Anda di halaman 1dari 135

BAB F.

METOD
OLOGI
DAN
PENDE
KATAN
F.1. PENDEKATAN

Dalam penyusunan RDTR ini digunakan beberapa pendekatan yang dapat digunakan, diantaranya :

F.1.1. Pendekatan Komprehensif

Pendekatan Komprehensif memandang bahwa untuk menghasilkan suatu produk kebijakan dan
strategi yang baik perlu adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai wilayah dan persoalan
yang akan direncanakan atau dipecahkan, tidak hanya pada saat pengumpulan data dan analisis
saja, melainkan sampai pada kebijakan dan strategi yang dibangun. Kata “komprehensif” dalam
konteks pendekatan ini merujuk pada upaya memahami suatu permasalahan dari sudut pandang
semua aspek kehidupan mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya, sampai dengan
pertahanan keamanan. Semua aspek tersebut dalam cara pandang ini dilihat sebagai satu kesatuan
rantai kehidupan yang saling terkait satu dengan yang lain. Selain itu kata komprehensif juga
mengandung pemahaman bahwa suatu wilayah dimana persoalan tersebut akan dipecahkan
dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdiri dari berbagai sub sistem-sub
sistem yang saling terkait, termasuk dalam kaitannya dengan lingkup wilayah administrasi.

Dalam kaitannya dengan keterkaitan antar aspek ini, dalam pendekatan yang bersifat komprehensif
dipandang sebagai suatu bentuk konsep kedinamisan dimana aspek kehidupan yang satu
mempengaruhi aspek kehidupan yang lain dan begitu seterusnya. Tidak dapat ditentukan aspek
mana yang menjadi awal dan akhir. Semua aspek dapat menjadi sebab dan menjadi akibat yang
saling terkait. Aspek-aspek kehidupan tersebut dalam penanganannya didasarkan pada suatu
kerangka acuan yang disebut dengan keterpaduan.

F.1.2. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan

Pendekatan pembangunan berkelanjutan merupakan suatu pendekatan dalam perencanaan yang


memandang bahwa pembangunan bukan merupakan suatu kegiatan yang sesaat melainkan suatu
kegiatan yang berlangsung secara kontinyu dan tidak pernah berhenti seiring dengan
perkembangan jaman. Pendekatan ini menekankan pada keseimbangan ekosistem, antara ekosistem
buatan dengan ekosistem alamiah. Dalam perencanaan pembangunan kesesuaian ekologi dan
sumber daya alam penting artinya agar pembangunan yang terjadi tidak terbatas dalam tahun
rencana yang disusun saja.

Pendekatan pembangunan berkelanjutan dalam kegiatan bertujuan untuk menghasilkan suatu


konsep yang berwawasan lingkungan, namun bukan berarti menjadikan kepentingan lingkungan
sebagai segala- galanya. Dalam pendekatan ini yang dipentingkan adalah keseimbangan antara
pembangunan lingkungan dan non-lingkungan (ekonomi, sosial, teknologi, dan sebagainya)
sehingga dicapai suatu kondisi pembangunan yang harmonis. Dalam pendekatan ini ada tiga
prinsip dasar yang dipegang, yaitu:
 Prinsip persamaan antar generasi, yaitu pengaruh pada kemampuan generasi yang akan datang
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka harus dipertimbangkan. Prinsip ini dikenal
juga sebagai principle of futurity.
 Prinsip keadilan sosial, yaitu keberlanjutan mensyaratkan bahwa pengontrolan keseluruhan
distribusi sumber daya harus merata.
 Prinsip tanggungjawab transfontier, yaitu bahwa dampak dari aktivitas manusia seharusnya
tidak melibatkan suatu pemindahan geografis yang tidak seimbang dari masalah lingkungan.
Dalam prinsip ini terdapat perlindungan terhadap kualitas dari lingkungan.

F.1.3. Pendekatan Perancangan

Penyusunan rencana rinci kawasan permukiman prioritas, diperlukan pendekatan-pendekatan


perancangan. Pendekatan ini disesuaikan dengan kebutuhan penanganan kawasan dan karakteristik
lokasi yang direncanakan. Beberapa pendekatan perancangan yang dapat di gunakan antara lain:

1. Pendekatan Fungsi dan Aktivitas Kawasan


Pemahaman terhadap fungsi dan aktivitas yang akan dikembangkan perlu menjadi dasar dalam
penyusunan rencana. Untuk itu, pendekatan fungsi dan aktivitas kawasan ini akan
memperhatikan dua unsur utama, yaitu hubungan antara manusia dan lingkungan, yang
merupakan sumber pembangkit aktivitas kawasan. Hubungan antara manusia dan lingkungan
dalam pendekatan fungsi dan aktivitas kawasan dapat didekati dengan sudut pandang berikut:

a. Karakter individu, mencakup bagaimana manusia membentuk lingkungannya.


b. Pengaruh lingkungan fisik terhadap manusia, mencakup seberapa penting perancangan
lingkungan secara spesifik serta dalam konteks apa saja suatu komponen fisik lingkungan
dapat mempengaruhi pola perilaku dan aktivitas manusia di kawasan tersebut.
c. Mekanisme interaksi, memperhatikan mekanisme apa yang dapat menumbuhkan interaksi
2 (dua) arah antara manusia dengan lingkungannya.
2. Pendekatan Prasarana dan Sarana Pendukung Pengembangan Fungsi Kawasan
Analisa terhadap prasarana dan sarana pendukung fungsional kawasan yang akan
dikembangkan menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan menyangkut rumusan
komponen penunjang kawasan dan elemen-elemen pembentuk kawasan. Kebutuhan
komponen prasarana dan sarana penunjang kegiatan pariwisata perlu dipadukan dengan
komponen penunjang kegiatan fungsional lainnya yang berhubungan dengan kegiatan
fungsional di kawasan perencanaan. Keterkaitan antar komponen perlu dilihat melalui
pendekatan berikut:

a. Standar kebutuhan komponen kegiatan, dengan pendekatan yang bersifat:


• Deduktif atau top-down, berdasarkan pedoman mengenai standar kebutuhan suatu
jenis komponen prasarana & sarana),
• Induktif atau bottom-up, berdasarkan masukan dari stakeholder lokal mengenai
kebutuhan-kebutuhan berkegiatan yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat
dan kegiatan fungsional yang akan dikembangkan, dengan pertimbangan aspek
sosial (perilaku masyarakat), budaya (kebutuhan / keinginan warga), maupun
ekonomi (kemampuan).
b. Hubungan fungsional antar komponen kegiatan, mencakup kegiatan analisa dengan
pertimbangan-pertimbangan keterkaitan antar komponen dari aspek:
• Karakteristik kegiatan.
• Perilaku pengguna komponen.
• Teknologi yang tersedia dan dapat diserap.
• Peraturan / standar desain komponen.

3. Pendekatan Carrying Capacity (Daya Dukung)


Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung
komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan juga
memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam. Tidak ada satu
angka mutlak yang dapat menunjukkan daya dukung ekosistem dalam menampung semua
kegiatan manusia karena berbagai variabel yang menentukan besarnya daya dukung ekosistem
tersebut sangat bervariasi dan selalu bergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan
oleh manusia. Kemampuan daya dukung setiap kawasan berbeda-beda sehingga perencanaan
pariwisata secara spatial akan bermakna dan menjadi penting. Secara umum ragam daya
dukung bagi pengembangan suatu kegiatan, khususnya fungsi kegiatan wisata, dapat meliputi:

a. Daya dukung ekologis; yang merupakan tingkat maksimal penggunaan suatu wilayah.
b. Daya dukung fisik; yang merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang
diakomodasikan tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas.
c. Daya dukung sosial; yang merupakan batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat
penggunaan yang akan menimbulkan penurunan dalam tingkat kualitas pengalaman atau
kepuasan pengunjung.
d. Daya dukung rekreasi; merupakan suatu konsep pengelolaan yang menempatkan kegiatan
rekreasi dalam berbagai objek yang terkait dengan kemampuan kawasan.

4. Pendekatan Sistemik
Perencanaan suatu kawasan perlu dipandang sebagai sistem yang saling berhubungan satu
sama lain (interrelated). Komponen-komponen pembentuk kawasan perlu disesuaikan dengan
tema pengembangan yang lebih difokuskan pada kawasan fungsional, yang memiliki
keterkaitan satu sama lain yang membentuk suatu sistem. Dengan demikian, pengembangan
lahan terlantar menjadi kawasan publik harus direncanakan dan dikembangkan dengan
mempergunakan metoda berpikir sistem yang merangkum semua komponen kawasan.
5. Pendekatan Penyusunan Rencana Berdasarkan Pedoman Penataan Ruang
Pendekatan penyusunan Rencana dapat mengacu Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun
2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan PZ Kabupaten/Kota. Terkait hal tersebut,
maka perencanaan ini dapat dipandang dalam suatu level setingkat Rencana Teknis Ruang
Kawasan (RTR Kawasan). Hal ini akan menjadi dasar dalam menentukan skala peta dan ke
dalaman pendataan dalam penyusunan DED nya.

F.1.4. Pendekatan Pelibatan Pelaku Pembangunan

Penyusunan rencana tata ruang tidak terlepas dari keterlibatan masyarakat sebagai pemanfaatan
ruang (pelaksana rencana tata ruang) dan sebagai pihak yang terkena dampak positif maupun
negatif dari perencanaan ruang itu sendiri. Oleh karena itu dalam penyusunan rencana ini
digunakan pendekatan partisipasi pelaku pembangunan (Stakeholder Approach) untuk
mengikutsertakan masyarakat di dalam proses penyusunan rencana tata ruang melalui forum
diskusi pelaku pembangunan. Konsultan dalam hal ini berusaha untuk melibatkan secara aktif
pelaku pembangunan yang ada dalam setiap tahapan perencanaan. Pelibatan pelaku pembangunan
dalam pekerjaan ini dapat digambarkan dengan diagram di bawah ini.:

Gambar 6.1. Keterlibatan Pelaku Pembangunan Dalam Penyusunan Rencana

Di dalam penyusunan rencana ini masyarakat tidak hanya dilihat sebagai pelaku pembangunan
(stakeholder) tetapi juga sebagai pemilik dari pembangunan (Stakeholder). Keterlibatan masyarakat
sebagai Stakeholder dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan wilayah terhadap investor
dari luar wilayah, tetapi yang diharapkan adalah kerjasama antara investor dengan masyarakat
sebagai pemilik lahan di wilayah tersebut. Dengan posisi sebagai Stakeholder diharapkan
masyarakat akan benar-benar memiliki pembangunan diwilayahnya, dapat bersaing dengan
penduduk pendatang, dan dengan demikian masyarakat lokal tidak tergusur dari wilayahnya.

F.1.5. Pendekatan Analisis Ambang Batas


Adalah pendekatan untuk menentukan kebijaksanaan rencana tata ruang yang didasarkan ambang
batas daya dukung lingkungan. Pendekatan ini bertujuan untuk menghasilkan kebijaksanaan
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Penekanan terhadap pertimbangkan aspek lingkungan
dilakukan karena lingkungan merupakan aspek yang sangat berkepentingan dalam upaya
pembangunan berkelanjutan.

F.1.6. Pendekatan Nilai Strategis Kawasan

Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan dimaksudkan untuk mengembangkan,
melestarikan, melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis
kawasan yang bersangkutan demi terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya guna, dan
berkelanjutan. Penetapan kawasan strategis pada setiap jenjang wilayah administratif didasarkan
pada pengaruh yang sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
Pengaruh aspek kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan lebih ditujukan bagi penetapan
kawasan strategis nasional, sedangkan yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan
lingkungan, yang dapat berlaku untuk penetapan kawasan strategis nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota, diukur berdasarkan pendekatan ekternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
penanganan kawasan yang bersangkutan.

F.1.7. Pendekatan Kesesuaian Ekologi dan Sumber Daya Alam

Pada pendekatan ini akan diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Daerah Rawan Bencana; Perencanaan dan pemanfaatan bangunan-bangunan dan jalur-jalur


evakuasi serta penanggulangan/mitigasi bencana seperti pembangunan bangunan pemecah
ombak, sirine peringatan dini, saluran drainase yang dirancang untuk koefisien pengaliran
pada daerah datar serta lain sebagainya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
bencana.
2. Unit Visual dan Kapasitas Visual; Daerah yang berpotensi memiliki arah View yang bagus
antara lain adalah daerah hijau hutan, daerah sepanjang aliran sungai, dan tepi pantai.
Pemanfaatan daerah-daerah yang berpotensi ini diperuntukkan untuk pariwisata, permukiman
menengah ke atas.
3. Area dengan Visitasi Tinggi; Kawasan yang memiliki visibilitas tinggi adalah kawasan yang
memungkinkan untuk terlihat dari berbagai sudut (sebagai landmark kawasan) dapat
difungsikan untuk zona magnet pusat kota.
4. Topografi; Dalam suatu perencanaan perlu diperhatikan bagaimana kondisi topografi eksisting
kawasan tersebut, juga guna lahan dan karakter wilayahnya.
5. Potensi Angin; Potensi angin dalam perencanaan meliputi arah dan kekuatan angin untuk
mendapatkan udara yang sejuk dan mengurangi kelembaban.
6. Binatang/Habitat; Mengidentifikasikan adanya habitat liar yang membahayakan
pengembangan area permukiman.

