Anda di halaman 1dari 24

Permasalahan Perkotaan Studi Kasus Kota Medan

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perencanaan


Perkotaan Semester 2 Tahun Akademik 2017/2018

Oleh :
Juniardi Hermawan 10070315033
Muhammad Alif Dliyan Y 10070315044
Cut Qisthi Amelia 10070315064
Raden Anggara Arisyanto 10070316007
Mochamad Iqbal Ibrahim 10070316125

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2018 M / 1439 H
1. Pengertian Kota
Menurut Amos Rapoport, Kota adalah suatu permukiman yang relative besar,
padar dan permanen, terdidi dari kelompok individu yang heterogen dari segi sosial.
Kota merupakan tempat bergabungnya berbagai hal dan merupakan kumpulan
keanekaragaman banyak hal. Berbagai strata masyarakat bergabung dalam satu
tempat yang dinamakan kota. Begitu juga dengan kegiatan ekonomi saling melengkapi
dan saling bergantung. Kota juga merupakan symbol dari kesejahteraan, kesempatan
berusahan dan dominasi terhadap wilayah sekitarnya. Namun kota juga merupakan
sumber polusi, kemiskina dan perjuangan untuk berhasil (Zahnd, 2006).
Menurut Bintarto, Kota adalah sebagai kesatuan jaringan kehidupan manusia
yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata
sosial ekonomi yang heterogen serta coraknya materialistis. Masyarakat kota terdiri atas
penduduk asli daerah tersebut dan pendatang. Masyarakat kota merupakan suatu
masyarakat yang heterogen, baik dalam hal mata pencaharian, agama, adat, dan
kebudayaan.
Peraturan Mendagri RI No.4 Tahun 1980, Kota adalah suatu wadah yang
memiliki batasan administrasi wilayah seperti kotamadya dan kota administratif. Kota
juga berarti suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris,
misalnya ibukota kabupaten, ibukota kecamatan yang berfungsi sebagai pusat
pertumbuhan.
Menurut Amos Rapoport dalam Zahnd (2006), ada sepuluh kriteria yang secara
lebih spesifik untuk merumuskan kota, yaitu sebagai berikut:
1. Ukuran dan jumlah penduduknya yang besar terhadap massa dan tempat;
2. Bersifat permanen;
3. Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat
4. Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan oleh jalur jalan dan
ruang-ruang perkotaan yang nyata;
5. Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja;
6. Fungsi perkotaan minimum yang terperinci, yang meliputi sebuah pasar, sebuah
pusat administrative atau pemerintahan, sebuah pusat militer, sebuah pusat
keagamaan atau sebuah pusat aktivitas intelektual bersama dengan
kelembagaan yang sama;
7. Heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hirarki pada masyarakat;
8. Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah pertanian ditepi
kota dan memproses bahan mentah untuk pemasaran yang lebih luas;
9. Pusat pelayanan bagi daerah-daerah lingkungan setempat;
10. Pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada masa dan
tempat itu.
Selain itu sebuah permukiman dapat dirumuskan sebagai sebuah kota bukan
dari segi ciri-ciri morfologi tertentu, atau bahkan kumpulan ciri-cirinya saja, melainkan
dari segi suatu fungsi khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-
ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar
berdasarkan hirarki-hirarki tertentu (Rapoport, 1987). Artinya ciri-ciri morfologi, bentuk
dan wujud suatu kota dapat sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah
lainnya, namun beberapa prinsip dan eliemen arsitektur perkotaan tetap dapat diamati
dimanapun terkait dalam susunannya.
Kota adalah daerah yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, dan
kebudayaan. Pada umumnya kota mempunyai ciri-ciri banyaknya fasilitas umumyang
tersedia (seperti pertokoan, rumah sakit dan sekolah). Selain itu, lapangan pekerjaan di
kota lebih beragam dibandingkan di desa. Pada umumnya para pekerja membentuk
organisasi berdasarkan pekerjaan atau profesi. Beberapa organisasi dibentuk
berdasarkan kesamaan kepentungan dan gaya hidup seperti, organisasi dokter,
organisasi pencinta buku, dan lain-lain. Dalam kehidupannya, penduduk kota
memerlukan banyak pelayanan seperti listrik, air, sanitasi, telepon dan angkutan umum.
Oleh sebab itu, kota memerlukan pengelolaan, pengaturan dan penanganan yang
matang agar semua kegiatan berlangsung dengan baik.

Asas Penataan Ruang Dalam Perkotaan


(Rahardjo Adisasmita, 2005) Kota meliputi beberapa bagian wilayah kota atau
kawasan kota masing-masing. Dalam penataan ruang kawasan kota, beberapa asas
yang seharunya diterapkan adalah sebagai berikut:
 Asas Merata
Pembangunan dilaksanakan secara merata keseluruh bagian kawasan kota.
Agar dihindari terjadinya kepadatan pembangunan yang tinggi pada suatu atau
beberapa bagian wilayah kota. Hal ini akan menimbulkan dampak negative, yaitu dalam
bentuk ketidakefektifan dan ketidakefisienan. Asas merata sering dikonotasikan dengan
pengertian adil.
 Asas Interaktif
Interaktif memperlihatkan saling keterkaitan pembangunan antara bagian
wilayah kota secara intensif sehingga dampaknya saling menunjang, maka pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya pembangunan dilakukan secara optimal, yang berarti
pula secara efektif dan efisien.
 Asas Responsif
Dimaksudkan masing-masing bagian wilayah kota bersikap tanggap untuk
memanfaatkan setiap peluang pembangunan dan pertumbuhan dalam bentuk kegiatan
pembangunan, baik yang bersifat peningkatan maupun yang bersifat penunjang secara
sectoral dan regional.
 Asas manfaat yang optimal
Secara optimal berarti setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan itu
disesuaikan dengan potensi dan fungsi lahan dengan demikian dapat dihindari benturan-
benturan kepentingan dari berbagai kelompok dalam masyarakat, yang berarti dapat
dihindari terjadinya dampak negative, atau dapat diperoleh manfaat.
 Asas Aksesbilitas
Asas ini menekankan kemudahan hubungan akan mendorong arus barang dan
arus manusia secara cepat (lancar), aman, dan murah sehingga menunjang
pedagangan dalam lingkup kawasan kota secara efisien.

