Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENATAAN RUANG TERKAIT PEMBANGUNAN DAERAH


Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Aspek Hukum Dalam
Pembangunan
Diampu Oleh Bapak Dr. NADIR, S.H, M.H.

DI SUSUN OLEH

ACH. SHOHIBUR ROSID (2020510011)


DIMAS ADI PRASETYO (2020510020)
KELAS C

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIL
UNIVERSITAS MADURA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena penyusun dapat menyelesaikan


makalah yang berjudul”PENATAAN RUANG TERKAIT PEMBANGUNAN
DAERAH” ini untuk memenuhi tugas kuliah aspek hukum dalam pembengunan
yang diberikan oleh dosen pembimbing.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih penuh dengan kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan agar dosen
pembimbing dapat memberikan kritik dan saran untuk melengkapinya.
Dan saya menyampaikan terima kasih atas kritik dan saran yang
membangun demi penyempurnaan tugas makalah ini. Semoga tugas makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi saya dan dalam mata kuliah aspek hukum dalam
pembangunan

Sampang, 11 Juni 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan masalah..................................................................................3
C. Tujuan ................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Penataan Ruang Diindonesia...................................................4
B. Konsep Penataan Ruang Diindonesia....................................................5
C. Komponen Penataan Ruang................................................................. 6
D. Penataan Ruang Dalam Otonomi Daerah............................................9
E. Kewajiban Daerah Dalam PenyusunanPeraturan Daerah dalam
penataan ruang ...................................................................................10

BAB III PENUTUP


Kesimpulan...............................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan penataan ruang di Indonesia, baik tata ruang nasional maupun
tata ruang wilayah merupakan salah satu isu krusial yang sangat dinamis
perkembangannya beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut tidak terlepas dari
urgensi keberadaan ruang dalam kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya
membutuhkan pengaturan secara konkret mengenai keberadaan ruang melalui
sejumlah peraturan perundang-undangan. Penataan ruang telah ditempatkan
sebagai salah satu komponen penting yang turut menentukan berhasil tidaknya
proses pembangunan suatu wilayah, khususnya dalam rangka proses
pembangunan berkelanjutan.1 Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang semakin
pesat dari waktu ke waktu pada akhirnya menimbulkan kewajiban bagi
pemerintah untuk melakukan pengaturan akan berbagai sarana kebutuhan hidup
manusia. Ketika lingkup kehidupan manusia diperhadapkan pada tuntutan yang
semakin kompleks, maka potensi penyalahgunaan ruang wilayah menjadi semakin
terbuka lebar, khususnya dalam rangka pemenuhan berbagai bentuk kebutuhan
masyarakat luas. Bahkan kondisi demikian rentan memunculkan peristiwa
pelanggaran pemanfaatan ruang yang dapat merusak keberlangsungan dan masa
depan suatu wilayah. Oleh sebab itu, maka upaya penanggulangan melalui
sejumlah produk hukum perlu dibangun sedemikian rupa demi memastikan bahwa
ruang wilayah dapat tertata dengan baik serta difungsikan sesuai dengan
peruntukan yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan terkait.2
Tata Ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan
agar terwujud alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan tingkat
perkembangan wilayah. Maka dengan berbasis penataan ruang, kebijakan
pembangunan akan mewujudkan tercapainya pembangunan berkelanjutan yang
memadukan pilar ekonomi, sosial budaya dan lingkungan (Kementerian Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Berdasarkan Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, maka ruang didefinisikan sebagai
wadah yang meliputi ruang darat, ruang uadara dan ruang laut, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Menurut Ilhami,
(1990:27) Tata Ruang secara harfiah berasal dari kata Spatial, Yaitu segala
sesuatu yang dipertimbangkan berdasarkan keruangan, tegasnya ruang berkaitan
dengan penataan penyelenggaraan segala sesuatu yang berada di dalam ruang
sebagai tempat melangsungkan kehidupan. Selanjutnya Tarigan (2005:50)
1
Janpatar Simamora, Urgensi Regulasi Penataan Ruang Dalam Pembangunan,jurnal magister
hukum, vol .4 no. 10,2022,hlm.60.
2
Ahmad Jazuli, Penegakan Hukum Penataan Ruang dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan
Berkelanjutan, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 6 no .2, Agustus 2017, hlm. 273-274.

