PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) telah mengamanatkan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat tersebut
kemudian dijabarkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). Dalam perjalanannya, UUPA yang nasionalis,
populis, dan mendasarkan pada hukum adat Indonesia tidaklah seperti
tujuan pembentukannya. Berbagai penyimpangan UUPA mendorong
munculnya Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang Reformasi Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang merupakan landasan
peraturan perundang-undangan di bidang pembaharuan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam.
Dewasa ini berbagai konflik agraria, khususnya pertanahan semakin
marak terjadi di berbagai daerah, baik konflik antara rakyat dengan
pemerintah, rakyat dengan perusahaan, maupun antarindividu dalam
masyarakat itu sendiri. Dari sudut hukum, muncul berbagai pertanyaan,
antara lain: di mana letak kesalahannya, apakah peraturan hukumnya
tidak memadai, ataukah penegakan hukumnya yang tidak konsisten.
Setelah 50 tahun keberadaan UUPA, berbagai kalangan memandang nilainilai luhur UUPA belum mampu diimplementasikan dalam kebijakan
pertanahan. Pada sisi lain, sebagian peraturan perundang-undangan
yang diamanatkan pembentukannya oleh UUPA belum juga terwujud,
sementara pembentukan berbagai undang-undang sektoral yang
berkaitan dengan bidang agraria khususnya tanah, dinilai banyak
kalangan telah melemahkan UUPA karena substansinya yang tumpang
tindih atau bahkan kontradiktif dengan nilai-nilai yang diatur dalam
UUPA. Hal tersebut mendorong wacana perlunya merevisi UUPA, meski
wacana tersebut menimbulkan pro dan kontra.
Pihak yang menolak revisi UUPA memiliki argumentasi untuk
mempertahankan
keberadaan
undang-undang
yang
dianggap
monumental sejak Indonesia merdeka. Substansi UUPA dengan konsepsi
dan politik hukum yang memihak rakyat dan kepentingan nasional masih
cukup relevan. Kekurangan terhadap kebijakan pertanahan sekarang ini,
lebih dikarenakan politik hukum agraria yang diambil oleh Pemerintah,
baik dalam pembentukkan undang-undang yang berkaitan dengan sektor
agraria maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait.
Sedangkan pihak yang sependapat dengan perubahan UUPA,
berpendapat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), banyak persoalan hukum agraria khususnya
pertanahan yang belum diatur dalam UUPA. Disamping itu, sejak
1
B.
a.
b.
c.
d.
e.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, Naskah Akademik
ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang menjadi urgensi
perlunya pembentukan RUU tentang Pertanahan dan bagaimana RUU
tersebut mengatur masalah pertanahan. Permasalahan tersebut
dijabarkan ke dalam beberapa identifikasi masalah, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
C.
D.
Metode
Naskah Akademik ini disusun dengan menggunakan metode sebagai
berikut:
1.
Studi pustaka
Metode studi pustaka digunakan sebagai cara untuk melakukan
pengayaan bahan-bahan dalam penyusunan Naskah Akademik.
Metode ini dilakukan dengan mempelajari dokumen, laporan,
peraturan perundang-undangan, dan literatur lainnya yang relevan
dengan permasalahan yang akan dikupas. Metode ini sangat berguna
terutama untuk hal yang berkaitan dengan pengembangan dan
pengaplikasian teori dan data penunjang guna menjawab
permasalahan yang ada. Selain itu, metode studi pustaka juga
sebagai bahan observasi awal terhadap permasalahan yang ada di
bidang pertanahan. Hasil studi pustaka ini kemudian dirumuskan
dalam draft awal RUU.
2.
Konsultasi publik
Setelah draft awal RUU tersusun, selanjutnya dilakukan
konsultasi publik dengan pakar-pakar pertanahan, akademisi dan
instansi yang terkait dengan bidang pertanahan. Konsultasi publik
dilakukan untuk menggali masukan langsung dari berbagai
stakeholder sehingga terjadi pengayaan terhadap bahan awal yang
sebelumnya hanya mendasarkan pada studi pustaka.
3
3.
Perumusan
Berdasarkan bahan dasar yang menggunakan metode studi
pustaka, ditambah pendapat dan masukan dari berbagai
stakeholders, kemudian dilakukan perumusan dengan melibatkan
seluruh tim penyusun, pakar, dan pihak-pihak terkait lainnya.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.
Kerangka Teori
1.
Pengertian Tanah
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php.
Kelembagaan
9
10
Iman Sudiyat, Hukum Adat skesta asas, Yogyakarta: Liberty ,Cetakan ke-7, 2012, hal.
54.
12
Djuhaendah Hasan, Lembaga Ajminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lainnya yang Melekat pada Tanah
dalam Konsep Penerapan Asas pemisahan horizontal, Bandung: Aditya Bakti, 1996, hal. 75-76.
11
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
B.
C.
D.
a.
kementerian
yang
membidangi
b.
menetapkan
kebijakan
mengenai
penanganan
urusan
pertanahan yang akan diatur dengan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau membawahi/menyatukan
urusan
pertanahan dalam kementerian lain.
14
16
Dalam perjalanannya, UU ini telah dua kali diuji materi oleh MK,
yaitu:
1. Perkara Nomor 13/PUU-II/2005. Pemohon dalam perkara ini adalah
DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP Pelra). Pemohon
menyatakan mengalami kerugian hak konstitusional dengan
diberlakukannya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
khususnya pada:
a. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h, khususnya anak kalimat
maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai suratsurat yang sah sebagai bukti.
b. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) hurf j, khususnya kata kapal;
c. Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya, khususnya penjelasan kata
termasuk alat angkutnya dan kata kapal.
MK memutuskan bahwa kerugian yang dialami Pemohon sejak
lahirnya UU Kehutanan secara umum bukan disebabkan oleh
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h dan huruf j dan
Penjelasannya serta Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya dari UU
Kehutanan yang bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa berdasarkan
uraian Pemohon dan keterangan yang diperoleh dalam persidangan,
kerugian tersebut terjadi karena pelaksanaan penegakan hukum di
lapangan yang dilakukan oleh para aparatur pengeak hukum (Polisi
Kehutanan, POLRI, TNI-AL). Seandainya pun benar bahwa dalam
pelaksanaan penegakan hukum di lapangan terdapat ekses yang
merugikan atau dapat diduga merugikan hak-hak pemohon, namun
hal itu tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas UU yang
dimohonkan pengujian. Dengan demikian MK berpendapat bahwa
adanya kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak
terbukti. Pada putusannya MK berpendapat tidak terdapat kerugian
hak konstitusionalitas Pemohon oleh pemberlakuan UU Kehutanan
sehingga gugatan pemohon tidak dapat diterima.
2. Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011. Para pemohon dalam perkara ini
adalah Bupati Kapuas, Bupati Gunung Mas, Bupati Katingan, Bupati
Barito Timur, Bupati Sukamara yang berada diprovinsi Kalimantan
Tengah, dan seorang wiraswasta. Pemohon menyatakan mengalami
kerugian hak konstitusional dengan diberlakukannya UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pada Pasal 1 angka 3 UU
Kehutanan menentukan bahwa Kawasan hutan adalah wilayah
tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.; bertentangan
dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dilindungi
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan Pemohon
dan penduduk Kabupaten Kapuas berpotensi dipidana dengan
Undang-Undang Kehutanan karena seluruh wilayahnya ditunjuk
sebagai kawasan hutan.
Karena di dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan terdapat frasa
ditunjuk dan atau, maka Pihak Pemerintah (dalam hal ini Kementerian
17
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
20
b.
c.
d.
Uang;
b.
tanah pengganti;
c.
permukiman kembali;
d.
e.
pilihan atas bentuk dan bentuk dan jenis ganti kerugian berdasarkan
atas kesadaran pilihan masyarakat dan pilihan tersebut diterima oleh
pemerintah sebagai bagian dari prinsip dasar pemerintah dalam
melindungi rakyatnya di tempat pembangunan untuk kepentingan umum
akan dilaksanakan.
F.
b.
c.
asing atau multinasional tidak dapat diberikan HP3. Jangka waktu HP3
akan diberikan dengan mempertimbangkan karakteristik usaha
danwaktu yang kondusif bagi tumbuhnya investasi. Jangka waktu
pertama akan diberikan selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
diperpanjang lagi masing-masing 20 (dua puluh) tahun sampai waktu
yang tak terbatas sepanjang masih dimanfaatkan secara efektif. Selain
itu, HP3 akan diberikan dalam bentuk sertifikat yang dapat beralih,
dialihkan dan dapat dijadikan jaminan utang. HP3 akan berakhir karena
jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi, ditelantarkan atau
dicabut untuk kepentingan umum.
Penerbitan HP3 bertujuan untuk mendorong orang, kelompok
masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan
pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai. Pengaplingan pesisir
untuk menopang HP3 dilakukan bersama-sama oleh pemerintah daerah,
masyarakat pesisir, dan pengusaha. Pemberian HP3 memberikan
kepastian hukum untuk berinvestasi sekaligus perlindungan kawasan.
HP3 akan mendorong percepatan investasi di wilayah pesisir dan
menguntungkan semua pihak. Pelaku usaha memiliki kepastian hukum
dalammengembangkan usaha dan nelayan terlindungi dalam menangkap
ikan di perairan.
Terdapat kelemahan dalam UU ini mengenai penerbitan HP3, yaitu
hak pengelolaan pesisir itu belum mampu melindungi nelayan dan
masyarakat pesisir terhadap kepentingan pemilik modal. Selain itu, HP3
tersebut akan mengapling laut untuk kegiatan usaha dikhawatirkan kian
menggerus hak-hak masyarakat adat yang sekian lama termajinalkan.
Setidaknya, ada tiga hal mendasar yang perlu dipertimbangkan ulang
dalam pemberian hak tersebut. Pertama, aspek pemenuhan hak atas
perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana.
Sudah menjadi pengetahuan setiap orang, bahwa wilayah Indonesia
terletak di sepanjang jajaran gunung api (yang dikenal dengan ring of fire),
serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah
menyebabkan Indonesia rawan bencana. Semua itu memberikan isyarat
betaparentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia
terhadap bencana. Kedua, menakar untuk siapa sebenarnya sertifikat
HP3 diberikan. Dengan komposisi kemiskinanan yang masih
mendominasi, serta taraf pendidikan yang juga masih sangatrendah,
menjadi tidak relevan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya
tradisional masuk ke dalam skema sertifikasi seperti yang diharapkan
UU. Budaya birokrasi yangrumit, dan cenderung mahal mengisyaratkan
penguasaan kegiatan usaha oleh pemilik modal besar justru akan
mendominasi, sejalan dengan kemudahan yang diberikan negara,dan
kemampuan pemodal memenuhi kebutuhan sertifikasi tersebut. Ketiga,
untuk mempertimbangkan kaitan intensitas konflik perikanan berkenaan
dengan hak kepemilikan. Hak kepemilikan mencakup pertanyaan filosofis
yang telah berlangsung sejak lama mengenaiaspek legal, sejarah
dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol perikanan. Konflik inisendiri
cenderung, di antaranya, disebabkan perbedaan kepentingan terhadap
beberapa bentuk kepemilikan perikanan, di antaranya: open-access,
27
H.
ketertiban
umum
dan
ketenteraman
j.
penanaman
modal
termasuk
lintas
yang
diamanatkan
oleh
peraturan
ketertiban
umum
dan
ketenteraman
penyelenggaraan pendidikan;
j.
k. pelayanan pertanahan;
l.
yang
diamanatkan
oleh
peraturan
satunya bersumber dari dana bagi hasil yang berasal dari pajak yang
diperoleh dari Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta
kehutanan. Ketentuan ini termuat dalam Pasal 160 ayat (2), Dana Bagi
Hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari:
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan, perkotaan,
perkebunan, pertambangan serta kehutanan;
b. Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sektor
perdesaan,
perkotaan,
perkebunan,
pertambangan
serta
kehutanan;
I.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
b.
c.
d.
e.
perkembangan serta
teknologi.
b.
pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan
asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
perangkat tingkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan
menghormati hak penduduk sebagai warga negara.
34
b.
b.
c.
35
d.
e.
Pemberdayaan
usaha
perkebunan
dilaksanakan
oleh
Pemerintah, propinsi, dan kabupaten/kota bersama palaku
usaha perkebunan serta lembaga terkait lainnya.
(2)
37
tanah negara.
