhir yang hendak mempersatukan


ilmu-ilmu sosial, yang lebih besar kepada teori-teori sosiologi.
Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut terkait dengan teorinya yang
dikenal dengan Law as a tool of social engineering. Untuk itu, Pound membuat
penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum
sebagai berikut:28
1) Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:
a) kepentingan negara sebagai badan hukum;
b) kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2) Kepentingan Masyarakat (Social Interest):
a) kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b) perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c) pencegahan kemerosotan akhlak;
d) pencegahan pelanggaran hak;
e) kesejahteraan sosial.
3) Kepentingan Pribadi (Private Recht):
a) kepentingan individu;
b) kepentingan keluarga;
c) kepentingan hak milik.
Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound
mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu
berupa pendekatan terhadap hukum sebagai ke arah tujuan sosial dan sebagai alat
dalam perkembangan sosial. Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya
merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jhering. Oleh karena itu,
dilihat dari hal tersebut, Pound dapat pula digolongkan ke dalam alairan
Utilitarianisme dalam kapasitasnya sebagai penerus Jhering dan Bentham.
Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis hukum,
sehingga membuat pembentuk undng-undang, hakim, pengacara, dan pengajar

28

Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 129-
130.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 48

hukum menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap


persoalan khusus. Dengan kata lain, klasifikasi tersebut membantu
menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.

2. Tujuan Hukum Secara Tradisional


Tujuan hukum sudah timbul di dalam pemikiran yang sadar, kita mengenal
tiga gagasan dalam sejarah hukum.
a. Ketertiban Hukum
Tujuan hukum yang paling sederhana ialah hukum diadakan supaya terjaga
ketenteraman dalam masyarakat tertentu, tujuan hukum yang demikian ini
sangat penting artinya bagi masyarakat, karena dalam masyarakat yang
disusun dalam suatu kekerabatan, yang acapkali di dalamnya terjadi benturan-
benturan kepentingan sehingga timbul perselisihan.
b. Menjaga Perdamaian:
Tujuan hukum ialah untuk menjga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja,
dan dipelihara dengan mengorbankan apa saja. Pengertian hukum yang
demikian ini disebut sebagai hukum yang primitif, alasannya ialah bahwa
perdamaian antara kekerabatan yang satu dengan kekerabatan lain , antara
orang-orang yang sekutu, dan penduduk yang bertambah banyak. Sehingga
dimungkinkan terjadi benturan-benturan kepentingan. Oleh karena itu, hukum
dibentuk.
c. Mencegah Pergeseran dalam Masyarakat:
Tujuan hukum ketiga ini timbul, untuk mencegah pergeseran anatar sesama
masyarakat. Hal ini disebabkan sistem kekerabatan semakin hilang dan
digeser oleh orang-orang yang kehilangan kekerabatan serta para pendatang,
sementara itu orang-orang yang memiliki kekerabatan masih berkuasa,
sehingga gagasan mengenai tujuan hukum ketiga dapat juga disebut untuk
menjaga ketertiban sosial.

3. Tujuan Hukum Secara Modern


Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 49

Seiring dengan perkembangan ekonomi dalam masyarakat, semakin terasa


akan adanya perlindungan hukum untuk kegiatan yang terkait ekonomi, yaitu:
a. Tujuan Penyingkiran Pembatasan Kegiatan Ekonomi yang Bebas:
Hukum ditujukan untuk menyingkirkan pembatasan terhadap kegiatan
ekonomi yang bebas, yang bertumpuk-tumpuk selama jaman pertengahan
sebagai insiden dari sistem kewajiban di dalam hubungan antar manusia dan
sebagai pengucapan dari gagasan tentang penetapan orang di tempatnya
masing-masing di dalam suatu masyarakat yang statis.
b. Tujuan Konstruktif:
Tujuan ini berkembang pada saat hukum dagang memberikan efek kepada apa
yang dilakukan orang menurut kehendaknya, yang menilik niat bukan
bentuknya, yang menafsirkan keamanan umum sebagai keamanan bagi
transaksi dan mencoba melaksanakan kemauan tiap orang untuk menciptakan
akibat hukum. Tujuan konstruktif ini dikembangkan dari hukum Romawi dan
kebiasaan saudagar dengan perantaraan teori hukum mengenai hukum alam.
c. Menjaga Kestabilan:
Pada akhir abad ke-19, timbul pandangan hukum adalah keburukan, karena
pada hakekatnya hukum mengekang kebebasan orang, sehingga para sarjana
hukum dan pembuat undang-undang dengan senang hati membiarkan
masyarakat melakukan kemauannya untuk mencapai kesenangannya maupun
kesengsaraannya. Oleh karena itu pada akhir abad ke-19 gagasan hukum yang
ada dipergunakan untuk mencapai kebebasan secara maksimum.

