Anda di halaman 1dari 13

SISTEM PERATURAN PERUNDANGAN PENATAAN RUANG

WILAYAH

Oleh:
Muhamad Idrus Jamalulael
A156190071

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah


Departemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya Lahan
Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor
2019
Pendahuluan
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hal tersebut merupakan ruanglingkup penataan
ruang sebagai objek Hukum Administrasi Negara. Jadi, hukumpenataan ruang menurut
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yaitu hukum yang berwujud struktur ruang (ialah
sususnan pusat-pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional) dan pola ruang (ialah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya).
Ruang dalam wilayah nasional adalah wadah bagi manusia untuk melakukan
kegiatannya. Hal ini tidaklah berarti bahwa ruang wilayah Nasional akan dibagi habis oleh
ruang-ruang yang diperuntukan bagi kegiatan manusia (fungsi budidaya) akan tetapi harus
mempertimbangkan pula adanya ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung dalam
kaitannya terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna serta satu
kesatuan ekologi. Pasal 1 butir 2 UUPR, menjelaskan yang dimaksud dengan tata ruang adalah
wujud struktural dan pola ruang. Struktur ruang dalam Pasal 1 butir 3 UUPR adalah susunan
pusat-pusat permukiman dan system jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional. Sedang pola ruang dalam Pasal 1 butir 4 adalah distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
fungsi budi daya. Pengertian penataan ruang dalam Pasal 1 butir 5 UUPR adalah suatu sistem
proses yang terdiri dari perencanan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Proses penataan ruang tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak
dapat terpisahkan satu sama lainnya. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) yuridiksi dan wilayah
kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk di dalam
bumi sebagai satu kesatuan. Hukum haruslah menjadi sarana pembangunan, artinya bahwa
hukum haruslah mendorong proses modernisasi, sejalan dengan fungsi tersebut maka
pembentuk Undang-Undang meletakkan berbagai dasar yuridis dalam melakukan berbagai
kegiatan pembangunan, sebagai salah satunya yaitu dalam pembuatan undang-undang
mengenai penataan ruang.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian normatif artinya melalui
pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
(Peter Mahmud Marzuki, 2010: 141).
Dilakukan melalui studi pustaka, yang diawali dengan membaca secara sistematis
terhadap bahan hukum yang tersedia.

Pembahasan
Perencanaan tata ruang wilayah menjadi salah satu problematika pada perkembangan
kota dewasa ini, perkembangan kota yang cukup cepat dengan pertumbuhan penduduk yang
cukup pesat, Perencanaan tata ruang menjadi hal yang penting maka setiap wilayah Provinsi,
Kota/Kabupaten harus mempunyai aturan yang menjadi pedoman dalam penataan ruang dan
menjadi acuan dalam pelaksaanaan pembangunan. Bias pemahaman demokrasi terjadi sebagai
ekses reformasi, yang oleh banyak pakar politik disebut sebagai “euforia”. Masyarakat
marginal yang selama ini kurang tersentuh pembangunan ekonomi, menjadi sensitif dan mudah
terprovokasi untuk meraih “hak” tanpa mengindahkan ketentuan hukum. Sebab hukum selama
ini dianggap “represif”. Akibatnya banyak ketentuan hukum termasuk di bidang penataan
ruang dan lingkungan hidup dengan sengaja dilanggar. Pemerintah Daerah tidak mampu
berbuat banyak apalagi untuk menegakkan hukum, selain karena mereka belum berpengalaman
juga sama sekali tidak mempunyai “wibawa hukum” oleh sebab mereka sendiri dianggap
masyarakat “tidak bersih”. (Hasil Kajian Bappenas tentang “Regional Disparity and Its
Causes”, 2004).

Mochtar Koesoemaatmadja mengonstatir bahwa tujuan pokok penerapan hukum


apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan
pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan ketertiban ini, merupakan syarat pokok
(fundamental) bagi adanya masyarakat teratur: di samping itu tujuan lainnya adalah tercapainya
keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat pada zamannya.Kebijakan
penataan ruang ditentukan oleh Pemerintah dengan maksud sebagai acuan dalam
penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia terhadap jangka waktu tertentu. Kebijakan
(dahulu biasa disebut “kebijaksanaan” nasional (GBHN) 1973-1978-Tap MPR No.
IV/MPR/1973; GBHN 1978- 1983. Tap MPR No. IV/MPR/1978; GBHN 1983-1988-Tap MPR
No. II/MPR/1983 hingga dan terakhir dengan GBHN 1999-2004, Tap. MPRNo.
IV/MPR/1999) mengenai penataan ruang atau perencanaan tata ruang (TR) diinergrasikan
kedalam kebijaksanaan nasional tentang sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA dan
LH). Ini dapat dimaklumi, oleh karena “ruang” sebagai wadah juga sekaligus juga merupakan
SDA.
Landasan dasar hukum tata ruang Indonesia mengenai konstitusional didasarkan pada
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang mengatakan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Selain Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, terdapat salah satu konsep dasar yang terkait yaitu
terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), sesuai dengan
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai dari negara terhadap konsep tata
ruang. Menurut ketentuan dalam Pasal 2 UUPA memuat wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan, dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan
bumi, air dan ruang angkasa
c. Mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Terdapat peraturan perundang-undangan selain UUD 1945, terdapat pula peraturan