43
penguasaan,
penggunaan,
dan
Jika didalam tiap-tiap prioritet tersebut dalam ayat (1) Pasal ini
terdapat:
a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari
dua derajat denganbekas pemilik, dengan ketentuan sebanyakbanyaknya 5 orang;
b. Petani yang terdaftar sebagi veteran;
c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur;
d. Petani yang menjadi korban kekacauan, maka kepada mereka itu
diberikan pengutamaan diatas petani-petani lain, yang ada
didalam golongan prioritet yang sama.
49
50
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Secara konstitusional negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan
tujuan negara sebagaimana digariskan dalam UUD 1945, yaitu untuk
memajukan kesejahteraan umum. Salah satu sumber daya utama dalam
mewujudkan kesejahteraan umum adalah melalui pengelolaan dan
pendayagunaan tanah. Mengingat tanah dalam wilayah NKRI merupakan
salah satu sumber daya alam utama yang selain memiliki nilai batiniah yang
mendalam bagi rakyat Indonesia, juga memiliki fungsi yang sangat strategis
dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang semakin meningkat dan
beragam, baik di tingkat nasional maupun dalam hubungannya dengan dunia
internasional,14 oleh karenanya tanah harus dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini berarti,
pengelolaan dan pemanfaatan tanah sebagai bagian dari sumber daya alam
Indonesia harus dilakukan secara bijaksana demi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan
harus dilakukan melalui pengaturan hubungan-hubungan hukum
yang
berakar dari nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia.
Dalam perkembangannya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
tanha telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan
struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan serta
menimbulkan konflik. Oleh karenanya, MPR melalui Ketetapan MPR RI No.
IX/MPR RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam mengamanatkan dilakukannya pembaruan agraria yang mencakup
proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya
agraria, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia. Salah satu kebijakan yang perlu ditempuh dalam pembaruan
agraria adalah melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka
sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundangundangan.
B. Landasan Sosiologis
1. Arti dan Fungsi Tanah
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Universitas
Trisaksti, 2007, hal. 3.
14
51
53
54
4. Sengketa Pertanahan17
Di Indonesia saat ini, konflik agraria khususnya pertanahan adalah
satu persoalan yang sangat serius. Ironisnya, konflik agraria ini tidak
pernah diperhatikan dan diurus oleh badan-badan negara Republik
Indonesia secara serius. Sehingga di satu pihak, masih terus-menerus
hidup faktor-faktor yang menyebabkan seringnya, dalamnya dan luasnya
konflik-konflik agraria dan di pihak lain tidak ada upaya secara sistematik
untuk menyelesaikan konflik-konflik itu, terutama dalam rangka
pemenuhan rasa keadilan dan hak asasi para korban.
Resource center KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) melakukan
perekaman atas 1.753 kasus konflik agraria yang sifatnya struktural,
yaitu18 kasus-kasus konflik yang terjadi (melibatkan) penduduk setempat
Disarikan dari NA.
KPA mengembangkan suatu sistem inventarisasi data mengenai kasus-kasus sengketa
agraria yang terjadi di Indonesia lewat program Data Base Sengketa Agraria KPA yang
sistemnya dikembangkan sebagai bagian kerjasama KPA dengan dari proyek penelitian Land
Tenure and Law in Indonesia: Implications for Livelihood, Community and Environment yang
dilakukan oleh Dr. Carol Warren (Murdoch University, Perth) dan Dr. Anton Lucas (Flinders
University, Adelaide). Data-data untuk kasus sengketa yang diinvetarisir bersumber dari:
kliping sejumlah media massa nasional, khususnya, yang terbit sejak tahun 1972 dan
beberapa media massa lokal (berdasarkan ketersediaannya di Sekretariat BP-KPA),
laporanlaporan investigasi yang dilakukan sejumlah anggota KPA, kronologi-kronologi sengketa
yang dikirim oleh masyarakat atau anggota KPA ke Sekretariat BP-KPA, serta laporan-laporan
dan hasil studi terhadap sengketa agraria yang telah diterbitkan dalam bentuk
buku,monograf, dan sebagainya yang bisa didapatkan di Resource Center KPA. Adapun satuan
analisis dari data base ini adalah Kasus, yakni adanya sejumlah orang yang merupakan
penduduk setempat yang sedang atau telah terlibat dalam suatu persengketaan dengan satu
pihak atau beberapa pihak tertentu atas sebidang atau beberapa bidang tanah tertentu
karena kedua belah pihak sama-sama mengaku memiliki hak atas bidang tanah tersebut.
Sebagai satu kasus, maka sejumlah orang yang merupakan penduduk setempat tersebut akan
dianggap sebagai satu kesatuan (kolektif tertentu), dan pihak-pihak yang menjadi kasus-kasus
konflik yang terjadi (melibatkan) penduduk setempat di satu pihak yang berhadapan dengan
kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan
masyarakat ke dalam 3 sektor, seperti yang dikemukakan oleh Alexis Tocqueville (1805-1859),
maka konflik agraria yang struktural sifatnya dapat dinyatakan sebagai konflik antara
kelompok-kelompok masyarakat sipil di satu pihak yang berhadapan dengan dua kekuatan
lainnya yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara.
Karena itu, satu faktor yang penting memainkan peran di dalam munculnya kasus-kasus
tersebut adalah adanya kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah untuk
berbagai tujuan termasuk tujuan-tujuan yang dinyatakan sebagai kepentingan umum
maupun untuk tujuan pembangunan yang mengabaikan kenyataan adanya penguasaan
tanah oleh penduduk setempat lawannya juga sebagai satu kesatuan. Misalnya, kasus Badega
adalah kasus persengketaan tanah yang terjadi antara sekelompok orang di satu daerah di
Kabupaten Garut yang bersengketa dengan satu perusahaan perkebunan akan
diperhitungkan sebagai satu kasus meskipun dalam kasus ini terlibat sejumlah penduduk di 3
desa dari dua kecamatan yang berbeda. Kasus Badega dianggap sabagai satu kasus, karena
penduduk setempat yang berkonflik tadi menganggap dirinya sebagai satu kesatuan (kolektif).