Selain hal-hal tersebut di atas juga perlu diperhatikan kesesuaian/kelayakan kawasan itu sendiri.
Untuk itu yang perlu dipertimbangkan adalah :

1. Keserasian Penggunaan Energi


2. Upaya identifikasi kesesuaian fungsi kawasan/wilayah dengan potensi alam yang dapat
menghasilkan energi yang baik berupa angin, aliran air dan laut.
3. Kesesuaian untuk Preservasi
Identifikasi yang disesuaikan dengan konsep dasar perencanaan kawasan dan kondisi kawasan
yang memiliki potensi untuk di preservasi baik yang buatan maupun alam. Buatan dapat
berupa kawasan bersejarah, monumen, atau peninggalan kuno. Kawasan preservasi alam dapat
di preservasi karena perlu dilindungi seperti daerah aliran sungai, hutan, tepian pantai, danau,
terumbu karang, laut, atau daerah yang dianggap berbahaya seperti daerah mudah longsor,
patahan geologis, daerah gunung berapi dan sebagainya.
4. Kesesuaian untuk Rekreasi
Pemanfaatan lahan kawasan yang sesuai untuk dikembangkan sebagai area rekreasi yang
mendukung pelayanan fasilitas umum untuk penghuni sekitar maupun sebagai daya tarik
wilayah seperti danau/telaga, pantai/laut, daerah sepanjang sungai, hutan, taman kota dan
bukit.
5. Kesesuaian untuk Hunian
Perencanaan kawasan sebagai daerah hunian, dengan mempertimbangkan beberapa aspek
perencanaan antara lain dari segi aksesibilitas, kondisi topografi, kestrategisan lokasi, kondisi
kontur tanah, kebisingan dan potensi alam dan buatan.

F.1.8. Pendekatan Sejarah-Budaya/Kearifan Lokal

Menurut Alenzio (1951:22) yang dimaksud dengan pendekatan sejarah adalah sebuah analisis yang
bertujuan untuk mengungkapkan rekaman kejadian manusia di masa lampau untuk diketahui hal-
hal sesungguhnya mengenai suatu masalah. Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan budaya
menurut Mathew (1998:13) adalah sebuah pendekatan sosial yang menjabarkan perilaku atau pola
pikir yang dianut dalam suatu kelompok masyarakat mengenai sebuah persoalan.

Pendekatan ini menekankan pada masyarakat tertentu untuk mengetahui sejarah di masa lalu dan
menjadi sebuah norma/pola pikir masyarakat dalam beraktivitas maupun mengembangkan diri dan
lingkungannya. Dalam komunitas masyarakat lokal, kearifan tradisional mewujud dalam bentuk
seperangkat aturan, pengetahuan dan juga ketrampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur
tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Ciri yang
melekat dalam kearifan tradisional adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima
oleh komunitasnya.

Oleh karena itu, Pembangunan dengan pendekatan kebudayaan di Kab. Bandung dilakukan dengan
mempertahankan keaslian dan keabadian. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah melestarikan
sosio-kultur yang berkembang di masyarakat Kab. Bandung, seperti bahasa, tradisi, adat-istiadat,
dan sebagainya.

F.1.9. Pendekatan Perencanaan Inkremental-Strategis dan Strategis – Proaktif dalam


Penyusunan RDTR Kawasan Perkotaan

Penjelasan mengenai pendekatan perencanaan inkremental-strategis dan strategis – proaktif dalam


Penyusunan RDTR BWP Cangkuang, yaitu:

1. Pendekatan Inkremental-Strategis
Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang kota,
yang merupakan penjabaran dari tujuan pembangunan kota dalam aspek keruangan. Rencana
rinci penataan kawasan tersebut memuat serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mencapai
maksud dan tujuan pembangunan ruang kota, yaitu membentuk wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang kota yang efektif dan efisien. Suatu produk Rencana Detail Tata Ruang
kawasan perkotaan yang ‘baik’ harus operasional, oleh karenanya maksud dan tujuan
perencanaan yang ditetapkan harus realistis, demikian pula dengan langkah-langkah kegiatan
yang ditetapkan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut. Adapun yang dimaksud dengan
pendekatan perencanaan yang realistis adalah:
• Mengenali secara nyata masalah-masalah pembangunan kota.
• Mengenali secara nyata potensi yang dimiliki kota.
• Mengenali secara nyata kendala yang dihadapi kota dalam proses pembangunan.
• Memahami tujuan pembangunan secara jelas dan nyata.
• Mengenali aktor-aktor yang berperan dalam pembangunan kota.
• Mengenali ‘aturan main’ yang berlaku dalam proses pembangunan kota.
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan Penyusunan RDTR BWP Cangkuang adalah
Pendekatan Inkremental yang lebih bersifat strategis, dimana sebagian besar kondisi-kondisi
awal (pra-kondisi) dari suatu persoalan pembangunan tidak diperhatikan atau diluar kontrol.
Adapun karakteristik pendekatan ini antara lain:
• Berorientasi pada persoalan-persoalan nyata.
• Bersifat jangka pendek dan menengah
• Terkonsentrasi pada beberapa hal, tetapi bersifat strategis
• Mempertimbangkan eksternalitas
• Langkah-langkah penyelesaian tidak bersifat final
Metoda SWOT merupakan contoh penjabaran dari pendekatan yang bersifat inkremental-
strategis.
2. Pendekatan Strategis-Proaktif
Pendekatan strategis-proaktif merupakan bentuk kebalikan dari pendekatan inkremental-
strategis. Adapun yang dimaksud rencana strategis – proaktif adalah:
• Rencana yang kurang menekankan pada penentuan maksud dan tujuan pembangunan,
tetapi cenderung menekankan pada proses pengenalan dan penyelesaian masalah, yang
kemudian dijabarkan pada program-program pembangunan dan alokasi pembiayaan
pembangunan.
• Rencana yang melihat lingkup permasalahan secara internal maupun eksternal, dengan
menyadari bahwa pengaruh faktor-faktor eksternal sangat kuat dalam membentuk pola
tata ruang kawasan yang terjadi.
• Rencana yang menyadari bahwa perkiraan-perkiraan kondisi di masa yang akan datang
tidak bisa lagi hanya didasarkan pada perhitungan-perhitungan proyeksi tertentu, akan
tetapi sangat dimaklumi bahwa terdapat kemungkinan-kemungkinan munculnya
kecenderungan-kecenderungan baru, faktor-faktor ketidakpastian, serta ‘kejutan-kejutan’
lain yang terjadi diluar perkiraan semula.
• Rencana yang lebih bersifat jangka pendek dan menengah, dengan memberikan satu
acuan arah-arah pembangunan kawasan.
• Rencana yang berorientasi pada pelaksanaan (action)
3. Pencampuran Kedua Pendekatan dalam Pelaksanaan Pekerjaan
Kedua jenis pendekatan ini dapat digunakan dalam pekerjaan ini. Perbedaan penggunaannya
hanya terdapat pada kesesuaian sifat pendekatan dengan karakteristik kegiatan yang sedang
dilakukan. Penjelasan singkatnya adalah sebagai berikut:
• Dalam perumusan konsepsi dan penyusunan rencana struktur, maka pendekatan
inkremental-strategis perlu dikedepankan untuk dapat menghasilkan suatu konsepsi
pengembangan yang sifatnya cenderung ‘utopis’, namun hal ini memang disesuaikan
dengan kebutuhan perumusan visi-misi dan tujuan pengembangan kawasan yang
memiliki kecenderungan untuk mencapai suatu kondisi yang paling ideal, setidaknya
sebagai sebuah target jangka panjang yang perlu diwujudkan
• Dalam penyusunan rencana pembangunan, program pentahapan, dan aspek pendukung
lainnya, perlu dikedepankan pendekatan strategis-proaktif untuk dapat menghasilkan
suatu produk dokumen rencana yang realistis dan dapat diimplementasikan sesuai
tahapan pelaksanaannya.

F.1.10. Pendekatan Normatif


Penekanan pendekatan normatif dalam penyusunan ini adalah pada kajian terhadap produk
peraturan dan kebijakan baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah yang terkait. Pendekatan
normatif yang digunakan dalam penyusunan ini, pada dasarnya merupakan pendekatan yang
digunakan untuk merumuskan suatu kebijakan dan strategi berdasarkan data dan informasi yang
tersedia serta mengacu pada produk peraturan dan perundangan yang terkait dengan substansi
penyusunan yaitu terkait dengan pengembangan permukiman dan infrastruktur perkotaan.

Pendekatan normatif yang dilakukan tidak hanya mengacu kepada perumusan kebijakan yang
bersifat konseptual namun juga memperhatikan kondisi dan permasalahan di Kota/Kabupaten yang
real terjadi. Perbandingan antara kondisi eksisting dengan kriteria dan standar yang ada menjadi
salah satu pendekatan yang dilakukan dalam mengkaji kebijakan yang ada.

Konsep dasar dari pendekatan normatif adalah bahwa proses pembangunan kawasan bertumpu
pada prosedur atau skema tertentu, dengan memperhatikan seluruh faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pencapaian atas tujuan yang akan dicapai. Landasan normatif dalam
melaksanakan pekerjaan ini, dapat dibagi menjadi 2, yaitu landasan normatif yang bersifat umum,
yaitu produk-produk peraturan di tingkat pusat yang berlaku untuk seluruh wilayah kajian, dan
landasan normatif yang bersifat kewilayahan, yaitu produk-produk peraturan di tingkat daerah yang
hanya berlaku di level wilayah kajian. Berikut ini akan disajikan produk-produk peraturan dan
dokumen rencana yang akan dikaji dan menjadi acuan dalam penyusunan ini.

Tabel 6.1. Produk Peraturan Dan Kebijakan Terkait

umum Wilayah
Peraturan Rencana Rencana Tata Rencana
Peraturan Perundangan
Daerah Pembangunan Ruang Sektoral
 Perda  RPJP  RTRWP  RP4D
 UU No. 26 Tahun 2007 tentang terkait  RPJM Propinsi
Penataan Ruang  SK  Renstra  RTRW Kota/
Walikota/ kabupaten
 UU No. 4 Tahun 1992 Bupati
tentang Perumahan dan
Permukiman

 RUU Perumahan dan Permukiman

 UU No. 23 Tahun 1997


tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup

 UU No. 28 Tahun 2004 tentang


Bangunan Gedung

 UU No. 7 Tahun 2004 tentang


Sumber Daya Air

 UU No. 38 Tahun 2004 tentang


Jalan
umum Wilayah
Peraturan Rencana Rencana Tata Rencana
Peraturan Perundangan
Daerah Pembangunan Ruang Sektoral

 PP No. 15 Tahun 2010 tentang


Penyelenggaraan Penataan
Ruang

 Peraturan Menteri Terkait.


Sumber: Analisa awal konsultan

F.1.11. Pendekatan Konsep Perkotaan

Ada 4 (model) perkembangan kota yang dapat memenuhi kriteria perencanaan yaitu model central
place theory, model new town cluster, model La Ville Contemporaine dan model Broadacre City.
Dari keempat model ini ditemukan dua buah model pusat kota yaitu model pusat kota yang terdapat
jalan utama sebagai sumbu yang membelah kawasan dan model pusat kota yang jalan utamanya
berada di pinggiran kawasan. Model-model perkembangan kota tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:

1. Walter Christaller
Model ini dipaparkan oleh August Losch dan Walter Christaller. Model ini mengenal asas
keteraturan. Setiap tempat pada tingkat tertentu melayani daerah sekitarnya dalam jangkauan
wilayah tertentu. August Losch memaparkan bentuk tersebut berupa lingkaran sementara
Walter Christaller berupa bentuk segi enam/heksagon. Ditinjau dari asas perangkutan, bentuk
seperti ini adalah bentuk yang paling menguntungkan.