3. Latihan Soal
a. Ada berapa konsepsi hukum yang
dikemukakan oleh Roscoe Pound?
b. Sebut dan jelaskan secara singkat keduabelas
konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pound!
c. Mengapa Roscoe Pound juga digolongkan ke
dalam tokoh aliran Utilitarianisme? Jelaskan!
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 50

d. Di mana letak perbedaan tujuan hukum yang


tradisional dan yang modern?

DAFTAR PUSTAKA

Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit


Bhratara, Jakarta, 1996.

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan


Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 51

BAB V
KEADILAN DAN HUKUM YANG BENAR DAN ADIL
Tujuan Instruksional Umum:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat :
1. Memahami bermacam-macam
arti keadilan.
2. Memahami pengertian hukum
yang benar dan adil.

Tujuan Instruksional Khusus:


Setelah mempelajari bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Menyebutkan bermacam-macam arti keadilan.
2. Menyebutkan kriteria hukum yang benar dan adil.

1. Arti Keadilan
Membicarakan hukum tidak lepas dari kata keadilan yang sudah ada sejak
jaman Yunani Kuno. Masalah keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato
dan Aristoteles melontarkan pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang
perenungan tentang keadilan yang menguasai filsafat hukum.29 Plato mencoba
mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari inspirasi, sedang Aristoteles
mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan prinsip-prinsip
rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan peraturan-peraturan
hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan mereka adalah
concept of virtue, yaitu sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah
mencakup segala-galanya dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya.
Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian keimbangan (balance) dan
harmoni sebagai suatu ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil,
sehingga dari sini tidak jarang pula antara keimbangan dan harmoni terpisah jalan

29
Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997,
halaman 11.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 52

keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan merupakan pengertian yang tercipta


pada perpaduan antara keimbangan dan harmoni sebagai suatu ukuran.
Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat
dianalisis dengan akal. Sedang menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang
ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa
keadilan mulai dijawab oleh Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan
adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing
bagiannya. Kata adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal
senada juga dikatakan oleh Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil
apabila orang tersebut mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima.
Demikian pula kata tidak adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan
hukum, oleh karena itu keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan
umum.30
Keadilan dapat pula diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang
menentukan sikap manusia pada bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat
berikut ini:31
a. Keadilan menentukan
bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan
yang lain;
b. Keadilan berada di
tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan
tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
c. Untuk mengutamakan
dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang digunakan
ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.
Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yaitu:32

30
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 154.
31
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 29.
32
Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 155.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 53

a. Keadilan distributif (Distributive Justice), yaitu memberi petunjuk tentang


pembagian barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang
menurut tempatnya.
b. Keadilan Korektif (Corrective Justice/Commutative Justice),terutama
untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum,
untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat
tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan. Oleh
karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang
obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan kontribusi
lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat dan hukum
poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia yang
sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah masalah
keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat kekuatannya
karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi penjelasan adanya
bermacam-macam hukum positif.
Kontribusi Aristoteles berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak
dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum terpaksa membuat aturan-
aturan yang berlaku umum, dan seringkali bertindak kejam terhadap soal-soal
perseorangan. Sedang equity melunakkan kekerasan dengan memperhatikan hal-
hal yang benar tentang sesuatu undang-undang.
Pemikir aliran hukum alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan
menjadi 2, yaitu:
a. Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak
masing-masing yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
b. Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi
menjadi 3, yaitu:
1) keadilan distributif;
2) keadilan komutatif;
3) keadilan vindikatif.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 54