1
mengemukakan bahwa tata ruang wilayah adalah suatu proses yang melibatkan
banyak pihak dengan tujuan agar penggunaan ruang dapat memberikan
kemakmuran yang sebesar-besarnya pada masyarakat dan terjaminnya kehidupan
yang berkesinambungan.3
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Penataan Ruang
mencakup proses :
1. Penyusunan rencana tata ruang,
2. pemanfaatan ruang yaitu kegiatan pelaksanaan pembangunan melalui
serangkaian penyusunan program pembangunan, dan
3. pengendalian pemanfaatan ruang yaitu kegiatan pengawasan dan penertiban
pelaksanaan pembangunan (termasuk didalamnya pemberian ijin lokasi dan
investasi) agar sesuai dengan rencana tata ruang.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, pengertian
penataan ruang adalah : “penataan ruang tidak terbatas pada dimensi
perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata
ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang, baik untuk wilayah
administratif (seperti propinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk kawasan
fungsional (seperti kawasan perkotaan dan perdesaan) ; pemanfaatan ruang
merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan
pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai
dengan rencana tata ruangnya”4
Rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang
dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat
berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan
manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan (development sustainability). Secara normatif, Rencana Tata Ruang
merupakan acuan pelaksanaan pembangunan sektoral pada kawasan perkotaan.
Dengan demikian, setiap bentuk pembangunan sektoral pada kawasan perkotaan
yang berbasis ruang perlu mengacu pada rencana tata ruang yang berlaku. Hal ini
dimaksudkan agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan, sekaligus
menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor-
sektor yang berkepentingan dan dampak merugikan pada masyarakat luas
(externalities).
Penataan ruang merupakan instrumen untuk merumuskan tujuan dan
strategi pengembangan wilayah terpadu sebagai landasan pengembangan
kebijakan pembangunan sektoral dan daerah, termasuk sebagai landasan
pengembangan infrastruktur yang efisien sesuai dengan fungsi-fungsi yang telah
ditetapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemanfaatan ruang untuk
pembangunan infrstruktur perlu mengacu dan seuai dengan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan. Penataan Ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan
3
Islamy, M. Irfan. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara.Bumi Aksara,jakarta,2002,hlm
90.
4
Budiharjo, Eko. Tata Ruang Perkotaan. Bandung : Penerbit Alumni. 1997,hlm 126.

2
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan
suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus
dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang
a. dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya
guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan.
b. tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan
c. tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.5

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep penataan ruang di indonesia?
2. Apa saja peran dan fungsi penataan ruang ?
3. Apa saja komponen penataan ruang ?
4. Bagaimana penataan ruang dalam era otonomi daerah ?
5. Bagaimana kewajiban daerah dalam menyusun peraturan daerah dalam
penataan ruang ?

C.Tujuan
1. Agar mengetahui konsep penataan ruang di indonesia.
2. Untuk mengetahui peran dan fungsi penataan ruang.
3. Untuk mengetahui komponen tata ruang.
4. Agar mengetahui penataan ruang dalam era otonomi daerah .
5. Untuk mengetahui kewajiban daerah dalam menyusun peraturan daerah
dalam penataan ruang.

BAB II
5
Ruslan Prijadi, Manajemen Perkotaan di Era Globalisasi – Desentralisasi, “Jurnal Manajemen
Perkotaan”, vol.10 no.7 ,06 Februari 2001,hlm 156-157.

3
PEMBAHASAN

A. Konsep Penataan Ruang Diindonesia


Sebagai salah satu proses kegiatan penataan ruang, penyusunan rencana
tata ruang kawasan perkotaan perlu diselenggarakan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah. Ruang dilihat sebagai wadah
dimana keseluruhan interaksi sistem sosial (yang meliputi manusia dengan
seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumber daya
alam dan sumber daya buatan) berlangsung. Interaksi ini tidak selalu secara
otomatis berlangsung seimbang dan saling menguntungkan berbagai pihak yang
ada karena adanya perbedaan kemampuan, kepentingan dan adanya sifat
perkembangan ekonomi yang akumulatif. Oleh karena itu, ruang perlu ditata agar
dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang
nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan
dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal (Budiharjo, Eko 1997:35).
Penataannya perlu didasarkan pada pemahaman potensi dan keterbatasan
alam, perkembangan kegiatan sosial ekonomi yang ada, serta tuntutan kebutuhan
peri kehidupan saat ini dan kelestarian lingkungan hidup di masa yang akan
datang. Upaya pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan ini dituangkan
dalam suatu kesatuan rencana tata ruang. Dalam rangka mewujudkan konsep
pengembangan wilayah yang didalamnya memuat tujuan dan sasaran yang
bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang
yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama, yakni :
a. proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata
ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions”
RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan
serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan
manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan (development sustainability).
b. proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi
rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri,
c. proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap
sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.6
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan
pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang memiliki
landasan hukum (legal instrumen) untuk mewujudkan tujuan pengembangan
wilayah.
sistem perencanaan tata ruang wilayah diselenggarakan secara berhirarkis
menurut kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW
Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya lebih

6
Muhammda farid,konsitensi perencanaanrencana tata ruang wilayah,perencanaa
pembangunan daerah,Vol.12 no. 8,2011,Hlm 67-68.

