Anda di halaman 1dari 91

Laporan Pendahuluan

BAB

3.1. Prinsip Dasar Penyusunan RDTR


Prinsip dasar dalam penyusunan tata ruang, yaitu bagaimana mendapatkan manfaat dari
sumberdaya yang tersedia seoptimal mungkin dengan tidak mengabaikan kelestarian
lingkungan serta aspek pertahanan keamanan. Berdasarkan hal tersebut, maka penyusunan
tata ruang mengacu kepada tersedianya sumberdaya, persediaan tanah serta peruntukan dan
penggunaan tanah.
A. Kelestarian Sumberdaya
Fungsi lindung dan konservasi yang melekat pada ekosistem kawasan senantiasa
menjadi penyeimbang fungsi yang dialokasikan pada suatu ruang. Mengacu kepada kenyataan
tersebut, maka yang pertama harus dilakukan dalam mengalokasikan pemanfaatan ruang
kawasan adalah penentuan kawasan dengan fungsi lindung dan konservasi, kawasan yang
tersisa barulah dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya. Kegiatan pemanfaatan yang terpilih
merupakan hasil kajian proses aktivitas yang akan berjalan beserta kemungkinan terjadinya
dampak lingkungan seminimal mungkin. Agar kelestarian dapat tercapai maka perlu diadakan
pernilaian tentang kemampuan lahan kawasan.
B. Kesesuaian Lahan
Aktivitas yang akan ditempatkan pada suatu ruang harus memperhatikan kesesuaian
antara kebutuhan (demand) dengan kemampuan lingkungan menyediakan sumberdaya (supply).
Selanjutnya ketersediaan sumberdaya merupakan daya dukung (carrying capacity) kawasan
untuk menopang seluruh aktivitas yang dialokasikan. Dengan mengacu kepada keseimbangan
antara ‘demand’ dan ‘supply’, maka akan dicapai suatu optimasi pemanfaatan ruang antara
kepentingan masa kini, masa datang serta menghindari terjadinya konflik pemanfaatan ruang.
Kesesuaian lahan tidak saja mengacu kepada kriteria biofisik semata, tetapi juga meliputi
kesesuaian secara sosial ekonomi. Secara ekonomi aktivitas yang akan dibangun seyogyanya
mampu mencapai keuntungan seefisien dan secara sosial mampu memberdayakan masyarakat
setempat dalam memanfaatkan sumberdaya.

Bab III-1
Laporan Pendahuluan

C. Keterkaitan Kawasan dan Hubungan Fungsional


Interaksi antar beberapa aktivitas pada suatu kawasan dengan kawasan lainnya akan
tercipta dan memungkinkan terjadinya perkembangan yang optimal antar unit-unit kawasan
maupun dengan kawasan sekitarnya. Untuk itu penyusunan pemanfaatan kawasan perlu dibuat
sedemikian rupa sehingga kegiatan-kegiatan antar kawasan dapat saling menunjang dan
memiliki keterkaitan dengan kawasan yang berbatasan. Perencanaan tata ruang wilayah
seyogyanya saling berhubungan secara fungsional (compatible use principle). Dengan demikian
peruntukan satu kegiatan seharusnya tidak merugikan kegiatan lainnya.
D. Pertumbuhan Ekonomi
Pemanfaatan potensi ruang di wilayah dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan
ruang terutama dalam rangka pengembangan kegiatan ekonomi. Pemanfaatan ruang yang
dilakukan diarahkan untuk memberikan nilai tambah terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat setempat.
E. Berorientasi pada Kesejahteraan Masyarakat
Pengembangan wilayah ditujukan untuk memberikan hasil yang sebesar-besarnya dan
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Pendekatan yang dilakukan melalui pengaturan
ruang yang adil dan mengembangkan kemitraan kerja yang saling mendukung.
F. Penataan Ruang yang Partisipatif
Penyusunan tata ruang sedapat mungkin melibatkan pemangku kepentingan dan
menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses pemanfaatan
ruang. Penataan ruang kawasan diarahkan untuk menumbuh-kembangkan kesadaran atas hak
dan kewajiban masyarakat dan stakeholder lainnya dalam memanfaatkan ruang sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Meningkatkan kesadaran kepada pelaku
pembangunan lainnya bahwa masyarakat bukanlah obyek pemanfaatan ruang, tetapi justru
merekalah pelaku dan pemanfaat utama yang seharusnya terlibat dari proses awal sampai akhir
dalam memanfaatkan ruang. Mendorong masyarakat dan civil society organization atau
lembaga swadaya masyarakat untuk lebih berperan dan terlibat dalam memanfaatkan ruang
3.2. Asaz Penyusunan RDTR
Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007, penyusunan RDRT Kawasan Perkotaan Loksado akan
didasarkan pada azas-azas sebagai berikut ;
1. Keterpaduan, yakni memperhatikan kesatuan kegiatan pemanfaatan ruang yang dilakukan
oleh pemerintah (Pusat, Propinsi dan Kabupaten), sektor swasta dan masyarakat
berdasarkan pertimbangan menyeluruh.
2. Daya Guna dan Hasil Guna, yakni memperhatikan potensi dan pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya manusia agar dapat menghasilkan manfaat dan kualitas
ruang yang optimal.
3. Keserasian, Keseimbangan dan Keselarasan, yakni memperhatikan persebaran penduduk
antara kawasan, pertumbuhan dan keterkaitan antar sektor dan antar kawasan, agar

Bab III-2
Laporan Pendahuluan

tercapai keserasian keselarasan dan keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang
wilayah.
4. Keberlanjutan, yakni memperhatikan kemampuan daya dukung sumber daya alam
dan kepentingan generasi berikutnya agar tercapai kelestarian daya dukung wilayah secara
berkelanjutan.
5. Keterbukaan, yakni memperhatikan hak yang ada pada setiap masyarakat untuk
mengetahui rencana-rencana tata ruang wilayah yang disusun secara terbuka, antara lain
melalui lokakarya, sarasehan, papan pengumuman, atau media cetak, media elektronik
atau forum pertemuan.
6. Persamaan dan Keadilan, yakni memperhatikan adanya hak yang sama pada setiap
masyarakat untuk menikmati manfaat ruang dan atau nilai tambah ruang, serta untuk
mendapatkan penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai
akibat kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang secara adil.
7. Perlindungan Hukum, yakni memperhatikan perlunya jaminan perlindungan hukum untuk
memberikan kepastian dan rasa aman dalam berusaha terhadap setiap hak atas
pemanfaatan ruang yang diberikan kepada masyarakat.
3.3. Pendekatan
3.3.1. Pendekatan Umum
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Atas dasar tersebut, maka penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan,
yaitu bertujuan untuk:
1. Menyiapkan perwujudan ruang, dalam rangka pelaksanaan program pembangunan
perkotaan;
2. Menjaga konsistensi pembangunan dan keserasian perkembangan kawasan perkotaan
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Kabupaten;
3. Menciptakan keterkaitan antar kegiatan yang selaras, serasi dan efisien;
4. Menjaga konsistensi perwujudan ruang kawasan perkotaan melalui pengendalian program-
program pembangunan perkotaan.

Sebagaimana dasar penyusunan diatas, maka output Rencana Detail Tata Ruang
Kawasan adalah sebagai pedoman untuk:

Bab III-3
Laporan Pendahuluan

1. Pemberian advis planning;


2. Pengaturan bangunan setempat;
3. Penyusunan rencana teknik ruang kawasan perkotaan atau rencana tata bangunan dan
lingkungan;
4. Pelaksanaan program pembangunan.
3.3.2. Pendekatan Perencanaan
1. Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Perencanaan program pembangunan yang berkelanjutan juga dimaksudkan sebagai upaya
perencanaan program yang dapat tetap berlangsung secara terus menerus dan
berkesinambungan, melalui tahap-tahap pengevaluasian terhadap sarana-prasarana yang
telah ada, perencanaan pembaharuan dan peningkatan, dengan tetap berkaitan antara
hasil satu tahapan perencanaan dengan tahap perencanaan berikutnya pada tahap
lanjutan, guna menghasilkan perencanaan program yang akomodatif terhadap kebijakan-
kebijakan perkembangan kawasan dan tuntutan kebutuhan masyarakat pengguna
Pendekatan perencanaan program yang berwawasan lingkungan menuntut dicapainya hasil-
hasil perencanaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang senantiasa
berorientasi pada kondisi lingkungan sekitar
kawasan dan tetap memelihara lingkungan alami dengan tidak merusak ekosistem yang ada
melalui perubahan-perubahan akibat desain yang seminimal mungkin.

2. Perencanaan Pembangunan yang Terpadu


Pendekatan perencanaan program ini merangkum 2 arah pendekatan, yaitu: perencanaan
program dari atas ke bawah sebagai penurunan kebijaksanaan pembangunan pada tingkat
nasional maupun pada tingkat regional. Pendekatan ini lebih dikenal sebagai pola
pendekatan “top down”. Arah pendekatan berikutnya adalah pembangunan dari bawah ke
atas yang mengakomodasikan sumber daya lokal yang tersedia setelah dianalisis kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan. Pola pendekatan yang lebih menitikberatkan pada
pendekatan “bottom up” ini menyangkut kebijaksanaan dan manajemen pemerintahan
yang menuntut bahwa segala aspek manajemen sesuai dengan usulan dari bawah.
Memperhatikan bahwa pendekatan ini mempunyai kelemahan, khususnya dalam hal teknis,
administratif, dan keuangan. Selanjutnya sisi kelemahan dari metode pendekatan ini
dilengkapi dengan pendekatan top down. Pendekatan di sisi ini lebih bersifat bantuan dan
pembinaan teknis kepada masyarakat atau unsur lainnya yang terlibat dalam proses
pembangunan melalui bottom up planning.
3. Pendekatan Masyarakat ( Community Approach )
Yaitu melalui jaring aspirasi masyarakat baik yang dilakukan dengan cara dialog antara
penyedia jasa dengan masyarakat, juga dengan cara penyebaran daftar isian / questioner.

Bab III-4
Laporan Pendahuluan

4. Kesesuaian Spatial Antar Wilayah


Yaitu kesesuaian perencanaan fisik dengan wilayah sekitarnya, serta wilayah dengan skala
lebih luas secara regional atau nasional, sehingga terjadi sinergi antar wilayah yang saling
menunjang
3.4. Metodologi Perencanaan
3.4.1. Langkah Penyusunan RDTR
1. Persiapan
2. Survey dan Pengumpulan Data Lapangan
a.Koordinasi dan Konsultasi
b. Identifikasi kawasan perencanaan
b. Permasalahan dan potensi masalah
3. Analisa dan Pemecahan Masalah
a. Analisa Data Lapangan
b. Usulan dan Inovasi penyelesaian masalah
4. Program Perencanaan
a. Pra Rencana
b. Diskusi Pembahasan
c. Penyusunan Draft pengaturan Kepala Daerah berupa draft Perda
5. Penyusunan Laporan Perencanaan
a. Laporan Pendahuluan
b. Laporan Antara
c. Laporan Rancangan Rencana
d. Laporan Akhir
3.4.2. Kebutuhan Data
1. Survey Sekunder (Survey Instansional)
Survey sekunder yang dilakukan ke beberapa instansi beserta data yang diperlukan
disajikan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3.1 Kebutuhan Jenis Data Untuk Survey Sekunder
NO DINAS DATA
1. BAPPEDA  RTRW Kabupaten
 Renstra Kabupaten Hulu Sungai Selatan
 Data PAD, PDRB dan APBD
 RPJMD
 Peta Kabupeten Hulu Sungai Selatan
 Peta garis Kawasan Perkotaan Loksado
 Peta topografi, guna lahan, jenis tanah, hidrologi dan iklim
 Peta SDA
 Organisasi aparatur pelaksana pembangunan kota, tata kerja,
dan personalia
 Dasar hukum, Peraturan Daerah, dan Peraturan Perundang –
undangan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Pembangunan
 Pembiayaan Pelaksanaan Rencana/ Pembangunan

Bab III-5
Laporan Pendahuluan

NO DINAS DATA
2. PU  Data jalan dan Peta Jalan
 Data tentang panjang dan lokasi sungai
 Panjang, lebar dan lokasi jaringan jalan arteri
 Panjang, lebar dan lokasi jaringan jalan kolektor
 Panjang, lebar dan lokasi jaringan jalan lokal
 Progam Rencana PU yang berhubungan dalam
pengembangan jalan dan sungai di Kecamatan Kawasan
Perkotaan Loksado
 Data tentang sistem drainase primer, sekunder,
tersier beserta peta
3. BPS  Kabupaten Hulu Sungai Selatan Dalam Angka (time
series 5 tahun)
 Kecamatan Kawasan Perkotaan Loksado Dalam Angka (time
series 5 tahun)
4. TELKOM  Jumlah dan lokasi stasiun telepon
 Jumlah dan lokasi rumah kabel dan kotak pembagi
 Panjang dan lokasi jaringan kabel sekunder
 Panjang dan lokasi jaringan telepon seluler
 Lokasi telepon umum
 Jumlah Pelanggan
 Kebijakan dan Rencana Pengembangan Jaringan
Telekomunikasi
5. PLN  Jumlah dan lokasi bangunan pembangkit
 Jumlah dan lokasi gardu induk tegangan ekstra tinggi
 Jumlah dan lokasi gardu induk dan kapasitas daerah yang
terlayani
 Jumlah dan lokasi gardu distribusi
 Kapasitas terpasang
 Jumlah pelanggan
 Panjang Jaringan Transmisi dan Distribusi
 Kondisi Jaringan Listrik meliputi:
 Penerangan jalan
 Daya
 Titik sambungan
 Kebijakan dan Rencana Pengembangan Jaringan Listrik
6. DINAS PERTANIAN  Jenis, luas dan lokasi pertanian
 Jenis dan Hasil pertanian tiap tahun
 Kebijakan dan rencana Pengembangan Sektor Pertanian
 Data Kelas Lahan Pertanian
7. DINAS  Jumlah dan lokasi terminal penumpang
PERHUBUNGAN  Jumlah dan lokasi terminal barang
 Jenis lokasi trayek angkutan penumpang dan lokasinya
 Jaringan lintas angkutan barang dan lokasinya
 Data Kelas Jalan Di Kecamatan Kawasan Perkotaan Loksado
8. PDAM  Jumlah dan lokasi bangunan pengambil air baku
 Jumlah dan lokasi bak penampung
 Panjang, diameter dan lokasi pipa transmisi air baku intalasi
produksi
 Panjang, diameter dan lokasi pipa transmisi air bersih
 Panjang, diameter dan lokasi pipa distribusi sekunder/distribusi
hingga blok peruntukkan
 Lokasi hidran

Bab III-6
Laporan Pendahuluan

NO DINAS DATA
 Lokasi kran umum
 Sumber – sumber air bersih
 Sistem pelayanan dan distribusi air bersih
 Jumlah Pelanggan
 Kondisi jaringan
 Kebijakan Pengembangan Jaringan Air bersih
9. DINAS  Luas dan Lokasi Taman di Kecamatan Kawasan Perkotaan
LINGKUNGAN Loksado
 Luas dan lokasi MCK di Kecamaan Kawasan Perkotaan
Loksado
 Jalur truk sampah
 Luas dan lokasi (tempat pembuangan sementara) TPS dan TPA
(Tempat Pembuangan Akhir)
 Kebijakan Penanganan Sampah
 Manajemen Persampahan
 Sistem Pengangkutan Sampah
10. KANTOR  Monografi Kelurahan/ Desa
KELURAHAN  Profil Kelurahan/ Desa
 Peta Desa/ Kelurahan

2. Survey Primer (Survey Lapangan)


Sedangkan kebutuhan data yang dilakukan dalam survey primer atau survey lapangan
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.2 Kebutuhan Jenis Data Untuk Survey Primer
NO JENIS SURVEY KETERANGAN
1. Penggunaan Lahan  Lahan peumahan dan permukiman
 Lahan perdagangan
 Lahan industri
 Lahan pendidikan
 Lahan kesehatan
 Lahan peribadatan
 Lahan rekresi
 Lahan lapangan olah raga
 Fasilitas sosial lainnya
 Lahan perkantoran pemerintah dan niaga
 Lahan terminal angkutan, stasiun dan pelabuhan
 Lahan kawasan pertanian
 Lahan pemakaman
 Lahan tempat pembuangan akhir (TPA)
 Kawasan resapan air
 Kawasan sempadan sungai, pantai serta terbuka hijau,
 kawasan lindung bukit/gunung
2. Intensitas Bangunan  KDB
 KLB
 Tinggi lantai bangunan
 GSB
 GMB
3. Sarana  Perdagangan
 Jenis  Pendidikan
 Jumlah  Kesehatan
 Daya tampung  Peribadatan

Bab III-7
Laporan Pendahuluan

NO JENIS SURVEY KETERANGAN


 Radius pencapaian  Rekreasi
 Luas persil  Fasum
 Kondisi  Fasilitas sosial)
 Lokasi
4. Prasarana  Telepon umum
 Ukuran  Hidran
 Panjang  Kran umum
 Kondisi  TPA
 Lokasi  TPS
 MCK Umum
 Saluran drainase (primer, sekunder, tersier)
 Jaringan jalan (arteri, kolektor, lokal, lingkungan)

3.4.3. Metodologi Analisa


Untuk melakukan analisa terhadap serangkaian informasi dan kondisi obyek studi
diperlukan suatu perangkat / alat analisis yang tepat guna dan berhasil guna. Perangkat / alat
analisis yang berupa model-model kuantitatif yang akan digunakan pada langkah kegiatan
analisa dalam pekerjaan penyusunan RDTRK Loksado disusun sebagai berikut ;
1. Analisis Wilayah BWP
Analisis ini merupakan analisis yang akan menemukenali bentuk kawasan secara
keseluruhan yang nantinya antar bagian akan saling mendukung dan melengkapi fungsinya.
Adapun analisis akan meliputi :
a. Perkembangan pembangunan, merupakan kebijakan rencana pembangunan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah maupun swasta;
b. Pusat-pusat kegiatan, dengan melakukan kajian terhadap pemusatan kegiatan yang ada
atau direncanakan oleh rencana diatasnya;
c. Kesesuaian dan daya dukung lahan, sebagai daya tampung dan daya hambat ruang kawasan
dalam berkembang;
d. Pembagian fungsi ruang pengembangan, merupakan struktur kawasan yang dibagi dalam
fungsi dan peran bagian-bagian kawasan.
Untuk menyusun struktur tata ruang, perlu dilakukan tahapan superimpose/analisis antara
struktur pusat-pusat yang telah ditentukan (dihitung) dengan alokasi penggunaan lahan. Maka
dalam penyusunan standar manual struktur tata ruang akan terkait pengertian pusat wilayah,
struktur transportasi dan wilayah yang dilayani oleh pusat tersebut. Dan dalam hal ini, unit
wilayah perencanaan pada tingkat RDTR dapat berupa satu SKP (kecamatan) atau sebagian dari
satu atau beberapa SKP yang luasnya berkisar antara 10.000 Ha – 20.000 Ha. Metode
pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis struktur tata ruang adalah sebagai
berikut :
a) Analisis Aksesbilitas
Analisis aksesbilitas ini digunakan untuk mengukur tingkat kemudahan pencapaian dari
pusat-pusat pemukiman ke pusat-pusat pelayanan. Variabel-variabel yang digunakan adalah :
jarak/waktu tempuh, frekuensi kendaraan umum, dan ada tidaknya jalan penghubung.

Bab III-8
Laporan Pendahuluan

- Nilai aksesbilitas:
A=FKT
d
Dimana: A = nilai aksesbilitas
F = fungsi jalan (arteri, kolektor, lokal)
K = konstruksi jalan (aspal, perkerasan tanah)
T = kondisi jalan (baik, sedang, buruk).
d = jarak
Nilai-nilai F, K,dan T diberi bobot.
- Indeks Aksesbilitas :
A= EJ
( dij)b
Dimana: EJ = ukuran aktivitas (antara lain: jumlah penduduk usia kerja, pedagang, dan
sebagainya)
dij = jarak tempuh (waktu/jarak)
b = parameter
Perhitungan parameter b dengan menggunakan grafik regresi linier yang diperoleh
berdasarkan perhitungan:
K= T ij

P ij

Dimana: T = nilai individu trip


P = jumlah penduduk seluruh daerah
T ij = total trip hipotetis
Pij = jumlah penduduk di daerah I dan j
b) Analisis Tingkat Perkembangan Kawasan
Analisis ini dipakai untuk mengetahui tingkat perkembangan tiap kawasan sehingga dapat
diketahui desa mana yang maju dan terbelakang. Informasi ini memberikan dasar dalam
mengarahkan program-program pembangunan.
Variabel data yang digunakan adalah:
a. Data Fisik: kelengkapan fasilitas, dan kondisi rumah
b. Data Sosial: kelembagaan, tingkat buta huruf, perkembangan desa, kurang kalori
protein (KKP) dan penyediaan air bersih.
c. Data Ekonomi: pendapatan perkapita, pemilikian ternak, dan produksi padi.
Alternatif model yang digunakan adalah model pembobotan.
Rumusnya:
Bi = Pi x 1000
P
Dimana: Bi = bobot perkembangan kecamatan

Bab III-9
Laporan Pendahuluan

Pi = jumlah aktifitas i
P = jumlah penduduk
c) Analisis Sistem Hubungan (Linkage)
Digunakan untuk mengamati hubungan saling ketergantungan antara satu pusat pemukiman
dan pusat pemukiman lainnya dan antara pusat pemukiman dengan pusat-pusat pelayanan
sosial ekonomi.
Informasi yang muncul dari analisis ini adalah organisasi spasial dari pemukiman-
pemukiman penduduk. Intensitas hubungan dari pusat-pusat pemukiman ke pusat pemasaran,
pendidikan lanjutan atas, pelayanan kesehatan, dapat menunjukkan pola tata ruang
berdasarkan hubungan fungsional yang terjalin.
Dengan analisis ini dapat diidentifikasi pemukiman-pemukiman yang berada di luar
sistem kaitan ruang, yaitu daerah yang kurang terlayani. Alternatif model yang dapat
digunakan adalah model gravitasi yaitu sebagai berikut:
Gi – j = K D i Dj
d ij
x

Dimana: Gi – j = Besaran pergeseran relatif


K = Konstanta gravitasi
Di = Dimensi aktivitas zone i
Dj = Dimensi aktivitas zone j
d ij = Jarak antara i – j
x = Konstanta jarak
d) Skalogram
Metode analisis ini digunakan untuk membuat hirarki atau jenjang pemukiman, yang
didasarkan pada kelengkapan fasilitas sosial ekonomi. Makin lengkap fasilitas sosial ekonomi
yang ada pada suatu pemukiman akan semakin tinggi hirarkinya.
Skalogram bisa dibuat setelah tersedia data yang lengkap mengenai fasilitas sosial dan
ekonomi pada pemukiman di suatu wilayah. Fasilitas yang diinventarisasi meliputi : fasilitas
ekonomi, pendidikan, kesehatan, peribadatan, olahraga, rekreasi, pemerintahan,
perdagangan, jasa, hal yang berkaitan dengan produksi pertanian dan perindustrian dan
fasilitas transportasi.
Hasil inventarisasi disajikan dalam suatu matrik yang disebut Skalogram. Beberapa
langkah yang ditempuh untuk memperoleh hasil akhir tersebut adalah :
a. Membuat urutan pemukiman berdasarkan jumlah penduduk. Makin besar jumlah
penduduk, makin awal diletakkan.
b. Membuat urutan fasilitas menurut kelengkapannya. Makin lengkap fasilitas, diurutkan
pada baris paling atas. Makin tersebar diseluruh wilayah, makin ke kiri letak fasilitas pada
matrik tersebut.