Model Central Place Theory dapat terus berkembang pada jumlah penduduk antara 500.000 –
1.000.000 jiwa. Diatas angka ini kemudahan aksesibilitas sulit untuk dapat diperoleh. Model
ini berkembang dari kegiatan pertanian, jasa dan perdagangan. Bermula dari permukiman
wajib yang terus berkembang pada permukiman wakarsa dan permukiman spontan.
Gambar 6.2. Model Central Place Theory

2. New Town Cluster


Model ini berasal dari perkembangan Kota Michigan yang juga sering terdapat pada bentuk
lahan yang dilalui sungai lainnya. Perkembangan jumlah penduduk hingga 100.000 jiwa
menjadikan bentuk kota dari model Finger berubah menjadi model New Town Cluster. Model
ini berkembang dari kegiatan pertanian serta jasa dan perdagangan.

Gambar 6.3. Model New Town Cluster

3. La Ville Contemporaine
Model ini dipaparkan oleh Le Corbusier sebagai kota masa depan yang dapat melayani jumlah
penduduk hingga 3.000.000 jiwa. Kemudahan aksesibilitas, serta pola tata guna lahan sangat
diperhatikan untuk mencapai pertumbuhan kota yang ideal. Model ini dapat berkembang dari
kegiatan pertanian serta jasa dan perdagangan. Bermula dari permukiman wajib yang terus
berkembang pada permukiman wakarsa dan permukiman spontan.

Gambar 6.4. Model La Ville Contemporaine


4. Broadacre City
Model kota ini dipaparkan oleh Frank Lloyd Wright ini dapat berkembang hingga jumlah
penduduk mencapai tanpa batas. Seperti model La Ville Contemporaine, kemudahan
aksesibilitas serta pola tata guna lahan juga sangat diperhatikan pada model ini untuk
menncapai pertumbuhan kota yang ideal. Esensi dari model ini adalah polanya yang linier.

Model ini dapat berkembang dari berbagai kegiatan termasuk kegiatan pertanian serta jasa dan
perdagangan. Bermula dari dari permukiman wajib yang terus berkembang pada permukiman
wakarsa dan permukiman spontan.

Gambar 6.5. Model Broadacre City

F.1.12. Pendekatan Menyeluruh dan Terpadu

Menyeluruh dan terpadu dalam pendekatan ini, mengartikan bahwa suatu wilayah dipandang
sebagai satu kesatuan sistem yang di dalamnya terdiri dari berbagai sub sistem-sub sistem yang
saling terkait. Selain itu, wilayah juga dipandang juga sebagai sub sistem dari suatu sistem yang
lebih luas (makro). Dengan cara pandang yang seperti ini perencanaan tidak hanya melihat ke
dalam melainkan juga melihat ke luar dalam konstelasi regional. Aspek-aspek kehidupan baik
internal maupun eksternal wilayah tidak dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri,
melainkan dipandang sebagai suatu sistem yang terkait. Aspek kehidupan yang satu mempengaruhi
aspek kehidupan yang lain dan begitu seterusnya. Aspek-aspek kehidupan tersebut dalam
perencanaannya didasarkan pada suatu kerangka acuan yang disebut dengan keterpaduan.

Dengan pendekatan tersebut maka pembangunan dapat dilakukan secara tepadu dalam upaya
mendukung terwujudnya tata ruang kawasan yang aman, nyaman, terpadu dan berkelanjutan, yang
secara otomatis akan meningkatkan pola interaksi kegiatan perekonomian di dalam wilayahnya
serta ke luar wilayahnya.

F.1.13. Pendekatan Fungsional Wilayah


Dalam kegiatan ini pendekatan fungsional wilayah adalah pendekatan yang dalam merencanakan
suatu wilayah/kawasan tetap mempertimbangkan kebijaksanaan pembangunan yang lebih tinggi
seperti RTRWN, RTRWP, RTRW Kabupaten serta Kebijaksanaan Pembangunan Pemerintah
Daerah. Dengan kebijaksanaan regional tersebut dapat diprediksi peran dan fungsi yang diemban
kawasan, yang secara otomatis akan mempengaruhi kegiatan yang akan dikembangkan di dalam
wilayahnya atau kawasannya.

Kegiatan penataan ruang tidak terlepas dari pendekatan aspek wilayah (spasial) dimana dalam
aspek ini selain terdapat sinkronisasi kebutuhan ruang, juga bagaimana kemampuan menampung
kegiatan di masa yang akan datang. Pendekatan mencakup beberapa aspek, seperti :

 Kedudukan wilayah perencanaan dalam konteks yang lebih luas (regional, atau antar-regional
dan provinsi);
 Struktur ruang dan pusat pengembangan wilayah;
 Keterkaitan dengan wilayah secara lebih luas dan keterkaitan antar wilayah;
 Sistem perhubungan wilayah; dan
 Daya dukung wilayah.

Dengan pendekatan ini dimaksudkan agar pola pembangunan lebih terpadu dan terintegrasi serta
terencana dan terstruktur dengan baik. Namun demikian pendekatan aspek ini akan dipadukan atau
disesuaikan dengan perkembangan yang saat ini terjadi serta paradigma-paradigma baru dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

F.1.14. Pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan

Pendekatan ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dalam memanfaatkan sumber
daya alam. Beberapa contoh seperti contoh budidaya kelautan dimana ada batasan yang disebut
budidaya lestari, dimana penangkapan tersebut merupakan batas ambang penangkapan agar ikan
tetap stabil berada di perairannya, demikian pula akan diterapkan bagi budidaya di daratan.
Sehingga kriteria tenis kawasan, baik budidaya maupun lindung dalam pemanfaatannya harus
mempertimbangkan aspek dampak yang ditimbulkan bila dimanfaatkan. Dengan
mempertimbangkan ekologi lingkungan maka pendekatan dasar penataan ruang yang baik akan
menciptakan pembangunan berkelanjutan.

F.1.15. Pendekatan Kebutuhan

Pendekatan ini dilakukan dalam melakukan identifikasi dan analisa kebutuhan pengembangan
fasilitas sosial ekonomi dan prasarana sarana perkotaan. Pendekatan yang dilakukan dalam
menentukan prediksi kebutuhan pengembangan prasarana dan sarana perkotaan melalui pendekatan
Development Needs dan Basic Needs. Pendekatan Development Needs digunakan dalam
melakukan prediksi kebutuhan pengembangan prasarana dan sarana, dimana prediksi tersebut
dilakukan berdasarkan kebijaksanaan pembangunan wilayah yang menentukan peran dan fungsi
dari kawasan perencanaan. Sementara pendekatan Basic Needs didasarkan pada pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk kawasan perencanaan sampai akhir tahun perencanaan.

F.1.16. Pendekatan Teknis-Akademis

Maksud dari pendekatan teknis akademis adalah bahwa proses penyusunan ini dilakukan dengan
menggunakan metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, baik itu dalam
pembagian tahapan pekerjaan maupun teknik-teknik identifikasi, analisa, penyusunan strategi
maupun proses pelaksanaan penyepakatan. Dengan demikian proses penyusunan ini akan
menggunakan beberapa metode dan teknik studi yang baku yang sebelumnya telah disepakati
bersama oleh tim kerja, pemberi kerja.

F.1.17. Pendekatan Eksploratif

Pendekatan eksploratif dalam pelaksanaan pekerjaan ini digunakan untuk mendapatkan gambaran
yang seluas-luasnya mengenai persoalan-persoalan yang terkait. Pendekatan eksploratif bercirikan
pencarian yang berlangsung secara menerus. Pendekatan ini akan digunakan baik dalam proses
pengumpulan data & informasi maupun dalam proses analisis.

 Dalam proses pengumpulan data & informasi, pendekatan eksploratif digunakan mulai dari
kegiatan inventarisasi dan pengumpulan data awal, hingga eksplorasi literatur yang diperlukan
dalam mendukung kegiatan perumusan. Sifat pendekatan eksploratif yang menerus akan
memungkinkan terjadinya pembaharuan data dan informasi berdasarkan hasil temuan terakhir.
 Pendekatan eksploratif juga memungkinkan proses pengumpulan data yang memanfaatkan
sumber informasi secara luas, tidak terbatas pada ahli yang sudah berpengalaman dalam
bidangnya ataupun pelaku pembangunan yang terkait langsung dengan upaya pengendalian
pemanfaatan ruang, namun juga dari berbagai literatur dalam dan luar negeri, baik dalam
bentuk buku maupun tulisan singkat yang memuat mengenai teori-teori ataupun studi-studi
terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam pendekatan eksploratif ini sangat
memungkinkan diperoleh informasi-informasi tambahan dari sumber yang tidak diprediksi
sebelumnya.

E.2. METODOLOGI PENYUSUNAN RDTR

E.2.1. Kerangka Pikir Penyelesaian Pekerjaan

Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan
berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal yang penting jadi dengan demikian maka
kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman yang
lainnya, sebuah pemahaman yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau
suatu bentuk proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan. Kerangka berpikir yang
baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antar variabel yang akan diteliti.

Dalam menyusun kerangka berpikir Penyusunan RDTR BWP Cangkuang, sebagai langkah awal
adalah dengan menetapkan dahulu wilayah perencanaan yang akan dijadikan obyek perencanaan
pekerjaan ini secara tegas Sesuai dengan KAK yang diberikan, lingkup wilayah studi secara
administratif adalah Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung, dimana delineasinya akan
ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Selanjutnya, dilakukan inventarisasi data sekunder untuk wilayah perencanaan tersebut, yang
meliputi data fisik, sosial, ekonomi, potensi alam, demografi dll. Data ini diperlukan sebagai bahan
dasar investigasi awal studi yang akan dilakukan. Selain itu, dilakukan pula inventarisasi peraturan
dan kebijakan, yang mengatur dan berkaitan dengan wilayah perencanaan, baik peraturan yang
dikeluarkan ditingkat nasional, provinsi maupun kabupaten. Inventarisasi peraturan/kebijakan ini
diperlukan sebagai kajian antara, guna memperoleh gambaran awal yang diperlukan untuk
melakukan pengkajian secara detail yang akan dilakukan. Untuk menguji lebih lanjut hasil
penilaian atas investigasi awal tadi, dilakukan survei lapangan guna memperoleh gambaran (bukti)
lebih jelas mengenai efektivitas dari peraturan dan kebijakan tadi di lapangan. Survei lapangan ini
dilakukan lebih mendalam di lokasi survei yaitu di Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung.
Untuk konsistensi penilaian, tentu saja dalam survei lapangan ini juga digunakan model, teknik dan
metode penelitian yang sesuai dan tepat.

Melalui kedua proses pengkajian tadi, diharapkan dapat diperoleh konsep dasar penataan ruang.
Konsepsi – konsepsi dasar pengembangan wilayah perencanaan dirangkum dalam bentuk kemasan-
kemasan alternatif rencana pengembangan wilayah perencanaan secara sistematis, sehingga didapat
gambaran keunggulan dan kelemahan masing-masing alternatif pengembangan yang akan dibahas
dalam seminar perumusan rencana.

Konsep ini selanjutnya dibawa ke Forum Apresiasi (diskusi/seminar) untuk mendapat tanggapan
dan pengujian lebih jauh bersama sejumlah tokoh masyarakat, pakar, praktisi, sehingga dapat
ditetapkan sebagai Penyusunan RDTR BWP Cangkuang.
Rencana Detail Tata Ruang ini sudah berupa rumusan tindak pengembangan yang dapat dijadikan
dasar petunjuk dalam melaksanakan pembangunan wilayah perencanaan secara bertahap dengan
orientasi perencanaan yang relatif jauh ke masa datang. Rencana ini selanjutnya akan
dipublikasikan dan disosialisasikan ke masyarakat luas untuk menjadi pedoman dalam
pemanfaatan ruang di Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung.

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, Penyusunan RDTR dilakukan bersamaan dengan penyusunan PZ.
Penyusunan RDTR dan PZ harus terintegrasi dengan proses penyusunan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan.

Untuk lebih jelasnya, kerangka berpikir dalam pekerjaan Penyusunan RDTR BWP Cangkuang
dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 6.6. Kerangka Berpikir Penyusunan RDTR BWP Cangkuang
E.2.2. Tahapan Persiapan

Tahapan Persiapan dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)Kecamatan Cangkuang,
meliputi:

A. Kegiatan persiapan penyusunan RDTR dan PZ terdiri atas:


1. Pembentukan tim penyusun RDTR dan PZ kabupaten/kota beranggotakan:
a. pemerintah daerah kabupaten/kota, khususnya dalam lingkup Tim Koordinasi Penataan
Ruang Daerah (TKPRD) Kabupaten/Kota;
b. tim ahli yang diketuai oleh profesional perencana wilayah dan kota yang bersertifikat,
memiliki pengalaman di bidang perencanaan wilayah minimal 5 tahun dan pernah
menyusun RDTR, dengan anggota profesional pada bidang keahlian yang paling kurang
terdiri atas:
 Infrastruktur;
 Kebencanaan/Geologi Lingkungan;
 Teknik Lingkungan;
 Hukum;

Selain itu dapat dilengkapi dengan bidang keahlian lainnya sesuai dengan kebutuhan
perencanaan RDTR.