perundang-undangan yang mengatur terkait dengan undang-undang tata ruang, diantaranya
ialah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang UULH, kemudian digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang UUPLH, kemudian diganti lagi dengan
Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH dan Undang-Undang Nomor 24 tentang
UUPRL, kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang UUPR,
UUPR menetapkan mengenai siapa yang berhak untuk mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota. RTRW Nasional ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah, sedangkan untuk RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. RTRW ini diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang
disingkat menjadi PPTR. Adapun implikasinya, sesuai dengan keberadaannya sebagai
instrumen dalam PPLH, maka peraturan perundang-undangan bidang tata ruang ini dengan
sendirinya juga berimplikasi dengan semua peraturan perundangundangan sektoral yang
kegiatannya berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Sehingga dapat diurutkan sebagai berikut :
1) Landasan idiilnya yaitu Pancasila
2) Landasan konstitusionalnya yaitu Pasal 33 UUD 1945
3) Landasan operasionalnya yaitu:
a. Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok -Pokok Agraria
b. Undnag-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Land Reform
c. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman
d. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
e. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun
1964
f. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988
g. Peraturan Menteri Dalam negeri No. 2 Tahun 1987
h. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah
i. Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 410-245 Tanggal 7 Desember 1991
tentang Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi Tanah.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang tertulis bahwa yang dimaksud dengan Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya
dari ketiga proses ini maka dapat ditetapkan bagaimana penyelenggaraan penataan ruang yang
juga terdapat dalam Pasal 1 ayat (6) tertulis bahwa Penyelenggaraan penataan ruang adalah
kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
Dari yang tertulis di dalam Undang-undang dapat diketahui bahwa penyelenggaraan tata ruang
memiliki beberapa tahap yang harus dijalankan.
Lemahnya penegakan hukum secara langsung berpengaruh terhadap kinerja
penyelenggaraan penataan ruang. Persepsi yang telah berkembang di masyarakat telah menjadi
pembenaran bahwa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penataan ruang pun bukan
merupakan sesuatu yang harus dihindari, apalagi ditakuti. Pemanfaatan lahan-lahan di
sepanjang sempadan sungai, trotoar jalan, taman, dan lahan-lahan yang seharusnya bebas
darikegiatanuntukperumahan, perdagangan, dan sebagainya merupakan pemandangan yang
biasa di kawasan-kawasan perkotaan. Di kawasan perdesaan, hal serupa juga terjadi, bahkan
dengan intensitas yang lebih tinggi. Tidak sedikit kawasan yang telah ditetapkan sebagai hutan
lindung dirambah untuk kegiatan budidaya. Kawasan- kawasan yang seharusnya berfungsi
lindung pun berubah menjadi lokasi pembangunan rumah peristirahatan (villa), budidaya
hotikultura, dan kegiatan lainnya yang secara signifikan menurunkan fungsi lindung kawasan.
Semua itu terjadi tanpa adanya upaya penegakan hukum yang tegas dari aparat pemerintah.
(Departemen Pekerjaan Umum; Naskah Akademik RUU Penatan Ruang: 2015:6).
Dengan memperhatikan hal diatas, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam Pasal 1 Angka 1 menyebu tkan bahwa ruang adalah
wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan,
dan memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam tata ruang pokok intinya adalah pengertian
tentang ruang. Menurut D.A. Tisnaadmidjaja yang dimaksud dengan ruang adalah wujud fisik
wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam
melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas kehidupan yang layak (Asep
Warlan Yusuf, 1997:6).
Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional,
regional dan lokal. Jadi, pengertian dari ruang adalah wujud dimensi geografis dan geometris
yang dapat dikatakan sebagai wadah yang meliputi dari segala ruang dimana tempat manusia
dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta melaksanakan dan memelihara
kelangsungan hidupnya.
Penataan Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Stuktur ruang adalah susunan
pusat- pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang). Sedangkan pola ruang menurut Pasal 1 Angka 4 Undang- Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
Maka, tata ruang merupakan susunan permukiman dan jaringan sarana dan prasarana yang
mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat sebagaimana diatur berdasarkan peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Kemudian Penataan
ruang menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam proses penataan ruang diperlukan perencanaan terkait
tata ruang baik untuk pemanfaatan ruangnya serta pengendalian ruang.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, sebagai dasar
pengaturan penataan ruang selama ini, pada dasarnya telah memberikan andil yang cukup besar
dalam mewujudkan tertib tata ruang sehingga hampir semua pemerintah daerah telah memiliki
rencana tata ruang wilayah. Sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, beberapa pertimbangan yang telah diuraikan sebelumnya, dan dirasakan adanya
penurunan kualitas ruang pada sebagian besar wilayah menuntut perubahan pengaturandalam
Undang-Undang tersebut.
Dengan adanya perencanaan tata ruang tersebut dapat menyerasikan berbagai kegiatan
sektor pembangunan, maka pemanfaatan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal,
efisien, dan serasi. Sedangkan tujuan diadakan adanya suatu perencanaan tata ruang adalah
untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta berhubungan fungsionalnya yang serasi dan
seimbang terkait pemanfaatan sumber daya manusia, sehingga terciptanya hasil pembangunan
yang optimal dan efisien bagi peningkatan kualitas manusia dan kualitas lingkungan hidup
secara berkelanjutan. Dalam klasifikasi perencanaan tata ruang dikenal adanya perencanaan
tata ruang kota, dan secara awam perencanaan tata ruang kota selalu diidentifikasikan ke dalam
perencanaan fisik semata, yakni gambaran dari perencanaan kota, taman bangunan perumahan,
bangunan perkantoran, dan lain-lainya. Akan tetapi dengan pesatnya perkembangan zaman
perencanaan fisik sudah tidak berlaku lagi, karena dalam proses pembentukan perencanaan
kota tidak hanya diperlukan suatu perencanaan fisik semata. Tetapi juga akan dihadapkan pada
berbagai permasalahan sosial, lingkungan, ekonomi, hukum, politik dan permasalahan-
permasalahan lainnya. Salah satu contoh adalah seorang perencana yang akan melakukan
kegiatan pembangunan hotel, maka orang tersebut tidak hanya melakukan perencanaan desain
fisik semata, akan tetapi ia harus melakukan pengoptimalisasian dari akibat yang akan
ditimbulkan terhadap lingkungan, baik itu lingkungan hidup maupun lingkungan sosial
masyarakat di sekitar.
Produk rencana tata ruang di Indonesia berdasarkan tiga aturan utama tentang tata
ruang, berikut penjabaran tentang aturan tata ruang berikut produk yang dimuat dalam produk
– produk berdasarkan Undang – undang.
Gambar 1. heirarki produk perencanaan tata ruang berdasarkan UU no 26 thn 2007