Bab III-10
Laporan Pendahuluan

Matrik ini dapat menggambarkan sistem pusat-pusat pelayanan di seluruh wilayah.


Dengan membuat tangga, kemudian menghitung coefficient of reproductivity ( COR ), bila
COR mencapai 75% berarti susunan tersebut sudah menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
COR dihitung sebagai berikut:
COR = (Total jenis – error) X 100%
Total jenis
Dimana: Total jenis : jenis fasilitas yang diinventarisasi
Error : jumlah kotak kosong pada ruang di atas garis tangga ditambah jumlah
kotak isi pada ruang di bawah garis tangga.
e) Analisis Fungsional Skalogram
Perhitungan yang lebih halus dari skalogram adalah dengan menggunakan indeks sentralitas
(IS). Fasilitas-fasilitas yang dianggap mewakili fungsi-fungsi pusat bukan hanya melayani
penduduk setempat, melainkan juga melayani penduduk di pemukiman lain.
Fasilitas yang terdapat hampir di seluruh wilayah atau desa dinilai mempunyai indeks
sentralitas yang rendah, demikian sebaliknya. Pemukiman yang mempunyai score (total IS)
tinggi dianggap sebagai pusat pelayanan utama (PP1) selanjutnya pemukiman yang lain
dikelompokkan sebagai pusat pelayanan kedua dan seterusnya..
f) Analisis Daya Tampung
Analisa daya tampung wilayah adalah analisa untuk melihat kemampuan suatu wilayah/
kawasan dalam menampung kehidupan manusia dan segala kegiatan yang berkaitan dengan
usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya hingga mencapai tingkat kehidupan yang layak dengan
tetap memperhatikan keserasian dan kelestarian kondisi lingkungan.
Hasil analisa daya tampung diharapkan akan bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan
(pedoman) untuk menentukan strategi dan kebijakan kependudukan dimasa mendatang. Oleh
karena itu analisa daya tampung wilayah menjadi salah satu bagian yang penting di dalam
perencanaan tata ruang.
Maksud dan tujuan dilakukannya analisa daya tampung wilayah adalah:
1. memberikan gambaran mengenai kemampuan suatu wilayah dalam mendukung
kehidupan yang layak bagi penduduk yang berada dalam wilayah tersebut.
2. memberikan bahan pertimbangan (pedoman) untuk penentuan strategi/kebijakan
kependudukan.
Beberapa asumsi yang mendasari proses analisa ini adalah:
 Kegiatan usaha (mata pencaharian) penduduk secara garis besar dibedakan
menjadi dua kelompok sesuai dengan tempat kedudukan penduduk yang bersangkutan,
yaitu:
- Penduduk yang bertempat kedudukan didaerah belakang (hinterland) dianggap
seluruhnya bermata pencaharian di sektor pertanian (Agriculture Oriented).

Bab III-11
Laporan Pendahuluan

- Penduduk yang bertempat kedudukan di pusat-pusat pengembangan dianggap


bermatapencaharian di sektor non pertanian (Non Agriculture Oriented).
 Kabupaten dianggap sebagai unit wilayah terbesar yang memenuhi homogenitas
karakteristik sosial dan ekonomi. Perbandingan jumlah penduduk yang bertempat
kedudukan di pusat pengembangan dan di daerah hinterland dianggap mencerminkan
struktur sosial dan struktur ekonomi wilayah yang bersangkutan.
 Bagi penduduk yang bertempat kedudukan di daerah hinterland dianggap
keseluruhannya bermatapencaharian di sektor pertanian yang bertempat kedudukan di
pusat pengembangan dianggap keseluruhannya bermatapencaharian di sektor non
pertanian. Untuk mencapai taraf hidup yang layak, masing-masing kelompok penduduk
tersebut memerlukan luasan lahan tertentu.
Data/informasi yang diperlukan dalam proses analisa daya tampung, yaitu:
- Luas wilayah (SKP) secara planimetris
- Nilai perbandingan jumlah penduduk pusat pengembangan dengan daerah hinterland
Standar kebutuhan lahan bagi masing-masing penduduk untuk mencapai taraf hidup yang
layak, dibedakan antara penduduk di pusat pengembangan dan penduduk di hinterland.
Secara umum untuk perkotaan = 0,01 per-kapita dan untuk daerah belakang (hinterland) =
0,3 Ha per-kapita.
Rumus :
L = P x Dt x Sk1 + h x Dt x Sk2
p+h p+h
Dimana: L = Luas wilayah (planimetris)
P = Jumlah penduduk yang bertempat kedudukan di pusat pengembangan
(WPP)
Sk1 = Standar kebutuhan lahan perkapita untuk penduduk pusat pengembangan
(0,01 Ha per-kapita)
Sk2 = Standar Kebutuhan lahan perkapita untuk penduduk daerah hinterland (0,3
Ha per-kapita)
Dt = Daya tampung wilayah
Dari perhitungan dengan rumus tersebut akan di peroleh hasil (output) berupa:
- Daya tampung pusat WPP
- Daya tampung SKP (keseluruhan)
Selanjutnya apabila luas masing-masing SKP diketahui (hasil perhitungan diatas peta),
maka dengan menggunakan rumus dibawah ini:

LSKP = Pi x Dt x Ski + hi x Dt x Sk2


Pi + h i Pi + h i
Dimana: LSKP = Luas SKP

Bab III-12
Laporan Pendahuluan

Pi dan hi = Seperti dalam perhitungan terdahulu


Pi + hi P i + hI
Sk1 dan Sk 2 = seperti dalam perhitungan terdahulu
Hasil (output) yang akan diperoleh adalah:
- Daya tampung masing-masing pusat SKP
- Daya tampung hinterland masing-masing SKP
2. Analisis Sumber Daya Alam, Fisik dan Lingkungan BWP
Analisis ini akan berkaitan erat dengan pemanfaatan lahan yang nantinya akan menjadi
point pembahasan penting dalam suatu produk rencana. Analisis alokasi pemanfaatan ruang
diarahkan untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam proses alokasi pemanfaatan
ruang untuk memperoleh manfaat optimal bagi pengembangan wilayah perencanaan dengan
tetap memperhatikan kepentingan masa depan.
Metode-metode yang dikembangkan/digunakan untuk maksud tersebut berpedoman
kepada dua azas utama, yaitu : azas kesesuaian dan azas keberlanjutan.
Berpedoman kepada kedua azas tersebut, maka proses alokasi pemanfaatan ruang
selalu diawali dengan penetapan alokasi kawasan lindung, sedangkan bagian wilayah
perencanaan yang tidak termasuk sebagai kawasan lindung ditetapkan pemanfaatannya sebagai
kawasan budidaya. Penentuan jenis kegiatan budidaya pada kawasan budidaya juga tidak
dapat dilakukan secara semena-mena, tetapi seyogyanya mengacu pada kesesuaiannya, baik
dilihat dari segi fisik (agro-ekologis), maupun dari sisi ekonomi dan sosial.
Kesesuaian pemanfaatan ruang dari segi agro ekologis disamping diharapkan akan
memberikan manfaat ekonomi yang relatif lebih besar dengan memasukkan yang relatif lebih
rendah, juga pada sisi lain akan mencegah terjadinya degradasi kualitas ruang/lahan akibat
pola penggunaan yang tidak tepat.
Demikian pula halnya dengan kesesuaian dari segi ekonomi yang akan melengkapi
kajian-kajian kesesuaian fisik dengan beberapa pertimbangan ekonomi sehingga pemilihan
pada pemanfaatan lahan/ruang dapat mengoptimalkan kesempatan ekonomi (economic
oppurtunities) yang dimiliki ruang.
Kesesuaian dari segi sosial/teknologi seyogyanya ikut dipertimbangkan dalam proses
alokasi pemanfaatan ruang. Karena kesesuaian jenis dapat diharapkan mampu mencegah
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan kemampuan/keterampilan yang dimiliki oleh
masyarakat setempat. Dengan demikian mencegah sejauh mungkin kegiatan pemanfaatan yang
akan hanya menjadi enclave pada suatu wilayah. Dengan kata lain kesesuaian sosio-teknologis
secara langsung mendukung tercapainya salah satu tujuan pembangunan nasional, yaitu
pemerataan kesempatan berusaha, karena kesesuaian dimaksud cenderung hanya menerima
pola pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kemampuan/keterampilan masyarakat yang
berdiam di wilayah perencanaan, sehingga dengan demikian pemanfaatan tersebut membuka

Bab III-13
Laporan Pendahuluan

peluang bagi peningkatan peran serta masyarakat dan benar-benar dapat dinikmati oleh
masyarakat setempat.
Dengan pertimbangan ketiga jenis kesesuaian dimaksud, maka diharapkan alokasi
pemanfaatan ruang mampu mempertinggi produktivitas wilayah, dan selanjutnya akan
meningkatkan daya saing wilayah perencanaan, dengan tidak melupakan kepentingan
masyarakat setempat dan kepentingan masa depan. Untuk melakukan analisis alokasi
pemanfaatan ruang diperlukan beberapa arahan sebagai berikut :
A. Untuk menetapkan suatu alokasi sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya
dilakukan prosedur alokasi pemanfaatan ruang.
Penentuan suatu alokasi sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya dilakukan dengan
mengacu pada kriteria lokasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Kriteria dimaksud secara
langsung maupun tidak langsung merefleksikan daya dukung serta tingkat kesesuaian (fisik)
lokasi dengan kegiatan yang akan diletakkan di atasnya. Teknis analisis yanag
dipergunakan adalah dengan melakukan sumperimpose (overlay peta) dengan memberikan
nilai sesuai variabelnya dan kemudian menghitung nilai dari setiap variabel dengan
menggunakan klasifikasi penilaian dan selanjutnya menghitung skor lokasi setiap unit
medan dengan menjumlahkan hasil perkalian antara nilai dengan bobotnya
1) Kriteria Lokasi : Karakteristik fisik lahan seperti kemiringan lahan, kepekaan tanah
terhadap erosi, intensitas curah hujan dan ketinggian merupakan variabel utama dalam
penetapan jenis kawasan, disamping variabel lainnya seperti ketersediaan sumberdaya
(termasuk air) yang mendukung atau diperlukan oleh suatu kegiatan budidaya yang
merupakan variabel utama dalam pengalokasian pemanfaatan ruang untuk kawasan
budidaya
2) Skorlokasi : Skorlokasi merupakan salah satu parameter utama dalam penentuan jenis
kawasan. Skor ini merupakan hasil overlay dan pembobotan dari 3 variabel lokasi, yaitu
kemiringan lereng, jenis tanah dan intensitas curah hujan. Jika skorlokasi > 175, maka
lokasi bersangkutan harus diterapkan sebagai kawasan lindung, jika sebaliknya maka
dapat dimanfatkan sebagai kawasan budidaya, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No.837/KPTS/Um/1980.

Kriteria Penetapan Kawasan Lindung


Tabel 3.3.

Berdasarkan SK Menteri Pertanian


No.837/KPTS/1980
Nilai
Variabel Kriteria Skor
Bobot
Topografi Kelerengan 0 – 8 % atau tingkat I 20
Kelerengan 8 – 15 % atau tingkat II 40

Bab III-14
Laporan Pendahuluan

Nilai
Variabel Kriteria Skor
Bobot
Kelerengan 15 – 25 % atau tingkat III 60 Dengan menjumlah
Kelerengan 25 – 45 % atau tingkat IV 80 nilai bobot pada
Kelerengan > 45 % atau tingkat V 100 tiap – tiap
Alluvial, tanah glei, planosol, hidromorf 15 Variabel yang
kelabu, latorik air tanah termasuk dalam digunakan maka
tingkat tidak peka terhadap erosi didapat klasifikasi
Latosol termasuk dalam tingkat kurang 30 skor sebagai
peka terhadap erosi berikut :
Brown forest soil, noncolcic brown, 45  < 74 Termasuk
mediteran termasuk dalam tingkat agak kawasan
Jenis budidaya
peka terhadap terhadap erosi
Tanah tanaman
Andosol, loterik, grumosol, potsol, podsolik 60
termasuk dalam tingkat peka terhadap semusim
erosi  74 – 125
Regosol, litosol, organosol, rezina termasuk 75 termasuk
dalam tingkat sangat peka terhadap erosi kawasan
Intensitas < 13,6 mm / hari termasuk 10 budidaya
dalam klasifikasi rendah tanaman tahunan
Intensitas 13,6 – 20,7 m / hari termasuk 20  125 – 175
dalam klasifikasi rendah termasuk
Intensitas 20,7 – 27,7 m / hari termasuk 30 kawasan
Iklim penyangga
dalam klasifikasi sedang
 > 175 termasuk
Intensitas 27,7 – 34,8 mm / hari termasuk 40
kawasan lindung
dalam klasifikasi tinggi
Intensitas > 34,8 mm / hari termasuk 50
dalam klasifikasi sangat timggi
Sumber : SK Menteri Pertanian No. 837 / KPTS / 1980

B. Untuk menetapkan kegiatan yang mampu didukung oleh suatu lahan dipergunakan metode
analisis kemampuan lahan
Analisis kemampuan lahan adalah analisis tingkat kemampuan sebidang lahan untuk suatu
penggunaan tertentu, baik pertanian maupun bukan pertanian.

Tabel 3.4. Klasifikasi Kemampuan Lahan


Kesesuaian Penggunaan/
Kelas Parameter
Kesesuaian tanaman
A. LAHAN GARAPAN
I Sangat sesuai/lahan terbaik untuk pertanian  Kedalaman efektif tanah
II Sangat sesuai/banjir merupakan bahaya  Tekstur
III Produksi sedang  permeabilitas/pengatusan
IV Rendah/kesesuaian kecil internal
B. BUKAN LAHAN GARAPAN  Kelerengan
V Tanaman keras/semusim  Erosi
VI Tidak sesuai untuk tanaman pertanian
VII Tidak sesuai untuk pertanian dan pengembalaan
VIII Perlindungan DAS/hutan alam tidak terganggu
Sumber : Proses Penataan ruang

Bab III-15
Laporan Pendahuluan

C. Untuk menetapkan kegiatan yang mampu didukung oleh suatu lahan dipergunakan metode
analisis kemampuan lahan
Analisis kemampuan lahan adalah analisis tingkat kemampuan sebidang lahan untuk suatu
penggunaan tertentu, baik pertanian maupun bukan pertanian. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 3.5. Parameter untuk Klasifikasi


Kemampuan Lahan
Parameter dan Kriteria
Kelas Kedalaman
Lereng Tekstur Pengatusan Erosi
Efektif Tanah
I 0 – 4% HV 90 V 0-1-2
II 0 – 4% L 50 V 1-2
0 – 4% M 50 – 37 V 1-2
0 – 4% HV 50 V 1-2
4 – 15% M 50 V 1-2
4 – 15% HV 50 V 1-2
III 0 – 4% L 37 III 1-2-3
0 – 4% L 50 VI 1-2-3
0 – 4% L 37 V 1-2-3
0 – 4% M 50 III 1-2-3
0 – 4% M 37 V 1-2-3
0 – 4% HV 90 – 50 III 1-2-3
0 – 4% HV 37 - 1-2-3
4 – 15% L 50 - 1-2-3
4 – 15% L 37 III 1-2-3
4 – 15% L 37 V 1-2-3
4 – 15% M 50 – 37 III 1-2-3
4 – 15% M 37 V 1-2-3
4 – 15% HV 50 III 1-2-3
4 – 15% HV 37 - 1-2-3
15 – 30% M 50 - 1-2-3
15 – 30% HV 37 - 1-2-3
IV 0 – 4% L 37 VI 1-2-3
0 – 4% L 25 - 1-2-3
0 – 4% M 25 - 1-2-3
0 – 4% HV 25 - 1-2-3
4 – 15% L 37 VI 1-2-3
4 – 15% L 25 - 1-2-3
4 – 15% M 25 - 1-2-3
4 – 15% HV 25 - 1-2-3
15 – 30% L - - 1-2-3
15 – 30% M 25 - 1-2-3
15 – 30% HV 25 - 1-2-3

Bab III-16
Laporan Pendahuluan

Parameter dan Kriteria


Kelas Kedalaman
Lereng Tekstur Pengatusan Erosi
Efektif Tanah
30 – 50% HMV 25 - 1-2-3
Keterangan :
Kelas V : berbukit/bergunung, lereng 50-80%, kelas erosi 4
Kelas VI : lereng sangat curam 80 – 110%
Kelas VII : lereng sangat curam 110 – 150%, kelas erosi 4-5, tanah sangat
dangkal dan berbatu-batu
Kelas VIII : daerah pegunungan, lereng > 15)%
L : ringan I : buruk sampai sangat buruk 1 : rendah/tidak peka
M : sedang II : tidak sempurna sampai 2 : agak peka
sedang 3 : kurang peka
H : berat III : sedang sampai cukup baik 4 : peka
IV : sedang sampai baik
5 ; sangat peka
V: sangat berat V ; berlebihan

D. Untuk menentukan komoditas yang sesuai dikembangkan pada suatu wilayah dilihat dari
sisi kondisi agro-ekologis dipergunakan metode analisis kesesuaian lahan
Analisis kesesuaian lahan adalah analisis mengenai tingkat kesesuaian sebidang lahan untuk
suatu penggunaan tertentu dengan memperhatikan pengelolaan khas yang diperlukan agar
diperoleh hubungan yang lebih baik atau menguntungkan antara manfat (hasil) dan
masukan (investasi) yang diperlukan, baik atas dasar pengalaman maupun antisipasi. Jadi
istilah kesesuaian lahan berkonotasi ekonomi dan lingkungan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.6. Penetapan Kelas Kesesuaian Lahan


Kelas Tingkatan Ketentuan
Tanah tidak mempunyai pembatas berarti untuk jenis penggunaan
tertentu secara berkelanjutan, atau hanya mempunyai pembatas
yang sangat kecil yang tidak berarti dalam pengurangan produktivitas
SI Sesuai
atau manfaat dan tidak akan mempertinggi investasi ( masukan
teknologi dalam penggunaan lahan ) diatas tingkat yang dapat
diterima
Tanah yang mempunyai pembatas – pembatas yang dalam
keseluruhannya merupakan pembatas yang mempunyai tingkat
keparahan sedang untuk jenis penggunaan tertentu secara
Kesesuaian berkelanjutan ; pembatas – pembatas tersebut akan mengurangi
S2
sedang produktivitas atau manfaat dan menambah masukan teknologi dalam
penggunaan tanah sampai suatu tingkat sehingga keuntungan
keseluruhan dapat diperoleh dari penggunaan tersebut, meskipun
masih menarik, tetapi mutunya agak lebih rendah daripada kelas SI
Tanah yang mempunyai pembatas – pembatas yang dalam
keseluruhannya merupakan penggunaan tertentu secara
Kesesuaian
S3 berkelanjutan, dan akan lebih besar mengurangi produktivitas atau
kecil
manfaat atau meningkatkan masukan teknologi dalam penggunaan
tanah dengan biaya yang dapat diterima dengan agak berat
Tanah yang memerlukan penyelidikan khusus atau bahan dimana
Sesuai
S4 persyaratan – persayaratan tambahan harus dipenuhi untuk
bersyarat
berhasilnya suatu penggunaan tanah

Bab III-17
Laporan Pendahuluan

Kelas Tingkatan Ketentuan


Tanah yang mempunyai pembatas – pembatas yang kritis sehingga
Tidak
T dianggap tidak sesuai bagi pengurugan tanah tertentu menurut
sesuai
kriteria yang digunakan
Sumber : Peta Kesesuaian Tanah Multidisiplin DAS Brantas, Konto River Project Phase III dan
The Soil Conservation Service of the Federation of Rhodesia and Nyasaland