4
rinci. RTRW Nasional disusun dengan memperhatikan wilayah nasional sebagai
satu kesatuan wilayah yang lebih lanjut dijabarkan dalam strategi serta struktur
dan pola pemanfaatan ruang pada wilayah propinsi (RTRWP), termasuk di
dalamnya penetapan sejumlah kawasan tertentu dan kawasan andalan yang
diprioritaskan penangananya. Aspek teknis perencanaan tata ruang wilayah
dibedakan berdasarkan hirarki rencana. RTRWN merupakan perencanaan makro
strategis jangka panjang dengan horizon waktu hingga 25-50 tahun kedepan
dengan menggunakan skala ketelitian 1:1.000.000. RTRW Propinsi merupakan
perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun
peda skala ketelitian 1:250.000. Sementara itu RTRWkabupaten/kota merupakan
perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10) dengan skala ketelitian
1:20.000 hingga 1:100.000. Rencana detail yang bersifat mikro operasional jangka
pendek dengan skala ketelitian 1:5.000. Selain penyiapan rencana untuk wilayah
adminitratif, maka disusun pula rencana pengembangan (spatial development
plan) untuk kawasan-kawasan fungsional yang memiliki nilai
strategis.misalnya,untuk kawasan dengan nilai strategis ekonomi seperti Batam,
disusun rencana pengembangan kawasan pengembangan ekonomi terpadu
(KAPET). Sementara itu untuk kawasan dengan nilai strategis pertahanan
keamanan (security), disusun rencana pengembangan kawasan perbatasan negara,
baik di darat maupun di laut. Selain itu juga disusun rencana pengembangan
kawasan agro politan (sentra produksi pertanian), serta kawasan andalan lainnya.7

B. Peran dan Fungsi Penataan Ruang


Beragam peran dari perencanaan tata ruang, yaitu:
1. menghasilkan kondisi pencapaian kualitas kehidupan dan penghidupan
yang lebih baik.
2. memenuhi tujuan efisiensi dan demokrasi melalui partisipasi masyarakat.
3. memenuhi tantangan pembangunan berkelanjutan. Peran perencanaan tata
ruang dalam pembangunan telah dikenali sejak lama, dan dituangkan
dalam berbagai dokumen pertemuan resmi internasional.
Dimulai pada tahun 1976, dalam the Vancouver Declaration on Human
Settlements (lebih dikenal sebagai Habitat I Conference/Konperensi Habitat I),
teridentifikasi peran utama perencanaan tata ruang terhadap pembangunan
perkotaan, yang dinyatakan bahwa menjadi tanggungjawab pemerintah untuk
menyiapkan rencana strategis ruang dan mengadopsi kebijakan permukiman
untuk memandu upaya pembangunan sosial ekonomi. Kebijakan ini seharusnya
merupakan komponen dasar dari strategi menyeluruh pembangunan, terhubung
dan terharmonisasi dengan kebijakan industrialisasi, pertanian, kesejahteraan
masyarakat, preservasi lingkungan dan budaya sehingga saling mendukung dalam
penciptaan kesejahteraan umat manusia secara progresif Pemerintah wajib

7
Hariyanto dan Tukidi,konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang diindonesia, era
otonomi daerah,vol. 12 no. 2,2013,Hlm 50-52.

5
menciptakan mekanisme dan lembaga untuk mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan tersebut di atas (UNECE, 2008).
Selanjutnya rencana aksi Agenda 21 yang diadopsi oleh 178 negara pada
the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) pada
tahun 1992, menyiapkan bab khusus (Bab 10) terkait perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya lahan. Sementara the European Spatial Development
Perspective (ESDP), yang disepakati dalam Informal Council of Minister yang
bertanggungjawab terhadap perencanaan tata ruang pada tahun 1999, secara tegas
menyatakan kebijakan pengembangan tata ruang dapat meningkatkan
pembangunan berkelanjutan melalui penetapan struktur ruang yang baik. Di
Indonesia, Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai produk perencanaan tata ruang
mempunyai fungsi diantaranya
a. acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
b. acuan dalam pemanfaatan/ pengembangan wilayah.
c. acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah;
d. acuan lokasi investasi dalam wilayah yang dilakukan pemerintah,
masyarakat dan swasta.
pedoman penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah.
e. dasar pengendalian pemanfaatan ruang yang meliputi penetapan peraturan
zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, pengenaan sanksi.
f. acuan dalam administrasi pertanahan.8