Tetapi ada juga sejumlah kasus yang terjadi di dalam satu wilayah operasi satu perusahaan
tertentu, seperti yang terjadi pada PT MHP di Sumatera Selatan yang operasinya telah
menimbulkan 44 kasus sengketa agraria. Indikator untuk menyatakan satu kasus tertentu
didasarkan pada anggapan kolektif masyarakat sendiri yang sedang bersengketa yang merasa
mereka sebagai satu kesatuan, atau berdasarkan anggapan pihak lawan dari masyarakat yang
memiliki catatan atas-atas kasus-kasus sengketa yang terjadi di wilayah kerjanya. Dari datadata yang ada ternyata dari kedua sisi pandang ini tidak ada perbedaan di antara kedua pihak
17
18
55
C. Landasan Yuridis
Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia, oleh karena itu
diperlukan pengaturan tentang tanah dalam peraturan perundangundangan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan tersebut. Hak asasi
mengenai tanah telah diakui dan dilindungi oleh negara dalam konstitusi.
Kebijakan pertanahan di Indonesia bersumber pada Konstitusi Negara,
yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
mengamanatkan kepada negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dan mempergunakannya untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Amanat Konstitusi tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan
negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencapai keadilan
sosial.19
Amanat Konstitusi tersebut ditindaklanjuti dengan diundangkannya UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
UUPA merupakan UU yang bersifat populis yang ketentuan dalam pasaluntuk menyatakan kasus sengketa tertentu sebagai satu kasus.
Alinea Ke-IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
19
56
2011
tentang
Perumahan
dan
Kawasan
57
MK
Sarankan
Presiden
Sinkronkan
Regulasi
Agraria,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4f543a4ed7182/mk-sarankan-presidensinkronkan-regulasi-agraria, diakses tanggal 7 Juni 2012.
22
58
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG
A.
Ketentuan Umum
Ketentuan umum memuat definisi dari peristilahan yang digunakan
di dalam RUU tentang Pertanahan sehingga menghindari adanya
perbedaan penafsiran, yaitu:
1. Pertanahan
2. Tanah
3. Tanah Negara
4. Tanah Hak
5. Bidang Tanah
6. Hukum Tanah
7. Hukum Tanah Nasional
8. Hukum Adat
9. Masyarakat Hukum Adat
10. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
11. Tanah Ulayat
12. Hak-Hak Atas Tanah
13. Hak Pengelolaan
14. Hak Tanggungan
15. Tanah Wakaf
16. Satuan rumah susun yang selanjutnya disebut Sarusun
17. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
18. Bagian Bersama
19. Benda Bersama
20. Tanah Bersama
21. Ruang Wilayah Negara Republik Indonesia
22. Penataan Ruang
23. Perencanaan Tata Ruang
24. Pendaftaran Tanah
25. Data Fisik
26. Data Yuridis
27. Surat Ukur
28. Buku Tanah
29. Sertipikat Hak Atas Tanah
30. Sertipikat Hak Tanggungan
31. Sertipikat Tanah Wakaf
32. Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
33. Seripikat Hak Pengelolaan
34. Pendaftaran Untuk Pertama Kali
35. Pendaftaran Tanah Secara Sistematik
36. Pemeliharaan Data
37. Sistem Pendaftaran
38. Sistem Publikasi
59
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
B.
Desentralisasi
Tugas Pembantuan
Dekonsentrasi
Pemerintah
Menteri
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat PPAT
Pemerintah Daerah
b.
23
24
60
c.
d.
e.
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UndangUndang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam
pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu, pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh
rakyat.
(2)
(3)
(4)
61
62
Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal.
28
70.
Imam Sutiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994,
hal. 55.
29
63
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group,
2008, hal. 55.
30
64
dapat
memiliki
lima
tujuan
yang
Pidato Menteri Agraria, Mr. Sadjarwo pada tanggal 12 September 1960 di depan DPRGR,
menyatakan lima tujuan landreform di Indonesia, dalam makalah Reformasi Agraria Indonesia
(Potret Pasang Surut Sejarah kebangsaan Indonesia), oleh Tri Chandra Aprianto
preencechinty (Min, 02/22/2009-08:39).
66
Ibid.
Donald L. Donham, History, Power, Ideology: Central Issues in Marxism and Anthropology,
(Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1999), hal. 140.
34
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008,
hal. 1 dan 10.
35
Sunarjati Hartono, Op., Cit., hal. 30.
32
33
67
Ibid.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UU Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaanya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, Edisi revisi, 2003, hal.
267.
36
37
68
38
69
Indonesia
dan
unsur-unsur
Pada waktu terbentuknya UUPA, lazim dipergunakan katakata Renovasi, Sosialisme Indonesia dan Masyarakat
Sosialis Indonesia. Sebagai suatu undang-undang yang
merupakan produk dari zamannya, di dalam UUPA terdapat
juga kata-kata tersebut. Dalam perkembangannya sebutan
Sosialisme Indonesia mengalami perubahan mengenai
pengertian dan isinya. Maka dalam memahami UUPA, apa
yang disebut Sosialisme Indonesia dalam konsiderans dan
berbagai pasalnya, harus diartikan menurut pengertiannya
pada tahun 1959 dan 1960, yaitu tahun disusunnya kembali
Rancangan UUPA menjadi Rancangan Sadjarwo dan mulai
berlakunya UUPA sendiri.
Dalam konsiderans Ketetapan Majelis Permuasyawaratan
Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, terdapat penjelasan
otentik mengenai pengertian Sosialisme Indonesia.
Dinyatakan bahwa Masyarakat Sosialis Indonesia adalah
sama dengan masyarakat-adil-dan-makmur-berdasarkan
Pancasila.39 Dalam buku ringkasan tersebut dimuat
penjelasan mengenai pengertian Sosialisme Indonesia,
antara lain sebagai berikut Sosialisme Indonesia adalah
suatu ajaran dan gerakan tentang tata masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. Tata masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila adalah tuntutan Amanat
Penderitaan
Rakyat
Indonesia.
Masyarakat-adil-danmakmur berdasarkan Pancasila sebagai perwujudan
Sosialisme Indonesia bersendi pokok pada Keadilan,
Kerakyatan dan Kesejahteraan. Tujuan dari Pembangunan
Nasional Semesta Berencana adalah Sosialisme Indonesia,
Ringkasan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
No. I dan II/MPRS/1960 terbitan Departemen Penerangan tahun 1962, hal. 51.