2. kajian awal data sekunder, mencakup peninjauan kembali terhadap:


a. RTRW kabupaten atau kota (termasuk KUPZ);
b. RDTR (apabila ada);
c. RTBL (apabila ada);
d. RPJPD dan RPJMD; dan
e. Ketentuan sektoral terkait pemanfaatan ruang.
3. penetapan delineasi awal BWP;
4. persiapan teknis pelaksanaan yang meliputi:
a. penyimpulan data awal;
b. penyiapan metodologi pendekatan pelaksanaan pekerjaan;
c. penyiapan rencana kerja rinci; dan
d. penyiapan perangkat survei (checklist data yang dibutuhkan, panduan wawancara,
kuesioner, panduan observasi, dokumentasi, dan lain-lain), serta mobilisasi peralatan
dan personil yang dibutuhkan.
5. pemberitaan kepada publik perihal akan dilakukannya penyusunan RDTR dan PZ, tim ahli
yang terlibat, tahapan penyusunan, dan penjelasan lain yang diperlukan, melalui:
a. media massa (televisi, radio, surat kabar, majalah);
b. brosur, leaflet, flyers, surat edaran, buletin, jurnal, buku;
c. kegiatan pameran, pemasangan poster, pamflet, papan pengumuman, billboard;
d. kegiatan kebudayaan (misal: pagelaran wayang dengan menyisipkan informasi yang
ingin disampaikan di dalamnya);
e. multimedia (video, VCD, DVD);
f. media digital (internet, media sosial, dan lain-lain);
g. ruang pamer atau pusat informasi; dan/atau
h. pertemuan terbuka dengan masyarakat/kelompok masyarakat.
B. Hasil dari kegiatan persiapan meliputi:
1. gambaran umum wilayah perencanaan (BWP);
2. kesesuaian dengan RTRW, RDTR dan/atau RTBL yang sudah disusun;
3. metodologi pendekatan pelaksanaan pekerjaan yang akan digunakan;
4. rencana kerja pelaksanaan penyusunan peraturan zonasi; dan
5. perangkat survei data primer dan data sekunder yang akan digunakan pada saat proses
pengumpulan data dan informasi.

E.2.3. Tahapan Pengumpulan Data dan Informasi

Tahapan pengumpulan data dan informasi dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kecamatan Cangkuang:

A. Data dan Informasi untuk RDTR


Untuk keperluan pengenalan karakteristik BWP dan penyusunan rencana pola ruang dan
rencana jaringan prasarana BWP, dilakukan pengumpulan data primer dan data sekunder,
meliputi:

1. Data Primer, terdiri atas:


a. Aspirasi masyarakat, termasuk pelaku usaha dan komunitas adat serta informasi terkait
potensi dan masalah penataan ruang yang didapat melalui metode penyebaran angket,
forum diskusi publik, wawancara orang per orang, kotak aduan, dan sebagainya;
b. Kondisi dan jenis guna lahan/bangunan, intensitas ruang, serta konflik-konflik
pemanfaatan ruang (jika ada), maupun infrastruktur perkotaan yang didapat melalui
metode observasi lapangan; dan
c. Kondisi fisik dan sosial ekonomi BWP secara langsung melalui kunjungan ke semua
bagian dari wilayah kabupaten/kota.
2. Data Sekunder, terdiri atas:
a. Peta dengan ketelitian minimal 1:5.000 terdiri atas:
 peta dasar rupa bumi skala minimal 1:5.000;
 peta geomorfologi, peta geologi, peta topografi, serta peta kemampuan tanah;
 peta tata guna lahan/tanah, meliputi:
- peta penguasaan tanah/pemilikan tanah/ gambaran umum penguasaan tanah,
atau
- peta penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah;
 peta satuan wilayah sungai (SWS) dan daerah aliran sungai (DAS);
 peta klimatologis (curah hujan, hidro-geologi, angin, dan temperatur);
 peta kawasan risiko bencana di level kota; dan
 apabila masih terdapat pada wilayah tersebut, peta tematik sektoral tertentu seperti:
- peta kawasan obyek vital nasional dan kepentingan pertahanan dan keamanan
dari instansi terkait;
- peta lokasi kawasan industri maupun kluster industri kecil dari Kementerian
Perindustrian;
- peta sebaran lahan gambut (peatland), dari instansi terkait;
- peta kawasan hutan dari instansi terkait baik di pusat maupun daerah;
- peta kawasan pertanian dari instansi terkait baik di pusat maupun daerah.
- peta kelautan sebagai informasi dasar terkait kedalaman laut (batimetri), jenis
pantai, informasi dasar lainnya terkait navigasi dan administrasi di wilayah laut
khusus untuk kawasan perkotaan yang berada di wilayah pesisir pantai;
- peta pemanfaatan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil lainnya yang
menjadi bagian dari wilayah kota tersebut dari instansi terkait, seperti properti
di atas/bawah laut, instalasi kabel/gas, perikanan, dll;
- peta destinasi pariwisata dari instansi terkait baik di pusat maupun daerah;
- peta lokasi bangunan bersejarah dan bernilai pusaka budaya, dari instansi
terkait; dan/atau
- peta kawasan terpapar dampak perubahan iklim dari BMKG atau instansi
terkait.
b. Data dan informasi terdiri atas:
 data wilayah administrasi;
 data dan informasi tentang kebijakan antara lain RTRW Kabupaten/Kota, RPJP
Kabupaten/Kota dan RPJM Kabupaten/Kota;
 data fisiografis;
 data kondisi fisik tanah;
 data dan informasi penggunaan lahan eksisting dan intensitas pemanfaatan
bangunan eksisting berdasarkan klasifikasi umum;
 data penatagunaan tanah, meliputi:
- data penguasaan tanah/pemilikan tanah/gambaran umum penguasaan tanah,
- data penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah;
 data peruntukan ruang (yang dapat diperoleh dari RTRW, RDTR kawasan yang
bersebelahan, dan lain- lain);
 data dan informasi izin pemanfaatan ruang eksisting, baik dari sektor kehutanan,
kelautan, pertanahan, pertambangan, dll, terutama yang berskala besar;
 data kependudukan dan sosial budaya;
 data ketersediaan prasarana dan sarana;
 data dan informasi tentang peluang ekonomi.
 data kemampuan keuangan pembangunan daerah;
 data dan informasi tentang kelembagaan pembangunan daerah;
 data terkait kawasan dan bangunan (kualitas, intensitas blok eksisting, tata
bangunan);
 RDTR dan PZ kawasan yang bersebelahan dengan kawasan perencanaan (jika
ada); dan
 data dan informasi terkait kondisi geologi kawasan termasuk pemanfaatan ruang di
dalam bumi (jika ada).

Ketentuan mengenai peta dasar dan tematik adalah sebagai berikut:

 peta yang digunakan dalam penyusunan RDTR bersumber dari instansi yang
berwenang dan pihak terkait serta mengikuti ketentuan SNI. Jika peta yang
dibutuhkan tidak tersedia oleh instansi yang berwenang, peta dapat diperoleh dari
pihak lain yang berkompeten;
 dalam hal peta dasar dan peta tematik tidak tersedia pada instansi berwenang, maka
perlu dilakukan penyiapan peta dasar secara mandiri dengan mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
 apabila tingkat ketelitian tidak mencapai skala minimal yang dimaksudkan, maka
dapat digunakan peta dengan tingkat ketelitian yang lebih kecil (kurang dari
1:5.000) dengan ditambahkan catatan kaki mengenai keterbatasan data tersebut.
Hal ini tidak berlaku untuk peta dasar rupa bumi dan peta penatagunaan tanah.

Seperti halnya dalam penyusunan RTRW, tingkat akurasi data, sumber penyedia data,
kewenangan sumber atau instansi penyedia data, tingkat kesalahan, variabel
ketidakpastian, serta variabel- variabel lainnya yang mungkin ada, perlu diperhatikan
dalam pengumpulan data. Data dalam bentuk data statistik dan peta, serta informasi
yang dikumpulkan berupa data tahunan (time series) minimal 5 (lima) tahun terakhir
dengan kedalaman data setingkat kelurahan/desa. Data berdasarkan kurun waktu
tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran perubahan apa yang terjadi pada
bagian dari wilayah kabupaten/kota.

c. Data dan Informasi untuk PZ


Data dan informasi untuk penyusunan PZ terdiri dari data dan informasi yang
digunakan untuk menyusun RDTR dan ditambahkan dengan data dan informasi
sebagai berikut:

 KUPZ yang termuat dalam peraturan daerah tentang RTRW kabupaten/kota;


 peta rencana struktur ruang dan rencana pola ruang dalam RDTR;
 kriteria performa zona/sub zona yang termuat pada tabel kriteria pengklasifikasian
zona/sub zona dalam RDTR;
 data dan informasi, meliputi:
- jenis penggunaan lahan yang ada pada daerah yang bersangkutan;
- jenis kegiatan pemanfaatan ruang;
- jenis dan intensitas kegiatan yang ada pada daerah yang bersangkutan;
- identifikasi masalah dari masing-masing kegiatan serta kondisi fisik (tinggi
bangunan dan lingkungannya);
- kajian dampak kegiatan terhadap zona yang bersangkutan;
- daya dukung dan daya tampung yang merupakan hasil dari analisis fisik dan
lingkungan dalam penyusunan RDTR;
- standar teknis dan administratif yang dapat dimanfaatkan dari peraturan
perundang-undangan nasional maupun daerah;
- peraturan perundang-undangan pemanfaatan lahan dan bangunan, serta
prasarana di daerah terkait;
- perizinan dan komitmen pembangunan; dan
- peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penggunaan lahan yang ada
di kabupaten/kota yang akan disusun peraturan zonasi nya.
Adapun pengumpulan data dan informasi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kecamatan Cangkuang dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 6.2. Kegiatan Survei Instansional Penyusunan RDTR BWP Cangkuang