C. Komponen Penataan Ruang


Untuk merencanakan suatu tata ruang kota menurut Robinson Tarigan
(2009:122) diperinci menurut komponen sebagai berikut:
1. Lingkungan Pusat Kota
Lingkungan pusat kota merupakan suatu lingkungan yang didalamnya
terdapat pusat segala kegiatan kota, seperti kegiatan pemerintahan,
perekonomian, pendidikan dan kebudayaan, serta ditandai dengan adanya
kesibukan lalu lintas. Pusat-pusat kegiatan dalam area pusat kota pada
umumnya mengelompok dan antara kegiatan satu dengan yang lain saling
berinteraksi.
2. Lingkungan Pusat Kota
Perumahan dan permukiman lazimnya membentuk suatu lingkungan
tersendiri agar terhindar dari gangguan kehidupan kota atau polusi.
Walaupun demikian tidak jarang permukiman penduduk ini menelusup ke
lingkungan lain seperti lingkungan perdagangan, perkantoran, pendidikan
bahkan industri. Atas dasar berbagai pertimbangan tersebut, maka dalam
proses perencanaan permukiman dapat dibedakan menurut golongan
tingkat pendapatan penduduk.

8
Oswar mungkasar,perencanaa tata ruang,sebuah pengantar,Vol .11 No. 5,2015,hlm 5-6.

6
3. Lingkungan Khusus
Lingkungan khusus adalah lingkungan yang menurut sifatnya
memerlukan pembinaan khusus, baik ditinjau dari segi keamanan,
ketentraman maupun dari segi penempatannya sendiri. Sehingga nantinya
akan tumbuh dan berkembang dengan ciri khasnya sendiri dan kemudian
akan membentuk suatu area kusus (Specialise Zone). Adapun yang
termasuk dalam lingkungan ini antara lain yaitu lingkungan industri,
kesehatan, perkantoran, pergudangan dan lingkungan-lingkungan lain
yang membutuhkan penempatan khusus.
4. Daerah Hijau
Yang dimaksud dengan daerah hijau adalah daerah yang dimensi adanya
tumbuh-tumbuhan dan pepohonan. Daerah ini diharapkan mampu
berfungsi sebagai paru-paru kota. Wujud fisik daerah hijau dapat berupa
lahan sawah pertanian, hutan buatan, kebun raya, taman kota dan
sebagainya.
5. Jaringan Sirkulasi
Yaitu suatu jaringan jalan yang menghubungkan satu lingkungan dengan
lingkungan yang lain atau dari pusat kegiatan yang satu ke pusat kegiatan
yang lain. Lingkungan sirkulasi dalam kota lazimnya dibedakan dalam :
A. Jaringan Jalan Artileri, yaitu jaringan jalan yang menghubungkan
pusat-pusat kegiatan kota (terminal, pasar, stasiun dan sebagainya)
B. Jaringan Jalan Kolektor, yaitu jaringan jalan yang menghubungkan
antara pusat kegiatan yang satu dengan yang lainnya .
C. Jaringan Jalan Penghubung, yaitu jaringan jalan yang ada dalam
zona zona kegiatan itu sendiri.
Sehubungan dengan ini, dikenal tiga teori mengenai struktur ruang perkotaan,
yaitu : Teori Konsentris (Concentric Zone Theory), Teori Sektor (Sector Zone
Theory) dan Teori Banyak Inti (Multiple Nuclei Theory)
A. Teori Jalur Sepusat atau Teori Konsentrik (Concentric Zone Theory)
Teori Jalur Sepusat atau Teori Konsentrik (Concentric Zone Theory) oleh
E.W. . Burgess. Dikemukakan bahwa kota-kota itu memekarkan diri
bermula dari pusat aslinya, sehingga dengan datangnya tambahan
penduduk nantinya secara bertahap dan meluas ke wilayah-wilayah tepian
keluar. Suatu urban area terdiri dari beberapa concentric zone (daerah
lingkaran). Masingmasing zona mewujudkan suatu natural area khusus
yang letaknya melingkari yang lain. Masing-masing zona memiliki fungsi
yang berbeda-beda. oleh E.W. Burgess yang mengemukakan bahwa kota
terbagi sebagai berikut :
1. Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (central business district atau
CBD) yang terdiri atas bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, dan
pertokoan.
2. Pada lingkaran tengah pertama terdapat jalur alih : ruwah-rumah sewaan,
kawasan industri dan perumahan buruh.
3. Pada lingkaran tengan kedua terletak jalur wisma buruh, yaitu kawasan
perumahan untuk tenaga kerja industri .

7
4. Pada lingkaran luar terdapat jalur madyawisma, yaitu kawasan perumahan
yang luas untuk tenaga kerja halus dan kaum madya (middle class) .
5. Diluar Lingkaran terdapat jalur-jalur penglaju dan sepanjang jalan besar
terdapat perumahan masyarakat madya dan masyarakat atas.

