Anda di halaman 1dari 5

NAMA : AZIMUR RAHMAT

NIT : 16252935
JURUSAN : MANAJEMEN PERTANAHAN

REFORMA AGRARIA DI AUSTRALIA

Doktrin hukum Raja Inggris sebagai pemilik tanah di Australia telah


diakui keberadaannya oleh sistem hukum kebiasaan (Common Law). Hal ini
mengakibatkan masyarakat suku Aborigin kehilangan hak-hak pemilikannya
selama beberapa abad atas tanah-tanah yang mereka warisi dari nenek
moyangnya. Perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat Aborigin mulai
kelihatan berhasil terutama ketika pemerintah Australia mengakui hak-hak
pemilikan atas tanah-tanah mereka.
Hukum hak atas tanah yang sah adalah cara kunci di mana masyarakat
adat memperoleh kepentingan atas tanah. Setiap Negara Bagian dan Wilayah di
Australia, kecuali Australia Barat, memiliki semacam hukum hak atas tanah.
Mereka mengarah pada pemberian tanah kepada masyarakat adat sebagai hasil
dari klaim yang ditetapkan oleh undang-undang. Undang-undang hak tanah di
Australia memiliki sejarah yang meluas hingga 1960-an. Australia Selatan
memperkenalkan hukum hak tanah pertama pada tahun 1966, tetapi UU ini tidak
mengesahkan klaim. Satu dekade kemudian, Parlemen Australia mengesahkan
Aboriginal Land Rights (Northern Territory) Act 1976 (ALRA).
Undang-undang hak atas tanah pertama yang memungkinkan masyarakat
adat untuk mengklaim tanah adalah UU Hak Tanah Aborigin (Wilayah Utara) /
Aborigin Land Rights (Northern Territory) Act 1976 (ALRA). Dasar dari rezim
ini adalah temuan dan rekomendasi dari Komisi Woodward yang didirikan oleh
Pemerintah Australia untuk menanyakan tentang hak atas tanah Aborigin. Hak
atas Tanah Aborigin (Wilayah Utara) 1976 (ALRA) memberikan hibah tanah
Aborigin tradisional di Wilayah Utara kepada Perwalian Tanah Aborigin yang
menyimpan tanah untuk kepentingan pemilik suku Aborigin.
Selain hak tanah menurut undang-undang, hak kepemilikan asli telah
diakui sejak keputusan Pengadilan Tinggi Australia di Mabo. Tidak seperti hak
tanah sebelumnya yang mensyaratkan “hibah” sebagai dasar yang diakui
berdasarkan undang-undang, hak suku asli termasuk juga pengakuan atas hak dan
kepentingan yang sudah ada sebelumnya. Hak suku asli adalah pengakuan, dalam
hukum Australia, bahwa beberapa orang Pribumi terus memegang hak atas tanah
dan perairan yang berasal dari hukum dan kebiasaan tradisional mereka. Hak dan
kepentingan hak milik asli dapat meliputi hak untuk memiliki, menempati,
menggunakan dan menikmati tanah dan air dengan mengesampingkan semua
yang lain, untuk hak dan kepentingan yang lebih rendah seperti hak untuk
berburu, menangkap ikan dan berkumpul.
Penguasaan dan pemilikan tanah yang diskriminatif di Australia,
khususnya terhadap suku Aborigin mulai sirna sejak Hakim Blackburn di PT.
Queensland mengabulkan gugatan mereka atas penolakan pemerintah.
Keberhasilan tersebut, selain didukung oleh preseden hukum (jurisprudensi)
pengadilan, juga tidak terlepas dari peranan Intervensi Konvensi Lembaga
internasional mengenai larangan diskriminasi antara golongan. Kepastian hukum
bagi masyarakat Aborigin dalam penguasaan dan pemilikan tanah semakin kuat
kedudukannya setelah Undang-Undang Hak Milik Pribumi (Native Title Act)
diundangkan tahun 1993.
Native Title Act 1993 (NTA) diberlakukan setelah keputusan Mabo untuk
menyediakan sistem pengakuan hak-hak kepemilikan suku asli. NTA mencakup
tindakan masa depan yang dapat mengatur pembangunan masa depan yang akan
mempengaruhi hak-hak kepemilikan suku asli serta memberikan hak kepada
pemegang hak dan penuntut hak untuk bernegosiasi tentang beberapa tindakan di
masa depan. NTA juga mengatur pembuatan Perjanjian Penggunaan Tanah Adat
yang merupakan perjanjian sukarela antara kelompok suku asli dan orang lain
tentang penggunaan dan pengelolaan tanah dan perairan.
Setidak-tidaknya ada 4 (empat) segi penting yang terdapat dalam Undang-
Undang Hak Milik Pribumi 1993 (Native Title Act) yaitu :
a. Pengakuan terhadap hak-hak pemilikan suku asli.
b. Pengaturan terhadap kesahihan bukti, seperti jaminan atas tanah dan seberapa
jauh hukum bisa membatalkan ketidakabsahan adanya hak-hak suku asli.
c. Suatu kekuasaan yang adil untuk yang akan datang tetap harus memberikan
jaminan terhadap peraturan hak-hak suku asli.
d. Pendirian peradilan tuntutan suku asli untuk suatu perundingan dan
pengurusan jaminan atas hak-hak tanah suku asli, serta dibuatnya proses
peradilan dengan menentukan upaya hukum naik banding dalam kaitannya
hak suku asli.
Pemerintah Australia saat ini melaksanakan reformasi untuk tanah adat,
khususnya dalam hal hak kepemilikan suku asli dan kepemilikan tanah. Tujuan
reformasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa sistem yang efisien disediakan
untuk pengakuan hak atas tanah dan hak-hak tersebut dapat memberikan manfaat
sosial dan ekonomi bagi masyarakat adat.
ALRA, yang diberlakukan lebih dari 30 tahun yang lalu, telah berhasil