39
71
tidak diadakan hanya untuk menjamin kepentingan orangorang asing atau modal asing, seperti Agrarische Wet dahulu.
h) Harus memenuhi
zaman
keperluan
menurut
permintaan
74
tinggi
daripada
hak
milik
75
c.
76
dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu. Hakhak penguasaan atas tanah dapat juga merupakan
hubungan hukum konkrit. (subjek tief recht), jika sudah
dihubungkan dengan tanah tertentu dan subyek tertentu
sebagai pemegang haknya.
b) Tanah
Tanah
adalah
permukaan
bumi,
yang
dalam
penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang
ada di bawahnya dan sebagian dari ruang yang ada di
atasnya, dengan pembatasan dalam Pasal 4, yaitu:
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan
dengan
penggunaan
tanah
yang
bersangkutan, dalam batas-batas, menurut UUPA dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedalam
berapa tubuh bumi dan setinggi berapa ruang yang
bersangkutan boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan
penggunaannya,
dalam
batas-batas
kewajaran,
perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri,
kemampuan
pemegang
haknya
serta
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Pengertian tanah meliputi juga permukaan bumi yang
berada di bawah air, termasuk air laut.
c) Bangunan dan Tanaman
Mengenai pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di
atas tanah yang dihaki, bahwa Hukum Indonesia
menggunakan asas Hukum Adat, yaitu asas pemisahan
horizontal. Menurut asas ini, bangunan dan tanaman
bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan.
Maka hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi
pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
Perbuatan hukum mengenai tanah, tidak dengan
sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di
atasnya. Tetapi biar pun demikian, dalam praktik
dimungkinkan suatu perbuatan hukum mengenai tanah
meliputi juga bangunan dan tanaman yang ada di
atasnya, asal:
a. bangunan dan tanaman tersebut secara fisik
merupakan satu kesatuan dengan tanah yang
bersangkutan, artinya bangunan yang berfondasi dan
tanaman merupakan tanaman keras;
b. bangunan dan tanaman tersebut milik yang empunya
tanah; dan
c. maksud demikian secara tegas disebutkan dalam
akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan
hukum yang bersangkutan.44
Dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
(UU Hak Tanggungan) kemungkinan dibebankan Hak
Demikian dinyatakan juga dalam Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum
Nasional, Yogyakarta, 1975.
44
77
45
78
83
84
85
Penatagunaan Tanah
Konstitusi menyebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya
negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum.
Berdasarkan tujuan pembentukan negara tersebut, pemerintah
melaksanakan pembangunan untuk mencapai kemakmuran rakyat
yang meliputi kesejahteraan dan kemerdekaan bagi masyarakat dan
negara. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat
Indonesia diberikan hak untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk digunakan
bagi kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara melahirkan
kewenangan bagi negara untuk:52
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
Tubagus Haedar Ali, Makna Penggunaan Tanah menurut UU Nomor 5 Tahun 1960:
Kaitannya dengan Perkembangan Penataan Ruang, http://www.jkpp.org/download/kamus
%20tata%20ruang%20Bab5.3.pdf, diakses tanggal 25 April 2012.
52
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Peraturan
Dasar Agraria.
51
87
b.
Tanah,
diakses
Tanah,
diakses
88
89
90
92
3.
Landreform
Dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan dan
kesejahteraan, politik, arah, dan kebijakan pertanahan didasarkan
pada empat prinsip: (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumbersumber baru kemakmuran rakyat, (2) pertanahan harus
berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan
bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya
dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
(P4T), (3) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam
menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya
pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber
kesejahteraan masyarakat, (4) pertanahan harus berkontribusi
secara nyata dalam mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang
harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara
pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hukum
dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan
sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari. Prinsip-prinsip
93
96
b.
Orde Baru
Pemerintahan Soeharto era orde baru memfokuskan
pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai
kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan UU
No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya
alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing
pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh
pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan
alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai
Noer Fauzi, Op., Cit., hal. 143-144.
Terjadinya aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di
bawah naungan BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak
memperhatikan prosedur normal landreform.
68
Noer Fauzi, Op., Cit., hal. 124.
69
Ibid., hal. 147.
66
67
97
Orde Reformasi
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam
demokrasi yang semakin menguat dan dilaksanakannya sistem
desentralisasi, semangat pembaruan agraria juga menggema
dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun
2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau
revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundangundangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria)
dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di
tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah
maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi
peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform kembali masuk dalam program penting
pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam Pasal 5 TAP MPR RI
No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan
agraria adalah:
a. melaksanakan
penataan
kembali
penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
(landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah oleh rakyat;
b. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui
inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan,
penggunaan
dan
pemanfaatan
tanah
secara
komprehensif
dan
sistematis
dalam
rangka
pelaksanaan landreform.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, redistribusi tanahpun kembali diagendakan.
Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar
lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014.
Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP
Regional Center in Bangkok, 2006, hal. 64 dan 65.
71
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi
revisi, Kompas, Jakarta, 2001, hal. 51.
70
98
Konsolidasi Tanah
Konsolidasi tanah (land consolidation) merupakan salah satu
model dari penatagunaan tanah. Penatagunaan tanah meliputi aspek
pemeliharaan yaitu tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambah
subur dan dicegah kerusakannya. Berdasarkan konsideran
menimbang huruf a Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 tentang
Konsilidasi Tanah, tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk
pemanfaatan tanah tersebut selain melalui penatagunaan tanah
perlu dilakukan konsolidasi tanah.
Konsolidasi tanah merupakan bagian dari penatagunaan tanah.
Ada beberapa pengertian mengenai konsolidasi tanah, yaitu:
a. Konsolidasi tanah merupakan salah satu kebijaksanaan
pengaturan penguasaan, penyesuaian penggunaan tanah
dengan rencana tata guna tanah/tata ruang dan
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan serta
kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya
alam.73
b. Konsolidasi tanah (land consolidation) adalah pengaturan
kembali tata letak bidang tanah sehingga sebagian setiap
bidang tanah mempunyai lokasi yang tetap dan setiap
bidang tanah mempunyai akses terhadap prasarana dan
sarana lingkungan permukiman, serta utilitas umum,
sehingga luas bidang tanah tersebut berkurang secara
proporsional untuk digunakan bagi prasarana dan sarana
lingkungan permukiman, serta utilitas umum.74Konsolidasi
tanah ini tidak dapat menghindari ada bagian tanah dari
satu bidang tanah diserahkan pada pihak lain da nada
sebagian bidang tanah diterima oleh satu bidang tanah dari
pihak lain.
c. Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai
penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah
serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan, dan
Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari
2007.