Keterangan
Hari Jenis Data Penanggung
No Rincian Kegiatan/Pengambilan Data Data
Ke- Jawab
Dok Peta Ada Tidak
1 Hari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)  Team Leader
Ke-1  RTRW Kabupaten Bandung (terbaru) √ √  ALL Team
 RPJMD Kabupaten Bandung (terbaru) √ √ Tenaga Ahli
 RENSTRA Kabupaten Bandung (terbaru) √ √
 RPI2JM Kabupaten Bandung (terbaru) √ √
 Peta Penggunaan lahan / land use Kabupaten Bandung (terbaru) √ √
 Peta Status Hutan Kabupaten Bandung (terbaru) √ √
Dinas Tata Ruang dan Pemukiman  Team Leader
 Data dan peta Sebaran kawasan permukiman: Kawasan Permukiman Formal, Kawasan  ALL Team
√ √
Permukiman Kumuh Tenaga Ahli
 Laporan RP2KP (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan
√ √
Permukiman)
 Laporan RPKPP (Rencana Pembangunan Kawasan Permukiman Prioritas) √ √
 Laporan KOTA-KU √ √
 Data Status Tanah dan Bangunan Kecamatan Cangkuang √ √ 
 Data Perizinan Kecamatan Cangkuang √ √ 
 Laporan KOTA HIJAU √ √ 
 Laporan KOTA PUSAKA √ √ 
 RDTR dan RTBL Kecamatan Lainnya √ √ 
 Data dan Peta sebaran fasilitas perkantoran dan perdagangan √ √ 
 Peta Penguasaan,Penggunaan dan Peruntukan Lahan √ √ 
 Peta Citra dan Peta Digital Kecamatan Skala 1:5000 √ √ 
2 Hari Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengairan  Team Leader
Ke-2  Data Jaringan Jalan yang sudah di SK-Kan oleh Bupati √ √  ALL Team
 Data Air bersih √ √ Tenaga Ahli
 Data Air Limbah √ √
 Data Persampahan √ √
 Data Drainase √ √
 Data jaringan listrik dan telekomunikasi √ √
Dinas Perhubungan  Team Leader
 Studi/Informasi/Kajian terhadap Trayek Angkutan Umum √ √  ALL Team
Keterangan
Hari Jenis Data Penanggung
No Rincian Kegiatan/Pengambilan Data Data
Ke- Jawab
Dok Peta Ada Tidak
 Studi/Informasi/Kajian terhadap Trayek Angkutan √ √ Tenaga Ahli
 Peta Sebaran Fasilitas Pendukung (Terminal, Halte, Bandara dan Pelabuhan) √ √
 Peta/Informasi/Kajian Jaringan Pendestrian Ways √ √
 Masterplan Sistem Transportasi Darat √ √
 Tatanan Transportasi Lokal (Tatralok) √ √
 Data dan Peta Jaringan Jalan Kecamatan Lokasi Perencanaan √ √
 Data Origin Destination (OD) √ √
3 Hari Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Menengah, Perindustrian dan Perdagangan)  Team Leader
Ke-3 1. Data Eksisting dan Master Plan / Site Plan Kawasan Industri (KI) pada masing-masing KPI:  ALL Team
 Lokus; Jenis Industri, Kapasitas, Luas Kawasan, Tenaga Ahli
 Infrastruktur (jalan, transportasi, air, listrik, telekomunikasi, limbah, sampah),
√ √
 Kondisi ekologi dan KLHS
 Dukungan fasilitas perumahan permukiman
 Rencana Perluasan Lahan Kawasan Industri
2. Sebaran Industri Besar dan IKM di Kabupaten Bandung Khususnya di Lokasi KPI √ √
3. Data Kepemilikan Lahan dalam KPI serta Perizinan Lokasi dan Pemanfaatan Lahan √ √
Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi  Team Leader
 Data Ketenagakerjaan sektor industri, perdagangan dan jasa  ALL Team
√ √
Tenaga Ahli
4 Hari Dinas Pangan dan Pertanian  Team Leader
Ke-4  Data potensi dan Peta kawasan Pertanian (Kajian LP2B) √ √  ALL Team
 Data potensi dan Peta kawasan perikanan √ √ Tenaga Ahli
 Data potensi dan Peta kawasan perkebunan √ √
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil  Team Leader
 Data Sosial Kependudukan √  ALL Team
 Jumlah penduduk √ Tenaga Ahli
 Sebaran penduduk √
 Komposisi penduduk √
 Mata pencaharian/ Pendapatan √
 Pertumbuhan penduduk √
 Kondisi sosial dan budaya √
5 Hari Dinas Lingkungan Hidup  Team Leader
Ke-5  Data dan Peta Kawasan rawan Bencana Alam √ √  ALL Team
Keterangan
Hari Jenis Data Penanggung
No Rincian Kegiatan/Pengambilan Data Data
Ke- Jawab
Dok Peta Ada Tidak
 Data KLHS Kabupaten Bandung √ √ Tenaga Ahli
 Data Status Lingkungan Hidup (Neraca Air, Udara dan Tanah) √ √
 Data Air Tanah √ √
 Data dan Peta Sebaran RTH dan NON RTH √ √
PDAM  Team Leader
 Buku Laporan RISPAM Daerah Kabupaten Bandung  ALL Team
√ √
Tenaga Ahli
6 Hari Dinas Kepemudaan Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan  Team Leader
Ke-6  RIPDA (Rencana Pembangunan Pariwisata Daerah Kabupaten Bandung) √ √  ALL Team
 Data dan Peta Kawasan Pariwisata dan Konservasi/cagar Alam √ √ Tenaga Ahli
7 Hari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu pintu  Team Leader
Ke-7  Jenis aktivitas perekonomian √ √  ALL Team
 Lokasi kegiatan ekonomi √ √ Tenaga Ahli
 Sektor unggulan & prioritas √ √
 Jumlah produksi √ √
 PDRB √ √
 Skala pelayanan ekonomi yang ada √ √
 Sektor unggulan wilayah sekitar √ √
 Peta Sebaran Perizinan √
Sumber: Tim Konsultan

Tabel 6.3. Pengamatan/Observasi Lapangan (Penggunaan Lahan, Sarana, Dan Prasarana)

Nama
No Data/Objek Lokasi Poin/Titik Marking Kondisi Fisik Foto
Ruas Jalan
Cek lokasi dan batas di Marking Batas Kawasan Foto
1 Kawasan Lindung Jenis Kawasan
lapangan dengan GPS Fasilitas
Sinkronisasi deliniasi batas
Hutan Lindung Cek Luasan? Nama Kawasan Foto Objek
kawasan di lapangan
Nama
No Data/Objek Lokasi Poin/Titik Marking Kondisi Fisik Foto
Ruas Jalan
Kawasan perlindungan di bawahnya, Cek Kelurahan/desa Foto Spot
Kondisi kawasan
Kawasan resapan Air Mana? kawasan
Sempadan Sungai, Sempadan Mata Air  
Kawasan RTHK  
Kawasan Suaka Alam  
Kawasan Rawan Bencana Alam  
Kawasan Lindung lainnya  
2 Kawasan Budidaya  
Cek lokasi/batas di Marking Batas Kawasan Foto
Kawasan Permukiman Jenis Permukiman
lapangan dengan GPS Fasilitas
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? Nama Kawasan Foto Objek
kawasan di lapangan
Kondisi permukiman(permanen/ Foto
  Cek kelurahan?
non) Jaringan
Foto Spot
    kepadatan permukiman
kawasan
    Type permukiman
    Fungsi permukiman
    Kondisi fisik lainnya
Cek lokasi dan batas di Marking Batas Kawasan Foto
3 Kawasan Perdagangan Type Bangunan perdagangan
lapangan dengan GPS Fasilitas
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? Nama Kawasan Foto Objek
kawasan di lapangan
Foto Spot
  Cek kelurahan? Kondisi Bangunan Perdagangan
kawasan
    Jenis Perdagangan
    Kondisi Fisik
Cek lokasi dan batas di Marking Batas Kawasan Foto
4 Kawasan Perkantoran Type Bangunan Perkantoran
lapangan dengan GPS Fasilitas
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? Nama Kawasan Foto Objek
kawasan di lapangan
Foto Spot
  Cek kelurahan? Kondisi Bangunan perkantoran
kawasan
Nama
No Data/Objek Lokasi Poin/Titik Marking Kondisi Fisik Foto
Ruas Jalan
    Jenis Perkantoran
    Kondisi Fisik lainnya
Cek lokasi dan batas di Marking Batas Kawasan Foto
5 Sarana Pelayanan Umum Jenis Pelayanan Umum:
lapangan dengan GPS Fasilitas
Sinkronisasi deliniasi batas Pendidikan,Transportasi,Kesehatan,Olahraga,Periba
  Cek Luasan? Foto Objek
kawasan di lapangan datan
Foto Spot
  Cek kelurahan?
kawasan
Cek lokasi/batas di Marking Batas Kawasan Foto
6 Kawasan Industri Type Kawasan Industri
lapangan dengan GPS Fasilitas
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? (Industri mesin, Industri Kecil atau Aneka) Foto Objek
kawasan di lapangan
Foto Spot
  Cek kelurahan?
kawasan
Cek lokasi dan batas di Marking Batas Kawasan Foto
7 RTH non Hijau Type Kawasan RTH non Hijau
lapangan dengan GPS Fasilitas
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? Lapangan Outdoor Foto Objek
kawasan di lapangan
Foto Spot
  Cek kelurahan? Badminton
kawasan
    Lapangan Parkir
Zona Khusus ( TPA, IPAL, Gardu Cek lokasi dan batas di Marking Batas Kawasan Foto
8 Type Kawasan Zona Khusus
Induk dll ) lapangan dengan GPS Kawasan
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? ( Kawasan Militer,TPS,IPAL,Gardu Listrik,PLTD) Foto Objek
kawasan di lapangan
Foto Spot
  Cek kelurahan?
kawasan
Cek lokasi dan batas di Marking Batas Kawasan Foto
9 Pertanian Type kawasan pertanian
lapangan dengan GPS Kawasan
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? sawah,kebun,ladang,kolam ikan dsb Foto Objek
kawasan di lapangan
Foto Spot
  Cek kelurahan?
kawasan
Nama
No Data/Objek Lokasi Poin/Titik Marking Kondisi Fisik Foto
Ruas Jalan
Cek lokasi dan batas di Marking Batas Kawasan Foto
10 Pertambangan Jenis kawasan pertambangan
lapangan dengan GPS Kawasan
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? (Galian C,Mineral dsb) Foto Objek
kawasan di lapangan
Foto Spot
  Cek kelurahan?
kawasan
Cek lokasi dan batas di Marking Batas Kawasan Foto
11 Pariwisata Type kawasan Pariwisata
lapangan dengan GPS Kawasan
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? Rekreasi,taman kebun binatang dsb Foto Objek
kawasan di lapangan
  Cek kelurahan?
Foto Spot
Cek lokasi/batas di Marking Batas Kawasan
12 Mix Use Type Kws Mix use kawasan
lapangan dengan GPS
Sinkronisasi deliniasi batas
  Cek Luasan? (Bangunan dengan fungsi campuran) Foto Objek
kawasan di lapangan
Foto Spot
  Cek kelurahan?
kawasan
Sumber: Tim Konsultan
Tabel 6.4. Form Kebutuhan Data dan Informasi untuk Peraturan Zonasi
Data Fisik Kegiatan/Pemanfaatan Ruang Keterangan
Dampak/Gangguan
Intensitas Pemanfaatan Ruang Prasarana Minimum Tata Massa Bangunan Umum Aksesoris penilaian
Warung/ Kompatibel/tidak dg
Sub Perkiraan Rumah Tunggal/
Blok Kegiatan Nama Kelengkapan Tinggi Praktek Dokter/ On-Street Parking/ fungsi dominan; Keterangan
Blok Luas Persil Jumlah lt. Parkir Bongkar GSB GSS Deret/ Susun/
Jalan KDB KLB KDH KWT Jalan (Drainase Bangunan Salon/ FC/ macet/ bising/ kumuh/ Perlu Parkir/
(m2) Bangunan (unit) Muat (m) (m) Retail/ Ruko/
dan Trotoar) (m) Warnet/ Air Isi bau/ buruk/ dll Pembatasan Waktu
Rukan/ dll
Ulang/ dll Operasi/ dll
                                         

                                         
Sumber: Tim Konsultan
Hasil kegiatan pengumpulan data dan informasi dicantumkan dalam Buku Fakta dan Analisis yang
merupakan salah satu bagian dari Materi Teknis RDTR dan PZ.

E.2.4. Tahapan Metode Analisis Data

Tahapan pengolahan dan analisis data untuk penyusunan RDTR terbagi menjadi dua yaitu
Pengolahan dan analisis data untuk penyusunan RDTR dan Analisis dan Perumusan Ketentuan
Teknis PZ. Adapun penjelasan mengenai Tahapan pengolahan dan analisis data dijelaskan berikut
ini.

E.2.4.1. Metode Analisis Struktur Internal BWP

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, Analisis Struktur Internal BWP, meliputi

1. Analisis struktur internal kawasan BWP dilakukan untuk merumuskan kegiatan fungsional
sebagai pusat dan jaringan yang menghubungkan antar pusat di dalam BWP ruang dari
RTRW Kabupaten ke RDTR.
2. Analisis struktur internal kawasan perkotaan didasarkan pada kegiatan fungsional di dalam
kawasan perkotaan tersebut, pusat-pusat kegiatan, dan sistem jaringan yang melayaninya.
Analisis struktur internal kawasan perkotaan membagi kawasan perkotaan berdasarkan
homogenitas kondisi fisik, ekonomi, dan sosial budaya, serta menggambarkan arahan garis
besar intensitas ruang dan arahan pengembangannya di masa datang.
3. Analisis struktur internal BWP tersebut meliputi:
 Analisis sistem pusat pelayanan;
 Analisis sistem jaringan jalan;
 Analisis intensitas pengembangan ruang pada seluruh BWP.
4. Analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan merumuskan rencana pola ruang dan
masukan perumusan konsep struktur internal BWP.
Gambar 6.7. Ilustrasi Pusat Pelayanan di dalam BWP

Adapun metode analisis yang digunakan dalam analisis struktur internal BWP, yaitu:

A. Analisis Skalogram
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pusat pelayanan berdasarkan jumlah dan jenis unit
fasilitas pelayanan yang ada dalam setiap daerah. Asumsi yang digunakan apabila suatu
wilayah memiliki ranking tertinggi maka lokasi atau wilayah tersebut dapat ditetapkan
menjadi suatu pusat pertumbuhan (Amas Yamin, 2008). Dalam analisis skalogram ini subyek
diganti dengan pusat permukiman. Sedangkan objek diganti dengan fungsi atau kegiatan.
Indikator yang digunakan adalah jumlah penduduk, jumlah unit serta kualitas fungsi
pelayanan yang dimiliki masing-masing daerah. Dalam analisis skalogram ini ada tahapan-
tahapan dalam metode nya yaitu:
1. Identifikasi semua kawasan wilayah yang ada.
2. Buat urutan permukiman berdasarkan jumlah penduduk pada bagian sebelah kiri tabel
kerja.
3. Membuat urutan fasilitas yang ditemukan berdasarkan frekuensi yang ditemukan, pada
bagian atas.
4. Membuat garis baris dan kolom sehingga lembar kerja tersebut membentuk matriks yang
menampilkan fasilitas yang ada pada masing-masing pusat pelayanan daerah.
5. Menggunakan tanda (1) pada sel yang menyatakan keberadaan suatu fasilitas, dan tanda
(0) pada sel yang menyatakan ketiadaan suatu fasilitas.
6. Menyusun ulang baris dan kolom berdasarkan frekuensi keberadaan fasilitas, semakin
banyak fasilitas yang didapati pada suatu permukiman maka permukiman tersebut berada
pada urutan atas.
7. Mengidentifikasi peringkat atau hirarki pemukiman yang dapat diinterpretasikan
berdasarkan persentase keberadaan fasilitas pada suatu pemukiman. Semakin tinggi
prosentase nya, maka hirarki pemukiman tersebut akan semakin tinggi.

