Anda di halaman 1dari 9

Antara Penataan Kota dan Kesejahteraan 21 November 2007 oleh adjhee

Selamat datang di kota, tempat yang sangat berbeda dengan desa pastinya. Disini ditemukan berbagai macam kegiatan yang tak pernah berhenti selama seharian penuh, disini pula semua suka-cita, duka, harapan, dan kenyataan diatas realita yang ada. Kehidupan di kota yang penuh dengan gemerlapan dan kesuraman berbaur menjadi satu dan menghasilkan kehidupankehidupan yang memiliki banyak ragam.

Pada tulisan ini kami membahas tentang korelasi yang terjadi antara tata kota dan kesejahteraan yang didapatkan masyarakat atas penataaan ruang dan wilayahnya. Benarkah tata kota bisa menjamin kesejahteraan rakyat yang hidup didalamnya menjadi baik atau bahkan menjadi lebih sulit bahkan tertindas dengan berbagai kebijakan yang nantinya justru merugikan masyarakat.

Bagian-bagian yang diapaparkan tulisan ini adalah apakah tata ruang yang ada di perkotaan ini telah mencukupi untuk menjadikan masyarakat tersebut sejahtera dan maju, solusi-solusi yang ada untuk membenahi tata ruang di perkotaan untuk menjadi lebih baik dan maksimal penaganannya.

Pada tulisan ini sebagian besar bahasan kami mengambil contoh kasus dan kenyataan-kenyataan dari kota-kota yang terbesar di Indonesia, khususnya Jakarta. Semoga tulisan ini dapat menjadikan bahan wacana yang cukup bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca secara luas.

Definisi Kota

Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum.

Dalam konteks administrasi pemerintahan di Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang walikota. Selain kota, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kabupaten. Secara umum, baik kabupaten dan kota memiliki wewenang yang sama. Kabupaten bukanlah bawahan dari provinsi, karena itu bupati atau walikota tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Kabupaten maupun kota merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri.

Dahulu di Indonesia istilah kota dikenal dengan Daerah Tingkat II Kotamadya. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, istilah Daerah Tingkat II Kotamadya pun diganti dengan kota saja. Istilah Kota di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disebut juga dengan Banda[1]

Ada pula yang mendefinisikan kota sebagai pusat pertumbuhan, ekonomi, dan kebudayaan; kota juga merupakan suatu daerah yang dipenuhi dengan kesibukan dan berbagai aktifitas lainnya.[2]

Definisi Tata Kota dan Ruang Wilayah

Menurut Erna Witoelar kegiatan penataan ruang pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan memperhatikan keunggulan komparatif di suatu wilayah, dan mengurangi kesenjangan pembangunan dengan mengurangi kawasan-kawasan yang miskin, kumuh dan tertinggal.[3]

Menurut Slamet Darwani, tata ruang kota dan wilayah itu adalah menentukan, merencanakan, dan memastikan bagaimana penggunaan ruang secara proporsional sehingga area yang ada di Jakarta dapat memenuhi aspek kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup pada kawasan kota tersebut ketiga aspek tesebut sangat penting bagi keamanan, kesejahteraan, dan kemajuan pada masyarakat yang tinggal pada kawasan tersebut.[4]

Menurut Nurkholis Hidayat, tata ruang kota dan wilayah itu adalah suatu usaha pemegang kebijakan untuk menentukan visi ataupun arah dari kota yang menjadi tanggung jawab pemegang kekuasaan di wilayah tersebut.[5]

Menurut Abidin Kusno, tata ruang tidak hanya berupa tampak fisik dari lingkungan saja tapi juga mempengaruhi pengakuan identitas. Baik individual atau kolektif. Ruang dengan kapasitas tersebut bisa menghapuskan identitas individu ataupun komunitas bahkan populasi sekalipun, melalui ( sains, tekhnologi, dan ekonomi ) ilmu pengetahuan, politik etik dan simbol-simbol ritual yang dibuat oleh aparat-aparat kekuasaan.[6]