B. Teori Sektor Teori Sektor (Sector Theory)


menurut Humer Hoyt yang menyatakan bahwa proses pertumbuhan kota
lebih berdasarkan sektor-sektor. Hoyt berpendapat bahwa pengelompokan
tata guna tanah menjulur seperti irisan kue tart. Pada kawasan ini terdapat
perbedaan kawasan kota berdasrkan jenis pergedungan maupun kelompok
penduduk tanpa keterangan latar belakang terjadinya. Oleh para ahli
dihubungkan dengan latar belakang geografi alam dari kota-kota serta
rute-rute transportasi. Tanah yang datar memungkinkan pembuatan
jaringan jalan, rel kereta apai, dan terusan yang murah. Akibatnya, kota
dengan pengembangan teori ini cenderung untuk mekar dengan cara
memanjang. Teori Sektor (Sector Theory) menurut Humer Hoyt yang
menyatakan bahwa :
1. Pada lingkaran pusat terdapat pusat kota atau CBD.
2. Pada sektor tertentu terdapat pada kawasan industri ringan dan
kawasan perdagangan.
3. Dekat pusat kota dan dekat dengan sektor tersebut di atas, pada bagian
sebelah menyebelahnya, terdapat sektor tempat tinggal kaum buruh.
4. Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri, serta perdagangan
terletak permukiman golongan atau kelas menengah.
5. Lebih jauh lagi terdapat sektor tempat tinngal golongan atas.

C. Teori Pusat Lipatganda Teori Pusat Lipat Ganda (Multiple Nuclei


Concept) menurut R.D. Mc. Kenzie menyatakan bahwa kota meliputi :
Pusat kota, Kawasan kegiatan ekonomi, kawasan hunian, dan pusat
lainnya. Teori ini umumnya berlaku untuk kota-kota yang agak besar.
Kota terdiri atas:
1. Pusat kota atau CBD .
2. Kawasan Niaga dan Industri ringan .
3. Kawasan tempat tinggal berkualitas rendah .
4. Kawasan tempat tinggal berkualitas menengah.
5. Kawasan tempat tinggal berkualiats tinggi .
6. Pusat industri berat .
7. Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran .
8. Suburban untuk kawasan golongan menengah dan atas .
9. Suburban untuk kawasan industri.9

D. Penataan Ruang dalam Otomoni daerah

9
Muhammda farid,konsitensi perencanaanrencana tata ruang wilayah,perencanaa
pembangunan daerah,Vol.12 no. 8,2011,Hlm 90-92.

8
Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah dan desentralisasi
fiskal di tahun 2001, mulailah era baru dalm sistem pembangunan di
daerah. Pada hakekatnya otonomi daerah mengandung makna yaitu
diberikannya wewenang (outhoruty) pada Pemerintah Daerah (Pemda)
menurut kerangka perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur
kepentingan (interst) daerah masing-masing. Melalui kebijakan otonomi
daerah ini, pemerintah pusat mendesentralisasikan sebagian besar
kewenangannya pada Pemda. Secara konseptual, desentralisasi dapat
dibedakan atas 4 bentuk dengan turunan yang berbeda yakni
1. devolusi, yang merupakan penyerahan urusan fungsi fungsi
pemerintahan dari pusat ke Pemerintah Daerah hingga
menjadi urusan rumah tangga daerah;
2. dekonsentrasi, yang merupakan pelimpahan kewenangan
dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah;
3. delegasi, yang merupakan penunjukkan oleh pemerintah
pusat atau pemerintah atasan kepada pemerintah daerah
untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan
pertangungjawaban kepada atasnya.
4. Privatisasi, yang merupakan pengalihan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada organisasi non pemeriontah baik
yang berorientasi profit maupun non profit. Lazimnya
prinsip devolusi mengacu pada desentralisasi politik,
dekonsentrasi pada pengertian desentralisasi administrasi,
dan delegasi maupun privatisasi sebagai
tugas/subcontracting.
Berlakunya kebijakan ekonomi daerah melalui UU No 22/1999
berimplikasi pada biasnya hirarki dalam sistem perencanaan tata ruang
wilayah. Dengan tidak adanya hirarki antara pemerintah propinsi dan
pemerintah kabupaten/kota, RTRW Nasional dan RTRW Propinsi yang
sebelumnya sebelumnya menjadi pedoman bagi daerah tingkat bawahnya
ps. 20 (3c) dan ps 21 (3d) UU24/1992 dapat menjadi tidak efektif karena
daerah mempunyai kewenangan penuh dalam penataan ruang daerahnya .
Dalam PP No 25/1999 bahkan disebutkan bahwa penyusun RTRWN
berdasarkan tata ruang kabupaten/kota dan propinsi (pasal 2 butir 13 c).
Sementara penyusun RTRWP harus berdasarkan kesepakatan antara
propinsi dan kabupaten/kota (pasal 3 butir 12a). Meskipun pada satu sisi
penataan ruang yang paling fundamental merupakan wewenang daerah,
namun pada sisi lain RTRWP bukanlah mosaik dari kabupaten/kota.
Dalam konteks ini, konsen pemerintah pusat dalam bidang
penataan ruang adalah untuk menjamin :
a) tercapaianya keseimbangan pemanfaatan ruang makro
antara kawasan berfungsi lindung dan budidaya, antara
kawasan perkotaan dan perdesaan, antara wilayah dan antar
sektor.