Untuk menguji kelayakan skalogram maka ada rumus yang digunakan yaitu coeffisien of
reproducibility (COR) sebagai berikut:
Keterangan:
e = jumlah kesalahan
N = jumlah subyek/kota
K = jumlah obyek/ fasilitas
Dalam hal ini koefisien dianggap layak apabila bernilai 0,9-1

Lebih lanjut dalam perhitungan metode ini dikenal cara penyusunan tabel skala Guttman
dengan tahapan sebagai berikut:
1. menyiapkan matriks data dasar, yang mengandung jumlah objek penelitian dengan
jumlah variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian, tingkat
pelayanan masyarakat, dan tingkat sumberdaya manusia;
2. perhitungan dengan menggunakan titik potong (cutting point). Titik potong adalah suatu
nilai tertentu (ditentukan) untuk menetapkan batas antara kelompok-kelompok objek
penelitian yang memperlihatkan tingkatan tiap objek penelitian terhadaap variabel-
variabel yang ada. Jadi, tingkat tiap-tiap objek penelitian ditentukan oleh besarnya jumlah
tiap-tiap variabel yang dimiliki pada objek-objek penelitian tersebut. Dalam studi ini
tingkatan tiap-tiap objek penelitian terhadap variabel-variabelnya dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu tingkat tinggi, tingkat sedang dan tingkat rendah.

Interval Nilai = Nilai Tertinggi – Nilai Terendah

Selanjutnya, nilai masing-masing objek dimasukkan ke dalam tabel skala Guttman.


Sebelumnya tabel skala Guttman dibagi atas tiga kolom penilaian, yaitu tinggi-sedang-
rendah, dengan objek penelitian sebagai barisnya. Tiap tingkatan nilai tinggi-sedang-
rendah memiliki skor tertentu. Susunan variabel dari masing- masing kolom klasifikasi
dapat diubah penempatannya, tergantung hasil yang paling baik. Hasil dikatakan paling
baik jika memiliki coefficient of reproducibility yang mendekati 1 (atau > 0,9). Pada
kenyataannyaa, pola skala Guttman yang sempurna jarang sekali terjadi, dikarenakan
adanya penyimpangan- penyimpangan dan penyimpangan ini disebut error. Sempurna
atau tidaknya skala Guttman dapat ditunjukkan oleh coefficient of reproducibility, yaitu
merupakan suatu koefisien yang menunjukkan seberapa jauh suatu skor yang diperoleh
suatu objek penelitian benar-benar dapat memberikan prediksi terhadap reaksi-reaksi
objek-objek penelitian dalam skala yang bersangkutan. Nilai dari koefisien ini bervariasi
dari 0 sampai 1. Menurut Soenjoto (2004:40), nilai koefisien yang makin mendekati nilai
1, akan menunjukkan skala Guttman yang semakin sempurna, dan biasanya koefisien
yang bernilai lebih besar dari 0,9 dianggap menunjukkan suatu skala yang berlaku.
Tabel 6.5. Contoh Tabel Skalogram

No Kecamatan Jumlah Jenis Prasarana ∑ Jenis ∑ Unit Ranking


Penduduk SD RSU ... Dst Prasarana Prasarana
1
2
...
Dst
∑ Jenis Prasarana
∑ Unit Prasarana
Penyebaran (%)
Ranking
Sumber: Perencanaan Pembangunan Daerah, Jakarta 2003:119

B. Metode Indeks Sentralisasi Marshall


Matriks Indeks Sentralitas Marshal merupakan bagian dari matriks fungsi wilayah atau yang
sering disebut dengan analisis fungsi yang merupakan analisis terhadap fungsi-fungsi
pelayanan yang tersebar di wilayah studi dalam kaitannya dengan berbagai aktivitas
penduduk/ masyarakat untuk memperoleh/ memanfaatkan fasilitas-fasilitas tersebut.

Indeks sentralitas Marshal dimaksudkan untuk mengetahui struktur/hierarki pusat-pusat


pelayanan yang ada dalam suatu wilayah perencanaan pembangunan, seberapa banyak fungsi
yang ada, berapa jenis fungsi dan berapa jumlah penduduk yang dilayani serta seberapa besar
frekuensi keberadaan suatu fungsi dalam satu satuan wilayah permukiman. Dalam analisis
sistem pusat permukiman juga menggunakan analisis indeks sentralitas marshal. Indeks
sentralitas marshal ini digunakan untuk menilai kemampuan dan hirarki pusat pelayanan,
seperti halnya analisis Skalogram Guttman. Setelah disusun tabel urutan kecamatan dihitung
nilai skor nya dengan menjumlahkan nilai indeks sentralitas dari tiap fasilitas yang dimiliki.
Persamaan yang dipergunakan untuk menilai bobot dari suatu fasilitas adalah sebagai berikut:

C= t/T

Keterangan:
C = Bobot dari atribut fungsional suatu fasilitas
t = Nilai Sentralitas Gabungan Dalam Hal Ini 100
T = Jumlah Total Dari Atribut Dalam Sistem

Setelah mengetahui nilai sentralitas, kita dapat menentukan indeks sentralitas dengan
mengkalikannya dengan jumlah fasilitas yang ada. Berdasarkan range yang kemudian dapat
ditentukan hierarki (tingkatan) masing-masing wilayah.

C. Analisis Gravitasi
Pandapotan Nainggolan (2012) menyatakan bahwa, untuk mengukur daya tarik yang dimiliki
oleh suatu daerah atau besarnya interaksi antar daerah dapat dilakukan dengan analisis
gravitasi. Analisis gravitasi dilandaskan pada asumsi bahwa, interaksi antara dua pusat
mempunyai hubungan proporsional langsung dengan “massa” dari pusat-pusat bersangkutan
dan mempunyai hubungan proporsional terbalik dengan “jarak” antara pusat-pusat tersebut.
Rumus analisis gravitasi sederhana adalah sebagai berikut:

Keterangan
Iij : Interaksi antara 2 area i dan j
Pi dan Pj : Populasi tiap wilayah atau area
d ij : Jarak diantara wilayah atu area
b : Jarak eksponen
Bila ada dua lokasi i dan j, maka Iij adalah interaksi antara kedua lokasi tersebut. P adalah
populasi, d adalah jarak antara kedua lokasi, dan b adalah pangkat jarak. Analisis gravitasi
digunakan mengetahui keterkaitan antar wilayah berupa kuat dan lemahnya daya tarik antar-
wilayah di.

E.2.4.2. Metode Analisis Sistem Penggunaan Lahan (Land Use);

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis sistem penggunaan lahan (Land Use), meliputi

1. Analisis sistem penggunaan lahan dilakukan untuk mendetailkan pola ruang dari RTRW
Kabupaten/Kota ke RDTR
2. Analisis sistem penggunaan lahan didasarkan pada kondisi fisik kawasan perencanaan,
kondisi eksisting, status lahan, dan kerentanan terhadap risiko bencana.
3. Analisis sistem penggunaan lahan tersebut meliputi:
a) Analisis simpangan antara pola ruang RTRW dan kondisi eksisting
b) Analisis tutupan lahan dan run-off yang ditimbulkan
c) Analisis kepemilikan tanah
4. Analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan rencana pola ruang.

Adapun metode analisis yang digunakan dalam analisis sistem penggunaan lahan (Land Use), yaitu
menggunakan metode analisis teknik overlay/tumpang tindih/superimpose. Analisis ini dilakukan
dengan menggabungkan 2 (dua) atau lebih peta fisik yang diperlukan khususnya dalam
menentukan deliniasi kawasan perkotaan, daya dukung lahan dan kesesuaian lahan berdasarkan
kriteria dan parameter yang belaku. Tujuan dan penerapan dari metode overlay ini adalah untuk (1)
penilaian kesesuain lahan, (2) identifikasi kriteria lahan, (3) penetuan lokasi, dll. Teknik overlay
merupakan pedekatan tata guna lahan/landscape. Analisis overlay ini juga dimaksudkan untuk
melihat deskripsi kegiatan yang potensial berdasarkan kriteria pertumbuhan dan kriteria kontribusi.
Teknik overlay ini dibentuk melalui penggunaan secara tumpang tindih (seri) suatu peta yang
masing-masing mewakili faktor penting lingkungan/lahan (Fernando, 2010).

Overlay ini merupakan suatu sistem informasi dalam bentuk grafis yang dibentuk dari
penggabungan berbagai peta individu (memiliki informasi/database yang spesifik). Agregat dari
kumpulan peta individu ini atau yang disebut peta komposit mampu memberikan infromasi yang
lebih luas dan bervariasi. Masing-masing peta dan transparansi memberikan informasi tentang
komponen lingkungan dan sosial (Fernando, 2010). Teknik overlay ini dilakukan dengan
menggunakan sistem komputerisasi yang berbasiskan SIG/GIS (sistem informasi geografis)
maupun sistem ArcView yang dioperasikan melalui perangkat komputer.

Gambar 6.8. Metode Overlay (Tumpang Tindih)

E.2.4.3. Metode Analisis Kedudukan Dan Peran BWP Dalam Wilayah Yang Lebih Luas;

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis kedudukan dan peran BWP dalam wilayah yang lebih
luas. Analisis ini, dilakukan untuk memahami kedudukan dan keterkaitan BWP dalam sistem
regional yang lebih luas dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan, sumber daya buatan atau sistem
prasarana, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sistem regional tersebut dapat berupa sistem kota,
wilayah lainnya, kabupaten atau kota yang berbatasan, pulau, dimana BWP tersebut dapat
berperan dalam perkembangan regional. Oleh karena itu, dalam analisis regional ini dilakukan
analisis pada aspek berikut:

4. Analisis kedudukan dan keterkaitan sosial-budaya dan demografi BWP pada wilayah yang
lebih luas;
Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi karakteristik sosial-budaya masyarakat
kawasan perencanaan dalam kaitannya dengan karakteristik sosial-budaya di kawasan
perencanaan. Selain itu, analisis ini juga mengidentifikasi kedudukan masyarakat kawasan
perencanaan dari sisi demografi dikaitkan dengan karakteristik demografi di wilayah
kecamatan lain di kawasan perencanaan. Pada analisis ini diperbandingkan jumlah penduduk
antar kecamatan di kawasan perencanaan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas (IPM)

5. Analisis kedudukan dan keterkaitan ekonomi BWP pada wilayah yang lebih luas;
Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi struktur ekonomi Kecamatan Cangkuang
dalam kaitannya dengan struktur ekonomi di Kabupaten Bandung. Pada analisis ini
mengidentifikasi kedudukan struktur ekonomi Kecamatan Cangkuang dari sisi ekonomi
makro pada wilayah Kabupaten Bandung. Pada analisis ini diperbandingkan kinerja dan
struktur ekonomi makro Kecamatan Cangkuang dengan kecamatan lain di Kabupaten
Bandung. Indikator ekonomi makro utama yang diperbandingkan dalam analisis ini adalah
PDRB, selain juga indikator lain seperti tabel I-O, kinerja investasi, potensi investasi, kinerja
ekspor-impor dan indikator ekonomi makro lainnya.

6. Analisis kedudukan dan keterkaitan sistem prasarana wilayah perencanaan dengan wilayah
yang lebih luas. Sistem prasarana yang diperhatikan dalam analisis ini adalah sistem
prasarana kabupaten/kota dan wilayah;
Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi sistem prasarana Kecamatan Cangkuang
dalam kaitannya dengan sistem prasarana wilayah di Kabupaten Bandung. Pada analisis ini
mengidentifikasi kondisi eksisting sistem prasarana wilayah dan rencana sistem prasarana
yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung, Pemerintah Provinsi Jawa Barat
maupun oleh Pemerintah Pusat. Sistem prasarana yang dikaji adalah prasarana transportasi,
energi/listrik, telekomunikasi, limbah, persampahan, sumber daya air (drainase, air minum),
jalur evakuasi dan ruang evakuasi bencana, serta prasarana lainnya.