Permasalahan Perkotaan
Permasalahan Kota di kehiduoan kota semakin tidak jelas dan rumit. Kota sudah
kehilangan ketenangan dan kebijakansanaan. Kehidupan di kota dewasa ini seyogyanya
berada dalam panggung utama secara politis dan etis dalam mengusung cita-cita hak
asasi manusia (human right cities). Terdapat upaya dan energi dalam tersebut dalam
membangun sebuah kota yang lebih baik yang dilakukan secara topdown maupun
bottom up. Namun sebagian terbesar konsep-konsep yang bergulir itu, secara mendasar
tidak menantang hegemoni logika pasar liberal dan neoliberal, ataupun modus dominan
dari tindakan dan legalitas negara. Kita malah hidup di dunia dimana hak-hak pemilikan
pribadi, perkara dan penguasaan tingkat profit (capital) membayangi segenap
pemaknaan tentang hak. Yaitu Hak Atas Kota.
Hak atas kota bukan hanya semata kebutuhan individu saja yang dapat
mengaksaes sumber daya urban, melainkan hak untuk merubah diri sendiri dengan cara
merubah kota, sebagai tempat bahwa masyarakat dapat memenuhi kebutuhan ekonomi
dan penghidupannya, sehingga kota memiliki arena kontestasi hidup dan penghidupan
warganya. Hak atas kota merupakan hak umum ketimbang individual, nyatanya
pembentukan kota yang di akibatkan adanya urbanisasi memainkan peran untuk
meningkatkan permainan kaum kapital. Pola kehidupan kota membuktikan bahwa politik
membuat akses sumberdaya kota semakin meningkat karena banyaknya pembangunan
yang terjadi. Kejadian ini terus terjadi hampir diseluruh dunia tidak terkecuali Bandung
dan Jakarta.
Menurut Lefebvre, ha katas kota terdiri dari dua hak utama, yakni ha katas
pemantasan kota dan partisipasi. Yang dimaksud dengan pemantasan tersebut yakni
hak masyarakat kota untuk menggunakan sepenuhnya ruang-ruang kota untuk
kehidupan sehari-hari yang meliputi bermain, bekerja, dan kegiatan-kegiatan lainnya
yang menggambarkan kota pada umumnya, bukan justru digunakan oleh golongan-
golongan tertentu atau dengan kata lain dilakukan privatisasi ruang kota. Sedangkan
yang hak atas partisipasi dalam hal ini merupakan hak untuk berperan dalam proses
pembuatan keputusan dalam pengadaan ruang-ruang kota.
Dikutip dari buku Cities for All, Proposals and Experiences toward the Right to
the City yang diterbitkan oleh Habitat International Coalition (HIC), ha katas kota dapat
terwujud apabila masyarakat menjamin untuk adanya peran penuh sebagai warga
negara dalam berbagai hal berikut:
 Manajemen demokrasi kota;
 Kesetaraan tanpa diskriminasi;
 Perlindungan special untuk kelompok orang-orang yang menghadapi masalah
genting;
 Komitmen sosial dari sektor privat;
 Stimulant untuk solidaritas ekonomi;
 Perencanaan sosial dan manajemen kota;
 Lingkungan sosial yang mendukung kehidupan sosial yang produktif;
 Pengembangan kota yang setara dan berkelanjutan;
 Hak atas informasi public;
 Kebebasan dan integritas;
 Hak atas keadilan;
 Hak atas keamanan, kedamaian, adanya dukungan dan dorongan untuk
kehidupan yang multicultural;
 Hak atas air, akses, dan kelengkapan fasilitas umum kota dan domestic;
 Hak atas transportasi public dan mobilitas kota;
 Hak atas permukiman;
 Hak atas pekerjaan;
 Hak atas lingkungan yang bersih dan berkelanjutan.
Jika tujuh belas poin tersebut dikaitkan dengan pendapat Lefebvre, maka
idealnya, tidak ada pengecualian untuk setiap individu dalam pemanfaatan ruang kota.
Bahkan, sudah seharusnya masyarakat itu sendiri yang terlibat dalam pengadaan
seluruh komponen tersebut. Tetapi pada kenyataannya belum banyak kota yang bisa
mewujudkannya. Alasannya karena pemerintah atau para pemangku kepentingan
terdistraksi dengan tujuan-tujuan lain dan banyak terpengaruh oleh neoliberalisme,
sehingga kota bukan untuk kepentingan kolektif tetapi untuk kepentingan para pemilik
modal masif. Hal tersebut menyebabkan adanya kelompok-kelompok lain yang
kepentingannya tersingkirkan dan menjadi kaum marjinal. Dalam hal ini, yang tergolong
kaum marjinal sangatlah banyak, ada kelompok masyarakat berpendapatan rendah,
masyarakat sektor informal, penyandang disabilitas, Orang dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ), Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), orang tua, kelompok suku tertentu, anak-
anak, waria, dan masih banyak lagi.

