Anda di halaman 1dari 7

REVISI UU NO.

5 TAHUN 1960

TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

A. Latar Belakang
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 Tahun 1960
sebagai hukum produk nasional, UUPA merupakan hukum terpenting
mengenai tanah di Indonesia. Dengan berlakunya UUPA sekaligus
mengakhiri dualisme hukum tanah di Indonesia yang berlaku
sebelumnya yaitu hukum tanah adat dan hukum agraria Belanda
(Agrarische Wet,1870).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria yang terbit pada 24 September 1960 pada
awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex generalis bagi semua
peraturan terkait sumber daya agraria/sumber daya alam, setidaknya
jika ditilik dari sepuluh pasal UUPA.
Di tengah merebaknya konflik pertanahan di berbagai daerah,
dari sudut hukum muncul berbagai pertanyaan, antara lain: di mana
letak kesalahannya. Apakah peraturan hukumnya tidak memadai, atau
penegakan hukumnya yang tidak konsisten. Jawabnya, bisa salah
satu, bisa dua-dua bidang tersebut bermasalah. Jika asumsinya
persoalan sudah dimulai sejak peraturan hukumnya maka wajar kalau
sekarang ini makin menguat spekulasi perlunya merevisi Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) yakni UU Nomor 5 Tahun 1960.
Bahkan RUU Pertanahan saat ini sudah terdaftar dalam program
legislasi nasional (prolegnas) DPR.
Dalam perjalanan waktu, Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) mengalami pasang surut, bahkan cenderung menjadi
dilematis. Hal ini tampak saat posisi UUPA dihadapkan pada UU
sektoral lainnya dan keraguan sikap untuk mempertahankan atau
meninggalkan UUPA yang dapat dicermati dalam berbagai kerancuan
kebijakan/peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Maka dari itu makalah ini akan membahas mengenai revisi UUPA.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi alasan terjadinya pro dan kontra terhadap
adanya wacana revisi undang-undang no. 5 tahun 1960?
2. Bagaimana efek yang ditimbulkan dari revisi undang-undang no.5
tahun 1960?

C. Pembahasan
Mengapa UUPA menjadi sasaran utama? Posisi UUPA sebagai
jangkar peraturan hukum bidang pertanahan memang sangat vital.
Sejak Indonesia merdeka sampai dengan lahirnya UUPA tahun 1960,
memang sudah dibuat beberapa peraturan hukum di bidang
pertanahan yang nasionalistis. Namun hasilnya masih parsial dan
sektoral serta tidak bisa menaungi semua kebutuhan hukum yang
diperlukan.

1. Argumentasi Pro Revisi


Walaupun peran UUPA sangat sentral, bagi yang
mendukung revisi, sederet argumentasi telah disiapkan. Pertama;
usia UUPA sudah lebih dari 50 tahun. Kedua; desain sebagai
undang-undang pokok, menyulitkan kehadiran undang-undang lain
yang akan menerjemahkan, atau menutup celah kekurangannya.
Ketiga; perubahahan di bidang pertanahan terjadi sangat cepat,
tidak bisa diantisipasi dengan konsep-konsep yang diprediksikan
setengah abad lalu. Keempat, desain besar ruang lingkup UUPA
juga perlu dipertimbangkan ulang.
UUPA disebut sebagai undang-undang pokok, artinya
menjadi sandaran atau acuan bagi undang-undang lain, terutama
undang-undang yang akan menjadi turunan, ataupun mengatur
bidang sejenis. Faktanya secara yuridis, pemberian nama undang-
undang pokok tidak mempunyai makna khusus. Hanya sering
dimengerti bahwa dengan nama UU Pokok mengandung informasi
bahwa UUPA baru berisi konsepsi, asas-asas, dan ketentuan-