Kaum Positivis (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai tujuan


hukum. Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan hukum lain, yaitu
kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan adagium Summun jus, summa injuria,
summa lex, summa crux, yaitu hukum yang keras akan dalam melukai kecuali
keadilan dapat menolongnya. Ungkapan tersebut berawal dari ketidakpercayaan
kaum positivis terhadap keadilan yang sebenarnya, karena keadilan yang tertinggi
adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.

3. Hukum Yang Adil dan


Benar
Gambaran mengenai hukum yang adil dan benar dapat diketemukan dalam
pemikiran yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, seorang politikus dan
sarjana hukum dari Jerman. Ia berusaha menyeberangi jurang bidang ada (sein)
dan bidang harus (sollen) dengan menerima bahwa suatu bidang terkandung
kedua bidang tersebut untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran.
Menurut Radbruch, bidang kebudayaan tidak hanya terletak di antara dua bidang
tersebut, tetapi menggabungkan kedua bidang itu juga, sebab kebudayaan
merupakan perwujudan dari nilai-nilai realitas alam, dan Radbruch hendak
menerapkan teori ini pada hukum.33
Alasan yang dipergunakan Radbruch ialah bahwa hukum merupakan unsur
kebudayaan, maka seperti unsur-unsur kebudayaan lain, hukum diwujudkan
dalam satu nilai, yakni nilai keadilan. Sehingga hukum merupakan perwujudan
dari keadilan, sedikitnya merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan.
Sedangkan tolok ukur adil atau tidak adilnya tata hukum dibentuk dalam
masyarakat, namun tolok ukur tersebut belumlah cukup, karena ada dasar lain,
yaitu dasar hukum sebagai hukum.
Dalam mewujudkan adanya hukum yang benar dan adil ini, Radbruch
membagi keadilan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu:

33

Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 162.


Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 55

a. Keadilan dalam arti


sempit, artinya keadilan merupakan persamaan hak untuk semua orang di
depan pengadilan.
b. Tujuan keadilan atau
finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai.
c. Kepastian hukum atau
legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaati.
Dengan adanya pembagian keadilan ke dalam tiga aspek tersebut, kita dapat
mengetahui bahwa suatu hukum yang adil haruskah hukum memenuhi unsur
konstitutif hukum atau hanya unsur regulatif sebagimana dikatakan oleh
Huijbers.34 Apabila adil merupakan unsur konstitutif hukum, maka suatu peraturan
tidak adil bukan hanya hukum yang buruk, tetapi karena faktor non hukum (non
yuridis), seperti politik. Sebaliknya apabila adil merupakan unsur regulatif bagi
hukum, maka suatu peraturan yang tidak adil tetap merupakan hukum walaupun
buruk, dan tetap berlaku dan mewajibkan masyarakat untuk mentaatinya.

4. Latihan Soal
a. Sebutkan pengertian keadilan menurut para
penganut aliran hukum alam dan positivisme !
b. Bagaimana pendapat Sdr. Tentang suatu
hukum yang adil dan benar? Bagaimana pula kaitannya dengan keberadaan
UU No. 23 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia jika
dikaitkan dengan teori tentang hukum yang benar dan adil? Jelaskan!

34
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, halaman 48.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 56

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan


Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1995.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,


Yogyakarta, 1993.

_________________, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.

Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,


1997.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 57

BAB VI
FILSAFAT HUKUM BERDASARKAN PANCASILA

Tujuan Instruksional Umum:


Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa dapat memahami filsafat
hukum berdasarkan Pancasila.

Tujuan Instruksional Khusus:


Setelah mempelajari bahasan ini, mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan falsafah hukum
nasional.
2. Menjelaskan filsafat hukum
dan Pancasila.