1.1 Studi Kasus : Pengaruh Perkembangan Perumahan, Gedung,


Perdagangan, dan Gedung Rekreasi Terhadap Ruang Terbuka Hijau Kota
Medan
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mengalami masalah
pertambahan penduduk yang dapat dikatakan relative cepat. Pertambahan penduduk ini
terjadi d beberapa kota di Indonesia, salah satunya adalah Kota Medan. Kota Medan
merupakan Kota terbesar ke 3 setelah Jakarta dan Surabaya yang memiliki jumlah
penduduk relative besar, hal ini terjadi karena adanya arus urbanisasi yang tidak
terkendalikan sehingga mengakibatkan pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat
tiap tahunnya. Menurut Data Badan Pusat Statistik Sumatera Utara jumlah penduduk
Kota Medan pada tahun 2015 adalah 2.210.624 jiwa dan akan terus bertambah ditahun-
tahun berikutnya dengan rata-rata angka Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kota
Medan sebesar 0,26%/ tahun.
Namun semakin bertambahnya jumlah penduduk perkotaan memicu
peningkatan aktivitas ekonomi public di Kota Medan. Oleh karena itu menyebabkan
kebutuhan penduduk terhadap barang publik dan barang privat meningkat. Kebutuhan
barang publik yaitu kebutuhan terhadap ruang terbuka hijau kota sebagai paru-paru Kota
Medan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk. Sedangkan kebutuhan
barang privat yang dimaksud adalah kebutuhan perumahan yang menjadi kebutuhan
dasar penduduk dan sarana prasarana fisik lainnya seperti gedung perdagangan dan
gedung rekreasi yang dibangun karena adanya konsumsi public terhadap barang-
barang tersebut.
Pembangunan yang semakin pesat di daerah perkotaan yang dilakukan oleh
pihak swasta terhadap barang privat (rumah, gedung perdagangan, dan gedung
rekreasi) terjadi karena adanya pola konsumsi penduduk yang modernisasi. Penduduk
Kota Medan lebih suka berwisata kuliner ke café dan restoran, menghabiskan waktu
libur untuk menonton ke gedung rekreasi. Bahkan penduduk yang berada di luar Kota
Medan banyak yang berlibur ke Kota Medan dan menginap di hotel yang ada di Kota
Medan. Konsumsi masyarakat yang semakin meningkat dipicu karena faktor
pendapatan perkapita penduduk yang semakin membaik. Hal ini sejalan dengan teori
Keynes yang menyatakan bahwa konsumsi yang meningkat akibat dari meningkatnya
pendapatan. Meningkatnya konsumsi public terhadap barang privat tersebut membuat
pihak swasta melihat peluang dengan melakukan investasi dibidang pemabngunan
property atau gedung-gedung tersebut dengan tujuan mencari keuntungan (Giras
Pasopati, 2017).
Akan tetapi, pesatnya pembangunan barang-barang privat tersebut
mengakibatkan masalah baru yaitu adanya konversi lahan dari peruntukkan barang
publik menjadi barang privat. Kota mempunyai lahan terbatas, permintaan pihak swasta
akan pemanfaatan lahan kota yang terus berkembang untuk pembangunan barang
privat akan menyita lahan ataupun ruang terbuka hijau di Kota Medan yang merupakan
barang publik. Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007, secara
khusus mengamatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbukan Hijau
(RTH) yang proporsi luasnya minimal 30% dari luas wilayah kota. Dimana 20% luasnya
untuk ruang terbuka hijau publik dan 10% untuk ruang terbuka hijau privat.
Namun karena pesatnya pembangunan barang-barang privat tersebut
mengakibatkan masalah baru yaitu adanya konversi lahan dari peruntukkan barang
publik menjadi barang privat. Contohnya seperti Lapangan Merdeka yang dulunya
digunakan sebagai barang public untuk ruang terbuka hijau namun sekarang dialih
fungsikan menjadi tempat untuk barang privat seperti kafe dan restoran oleh pihak
swasta.
Tabel 1.1
Luas Ruang Terbuka Hijau Kota Medan
Tahun Luas RTH (Ha) Persentase
Luas (%)
2011 53,49 0,20
2012 53,49 0,20
2013 53,49 0,20
2014 53,49 0,20
2015 53,49 0,20
Sumber: Kota Medan Dalam Angka 2016
Potensi konversi barang public secara terus menerus dapat berakibat fatal
terhadap kawasan ruang terbuka hijau. Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya
luas ruang terbuka hijau sehingga ruang resapan air berkurang, lingkungan menjadi
gersang dan panas, serta hilangnya tempat tinggal habitat. Konversi barang public
sebagai konsekuensi perkembangan kota tidak dapat dicegah atau dihentikan namun
yang penting dalam konversi barang public tersebut tetap dipertahankan fungsi ruang
terbuka hijau seperti sedia kala walaupun dalam berbentuk berbeda.