2
ketentuan dalam garis besar saja, adapun penjabarannya diatur
oleh peraturan perundangan lain.
Inilah yang merepotkan undang-undang berikutnya, yang
secara teknis perundangan tidak bisa dikatakan sebagai pelaksana
dari undang-undang lain. Jadi hanya bisa diterjemahkan melalui
peraturan yang tingkatannya di bawah undang-undang. Ini yang
kemudian menyebabkan UU yang berikutnya bertentangan dengan
UUPA, tidak bisa disingkirkan begitu saja.
Dunia saat ini, termasuk Indonesia, menghadapi persoalan
tanah yang lebih kompleks, bukan hanya untuk pertanian
melainkan juga untuk pemukiman, pertambangan, industri,
perdagangan, dan sebagainya. Karenanya istilah Hukum Tanah,
atau lebih luas lagi Hukum Pertanahan dianggap lebih tepat.
Beberapa negara menggunakan nama Land Law, dan sering
menggunakan istilah Land Reform. Bahkan judul RUU yang
sekarang ada di DPR adalah RUU Pertanahan.
Berbagai masalah pertanahan yang muncul akhir-akhir ini
juga menimbulkan pertanyaan konseptual, karena konsepsi
ataupun politik hukum yang diterjemahkan dalam UU Nomor 5
Tahun 1960 dinilai tidak tegas. Misalnya mengenai posisi Hukum
Adat sebagai basis Hukum Pertanahan Nasional, termasuk
eksitensi Hak Ulayat yang sangat lemah perlindungan hukumnya.
Termasuk posisi negara sebagai wali amanah atas tanah yang
belum diberikan haknya pada perseorangan atau badan hukum,
sering ditumpangi kepentingan pemerintah yang seolah-olah
sebagai pemilik yang bebas menggunakan tanah sekehendaknya.

2. Argumentasi Kontra Revisi


Namun bagi yang kontra revisi UUPA juga punya cukup
banyak argumentasi untuk mempertahankan keberadaan undang-
undang yang dianggap monumental sejak Indonesia merdeka itu.
Konsepsi dan politik hukum yang memihak rakyat dan kepentingan
nasional masih cukup relevan. Jika ada kekurangan terhadap

3
kebijakan pertanahan sekarang ini, lebih banyak disebabkan oleh
politisasi hukum, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan
perundang-undangan. Politisasi hukum ini membuat negara
(pemerintah dan DPR) tidak konsisten menerjemahkan semangat
Pasal 33 UUD 1945, dalam perundangan-undangan bidang
pertanahan.
Menurut pihak yang kontra revisi, yang harus dilakukan
justru segera memenuhi kelengkapan peraturan perundangan yang
disebut UUPA, misalnya UU Hak Milik yang sampai sekarang
belum terwujud. Memang agak lumayan walaupun sangat
terlambat, akhirnya UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
Kepentingan Umum, baru saja disahkan. Sebelumnya soal
pengadaan tanah untuk pembangunan, termasuk soal ganti rugi,
hanya diatur dalam peraturan presiden. Sementara beberapa
undang-undang yang secara materi bertentangan dengan UU
Nomor 5 Tahun 1969 seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan,
UU Pemerintah Daerah, dan sebagainya harus disesuaikan,
direvisi, atau di-yudicial review.

Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM)


Maria Sumardjono menceritakan kisah salah arah pembahasan
UU Pokok Agraria yang disahkan pada 1960 lalu. Kala itu, sejumlah
pakar salah satunya Prof. Boedi Harsono- berpendapat bahwa
seharusnya nama UU itu bukan UU Pokok Agraria. Melainkan UU
Pertanahan. Namun, akhirnya perdebatan berakhir setelah Menteri
Agraria tetap lebih memilih menggunakan istilah UU Pokok Agraria.
UU ini terdiri 67 pasal. Diantaranya, ada 53 pasal yang
mengatur mengenai tanah. Jadi, ada contradictio in terminis.
Seharusnya namanya UU Pertanahan, Maria menjelaskan
terminologi agraria secara hukum tak hanya berarti tanah,
melainkan juga air dan ruang udara. Itu pengertian secara luas. Bila
awalnya UU ini diniatkan untuk mengatur Ketentuan Pokok Agraria,

4
seharusnya bukan hanya persoalan tanah saja yang diatur secara
lengkap, tetapi juga persoalan air dan ruang udara.bila
mengingingkan UU ini sebagai UU Pokok yang menjadi sebuah
sistem, yang kemudian membawahi sub-sistem (uu sektoral
Karenanya untuk meluruskan salah arah ini. Ada dua pilihan yang
ditawarkan. Pertama, cukup mempertahankan isi UU Pokok Agraria
yang hanya mencakup hukum tanah saja, dengan konsekuensi
mengubah namanya menjadi UU Pertanahan. Kedua,
mengembalikan ruh awal UU Agraria yang isinya tak hanya
mencakup tanah, tapi juga air dan ruang udara
Apabila memilih opsi pertama maka konsekuensinya adalah
mengubah UU Pokok Agraria menjadi UU Pertanahan, lalu tinggal
menyempurnakan hukum tanah nasional saja. UU ini menjadi
setara kedudukannya dengan UU Sektoral yang lain.
Apabila memilih opsi kedua, maka cukup mengatur prinsip-
prinsip agraria (mencakup tanah, air dan ruang udara) di dalam UU
Pokok Agraria itu. Namun, pilihan ini akan menimbulkan tarik ulur
yang kuat antar sektor. Misalnya, Kementerian Kehutanan,
Kementerian Kelautan, Kementerian ESDM dan BPN sendiri.
Selain memang usia UUPA sudah terbilang tua, sehingga
dapat dipandang sebagai tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
Namun demikian, merevisi UUPA harus dilakukan dengan sangat
hati-hati dan tidak boleh hanya sekedar keinginan untuk merevisi,
karena soal keagrariaan sangat esensial dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Artinya, revisi UUPA selain sebagai
langkah untuk mengantisipasi atau menyelesaikan sejumlah
persoalan keagrariaan selama ini, juga sangat terkait dengan
esensi dan prinsip-prinsip mendasar dan sensitive. Karena ada
nilai-nilai yang terkandung dalam UUPA itu, maka revisi terhadap
UUPA tidak boleh menjadikan keadaan bertambah buruk dan disisi
lain dampaknya luar biasa bila salah merancang