Tata kota menurut Dinas Tata Kota DKI Jakarta adalah suatu upaya untuk mewujudkan Tata Ruang yang dapat Mewadahi Kegiatan Seluruh Warga secara Berkesinambungan dan Siap Menghadapi Tantangan Globalisasi Dunia. Dengan memiliki visi sebagai berikut :

Adapun Misi Dinas Tata Kota adalah :

1. Menjabarkan kebijakan pengembangan kota ke dalam rencana rinci tata ruang kota. 2. Menumbuhkembangkan profesionalitas SDM dalam penataan ruang kota. 3. Memperkuat dan memberdayakan manajemen penataan ruang kota. 4. Mengembangkan aplikasi Teknologi Informasi dalam penataan ruang kota.[7]

Tata Ruang Kota dan Kesejahteraan Penduduk

Sebaiknya dan seharusnya bagi para stakeholder yang akan melakukan program penataan ruang dan kota agar tidak terjadi tumpang-tindih dan banyak ketimpangan yang menyebabkan dampak sosial dan alam lingkungan hendaknya memperhatikan dengan apa yang disebut dengan HAL (Hak Atas Lingkungan) yang memeiliki kedudukkan tak kalah pentingnya dengan HAM (Hak Asasi Manusia).

Diantara penjelasan tentang HAL itu adalah Hak atas lingkungan hidup (HAL) sangat terkait dengan hak kolektif rakyat sebagai pencapaian kualitas hidup teringgi manusia. Seperti halnya Konsep HAM modern telah memberikan penekanan khusus pada persamaan.

Jika melihat teksturnya, ada dua lapisan tekstur hak kolektif dalam melihat konsep HAL sebagai hak asasi rakyat, yaitu hak kolektif struktural dan hak kolektif kultural. Yang dimaksud dengan hak kolektif struktural adalah hak rakyat dalam suatu territorial Negara ditetapkan berdasarkan regulasi Negara secara kolektif dan menjadi kewajiban Negara dalam menjamin, melindungi serta memenuhi, rakyat secara politik berkan semua hak ikut menentukan semua bentuk pembangunan dan menikmati lingkungan hidup berdasarkan pada standar kehidupan yang diinginkan rakyatnya, seperti pemenuhan atas kebutuhan pembangunan, pemenuhan atas kesejahteraan serta pemenuhan atas keadilan sosial.

Sedangkan hak kolektif kultural merupakan sebuah sistem yang telah menjadi identitas sosial dan budaya dalam suatu komunitas tertentu, sistem tersebut memiliki latar belakang sejarah yang mengandung nilai-nilai tertentu, sebagaimana telah menjadi bahagian tata kehidupan dimasa lalu, masa kini dan diyakini sebagai pilihan hidup untuk dipertahankan bagi kehidupan dimasa mendatang. Seperti hak-hak komunal bagi masyarakat adat. [8]

Dari beberapa definisi yang dipaparkan diatas setidaknya dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya pola penerapan penataan kota, ruang dan wilayah di suatu daerah bertujuan untuk memajukan tingkat taraf kehidupan masyarakat menjadi lebih baik atau masyarakat menjadi lebih sejahtera. Terlebih lagi bila pola penataan ruang yang dilakukan mengindahkan batasan-batasan HAL (Hak Atas Lingkungan) tersebut. Hal ini semata-mata tak lain untuk menghindari bencana alam yang tak diduga kehadirannya sehingga pola pengatasannya sudah dilakukan secara antisipatif.