Keseimbangan Luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Medan


Distribusi RTH di Kota Medan selama ini belum dibagi sesuai tingkat kebutuhan
per kecamatan, melainkan masih berupa pengelolaan lahan yang sudah ada menjadi
RTH. Akibatnya, luasannya menjadi berkumpul di beberapa lokasi saja, dan umumnya
di tengah perkotaan. Dari jumlah minimal 7.953 Ha luas wilayah perkotaan untuk RTH
Kota Medan, RTH public yang harus dipenuhi yaitu 5.302 Ha, baru terpenuhi secara
murni di bawah pengelolaan Dinas Pertamanan sebanyak 53,49 Ha atau 0,20% dari
wilayah Kota. Data luasan RTH privat yang seharusnya yaitu 2.651 Ha dari 26.510 Ha.
Selain berdasarkan jumlah luas wilayah, luas RTH dapat didasarkan jumlah penduduk
dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luar RTH per
kapita sesua peraturan yang berlaku (Mayasari, 2009).
Faktor dan Kendala yang Mempengaruhi Luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota
Medan
beberapa faktor dan kendala yang dapat mempengaruhi ketersediaan maupun
pengoptimalan kinerja Ruang Terbuka Hijau (RTH) public dan privat kota Medan adalah
sebagai berikut:
1. Keterbatasan lahan kota dan dana;
Hingga kini RTH publik kota Medan relatif tidak mengalami pertambahan lahan
karena terjadi keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH publik, sehingga
untuk membuat suatu RTH public yang baru, perlu dilakukan pengadaan tanah
yang memerlukan dana cukup besar karena umumnya tanah-tanah tersebut
telah diberikan ha katas permohonan masyarakat, seperti Hak milik dan
sebagainya.
2. Pembangunan secara ekonomi seringkali didahulukan dan bersifat kurang
ramah lingkungan karena terpaksa mengganggu lahan RTH publik;
Misalnya seperti pembangunan gedung-gedung yang terpaksa mengorbankan
zona hijau di sekitarnya tanpa ada penggantian lahan baru untuk RTH tersebut.
Pembangunan-pembangunan yang mengorbankan RTH public seperti ini
merupakan bukti nyata kurangnya kepedulian (bukan hanya dalam bentuk good
will tetapi juga aplikasi secara nyata/ political will) dari pemerintah Kota Medan
terhadap pemenuhan proporsi RTH sehingga RTH publik Kota Medan tidak
pernah menjadi pertimbangan utama. Hal ini yang membuat pemenuhan
proporsi RTH publik Kota Medan menjadi semakin jauh dari harapan.
3. Lahan-lahan RTH publik rentan menjadi daerah permukiman liar;
Lahan-lahan RTH publik seperti jalur hijau lalu lintas, bantaran sungai, danau
atau pantai, bantaran jalur Rel KA, lahan kosong, dan semacamnya yang
terdapat di seluruh bagian kota rentan menjadi daerah permukiman liar.
Keberadaannya telah meniadakan RTH publik yang sebelumnya telah ada, baik
yang tumbuh secara alami atau memang telah sengaja di bangun.
4. Belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di Kota untuk RTH yang
fungsional;
5. Areal RTH yang secara bertahap berubah fungsi menjadi peruntukan lain
(urbanareal);
6. Belum terdapatnya aturan hukum yang tepat;
Perda kota Medan yang mengatur mengenai rencana, pembuatan hingga
pengelolaan/ pelestarian RTH public belum juga dibuat hingga saat ini sehingga
penegakan aturan main pengelolaan RTH belum optimal.
7. Standar perencanaan kota tidak/ sulit dilaksanakan;
8. Real estate dan pembangunan pemukiman tidak/ kurang menyediakan RTH
selaras dengan kriteria perencanaan;
9. Lemahnya peran masyarakat sebagai salah satu stakeholders;
Yaitu baik dari segi persepsi maupun pengertian terhadap pentingnya RTH
terhadap keberlangsungan hidup yang hidup dalam masyarakat sangat kurang,
sehingga dalam penyelenggaraan RTH privat masih relative sulit jadi tumpuan
pengadaan RTH Kota Medan.
1.2 Permasalahan Sampah di Kota Medan
Istilah sampah pasti sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Jika mendengar istilah
sampah, pasti yang terlintas dalam benak kita adalah setumpuk limbah yang
menimbulkan aroma busuk yang sangat menyengat. Sampah diartikan sebagai material
sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses yang cenderung merusak
lingkungan di sekitarnya. Dalam proses alam, sebenarnya tidak ada konsep sampah,
yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam itu
berlangsung.
Sampah dapat membawa dampak yang buruk pada kondisi kesehatan manusia. Bila
sampah dibuang secara sembarangan atau ditumpuk tanpa ada pengelolaan yang baik,
maka akan menimbulkan berbagai dampak kesehatan yang serius. Tumpukan sampah
yang dibiarkan begitu saja akan mendatangkan serangga (lalat, kecoa, kutu, dan lai-lain)
yang membawa kuman penyakit.
Kota Medan merupakan kota inti di Sumatera Utara mempunyai beban volume
sampah yang diproduksi penduduk sebesar 5.710 m3 /hari (Dinas Kebersihan, 2014).
Produksi sampah tersebut yang mampu diangkut oleh Dinas Kebersihan kota Medan
baru 68%, sedangkan 32% belum terangkut. Masalah utama sektor persampahan di
kota Medan adalah masih banyaknya illegal dumping. Sadoko (1993), menyatakan
upaya pengelolaan sampah kota yang lebih baik berdasarkan pada usaha penanganan
sampah sedini mungkin, sedekat mungkin dari sumbernya dan sebanyak mungkin
mendayagunakan kembali sampah. Berdasarkan data Suku Dinas Kebersihan Kota
Medan (2014) adanya sampah yang tidak terangkut di sebabkan karena kurangnya
armada angkutan.
Menurut Dinas Kebersihan Kota Medan, bahwa untuk mengelola sampah 2.000
ton/hari, hanya memiliki 112 unit (83 unit Truk Kuning jenis Tiper dan 19 unit bak
container jenis Anrol) dengan kondisi yang tidak memadai. Kedua, efek negatif dari
penumpukan sampah. Ketiga, pengangkutan yang belum berjalan dengan baik.
Gambar 1
Tumpukan Sampah di Jalan Kasuari, Medan.
Sumber: www.gosumut.com

Penanganan masalah sampah di Kota Medan sampai saat ini belum teratasi
dengan maksimal. Bahkan, sejak penanganannya diserahkan ke pihak kecamatan
tumpukan sampah semakin parah.
Sebelumnya tumpukan sampah terlihat di Jalan Kasuari, Helvetia dan terakhir di
Gang Belibis, Jalan Bromo, Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai. Kawasan
tersebut sudah mirip Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Tonggokan sampah dibiarkan
cukup lama. Tidak ada petugas yang mengangkut. Tumpukan sampah di Gang Belibis
semakin bertambah. Seiring produksi sampah milik masyarakat setiap harinya berjalan.
Bahkan, yang membuang sampah tidak hanya masyarakat sekitar, tapi juga masyarakat
luar. Hal ini disebabkan kawasan tersebut sudah mirip TPA.
Gambar 2
Tempat Pembuangan Akhir di Kota Medan.
Sumber: www.kompasiana.com

Sampah di Kota Medan kali ini, jumlahnya meningkat dari 1300 ton dan kini
mencapai 1700 ton per hari. Seluruh sampah yang dikutip dari 21 kecamatan di Kota
Medan itu di buang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kelurahan Terjun, Kecamatan
Medan Marelan. Untuk pengelolaan sampah di TPA, petugas Dinas Kebersihan
langsung dibantu dengan pemulung yang hampir seluruhnya warga sekitar untuk
memilah-milah sampah jenis plastik, karton dan sampah jenis logam. Selain itu juga
melakukan pembakaran sampah yang dilakukan saat pagi hari.