5
Wacana revisi UUPA diawali dengan usulan Konsorsium
Pembaruan Agraria tahun 1998, yang memilih revisi UUPA sebagai
UU payung/induk pengaturan sumber-sumber agraria (lex
generalis).Tahun 2000 BPN menyusun RUU Pertanahan (lex
specialis) dan September 2004 BPN menyusun RUU Sumber Daya
Agraria (lex generalis). Tahun 2005/ 2006 BPN kembali menyusun
RUU Pertanahan (lex specialis). Tahun 2006 DPD mengusulkan
RUU Penyempurnaan UUPA sebagai lex generalis.
Revisi UUPA sebagai lex specialis dimaksudkan untuk
mempertegas rumusan ketentuan UUPA seraya menyatukan
ketentuan dasar tentang pertanahan yang tersebar dalam berbagai
peraturan. Pilihan ini meminimalkan resistensi sektor lain, tetapi
tidak mengubah peta sektoral dengan segala dampaknya.
Revisi UUPA sebagai lex generalis memerlukan komitmen
semua sektor bahwa kelestarian lingkungan hidup dan
pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu prinsip dasar
dalam pengaturan SDA. Mengingat tingginya ego sektoral,
mengupayakan komitmen bersama bukanlah pekerjaan mudah.
Konsekuensi revisi UUPA sebagai lex specialis adalah
memperkuat pengaturan di bidang pertanahan, tetapi tidak
menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkan UUPA. Revisi
UUPA sebagai lex generalis dimaksudkan untuk mereposisi UUPA
melalui (1) penguatan prinsip-prinsip UUPA dengan memberi
perspektif baru sesuai perkembangan dan aspirasi masyarakat; (2)
perumusan pokok-pokok pengaturan penguasaan dan
pemanfaatan SDA di bidang pertanahan dan SDA selain
pertanahan.

D. Kesimpulan
1. Dalam perjalanan waktu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
mengalami pasang surut, bahkan cenderung menjadi dilematis.
Maka dari itu perlu dikaji lagi mengenai perlu tidaknya diadakan
revisi terhadap UUPA.

6
2. Apabila dilakukan revisi UUPA maka haruslah dilakukan dengan
sangat hati-hati dan tidak boleh hanya sekedar keinginan untuk
merevisi, sehingga dapat menjadikan keadaan bertambah buruk.
3. Melakukan revisi UUPA sebagai lex generalis atau sebagai lex
specialis memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
4. Melalui revisi UUPA atau tidak, dalam jangka dekat yang
dibutuhkan adalah membangun sistem hukum pertanahan yang
terbuka, memihak kepentingan rakyat di satu sisi, tetapi di sisi lain
mengakomodasi kebutuhan pembangunan ekonomi. Menjamin
tertib administrasi pertanahan, hak milik perseorangan ataupun
kolektif, serta menyelesaikan konflik secara transparan, dan
mengedepankan pendekatan hukum. Dalam jangka panjang,
reformasi Hukum Agraria, harus diarahkan demi terciptanya sistem
hukum yang harmonis, operasional, dan memenuhi rasa keadilan
rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
Harsono, B 1999, Hukum agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Sumardjono, MSW 2005, Kebijakan pertanahan, Buku Kompas, Jakarta.
Sembiring, J 2017, RUU Pertanahan, STPN
http://nasional.kompas.com/read/2010/09/24/03504295/twitter.com
http://tataruangpertanahan.com/artikel-381-uupa-setelah-55-
tahun.html
http://doa-bagirajatega.blogspot.co.id/2015/09/uupa-setelah-55-
tahun-maria-sw.html

Anda mungkin juga menyukai