1. Falsafah Hukum Nasional


Usaha pengembangan falsafah hukum nasional di Indonesia bertumpu kepada
3 konsep dasar, yaitu:35
a. Pemahaman ukum
yang bersifat normatif sosiologis yang melihat huku tidak hanya sekumpulan
kaidah dan asas yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat, tetapi
juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan
berlakunya hukum itu. Sejalan dengan konsep tersebut maka fungsi hukum
dalam masyarakat adalah untuk terwujudnya ketertiban dan kepastian sebagai
prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan
bangsa, serta sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan
pembangunan yang menyeluruh.
b. Tujuan hukum yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan bernegara sebagaimana

35
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 44.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 58

tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang sekaligus juga merupakan


perwujudan sila-sila Pancasila.
c. Cita-cita falsafah yang
telah dirumuskan oleh para pendiri Kenegaraan dalam Konsep Indonesia
adalah Negara Hukum dan setiap orang sama di depan hukum, mengandung
arti:
1) Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum
menentukan bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan,
kekuasaan tunduk pada hukum sebagai kunci kestabilan politik yang
berkesinambungan.
2) Persamaan kedudukan setiap orang di hadapan hukum menentukan
bahwa hukum tidak membeda-bedakan antara orang berdasarkan status,
sosial, kekuasaan, agama, atau keturunan. Setiap orang mendapat
kesempatan yang sama untuk mendapatkan bantuan dan melakukan
pembelaan di muka pengadilan.
Dalam pengembangan hukum dan ilmu hukum, falsafah hukum mempunyai
peranan penting dalam memberikan dasar dan arahan melalui aspek-aspek:
a. Ontologi, meliputi permasalahan apa hakekat ilmu, apa
hakekat kebenaran, dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan.
b. Epistemologi, meliputi berbagai sarana dan tata cara dan
sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran atau kenyataan.
c. Aksiologi, meliputi nilai-nilai normatif parameter bagi
apa yang disebut kebenaran atau kenyataan dalam konteks dunia simbolik, dan
sebagainya.
Pengembangan filsafat hukum nasional harus diarahkan menjadi falsafah
hukum Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang juga merupakan dasar
falsafah hukum nasional mempunyai sifat imperatif yang tidak saja dijadikan
dasar dan arah pengembanganfalsafah hukum nasional kita, melainkan sekaligus
juga menjadi acuan dalam penyusunan, membina dan mengembangkan falsafah
hukum yang konsisten dan relevan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 59

Sehubungan dengan itu, maka falsafah Pancasila melalui tafsiran falsafatinya


harus dikembangkan agar mampu menunjukkan nilai-nilai yang aktual dan
relevan dengan kemajuan dan mengarahkan kemajuan itu sesuai dengan apa yang
terkandung dalam nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Untuk itu, Pancasila harus tetap
terbuka , tidak difahami secara doktriner dan dogmatis tanpa kehilangan substansi
falsafahnya ditafsirkan secara kreatif dan dinamis dalam perspektif ke masa kini
dan masa depan.
Dalam hubungan dengan perkembangan filsafat hukum nasional, perlu
dikembangkan critical mass, yaitu suatu masyarakat akademik yang mau dan
mampu menukik ke dalam masalah-masalah yang bersifat falsafati untuk bersikap
kritis, radikal, kreatif, dan eksploratif. Dalam suasana yang demikian, maka nilai-
nilai falsafati universal perlu digali untuk menentukan unsur-unsur yang relevan
bagi sumber hukum pada umumnya dan falsafah hukum pada khususnya. Untuk
itu, perlu dikembangkan kondisi yang makin kondusif untuk mengembangkan
falsafah hukum Pancasila tersebut.
Sistem hukum nasional yang juga merupakan sistem hukum Pancasila harus
merupakan penjabaran dari seluruh sila-sila Pancasila secara keseluruhan.
Mengenai asas persamaan kedudukan di muka hukum ada yang melihat bahwa
pembinaan perlakuan yang sama dalam kondisi yang berbeda adalah sebuah
ketidakadilan, sehingga untuk hal-hal tertentu adanya berbagais tudi masih sangat
diperlukan.
Hukum dan kekuasaan dalam kenyataan masih sering tidak saling melengkapi
antara satu dengan yang lain.