Dampak Permasalahan Sampah:


1. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang
kurang menyenangkan bagi masyarakat, bau tidak sedap dan pemandangan
yang buruk Karena sampah bertebaran dimana-mana.
2. Memberikan dampak negative terhadap kepariwisataan
3. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat
kesehatan masyarakat. Hal penting disini adalah meningkatnya pembiayaan
secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak
langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas)
4. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan
memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan,
drainase, dan lain-lain.
5. Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak
memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengelolaan air. Jika
sarana penampungan sampah kurang atu tidak efisien, orang akan cenderung
membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering
dibersihkan atau diperbaiki (Gilbert dkk; 1996)

1,3 Banjir
Indonesia adalah negara yang setiap tahunnya dilanda banjir, fenomena ini
termasuk permasalahan yang harus segera diselesaikan, sebab telah menjadi rutinitas
di kota – kota besar yang ada di Indonesia dan banyak menimbulkan kerugian.
Banjir merupakan bencana yang penting di Indonesia ditinjau dari sisi
frekuensinya, tercatat 108 kali dari keseluruhan 343 peristiwa bencana penting dengan
persentase sebesar 33,3%. Banjir kerap melanda beberapa aglomerasi besar seperti
Jakarta 13,22 juta penduduk, Medan 2,29 juta penduduk, dan Bandung 4,13 juta
penduduk (Pusat Kajian Strategis Departemen Pekerjaan Umum, 2009).
Hal yang menyebabkan banjir adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam
membuang sampah. Secara umum sarana drainase di perkotaan sudah cukup baik,
meskipun ada sebagian daerah yang membutuhkan drainase yang menampung air lebih
banyak, hanya saja banyak di antaranya yaitu banyak masyarakat yang membuang
sampah ke sungai sehingga berpotensi menyumbat aliran air. Faktor lain yang
memberikan kontribusi terhadap dampak banjir adalah lemahnya control terhadap tata
guna lahan pada zona-zona rentan banjir. Faktor ini hanyalah salah satu dari banyak
faktor adalah salah satu faktor yang menyebabkan tingginya resiko bencana banjir,
tetapi faktor tersebut menunjukkan rendahnya efektifitas instrumen penataan ruang
dalam mengatasi bencana banjir.
Banjir di daerah perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan banjir pada
lahan alamiah. Secara alami air hujan yang turun ke tanah akan mengalir sesuai kontur
tanah menuju daerah yang lebih rendah. Untuk daerah perkotaan pada umumnya air
hujan yang turun akan dialirkan ke dalam saluran-saluran buatan yang mengalirkan air
menuju sungai. Kontur lahan yang terdapat di daerah perkotaan direncanakan agar air
hujan yang turun mengalir ke dalam saluran - saluran buatan. Ketidakmampuan saluran
tersebut untuk menampung air hujan dapat mengakibatkan terjadinya banjir di daearah
perkotaan.
Kasus - kasus banjir di daerah perkotaan memiliki beberapa masalah yang perlu
ditelaah lebih lanjut. Arah aliran yang terjadi tidak lagi sepenuhnya bergantung pada
kondisi topografi lahan, dikarenakan adanya bangunan - bangunan yang menghalangi
arah aliran air. Aliran yang terjadi berubah arah karena membentur bangunan dan
mengakibatkan arah aliran memantul atau berbelok baik ke kiri maupun ke kanan.
Bahaya banjir bukan hanya fenomena fisik, tetapi juga merupakan fenomena
sosial dan ekonomi. Bahaya banjir terdiri dari beberapa aspek mencakup kerusakan
infrastruktur (jalan dan permukiman), membahayakan nyawa, terkontaminasinya
lingkungan yang membahayakan kesehatan, terganggunya aktifitas sosial dan ekonomi
yang mencakup transportasi dan komunikasi serta rusaknya lahan pertanian.
Kota Medan merupakan salah satu wilayah yang sering mengalami bencana
banjir. Meskipun dampak yang ditimbulkan tidak separah kota - kota besar lainnya
seperti di DKI Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, namun Kota Medan
berpotensi seperti kota - kota tersebut bila tidak diatasi lebih lanjut. Permasalahan banjir
di Kota Medan merupakan permasalahan yang patut untuk diperhatikan dan dicari
solusinya karena banjir sudah menjadi rutinitas di Kota Medan. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi permasalahan banjir di Kota Medan, tetapi sampai saat ini
banjir masih saja melanda beberapa wilayah di Kota Medan.
Banjir yang terjadi di Kota Medan disebabkan karena curah hujan dengan
intensitas yang tinggi. Intensitas hujan yang tinggi di Kota Medan dengan durasi yang
lama terjadi secara berkelanjutan. Selain itu curah hujan Kota Medan sebesar 100
mm/hari juga diiringi dengan curah hujan pegunungan yang mencapai 175 mm/hari, hal
tersebut yang menyebabkan Kota Medan sering dilanda banjir (Balai Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, 2011).
Ruas – ruas jalan di Kota Medan selalu tergenang apabila hujan, meski curah
hujan yang terjadi relatif tidak terlalu lama. Terdapat 16 ruas jalan utama di Kota Medan
yang selalu mengalami banjir, ruas jalan tersebut adalah Jalan Williem Iskandar, Jalan
Letda Sujono, Jalan Raden Saleh, Jalan Stasiun, Jalan Sisingamangaraja, Jalan
Sutomo, Jalan Gatot Subroto, Jalan A.H Nasution , Jalan Denai, Jalan Brigjen Katamso
dan Jalan Yos Sudarso. Jumlah itu diluar ruas jalan kecil seperti Jalan Pelita II, Jalan
Kapten Jamil Lubis, Jalan Pahlawan, Jalan Teluk Bokar, Jalan Selamat dan Jalan
Pertahanan. Jika hujan deras dengan durasi yang cukup lama, menyebabkan genangan
dengan debit air yang tinggi di beberapa ruas jalan tersebut dan tidak jarang merendam
rumah warga di sekitarnya. Masalah banjir Kota Medan juga tidak terlepas dari kondisi
geografis Kota Medan yang dilalui oleh sejumlah sungai. Beberapa sungai besar yang
melalui Kota Medan adalah Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Percut, dan Sungai
Serdang. Sedangkan sungai kecil yang melalui Kota Medan yaitu Sungai Batuan, Sungai
Badera, Sungai Kera, Sungai Sikambing, dan Sungai Putih.