73
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks UUPA-UUPRUUPLH, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 299.
74
Tubagus Haedar Ali, Makna Penggunaan Tanah menurut UU Nomor 5 Tahun 1960:
Kaitannya dengan Perkembangan Penataan Ruang, http://www.jkpp.org/download/kamus
%20tata%20ruang%20Bab5.3.pdf, diakses tanggal 25 April 2012, hal IV 7-14.
72
99
100
b.
79
80
101
102
yang dilakukan dengan cara sporadis pemilik tanah yang aktif untuk
melakukan pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah secara sistematik merupakan pendaftaran
tanah yang melibatkan pemerintah (Badan Pertanahan Nasional),
sebagai pelaksana dibantu oleh sebuah panitia independen. Hal ini
sesuai ketentuan dalam Pasal 8 PP No. 24 Tahun 1997 yang
menyatakan bahwa: (1) dalam melaksanakan pendaftaran secara
sistematik Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh sebuah Panitia
Ajudikasi, yang dibentuk oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk; (2)
susunan Panitia Ajudikasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
1. Seorang ketua panitia merangkap anggota yang dijabat oleh
seorang pegawai BPN.
2. Beberapa orang anggota yang terdiri dari seorang pegawai
BPN yang mempunyai kemampuan di bidang pendaftaran
tanah, seseorang pegawai BPN yang mempunyai kemampuan
di bidang hak atas tanah, kepala desa/kelurahan yang
bersangkutan dan atau seorang pamong desa/kelurahan
yang ditunjuknya.
3. Keanggotaan panitia ajudikasi dapat ditambah dengan
seorang anggota yang sangat diperlukan dalam penilaian
kepastian data yuridis mengenai bidang-bidang tanah yang
wilayah desa/kelurahan yang bersangkutan.
4. Dalam melaksanakan tugasnya panitia ajudikasi dibantu
oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan satuan tugas
pengumpul data yuridis dan satuan administrasi yang tugas
dan susunannya diatur oleh menteri.
Proses pendaftaran tanah pertama kali merupakan kegiatan fisik
untuk memperoleh data mengenai letaknya, batas-batasnya, luasnya
dan bangunan yang terdapat di atasnya, penetapan batas dan
pemberian tanda-tanda batas yang jelas, berdasarkan penunjukan
oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan pemilik tanah
berbatasan. Selanjutnya diadakan pengukuran diikuti dengan
perhitungan luas dan pembuatan peta bidang tanahnya yang
kemudian diterbitkan menjad surat ukur. Kegiatan bidang yuridis
bertujuan untuk memperoleh data mengenai status tanah dan
pemiliknya serta ada atau tidaknya hak pihak lain, yang
membebaninya yang diperlukan guna penetapan surat keputusan
haknya baik melalui penetapan konversi pengakuan hak atau
pemberian hak. Kegiatan berikutnya adalah pendaftaran tanah,
berdasarkan surat keputusan haknya dengan mencatatnya dalam
buku tanah selanjutnya diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai
salinan dari buku tanah yang berlaku, sebagai tanda bukti hak yang
kuat sertifikat tanah memuat data pemegang hak, jenis hak serta
dilengkapi surat ukur memuat letak batas-batas bidang tanah yang
bersangkutan. Ketentuan mengenai prosedurnya, pengumpulan,
penyimpanan, dan penyajian data fisik dan data yuridis serta
penerbitan sertifikat dalam PP No. 24 tahun 1997.
103
104
105
107
108
87
88
109
110
111
112
c.
Sistem Publikasi
113
Beberapa
sistem
pendaftaran
tanah
menurut
AP.
:94
Perlindungan, yaitu
1. Pendaftaran Tanah sistem Torrens.
2. Pendaftaran Tanah sistem Negatif.
3. Pendaftaran Tanah sistem Positif.
Dalam pendaftaran hak atas tanah dikenal ada dua sistem
publikasi, yaitu:95
1. Sistem publikasi positif menggunakan sistem pendaftaran
hak.
Dalam sistem publikasi positif orang yang dengan itikat baik
dan dengan pembayaran yang memperoleh hak dari orang
yang namanya terdaftar sebagai pemegang hak dalam
register. Memperoleh apa yang disebut suatu hak yang tidak
dapat diganggu gugat (indefeasible title). Juga jika kemudian
terbukti bahwa yang terdaftar sebagai pemegang hak
tersebut bukan pemegang hak yang sebenarnya. Dalam
sistem publikasi positif biaya pendaftaran hak atas tanah
dibebankan
kepada
pemerintah
maka
untuk
memberlakukan sistem ini diperlukan dana yang tidak
sedikit yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.
Pada sistem ini ada peningkatan lembaga recthsverwerking 96
sebagai sarana penyelesaian sengketa pendaftaran hak
atas tanah. Wujud penyelesaiannya melalui lembaga
recthsverwerking dilakukan melalui upaya keberatan
administratif, berarti keberadaan dan kedudukkan
lembaga dimaksud harus berada dalam tubuh kantor
pertanahan dan bukan selaku atasan. Namun jika yang
dikehendaki untuk menangani kewenangan penyelesaian
sengketa yang timbul dari padanya adalah pengadilan
tingkat banding selaku pengadilan tingkat pertama, wujud
penyelesaiannya
melalui
lembaga
recthsverwerking
dilakukan tegas melalui upaya banding administratif dan
bukan upaya keberatan administratif, dengan konsekwensi
keberadaan dan kedudukkan lembaga dimaksud harus
berada diluar tubuh kantor pertanahan sebagaimana
layaknya kedudukkan badan pertimbangan kepegawaian
baik daerah di masing-masing provinsi maupun pusat di
Jakarta.
Pengangkatan
dan
peningkatan
lembaga
rechtsverwerking menjadi suatu norma hukum positif
dalam sistem publikasi sejalan dengan tujuan dari
AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.
94
130.