7. analisis kedudukan dan keterkaitan aspek lingkungan (pengelolaan fisik dan SDA) BWP pada
wilayah yang lebih luas;
Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi kondisi fisik-lingkungan dan sumber
daya alam Kecamatan Cangkuang dalam kaitannya dengan wilayah kecamatan lain di
Kabupaten Bandung. Pada analisis ini mengidentifikasi kondisi eksisting fisik-lingkungan
dan sumber daya alam dan kebijakan-kebijakan pengelolaan lingkungan dalam kerangka
wilayah Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat maupun Nasional. Analisis ini mengulas
arti penting lingkungan dan pengelolaan lingkungan di Kecamatan Cangkuang dalam
menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan pada wilayah Kabupaten Bandung,
Provinsi Jawa Barat, dan Nasional

8. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek pertahanan dan keamanan;


Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi kondisi sistem pertahanan dan keamanan
Kecamatan Cangkuang dalam kaitannya dengan wilayah Kabupaten Bandung. Pada analisis
ini mengidentifikasi kondisi eksisting sistem pertahanan dan keamanan dalam kerangka
wilayah Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat maupun Nasional. Analisis ini mengulas
kedudukan pentingnya sistem pertahanan dan keamanan di Kecamatan Cangkuang untuk
mendukung keamanan wilayah Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, dan Nasional.

9. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek pendanaan BWP.


Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi kondisi dan potensi pendanaan yang
dimiliki Kecamatan Cangkuang dalam kaitannya dengan wilayah di Kabupaten Bandung.
Pada analisis ini mengidentifikasi kedudukan struktur APBD Kecamatan Cangkuang pada
konteks wilayah Kabupaten Bandung. Pada analisis ini juga dilakukan kajian potensi
investasi dari kebijakan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Pusat
(BUMN, Kementerian/Lembaga), swasta dalam negeri maupun luar negeri.

Keluaran analisis regional digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan RDTR yang
meliputi:

1. Penetapan fungsi dan peran BWP dalam wilayah yang lebih luas yang akan mempengaruhi
pada pembentukan jaringan prasarana terutama lintas sub wilayah/lintas kawasan atau yang
mengemban fungsi layanan dengan skala yang lebih luas dari wilayah BWP; dan
2. Pembentukan pola ruang BWP yang serasi dengan kawasan berdekatan terutama pada
wilayah perbatasan agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi dalam pemanfaatan ruang antar
BWP dalam rangka perwujudan tujuan penataan ruang.

E.2.4.4. Metode Analisis Sumber Daya Alam Dan Fisik Atau Lingkungan BWP;

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis sumber daya alam dan fisik atau lingkungan BWP
dilakukan untuk memberikan gambaran kerangka fisik pengembangan wilayah serta batasan dan
potensi alam BWP dengan mengenali karakteristik sumber daya alam, menelaah kemampuan dan
kesesuaian lahan agar pemanfaatan lahan dalam pengembangan wilayah dapat dilakukan secara
optimal dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dan meminimalkan kerugian akibat
bencana.

Secara umum analisis fisik/lingkungan dan SDA ini, memiliki keluaran sebagai berikut:

1. Gambaran daya dukung lingkungan fisik dalam menampung kegiatan yang ada maupun yang
akan dikembangkan sampai akhir masa berlakunya RDTR;
2. Gambaran daya dukung maksimum (daya tampung) ruang/lingkungan hidup dalam
menampung kegiatan sampai waktu yang melebihi masa berlakunya RDTR;
3. Gambaran kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ruang di masa datang berdasarkan
kondisi fisik/lingkungannya;
4. Gambaran potensi dan hambatan pembangunan keruangan dari aspek fisik; dan
5. Gambaran alternatif-alternatif upaya mengatasi hambatan fisik/lingkungan yang ada di BWP.

Keluaran analisis fisik atau lingkungan BWP ini digunakan sebagai bahan dalam sintesa analisis
holistik dalam melihat potensi, masalah, peluang penataan ruang BWP dalam penyusunan RDTR
dan peraturan zonasi.

Analisis sumber daya alam dan fisik/lingkungan wilayah yang perlu dilakukan mencakup
beberapa analisis berikut:

1. Analisis sumber daya air


Dilakukan untuk memahami bentuk dan pola kewenangan, pola pemanfaatan, dan pola
kerjasama pemanfaatan sumber daya air yang ada dan yang sebaiknya dikembangkan di
dalam BWP. Khususnya terhadap sumber air baku serta air permukaan (sungai dan/atau
danau) yang mengalir dalam BWP yang memiliki potensi untuk mendukung pengembangan
dan memiliki kesesuaian untuk dikembangkan bagi kegiatan tertentu yang sangat
membutuhkan sumber daya air. Analisis ini menjadi dasar dalam menetapkan kebijakan
yang mengatur sumber- sumber air tersebut.
2. Analisis sumber daya tanah
Digunakan dalam mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan BWP
berdasarkan kesesuaian tanah serta kawasan rawan bencana. Analisis ini menghasilkan
rekomendasi bagi peruntukan zona budi daya dan zona lindung.
3. Analisis topografi dan kelerengan
Analisis topografi dan kelerengan dilakukan untuk potensi dan permasalahan pengembangan
wilayah perencanaan berdasarkan ketinggian dan kemiringan lahan. Analisis ini dilakukan
untuk mengetahui daya dukung serta kesesuaian lahan bagi peruntukan kawasan budi daya
dan lindung.
4. Analisis geologi lingkungan
Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi potensi dan pengembangan BWP
berdasarkan potensi dan kendala dari aspek geologi lingkungan.Analisis ini menjadi
rekomendasi bagi peruntukan kawasan rawan bencana, kawasan lindung geologi, dan
kawasan pertambangan.
5. Analisis klimatologi
Digunakan dalam mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan BWP
berdasarkan kesesuaian iklim setempat. Analisis ini menjadi bahan rekomendasi bagi
kesesuaian peruntukan pengembangan kegiatan budi daya.
6. Analisis sumber daya alam (zona lindung)
Dilakukan untuk mengetahui daya dukung/kemampuan wilayah perencanaan dalam
menunjang fungsi hutan/sumber daya alam hayati lainnya, baik untuk perlindungan maupun
kegiatan produksi. Selain itu, analisis ini dimaksudkan untuk menilai kesesuaian lahan bagi
penggunaan hutan produksi tetap dan terbatas, hutan yang dapat dikonversi, hutan lindung,
dan kesesuaian fungsi hutan lainnya.
7. Analisis sumber daya alam dan fisik wilayah lainnya (zona budi daya)
Selain analisis tersebut di atas, perlu juga dilakukan analisis terhadap sumber daya alam
lainnya sesuai dengan karakteristik BWP yang akan direncanakan, untuk mengetahui pola
kewenangan, pola pemanfaatan, maupun pola kerjasama pemanfaatan sumber daya tersebut.

Teknik analisis sumber daya alam dan fisik atau lingkungan BWP, mengacu pada Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum NO.20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik &
Lingkungan, Ekonomi, Serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang. Analisis ini
dilakukan pada kawasan budidaya dengan maksud untuk mengetahui beberapa aspek fisik
kemampuan lahan yang sangat dibutuhkan bagi pemanfaatan kawasan budidaya. Aspek-aspek
fisik kemampuan lahan tersebut dalam analisis ini dikenal dengan Satuan Kemampuan Lahan
(SKL). Adapun kegiatan analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) di BWP Cangkuang terdiri
dari :

1. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Morfologi


Penilaian kemampuan lahan berdasarkan kondisi topografi sangat berpengaruh dalam
pengembangan suatu wilayah. Ada beberapa klasifikasi kemiringan lereng, menurut
Direktorat Jenderal Kehutanan, klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Datar (kurang dari 8%), kemiringan ini akan dapat mendukung penggunaan yang paling
intensif, segala macam usaha pertanian dan kegiatan non pertanian.
b. Sedang/berombak (antara 8 – 15%), masih dapat mendukung penggunaan tanah untuk
permukiman dan pertanian, tetapi memerlukan pengelolaan yang hati-hati.
c. Agak berat/bergelombang (antara 15 – 25%), usaha pertanian terbatas, banyak investasi
diperlukan.
d. Berat/berbukit (antara 25 – 45%), vegetasi penutup sangat diperlukan, karena sangat
mudah dipengaruhi erosi.
e. Sangat berat bergunung (diatas 45%), kemungkinan mudah terjadi longsor, baik untuk
hutan lindung.

Kemiringan lahan merupakan faktor utama kemampuan lahan untuk dapat diusahakan,
dimana semakin besar angka kemiringan lahan semakin sukar lahan tersebut untuk
diusahakan, disamping besar pula biaya yang diperlukan untuk mengusahakannya. Syarat
kemiringan lahan untuk berbagai jenis kegiatan yang dapat diterapkan di wilayah perencanaan
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.6. Syarat Kemiringan Lereng Untuk Berbagai Jenis Kegiatan


No Penggunaan Lahan Maksimum Minimum Optimum
1 Perumahan 20-25% 0% 2%
2 Lapangan Bermain 2-3% 0,05% 1%
3 Fasilitas Umum 50% - 25%
4 Lapangan Rumput 25% - 2-3%
5 Permukaan dengan perkerasan
 Tempat Parkir 3% 0% 1%
 Kaki Lima 10% 0% 1%
 Jalan Raya 15-17% 0% 1%
6 Kawasan Industri
 Pabrik 3-4% 0% 2%
 Gudang 3% 0,05% 1%
Sumber: William M. Marsh, 1991

Dari data ketinggian dan kemiringan/kontur yang ada dapat diidentifikasikan kemampuan
morfologi lahan dengan analisis kemampuan lahan (SKL) Morfologi sebagai berikut :

Tabel 6.7. Parameter Analisis SKL Morfologi

Morfologi Lereng Hasil Pengamatan SKL Morfologi Nilai


Gunung/Pegunungan dan Groundcheck/Survei Kemampuan Lahan
>40% 1
Perbukitan Lapangan Tinggi
Gunung/Pegunungan dan 25 – Kemampuan Lahan
2
Perbukitan 40% Cukup
15 - Kemampuan Lahan
Bukit/Perbukitan Landai 3
25% Sedang
Kemampuan Lahan
Datar 2– 15% 4
Kurang
Kemampuan Lahan
Datar 0 – 2% 5
Rendah
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

Kemampuan lahan dari morfologi tinggi berarti kondisi morfologis suatu kawasan kompleks.
Morfologi kompleks berarti bentang alamnya berupa gunung, pegunungan, dan
bergelombang. Akibatnya, kemampuan pengembangannya sangat rendah sehingga sulit
dikembangkan dan atau tidak layak dikembangkan. Lahan seperti ini sebaiknya
direkomendasikan sebagai wilayah lindung atau budi daya yang tak berkaitan dengan
manusia, contohnya untuk wisata alam. Morfologi tinggi tidak bisa digunakan untuk
peruntukan ladang dan sawah. Sedangkan kemampuan lahan dari morfologi rendah berarti
kondisi morfologis tidak kompleks. Ini berarti tanahnya datar dan mudah dikembangkan
sebagai tempat permukiman dan budi daya.

2. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kestabilan Lereng


Bertujuan Untuk mengetahui tingkat kemantapan lereng di wilayah/kawasan pengembangan
dalam menerima beban. Kestabilan lereng artinya wilayah tersebut dapat dikatakan stabil atau
tidak kondisi lahannya dengan melihat kemiringan lereng di lahan tersebut. Bila suatu
kawasan disebut kestabilan lerengnya rendah, maka kondisi wilayahnya tidak stabil. Tidak
stabil artinya mudah longsor, mudah bergerak yang artinya tidak aman dikembangkan untuk
bangunan atau permukiman dan budi daya. Kawasan ini bisa digunakan untuk hutan,
perkebunan dan resapan air. Peruntukan lahan didapatkan setelah semua SKL didapatkan.