Tabel 3.7. Kesesuaian Tanah untuk Sawah Irigasi


dan Tadah Hujan
Parameter dan Kriteria
Tekstu Kedalaman
No Kelas Leren Pengatusan Potensi
r tanah Banjir
g% internal Erosi
Tanah ( cm )
75 – 100
SI Sangat (dalam – tak sempurna
1 0–2 Tidak ada rendah
Sesuai berat amat buruk
dalam)
Banjir
S2
50 – 75 musiman
2 Kesesuaian 2–4 Berat sedang – baik sedang
(sedang) tidak
sedang
merusak
S3 Banjir
25 – 50
3 Kesesuaian 4–8 Sedang - musiman tinggi
(dangkal)
Kecil merusak
S4 Sesuai
4 8 – 45 Sedang - - - sangat tinggi
bersayarat
Banjir
< 25 (sangat musiman kelewat
5 Tidak sesuai > 45 Ringan berlebihan
dangkal) merusak tinggi
berat
Sumber : Peta Kesesuaian Tanah Multidisiplin DAS Brantas, Konto River Project Phase III
dan The Soil Conservation Service of the Federation of Rhodesia and Nyasaland

E. Peruntukan Lahan (Pemanfaatan Lahan)


Hasil dari analisa diatas adalah arahan pemetaan pemanfaatan lahan yang berikut ini
akan dibahas masing-masing fungsi dan kriteria pemanfaatan lahannya ;
a) Analisis Kawasan Perumahan ;
 Fungsi utama
Kawasan peruntukan permukiman memiliki fungsi antara lain:
1) Sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung peri
kehidupan dan penghidupan masyarakat sekaligus menciptakan interaksi sosial;
2) Sebagai kumpulan tempat hunian dan tempat berteduh keluarga serta sarana

Bab III-18
Laporan Pendahuluan

bagi pembinaan keluarga


 Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang perumahan, permukiman, peran masyarakat dan pembinaan
perumahan dan permukiman nasional mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan Surat Keputusan Menteri Permukiman
dan Prasarana Wilayah Nomor 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP);
2) Pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan permukiman harus sesuai dengan daya
dukung tanah setempat dan harus dapat menyediakan lingkungan yang sehat dan aman
dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi
pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan
hidup;
3) Kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan dan terjangkau oleh
sarana tranportasi umum;
4) Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harus didukung oleh
ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat perdagangan dan jasa,
perkantoran, sarana air bersih, persampahan, penanganan limbah dan drainase) dan
fasilitas sosial (kesehatan, pendidikan, agama);
5) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
6) Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
7) Dalam hal kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba), penetapan
lokasi dan penyediaan tanah; penyelenggaraan pengelolaan; dan pembinaannya diatur
di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan
Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri.
 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
1) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%);
2) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara dengan
jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air antara 60 L/org/hari – 100
liter/org/hari;
3) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi);
4) Drainase baik sampai sedang;
5) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata air/saluran
pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan;
6) Tidak berada pada kawasan lindung;
7) Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga;
8) Menghindari sawah irigasi teknis.
 Kriteria dan batasan teknis:

Bab III-19
Laporan Pendahuluan

1) Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% - 60% dari luas lahan
yang ada, dan untuk kawasan-kawasan tertentu disesuaikan dengan karakteristik serta
daya dukung lingkungan;
2) Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru perumahan tidak
bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan dilengkapi dengan utilitas umum yang
memadai;
3) Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan peruntukan
permukiman di perdesaan dengan menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari
bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi
pengembangan masyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi
lingkungan hidup;
4) Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan:
a) Sistem pembuangan air limbah yang memenuhi SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan;
b) Sistem pembuangan air hujan yang mempunyai kapasitas tampung yang cukup
sehingga lingkungan perumahan bebas dari genangan. Saluran pembuangan air
hujan harus direncanakan berdasarkan frekuensi intensitas curah hujan 5 tahunan
dan daya resap tanah. Saluran ini dapat berupa saluran terbuka maupun tertutup.
Dilengkapi juga dengan sumur resapan air hujan mengikuti SNI 03-2453-2002
tentang Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan
dan dilengkapi dengan penanaman pohon;
c) Prasarana air bersih yang memenuhi syarat, baik kuantitas maupun kualitasnya.
Kapasitas minimum sambungan rumah tangga 60 liter/orang/hari dan sambungan
kran umum 30 liter/orang/hari;
d) Sistem pembuangan sampah mengikuti ketentuan SNI 03-3242-1994 tentang Tata
Cara Pengelolaan Sampah di Permukiman.
9) Pemanfaatan kawasan perumahan merujuk pada SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara
Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, serta Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas
Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah;
10) Dalam rangka mewujudkan kawasan perkotaan yang tertata dengan baik, perlu
dilakukan peremajaan permukiman kumuh yang mengacu pada Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kampung Kota;
b) Analisis Kawasan Industri
 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan kawasan peruntukan industri yang
berorientasi bahan mentah:

Bab III-20
Laporan Pendahuluan

1) kemiringan lereng : kemiringan lereng yang sesuai untuk kegiatan industri berkisar
0% - 25%, pada kemiringan >25% - 45% dapat dikembangkan kegiatan industri
dengan perbaikan kontur, serta ketinggian tidak lebih dari 1000 meter dpl;
2) hidrologi : bebas genangan, dekat dengan sumber air, drainase baik sampai sedang;
3) klimatologi : lokasi berada pada kecenderungan minimum arah angin yang menuju
permukiman penduduk;
4) geologi : dapat menunjang konstruksi bangunan, tidak berada di daerah rawan
bencana longsor;
5) lahan : area cukup luas minimal 20 ha; karakteristik tanah bertekstur sedang
sampai kasar, berada pada tanah marginal untuk pertanian.
 Kriteria teknis:
1) Harus memperhatikan kelestarian lingkungan;
2) Harus dilengkapi dengan unit pengolahan limbah;
3) Harus memperhatikan suplai air bersih;
4) Jenis industri yang dikembangkan adalah industri yang ramah lingkungan dan
memenuhi kriteria ambang limbah yang ditetapkan Kementerian Lingkungan
Hidup;
5) Pengelolaan limbah untuk industri yang berkumpul di lokasi berdekatan sebaiknya
dikelola secara terpadu;
6) Pembatasan pembangunan perumahan baru di kawasan peruntukan industri;
7) Harus memenuhi syarat AMDAL sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku;
8) Memperhatikan penataan kawasan perumahan di sekitar kawasan industri;
9) Pembangunan kawasan industri minimal berjarak 2 Km dari permukiman dan
berjarak 15-20 Km dari pusat kota;
10) Kawasan industri minimal berjarak 5 Km dari sungai tipe C atau D;
11) Penggunaan lahan pada kawasan industri terdiri dari penggunaan kaveling
industri,jalan dan saluran, ruang terbuka hijau, dan fasilitas penunjang. Pola
penggunaan.
Tabel 3.8. Pola Penggunaan Lahan Pada Kawasan Industri

Bab III-21
Laporan Pendahuluan

12) Setiap kawasan industri, sesuai dengan luas lahan yang dikelola, harus
mengalokasikan lahannya untuk kavling industri, kaveling perumahan, jalan dan
sarana penunjang, dan ruang terbuka hijau. Alokasi lahan pada Kawasan
Industri dapat dilihat pada Tabel berikut ;

Tabel 3.9. Alokasi Lahan Pada Kawasan Industri

13) Kawasan Industri harus menyediakan fasilitas fisik dan pelayanan umum. Standar
teknis pelayanan umum dan fasilitas fisik di kawasan industri dapat dilihat pada
tabel berikut ;
Tabel 3.10. Standard Teknis Pelayanan Umum di Kawasan Industri

Bab III-22
Laporan Pendahuluan

Bab III-23
Laporan Pendahuluan

Tabel 3.11. Kriteria Lokasi Industri


LOKASI
Komplek Lahan Peruntukan
Sentra
Industri Industrial Estate Industri Kawasan Berikat Permukiman Sarana Usaha
No STANDAR TEKNIS Industri
(Ind. (Ind. Bonded Zone Industri Kecil Industri Kecil
Kecil
Dasar/Hulu (Ind. Manufaktur) Dasar/Manufaktur/ (Ind. Manufaktur) IK IK
IK
Ind. Terpadu) Ind. Kecil)
1 Jarak Terhadap Di Luar Kota Maksimal Daerah Pinggiran Daerah Pinggiran Tak Tertentu Tak Tertentu Di dalam
Pusat Kota kota Industrial
Kota dengan Estate
aksessibilitas
tinggi ke
pelabuhan/
airport
2 Jarak Terhadap Terpisah dari Minimal 2 km Minimal 3 km Terpisah dari Relatif Relatif Di dalam
berbaur berbaur Industrial
Permukiman permukiman permukiman dengan dengan Estate
permukiman permukiman
3 Jaringan Jalan Di sekitar Di sekitar jalan Di sekitar jalur Di sekitar jalur Dapat Dapat Di dalam
jalan dijangkau dijangkau Industrial
regional regional regional regional jalan lokal jalan lokal Estate
4 Fasilitas dan Minimal Dalam radius Dalam radius Dalam radius Minimal Minimal Di dalam
Prasarana tersedia pelayanan pelayanan pelayanan terlayani tersedia Industrial
air bersih listrik, air bersih, listrik, air bersih, listrik, air bersih, listrik dan sumber air Estate
telkom telkom telkom sumber
sistem sistem transportasi sistem air
transportasi dan transportasi
perbankan terutama
pelabuhan/
airport dan cargo
terminal
5 Kualitas Air Sungai Terlayani Terlayani sungai Terlayani sungai Terlayani sungai Terlayani Terlayani Di dalam
sungai sungai sungai Industrial
Golongan C Golongan C dan D Golongan C dan D Golongan C dan D Golongan C Golongan C Estate
dan D dan D dan D

Bab III-24
Laporan Pendahuluan

6 Peruntukan Lahan Budidaya non Budidaya non Budidaya non Budidaya non Dapat berbaur Dapat berbaur Di dalam
Industrial
pertanian pertanian pertanian pertanian antara lain antara lain Estate
dengan
permukiman perdagangan,
dan
pertanian pertanian,
dan
permukiman
7 Orientasi Lokasi Lokasi Bahan Aksesibilitas dan Infrastruktur Aksesibilitas ke Tenaga Kerja - -
Baku
Tenaga Kerja Pelabuhan
Sumber: SK Menteri Perindustrian No. 291/1989 tentang Standar Teknis Kawasan Industri
Catatan: Di dalam Penetapan ruang kegiatan industri secara operasional di samping kriteria di atas perlu dipertimbangkan
faktor kemiringan lahan dan daya dukung tanah (mengingat faktor tersebut mempengaruhi biaya konstruksi pabrik)
serta tingkat produktifitas tanah dalam kaitannya dengan lahan pertanian

Bab III-25
Laporan Pendahuluan

c) Analisis Kawasan Perdagangan dan Jasa


 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
1) Tidak terletak pada kawasan lindung dan kawasan bencana alam;
2) Lokasinya strategis dan mudah dicapai dari seluruh penjuru kota;
3) Dilengkapi dengan sarana antara lain tempat parkir umum, bank/ATM, pos
polisi, pos pemadam kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan
sarana penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung;
4) Terdiri dari perdagangan lokal, regional, dan antar regional.
 Kriteria dan batasan teknis:
1) Pembangunan hunian diijinkan hanya jika bangunan komersial telah berada
pada persil atau merupakan bagian dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
2) Penggunaan hunian dan parkir hunian dilarang pada lantai dasar di bagian
depan dari perpetakan, kecuali untuk zona-zona tertentu;
3) Perletakan bangunan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
disesuaikan dengan kelas konsumen yang akan dilayani;
4) Jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan antara lain:
- bangunan usaha perdagangan (ritel dan grosir): toko, warung, tempat
perkulakan, pertokoan;
- bangunan penginapan: hotel, guest house, motel, hostel, penginapan;
- bangunan penyimpanan: gedung tempat parkir, show room, gudang;
- bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;
- bangunan pariwisata (di ruang tertutup): bioskop, area bermain.
d) Analisis Kawasan Pariwisata
 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
1) Memiliki struktur tanah yang stabil;
2) Memiliki kemiringan tanah yang memungkinkan dibangun tanpa memberikan
dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan;
3) Merupakan lahan yang tidak terlalu subur dan bukan lahan pertanian yang
produktif;
4) Memiliki aksesibilitas yang tinggi;
5) Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas pada jalur jalan raya regional;
6) Tersedia prasarana fisik yaitu listrik dan air bersih;
7) Terdiri dari lingkungan/ bangunan/ gedung bersejarah dan cagar budaya;
8) Memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya, serta keunikan
tertentu;
9) Dilengkapi fasilitas pengolah limbah (padat dan cair).

Bab III-26
Laporan Pendahuluan

 Kriteria teknis
1) Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam
untuk kegiatan pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan asas konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
2) Pemanfaatan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam untuk sarana pariwisata alam diselenggarakan dengan
persyaratan sebagai berikut:
a) Luas kawasan yang dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan
prasarana pariwisata alam maksimum 10% dari luas zona pemanfaatan
taman nasional, blok pemanfaatan taman hutan raya, dan blok
pemanfaatan taman wisata alam yang bersangkutan;
b) Bentuk bangunan bergaya arsitektur setempat;
c) Tidak mengubah bentang alam yang ada;
d) Tidak mengganggu pandangan visual.
3) Pihak-pihak yang memanfaatkan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan
Raya, dan Taman Wisata Alam untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam
harus menyusun Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam yang
dilengkapi dengan AMDAL sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
4) Pemanfaatan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam diberikan untuk
jangka waktu paling lama 30 tahun sesuai dengan jenis kegiatannya;
5) Jenis-jenis usaha sarana pariwisata alam yang dapat dilakukan dalam
kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
meliputi kegiatan usaha:
a) akomodasi seperti pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, dan
penginapan;
b) makanan dan minuman;
c) sarana wisata tirta;
d) angkutan wisata;
e) cenderamata;
f) sarana wisata budaya.
6) Dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya setempat, pemerintah daerah
dapat menetapkan kawasan, lingkungan dan atau bangunan sebagai
lingkungan dan bangunan cagar budaya sebagai kawasan pariwisata budaya.
Penetapannya dilakukan apabila dalam suatu kawasan terdapat beberapa

Bab III-27
Laporan Pendahuluan

lingkungan cagar budaya yang mempunyai keterkaitan keruangan, sejarah,


dan arkeologi;
7) Penetapan kawasan, lingkungan dan atau bangunan bersejarah sebagai
kawasan pariwisata oleh Pemerintah Kota/Kabupaten berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
8) Kriteria, tolak ukur, dan penggolongan lingkungan cagar budaya berdasarkan
kriteria nilai sejarah, umur, keaslian, dan kelangkaan. Sedangkan kriteria
penggolongan bangunan cagar budaya berdasarkan kriteria nilai sejarah,
umur, keaslian, kelangkaan, tengeran/landmark, dan arsitektur. Kriteria
dan tolak ukur tersebut adalah sebagai berikut:
a) Nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan,
ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai
kesejarahan tingkat nasional dan atau daerah masing-masing;
b) Umur dikaitkan dengan batas usia sekurang-kurangnya 50 tahun;
c) Keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana
lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di
dalamnya;
d) Kelangkaan dikaitkan dengan keberadaannya sebagai satu-satunya atau
yang terlengkap dari jenisnya yang masih ada pada lingkungan lokal,
nasional, atau dunia;
e) Tengeran dikaitkan dengan keberadaan sebuah bangunan tunggal
monumen atau bentang alam yang dijadikan simbol dan wakil dari suatu
lingkungan;
f) Arsitektur dikaitkan dengan estetik dan rancangan yang menggambarkan
suatu zaman dan gaya tertentu.
9) Berdasarkan kriteria dan tolak ukur, kawasan lingkungan cagar budaya dapat
dikelompokkan menjadi beberapa golongan yang berbeda satu dengan
lainnya. Penggolongan lingkungan cagar budaya diatur melalui Keputusan
Bupati/Walikota setempat;
10) Pelestarian lingkungan dan bangunan cagar budaya yang dijadikan kawasan
pariwisata harus mengikuti prinsip-prinsip pemugaran yang meliputi
keaslian bentuk, penyajian dan tata letak dengan memperhatikan nilai
sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
11) Pengembangan lahan yang berada dalam kawasan lingkungan cagar budaya
harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku;

Bab III-28
Laporan Pendahuluan

Tabel 3.12.
Karakteristik Peruntukan Pariwisata

Bab III-29
Laporan Pendahuluan

Bab III-30
Laporan Pendahuluan

e) Analisis Kawasan Pertambangan


 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan untuk kawasan peruntukan
pertambangan
golongan bahan galian C:
1) Bahan galian terletak di daerah dataran, perbukitan yang bergelombang atau
landai
{kemiringan lereng antara (0° - 17°), curam (17° - 36°) hingga sangat curam
(>36°)}, pada alur sungai, dan cara pencapaian;
2) Lokasi tidak berada di kawasan hutan lindung;
3) Lokasi tidak terletak pada bagian hulu dari alur-alur sungai (yang umumnya
bergradien dasar sungai yang tinggi);
4) Lokasi penggalian di dalam sungai harus seimbang dengan kecepatan
sedimentasi;
5) Jenis dan besarnya cadangan/deposit bahan tambang secara ekonomis
menguntungkan untuk dieksplorasi;
6) Lokasi penggalian tidak terletak di daerah rawan bencana alam seperti
gerakan tanah, jalur gempa, bahaya letusan gunung api, dan sebagainya.
 Kriteria teknis:
1) Kegiatan penambangan tidak boleh dilakukan di kawasan lindung;
2) Kegiatan penambangan tidak boleh menimbulkan kerusakan lingkungan;
3) Lokasi tidak terletak terlalu dekat terhadap daerah permukiman. Hal ini untuk
menghindari bahaya yang diakibatkan oleh gerakan tanah, pencemaran
udara,serta kebisingan akibat lalu lintas pengangkutan bahan galian, mesin
pemecah batu, ledakan dinamit, dan sebagainya. Jarak dari permukiman 1-2
km bila digunakan bahan peledak dan minimal 500 m bila tanpa peledakan;
4) Lokasi penambangan tidak terletak di daerah tadah (daerah imbuhan) untuk
menjaga kelestarian sumber air (mata air, air tanah);
5) Lokasi penggalian tidak dilakukan pada lereng curam (> 40%) yang kemantapan
lerengnya kurang stabil. Hal ini untuk menghindari terjadinya erosi dan
longsor.
f) Analisis Kawasa Pusat Pemerintah, dilakukan dengan mempertimbangkan
 Kegiatan pusat pemerintahan sesuai dengan hirarkhi dan kebutuhan yang
ditetapkan dalam RTRW;
 Lingkungan; mempunyai karakter kuat dalam tata lingkungan dan bangunan;
 Multiplier effect; jenis kegiatan perkantoran swasta yang akan dikembangkan,
termasuk juga analisis kegiatan penunjang yang muncul.

Bab III-31
Laporan Pendahuluan

g) Analisis Pusat Pendidikan dan Penelitian, dilakukan dengan


mempertimbangkan ;
 Pengembangan kegiatan pusat pendidikan dan penelitian atau Pusat
Pengembangan Teknologi Tinggi yang ditetapkan dalam RTRW;
 Potensi tenaga kerja yang ada (berdasarkan hasil elaborasi);
 Lingkungan; bila dimungkinkan pencampuran kegiatan, dihindari kegiatan
yang akan menimbulkan dampak penting yang berlebihan.
h) Analisis Kawasan Pertahanan dan Keamanan, dilakukan dengan
mempertimbangkan ;
 Pengembangan kegiatan pertahanan dan keamanan sesuai yang ditetapkan
dalam RTRW;
 Potensi tenaga kerja yang ada (berdasarkan hasil elaborasi);
Kajian dampak keamanan terhadap permukiman; termasuk juga analisis
kebutuhan kegiatan penunjang, seperti perumahan, perdagangan dan jasa,
ruang terbuka, zona kedap suara serta zona pengamanan (udara, laut,
daratan), prasarana transportasi dan utilitas lingkungan
3. Analisis Sosial Budaya
Analisa sosial budaya didasarkan atas gejala-gejala persepsi masyarakat terhadap
lingkungannya dan bagaimana respon manusia terhadap persepsi itu. Salah satu hal yang
dipersepsikan manusia tentang lingkungannya adalah ruang (space) yang ada
disekitarnya, baik antar manusia dengan manusia maupun antar manusia dengan
lingkungannya yang berbentuk kegiatan ritual maupun kegiatan yang berbasis pada
ekonomi.
Salah satu faktor yang penting untuk diketahui dari aktivitas masyarakat yang
berpengaruh bagi berbagai kegiatan yang cenderung mempengaruhi pemanfaatan ruang
adalah karakatristik sosial budaya masyarakat, adat istiadat, kebiasaan masyarakat dan
lain sebagainya. Karakteristik sosial budaya ini diidentifikasikan dari indikator :
a. Sistem dan sifat kegotong-royongan masyarakat
b. Sistem kekerabatan masyarakat
c. Adanya tokoh-tokoh yang berpengaruh dimasyarakat
d. Kegiatan rutin yang menunjang kegiatan sosial ekonomi
e. Acara bersama untuk memperingati hari-hari besar atau adat istiadat.
f. Adanya lokasi atau obyek yang dikeramatkan

4. Analisis Kependudukan

Bab III-32
Laporan Pendahuluan

Analisis kependudukan diperlukan untuk menganalisis perkembangan jumlah


penduduk. Jumlah penduduk yang cenderung berubah mengakibatkan jumlah kebutuhan
akan sarana dan prasarana juga berubah. Analisis ini dilakukan dengan memproyeksikan
jumlah penduduk eksisting dengan jumlah penduduk proyeksinya sesuai perhitungan
yang telah ditetapkan. Analisis ini digunakan untuk mengendalikan kepadatan
penduduk. Selain itu, proyeksi penduduk juga digunakan untuk mengetahui kebutuhan
sarana dan prasarana bagi penduduk. Data ideal yang sering digunakan dalam analisis
ini yaitu data jumlah penduduk lima tahun sebelum tahun pelaksanaan studi.
A. Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat
kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar. Peduduk akan bertambah
jumlahnya apabila ada bayi yang lahir dan penduduk yang datang (migrasi masuk).
Sebaliknya suatu penduduk akan berkurang jumlahnya apabila ada penduduk yang mati
dan yang meninggalkan wilayah tersebut (migrasi keluar).
Untuk memperkirakan jumlah penduduk wilayah perencanaan selama 10 tahun
yang akan datang maka ada tiga metode proyeksi penduduk, diantaranya.
1) Metode Kurva Polinomial
Metode kurva polinomial adalah metode yang mengasumsikan bahwa kecendrungan
dalam laju pertumbuhan penduduk dianggap tetap dengan kata lain masa lampau
digunakan untuk memperkirakan perkembangan yang akan datang. Adapun rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut.