Hal ini dikarenakan belum adanya penanggulangan pasca banjir, seperti


mapping Kondisi DAS dan Hutan. Kota medan banjir diapabila hujan secara lokal
maupun banjir kiriman akibat hujan di pegunungan. Banjir kiriman ini berdampak
kepada masyarakat yang bermukim dan beraktivitas di sepanjang DAS di Kota
Medan. Banjir kiriman sering terjadi di Tebing Tinggi, Serdang Bedagai dan Pematang
Siantar Karena itu ini perlu didata (mapping) dengan baik dan benar. Pendataan
dilakukan pasca banjir, yakni dengan melihat penyebab banjir itu.

Pendataannya bisa dilakukan dengan mengukur ketinggian permukaan air su-


ngai yang meluap. Kota-kota yang mendapat kiriman banjir perlu didata, di DAS mana
saja air sungai meluap, setinggi apa meluapnya dan berapa lama air sungai itu me-
luap. Data ini harus akurat agar penanganannya tepat. Dari data yang ada itu bisa
diambil langkah tepat, yakni menormalisasi DAS agar kelebaran dan kedalaman su-
ngai bisa menampung debit air sungai. Bila bisa, maka sungai tidak meluap ke daerah
sekitar DAS.

Pendataan lingkungan kota juga penting untuk menanggulangi banjir


dikarenakan apabila penataan lingkungan kota baik maka air limpasan hujan maupun
banjir kiriman akan terminimalisir bahkan meresap ke dalam tanah, Hal itu sesuai
dengan sifat air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Sebelum
melakukan mapping, posisi Kota Medan pada ketinggian 0 sampai dengan 15 meter
dari permukaan laut yang berarti Kota Medan memiliki ketinggian yang sama dengan
permukaan laut. Banjir di Medan disebabkan proses alami, yakni yakni air hujan tidak
masuk ke dalam tanah dan tergenang di ruas jalan.

Hampir tidak ada permukaan lapisan tanah yang terbuka, oleh karena itu air
hujan dan air limpasan tidak bisa meresap ke dalam tanah. Begitu juga dengan pohon
di tepi jalan, pada sekeliling tanaman itu tidak ada permukaan lapisan tanah yang
terbuka. Semua disemen yang hanya menyisakan batang bagian bawah dari pohon
itu saja.

Dari hasil mapping proses terjadinya banjir di Kota Medan maka bisa dilakukan per-
baikan (action plan) agar tidak terjadi lagi banjir di Kota Medan meskipun hujan dalam
intensitas tinggi. Pertama dan terutama harus membuat permukaan lapisan tanah
terbuka yang banyak di Kota Medan terutama dari data lokasi banjir di Medan.
Permukaan lapisan tanah terbuka itu bisa dilakukan dengan tempat tumbuhnya
pohon-pohon di tepi jalan tidak disemen, dijadikan permukaan tanah terbuka.
Kemudian semua parit yang ada di tepi jalan harus dibangun atau dibuat terbuka,
jangan ditutup dengan beton. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat parit bukan di
tepi jalan tetapi di tengah jalan. Parit di tengah jalan bisa berfungsi sebagai pulau
jalan dan mengurangi atau menghindari warga yang suka membuang sampah ke
parit. Parit di tengah jalan atau membelah ruang jalan banyak dibangun di kota-kota
besar di luar negeri.

Hasil mapping penyebab banjir di Kota Medan harus diimplementasikan


sebagai wujud memperbaiki lingkungan dengan tujuan agar Kota Medan tidak banjir
meskipun hujan dalam intensitas tinggi. Semoga tulisan ini mendapat respon dari
semua pihak.

1.4 Disparitas Wilayah


Pembangunan berkaitan erat dengan kondisi kesejahteraan masyarakat. Selain
bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, pembangunan
harus pula berupaya untuk menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan,
ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengganguran (Todaro, 2003). Pembangunan
seharusnya menciptakan kesejahteraan bagi semua penduduk, walaupun wajar jika
terjadi pemusatan pada wilayah tertentu. Namun pemusatan semestinya bisa
memberikan efek yang positif bagi wilayah sekitarnya sehingga tidak memunculkan
ketimpangan interwilayah. Kondisi ketimpangan sering dilihat dari aspek ekonomi.
Selain dari kegiatan perekonomian, ketimpangan akan terlihat dari kondisi fisik daerah
seperti kondisi jalan, ketersediaan listrik, telekomunikasi, kondisi permukiman
masyarakat. Menurut Mopangga (2011), ketimpangan pada dasarnya disebabkan
adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaaan kondisi demografi
yang terdapat pada masingmasing wilayah.
Kota Medan merupakan kota di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki disparitas
pendapatan paling tinggi yakni dengan nilai rata-rata Indeks Williamson 0,5383 (BPS
Kota Medan, 2010). Dibandingkan dengan indeks Williamson Kota Makassar yaitu 0,49
(Midadan, 2015), maka ketimpangan di Kota Medan lebih buruk. Pembangunan di
selatan Kota Medan lebih diprioritaskan karena adanya pusat-pusat kegiatan
pemerintahan, perdagangan dan jasa, permukiman, serta pendidikan. Pada akhirnya
ketimpangan antara utara dan selatan di Kota Medan menjadi sebuah permasalahan
yang memunculkan isu pemekaran untuk keempat kecamatan di bagian utara yaitu,
Kecamatan Medan Deli, Kecamatan Medan Labuhan, Kecamatan Medan Marelan dan
Kecamatan Medan Belawan yang menimbulkan kondisi kehidupan yang sudah
meresahkan masyarakat sehingga muncul wacana untuk memekarkan diri dengan
harapan memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera.
Kondisi ketimpangan di Kota Medan mencakup aspek ekonomi, sosial
kependudukan, dan pelayanan infrastruktur. Adapun indeks total akumulasi yang
menjadi nilai indeks akhir dari setiap kecamatan di Medan, yakni:

Gambar 3 Indeks Ketimpangan Total


Sumber: http://dx.doi.org/10.14710/jwl.3.3.151-162
Indeks yang menunjukkan kondisi ketimpangan yang signifikan adalah aspek
ekonomi dimana masih terdapat dua kecamatan yang memiliki kondisi buruk, yaitu
Medan Labuhan dan Medan Marelan. Indeks ketimpangan dari aspek sosial
kependudukan juga menunjukkan angka relatif lebih rendah dibandingkan kecamatan
lainnya di Medan Belawan dan Medan. Indeks infrastruktur di Kota Medan sebagian
besar dalam kategori sedang, hanya beberapa kecamatan yang dikategorikan baik. Jika
dikaitkan dengan tanggapan pemerintah yang mengganggap kondisi ketimpangan yang
sangat signifikan yaitu kondisi infrastruktur maka hal ini menjadi kurang sesuai. Karena
hampir 90% kecamatan berada di kategori sedang untuk kondisi infrastruktur.
Sehingga muncul pemikiran bahwa kondisi dari alam maupun SDM yang relatif
unik untuk kecamatan di bagian utara Kota Medan. Dari segi SDA, daerah ini berada
langsung berbatasan dengan laut, kondisi ini rawan akan bencana banjir rob, banyaknya
sungai-sungai yang tempat tinggal maupun sarana transportasi masyarakat nelayan,
lahan yang berdekatan dengan laut mengindikasikan kesuburan lahan yang tidak begitu
baik. Selain itu hal yang membedakan dengan kecamatan yang berada di selatan,
dimana penduduk sudah memiliki keahliaan tertentu untuk menciptakan lapangan
pekerjaan sendiri mulai dari industri membuat kue oleh-oleh khas Kota Medan,
pembuatan perabotan rumah tangga, pengolahan kopi, pembuatan sepatu, dan lainnya.
Hasil analisis korelasi memperkuat bahwa terdapat korelasi antara kondisi ketimpangan
dengan kemunculan isu pemekaran Medan Utara. Kondisi yang relatif kurang baik dari
segi ekonomi, pelayanan infrastruktur maupun sosial kependudukan di keempat
kecamatan yang tersebar di bagian utara Kota Medan mempengaruhi kemunculan isu
pemekaran.

1.5 Kemacetan
Kemacetan adalah suatu kondisi dimana situasi atau keadaan tersendatnya atau
terhentinya lalulintas yang di sebabkan oleh banyaknya kendaraan yang melebihi
kapasitas jalan sehingga arus lalu lintasterhambat. Kemacetan banyak sering terjadi di
kota-kota besar. Sumber kamacetan lalu lintas adalahketerbatasan prasarana lalu lintas,
dan jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas, dan juga di sebabkan oleh tingginya
perkembangan dan aktivitas penduduk.
Para pelaku penyebab kemacetan di kota-kota besar adalah pemerintah kota
tersebut, pengusaha, pedagang kaki lima, supir angkutan kota, petugas lalu lintas dan
pengguna jalan. Kendala pemerintah kota yaitu tentang tata ruang, keuangan dan
penegakan hukum, sedangkan alternativekebijakanya adalah kerjasama dengan
pemerintah kota, mengenai penataan kawasan penting,meningkatkan prasarana lalu
lintas, pengaturan trayek, penegakan di siplin dan mengurangi angkutan kota. Karena
angkutan kota yang beroperasi sangat banyak bahkan sampai melebihi kapasitas,
sudah diketahui fasilitas-fasilitas juga yang kurang memadai, seperti jalan yang sempit,
tidak adanya tempat parkir dan banyaknya kendaraan yang ada, mungkin ini yang
mengakibatkan banyaknya kemacetan.
Kemacetan juga bisa di sebabkan oleh pengusaha, pedagang kaki lima, dan
pengguna jalan.Sudah di ketahui fasilitas jalan di kota-kota besar kurang memadai tetapi
masih banyak orang yangmembangun usaha-usaha di pinggir jalan dan banyaknya
orang yang tidak mematuhi peraturan lalulintas, sehingga makin menambah penyebab
kemacetan di lalu lintas.
Pada saat mengalami kemacetan lalu lintas seseorang akan merasa tidak nyaman
dan tentunyasangat menjengkelkan sekali karena di ketahui kemacetan tersebut hanya
akan menyebabkan kerugian,misalnya siswa-siswi karena macet menjadi terlambat
datang kesekolah, pekerja kantor karena terjebakmacet jadi kena teguran oleh bosnya,
dan tentunya waktu juga akan terbuang percuma saja. Saat mengalami kemacetan
tentunya yang di rasakan kejengkelan apalagi macet yang memakan waktu lama,sampai
berhenti atau kendaraan tidak bisa bergerak sedikitpun, di tambah cuaca yang tidak
mendukungsama sekali, misalnya cuaca saat itu panas sekali sehingga menyebabkan
sumpek dan pengapnya ditengah kemacetan, hanya panas yang dirasakan dan keringat
yang mengalir.
Kemacetan lalu lintas kelalaian dalam mengemudi. Banyaknya pengemudi yang
mengendarai kendaraan secara kurang hati-hati dan melebihi kecepatan maksimal,
merupakan prilaku yang kurangbaik dan tidak terpuji. Walau demikian kebanyakan
pengemudi menyadari akan bahaya yang di hadapi apabila mengendarai melebihi
kecepatan maksimal. Dan banyaknya para pengemudi yang tidak menaatiperaturan lalu
lintas, seperti mengemudi secara ugal-ugalan, menerobos lampu merah, kebut-
kebutan,mendahului kendaraan lain.
Secara nyata, warga kota Medan telah merasakan kemacetan parah pada jam-jam
tertentu di kota ini, yang mem-buat kita menjadi stress dan menge-luar-kan berbagai
umpatan sumpah serapah yang tidak jelas sasarannya. Kemacetan da-pat
menyebabkan kita terlambat sam-pai di kantor, terlambat anak-anak sampai di sekolah,
terlambat menepati janji binsis dan terlambat lainnya, yang kita rasakan sangat
merugikan.
Kejadian seperti ini jadi rutinitas yang akan kita hadapi setiap hari di kota ini dan
akhirnya pasrah pada situasi yang ada. Bahkan kita lihat instansi terkait yang
bersentuhan dengan masalah lalu lin-tas, pengaturan angkutan umum dan pe-merintah
kota Medan, tidak bisa ber-buat banyak mengatasi kemacetan ini. Ala-sannya masuk
akal, bahwa jumlah Kendaraan sudah lagi tidak seimbang de-ngan kapasitas jalan raya
di kota ini. Me-nurut data dari Dinas Perhubungan Kota Medan (2016), jumlah
Kendaraan ber-motor mencapai 2,7 juta unit dengan pan-jang jalan 3.191,5 km dan rasio
ke-cepatan 23,4 km/jam serta Volume Capa-city Ratio 0,76. Kendaraan pribadi 97,8
persen, Kendaraan umum 2,2 persen, Kendaraan roda dua 75,95 persen dan roda
empat 24,05 persen .