2. Filsafat Hukum dan Pancasila


Untuk mengetahui keterkaitan antara Pancasila dengan berbagai aliran dalam
filsafat hukum, perlu dipahami mengenai hakekat dari Pancasila sampai sedalam-
dalamnya. Di dalam mengupas hakekat Pancasila sampai kedalamannya, dapat
dipergunakan pendekatan filosofis. Adapun pendekatan filosofis yang digunakan
ialah metode dialektis dan analitis.36

36
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 60

Metode deduktif paralel dengan metode sintesis sebagaimana dikemukakan


oleh Hegel pada abad XIX (zaman Modern), 37 mengemukakan teorinya yang
disebut Teori Dialektika. Dalam Teorinya, Hegel berpendapat bahwa proses
perkembangan rohani berjalan dialektis, yang menurut Hegel ide-ide saling
berlawanan dan sekalian rohani melemah untuk menjadi kesatuan dalam suatu ide
baru, yang merangkap kebenaran yang terkandung dalam dua ide tadi. Sebagai
contoh, ide tadi berawal daru suatu yang ada, kemudian diperkirakan sesuatu
yang ada, akan tetapi belum ada secara menyeluruh, yakni ide menjadi
mempunyai pikiran melalui tesei, anti tesis, dan sintesis, sehingga cara berfikir
yang demikian ini disebut dialektis. Hal ini berlangsung secara terus-menerus.
Menurut Hegel pula, teori dialektis berlaku tidak hanya bidang logika, tetapi juga
dalam bidang realitas, dan yang paling banyak adalah bidang sejarah.
Pancasila yang kita kenal sebagai dasar negara Indonesia sebagaimana
dikemukakan oleh Notonegoro yang menggunakan teori Causalis untuk
menyelesaikan Pancasila. Teori ini mengatakan bahwa semua yang ada
mempunyai sebab, lebih lanjut dikemukakan pula, berdasarkan teori causalis,
Pancasila juga dapat dipahami secara mendalam, yaitu:
Pertama, dilihat dari causa materialis, Pancasila berdasar adat kebiasaan,
kebudayaan, dan agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Adat kebiasaan di sini
ialah adat kebiasaan dalam arti luas yang meliputi adat kebiasaan politik,
kewarganegaraan, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Causa Formalis Pancasila, menurut Notonegoro, ialah anggota BPUPKI, yaitu
Soekarno dan Hatta yang kemudian disebut sebagai pembentuk negara. Causa
Finalis, Pancasila adalah calon dasar filsafat negara. Hal ini tertuang dalam pidato
Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa tujuan
dari pidatonya tentang Pancasila ialah untuk merumuskan dasar Indonesia
merdeka yang disebut sebagai Filosofische Grondslag. Hal ini dapat juga
disebutkan untuk Pancasila dalam Piagam Jakarta yang ditandatangani pada

Woro Winandi & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence Dalam
Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi kelas, Program Pascasarjana
Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 9.
37
Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, halaman 106.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 61