Dimana :
Pt : Jumlah penduduk pada tahun dasar.
Pt – Q : Jumlah penduduk pada tahun (t – Q)
Q : Selang waktu pada tahun dasar ke tahun (t – Q)
Dimana :
b nq -1 = b/ Q-1
b : Rata-rata pertambahan jumlah penduduk tiap tahun
bn : Tambahan penduduk n tahun

2) Metode Regresi Linear


Metode regresi linear merupakan penghalusan metode polinomial, karena akan
memberikan penyimpangan minimum atas data masa lampau dengan rumus sebagai
berikut.

Dimana :

Bab III-33
Laporan Pendahuluan

Pt : Jumlah penduduk daerah yang diselediki pada tahun t


X : Nilai yang diambil dari variabel bebas
a,b : Konstanta
Nilai a dan b dapat dicari dengan metode selisih kuadrat minimum yaitu :

a = P ∑ 2 – P ∑XP b = N ∑XP– X ∑P
2 2
N ∑ – (∑ X) N ∑2 – (∑ X)2

Keterangan :
N : Jumlah tahun data pengamatan

Sehingga untuk kepentingan proyeksi rumus matematis regresi linier atau


ektrapolasi, menjadi :

3) Metode Bunga Berganda


Metode ini diperkirakan jumlah didasarkan atas adanya tingkat pertambahan
penduduk pada tahun sebelumnya yang relatif berganda dengan sendirinya.
Perhitungan proyeksi penduduk dengan metode berganda dengan rumus sebagai
berikut.

Dimana :
Pt : Jumlah penduduk di daerah yang diselidiki pada tahun t
Pt + U : Jumlah penduduk di daerah yang diselidiki oada tahun t+U
R : Tingkat (prosentase) pertambahan penduduk rata-rata setiap
tahun
Pt : Jumlah penduduk di daerah yang diselisiki pada tahun t.
Pt + U : Jumlah Penduduk di daerah yang diselidiki pada tahun t+U

B. Rasio Jenis Kelamin


Rasio adalah perbandingan dua perangkat, yang dinyatakan dalam suatu satuan
tertentu. Rasio menurut jenis kelamin adalah perbandingan jumlah penduduk laki-laki
dengan jumlah penduduk perempuan, sehingga dapat ditulis dengan rumus sebagai
berikut ;

k = konstanta besarnya sama dengan 100

Bab III-34
Laporan Pendahuluan

C. Proyeksi Penduduk
Semua perencanaan pembangunan sangat membutuhkan data penduduk tidak
saja pada saat merencankan pembangunan tetapi juga pada masa-masa mendatang,
inilah yang disebut dengan proyeksi penduduk. Proyeksi penduduk bukan merupakan
ramalan jumlah penduduk untuk masa mendatang, tetapi suatu perhitungan ilmiah
yang didasarkan asumsi dari komponen-komponen laju pertumbuhan penduduk yaitu
kelahiran, kematian dan migrasi penduduk. Ketiga komponen inilah yang menentukan
besarnya jumlah penduduk dan struktur penduduk di masa yang akan datang.
Data dasar yang diperlukan untuk pembuatan proyeksi penduduk adalah sebagai
berikut.
1. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin sebagai data
dasar pembuatan proyeksi penduduk.
2. Besar dan perkembangan angka kelahiran, kematian dan migrasi penduduk.
3. Tabel kematian yang sesuai dengan perkembangan komponen demografi pada
periode proyeksi tersebut.
Berikut ini adalah rumus untuk menentukan proyeksi penduduk

r = faktor proposional tingkat pertumbuhan


Dapat juga digunakan dalam logaritma

Gambar Kurva Kependudukan

Adapun keuntungan dan kerugian menggunakan metode ini adalah sebagai


berikut ;
1). Keuntungan :
a) Merupakan model pertumbuhan penduduk paling maksimal.
b) Perkembangan jumlah penduduk dianggap akan berganda dengan
sendirinya.

Bab III-35
Laporan Pendahuluan

2).Kelemahan metode ini:


a) Tidak mempertimbangkan kenyataan empiris bahwa
sesudah kurun waktu tertentu (jangka panjang) derajat pertumbuhan relatif
menurun.
b) Rata-rata prosentasi bertambah dan jumlah penduduk
berdasar data masa lampau.
D. Mobilitas Penduduk
Migrasi merupakan mobilisasi penduduk yang mengakibatkan perubahan jumlah
penduduk pada suatu wilayah. Pertambahan jumlah penduduk karena adanya migrasi
diperoleh dari selisih jumlah penduduk yang pindah keluar dengan penduduk yang
datang. Migrasi dipengaruhi oleh luas atau ukuran dan bentuk kesatuan daerah yang
menjadi sasaran penelitian. Berikut adalah rumus untuk menghitung migrasi.

Dimana:
Mij : jumlah migrasi dari daerah i ke daerah j
Pi : jumlah penduduk i
dij : jarak dari daerah i ke daerah j
Zj : faktor z pada daerah j yang menarik migrasi

E. Kepadatan dan Penyebaran Penduduk


Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk dibagi dengan luas daerah.
Kepadatan bruto(gross density) adalah jumlah penduduk di dalam suatu daerah
dibagi dengan luas daerah tersebut lepas dari pada peruntukan tanah tersebut.
a) Kepadatan penduduk : Jumlah penduduk (jiwa)/luas wilayah (Ha)

b) Kepadatan penduduk tinggi : >1000 jiwa/Ha

c) Kepadatan penduduk menengah : 500 jiwa/Ha - 1000 jiwa Ha

d) Kepadatan penduduk rendah : <100 Jiwa / Ha


5. Analisis Ekonomi dan Sektor Unggulan
Inti dari model ekonomi basis (economic base model) adalah bahwa arah dan
pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh eksport wilayah tersebut. Ekspor tersebut
berupa barang-barang dan jasa, termasuk tenaga kerja.
Untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non basis
dapat digunakan beberapa metode, yaitu : 1) metode pengukuran langsung dan 2)
metode pengukuran tidak langsung. Dalam Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang

Bab III-36
Laporan Pendahuluan

Kawasan Perkotaan Kecamatan Loksado, digunakan 2 (dua) metode tersebut, antara


lain:
1) Metode Pengukuran Langsung
Dilakukan dengan menanyakan secara langsung baik kepada masyarakat, maupun
instansi/dinas yang terkait sektor yang menjadi sektor basis di Kecamatan atau
melakukan pengamatan dilapangan.
2) Metode Pengukuran Tidak langsung
Metode yang dilakukan dengan menggabungkan antara metode pendekatan asumsi
dengan metode Location Question (LQ).
a) Metode Pendekatan melalui Asumsi
Yaitu bahwa semua sektor industri primer dan manufaktur adalah sektor basis.
Sedangkan sektor jasa adalah sektor non basis.
b) Metode Location Quotient (LQ)
Merupakan perbandingan antara pangsa relatif pendapatan sektor I pada tingkat
wilayah terhadap pendapatan total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan
sektor I pada tingkat nasional terhadap pendapatan nasional. Hal tersebut secara
matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Si / Ni Si / S
LQ = =
S / N Ni / N

dimana :
Si : Besaran dari suatu kegiatan tertentu yang akan diukur di daerah
yang diteliti
Ni : Besaran total untuk kegiatan tertentu dalam daerah yang lebih
luas
S : Besaran total untuk seluruh kegiatan di daerah yang diteliti
N : Besaran total seluruh kegiatan di daerah yang lebih luas
Apabila LQ suatu sektor >= 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis.
Danapabila LQ suatu sektor < 1, maka sektor tersebut merupakan sektor non
basis.Selain metode di atas, metode analisi lain yang dipergunakan untuk
menetukan dan menganalisa potensi ekonomi dasar (economic based) suatu
wilayah, parameter yang dipakai untuk mengukur adalah PDRB berdasarkan harga
berlaku yang merupakan merupakan produk barang dan jasa yang dihasilkan dari
seluruh sektor kegiatan ekonomi yang tersebar di masing-masing kecamatan di

Bab III-37
Laporan Pendahuluan

Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka volume


ekonomi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dapat dikelompokkan dalam kelompok
sektoral, yaitu :
 Kelompok primer yaitu sektor yang tergantung hasil bumi (sektor pertanian dan
pertambangan)
 Kelompok sekunder yaitu sektor yang outputnya berupa hasil pengolahan (sektor
industri, listrik, gas, air minum serta bangunan)
 Kelompok tersier yaitu sektor yang produksinya berupa jasa (sektor perdagangan,
hotel, restaurant, angkut dan komunikasi, keuangan, persewaan, jasa
perusahaan serta sektor jasa-jasa).
6. Analisis Sumber Daya Buatan
Sumber daya buatan adalah sumber daya yang dihasilkan dari kegiatan manusia
dalam upayanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumber daya buatan ini dalam
penataan ruang di jabarkan dalam bentuk prasarana fisik berupa fasilitas
perumahan,kesehatan, pendidikan, perkantoran, perdagangan dan jasa,peribadatan,
dan ruang terbuka hijau), jaringan utilitas (listrik, air bersih, telepon, drainase, air
limbah dan sanitasi, serta persampahan), jaringan transportasi .
A. Standar Sarana dan Prasarana Fasilitas
a. Sarana Hunian
Ketentuan tentang kebutuhan akan sarana hunian ini meliputi:
1) Luas perpetakan tanah untuk rumah
Untuk menentukan luas minimum rata-rata dari perpetakan tanah harus
dipertimbangkan faktor-faktor kehidupan manusia, faktor alam dan peraturan
bangunan setempat. Rumus matematisnya adalah:
L / org = U
Tp
Dimana :
U = Kebutuhan udara segar/orang/jam dalam satuan m³
Tp = Tinggi plafond dalam satuan m
L/org = Luas lantai per orang
Contoh perhitungan:
Bila kebutuhan udara segar per orang per jam 15 m³ dengan pergantian udara dalam
ruang sebanyak-banyaknya 2 kali per jam dan tinggi plafond rata-rata 2,5 m, maka:

Luas lantai per orang = U = 15 m2 = 6 m2


TP 2,5 m

Bab III-38
Laporan Pendahuluan

Jadi bila 1 umpi terkecil terdiri dari 4 orang (ayah + ibu + 2 anak) maka kebutuhan
luas lantai minimum adalah sebagai berikut :
Luas lantai utama 4 x 6 m2 = 24 m2
Luas lantai pelayanan 50% x 24 = 12 m2
Total luas lantai = 36 m2
Building coverage 50% maka luas kaveling minimum untuk keluarga/Umpi terkecil:
x 36 m2 = 72 m2
Tetapi bila 1 umpi hanya terdiri dari 1 orang maka kebutuhan lantai adalah 18
m2 (sudah termasuk pelayanan).
Cara lain:
Untuk menghitung luas kaveling minimum bagi umpi terkecil sebagai berikut:
Luas lantai untuk 1 orang (termasuk pelayanan) = 18 m2
Luas lantai untuk 3 orang (3 x 6 m2) = 18 m2
Jumlah = 36 m2
Building Coverage = 50%
100
Luas kapling x 36 m2 = 72 m2
50

Bila 1 (satu) keluarga terdiri dari 5 orang dan luas lantai pelayanan 50% lantai utama
(habitable space) maka kebutuhan luas lantai per keluarga:
Luas lantai 5 x 6 m2 = 30 m2
Lantai pelayanan 50% = 15 m2
45 m2
Bila building coverage yang diizinkan (peraturan bangunan setempat) 50 % maka luas
perpetakan per keluarga:

100
50 x 45 m2 = 90 m2

Luas perpetakan ini adalah luas perpetakan minimum sebagai dasar keseluruhan.
Untuk daerah-daerah tertentu luas perpetakan ini perlu dibedakan dengan
mempertimbangkan:
 Kepadatan penduduk yang direncanakan
 Kepadatan bangunan yang direncanakan
 Memperhatikan pada daerah pusat kota dan pinggiran kota yang keseluruhannya
akan diatur oleh peraturan bangunan daerah sesuai dengan kondisi kota masing-
masing
 Building Coverage (BC) bagian kapling yang digunakan untuk bangunan
2) Lokasi kawasan perumahan
Lokasi kawasan perumahan ini harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:

Bab III-39
Laporan Pendahuluan

 Tidak terganggu oleh polusi (air, udara, suara)


 Dapat disediakan air bersih (air minum)
 Memberikan kemungkinan untuk perkembangan pembangunannya
 Mempunyai aksesibilitas yang baik
 Mudah dan aman mencapai tempat kerja
 Tidak berada di bawah permukaan air setempat
 Mempunyai ketinggian rata-rata
Dalam menentukan lokasi kawasan perumahan, harus memperhatikan juga segi-segi
sosial seperti adanya tempat-tempat keramat/bersejarah dan penghidupan
penduduknya.
b. Sarana Pendidikan
Dalam merencanakan sarana pendidikan, harus bertitik tolak dari tujuan-tujuan
pendidikan yang akan dicapai. Sarana pendidikan yang berupa ruang belajar harus
memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan pengetahuan, ketrampilan serta
sikap secara optimal. Dengan demikian pengadaan ruang belajar tidak akan lepas
hubungannya dengan strategi belajar mengajar berdasarkan kurikulum yang berlaku.
Ruang belajar yang diutarakan di bawah ini hanyalah menyangkut bidang formal saja.
Untuk kebutuhan ruang belajar ditentukan berdasarkan kebutuhan untuk memberi
kesempatan belajar kepada semua anak usia sekolah.

Bab III-40
Laporan Pendahuluan

Tabel 3.13. Kebutuhan Sarana Pendidikan

c. Sarana Kesehatan
Untuk jenis posyandu 750 jiwa, balai pengobatan 2.500 jiwa, puskesmas
pembantu 10.000 jiwa, apotik 10.000 jiwa, praktek dokter 5.000 jiwa, rumah sakit
240.000 jiwa.
Tabel 3.14. Kebutuhan Sarana Kesehatan

Bab III-41
Laporan Pendahuluan

d. Sarana Peribadatan
Fasilitas peribadatan yang lebih diutamakan adalah untuk pemeluk agama
mayoritas yang berada di wilayah perencanaan, berikut adalah standarnya ;
Tabel 3.15. Kebutuhan Fasilitas Peribadatan
Kebutuhan
Jumlah
Luas
Jenis Fasilitas Penduduk yang Luas lantai Keterangan
Lahan
dilayani (m2)
(m2)
Peribadatan
Masjid 2500 - 1500
Musholla 500 - 1000
Gereja - 1,2m2/orang 1000
Sumber : Standar Perencanaan Permukiman Perkotaan Dep. PU

e. Fasilitas Pedagangan dan Jasa


Fasilitas perdagangan dan jasa ini, pada intinya merupakan fasilitas yang
diarahkan untuk dapat menjadi salah satu faktor penarik perkembangan kota. Dengan
adanya fasilitas ini maka salah satu fungsi dari kawasan perkotaan dapat berjalan yaitu
menjadi sentra pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Bentuk dari fasilitas
ini dimulai dari toko/warung tunggal, pasar lingkup kecamatan, pertokoan, dan pusat
perbelanjaan. Untuk lebih jelasnya mengenai standar fasilitas ini dapat dilihat pada
tabel berikut ;
Tabel 3.16. Kebutuhan Sarana Ekonomi (Perdagangan dan Jasa)

f. Fasilitas RTH
Ruang terbuka hijau yang dianalisa dapat menggunakan standar pemenuhan
kebutuhan dengan mengacu pada standar berikut ini ;
Tabel 3.17 Kebutuhan Sarana Ruang Terbuka, Taman dan Lapangan Olah Raga

Bab III-42
Laporan Pendahuluan

B. Utilitas
a. Air Bersih
Pemenuhan kebutuhan air minum dikatagorikan dengan mengikuti besaran jumlah
penduduk dalam suatu kota.
Tabel 3.18. Kriteria Air Bersih Domestik
Kategori Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk
Metropolita Besar Sedang Kecil Desa
URAIAN n (500.000 - (100.000 - (20.000 - (<
(>1.000.000 1.000.000) 500.000) 100.000) 20.000)
)
1. Konsumsi Unit 190 170 150 130 100
Sambungan Rumah
(lt/org/hari)
2. Konsumsi Unit 30 30 30 30 30
Hidran Umum (HU)
(lt/org/hari)
3. Konsumsi Unit 20 - 30 20 - 30 20 - 30 20 - 30 10 - 20
Non Domestik (%)
4. Kehilangan Air 20 - 30 20 - 30 20 - 30 20 - 30 20
5. Faktor Maximum 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1
Day
6. Faktor Peak - Hour 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5

Bab III-43
Laporan Pendahuluan

7. Jumlah jiwa per - 5 5 6 6 10


SR
8. Jumlah jiwa per 100 100 100 100 - 200 200
HU/KU
9. Sisa Tekanan di 10 10 10 10 10
Jaringan
Distribusi (mka)
10. Jam Operasi 24 24 24 24 24
11. Volume Reservoir 20 20 20 20 20
(% max day
demand)
12. Perbandingan SR : 50:50 s/d 50:50 s/d 80:20 50:50 s/d 80:20 70:30 70:30
HU 80:20
13. Cakupan 90 90 90 90 70
Pelayanan (%)
Sumber: Direktorat Air Bersih Direktorat Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum

Tabel 3.19. Kriteria Air Bersih Non Domestik


URAIAN Kota-kota Kategori I, II, III dan IV
Satuan Kebutuhan Air
1. Sekolah TK, SD, SMP, SMA, dan PT lt/murid/hari 10
2. Rumah Sakit lt/tempat tidur/hari 200
3. Puskesmas m3/hari 2
4. Mesjid, Gereja, Pura dan Wihara m3/hari sampai dengan 2
5. Kantor lt/pegawai/hari 10
6. Pasar m3/hektar/hari 12
7. Hotel lt/tempat tidur/hari 150
8. Rumah Makan lt/tempat duduk/hari 100
9. Kompleks Militer lt/orang/hari 60
10. Kawasan Industri lt/detik/hari 0,2 - 0,8
11. Kawasan Pariwisata lt/detik/hari 0,1 - 0,3
12. Kebocoran
Sumber: Direktorat Air Bersih Direktorat Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Nopember
1994
 Tingkat pelayanan
Untuk menghitung penyediaan air bersih, pada umumnya digunakan rumus:
- Kebutuhan Domestik : Σ penduduk X kebutuhan domestic
- Kebutuhan Non Domestik : 20% - 30% X kebutuhan domestic
- Sarana Perkotaan : 10% - 20% X (keb. Domestik + keb. Non Domestik)
- Hidran : 20% - 30% X (keb.Domestik + keb. Non
Domestik)
b. Air Limbah dan Sanitasi

Sistem pengelolaan air limbah perkotaan secara garis besar dapat dibagi dalam 2
(dua) jenis, yaitu sistem pengelolaan setempat (On Site) dan sistem pengelolaan
terpusat (Off Site).

Bab III-44
Laporan Pendahuluan

a) Sistem Setempat (On Site)


Yang dimaksud dengan sistem setempat adalah sistem dimana pengolahan
dilakukan langsung ditempat/lokasi sumber air limbah (rumah tinggal, sistem
komunal dan sebagainya). Fasilitas pengelolaan dapat berupa tanki septik
(septic tank), cubluk, “Pit latriul dan sebagainya.

Pemilihan fasilitas pengolahan sangat tergantung pada kondisi fisik lokasi dan
tingkat ekonomi pemakainya. Tangki septik umumnya lebih mahal dan
membutuhkan areal yang cukup besar untuk bidang resapan, sedang cubluk
sebagai sumur penampungan juga langsung berfungsi sebagai resapan.