Permendagri No. 8 Tahun 1998 tentang penyelenggaran penataan ruang di daerah


merupakan penjabaran dari undang – undang no 24 tahun 1992. Produk perencanaan
berdasarkan peraturan ini masih merupakan produk rencana umum, karena wilayah yang
direncanakan mempunyai batas yang jelas dan habis terbagi sampai pada rencana teknik ruang.
Berikut gambaran produk rencana umum seperti yang disebutkan Permendgri no 8 tahun 1998
tentang penyelenggaraan penataan ruang di daerah :
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Dati I
RTRW – Kota / Kabupaten Dati II
RDTRK kawasan dati II
RTRK (rencana teknik ruang kawasan)
Gambar 2. hierarki produk berdasarkan permendagri no 8 tahun 1998

Produk Perencanaan Tata Ruang Berdasarkan Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002


tentang Pedoman penyusunan Rencana tata Ruang Kawasan Perkotaan
Kepmen Kimpraswil no 327/KPTS/M/2002 tentang penyusunan kawasan Perkotaan
merupakan salah satu dari enam lampiran yang disusun dan dikeluaran oleh departemen
Kimpraswil. Produk produk yang dimuat oleh aturan ini mencakup :
Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan (RSTRKPM)
Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RUTRKP)
Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTRKP)
Rencana Teknik Ruang Kawasan Perkotaan (RTRKP)
Gambar 3. produk hirarki berdasarkan kimpraswil 2002