Makalah Prof. Arie Sukanti Sumantri Hutagulung, SH., MLI yang disampaikan dalam
diskusi pakar sehubungan dengan penyusunan kajian RUU Pendaftaran Tanah, Deputi PUU
Bagian Polhukham, Setjen DPR RI pada 5 Agustus 2009.
96
Lembaga Recthsverwerking, yaitu suatu terobosan baru dalam hukum acara perdata di
pengadilan negeri atau PTUN yang dianggap sebagai suatu pengecualian khusus dalam
menangani kasus-kasus di bidang pertanahan yang tidak dapat digeneralisir dengan sistem
pembuktian perdata atas kebendaan yang lain.
95
115
116
dalam
beberapa
peraturan
117
118
102
Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Peraturan Menteri Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 1/2006.
104
M. Yamin Lubis, Abd. Rahim, Op., Cit., hal. 155.
103
119
120
121
2.
3.
4.
5.
6.
125
126
127
132
134
3.
4.
139
Mediasi
Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai
tanda eksistensi, kebebasan, dan harkat diri seseorang. Di sisi
lain, negara wajib memberi jaminan kepastian hukum terhadap
hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak
karena dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan
Negara. Dalam kenyataan sehari-hari permasalahan tanah
muncul dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat. Sengketa
pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu
aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya
penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin
meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah
sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Dapat
dikatakan sengketa di bidang pertanahan tidak pernah surut,
bahkan mempunyai kecenderungan untuk meningkat di dalam
kompleksitas permasalahan maupun kuantitasnya seiring
dinamika di bidang ekonomi, sosial dan politik.
Walaupun saat ini telah disediakan lembaga peradilan untuk
menyelesaikan sengketa pertanahan, namun masyarakat dapat
juga menggunakan cara penyelesaian di luar pengadilan sebagai
alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini dilatarbelakangi dari
kebutuhan akan penyelesaian yang lebih cepat, ringan, dan
sesuai dengan karakter masyarakat yang bersifat kekeluargaan.
Penyelesaian di luar pengadilan juga identik dengan sifat
masyarakat adat yang heterogen yang saling menjaga hubungan
satu terhadap yang lainnya tanpa pamrih dan rasa
kesukarelaan yang tinggi. Berbeda halnya dengan penyelesaian
sengketa melalui pengadilan dimana memerlukan biaya yang
besar dan waktu yanglama dalam proses beracaranya. Selain
alasan tersebut dalam masyarakat juga telah tertanam konsep
bahwa
penyelesaian
melalui
pengadilan
hanya
akan
mewujudkan keadilan bagi para pihak yang mempunyai
kekuasaan dan materi yang berlebih.
Sebagai alternatif penyelesaian sengketa, kiranya proses
Mediasi dapat di berdayakan dalam menyelesaian sengketa
pertanahan.
Ada beberapa pengertian mediasi yang dapat
disebutkan disini, antara lain:
1. Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah
(sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak,
netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa,
140
141
Farhan,
Cara-cara
Penyelesaian
Sengekta
Melalui
Mediasi,
https://fahran77.wordpress.com/2011/03/31/cara-cara-penyelesaian-sengketamenurut-mediasi/, diakses pada tanggal 8 Juni 2012.
142
5. Pelaksanaan
alternative
penyelesaian
masalah,
sengketam dan konflik pertanahan melalui bentuk
mediasi, fasilitasi dan lainnya.
6. Pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang
berkaitan dengan pertanahan.
7. Penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan
hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BPN telah pula menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan
dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan
Kepala BPN RI Nomor 34 tahun 2007 dan Peraturan kepala BPN
RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan. Dalam menjalankan tugasnya
menangani sengketa pertanahan, BPN melakukan upaya melalui
mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif.
Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu
pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa
pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak
sehingga
diupayakan
membentuk
kedeputian
untuk
penanganannya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua
sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan. Peran BPN
sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa sangat
diperlukan agar para pihak dapat mengetahui kelemahan dari
alat bukti yang dimiliki dan kesulitan yang akan diperoleh. Cara
ini cukup efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa
perdata pertanahan. Berikut beberapa contoh mediasi yang
telah dilakukan oleh BPN dalam penyelesaian sengketa di
wilayah Kabupaten Klaten:
Tim Penanganan dan Penyelesaian sengketa pertanahan
telah menyelesaikan sebanyak 8 (delapan) kasus sengketa
pertanahan, dengan penyelesaian melalui mediasi, ternyata
penanganan penyelesaian sengketa pertanahan dengan mediasi
lebih cepat dan lebih terukur jangka waktunya sebagaimana
yang dapat disampaikan dari 8 kasus tersebut adalah114:
1. Kasus Desa Jurangjero SHM No.316 dengan mediasi
tertuang
dalam
Berita
Acara
Mediasi
No.BAM/02/IV/2008/SKP tanggal 1 April 2008.
2. Kasus Desa Tirtomarto asal leter C No.34, 402 dan 661
dengan mediasi tertuang dalam Berita Acara Mediasi
No.BAM/03/IV/2008/SKP tanggal 1 April 2008.
3. Kasus Desa Ngalas SHM No.8 dengan mediasi tertuang
dalam Berita Acara Mediasi No.BAM/01/VII/2008/SKP
tanggal 11 Agustus 2008
114
Herry Fathurachman (Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara), Mediasi Sebagai
Alternatif
Sengketa
Pertanahan,
http://portaldaerah.bpn.go.id/Propinsi/JawaTengah/Kabupaten-Klaten/Artikel/MEDIASI--sebagai-alternatif-penyelesaian-sengket.aspx,
diakses pada tanggal 8 Juni 2012.
143
3.
4.
5.
6.
7.
Pengadilan Agraria
Sengketa agraria merupakan suatu bentuk sengketa yang
multi dimensi dan kompleks, karena di dalamnya terkandung
bukan hanya kepentingan hukum saja, melainkan kepentingan
ekonomi, politik, sosial budaya, dan bahkan pertahanan
keamanan. Ketika terjadi sengketa hak atas tanah antara
seseorang dengan orang lain, misalnya, maka mereka pada
hakikatnya juga memperjuangkan kepentingankepentingan
ekonomi yang melekat pada tanah yang disengketakan tersebut.