Khusus untuk tanki septik yang terbuat dari konstruksi kedap air, sewaktu-
waktu bila penuh dikosongkan. Untuk mengosongkan tangki septik diperlukan
peralatan penyedot lumpur tinja berupa kendaraan yang dilengkapi dengan
pompa pengisap dan tangki penampungan. Lumpur tinja yang sudah disedot
biasanya.

b) Sistem Terpusat (Off Site)


Yang dimaksud dengan sistem terpusat adalah sistem dimana pengolahan air
limbah dilakukan di suatu lokasi tertentu dimana air limbah dari setiap rumah
dikumpulkan melalui jaringan pipa pengumpul ke lokasi pengolahan. Penerapan
sistem terpusat bisanya dianjurkanuntuk kawasan yang cukup luas dengan
tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi (>300 jiwa/Ha). Pada tingkat
kepadatan yang cukup tinggi, agak sulit untuk membuat tangki septik dengan
bidang resapan yang aman terhadap pencemaran air tanah sekitarnya terutama
bila angka permeabilitas tanah sangat tinggi. Walaupun sistem terpusat ini
membutuhkan biaya investasi yang cukup tinggi, namun tingkat keamanan
terhadap lingkungan sangat baik untuk jangka waktu yang lama. Beberapa
metode/teknologi yang digunakan dalam pengumpulan air limbah secara
terpusat adalah sebagai berikut ;

- Sewerage konvensional
- Shallow sewer
- Small bore sewer
- Interceptor sewer
Yang sudah diterapkan di Indonesia adalah sewerage konvensional, baik yang
merupakan pembangunan baru maupun pengembangan dari sistem peninggalan
Belanda.

Bab III-45
Laporan Pendahuluan

c) Dasar-dasar Perencanaan Air Limbah


Dasar-dasar perencanaan diperlukan untuk pedoman perhitungan dan penggunaan
rumus yang sudah lazim dipakai berdasarkan buku “Pedoman Training PLP dan
buku Petunjuk Strategi Nasional Sektor Air Limbah”. Dasar-dasar perencanaan
dapat dipakai akan tetapi tidak terlalu mengikat dan dapat digunakan rumus lain,
asalkan tidak menyimpang dari teori sanitasi.
Untuk sanitasi standar pengelolaanya dijelaskan sebagai berikut ini ;

d) Dasar-dasar Perencanaan Air Limbah


Dasar-dasar perencanaan diperlukan untuk pedoman perhitungan dan
penggunaan rumus yang sudah lazim dipakai berdasarkan buku “Pedoman
Training PLP dan buku Petunjuk Strategi Nasional Sektor Air Limbah”. Dasar-
dasar perencanaan dapat dipakai akan tetapi tidak terlalu mengikat dan dapat
digunakan rumus lain, asalkan tidak menyimpang dari teori sanitasi.

1) MCK
Dalam merencanakan MCK perlu diperhatikan :
 Lokasi dan jarak terhadap kelompok pemakai
 Tata letak dan komposisi ruang
 Kapasitas pelayanan dianjurkan untuk MCK kelompok  10 KK
2) Tangki Septik dan Bidang Resapan

 Umumnya diapaki untuk daerah tempat tinggal, perkantoran, sekolah,


perdagangan dan lain-lain

 Kriteria dan ukuran tangki septik (lihat tabel berikut ini)


Tabel 3.20.
Banyaknya Ruangan pada Satu Kesatuan dan
Jumlah Pemakaian Tertentu
Banyaknya Luas Lantai Banyaknya Ruangan (Unit)
Pemakai Minimum (m²) Mandi Cuci Kakus
(Orang)
10 5.6 1 1 1
20 6.8 1 1 2
40 9.3 1 2 2
80 14.9 2 3 3
100 14.9 2 3 3
120 20.5 3 4 4
160 24.2 3 5 5
200 29.8 4 6 6
Sumber: Standar SNI MCK

Bab III-46
Laporan Pendahuluan

Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk tangki septik :


 Debit Air Limbah
 150 s/d 160 liter/orang/hari untuk rumah tangga dengan pelayanan
penuh
 50 s/d 60 liter/orang/hari untuk rumah dengan sambungan minimal
 30 liter/orang/hari dengan jamban gelontor konvensional
- Rata-rata lumpur tinja 65 liter/orang/tahun

- Jumlah pemakai dianggap rata-rata 5 orang

- Waktu penahanan dalam tangki untuk WC : 2,5 – 3,0

Log (Pq) . 0,5

Untuk wc + dapur – mandi

Dimana P = jumlah pemakai

- Waktu pengurasan diambil 2 tahun

- Kedalaman cairan minimum 0,80 m

- Ukuran perbandingan = panjang : lebar = 2 : 1 dan maks 15 : 1


dengan lebar minimum 0,60 m

 Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk bidang resapan:


- Panjang resapan
- Jumlah pemakai
- Debit air limbah rencana
- Dalam resapan
-Kecepatan daya resap tanah/orang/hari (didapat dari hasil
perkolasi)
Tabel 3.21.
Kapasitas Tangki Septik
Jumlah Pemukiman Bukan Pemukiman
pemakai Tangki Tangki Tangki Tangki
(orang) Siram Pembilas Siram Pembilas
10 25 4 10 l/org/hari
l/org/hari l/org/hari l/org/hari
5 0.7 0.8
10 1.3 1.5
15 1.9 2.3
20 2.5 3.0 0.7 0.9
30 3.8 4.5 1.1 1.4
40 5.0 5.9 1.4 1.8
50 6.2 7.2 1.7 2.2
75 9.3 10.9 2.6 3.3

Bab III-47
Laporan Pendahuluan

100 12.3 14.4 3.4 4.3


150 18.4 21.4 5.0 6.4
200 29.4 28.4 6.7 8.5
300 10.0 12.5
400 13.3 16.5
500 16.6 20.5
600 19.0 24.5
800 26.3 32.5
1000 32.7 40.0
Sumber: Dihitung berdasarkan rumus dari Rational Design of Septic
Tank

Tabel 3.22. Kapasitas Septic Tank yang diperlukan untuk Rumah Tinggal
Jumlah Kapsitas Bersih Ukuran yang dianjurkan
maksimu Cairan dalam Lebar Panjang Kedalaman
m Tangki Septic (m) (m) Cairan Total (m)
pemakai (Liter) (m)
tetap
(Jiwa)
4 1900 0.92 1.83 1.22 1.52
6 2271 0.92 2.14 1.22 1.52
8 2650 1.07 2.29 1.22 1.52
10 3407 1.07 2.60 1.38 1.68
12 4164 1.22 2.60 1.38 1.68
14 4920 1.22 3.05 1.38 1.68
Catatan : Kapasitas cairan berdasarkan jumlah pemakaian tetap
Sumber : Buku Pedoman Training PLP

c. Drainase
Sektor drainase merupakan salah satu sarana/prasarana yang tidak dapat
diabaikan keberadaaannya di dalam suatu lingkungan permukiman dan senantiasa
memerlukan pembenahan baik dalam rangka perencanaan maupun pembangunan
fisiknya. Data-data yang diperlukan dalam rangka analisa sarana/prasarana drainase
adalah sebagai berikut :
 Pengumpulan data saluran eksisting dari instansi yang berkaitan dengan penanganan
saluran pematusan yang meliputi : panjang saluran, penampang saluran, debit
saluran, arah aliran dan kemiringan saluran.
 Bangunan-bangunan pelengkap yang ada.
 Data curah hujan.
 Topografi wilayah studi guna identifikasi daerah genangan hujan.
Besarnya debit air maksimum (Qtotal) yang harus ditampung dan dialirkan oleh
saluran-saluran drainase pada suatu kawasan merupakan akumulasi dari debit air hujan
yang harus dialirkan (Qlimpasan) ditambah dengan debit air buangan limbah rumah

Bab III-48
Laporan Pendahuluan

tangga yang ada disekitar saluran tersebut (Qbuangan). Secara matematis dapat
dituliskan sebagai berikut :
1. Qtotal = Qlimpasan + Qbuangan
2. Qbuangan = Jml Pend. yang terlayani X (70% x kebutuhan air bersih)
3. Rumus Qlim = 0,278. C. I. A
Keterangan :
Qlim = debit aliran (m3/dt)
C = koefisien run off (berdasarkan standar baku)
I = intensitas hujan rata-rata (mm/jam)
A = luas daerah tangkapan (km2)
Dari debit total yang diperoleh, dapat ditentukan pola dan sistem pembuangan
(drainase) pada suatu suatu kawasan perkotaan.
Pada prakteknya jaringan drainase selalu memiliki pola yang terintegrasi dengan
pola jaringan jalan. Dan bila disesuaikan dengan pola jalan yang terhirarki, maka
perkiraan penampang saluran drainase dapat ditetapkan sebagai berikut :
 Jalan arteri lebar > 1,5m; dalam 1,0 - 1,5m.
 Jalan kolektor lebar 0,8 – 1,5m; dalam 1,0 – 1,5m
 Jalan lokal primer lebar 0,5 – 0,8m; dalam 0,5 – 1,0m
 Jalan lokal sekunder lebar 0,3 – 0,5m; 0,3 – 0,5m.
Sedangkan potongan melintang saluran, terbuka atau tertutup disesuaikan
dengan kondisi setempat, sehingga dikategorikan sebagai berikut :
 Tipe saluran I, berupa pasangan batu kali dengan kemiringan talud 4:1
 Tipe saluran II, berupa pasangan batu kali dengan dinding vertikal dilengkapi trikel
 Tipe saluran III, berupa saluran tertutup dengan tutup plat beton bertulang
 Tipe saluran IV, berupa gorong-gorong plat beton
 Tipe saluran V, berupa gorong-gorong box beton bertulang
Sistem saluran drainase ada 2 macam :
 Sistem Saluran Terpisah, saluran antara air hujan dan air buangan terpisah
 Sistem Saluran Tercampur, saluran antara air buangan dan air hujan menjadi satu.
 Sedangkan jenis saluran penyalurannya ada 2 macam :
 Saluran Primer, biasanya berupa sungai. Saluran ini merupakan penampungan air
buangan dari saluran-saluran sekunder.
 Saluran Sekunder, biasanya berupa got. Merupakan saluran untuk mengalirkan air
buangan dari rumah tangga.
d. Persampahan
Berdasarkan Buku Pedoman Paket Modul Persampahan:
 Sampah Domestik/Rumah Tangga = 2.28 liter/orang ekivalensi/hari.

Bab III-49
Laporan Pendahuluan

 Sampah Komersial (perkantoran, pasar, pertokoan, dll) = 0.29 liter/orang


ekivalensi/hari.
 Sampah Fasilitas Umum (jalan, taman, dll) = 0.13 liter/orang ekivalensi/hari.
 Standar limbah cair adalah 70 – 80% dari kebutuhan air bersih.
Tabel 3.23. Jenis Peralatan Yang Digunakan
No Peralatan Kapasitas Pelayanan Keterangan
Sub-sistem Pengumpulan
1 Bin Plastik/kantong 40/60 lt 8 Komunal
2 Container (besi) 5.000 lt 2.000 Komunal
Container (besi) 1.000 lt 1.000 Komunal
TPS (kayu) 1.000 lt 1.000 Komunal
3 Gerobak 1m 3
1.000 Individual
0,6 m3 900 Individual
4 Transfer depo 200 m² 20.000 Individual
100 m² 10.000 Individual
10 m² 12.000 Individual
Sub-sistem Pengangkutan
5 Truk Biasa 6 - 8 m3 6.000 - 8.000 1 Kelurahan
6 Dump Truck 6 - 8 m3 8.000 - 10.000 (50 Ha)
7 Arm Roll Truck 8 - 10 m3 12.000 – Pasar
15.000
8 Compactor Truck 8 - 10 m3 6.000 - 10.000 Kota Besar
Sub-sistem Pembuangan
Akhir
9 Bulldozer 80 Hp 100.000
100 Hp 250.000
Sumber: Buku Pedoman Paket Modul Persampahan
e. Listrik
Kebutuhan listrik PLN di wilayah perencanaan diperkirakan akan semakin
meningkat. Hal ini sejalan dengan perkembangan wilayah perencanaan pada saat ini dan
masa yang akan datang. Untuk memprediksi kebutuhan listrik , dipakai standart sebagai
berikut :
 Rumah tangga : 90 watt/jiwa
 Industri & Perdagangan : 70% kebutuhan rumah tangga
 Fas.Sosial & Ekonomi : 15% kebutuhan rumah tangga
 Fasilitas Perkantoran : 10% kebutuhan rumah tangga
 Penerangan jalan : 1% kebutuhan rumah tangga
 Cadangan : 5% kebutuhan rumah tangga
Dengan daya rata-rata :
 Rumah tangga 0,450 KVA – 0,900 KVA
 Fasum/Fasos 0,900 KVA
 Industri 0,2200 KVA

Bab III-50
Laporan Pendahuluan

Berdasarkan standar perhitungan di atas dan asumsi bahwa seluruh rumah/KK


yang ada dapat terlayani, maka dapat dihitung prediksi kebutuhan listrik tiap jenis
penggunaan lahan pada masing-masing unit pengembangan lingkungan.
Sistem pelayanan listrik di perkotaan secara garis besar dibagi atas 3 jenis
jaringan, yaitu sebagai berikut ;
 Jaringan listrik tegangan tinggi (SUTT 70/150 KV)
Pembangunan SUTT ini harus memperhatikan banyak hal antara lain keselamatan
dan keamanan. Untuk itu dalam radius 25 meter sekitar jalur tegangan tinggi harus
merupakan kawasan bebas bangunan. Pada kondisi tertentu bila sekitar jalur
tegangan tinggi ini akan digunakan sebagai kawasan terbangun, maka diarahkan
agar pada kanan-kiri jalur tegangan tinggi tersebut digunakan untuk jalan sejajar,
sehingga tidak langsung berhubungan dengan kawasan terbangun.
 Jaringan listrik tegangan menengah (SUTM 6/20 KV)
Jaringan tegangan menengah ini harus dilengkapi dengan gardu penurun tegangan
dan transformator sebelum masuk tegangan rendah dan distribusi yang akan
digunakan konsumen.
 Jaringan listrik tegangan rendah (SUTR 110/220 KV)
Jaringan listrik tegangan rendah ini harus dilengkapi dengan gardu distribusi yang
akan digunakan untuk menurunkan tegangan sekaligus mendistribusikannya melalui
jaringan tegangan rendah ke konsumen-konsumen. Penyaluran listrik hingga ke
kapling-kapling akan selalu mengikuti pola ruang dan jaringan jalan, selain harus
menyesuaikan pula dengan rencana dari PLN. Dalam pendistribusian jaringan listrik
terdapat klasifikasinya antara lain :
 Jaringan sekunder
Jaringan distribusi tegangan rendah dengan sistem tegangan 220/380 V. Pada
umumnya berbentuk hantaran udara, khususnya di daerah interior seperti kompleks
perumahan.
 Jaringan primer
Jaringan distribusi tegangan menengah yang diarahkan pada sistem tegangan 20 KV.
Umumnya berada di sepanjang jaringan jalan berbentuk hantaran udara dengan
tiang beton setinggi 14 meter.
Gardu-gardu yang diperlukan dalam pendistribusian jaringan listrik adalah
sebagai berikut ;
 Gardu distribusi
Diperlukan untuk menurunkan tegangan dari 20 KV menjadi 220/380 V dan
mendistribusikannya melalui jaringan tegangan rendah.
 Gardu induk

Bab III-51
Laporan Pendahuluan

Untuk melayani akan kebutuhan listrik, gardu induk berfungsi sebagai pengumpul
dan penyebar listrik kepada gardu yang lain yang mempunyai klasifikasinya lebih
rendah. Kawasan sekitar gardu ini harus dibebaskan dari bangunan dan diberi
pembatas khusus (dipagar), sehingga tidak digunakan untuk kawasan publik.
 Gardu (Penurun Tegangan)
Gardu ini merupakan turunan dari gardu induk. Gardu ini tersebar pada setiap
kebutuhan dalam jumlah yang besar sehingga lokasinya menyesuaikan dengan arah
pengembangan kota.
f. Telepon
Dalam pengembangan jaringan telepon perlu memperhatikan hal berikut :
 Pelayanan telepon diprioritaskan pada kawasan komersial, industri, fasilitas umum
dan rumah tangga.
 Pada pusat lingkungan, pusat pelayanan umum, kawasan perkantoran, pendidikan,
kesehatan, terminal dan sekitar kawasan permukiman diusahakan harus terdapat
fasilitas telepon umum.
 Pada kawasan yang cukup strategis, maka pengembangan wartel (untuk telepon
lokal, interlokal, internasional dan telegram) diperlukan untuk menunjang
kemudahan dalam melakukan komunikasi jarak jauh.
 Fasilitas STO dikembangkan pada setiap pusat BWK.
Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan sambungan telepon, terdapat sistem
distribusi pemenuhannya. Sistem tersebut berupa distribusi jaringan kabel dari Sentra
Telepon Otomat (STO) ke pelanggan.
a) Jaringan distribusi utama/primer
Jaringan kabel tanah yang menghubungkan STO dengan terminal
utama/pembagi/MDT/Main Distribution Frame dan RK, dan antar RK)
b) Jaringan distribusi sekunder
Jaringan kabel tanah dan atau udara yang menghubungkan RK dengan DP)
c) Jaringan distribusi tersier
Jaringan kabel udara yang menghubungkan DP dengan masing-masing pelanggan.
7. Analisis Sistem Transportasi
Analisa sistem prasarana transportasi dilakukan untuk memperoleh gambaran
mengenai keterkaitan fungsional dan ekonomi tentang kota, antar kawasan baik dalam
wilayah maupun antar wilayah kabupaten, dengan melihat pengumpul hasil produksi,
pusat kegiatan transportasi dan pusat distribusi barang dan jasa. Kemudian dengan
menggunakan analisa sistem transportasi dapat memperoleh gambaran mengenai
kecenderungan perkembangan prasarana transportasi yang ada serta aksesibilitas lokasi-
lokasi kegiatan di wilayah perencanaan.

Bab III-52
Laporan Pendahuluan

Jaringan jalan merupakan prasarana yang penting guna mendukung kelancaran


aktivitas perekonomian wilayah, maupun sebagai salah satu pendukung sistem
perangkutan wilayah dalam menghubungkan wilayah satu dengan wilayah yang lain.

A. Analisis Hierarkhi Jalan


Dalam penganalisaan terhadap transportasi jalan raya dibedakan berdasarkan fungsi
jalan dan berdasarkan volumenya saat ini yang disesuaikan dengan klasifikasi jalan
menurut Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1985, yaitu dibedakan menjadi:
1) Menurut Fungsi
 Jalan Primer, yaitu:
- Menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi dalam satuan wilayah
pengembangan yang menghubungkan secara terus menerus kota jenjang ke
satu, kota jenjang ke dua dan kota jenjang dibawahnya sampai ke persil.
- Menghubungkan kota jenjang ke satu dengan kota jenjang ke satu antar satuan
wilayah pengembangan.
 Jalan Sekunder, yaitu:
Menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder
ke satu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke
permukiman/perumahan.
2) Menurut Volume
 Arteri Primer
Menghubungkan kota jenjang ke satu yang terletak berdampingan atau
menghubungkan kota jenjang kesatu dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Didesign berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 Km/jam dan dengan
lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.
- Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
- Jumlah jalan masuk ke arteri primer secara efesien dan design sedemikian rupa
sehingga ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 tetap
terpenuhi.
- Persimpangan pada jalan arteri primer dengan pengaturan tertentu harus
dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2.
- Tidak terputus walaupun memasuki kota/perkotaan.
 Arteri Skunder
Menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau
menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua,
dengan ciri-ciri sebagai berikut:

Bab III-53
Laporan Pendahuluan

- Di desain berdasarkan kecepatan rata-rata paling rendah 30 Km/jam dan


mempunyai lebar jalan tidak kurang dari 8 meter.
- Mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-
rata.
- Lalu lintas tidak terganggu.
- Persimpangan dengan pengaturan tertentu harus dapat memenuhi ketentuan
sebagaimana yang dimaksud ayat 1 dan ayat 2 masih terpenuhi.
 Kolektor Primer
Menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua atau
menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga, dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
- Didesign berdasarkan kecepatan rata-rata paling rendah 40 Km/jam.
- Mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-
rata.
- Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan
sebagaimana ayat a dan ayat b masih terpenuhi.
- Tidak terputus walaupun memasuki kawasan kota/perkotaan.
 Kolektor Sekunder
- Menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau
menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
- Didesign berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 Km/jam dan dengan
lebar badan jalan tidak kurang dari 6 meter.
- Batas daerah pengawasan jalan yang diukur dari as jalan dengan jarak tidak
kurang dari 7 meter.
 Lokal Primer
- Menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau menghubungkan kota
jenjang jedua dengan persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga.
- Jalan tidak kurang dari 3,5 meter.
- Batas luas Ruang Pengawasan Jalan (wasja) yang diukur dari as jalan tidak
kurang dari 4 meter.
8. Analisis Penataan Kawasan Dan Bangunan
A. Analisis Struktur Pertumbuhan/Pelayanan
Struktur pertumbuhan dan pelayanan dalam suatu kawasan ditentukan
berdasarkan pusat pertumbuhan dan pelayanannya. Pertama-tama dipilih suatu kawasan
sebagai pusat pertumbuhan BWK. Kemudian berjalan ke titik berikutnya yang hirarkinya