Dari beberapa studi literatur permasalahan dari adanya perkembangan regulasi tata ruang
di Indonesia yang terjadi antara lain :
a. Permasalahan Prosedur antara lain, Apakah Peraturan Menteri mempunyai kekuatan
hukum mengikat publik? Karena hukum tata ruang operasionalnya adalah setingkat
menteri.
b. Permasalahan substansi antara lain, substansi peraturan daerah yang satu rawan
menimbulkan friksi dengan daerah lain.
c. Kerancuan, salah satunya Permendagri mengkategorikan produk rencana tata rung terdiri
dari : RTRW Prop. Dati I; RTRW Kab/Kota Dati II; RDTR Kota; dan RTR sedangkan
KepMen. PU mengkategorikan atas : RSTRKPM, RUTRKPM, RDTRKP, dan RTRKP.
Adapun Undang – undang tata ruang yang sekarang terlihat lebih banyak dibagi dalam
rencana rinci.
d. Peraturan yang lama dan masih dipakai belum mengakomodasi perkembangan mutakhir,
sehingga dilapangan muncul berbagai penafsiran yang didasarkan pada kepentingan
daerah masing – masing.
Berikut kajian perbandingan dari hierarki rencana tata ruang, hal ini diharapkan dapat
menjawab salah satu permasalahan yaitu kerancuan akan hukum – hukum tata ruang, agar tidak
terjadi penafsiran yang tidak benar terhadap hierarki dan muatan dari hukum tata ruang itu
sendiri.

Gambar 4. Klasifikasi Produk Perencanaan Tata Ruang berdasarkan Administrasi

Berikut juga dapat dilihat perbandingan hierarki produk perencanaan berdasarkan rencana rinci
dan umum:

Gambar 5. perbandingan hierarki produk perencanaan berdasarkan rencana rinci dan umum

dapa terlihat jelas pada beberapa diagram di atas, produk perencanaan di indonesia mempunyai
hubungan antara satu dengan yang lainnya. hubungan tersebut diharapkan dapat menjadi satu
pertimbangan dalam membuat produk perencanaan selanjutnya.
Kesimpulan

Hukum yang mengikat tata ruang antara lain terdapat Undang – undang no 26 tahun
2007, Peraturan Menteri dalam negeri no 8 tahun 1998 serta Keputusan Menteri Kimpraswil
tahun 2002.

Produk produk perencanaan berdasarkan ketiga hukum tersebut masing – masing


mempunyai perbedaan berdasarkan hirarki maupun substansi. Untuk Undang – undang no 26
tahun 2007 sudah terbagi atas rencana umum dan rencana rinci yang merupakan
penjabarannya. Undang undang ini juga sudah dilengkapi dengan peraturan Zonasi. Akan tetapi
belum dijelaskan secara terperinci untuk kedalaman skala pada pemetaannya, sehingga undang
– undang tersebut masih perlu adanya penjabaran lagi.

Peraturan Permendagri no 8 tahun 1998 yang merupakan penjabaran dari undang –


undang no 24 tahun 1992, sudah menjelaskan tantang hirarki produk perencanaan mulai dari
tingkat propinsi sampai rencana teknik ruang kawasan. Akan tetapi produk rencana seperti
yang dijelaskan pada peraturan ini masih merupakan produk rencana yang bersifat umum,
karena wilayah yang direncanakan mempunyai batas yang saling melengkapi (mempunyai
pembagian kawasan yang saling melengkapi) sampai pada rencana teknik ruang. Serta aturan
mengenai jangka waktu berlakunya rencana dan kedalaman skala peta tidak di jelaskan.
Sehingga peraturan ini di nilai memang sudah tidak layak dipakai.
Daftar Pustaka

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Parsa, I Wayan, BPHN : Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Penegakan Hukum
Penataan Ruang dalam kerangka otonomi Daerah, Jakarta. 2014.

Darmawati, Choirul Saleh, Imam Hanafi: Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruang

Wilayah (Rtrw) Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan: JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, ISSN. 2442-6962 Vol. 4, No. 2

Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun


1997, Malta Printindo, Cet.2, Jakarta. 2007.

Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks UUPA- UUPR-
UUPLH, Rajawali Pers, Jakarta. 2010.

Hasil Kajian Bappenas tentang “Regional Disparity and Its Causes”, 2004

Dyah Fitriana, Elvie; Bambang Supriyono, Farida Nurani,; Implementasi kebijakan tata ruang
wilayah Dalam mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan (Studi di Kabupaten
Magetan); Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol.2, No. 2, Hal. 217-223).

Departemen Pekerjaan Umum, Naskah Akademik RUU Penatan Ruang, Jakarta. 2015.

Muhammad Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep *Hukum dalam Pembangunan, Alumni


Bandung, 2002 hal 104.

Anda mungkin juga menyukai