9
b) tercapainya pemulihan daya dukung lingkungan untuk
mencegah terjadinya bencana yang lebih besar dan
menjamin keberlanjutan pebangunan.
c) terwujudnya keterpaduan dan kerjasama pembangunan
lintas propinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan sinergi
struktur pemanfaatan ruang.
d) terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat (basic needs)
akan pelayanan publik yang memadai.
Di sisi lain, menurut PP 25 Th 2000, kewenangan pusat dalam bidang tata
ruang meliputi :
1) Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara
makro, serta (penetapan) pola dan struktur pemanfaatan ruang
nasional.
2) Fasilitasi kerjasama atau penyelesaian masalah antar
propinsi/daerah, misal melalui penyusun RTRW pulau atau RTRW
kawasan Jabodetabek.
3) Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil dan kriteria penataan
per wilayah ekosistem daerah tangkapan air.
4) Penyiapan standar, kriteria dan fasilitasi kerjasama penataan ruang.
Berkenaan dengan hal tersebut, instrumen pengikat yang dapat digunakan sebagai
acauan sekaligus alat keterpaduan dan kerjasama pembangunan antar daerah
adalah melalui :
a) Instrumen perundang-undangan yang mengikat.
b) Kebijakan-kebijakan yang jelas dan responsif sesuai dengan
kebutuhan daerah.
c) Bantuan dan kompensasi dalam bentuk fiskal.
d) Penyediaan langsung prasarana berfungsi lintas wilayah dan tulang
punggung (backbone) pengembangan wilayah.
e) Mendorong kemitraan secara vertikal dan horizontal yang bersifat
kerjasama pengelolaan (co-management) dan kerjasama produksi
(co-production.10

E. Kewajiban Daerah dalam Menyusun peraturan Daerah Dalam


Penataan Ruang
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, bahwa penyelenggaraan penataan ruang memiliki tujuan
pokok dalam rangka mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berdasarkan wawasan nusantara dan
ketahanan nasional dengan maksud terwujudnya keharmonisan antara
lingkungan alam dan lingkungan buatan; terwujudnya keterpaduan dalam
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan terwujudnya pelindungan
fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat
pemanfaatan ruang. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
10
Hariyanto dan Tukidi,konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang diindonesia, era
otonomi daerah,vol.12 no.2,2013,Hlm 57-58.

10
2007 tentang Penataan Ruang yang kemudian diikuti dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang dimaksudkan sebagai upaya penataan ruang melalui
proses pembentukan regulasi. Melalui aturan dimaksud dinyatakan bahwa
seluruh kabupaten/kota untuk segera menindaklanjuti undang-undang
tersebut dengan menyusun Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW).
Selanjutnya untuk lebih mengoperasionalkan rencana tata ruang
tersebut, maka perlu ditindak lanjuti dengan menyusun Peraturan Daerah
tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan/strategis.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) juga mengamanatkan
urusan penataan ruang daerah agar dikelola dengan baik sebagai urusan
yang menjadi kewajiban masing-masing daerah. Dengan demikian, dikaji
dari sudut landasan yuridisnya, maka penataan ruang di daerah merupakan
salah satu bentuk urusan yang diserahkan sebagai urusan masing-masing
daerah. Namun kenyataannya, hingga saat ini setelah terbitnya undang-
undang tersebut, masih terdapat beberapa kabupaten/kota yang memiliki
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berikut turunannya yang
menghadapi sejumlah masalah dalam implementasinya.11
Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian dan penanganan
masalah pemanfaatan dan pengendalian tata ruang di daerah masih perlu
mendapat perhatian lebih lanjut, karena bagaimanapun juga bahwa
perkembangan kota dan wilayah terus meningkat seiring dengan
meningkatnya populasi penduduk dan kegiatan sosial ekonomi
masyarakat. Kondisi lainnya adalah letak geografis wilayah-wilayah di
Indonesia yang berada pada posisi khatulistiwa sebagai negara kepulauan
dengan iklim tropis lembab, yang berdampak terhadap curah hujan yang
tinggi sehingga rawan terhadap bencana alam, seperti banjir dan longsor,
serta kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan ruang yang tidak
terkendali dan tidak sesuai dengan peruntukannya. Bahaya lain terkait
pemanfaatan ruang yang memberikan dampak luas pada manusia adalah
bahaya kebakaran yang kerap terjadi, khususnya di kawasan perkotaan.
Seluruh dampak dimaksud tentu dapat berujung pada kemunculan
kerugian bagi semua pihak, baik kerugian materil maupun non materil.
Kerugian non materil seperti kerugian moril yang timbul, yaitu kondisi
mental yang menurun atau terganggu karena orang kehilangan harta benda
dan keluarga akibat bencana.
11
William Chambliss dan Robert B.Seidman, dalam Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah
Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama, 2005, hlm. 83.