Bab III-54
Laporan Pendahuluan

lebih rendah. Sistem ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk mendistribusikan
pelayanan barang dan jasa bagi masyarakat.
Perbedaan potensi setiap calon-calon pusat pertumbuhan menunjukkan bahwa tidak
semua calon pusat dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Untuk mengukur
tingkat potensi dilakukan penilaian terhadap setiap calon pusat.
Kriteria penilaian yang dilakukan sedapat mungkin mencerminkan besarnya potensi tiap
calon pusat pertumbuhan itu. Kriteria yang dimaksud adalah :
 Kelengkapan fasilitas pusat.
 Kelengkapan fasilitas sosial ekonomi dapat dipakai sebagai alat indikasi pengukuran
tingkat perkembangan pusat karena dapat memperlihatkan besar kecilnya suatu
daerah (dengan melihat jumlah fasilitas yang dimilimi oleh suatu daerah).
 Jarak antar sub pusat dengan pusat.
 Salah satu cara untuk menentukan suatu wilayah sebagai pusat pertumbuhan adalah
dengan menghitung jarak atau aksesibilitas.
 Jumlah penduduk tiap kawasan
B. Analisis Kebutuhan Sarana Perkotaan
Ada beberapa metode pendekatan untuk memenuhi masyarakat dalam hal
pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan sarana perkotaan/pedesaan. Pendekatan
lokasi dapat didekati melalui sistem perwilayahan yaitu mengenai jenis pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan tingkat kewilayahannya. Kemampuan
berkembangnya suatu wilayah perkotaan/pedesaan dapat ditunjukkan dengan adanya
sistem penyebaran maupun kelengkapan dan kapasitas pelayanan dari fasilitas sosial,
antara lain berupa fasilitas–fasilitas pendidikan, peribadatan, perbelanjaan,
perkantoran, rekreasi, ruang terbuka (jalur hijau) serta fasilitas perkotaan lainnya.
Perkembangan penduduk tanpa diimbangi dengan pengadaan dan penyebaran fasilitas
yang memadai akan menimbulkan aspek-aspek negatif pada kehidupan penduduknya.
Secara ringkas skala pelayanan, standar kebutuhan luas lantai dapat dilihat pada tabel
berikut :
a) Standar Kebutuhan Sarana Perkotaan/Pedesaan
Standar kebutuhan sarana perkotaan/pedesaan sesuai dengan Petunjuk Perencanaan
Kawasan Perumahan Kota Departemen Pekerjaan Umum tahun 1987 dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 3.24. Standar Kebutuhan Sarana Perkotaan/Pedesaan

Bab III-55
Laporan Pendahuluan

Kebutuhan
Jumlah
Luas
Jenis Fasilitas Penduduk yang Luas lantai Keterangan
Lahan
dilayani (m2)
(m2)
Pendidikan
Taman Kanak- Min. 1000 252 atau 1200 - 2Rg Kelas @35-40
kanak 15m2 /murid - Radius max 500m
Sekolah Dasar Min 1600 400-60 3600 - 6 Rg kelas@
30murid
- Radius max 500mm
SLTP Min 4800 Umum : 2700 Umum : - 3 Rg kelas
Khusus: 2551 2700 @30murid
Khusus : - KDB umum 60
5000 - KDB khusus 50%
SLTA Min 4800 Umum : 1514 Umum : - 3 Rg kelas @ 30
Khusus : 2551 2700 murid
Khusus : - KDB umum : 60%
5000 - KDB khusus : 50%
Peribadatan
Masjid 2500 - 1500
Musholla 500 - 1000
Gereja - 1,2m2/orang 1000
Kesehatan
Puskesmas 30000 - 1200
Puskesmas
15000 150 300
pembantu
BKIA/
10000 - 1000 Radius 2000m
R.bersalin
Apotik 10000 - 300
Bersatu dg. Rumah
Praktek dokter 5000 - 100
tangga
Perdagangan
Warung 250 - 100
Pusat
2500 - 1500
Pertokoan Kecil
Rekreasi
Taman Bermain 250 - 250 Anak umur 5-14 th
Taman & olah Remaja umur 10-17
2500 - 2500
raga th
Jalur hijau - - - 6% luas terbangun
Kebudayaan
Balai
2500 - 400
pertemuan
Gedung serba
5000 - 1000
guna
Bioskop 30000 - 2000
Umum
Pos keamanan 250 - 10
Pengumpul 2500 - - 10 m3

Bab III-56
Laporan Pendahuluan

Kebutuhan
Jumlah
Luas
Jenis Fasilitas Penduduk yang Luas lantai Keterangan
Lahan
dilayani (m2)
(m2)
sampah
Halte 2500 - 400
Sumber : Standar Perencanaan Permukiman Perkotaan Dep. PU

b) Model Perhitungan Tingkat Pelayanan Fasilitas


Tingkat pelayanan fasilitas umum adalah kemampuan suatu jenis fasilitas di
dalam melayani kebutuhan penduduknya. Dalam hal ini, fasilitas umum yang
memiliki tingkat pelayanan 100% mengandung arti bahwa fasilitas tersebut memiliki
kemampuan pelayanan yang sama dengan kebutuhan penduduknya. Untuk
mengetahui kelengkapan fasilitas umum suatu kota, dihitung tingkat pelayanan
dengan rumus :

aij/b j
Dimana : T.Pij  x100%
c is

T.Pij = Tingkat Pelayanan Fasilitas i di kota j


aij = Jumlah Fasilitas i di kota j
bj = Jumlah Penduduk di kota j
cis = Jumlah fasilitas i per satuan penduduk menurut standar kota yang
dipergunakan
Melalui perhitungan diatas, dapat diketahui tingkat pelayanan setiap fasilitas
kecuali untuk fasilitas peribadatan. Khusus untuk menghitung tingkat pelayanan
fasilitas peribadatan, jumlah penduduk kota j (bj) diganti oleh jumlah penduduk
menurut agama di kota tersebut.

c) Standar Perumahan Menurut KIP ( Kampung Improvement Program)


Standar Perumahan untuk 1 ha adalah terdiri dari 50 unit rumah
a. Rendah : 50 Unit/ha
b. Sedang : 100-150 unit/ha
c. Tinggi : > 300 unit/ha
Pengembangan perumahan dilakukan dengan kriteria perbandingan antara
perumahan kavling besar terhadap kavling sedang dan terhadap kavling kecil, yaitu
1:3 :6. Dengan luas masing-masing kavling:
 Kavling kecil ≤ 200 m2
 Kavling sedang 201-300 m2
 Kavling besar 300 - ≥500 m2

Bab III-57
Laporan Pendahuluan

 Analisis Kebutuhan Sarana


9. Analisis Kependuduk
A. Proyeksi Penduduk
Analisis ini diarahkan untuk memperkirakan distribusi penduduk, dalam rangka
penyediaan kebutuhan fasilitas sosial ekonomi, disamping untuk mengetahui perubahan-
perubahan pada struktur penduduk, seperti tingkat pertumbuhan angkatan kerja,
tingkat perubahan berdasarkan mutasi (kelahiran, kematian, kedatangan, dan
perpindahan) dan sebagainya. Adapun model analisa yang digunakan untuk memproyeksi
atau memprediksi penduduk kawasan perencanaan sampai akhir tahun antara lain:
a. Model Bunga Berganda
Metode ini menggunakan patokan pertumbuhan rata-rata pada kurun waktu 5 – 10
tahun. Pertumbuhan penduduk diproyeksikan dengan menggunakan dasar bunga
berganda (bunga majemuk) dengan angka pertumbuhan yang sama setiap tahun.
Rumus:
Pn = Pa (1 + r)n

Dimana: Pn = jumlah penduduk tahun n


Pa = jumlah penduduk tahun awal
n = jumlah tahun perencanaan
r = tingkat prosentase pertumbuhan penduduk

b. Model Regresi
Analisis ini didasarkan pada data pola pertumbuhan penduduk pada 5 – 10 tahun
yang lalu yang didekati dengan salah satu pola regresi, yaitu linier, logaritma,
eksponensial, dan regresi berpangkat.
a). Linier Regresion
Rumus:
Pn = Po + F (x); F(x) = a(n)  Pn = Po + a(n)

Dimana:
Pn = jumlah penduduk tahun yang akan datang (n),
F(x) = pertambahan penduduk selama tahun n
a = koefisien/rata-rata persentasi pertambahan
Pt+x = a + b(x)
Dimana:
Pt+x = jumlah penduduk pada tahun t+x
a,b = konstanta
x = jumlah selang tahun dari tahun dasar t

Bab III-58
Laporan Pendahuluan

n = sampel pengamatan
a = P. X2 - P. PX
N X2 – (X)2
b = NPX - X . P
NX2 – (X)2
b). Logarithmic Regression
Rumus: Y = A + B ln X
Dimana: A = konstanta
B = Koefisien regresi
X = Tahun
Y = Jumlah Penduduk
c). Exponential Regresi
Rumus: Y = A . 1 B.X

Dimana: A = konstanta
B = Koefisien regresi
X = Tahun
Y = Jumlah Penduduk
d). Power Regressi
Rumus: Y = A . X B

Dimana: A = konstanta
B = Koefisien regresi
X = Tahun
Y = Jumlah Penduduk
B. Analisis Pertumbuhan Penduduk
a. Metode Ekstrapolasi/Trend
Metode ekstrapolasi/trend adalah melihat kecenderungan pertumbuhan
penduduk di masa lalu dan melanjutkan kecenderungan tersebut untuk masa
yang akan datang sebagai proyeksi. Metode ini dibagi dua, yaitu teknik grafik dan
metode trend.
Cara yang paling mudah adalah dengan teknik grafik, dimana perkembangan
penduduk di masa lalu digambarkan dalam sebuah susunan koordinat salib.
Jumlah penduduk untuk setiap kurun waktu (misalnya pertahun) dinyatakan
dalam sebuah titik pada bidang koordinat salib. Susunan titik-titik tersebut dapat
dipandang sebagai suatu garis (lurus atau lengkung) dan arah garis tersebut
diteruskan ke masa yang akan datang sebagai proyeksi. Teknik grafik ini

Bab III-59
Laporan Pendahuluan

sebetulnya tidak untuk meramalkan jumlah penduduk, melainkan hanya melihat


arah kecenderungannya saja.
Metode trend adalah metode meramalkan pertumbuhan penduduk dengan rumus
sederhana.
PT = Po + f (t - 0) PT = penduduk pada tahun t
Po = penduduk pada tahun dasar
(t – 0) = selisih antara tahun dasar dengan tahun yang
diramalkan, yang sering disingkat dengan n
F = fungsi perkembangan penduduk

Apabila trend masa lalu adalah garis lengkung yang menaik, rumusnya berubah
menjadi :
Pt = Po (1 + r) (t – 0) (1 + r), dimana :
r = rata-rata proporsi kenaikan penduduk tiap tahun, yaitu jumlah
kenaikan/pertambahan penduduk dibagi jumlah penduduk pada tahun dasar.
Rumus ini sering disingkat dengan PT= Po (1 + r)n
Besarnya (r) hanya ditentukan oleh angka awal (Po) dan angka akhir (Pt), atau
end to end. Dengan demikian, apabila angka awal dan angka akhir jauh
menyimpang dari tahun-tahun lainnya, perlu dilakukan penyesuaian angka atau
angka ekstrem itu tidak dipakai, agar tidak menyesatkan.

b. Metode Analisis Pertumbuhan Komposisi


Dalam analisis pertumbuhan penduduk berdasarkan pertumbuhan komposisi,
semua faktor perubahan jumlah penduduk harus diperhatikan. Perubahan jumlah
penduduk disebabkan oleh :
 Pertambahan dan pengurangan secara alami ;
 Migrasi masuk dan migrasi keluar ;
 Perubahan atas administrasi wilayah, yaitu pengurangan (abdonment) disatu
pihak dan penambahan (annexation) di pihak lain.
Semua unsur tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan
keputusan pemerintah. Selain kejadian yang sulit untuk diramalkan, seperti
bendana alam dan perang. Secara matematika, jumlah penduduk dapat dinyatakan
dalam perasamaan :
Pt = Po + N + M + R Po = Penduduk pada tahun dasar

Bab III-60
Laporan Pendahuluan

N = Pertambahan secara alamiah


M = Perubahan karena migrasi
R = Perubahan karena berubahnya luas wilayah.
Apabila tidak ada perubahan, maka R = 0.

Untuk menganalisis perubahan penduduk secara alamiah (tanpa unsur migrasi),


laju petumbuhan masing-masing kelompok umur dinyatakan dalam rates
( persentase yang dinyatakan dalam proporsi). Untuk lebih memurnikan hasil
perhitungan, rates dibedakan untuk masing-masing cohort (teman sebaya atau
kelompok umur). Kuni dari metode ini adalah harus dapat dibuat/diperoleh tabel
tentang fertility rate dan mortality rate. Perlu diingat bahwa tingkat fertilitas
dan mortalitas menurun dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Oleh
sebab itu dalam proyeksi penduduk, tingkat fertilitas dan mortalitas harus
diproyeksikan terlebih dahulu. Laju kelahiran dan kematian dinyatakan dengan
angka banding yang sering pula dinyatakan sebagai kecenderungan. Biasanya
suatu angka yang menunjukkan perbandingan antara sejumlah atau sekelompok
penduduk (yang dilahirkan atau meninggal) dengan jumlah semua penduduk kali
1000.
10. Analisa Sosial budaya
Analisa sosial budaya didasarkan atas gejala-gejala persepsi masyarakat terhadap
lingkungannya dan bagaimana respon manusia terhadap persepsi itu. Salah satu hal
yang dipersepsikan manusia tentang lingkungannya adalah ruang (space) yang ada
disekitarnya, baik antar manusia dengan manusia maupun antar manusia dengan
lingkungannya yang berbentuk kegiatan ritual maupun kegiatan yang berbasis pada
ekonomi.
Salah satu faktor yang penting untuk diketahui dari aktivitas masyarakat yang
berpengaruh bagi berbagai kegiatan yang cenderung mempengaruhi pemanfaatan
ruang adalah karakatristik sosial budaya masyarakat, adat istiadat, kebiasaan
masyarakat dan lain sebagainya. Karakteristik sosial budaya ini diidentifikasikan dari
indikator :
 Sistem dan sifat kegotong-royongan masyarakat
 Sistem kekerabatan masyarakat
 Adanya tokoh-tokoh yang berpengaruh dimasyarakat
 Kegiatan rutin yang menunjang kegiatan sosial ekonomi
 Acara bersama untuk memperingati hari-hari besar atau adat istiadat.
 Adanya lokasi atau obyek yang dikeramatkan
11. Analisis Struktur Kawasan

Bab III-61
Laporan Pendahuluan

Analisis ini merupakan analisis yang akan menemukenali bentuk kawasan secara
keseluruhan yang nantinya antar bagian akan saling mendukung dan melengkapi
fungsinya. Adapun analisis akan meliputi :
a. Perkembangan pembangunan, merupakan kebijakan rencana pembangunan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah maupun swasta;
b. Pusat-pusat kegiatan, dengan melakukan kajian terhadap pemusatan kegiatan yang
ada atau direncanakan oleh rencana diatasnya;
c. Kesesuaian dan daya dukung lahan, sebagai daya tampung dan daya hambat ruang
kawasan dalam berkembang;
d. Pembagian fungsi ruang pengembangan, merupakan struktur kawasan yang dibagi
dalam fungsi dan peran bagian-bagian kawasan.
Untuk menyusun struktur tata ruang, perlu dilakukan tahapan superimpose/analisis
antara struktur pusat-pusat yang telah ditentukan (dihitung) dengan alokasi penggunaan
lahan. Maka dalam penyusunan standar manual struktur tata ruang akan terkait
pengertian pusat wilayah, struktur transportasi dan wilayah yang dilayani oleh pusat
tersebut. Dan dalam hal ini, unit wilayah perencanaan pada tingkat RDTR dapat berupa
satu SKP (kecamatan) atau sebagian dari satu atau beberapa SKP yang luasnya berkisar
antara 10.000 Ha – 20.000 Ha. Metode pendekatan yang dapat digunakan dalam
menganalisis struktur tata ruang adalah sebagai berikut :
a) Analisis Aksesbilitas
Analisis aksesbilitas ini digunakan untuk mengukur tingkat kemudahan pencapaian
dari pusat-pusat pemukiman ke pusat-pusat pelayanan. Variabel-variabel yang
digunakan adalah : jarak/waktu tempuh, frekuensi kendaraan umum, dan ada tidaknya
jalan penghubung.
- Nilai aksesbilitas:
A=FKT
d
Dimana: A = nilai aksesbilitas
F = fungsi jalan (arteri, kolektor, lokal)
K = konstruksi jalan (aspal, perkerasan tanah)
T = kondisi jalan (baik, sedang, buruk).
d = jarak
Nilai-nilai F, K,dan T diberi bobot.
- Indeks Aksesbilitas :

A= EJ

Bab III-62
Laporan Pendahuluan

( dij)b
Dimana: EJ = ukuran aktivitas (antara lain: jumlah penduduk usia kerja, pedagang,
dan sebagainya)
dij = jarak tempuh (waktu/jarak)
b = parameter
Perhitungan parameter b dengan menggunakan grafik regresi linier yang diperoleh
berdasarkan perhitungan:
K= T ij

P ij

Dimana: T = nilai individu trip


P = jumlah penduduk seluruh daerah
T ij = total trip hipotetis
Pij = jumlah penduduk di daerah I dan j
b) Analisis Tingkat Perkembangan Kawasan
Analisis ini dipakai untuk mengetahui tingkat perkembangan tiap kawasan sehingga
dapat diketahui desa mana yang maju dan terbelakang. Informasi ini memberikan dasar
dalam mengarahkan program-program pembangunan.
Variabel data yang digunakan adalah:
d. Data Fisik: kelengkapan fasilitas, dan kondisi rumah
e. Data Sosial: kelembagaan, tingkat buta huruf, perkembangan desa,
kurang kalori protein (KKP) dan penyediaan air bersih.
f. Data Ekonomi: pendapatan perkapita, pemilikian ternak, dan produksi
padi.
Alternatif model yang digunakan adalah model pembobotan.
Rumusnya:
Bi = Pi x 1000
P
Dimana: Bi = bobot perkembangan kecamatan
Pi = jumlah aktifitas i
P = jumlah penduduk
c) Analisis Sistem Hubungan (Linkage)
Digunakan untuk mengamati hubungan saling ketergantungan antara satu pusat
pemukiman dan pusat pemukiman lainnya dan antara pusat pemukiman dengan pusat-
pusat pelayanan sosial ekonomi.

Bab III-63
Laporan Pendahuluan

Informasi yang muncul dari analisis ini adalah organisasi spasial dari pemukiman-
pemukiman penduduk. Intensitas hubungan dari pusat-pusat pemukiman ke pusat
pemasaran, pendidikan lanjutan atas, pelayanan kesehatan, dapat menunjukkan pola
tata ruang berdasarkan hubungan fungsional yang terjalin.
Dengan analisis ini dapat diidentifikasi pemukiman-pemukiman yang berada di
luar sistem kaitan ruang, yaitu daerah yang kurang terlayani. Alternatif model yang
dapat digunakan adalah model gravitasi yaitu sebagai berikut:
Gi – j = K D i Dj
d ij
x

Dimana: Gi – j = Besaran pergeseran relatif


K = Konstanta gravitasi
Di = Dimensi aktivitas zone i
Dj = Dimensi aktivitas zone j
d ij = Jarak antara i – j
x = Konstanta jarak
d) Skalogram
Metode analisis ini digunakan untuk membuat hirarki atau jenjang pemukiman, yang
didasarkan pada kelengkapan fasilitas sosial ekonomi. Makin lengkap fasilitas sosial
ekonomi yang ada pada suatu pemukiman akan semakin tinggi hirarkinya.
Skalogram bisa dibuat setelah tersedia data yang lengkap mengenai fasilitas
sosial dan ekonomi pada pemukiman di suatu wilayah. Fasilitas yang diinventarisasi
meliputi : fasilitas ekonomi, pendidikan, kesehatan, peribadatan, olahraga, rekreasi,
pemerintahan, perdagangan, jasa, hal yang berkaitan dengan produksi pertanian dan
perindustrian dan fasilitas transportasi.
Hasil inventarisasi disajikan dalam suatu matrik yang disebut Skalogram.
Beberapa langkah yang ditempuh untuk memperoleh hasil akhir tersebut adalah :
c. Membuat urutan pemukiman berdasarkan jumlah penduduk. Makin besar jumlah
penduduk, makin awal diletakkan.
d. Membuat urutan fasilitas menurut kelengkapannya. Makin lengkap fasilitas,
diurutkan pada baris paling atas. Makin tersebar diseluruh wilayah, makin ke kiri
letak fasilitas pada matrik tersebut.
Matrik ini dapat menggambarkan sistem pusat-pusat pelayanan di seluruh
wilayah. Dengan membuat tangga, kemudian menghitung coefficient of reproductivity (
COR ), bila COR mencapai 75% berarti susunan tersebut sudah menggambarkan keadaan
yang sebenarnya. COR dihitung sebagai berikut:
COR = (Total jenis – error) X 100%

Bab III-64
Laporan Pendahuluan

Total jenis
Dimana: Total jenis : jenis fasilitas yang diinventarisasi
Error : jumlah kotak kosong pada ruang di atas garis tangga ditambah
jumlah kotak isi pada ruang di bawah garis tangga.
e) Analisis Fungsional Skalogram
Perhitungan yang lebih halus dari skalogram adalah dengan menggunakan indeks
sentralitas (IS). Fasilitas-fasilitas yang dianggap mewakili fungsi-fungsi pusat bukan
hanya melayani penduduk setempat, melainkan juga melayani penduduk di pemukiman
lain.
Fasilitas yang terdapat hampir di seluruh wilayah atau desa dinilai mempunyai
indeks sentralitas yang rendah, demikian sebaliknya. Pemukiman yang mempunyai score
(total IS) tinggi dianggap sebagai pusat pelayanan utama (PP1) selanjutnya pemukiman
yang lain dikelompokkan sebagai pusat pelayanan kedua dan seterusnya..
f) Analisis Daya Tampung
Analisa daya tampung wilayah adalah analisa untuk melihat kemampuan suatu
wilayah/ kawasan dalam menampung kehidupan manusia dan segala kegiatan yang
berkaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya hingga mencapai tingkat
kehidupan yang layak dengan tetap memperhatikan keserasian dan kelestarian kondisi
lingkungan.
Hasil analisa daya tampung diharapkan akan bisa menjadi salah satu bahan
pertimbangan (pedoman) untuk menentukan strategi dan kebijakan kependudukan
dimasa mendatang. Oleh karena itu analisa daya tampung wilayah menjadi salah satu
bagian yang penting di dalam perencanaan tata ruang.
Maksud dan tujuan dilakukannya analisa daya tampung wilayah adalah:
- memberikan gambaran mengenai kemampuan suatu wilayah dalam mendukung
kehidupan yang layak bagi penduduk yang berada dalam wilayah tersebut.
- memberikan bahan pertimbangan (pedoman) untuk penentuan strategi/kebijakan
kependudukan.
Beberapa asumsi yang mendasari proses analisa ini adalah:
 Kegiatan usaha (mata pencaharian) penduduk secara garis besar
dibedakan menjadi dua kelompok sesuai dengan tempat kedudukan penduduk yang
bersangkutan, yaitu:
- Penduduk yang bertempat kedudukan didaerah belakang (hinterland) dianggap
seluruhnya bermata pencaharian di sektor pertanian (Agriculture Oriented).
- Penduduk yang bertempat kedudukan di pusat-pusat pengembangan dianggap
bermatapencaharian di sektor non pertanian (Non Agriculture Oriented).