Tata ruang dapat memberikan kesejahteraan bagi para penduduknya ialah dengan memenuhi aspek kegiatan sosial, kegiatan, ekonomi, dan kegiatan lingkungan hidup yang ada di daerah sekitar kawasan tersebut. Diantara ketiga aspek tersebut seharusnya terjadi sinergitas, perimbangan, tetapi bila

tidak maka penataan ruang tidak akan memberikan kenyamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar daerah penataan ruang tersebut.[9]

Namun kenyataannya di kota besar pola-pola penerapan penataan ruang kota dan wilayah justru terjadi sebaliknya bahkan hal tersebut bertolak belakang dari deskripsi yang dijabarkan oleh misi dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta. Khususnya di Jakarta dimana pola-pola pembangunan menjadi semakin tak mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan secara benar dan tepat, terbukti dengan adanya bangunan-bangunan yang diizinkan oleh pihak PEMKOT ( pemerintah kota ).

Sikap yang diambil oleh PEMKOT adalah selalu merugikan warganya. Bahkan ketika peristiwa banjir kemarin pemerintah Jakarta khususnya tidak bisa berbuat banyak akibat dengan mudahnya memberikan izin pembangunan kepada para investor dan pengembang untuk membuat gediung-gedung pencakar langit, ruko, dan perumahan. Sehingga tak jarang hunian serba mewah di beberapa ruas kota Jakarta sempat terendam banjir cukup lama bahkan diikuti dengan banjir susulan.

Apakah Tata Ruang Saat Ini Telah Mencukupi

Slamet Darwani dari WALHI menjelaskan bahwa semsetinya fungsi dari perangkat penataan ruang adalah bagaimana mampu menjaga keseimbangan ekologis sehingga dapat mencegah bencana-bencana ekologi seperti banjir, krisis air, dan pencemaran udara, sedangkan sebagaimana penjelasan sebelumnya perangkat yang paling penting setelah ekologis adalah fungsi sosial, fungsi sosial ini bermakna dimana terdapat ruang interaksi, rekreasi, relaksasi, sehingga terjadi hubungan interaksi antara satu individu dengan individu yang lainnya yang akan mencipatakan suatu keharmonisan. Padahal untuk menjaga situasi ekologi di perkotaan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1988 mengeluarkan instruksi MENDAGRI No 14 / 1988 dimana di salah satu poinnya adalah setiap kota harus menyediakan ruang terbuka hijau hingga 40 sampai 60 persen. Sedangkan mirisnya di Kota Jakarta tahun 2001 hanya terdapat 9 persen ruang terbuka hijau sehingga akhirnya itu menimbulkan bencana ekologis, dan krisis sosial tersendiri karena lingkungan sudah sangat sulit sekali untuk menjadi dinamis.

Menurutnya penataan ruang sangat mempengaruhi kesejahteraan disebabkan hal itu sangat berakibat pada kesejahteraan seluruh makhluk yang hidup didalamnya. Sebab bila penataan ruang tidak berjalan dengan baik dan maksimal maka akan menyebabkan potensi-potensi keamanan yang terganggu dan bencana ekologis seperti yg diutarakan sebelumnya.[10]

Penelitian tentang wujud kesemrawutan tata kota di Jakarta yang pernah dialami oleh Lea Jellinek pun sama ketika ia melakukan riset di daerah Kebun Kacang. Sebagaimana yang dipaparkan olehnya dibagian pendahuluan ialah adanya perbedaan pandangan anatara penduduk kampung da perencana kota di Jakarta termuat dalam literatur mengenai pembangunan kota-kota lain. Banyak sarjana membuktikan bahwa daerah-daerah kumuh dan kegiatan-kegiatan untuk menghasilkan pendapatan berskala kecil (sektor informal) akan terus berlangsung. [11]