tanggal 22 Juni 1945 yang selanjutnya dipakai sebagai Pembukaan UUD 1945.
Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Causa Finalis Pancasila ialah dasar
filsafat negara, sebab Pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI dimaksudkan sebagai dasar filsafat negara.
Causa Efficient Pancasila ialah PPKI, karena PPKI secara resmi menetapkan
Pembukaan UUD 1945 yang berintikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara.
Dengan demikian, causa efficient Pancasila sebagai dasar filasafat negara ialah
pembentuk negara Indonesia, dalam hal ini PPKI.
Pancasila merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan
dijungkirbalikkan tanpa mengubah inti dari isinya, karena susunan Pancasila
berbentuk hirarkis piramidal. Dikatakan hirarkis, karena jika dilihat dari isinya,
urut-urutan lima sila tersebut menunjukkan satu rangkaian tingkatan dalam luas
dan isinya. Selanjutnya, dikatakan piramidal, karena tiap-tiap sila yang ada di
belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila/sisla-sila yang ada di
depannya. Penjelasan selanjutnya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis
dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial.
Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilans osial,
demikian seterusnya. Sehingga tiap-tiap sila yang ada di dalamnya terkandung
sila-sila lainnya. Kecuali itu, ditegaskan bahwa sila ketuhanan dan kemanusiaan
meliputi seluruh hidup manusia dan menjadi dasar dari sila-sila persatuan,
kerakyatan, keadilan sosial. Mengenai susunan hirarki Pancasila bahwa nilai-nilai
Ketuhanan lebih tinggi dari nilai kemanusiaan, nilai kemanusiaan lebih tinggi
daripada nilai kerakyatan, dan nilai kerakyatan lebih tinggi daripada nilai keadilan
sosial. Namun mengenai bentuk piramid dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap sila
yang berada di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang
ada di depannya. Jadi kalau diterapkan dalam sila-sila pada Pancasila dapat
dijelaskan sebagai berikut: Bahwa sila kemanusiaan merupakan pengkhususan
dari sila Ketuhanan, sila kerakyatan merupakan pengkhususan dari sila persatuan
Indonesia dan sila keadilan sosial merupakan pengkhususan dari sila kerakyatan.
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 62

Pancasila sebagai pandangan hidup, Ideologi Nasional dan Dasar Negara pada
esensinya adalah perwujudan dari pelaksanaan hak dan kewajiban individu
sebagai anggota masyarakat untuk mengejawantahkan pola perilaku sebagaimana
tercermin dalam masing-masing kelima sila tersebut. Demikian pula sebagai
bangsa Indonesia dan warga negara. Pancasila dengan dimensinya pada
hakekatnya selaras dengan aliran dalam filsafat hukum, yaitu Sociological
Jurisprudence, sebagaimana keinginan dan tujuan dari tiga dimensi Pancasila yang
bertujuan menciptakan harmoni berupa keserasian pelaksanaan hak dan kewajiban
sehingga secra optimal kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat
dapat terpenuhi secara tidak memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan
terdapat 3 kepentingan hukum yang perlu mendapat perlindungan, yaitu:
a. Kepentingan Umum.
b. Kepentingan Masyarakat.
c. Kepentingan Individu.
Aliran Sociological Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara
positivisme hukum dan mazhab sejarah. Pada aliran Positivisme Hukum,
memandang tidak ada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa,
sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama
masyarakat. Kedua mazhab tersebut dapat dilihat pada kepentingannya, yaitu:
Positivisme mementingkan logika, sedang mazhab Sejarah mengutamakan
pengalaman. Namun Sociological Jurisprudence mementingkan keduanya. Oleh
karena itu dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, ideologi
negara, dan dasar negara, terdapat kesamaan dengan mazhab Sociological
Jurisprudence, karena adanya kesamaan tujuan yang ingin dicapainya. Seperti
yang dikatakan Roscoe Pound yang menganggap hukum sebagai alat untuk
rekayasa sosial/masyarakat, dan ini tercermin dalam kelima sila dari Pancasila,
yang di dalamnya terkandung cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat
adil dan makmur. Dengan demikian, pencerminan kedua aliran tersebut terdapat
kesesuaian dengan apa yang terkandung di dalam UUD 1945, baik pembukaan,
batang tubuh, maupun penjelasannya.
3. Latihan Soal
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 63

a. Mengapa Pancasila disebut sebagai dasar falsafah negara?


Jelaskan!
b. Mengapa ada keterkaitan antara Pancasila dengan mazhab
sejarah dan dialektika Hegel? Jelaskan!
c. Jelaskan pula tentang teori causalis untuk mendalami
Pancaila!
DAFTAR PUSTAKA
Hujibers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993 Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.

Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program


Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Winandi, Woro & Sri Hartini, Dialektika Hegel dan Sociological Jurisprudence
Dalam Filsafat Hukum dan Pancasila, Makalah disampaikan dalam diskusi
kelas, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,
Semarang, 1997
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 64
Doc./Pascasarjana/Fils. Hk./Univ. Widyagama Malang/Angelo/V/2017 65

Anda mungkin juga menyukai