Bab III-65
Laporan Pendahuluan

 Kabupaten dianggap sebagai unit wilayah terbesar yang memenuhi


homogenitas karakteristik sosial dan ekonomi. Perbandingan jumlah penduduk yang
bertempat kedudukan di pusat pengembangan dan di daerah hinterland dianggap
mencerminkan struktur sosial dan struktur ekonomi wilayah yang bersangkutan.
 Bagi penduduk yang bertempat kedudukan di daerah hinterland dianggap
keseluruhannya bermatapencaharian di sektor pertanian yang bertempat kedudukan
di pusat pengembangan dianggap keseluruhannya bermatapencaharian di sektor non
pertanian. Untuk mencapai taraf hidup yang layak, masing-masing kelompok
penduduk tersebut memerlukan luasan lahan tertentu.
Data/informasi yang diperlukan dalam proses analisa daya tampung, yaitu:
- Luas wilayah (SKP) secara planimetris
- Nilai perbandingan jumlah penduduk pusat pengembangan dengan daerah
hinterland
Standar kebutuhan lahan bagi masing-masing penduduk untuk mencapai taraf hidup
yang layak, dibedakan antara penduduk di pusat pengembangan dan penduduk di
hinterland. Secara umum untuk perkotaan = 0,01 per-kapita dan untuk daerah
belakang (hinterland) = 0,3 Ha per-kapita.
Rumus :
L = P x Dt x Sk1 + h x Dt x Sk2
p+h p+h
Dimana: L = Luas wilayah (planimetris)
P = Jumlah penduduk yang bertempat kedudukan di pusat
pengembangan (WPP)
Sk1 = Standar kebutuhan lahan perkapita untuk penduduk pusat
pengembangan (0,01 Ha per-kapita)
Sk2 = Standar Kebutuhan lahan perkapita untuk penduduk daerah hinterland
(0,3 Ha per-kapita)
Dt = Daya tampung wilayah
Dari perhitungan dengan rumus tersebut akan di peroleh hasil (output) berupa:
- Daya tampung pusat WPP
- Daya tampung SKP (keseluruhan)
Selanjutnya apabila luas masing-masing SKP diketahui (hasil perhitungan diatas
peta), maka dengan menggunakan rumus dibawah ini:

LSKP = Pi x Dt x Ski + hi x Dt x Sk2


Pi + h i Pi + h i

Bab III-66
Laporan Pendahuluan

Dimana: LSKP = Luas SKP


Pi dan hi = Seperti dalam perhitungan terdahulu
Pi + hi P i + hI
Sk1 dan Sk 2 = seperti dalam perhitungan terdahulu
Hasil (output) yang akan diperoleh adalah:
- Daya tampung masing-masing pusat SKP
- Daya tampung hinterland masing-masing SKP
12. Analisis Peruntukan Blok
A. Pembagian Blok ;
a) Delinasi blok;
b) Alokasi lahan;
c) Rencana sistem prasarana kawasan;
d) Perangkat kelembagaan untuk mendukung pengembangan kawasan;
e) Kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan terhadap bencana alam,
perlindungan setempat, dan kawasan tertentu/khusus.
B. Peruntukan Lahan
a) Analisis Kawasan Perumahan ;
 Fungsi utama
Kawasan peruntukan permukiman memiliki fungsi antara lain:
1) Sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung
peri kehidupan dan penghidupan masyarakat sekaligus menciptakan
interaksi sosial;
2) Sebagai kumpulan tempat hunian dan tempat berteduh keluarga serta
sarana
bagi pembinaan keluarga
 Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang perumahan, permukiman, peran masyarakat dan
pembinaan perumahan dan permukiman nasional mengacu kepada Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan Surat
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor
217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan
Permukiman (KSNPP);
2) Pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan permukiman harus sesuai
dengan daya dukung tanah setempat dan harus dapat menyediakan
lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan

Bab III-67
Laporan Pendahuluan

lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan tetap


memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
3) Kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan dan
terjangkau oleh sarana tranportasi umum;
4) Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harus
didukung oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusat
perdagangan dan jasa, perkantoran, sarana air bersih, persampahan,
penanganan limbah dan drainase) dan fasilitas sosial (kesehatan, pendidikan,
agama);
5) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
6) Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
7) Dalam hal kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun (lisiba),
penetapan lokasi dan penyediaan tanah; penyelenggaraan pengelolaan; dan
pembinaannya diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999
tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri
Sendiri.
 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
1) Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%);
2) Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh
penyelenggara dengan jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air antara
60 L/org/hari – 100 liter/org/hari;
3) Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi);
4) Drainase baik sampai sedang;
5) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata
air/saluran pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan;
6) Tidak berada pada kawasan lindung;
7) Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga;
8) Menghindari sawah irigasi teknis.
 Kriteria dan batasan teknis:
1) Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% - 60% dari luas
lahan yang ada, dan untuk kawasan-kawasan tertentu disesuaikan dengan
karakteristik serta daya dukung lingkungan;
2) Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru perumahan
tidak bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan dilengkapi dengan
utilitas umum yang memadai;

Bab III-68
Laporan Pendahuluan

3) Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan


peruntukan permukiman di perdesaan dengan menyediakan lingkungan yang
sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan
hidup yang sesuai bagi pengembangan masyarakat, dengan tetap
memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
4) Kawasan perumahan harus dilengkapi dengan:
a) Sistem pembuangan air limbah yang memenuhi SNI 03-1733-2004 tentang
Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan;
b) Sistem pembuangan air hujan yang mempunyai kapasitas tampung yang
cukup sehingga lingkungan perumahan bebas dari genangan. Saluran
pembuangan air hujan harus direncanakan berdasarkan frekuensi
intensitas curah hujan 5 tahunan dan daya resap tanah. Saluran ini
dapat berupa saluran terbuka maupun tertutup. Dilengkapi juga dengan
sumur resapan air hujan mengikuti SNI 03-2453-2002 tentang Tata Cara
Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan dan
dilengkapi dengan penanaman pohon;
c) Prasarana air bersih yang memenuhi syarat, baik kuantitas maupun
kualitasnya. Kapasitas minimum sambungan rumah tangga 60
liter/orang/hari dan sambungan kran umum 30 liter/orang/hari;
d) Sistem pembuangan sampah mengikuti ketentuan SNI 03-3242-1994
tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Permukiman.
9) Pemanfaatan kawasan perumahan merujuk pada SNI 03-1733-2004 tentang
Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, serta
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan
Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan
kepada Pemerintah Daerah;
10) Dalam rangka mewujudkan kawasan perkotaan yang tertata dengan baik,
perlu dilakukan peremajaan permukiman kumuh yang mengacu pada
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kampung Kota;
b) Analisis Kawasan Industri
 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan kawasan peruntukan industri yang
berorientasi bahan mentah:
1) kemiringan lereng : kemiringan lereng yang sesuai untuk kegiatan industri
berkisar 0% - 25%, pada kemiringan >25% - 45% dapat dikembangkan
kegiatan industri dengan perbaikan kontur, serta ketinggian tidak lebih dari
1000 meter dpl;

Bab III-69
Laporan Pendahuluan

2) hidrologi : bebas genangan, dekat dengan sumber air, drainase baik sampai
sedang;
3) klimatologi : lokasi berada pada kecenderungan minimum arah angin yang
menuju permukiman penduduk;
4) geologi : dapat menunjang konstruksi bangunan, tidak berada di daerah
rawan bencana longsor;
5) lahan : area cukup luas minimal 20 ha; karakteristik tanah bertekstur sedang
sampai kasar, berada pada tanah marginal untuk pertanian.
 Kriteria teknis:
1) Harus memperhatikan kelestarian lingkungan;
2) Harus dilengkapi dengan unit pengolahan limbah;
3) Harus memperhatikan suplai air bersih;
4) Jenis industri yang dikembangkan adalah industri yang ramah lingkungan dan
memenuhi kriteria ambang limbah yang ditetapkan Kementerian
Lingkungan Hidup;
5) Pengelolaan limbah untuk industri yang berkumpul di lokasi berdekatan
sebaiknya dikelola secara terpadu;
6) Pembatasan pembangunan perumahan baru di kawasan peruntukan industri;
7) Harus memenuhi syarat AMDAL sesuai dengan ketentuan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku;
8) Memperhatikan penataan kawasan perumahan di sekitar kawasan industri;
9) Pembangunan kawasan industri minimal berjarak 2 Km dari permukiman dan
berjarak 15-20 Km dari pusat kota;
10) Kawasan industri minimal berjarak 5 Km dari sungai tipe C atau D;
11) Penggunaan lahan pada kawasan industri terdiri dari penggunaan kaveling
industri,jalan dan saluran, ruang terbuka hijau, dan fasilitas penunjang.
Pola penggunaan.
12) Setiap kawasan industri, sesuai dengan luas lahan yang dikelola, harus
mengalokasikan lahannya untuk kavling industri, kaveling perumahan, jalan
dan sarana penunjang, dan ruang terbuka hijau. Alokasi lahan pada Kawasan
Industri dapat dilihat pada Tabel berikut ;
c) Analisis Kawasan Perdagangan dan Jasa
 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
1) Tidak terletak pada kawasan lindung dan kawasan bencana alam;
2) Lokasinya strategis dan mudah dicapai dari seluruh penjuru kota;

Bab III-70
Laporan Pendahuluan

3) Dilengkapi dengan sarana antara lain tempat parkir umum, bank/ATM, pos
polisi, pos pemadam kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan
sarana penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung;
4) Terdiri dari perdagangan lokal, regional, dan antar regional.
 Kriteria dan batasan teknis:
1) Pembangunan hunian diijinkan hanya jika bangunan komersial telah berada
pada persil atau merupakan bagian dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
2) Penggunaan hunian dan parkir hunian dilarang pada lantai dasar di bagian
depan dari perpetakan, kecuali untuk zona-zona tertentu;
3) Perletakan bangunan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
disesuaikan dengan kelas konsumen yang akan dilayani;
4) Jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan antara lain:
a) bangunan usaha perdagangan (ritel dan grosir): toko, warung, tempat
perkulakan, pertokoan;
b) bangunan penginapan: hotel, guest house, motel, hostel, penginapan;
c) bangunan penyimpanan: gedung tempat parkir, show room, gudang;
d) bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;
e) bangunan pariwisata (di ruang tertutup): bioskop, area bermain.
d) Analisis Kawasan Pariwisata
 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan:
4) Memiliki struktur tanah yang stabil;
5) Memiliki kemiringan tanah yang memungkinkan dibangun tanpa
memberikan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan;
6) Merupakan lahan yang tidak terlalu subur dan bukan lahan pertanian yang
produktif;
4) Memiliki aksesibilitas yang tinggi;
5) Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas pada jalur jalan raya regional;
6) Tersedia prasarana fisik yaitu listrik dan air bersih;
7) Terdiri dari lingkungan/ bangunan/ gedung bersejarah dan cagar budaya;
8) Memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya, serta keunikan
tertentu;
9) Dilengkapi fasilitas pengolah limbah (padat dan cair).
 Kriteria teknis
1) Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam
untuk kegiatan pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan asas konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

Bab III-71
Laporan Pendahuluan

2) Pemanfaatan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman


Wisata Alam untuk sarana pariwisata alam diselenggarakan dengan
persyaratan sebagai berikut:
a) Luas kawasan yang dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan
prasarana pariwisata alam maksimum 10% dari luas zona pemanfaatan
taman nasional, blok pemanfaatan taman hutan raya, dan blok
pemanfaatan taman wisata alam yang bersangkutan;
b) Bentuk bangunan bergaya arsitektur setempat;
c) Tidak mengubah bentang alam yang ada;
d) Tidak mengganggu pandangan visual.
3) Pihak-pihak yang memanfaatkan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan
Raya, dan Taman Wisata Alam untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam
harus menyusun Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam yang
dilengkapi dengan AMDAL sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
4) Pemanfaatan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam diberikan untuk
jangka waktu paling lama 30 tahun sesuai dengan jenis kegiatannya;
5) Jenis-jenis usaha sarana pariwisata alam yang dapat dilakukan dalam
kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
meliputi kegiatan usaha:
a) akomodasi seperti pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, dan
penginapan;
b) makanan dan minuman;
c) sarana wisata tirta;
d) angkutan wisata;
e) cenderamata;
f) sarana wisata budaya.
6) Dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya setempat, pemerintah daerah
dapat menetapkan kawasan, lingkungan dan atau bangunan sebagai
lingkungan dan bangunan cagar budaya sebagai kawasan pariwisata budaya.
Penetapannya dilakukan apabila dalam suatu kawasan terdapat beberapa
lingkungan cagar budaya yang mempunyai keterkaitan keruangan, sejarah,
dan arkeologi;

Bab III-72
Laporan Pendahuluan

7) Penetapan kawasan, lingkungan dan atau bangunan bersejarah sebagai


kawasan pariwisata oleh Pemerintah Kota/Kabupaten berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
8) Kriteria, tolak ukur, dan penggolongan lingkungan cagar budaya berdasarkan
kriteria nilai sejarah, umur, keaslian, dan kelangkaan. Sedangkan kriteria
penggolongan bangunan cagar budaya berdasarkan kriteria nilai sejarah,
umur, keaslian, kelangkaan, tengeran/landmark, dan arsitektur. Kriteria
dan tolak ukur tersebut adalah sebagai berikut:
a) Nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan,
ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi simbol nilai
kesejarahan tingkat nasional dan atau daerah masing-masing;
b) Umur dikaitkan dengan batas usia sekurang-kurangnya 50 tahun;
c) Keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana
lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di
dalamnya;
d) Kelangkaan dikaitkan dengan keberadaannya sebagai satu-satunya atau
yang terlengkap dari jenisnya yang masih ada pada lingkungan lokal,
nasional, atau dunia;
e) Tengeran dikaitkan dengan keberadaan sebuah bangunan tunggal
monumen atau bentang alam yang dijadikan simbol dan wakil dari suatu
lingkungan;
f) Arsitektur dikaitkan dengan estetik dan rancangan yang menggambarkan
suatu zaman dan gaya tertentu.
9) Berdasarkan kriteria dan tolak ukur, kawasan lingkungan cagar budaya dapat
dikelompokkan menjadi beberapa golongan yang berbeda satu dengan
lainnya. Penggolongan lingkungan cagar budaya diatur melalui Keputusan
Bupati/Walikota setempat;
10) Pelestarian lingkungan dan bangunan cagar budaya yang dijadikan kawasan
pariwisata harus mengikuti prinsip-prinsip pemugaran yang meliputi
keaslian bentuk, penyajian dan tata letak dengan memperhatikan nilai
sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
11) Pengembangan lahan yang berada dalam kawasan lingkungan cagar budaya
harus mengikuti peraturan perundangan yang berlaku.
e) Analisis Kawasan Pertambangan
 Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan untuk kawasan peruntukan
pertambangan

Bab III-73
Laporan Pendahuluan

golongan bahan galian C:


1) Bahan galian terletak di daerah dataran, perbukitan yang bergelombang
atau landai
{kemiringan lereng antara (0° - 17°), curam (17° - 36°) hingga sangat
curam (>36°)}, pada alur sungai, dan cara pencapaian;
2) Lokasi tidak berada di kawasan hutan lindung;
3) Lokasi tidak terletak pada bagian hulu dari alur-alur sungai (yang umumnya
bergradien dasar sungai yang tinggi);
4) Lokasi penggalian di dalam sungai harus seimbang dengan kecepatan
sedimentasi;
5) Jenis dan besarnya cadangan/deposit bahan tambang secara ekonomis
menguntungkan untuk dieksplorasi;
6) Lokasi penggalian tidak terletak di daerah rawan bencana alam seperti
gerakan tanah, jalur gempa, bahaya letusan gunung api, dan sebagainya.
 Kriteria teknis:
1) Kegiatan penambangan tidak boleh dilakukan di kawasan lindung;
2) Kegiatan penambangan tidak boleh menimbulkan kerusakan lingkungan;
3) Lokasi tidak terletak terlalu dekat terhadap daerah permukiman. Hal ini
untuk menghindari bahaya yang diakibatkan oleh gerakan tanah,
pencemaran udara,serta kebisingan akibat lalu lintas pengangkutan bahan
galian, mesin pemecah batu, ledakan dinamit, dan sebagainya. Jarak dari
permukiman 1-2 km bila digunakan bahan peledak dan minimal 500 m bila
tanpa peledakan;
4) Lokasi penambangan tidak terletak di daerah tadah (daerah imbuhan) untuk
menjaga kelestarian sumber air (mata air, air tanah);
5) Lokasi penggalian tidak dilakukan pada lereng curam (> 40%) yang
kemantapan lerengnya kurang stabil. Hal ini untuk menghindari terjadinya
erosi dan longsor.

f) Analisis Kawasa Pusat Pemerintah, dilakukan dengan mempertimbangkan


 Kegiatan pusat pemerintahan sesuai dengan hirarkhi dan kebutuhan yang
ditetapkan dalam RTRW;
 Lingkungan; mempunyai karakter kuat dalam tata lingkungan dan bangunan;
 Multiplier effect; jenis kegiatan perkantoran swasta yang akan dikembangkan,
termasuk juga analisis kegiatan penunjang yang muncul.

Bab III-74
Laporan Pendahuluan

g) Analisis Pusat Pendidikan dan Penelitian, dilakukan dengan mempertimbangkan;


 Pengembangan kegiatan pusat pendidikan dan penelitian atau Pusat
Pengembangan Teknologi Tinggi yang ditetapkan dalam RTRW;
 Potensi tenaga kerja yang ada (berdasarkan hasil elaborasi);
 Lingkungan; bila dimungkinkan pencampuran kegiatan, dihindari kegiatan
yang akan menimbulkan dampak penting yang berlebihan.
h) Analisis Kawasan Pertahanan dan Keamanan, dilakukan dengan
mempertimbangkan ;
 Pengembangan kegiatan pertahanan dan keamanan sesuai yang ditetapkan
dalam RTRW;
 Potensi tenaga kerja yang ada (berdasarkan hasil elaborasi);
 Kajian dampak keamanan terhadap permukiman; termasuk juga analisis
kebutuhan kegiatan penunjang, seperti perumahan, perdagangan dan jasa,
ruang terbuka, zona kedap suara serta zona pengamanan (udara, laut,
daratan), prasarana transportasi dan utilitas lingkungan.
13. Analisis Amplop Ruang
A. Intensitas Pemanfaatan Ruang

a. Analisa Rasio Luasan dan Ketinggian


 Tinggi dan Jarak Bangunan

Tinggi dan jarak bangunan ini meliputi tinggi bangunan yang dikaitkan dengan
kedudukan bangunan, perlengkapan dekoratif bangunan, jenis dan bahan
konstruksi bangunan, fungsi bangunan. Jarak bangunan yang dimaksudkan di sini
adalah jarak antar bangunan yang berada di dalam persil yang sama. Ketinggian
bangunan yang akan ditetapkan ditentukan oleh: Garis Langit, Field of Vision,
garis atap, selubung bangunan, Elevasi/ pell.

- Garis Langit

Merupakan batas ketinggian bangunan berdasarkan sudut pandang dari


(berbagai tempat) di ruang koridor) yang berkaitan dengan tampilan
bangunan/fasade bangunan.

- Field of Vision

Merupakan hubungan antara ketinggian bangunan dengan jarak


ditentukan oleh toleransi atas skala ruang yang perlu dikuasai dalam field

Bab III-75
Laporan Pendahuluan

of Vision. Sudut field of vision normal adalah 600 dan pengamatan efektif
di bidang horizontal sejajar mata adalah 400.

- Elevasi/pell

Merupakan Perencanaan ketinggian bangunan dari muka jalan atau


standar tertentu yang ditentukan untuk mengendalikan keselamatan
bangunan (banjir dan lain-lain) yang mengendalikan bentuk estetika
bangunan secara keseluruhan/kesatuan kawasan di samping faktor
pencapaian pemakai.

- Gubahan Masa

Merupakan penataan perletakan masa-masa bangunan pada satu


lingkungan permukiman tertentu dengan pertimbangan faktor fisik, non
fisik, dan waktu tertentu.

- Orientasi Bangunan

Merupakan penataan arah bangunan yang dipertimbangkan terhadap


kondisi fisik dan non fisik lokasi perencanaan.

- Bentuk Dasar Bangunan

Merupakan perencanaan atas bentuk-bentuk dasar bangunan baik secara


horizonal maupun vertikal yang dipertimbangkan antara lain terhadap
aktivitas yang ada dalam bangunan atau persyaratan-persyaratan lain
seperti bangunan-bangunan yang berdasarkan letak, bentuk ketinggian
dan penggunaannya berkaitan dengan pengamanan terhadap lalu lintas
udara atau lalu lintas laut.