Solusi dan Secercah Harapan

Setidaknya bagi WALHI hal ini masih bisa di atasi dan masih bisa mendapatkan solusi seperti yang paling penting adalah persoalan-persoalan dan bencana ekologis yang terjadi akibat buruknya ruang di kota Jakarta itu seharusnya menjadi titik poiin untuk membuat langkah kebijakan untuk membangun kota Jakarta yang lebih baik, yang berikutnya adalah hal yang paling penting dengan melihat kondisi dan latar belakang sebelumnya kalau ingin menghindari bencana ekologis maupun krisis / kerawanan sosial yang terjadi di kota Jakarta tentu pemerintah harus memperbaiaki penataan ruang dalam artian kawasan-kawasan penyangga, kawasan-kawasan public (public space) sehingga masyarakat dapat menikmati kawasan lingkungan yang sehat dan warga mampu saling berinteraksi. Dan hal itu mungkin jika pemerintah tidak berorientasi pada ekonomi saja melainkan harus berproyektif bagaimana lingkungan sosial menjadi orientasi utama dalam penataan ruang yang lebih baik.[12]

Penutup

Demikianlah setidaknya apa-apa yang menjadi dari dimensi tata ruang kota dan penataan wilayah di Jakarta khususnya, sedangkan kemungkinan besar di kota lain pun tak jauh berbeda sebagai contoh di Surabaya dimana adanya

pola penataan truang yang tak beraturan, banyaknya pungli yang diberlakukan, perizinan pembangunan yang seringkali disalah gunakan, persoalan-persoalan sektor informal yang semakin tak jelas dan hampir setiap hari rakyat kecil berhadapan dengan SATPOL PP yang tak pernah henti juga mensweeping para warga untuk mentaati aturan tata kota, namun bagi pihak konglomerat pen sweepingan itu sangat jarang sekali dilakukan.

Demikianlah makalh yang dapat kami buat sebagai bahan UAS sekaligus UTS dri mata kulaih Sosiologi Perkotaan. Mungkin masih banyak keurangan termasuk deskripsi teori kota yang kami hanya mengambil dan menmukannay dari beberapa website yang menjadi footnote tersebut. Kurang lebihnya kami mohon maaf.

Daftar Pustaka

Jellinek, Lea, Seperti Roda Berputar, LP3ES: Jakarta, Mei 2005

Saleh, M. Ridha, Hak Atas Lingkungan Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia, KP.03/WALHI/09/04, WALHI.

Abidin Kusno, Ruang, Kekuasaan dan Identitas Dalam Konteks Urban di Indonesia: Pendekatan Historikal, dalam Berita LBH Jakarta, Nomor: 11 / Oktober / 2006.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota

http://www.brainyquote.com/words/ci/city144378.html

http://www.thefreedictionary.com/city

www.penataanruang.pu.go.id/taru/Makalah/Men_Seminar050601_reformasipe

rkotaan.doc -

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kota dan http://www.brainyquote.com/words/ci/city144378.html

[2] http://www.thefreedictionary.com/city

[3] www.penataanruang.pu.go.id/taru/Makalah/Men_Seminar050601_reformasipe rkotaan.doc -

[4] Slamet Darwani ( Ketua WALHI Jakarta ), interview pada 9 Mei 2007 pada pukul 11.45 wib di sekretariat WALHI Jakarta-Pejaten.

[5] Nurkholis Hidayat ( Tim Advokasi LBH Jakarta ), interview pada 9 Mei 2007 pada pukul 13.30 wib di secretariat LBH Jakarta Jl. Diponegoro

[6] Abidin Kusno, Ruang, Kekuasaan dan Identitas Dalam Konteks Urban di Indonesia: Pendekatan Historikal, dalam Berita LBH Jakarta, Nomor: 11 / Oktober / 2006.

[7] http://dtk.jakartamirror.com/index.php? option=com_content&task=view&id=1&Itemid=1

[8] Hak Atas Lingkungan Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia, hal. 27-28.

[9] Slamet Darwani, Bincang Bersama WALHI Jakarta

[10] Slamet Darwani, Ibid

[11] Lea Jellinek, Seperti Roda Berputar, hal 10

[12] Slamet darwani, Opcit

Anda mungkin juga menyukai