Gambar 4
Ratusan kendaraan bermotor terjebak kemacetan panjang saat jam sibuk di kawasan pusat
Kota Medan.
Sumber : https://daerah.sindonews.com

Kemacetan lalu lintas menjadi permasalahan sehari-hari, dan kemacetan dapat


menimbulkan dampak negatif, antara lain :
 Kerugian waktu, waktu terbuang percuma karena percepatan perjalanan yang
rendah.
 Meningkatkan stress bagi pengguna jalan.
 Pemborosan energi bahan bakar.
 Meningkatnya polusi udara dan suara.
 Menggangu aktifitas sehari-hari, seperti berangkat sekolah kesiangan.
 Keausan kendaraan, seperti radiator dan penggunaan rem yang lebih tinggi.
 Waktu dan energy terbuang percuma.
 Menurunnya produktifitas.
 Mengganggu laju perekonomian.
 Kendaraan bermotor tidak dapat digunakan fungsinya secara maksimal sebagai
transportasicepat.
 Dalam hal ingin mengejar waktu, para pengguna kendaraan bermotor mudah
sekali tersulu temosinya hingga kekerasan di jalan raya sering terjadi.
 Dalam keadaan macet, resiko tiap kendaraan bersinggungan sangat tinggi.
 Kesehatan menjadi korban, terutama bagi pengendara sepeda motor yang
sering terkena macet akan sering menghirup asap kendaraan lain.

Kemacetan lalu lintas yaitu di sebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut :
 Adanya persilangan jalur kereta api.
 Tidak adanya pelebaran jalan.
 Makin meningkatnya pengguna kendaraan pribadi.
 Banyaknya kendaraan umum yang berhenti di sembarang tempat.
 Persimpangan tanpa lampu lalu lintas, dan tidak tampak polisi pada tempat
tugasnya.
 Adanya kesalahan teknis, matinya lampu lalu lintas.
 Banyaknya parkir sembarangan dan pedagang kaki lima di tepi-tepi jalan.
 Rendahnya sikap di siplin para pengguna jalan.
 Adanya kecelakan yang terjadi, yang mengakibatkan terhambatnya arus lalu
lintas.
 Adanya perbaikan jalan.
 Adanya demo yang di lakukan di jalan.
 Kecelakaan dan kendaraan mogok di jalan.
 Lebar jalan yang tidak sesuai dengan populasi kendaraan yang semakin
bertambah.
 Jalan rusak, yang membuat kendaraan melaju dengan lambat sehingga terjadi
kemacetan.
 Terdapat pengerjaan jalan , seperti galian – galian yang terbebngkalai sehingga
laju kendaraan terganggu.
 Khusus bagi pengendara sepeda motor di anggap sumber kemacetan karena
biasanya sepedamotor sering menyerobot dan tidak mau kalah.
DAFTAR PUSTAKA:
Chatalia,I. 2016. Permasalahan Sampah. Di dalam website
http://digilib.unimed.ac.id/5412/9/10.%203103131030%20BAB%20I.%20Pdf.pdf
Pasaribu, C. 2015. Kajian Isu Pemekaran di Kota Medan: Tinjauan berdasarkan Kondisi
Ketimpangan Wilayah. Semarang; UNDIP
HMTPWK UGM, 2018 “Hak Atas Kota” http://hmtpwk.ft.ugm.ac.id/hak-atas-
kota/
Diunduh 11 Juli 2018

Library UI, 2009 “Pengertian Kota” http://lib.ui.ac.id/file?file=digital%2F122709-


T+25943-Pengembangan+kawasan-Literatur.pdf
Diunduh 11 Juli 2018

BPS Kota Medan

Silalahi, Johanses, 2014 “Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota


Medan”
https://www.researchgate.net/profile/Johansen_Silalahi/publication/273451106_ANALI
SIS_KEBUTUHAN_RUANG_TERBUKA_HIJAU_DI_KOTA_MEDAN/links/550241b70cf
24cee39fb6a2e/ANALISIS-KEBUTUHAN-RUANG-TERBUKA-HIJAU-DI-KOTA-
MEDAN.pdf
Diunduh 11 Juli 2018

Surat Kabar Sindo https://daerah.sindonews.com/read/937520/151/rth-di-


medan-minim-1418627515
Diunduh 11 Juli 2018

Library UNIMED, “Latar Belakang Wilayah Kota Medan”


http://digilib.unimed.ac.id/17916/11/NIM.%20309431002-BAB%20I.pdf
Diunduh 11 Juli 2018

Anda mungkin juga menyukai