mengembalikan tanah kepada suku Aborigin asli dan sekitar 45% Wilayah Utara
kini dimiliki atau dikendalikan oleh orang Aborigin. Namun, ALRA belum terlalu
berhasil dalam hal meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aborigin secara
keseluruhan. Meskipun memiliki basis tanah yang begitu besar, orang Aborigin
hanya memperoleh sedikit manfaat ekonomi yang bertahan dari tanah yang
mereka pegang dan tetap tidak menguntungkan secara sosial ekonomi. Tujuan
utama reformasi ALRA adalah untuk memfasilitasi tingkat pembangunan
ekonomi yang lebih tinggi di tanah Aborigin. Reformasi bertujuan untuk
mencapai tujuan ini sembari mempertahankan hak komunal yang tidak dapat
dicabut dari hak atas tanah karena hal ini diakui sebagai karakteristik penting dari
hak-hak yang dipegang oleh orang Aborigin.
Salah satu elemen paling penting dari reformasi adalah pengenalan skema
sewa atau jaminan yang mampu digadaikan untuk individu dan bisnis. Selain
perubahan pada pengaturan sewa, bidang reformasi lainnya untuk ALRA akan
mempromosikan pembangunan ekonomi. Sebagai contoh, reformasi mencakup
ketentuan untuk mempercepat periode negosiasi untuk pemberian lisensi
eksplorasi atas tanah Aborigin, sambil mempertahankan hak veto pemilik
tradisional (kekuatan untuk menahan persetujuan). Karena eksplorasi dan
penambangan adalah salah satu sarana utama di mana orang Aborigin
memperoleh manfaat ekonomi dari tanah mereka, perubahan ini dapat berdampak
positif. Selain itu, reformasi akan mendorong partisipasi lokal dalam keputusan
tentang pengembangan tanah Aborigin.
Selama dasawarsa terakhir, pemerintah Australia telah memperkenalkan
serangkaian reformasi tentang cara tanah adat dimiliki dan digunakan. Sampai
saat ini, fokus reformasi adalah pada tanah di dalam komunitas perumahan. Saat
ini lebih dari 20 persen Australia dimiliki oleh masyarakat adat di bawah hak asli
dan skema hak tanah yang sah. Sebagian besar tanah adat terletak di daerah
terpencil - dengan wilayah terbesar ditemukan di Australia Barat, Australia
Selatan, Wilayah Utara, dan Queensland.
Gerakan-gerakan mengenai reformasi tanah adat ini telah banyak
diperjuangkan diberbagai belahan negara bagian Australia, Namun ini bukanlah
hal yang mudah untuk dilakukan, terilihat dari berita-berita yang mengatakan
bahwa penduduk asli Aborigin masih berjuang untuk pengakuan haknya disana.
Fenomena yang tertangkap saat ini adalah masyarakat adat Aborigin di Australia
masihlah masyarakat kelas 2 disana, terutama dalam masalah agraria. Padahal
sejatinya mereka sudah diakui sebagai bagian dari warga negara Australia sejak
tahun 1967.
M. Nazir Salim (2019) menjelaskan dalam bukunya bahwa diskriminasi
terhadap masyarakat adat aborigin masih terjadi hingga saat ini, terutama dalam
masalah hak agraria masyarakat aborigin di Australia. Sebagai warga negara yang
sah di Australia, masyarakat aborigin sebenarnya masih bisa melakukan gugatan
melalui pengadilan untuk mengklaim hak atas tanah yang mereka miliki. Akan
tetapi, semua itu dapat dimentahkan dengan mudah jika ada kepentingan
pemerintah ataupun korposari perkebunan dan pertambangan yang bersinggungan.
Praktis msyarakat adat aborigin hanya dapat memperoleh klaim-klaim tanah di
daerah-daerah terpencil di Australia.
Akses-akses terhadap hak yang harusnya didapatkan oleh masyarakat
aborigin masih sulit untuk dicapai, mulai dari kesehatan, pendidikan,
infrastruktur, dan fasilitas umum lainnya. Selain karena faktor hukum dan budaya
yang berbeda antara masyarakat adat aborigin dan masyarakat umum, kurang
berdayanya masyarakat adat aborigin di tanahnya sendiri sehingga menyebabkan
mereka harus termarginalkan. Eksploitasi berlebih dari masyarakat kulit putih
hampir tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat adat aborigin di
Australia. Maka tidak heran kalau masih banyak orang yang menyebut Australia
masih merupakan negara kolonial.
Dapat disimpulkan bahwa reformasi tanah adat di negara Australia masih
belum bisa berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Hal ini bisa dilihat dari
pengakuan hak masyarakat adat aborigin terutama hak agraria masih jauh dari
harapan dan menuai pro kontra, keadlilan hukum belum tercapai, dan
pengambilan kebijakan pun sangat berpengaruh terhadap kepentingan pemerintah
yang ada.

Daftar Referensi
Salim, M.N., 2019, Reforma Agraria II, Penerbit STPN., Yogyakarta.
Tantowi, J. 2000. Penguasaan dan Pemilikan Tanah yang Diskriminatif:
dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Jurnal Hukum, 7,
31-46.
Terril, L. 2014. The Language We Use to Debate Aboriginal Land Reform in
Australia, 18, 24-43.
Native Title Report 2009. Chapter 4:Indigenous Land Tenure Reform, 125-188.
Watson, N.L. 2007. Implications of Land Rights Reform for Indigenous Health.
Health Services, 186, no.10, 534-536.
Permanent Forum on Indigenous Issues, 2007, Economic and Social Council,
Penerbit United Nations, Australia.

Anda mungkin juga menyukai