- Estetika bangunan

Yaitu perencanaan atas penampilan visual bangunan yang seimbang atas


dasar pertimbangan fisik dan non fisik. Pertimbangan fisik yang dimaksud
yaitu pola keseimbangn antara bentuk-bentuk dasar vertikal dan
horizontal, maupun pola keseimbangan antara konstruksi dan bahan-

Bab III-76
Laporan Pendahuluan

bahan bangunan yang digunakan. Pertimbangan atas dasar non fisik,


misalnya adanya muatan konsep identitas arsitektur lokal.

- Aksesbilitas Lingkungan

Merupakan akses lingkungan dengan bagian kota yang lain yang


dimaksudkan untuk ikut mengendalikan pemanfaatn daya dukung dan
daya tampung lahan pada skala kawasan yang lebih luas, seperti untuk
mengantisipasi kemacetan lalu lintas dan dampak lingkungan yang lain.

- Perabot ruang luar

Merupakan penempatan fisik ruang luar koridor, meliputi: Reklame,


tempat parkir, bis surat, bak sampah, Pos Polisi lalu lintas, lampu
penerangan jalan, sluptur, rambu-rambu, penghijauan, totoar.

- Tempat Parkir

Pada dasarnya fasilitas parkir dibedakan atas parkir diluar jalan dan
parkir di jalan. Parkir di jalan bisa parkir sejajar dan parkir menyudut.
Parkir sejajar pada satu sisi jalan akan mengurangi lebar jalan sebesar 2
meter, sedangkan parkir menyudut 450 akan mengurangi 4,5 meter.

Tinggi maksimum bangunan ditentukan berdasarkan ketentuan:

h dan d merupakan variabel dari fugsi sudut alpha dan beta.

Jika lebar jalan yang berdampingan < 20 m maka titik sudut ditetapkan pada
as jalan. Jika lebar jalan yang berdampingan > 20 m maka titik sudut
ditetapkan 10 m dari garis sempadan pagar ke jalan.

Jarak bangunan yang dimaksudkan di sini adalah jarak antar bangunan yang
berada di dalam persil yang sama. Sesuai konsep yang dirumuskan, jarak
bangunan untuk berbagai ketinggian, diusulkan sebagai berikut :

Bab III-77
Laporan Pendahuluan

Di mana:

d : jarak bangunan 1 dengan bangunan 2 (dalam meter)

h1 : tinggi bangunan 1 (dalam meter)

h2 : tinggi bangunan 2 (dalam meter)

Gambar Pedoman Menentukan Tinggi Bangunan

Keterangan gambar :

h : Tinggi puncak bangunan maksimum

d : Jarak antara proyeksi puncak bangunan yang dicari pada lantai


dasar dengan sumbu (as) jalan yang berdampingan.

h dan d merupakan variabel dari fungsi sudut α dan β.

- Garis Sempadan Muka Bangunan

Garis Sempadan Muka Bangunan di kawasan perencanaan memberikan


arahan mengenai jarak batas muka bangunan atau set back bangunan
terhadap jalan. Garis yang pada pendirian bangunan ke arah yang
berbatasan dengan permukaan tanah tidak boleh melampaui kecuali
mengenai pagar pekarangan. Umumnya pengaturan sempadan ini
merupakan 0,5 dari Ruas Milik Jalan (Rumija), khusus untuk daerah

Bab III-78
Laporan Pendahuluan

perencanaan dilakukan dengan menggunakan standar ideal jarak antara


pagar dengan bangunan, yaitu dengan rumus :

Keterangan:

L : lebar jalan

D : jarak pagar bangunan

Rumus tersebut merupakan penggunaan untuk kondisi ideal bagi penentuan


sempadan bangunan pada kawasan yang masih tersedia dan belum
terbangun. Pada kawasan yang telah dibangun, perencanaan sempadan
jalan dan bangunan harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan
jaringan yang telah terbentuk, sehingga dengan demikian harus dilakukan
penyesuaian jarak sempadan dengan bangunannya.

- KDB dan KLB

KDB merupakan nilai perbandingan antara area terbangun dengan luas


kapling yang ada, atau:

Sedangkan KLB merupakan nilai perbandingan antara luas lantai


keseluruhan dengan luas kapling, atau :

- Komponen Bangunan

Bab III-79
Laporan Pendahuluan

Komponen bangunan yang dimaksud ini adalah bukan untuk penerangan


dan ventilasi yang bisa berupa jendela, pintu, lubang ventilasi, maupun
lubang pencahayaan serta pagar halaman.
B. Tata Massa Bangunan
Merupakan analisa terhadap elemen-elemen fisik kawasan tertentu yang terkait
dengan aspek konfigurasi dan aspek penampilan agar dapat menampilkan bentuk
dan massa bangunan, yang didasarkan pada skala dan massa kawasan tersebut
sebagai bagian dari kawasan perkotaan untuk membentuk dan mengarahkan
kegiatan yang ada. Analisa wujud bangunan ini mencakup elemen-elemen :

a. Sempadan bangunan, yaitu jarak antara as jalan dengan bangunan maupun


dengan pagar halaman dan jarak bangunan dengan batas persil. Variabel-
variabel yang diperlukan untuk menganalisa sempadan bangunan ini adalah:
 Ruwasja (jarak dari as jalan ke bangunan),
 Jarak dari pagar ke tritisan bangunan,
 Jarak dari pagar ke dinding bangunan.
b. Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yaitu merupakan angka perbandingan luas
lahan yang tertutup bangunan dan bangunan-bangunan dalam tiap petak
peruntukan dibanding dengan luas petak peruntukan. Variabel-variabel yang
diperlukan dalam menganalisa KDB ini adalah :
- Lebar jalan,
- GSB,
- Envelop bangunan,
- Tinggi bangunan.
c. Koefisien Lantai Bangunan (KLB), adalah jumlah luas lantai bangunan
dibanding luas kapling rumah. Variabel-variabel yang perlu dianalisa adalah :
- Tinggi bangunan,
- Jarak antar bangunan,
- Envelop bangunan,
- KDB.

Dengan adanya analisa KLB ini, maka dapat ditentukan ketinggian bangunan
yang merupakan penetapan ketinggian bangunan maksimum sesuai dengan
kondisi bangunan terhadap jalan, daya dukung tanah terhadap bangunan
serta kondisi lingkungannya. Selain itu, diperoleh pula garis langit kawasan
yang merupakan garis titik tertinggi bangunan yang terbentuk oleh perbedaan
ketinggian masing-masing bangunan di tiap koridor jalan kawasan

Bab III-80
Laporan Pendahuluan

perencanaan. Perbedaan ketinggian bangunan ini bertujuan untuk


menciptakan suasana ruang yang menarik dan tidak monoton. Terbentuknya
garis langit yang tepat akan membentuk ruang luar yang dinamis.

d. Koefisien daerah hijau, yaitu angka perbandingan antara ruang terbuka hijau
dengan dasar bangunan dalam satu persil. Variabel yang perlu dianalisa
adalah :
- KDB,
- Lansekap: trotoar, jalan, RTH, lahan parkir.
e. Koefisien tapak basement, yaitu angka perbandingan antara luas basement
dengan luas keseluruhan persil. Variabel yang harus diamati adalah :
- KDB,
- KLB.
f. Elevasi/peil bangunan, yaitu tinggi dasar bangunan berdasarkan titik ukur
yang ditentukan dari titik tertinggi as jalan dimana persil berada. Variabel
yang harus diamati adalah :
- Tinggi persil,
- Tinggi jalan,
- Topografi,
- Bentuk drainase.
g. Gubahan massa, yaitu tata letak massa bangunan diatas persil yang
dipengaruhi oleh kondisi luas persil dan skala urban space. Ada beberapa
aspek yang harus ditinjau dalam menghasilkan gubahan massa bangunan ini,
yakni:
- Bentuk dasar bangunan,
- Bentuk massa bangunan sekitar,
- Variabel estetika (irama, ritme, dsb).
Berdasarkan aspek-aspek diatas, maka kemudian dianalisa gubahan massa
bangunan di kawasan perencanaan.

Bab III-81
Laporan Pendahuluan

Gambar Gubahan Massa Bangunan

h. Orientasi bangunan, yaitu konsep dasar arah hadap bangunan yang dilakukan
berdasarkan pertimbangan kondisi fisik seperti: unsur aksesibilitas, arah
matahari, angin, kondisi iklim, serta pemandangan yang menyenangkan
(viesta). Variabel amatan yang diperlukan selain kondisi fisik dasar kawasan
adalah:
 Tinggi bangunan,
 Envelop.

Bab III-82
Orientasi bangunan terhadap arah angin.
Laporan Pendahuluan

Orientasi bangunan terhadap arah matahari.

Orientasi
bangunan
terhadap jalan.

Orientasi bangunan
terhadap
arah viesta.

Gambar Amplop Bangunan

i. Bentuk dasar bangunan, yaitu bentuk-bentuk bangunan pada suatu kawasan


yang menciptakan keserasian satu sama lain dengan mempertimbangkan
unsur: keterpaduan (unity), keseimbangan, proporsi, skala, irama, urut-
urutan (sequence), karakter, warna, gaya dan bahan. Selain itu, aspek
kebudayaan di kawasan perenanaan dan bentuk bangunan yang ada di
kawasan perencanaan juga sangat mempengaruhi bentuk dasar bangunan
yang dirancang.
j. Selubung bangunan gedung, yaitu ruang di sekitar bangunan yang dapat
dirasakan oleh manusia yang melihatnya berdasarkan adanya pengaturan
wujud bangunan untuk menciptakan ruang pandang dan garis langit (sky line)
yang dinamis pada suatu kawasan/koridor tanpa mengganggu lingkungan
serta untuk menciptakan kesan estetika visual. Variabel yang diperlukan
dalam menganalisa selubung bangunan ini adalah:
 Lebar jalan,
 Jarak antar bangunan,
 Tinggi bangunan.

Bab III-83
Laporan Pendahuluan

Berikut ini contoh tinggi bangunan yang tidak sama pada satu kawasan dan
jarak antar bangunan yang akan mempengaruhi selubung bangunan:

Selubung
bangunan:

Gambar Selubung Bangunan

k. Fasade bangunan, yaitu bentuk bidang muka bangunan pada kawasan


tertentu yang memberikan karakter yang khas pada kawasan tersebut,
l. Arsitektur bangunan dan lingkungan, yaitu pengolahan bentuk bangunan
untuk menghasilkan wujud bangunan dan lingkungan yang selaras dan
memberikan kesan visual yang estetis pada satu kawasan. Dalam hal ini
analisa yang dilakukan yakni mencakup:
 Analisa bentuk bangunan,
 Analisa elemen-elemen bangunan,
 Analisa bentuk-bentuk antar bangunan

Gambar Bentuk Antar Bangunan

Bab III-84
Laporan Pendahuluan

m. B
a h
a n

eksterior bangunan, yaitu


pemilihan bahan bangunan di suatu kawasan tertentu. Dalam menganalisa
bahan eksterior bangunan ini variable yang perlu dipertimbangkan adalah:
 Tekstur,
 Warna.
C. Arahan Garis Sempadan
a. Tujuan
Mengatur Jarak antara as jalan dengan bangunan maupun dengan pagar halaman,
dan jaringan bangunan dengan batas persil, agar tercipta ruang yang aman,
nyaman dan sehat.
b. Komponen Penataan
a) Sempadan bangunan;
b) Sempadan sungai;
c) Sempadan pantai.
c. Kriteria
a) Garis Sempadan Bangunan
Garis maya pada persil atau tapak sebagai batas minimum diperkenankannya
didirikan bangunan, dihitung dari garis sempadan jalan atau garis sempadan
pagar atau batas persil atau tapak. GSB minimum ditetapkan dengan
mempertimbangkan keselamatan, risiko kebakaran, kesehatan, kenyamanan
dan estetika.
b) Sempadan muka bangunan

Bab III-85
Laporan Pendahuluan

- Letak garis sempadan bangunan gedung terluar, untuk daerah di


sepanjang alan bilamana tidak ditentukan lain adalah separuh lebar
daerah milik jalan (damija) dihitung dari tepi batas persil/kavling;
- Letak garis sempadan bangunan gedung terluar, untuk daerah tepi sungai,
bilamana tidak ditentukan lain adalah:
- 100 m dari tepi sungai sungai besar, dan 50 m dari tepi an ak sungai yang
berada di luar permukiman;
- 10 m dari tepi sungai yang berada di kawasan permukiman Letak garis
sempadan bangunan gedung terluar, untuk daerah pantai, bilamana tidak
ditentukan lain adalah 100 meter dari garis pasang tertinggi pada pantai
yang bersangkutan;
- Letak garis sempadan bangunan gedung, untuk daerah di tepi jalan kereta
api dan jaringan tegangan tinggi mengikuti ketentuan yang ditetapkan
oleh instansi yang berwenang;
- Garis sempadan untuk bangunan yang dibangun di bawah permukaan
tanah maksimum berimpit dengan garis sempadan pagar, dan tidak
diperbolehkan melewati batas persil/kavling.
c) Sempadan samping bangunan
- Jarak antara bangunan gedung sebagaimana, apabila tidak ditentukan
lain minimal adalah setengah tinggi bangunan gedung;
- Ketentuan besarnya jarak bebas bangunan gedung dapat diperbaharui
dengan pertimbangan keselamatan, kesehatan, perkembangan daerah,
kepentingan umum, keserasian dengan lingkungan.
b) Garis Sempadan Sungai
- Garis sempadan sungai bertanggul diukur dari sisi terluar kaki tanggul;
- Garis sempadang sungai bertanggual diukur dari tepi sungai pada waktu
ditetapkan;
- Untuk sungai di kawasan permukman berupa sempadan sungai
diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 – 15 m.

Tabel 3.25. Sempadan Sungai

Bab III-86
Laporan Pendahuluan

14. Analisis Kelembagaan dan Peran Masyarakat


1. Prinsip Analisis
Analisis kelembagaan dan peran serta masyarakat, dengan mengkaji struktur
kelembagaan yang ada, fungsi dan peran lembaga, meknisme peran masyarakat,
termasuk media serta jaringan untuk keterlibatan masyarakat dalam proses
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian serta pengawasan. Dalam pelaksanaan
peran serta masyarakat dapat dilakukan secara perseorangan atau dalam bentuk
kelompok (organisasi kemasyarakatan/LSM, organisasi keahlian/profesi, dll). Adapun
prinsip-prinsip yang harus dipertimbangkan adalah:
a. Berdasarkan kesepakatan dan hasil kerjasama antar stakesholder;
b. Sesuai dengan aspirasi publik;
c. Kejelasan tanggung jawab ;
a) Adanya sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan yang transparan dan terbuka
bagi publik;
b) Terbuka kemungkinan untuk mengajukan keberatan dan gugatan;
a) Kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam proses pembangunan.

Bab III-87
Laporan Pendahuluan

2. Komponen analisis :
a. Identifikasi aspirasi dan analisis permasalahan;
b. Analisis perilaku lingkungan: masyarakat perkotaan dan perdesaan yang memiliki
kultur dan tingkat pendidikan yang berbeda;
c. Analisis perilaku kelembagaan: perlu dianalisis subtansi tugas dan tanggungjawab;
d. Analisis metode dan sistem: perlu dianalisis alat dan perlengkapan, termasuk
pendanaan bila diperlukan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab.
15. Kelembagaan dan Peran Serta Masyarakat
Dalam rangka mewujudkan penataan ruang yang dapat mengakomodasi
kebutuhan ruang bagi masyarakat yang sesuai dengan kondisi, kaakteristik dan
daya dukung kawasan kota yang terus berkembang, maka proses penyusunan
rencana tata ruang kawasan perkotaan dan kawasan fungsional lain, harus
bersifat partisipatif dan dinamis.
A. Kelembagaan
Lembaga formal pemerintah yang terlibat dalam penataan ruang adalah
Pemerintah Daerah dalam rangka pengaturan, pembinaan,pelaksanaan dan
pengawasan penataan ruang, serta koordinasi penyelenggaraan penataan
ruang lintas sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan.
Pelaksanaan penyusunan Peraturan Zonasi dilaksanakan oleh lembaga formal
pemerintah kabupaten dibawah koordinasi BAPEDA dan didukung oleh
dinas/instansi terkait.
a) Sebagai langkah langkah koordinasi dalam penanganan penataan ruang,
pembinaan dan pengembangan kebijakan tata ruang wilayah dan lintas
sektor, sektor, koordinasi diselenggarakan dalam suatu badan koordinasi
daerah skala kabupaten seperti BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang
Daerah) sebagai lembaga fungsional yang berfungsi :
b) Mengkoordinasikan pelaksanaan Peraturan Zonasi secara terpadu sebagai
dasar bagi penentuan perijinan dalam penataan kawasan kota yang
dijabarkan dalam program pembangunan kawasan perkotaan.
c) Merumuskan pelaksanaan dan mengkoordinasikan masalah masalah yang
timbul dalam penyelenggaraan penataan ruang di kawasan kota, dan
memberikan arahan dan pemecahannya.
d) Mengkoordinasikan penyusunan peraturan perundang undagan di bidang
penataan ruang.

Bab III-88
Laporan Pendahuluan

e) Memaduserasikan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 terntang


Penataan Ruang dan penyusunan peraturan pelaksanaannya dengan
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
f) Memaduserasikan penatagunaan tanah dan penatagunaan sumber daya
lam lainnya dengan Peraturan Zonasi.
g) Melakukan pemantauan (monitoring) tersebut untuk penyempurnaan
rencana detail tata ruang kota
h) Menyelenggaraan pembinaan penataan ruang kawasan Kota dengan
mensinkronkan Recana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten serta Rencana
Rinci.
i) Mengembangkan dan menetapkan prosedur pengelolaan tata ruang.
j) Membina kelembagaan dan sumber daya manusia penyelenggaraan
penataan ruang.
k) Menyelenggarakan pembinaan dan standarisasi perpetaan tata ruang.
l) Dalam perencanaan Rencana Tata Ruang, BKTRD memiliki peran penting
dalam koordinasi penataan ruang lintas kawasan administrasi, atau lintas
kawasan perencanaan.
B. Peran Serta Masyarakat
a) Manfaat
 Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan hak, kewajiban,
dan peranannya dalam proses peruntukan dan pembanguan ruang, sehingga
tumbuh rasa memiliki dan tanggungjawab yang kuat terhadap hasil-hasilnya.
 Meningkatkan hasil guna penataan dan pembangunan kawasan serta
lingkungan, karena adanya percayaan publik terhadap perencanaan tata
ruang itu sendiri.
 Dengan demikian, meningkatkan kepastian hukum dalam berinvestasi pada
kawasan perencanaan.
b) Prinsip Utama
 Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi perencanaan detail tata ruang,
mulai dari proses penyusunan maupun sampai pada pengeluaran produk
rencana.
 Pemerintah Daerah sebelum melakukan pengesahan produk rencana, terlebih
dahulu melakukan uji materi rencana melalui publik hearing (dapat
menggunakan media tertentu), dengan tetap membuka kemungkinan adanya
kritisi, perubahan sampai pada penolakan.

Bab III-89
Laporan Pendahuluan

 Efisiensi dan efektfitas; keputusan harus diambil secara efisen dan efektif,
dengan mengedepankan kemampuan masyarakat, kepentingan umum, guna
tercapainya kesejahteraan masyarakat secara luas.
 Produk rencana merupakan hasil dan kesepakan bersama, hasil dari dialog
serta negosiasi berbagai pihak yang terlibat ataupun yang pihak terkena
dampak perencanaan.
 Produk rencana yang telah disepakati bersama tersebut, menjadi konsekuensi
bersama dan isi rencana mengikat melalui pengesahan Peraturan Pemerintah
Daerah.
 Jika terjadi peruntukan
 Pengaturan teknis yang tidak diatur dalam Perencanaan Detail Tata Ruang,
harus mengikuti kaidah teknis, lingkungan, dan tidak menimbulkan dampak
penting yang luas.
 Adanya sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan yang transparan dan
terbuka bagi publik.
c) Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Pelaksanaan Penataan Ruang
 Bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan
Penataan Ruang
 Penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata ruang dan
program pembangunan .
 Bantuan teknik dan pengolahan dalam pemanfaatan ruang dan/atau
 Kegiatan menjaga, memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
d) Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Pengendalian Pemanfaatan
Ruang
 Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang skala daerah, kecamatan dan
kawasan, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan
pemanfaatan ruang kawasan dimaksud dan/atau sumberdaya tanah, air,
udara dan sumberdaya lainnya.
 Memberikan masukan/laporan tentang masalah yang berkaitan dengan
perubahan/ penyimpangan pemanfaatan ruang dari peraturan yang telah
disepakati
 Bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban
pemanfaatan ruang.
 Mengajukan keberatan dan gugatan melalui instansi yang berwenang
menangani gugatan kepada pemilik, pengelola, dan/atau pengguna atas

Bab III-90
Laporan Pendahuluan

penyelenggaraan peruntukan ruang, bangunan dalam kawasan dan


lingkungannya.
e) Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Pelaksanaan Peraturan Zonasi

 Bersifat periodik, jangka menengah, dapat dibuat panitia khusus yang


sifatnya ad-hoc atau tidak permanen. Panitia khusus ini dibentuk melalui
Surat Keputusan Bupati/ Walikota.

 Bersifat sepanjang waktu atau sewaktu-waktu karena berbasis pada kasus-


kasus yang terjadi dapat dibentuk komite perencanaan yang mempunyai
tugas pokok dan fungsi khusus di bidang perencanaan dan bersifat
independen serta mempunyai kewenangan legal formal untuk
menindaklanjuti persoalan-persoalan penataan ruang.

Bab III-91

Anda mungkin juga menyukai