11
Perkembangan penataan ruang di Indonesia awalnya belum diikuti
dengan kajian khusus secara hukum, kalaupun ada masih bersifat serpihan,
parsial, dan tidak utuh menyeluruh. Adanya otonomi daerah dan
pemberian kebebasan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri
dari segi administrasi, operasional dan lain-lain dipandang sebagai suatu
langkah kebijakan yang baik. Namun apabila dilihat dari sudut penataan
ruang, hal ini justru tidak jarang memunculkan permasalahan baru.12
Fakta yang terjadi belakangan ini menunjukkan adanya beberapa
isu strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional. Pertama,
terjadinya konflik kepentingan antar sektor, seperti pertambangan,
lingkungan hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya; kedua,
belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka
menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan
program sektor; ketiga, terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari
ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah
inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam
pengendalian pembangunan; keempat, belum tersedianya alokasi fungsi-
fungsi yang tegas dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN); kelima, belum adanya keterbukaan dan keikhlasan dalam
menempatkan kepentingan sektor dan wilayah dalam kerangka penataan
ruang; dan keenam, kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan
membela kepentingan masing-masing secara berlebihan.
Di tingkat daerah juga ditemukan adanya sejumlah isu strategis
dalam hal penataan ruang wilayah. Kendati kemudian Peraturan Daerah
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah serta Rencana Detail Tata Ruang
sudah disahkan, namun hal demikian tidak otomatis dapat dipandang
bahwa proses penataan ruang sudah dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Ada banyak faktor yang kemudian menyebabkan regulasi
bidang penataan ruang tidak berjalan maksimal, misalnya dikarenakan
adanya perubahan peruntukan ruang yang tidak dipikirkan sebelumnya
pada saat penyusunan regulasinya. Artinya, sangat mungkin terjadi
munculnya kendala penerapan regulasi tata ruang dikarenakan kurang
terjangkaunya berbagai persoalan yang ada dalam regulasi dimaksud.
Selain itu, perlu juga dipahami bahwa kegagalan dalam perencanaan salah
satunya dapat bersumber pada penyusunan perencanaan yang tidak tepat
serta ketersediaan informasi yang kurang akurat.
Suatu wilayah tentunya akan tumbuh dan berkembang dengan
berbagai dinamikanya, khususnya sejak era otonomi daerah yang
kemudian membutuhkan pengaturan dan pengendalian pemanfaatan ruang
yang baik sehingga pembangunan fisik wilayah dapat berjalan sesuai
dengan rencana peruntukannya. Hal demikian sangat logis dijadikan
sebagai alasan dalam rangka menyempurnakan berbagai kelemahan
regulasi penataan ruang wilayah. Selain itu, komitmen bangsa Indonesia
12
Epi Syahadat dan Subarudi Subarudi. "Permasalahan Penataan Ruang Kawasan Hutan dalam
rangka Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi." Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol .9
no.2 ,2012, hlm 131-143.

12
sebagai negara hukum yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 harus mampu
menjamin kesejahteraan rakyat, meliputi aspek yang sangat luas terdiri
dari aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya yang sangat dibutuhkan
bagi kehidupan masyarakat. Untuk itu, maka hukum dalam pembangunan
harus menjadi salah satu sarana yang harus mampu mendorong proses
modernisasi, sejalan dengan fungsi tersebut maka pembentuk undang-
undang meletakan berbagai landasan yuridis dalam melakukan berbagai
kegiatan pembangunan, salah satunya adalah UU tentang Penataan Ruang
Menurut Janpatar Simamora bahwa ide maupun konsep negara hukum
pada umumnya dimaksudkan dalam rangka menghinadari negara atau
pemerintah dari perbuatan sewenang wenang. Karena bagaimanapun,
bahwa suatu pemerintahan yang tidak dikontrol dengan perangkat hukum
yang tegas dan konkret akan sangat rentan dengan berbagai bentuk
penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan pada era modern
sekarang, dapat dikatakan bahwa merupakan suatu negara yang sangat
relevan dan ideal bila kemudian segala rangkaian kegiatan kenegaraannya
didasarkan pada mekanisme hukum yang jelas dan tegas. Oleh sebab itu,
mengingat betapa urgennya penataan ruang dalam rangka mewujudkan
pembangunan berkelanjutan, maka regulasi penataan ruang harus disusun
dan dibentuk sedemikian rupa dengan mencerminkan berbagai aspek yang
saling berkaitan untuk kemudian dirumuskan menjadi aturan hukum.
Proses penyusunan sampai dengan penegakan aturan dimaksud harus
sejalan pula dengan konsep bangsa Indonesia sebagai negara hukum demi
mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
digariskan dalam konstitusi.13

BAB III
PENUTUP

13
Suyitno Y. Imran, Fungsi Tata Ruang dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Kota
Gorontalo, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 3 September 2013, hlm. 457-458.