Pada perspektif lain sengketa agraria dapat terjadi antara
sekelompok anggota masyarakat dengan negara, karena
masyarakat tersebut mempertahankan nilai-nilai budaya yang
melekat pada tanah tersebut. Sebaliknya, karena pertimbangan
pertahanan keamanan, negara dapat mengalahkan kepentingan
orang perorangan atas suatu bidang tanah, sehingga hal
itersebut dapat juga menimbulkan sengketa.
Saat ini sengketa agraria secara umum disatukan melalui
mekanisme peradilan umum. Pada kenyataannya pengadilan
yang ada tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat. Menurut data yang diperoleh dari Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), sampai saat ini ada sekitar 1700
kasus agraria yang tidak terselesaikan. Untuk itu, dibutuhkan
suatu mekanisme penyelesaian sengketa agraria yang efektif dan
efisien. Untuk menyelesaikan konflik dan sengketa tanah yang
terjadi, ada baiknya melihat kembali ide pembentukan
pengadilan khusus landreform yang muncul dalam UndangUndang Pengadilan Landreform tahun 1964 yang sudah dicabut
pada tahun 1970. Aspek penting dari Pengadilan Landreform
adalah ditegakkannya sebuah lembaga yang khusus menangani
kasus sengketa yang muncul akibat pelaksanaan suatu program
yang berhubungan dengan tanah. Sejak dihapuskannya
Pengadilan Landreform dengan dikeluarkannya UU No. 7 Tahun
1970,
maka
persoalan
sengketa/konflik
pertanahan
dikembalikan kepada Pengadilan Negeri jika tidak bisa
diselesaikan di luar jalur pengadilan. Sebagai sebuah pengadilan
yang berwatak khusus, Pengadilan Pertanahan merupakan
langkah efektif dalam proses [encapaian keadilan dan kepastian
hukum
Berdasarkan hal tersebut, pemikiran ke arah pembentukan
pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus di
lingkungan peradilan umum merupakan suatu pemikiran yang
146
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Pokok-Pokok Peraturan Dasar Agraria, UU No. 5 Tahun 1960,
LN RI No. 104 Tahun 1960 TLN RI No. 2043.
_________, Rumah Susun, UU No. 20 Tahun 2011, LN RI No. 108 Tahun
2011 TLN RI No. 5252.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 3696).
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4385).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara RI Tahun 1998 Nomor
52, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3746).
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
148
Internet
Asas-Asas
Tata
Guna
Tanah,
http://tatagunatanah.blogspot.com/search/label/Asas-asas%20Tata
%20Guna%20Tanah.
Faizah, Liliz Nur. Hak Menguasai Negara Suatu Pendekatan HistorisFilosofis (rangkuman dari Bab II tentang Hak Menguasai Negara,
dalam skripsi Perkembangan Konsep Kepentingan Umum dalam
Hukum Pengambilalihan Hak atas Tanah di Indonesia, 1960-2006 di
Fakultas
Hukum
UGM
Yogyakarta
pada
tahun
2007).
http://zeilla.files.wordpress.com/2008/05/ hmn_filosofis.pdf.
Hajriyanto Y. Thohari, Aksi dan Implementasi Tap MPR No.
IX/MPR/2001,
makalah disampaikan pada Press Gathering
Wartawan MPR RI di Mataram, tanggal 9 Maret 2012,
www.mpr.go.id/files/pdf/2012/03/12/aksi-dan-implementasi-tapmpr-no-ixmpr2001-1331520876.pdf.
MK
Sarankan
Presiden
Sinkronkan
Regulasi
Agraria,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4f543a4ed7182/mksarankan-presiden-sinkronkan-regulasi-agraria.
Model
Perencanaan
Penatagunaan
Tanah,
http://tatagunatanah.blogspot.com/search/label/Model
%20Perencanaan%20TGT.
Pengertian
Tata
Guna
Tanah,
http://tatagunatanah.blogspot.com/2008/08/pengertian-tata-gunatanah.html.
Tubagus Haedar Ali, Makna Penggunaan Tanah menurut UU Nomor 5
Tahun 1960: Kaitannya dengan Perkembangan Penataan Ruang,
http://www.jkpp.org/download/kamus%20tata%20ruang
%20Bab5.3.pdf.
D.
Makalah
Makalah Prof. Arie Sukanti Sumantri Hutagulung, SH., MLI yang
disampaikan dalam diskusi pakar sehubungan dengan penyusunan
kajian RUU Pendaftaran Tanah, Deputi PUU Bagian Polhukham,
Setjen DPR RI pada 5 Agustus 2009.
Muchsin. Konflik Sumber Daya Agraria dan Upaya Penegakan Hukumnya.
Makalah Seminar Pembaharuan Agraria. Sekoah Tinggi Pertanahan
Nasional, Yogyakarta, 16 Juli 2002.
Nasution, Agussalam (Penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara). Makalah
Hukum Agraria, Teori Hukum Pertanahan Yang Pernah Berlaku di
Indonesia, 2012.
149
Lain-Lain
Harsono, Boedi. PPAT sejarah Tugas dan Kewenangannya, Majalah
RENVOI, No. 844. IV. Jakarta, Januari, 2007.
Ismail, Nurhasan. Perkembangan HukumPertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi-Politik. Disertasi pada Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 2006.
Kalo, Syafruddin. Perbedaan Persepsi Mengenai Penguasaan Tanah dan
Akibatnya Terhadap Masyarakat Petani di Sumatera Timur pada Masa
Kolonial yang Berlanjut pada Masa Kemerdekaan, Orde Baru dan
Reformasi. Program Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan.
Kompas 30 Januari 2007.
Pidato Menteri Agraria, Mr. Sadjarwo pada tanggal 12 September 1960 di
depan DPRGR, menyatakan lima tujuan landreform di Indonesia,
dalam makalah Reformasi Agraria Indonesia (Potret Pasang Surut
Sejarah kebangsaan Indonesia), oleh Tri Chandra Aprianto
preencechinty (Min, 02/22/2009-08:39).
Ringkasan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960 terbitan Departemen
Penerangan, 1962.
Sumardjono, Maria SW. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan
Implementasi. Edisi Revisi, Kompas, Jakarta, 2001.
Terbitan Badan usaha Penerbit YKK Departemen Penerangan RI, No. 973.
Winarsi, Sri. Pengaturan Notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum. Majalah
YURIDIKA. Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Volume 17 No. 2,
Surabaya, Maret, 2002.
150