13
KESIMPULAN
Tata Ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan
agar terwujud alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan tingkat
perkembangan wilayah. Maka dengan berbasis penataan ruang, kebijakan
pembangunan akan mewujudkan tercapainya pembangunan berkelanjutan yang
memadukan pilar ekonomi, sosial budaya dan lingkungan (Kementerian Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Berdasarkan Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, maka ruang didefinisikan sebagai
wadah yang meliputi ruang darat, ruang uadara dan ruang laut, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Penataannya perlu didasarkan pada pemahaman potensi dan keterbatasan
alam, perkembangan kegiatan sosial ekonomi yang ada, serta tuntutan kebutuhan
peri kehidupan saat ini dan kelestarian lingkungan hidup di masa yang akan
datang. Upaya pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan ini dituangkan
dalam suatu kesatuan rencana tata ruang. Dalam rangka mewujudkan konsep
pengembangan wilayah yang didalamnya memuat tujuan dan sasaran yang
bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang
yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama.
Beragam peran dari perencanaan tata ruang, menghasilkan kondisi
pencapaian kualitas kehidupan dan penghidupan yang lebih baik,memenuhi tujuan
efisiensi dan demokrasi melalui partisipasi masyarakat,memenuhi tantangan
pembangunan berkelanjutan. Peran perencanaan tata ruang dalam pembangunan
telah dikenali sejak lama, dan dituangkan dalam berbagai dokumen pertemuan
resmi internasional.
Untuk merencanakan suatu tata ruang kota menurut Robinson Tarigan
(2009:122) diperinci menurut komponen, Lingkungan Pusat Kota, Lingkungan
Pusat Kota,lingkungan khusus,daerah Hijau,jaringan sirkulasi.
Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal di
tahun 2001, mulailah era baru dalm sistem pembangunan di daerah. Pada
hakekatnya otonomi daerah mengandung makna yaitu diberikannya wewenang
(outhoruty) pada Pemerintah Daerah (Pemda) menurut kerangka perundang-
undangan yang berlaku untuk mengatur kepentingan (interst) daerah masing-
masing. Melalui kebijakan otonomi daerah ini, pemerintah pusat
mendesentralisasikan sebagian besar kewenangannya pada Pemda.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, bahwa penyelenggaraan penataan ruang memiliki tujuan pokok dalam
rangka mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berdasarkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan
maksud terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan; terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

14
DAFTAR PUSTAKA

15
Janpatar Simamora. 2022. Urgensi Regulasi Penataan Ruang Dalam
Pembangunan,jurnal magister hukum,4 (1), 60.
Ahmad Jazuli.2017.Penegakan Hukum Penataan Ruang dalam Rangka
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan.Jurnal Rechtsvinding, 6 (2),
273-274.
Islamy, M. Irfan.2002. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta :
Bumi Aksara.
Budiharjo, Eko.1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung : Penerbit Alumni.
Ruslan Prijadi.2001. Manajemen Perkotaan di Era Globalisasi–
Desentralisasi,Jurnal Manajemen Perkotaan. 10 (07). 156-157.
Muhammda farid.2011.konsitensi perencanaanrencana tata ruang
wilayah,perencanaa pembangunan daerah.12 (8) . 67-68.
Hariyanto dan Tukidi. 2013 . konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang
diindonesia, era otonomi daerah.12 ( 2 ).50-52.
Oswar mungkasar. 2015 . perencanaa tata ruang,sebuah pengantar, 11 ( 5 ).5-6.
William Chambliss dan Robert B.Seidman. 2005. dalam Esmi Warassih, Pranata
Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru Utama.
Epi Syahadat dan Subarudi Subarudi. 2012 ."Permasalahan Penataan Ruang
Kawasan Hutan dalam rangka Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi."
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 9 ( 2 ).131-143.
Suyitno Y. Imran. 2013. Fungsi Tata Ruang dalam Menjaga Kelestarian
Lingkungan Hidup Kota Gorontalo, Jurnal Dinamika Hukum, 13 (3)
.457-458.

16

Anda mungkin juga menyukai