Tabel 6.8. Parameter Analisis Kemampuan Lahan Kestabilan Lereng

SKL
Morfologi Lereng Ketinggian Pengunaan Lahan Kestabilan Nilai
Lereng
Gunung/Pegunungan dan Tinggi Semak, Belukar,
>40% Rendah 1
Perbukitan ladang
Gunung/Pegunungan dan Cukup Kebun, Hutan, Hutan
25 – 40% Kurang 2
Perbukitan Tinggi Belukar
Bukit/Perbukitan Landai 15 - 25% Sedang Semua Sedang 3
Datar 2– 15% Rendah Semua 4
Sangat Semua Tinggi
Datar 0 – 2% 5
Rendah
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

3. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kestabilan Pondasi


Analisis satuan kemampuan lahan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkatan kemampuan
lahan dalam mendukung bangunan rumah serta sarana dan prasarananya dalam menunjang
pemanfaatan lahan untuk kegiatan permukiman. Analisis satuan kemampuan lahan (SKL)
kestabilan pondasi hampir sama dengan analisis satuan kemampuan lahan morfologi-
kestabilan lereng. Analisis SKL kestabilan pondasi pengaruh gempa diperhitungkan,
sedangkan pada analisis SKL morfologi, kestabilan lereng pengaruh gempa belum
diperhitungkan. Tingkatan kemampuan lahan dalam menunjang kestabilan pondasi ini
ditentukan oleh faktor-faktor berupa sifat fisik batuan, pelapisan batuan (stratigrafi), struktur
geologi dan kemiringan lereng. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi dan saling terkait
dalam menentukan kemampuan lahan dalam menunjang kestabilan pondasi. Penilaian
kemampuan lahan berdasarkan kemampuan lahan kestabilan pondasi di wilayah perencanaan
dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6.9. Parameter Analisis SKL Kestabilan Pondasi

Kestabilan
Penggunaan Lahan Kestabilan Pondasi Nilai
Lereng
Rendah Semak, Belukar, ladang Daya Dukung Kestabilan pondasi rendah 1
Kurang Kebun, Hutan, Hutan 2
Belukar Daya Dukung Kestabilan pondasi kurang
Sedang Semua 3
Semua 4
Tinggi Daya Dukung Kestabilan pondasi tinggi
Semua 5
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

4. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Ketersediaan Air Tanah


Ketersediaan air tanah pada suatu lahan merupakan hal yang sangat penting, mengingat
fungsi air tanah sebagai sumber pasokan air bersih untuk berbagai kebutuhan, terutama di saat
kemarau panjang dimana air permukan tidak mencukupi. Untuk melihat ketersediaan air
seharusnya menggunakan data primer, tetapi karena keterbatasan waktu dan dana biasanya
pengambilan data primer tidak dapat dilakukan. Ketersediaan air sangat tinggi artinya
ketersediaan air tanah dalam dan dangkal cukup banyak. Sementara ketersediaan air sedang
artinya air tanah dangkal tak cukup banyak, tapi air tanah dalamnya banyak. Penilaian
kemampuan lahan berdasarkan kemampuan lahan ketersediaan air tanah di wilayah
perencanaan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6.10. Parameter Analisis SKL Ketersediaan Air Tanah

Penggunaan
Morfologi Lereng SKL Ketersediaan Air Tanah Nilai
Lahan
Gunung/Pegunungan dan Semak, Belukar, Ketersediaan air tanah Sangat
>40% 1
Perbukitan ladang Rendah
Gunung/Pegunungan dan 25 – Kebun, Hutan, Ketersediaan air tanah Rendah
2
Perbukitan 40% Hutan Belukar
Bukit/Perbukitan Landai 15 - 25% Semua Ketersediaan air tanah Sedang 3
Datar 2– 15% Semua 4
Ketersediaan air tanah Tinggi
Datar 0 – 2% Semua 5
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

5. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Erosi


Analisis SKL Erosi bertujuan untuk mengetahui daerah-daerah yang mengalami keterkikisan
tanah sehingga dapat diketahui tingkat ketahanan lahan terhadap erosi serta antisipasi
dampaknya pada daerah yang lebih hilir. Erosi berarti mudah atau tidaknya lapisan tanah
terbawa air atau angin. Erosi tinggi berarti lapisan tanah mudah terkelupas dan terbawa oleh
angin dan air. Erosi rendah berarti lapisan tanah sedikit terbawa oleh angin dan air. Tidak ada
erosi berarti tidak ada pengelupasan lapisan tanah.

Tabel 6.11. Parameter Analisis Kemampuan Lahan Terhadap Erosi

Morfologi Kemiringan Penggunaan Lahan SKL Erosi Nilai


Gunung/Pegunungan dan > 45% Semak, Belukar, ladang Erosi Tinggi 1
Perbukitan
Gunung/Pegunungan dan 25 - 45% Kebun, Hutan, Hutan Erosi Cukup 2
Perbukitan Belukar
Bukit/Perbukitan Landai 15 – 25% Semua Erosi Sedang 3
Datar 2 – 15% Semua Erosi Rendah 4
Datar 0 – 2% Semua Tidak erosi 5
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

6. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Bencana Alam


Analisis satuan kemampuan lahan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi lahan yang
berhubungan dengan kemampuan lahan terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam. Di
dalam analisis satuan kemampuan lahan (SKL) ini menggunakan kriteria berupa kawasan
yang pernah mengalami atau berpotensi akan terjadinya bencana alam, baik berupa banjir,
tanah longsor/gerakan tanah, letusan gunung berapi, gempa bumi maupun aliran lahar.
Morfologi gunung dan perbukitan dinilai tinggi pada peta rawan bencana gunung api dan
longsor, sedangkan lereng datar yang dialiri sungai dinilai tinggi pada rawan bencana banjir.
Penentuan kelas pada rawan bencana ini ada lima. Kelas 1 artinya rawan bencana alam dan
kelas 5 artinya tidak rawan bencana alam. Kondisi ini dapat dicerminkan dari interpretasi peta
geologi termasuk jenis dan sifat fisik batuan serta peta kemiringan lereng. Khusus untuk
kawasan yang pernah mengalami bencana banjir kriterianya dapat diperkuat oleh dukungan
data dan informasi yang diperoleh dari pemerintah setempat. Penilaian kemampuan lahan
berdasarkan kemampuan lahan kerentanan bencana di wilayah perencanaan dapat dilihat pada
tabel berikut.

Tabel 6.12. Parameter Analisis Kemampuan Lahan Terhadap Bencana Alam

Penggunaan SKL Bencana


Morfologi Lereng Ketinggian Nilai
Lahan Alam
Gunung/Pegunungan dan Tinggi Semak, Belukar,
>40% 5
Perbukitan ladang
tinggi
Gunung/Pegunungan dan 25 – Cukup Tinggi Kebun, Hutan,
4
Perbukitan 40% Hutan Belukar
15 - Sedang Semua Cukup
Bukit/Perbukitan Landai 3
25%
Datar 2– 15% Rendah Semua 2
Sangat Semua Kurang
Datar 0 – 2% 1
Rendah
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

7. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Drainase


Drainase berkaitan dengan aliran air, serta mudah tidaknya air mengalir. Drainase tinggi
artinya aliran air mudah mengalir atau mengalir lancar. Drainase rendah berarti aliran air sulit
dan mudah tergenang. Analisis satuan kemampuan lahan ini bermaksud untuk mengetahui
kemampuan lahan dalam menunjang sistem drainase dan penyerapan air buangan secara
alamiah yang sangat dibutuhkan di dalam pengembangan permukiman. Kemampuan lahan
yang baik, ditunjukkan dengan relatif mudah pembuatan drainase pada lahan tersebut serta
karakteristik fisik lahan yang memudahkan terjadinya pengaliran dan penyerapan air buangan
sehingga akan mengurangi terjadinya genangan air (banjir). Selain itu untuk mengetahui
sistem atau pola drainase di suatu wilayah sehingga dalam pengembangan lahannya akan
dapat menyesuaikan sehingga dapat mengurangi dampak maupun bencana yang mungkin
terjadi. Drainase berkaitan dengan aliran air, serta mudah tidaknya air mengalir. Drainase
tinggi artinya aliran air mudah mengalir atau mengalir lancar. Drainase rendah berarti aliran
air sulit dan mudah tergenang.
Tabel 6.13. Parameter Analisis Kemampuan Lahan Drainase

Ketinggian Penggunaan
Morfologi Lereng SKL Drainase Nilai
Lahan
Gunung/Pegunungan dan Tinggi Semak, Belukar,
>40% 5
Perbukitan ladang
Drainase tinggi
Gunung/Pegunungan dan 25 – Cukup Tinggi Kebun, Hutan,
4
Perbukitan 40% Hutan Belukar
15 - Sedang Semua Drainase Cukup
Bukit/Perbukitan Landai 3
25%
Datar 2– 15% Rendah Semua Drainase 2
Datar 0 – 2% Sangat Rendah Semua kurang 1
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

8. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kemudahan Dikerjakan


Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kemudahan Dikerjakan berfungsi untuk mengetahui
tingkat kemudahan lahan di wilayah dan/atau kawasan untuk digali/dimatangkan dalam proses
pembangunan/pengembangan kawasan. Sasaran dari Satuan Kemampuan Lahan (SKL)
Kemudahan Dikerjakan, yaitu (1) Memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk
digali, ditimbun, ataupun dimatangkan dalam proses pembangunan untuk pengembangan
kawasan, (2) Mengetahui potensi dan kendala dalam pengerjaan masing-masing tingkatan
kemampuan lahan kemudahan dikerjakan, dan (3) Mengetahui metode pengerjaan yang sesuai
untuk masing-masing tingkatan kemampuan lahan.

Tabel 6.14. Parameter Analisis SKL Kemudahan Dikerjakan

Jenis Tanah SKL Kemudahan


Morfologi Lereng Nilai
Dikerjakan
Gunung/Pegunungan dan Podsol Merah Kemudahan Dikerjakan
>40% 1
Perbukitan Kuning Tinggi
Gunung/Pegunungan dan 25 – Kemudahan Dikerjakan
2
Perbukitan 40% Brown Forest, Cukup
Mediteran Kemudahan Dikerjakan
Bukit/Perbukitan Landai 15 - 25% 3
Sedang
Kemudahan Dikerjakan
Datar 2– 15% Latosol 4
Kurang
Kemudahan Dikerjakan
Datar 0 – 2% Aluvial 5
Rendah
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

9. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Pembuangan Limbah


SKL Pembuangan Limbah adalah tingkatan untuk memperlihatkan wilayah tersebut cocok
atau tidaknya sebagai lokasi pembuangan serta dimaksudkan untuk mengetahui kondisi lahan
yang dapat menentukan sistem pembuangan limbah sehingga dalam pengembangan lahan
yang dilakukan dapat dilakukan suatu upaya untuk mengurangi permasalahan polusi dan
lingkungan. Hasil yang diperoleh dalam SKL Pembuangan Limbah adalah dukungan terhadap
pembuangan limbah baik cair maupun padat yang ditentukan dengan aspek teknis utama
berupa kelerengan, curah hujan, jenis tanah dan hidrogeologi sebagai kriteria terhadap
kemampuan tanah dalam meresapkan air.

Tabel 6.15. Parameter Analisis Kemampuan Lahan Pembuangan Limbah

SKL
Penggunaan
Morfologi Lereng Ketinggian Pembuangan Nilai
Lahan
Limbah
Gunung/Pegunungan dan Tinggi Semak, Belukar,
>40% 1
Perbukitan ladang
Kurang
Gunung/Pegunungan dan 25 – Cukup Tinggi Kebun, Hutan,
2
Perbukitan 40% Hutan Belukar
15 - Sedang Semua Sedang
Bukit/Perbukitan Landai 3
25%
Datar 2– 15% Rendah Semua 4
Sangat Semua Cukup
Datar 0 – 2% 5
Rendah
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

Dari hasil overlay dari keseluruhan satuan-satuan kemampuan lahan (SKL) yang telah diberi skor
(skor = ”nilai akhir” x bobot) dan ditunjang dari hasil penentuan kawasan lindung (limitasi), maka
klasifikasi kemampuan lahan daerah studi untuk permukiman dapat diketahui dan digambarkan
dalam bentuk zonasi kemampuan lahan berupa wilayah kemungkinan, wilayah kendala dan
wilayah limitasi.

Tabel 6.16. Contoh Perhitungan Peta Kemampuan Lahan Dari Overlay Berbagai Peta SKL

Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

Dari total nilai, dibuat beberapa kelas yang memperhatikan nilai minimum dan maksimum total
nilai. Dari angka di atas, nilai minimum yang mungkin didapat adalah 32, sedangkan nilai
maksimum yang mungkin didapat adalah 160. Dengan begitu, pengkelasan dari total nilai ini
dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel 6.17. Klasifikasi Pengembangan berdasarkan Kelas Kemampuan Lahan


Kelas Kemampuan Klasifikasi
Total Nilai
Lahan Pengembangan
32 – 58 Kelas a Kemampuan Pengembangan Sangat rendah
59 – 83 Kelas b Kemampuan Pengembangan Rendah
84 – 109 Kelas c Kemampuan Pengembangan Sedang
110 – 134 Kelas d Kemampuan Pengembangan Agak tinggi
135 – 160 Kelas e Kemampuan Pengembangan Sangat tinggi
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007

E.2.4.5. Metode Analisis Sosial Budaya;

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis sosial budaya, yaitu:

1. Analisis dilakukan untuk mengkaji kondisi sosial budaya masyarakat yang mempengaruhi
pengembangan wilayah perencanaan seperti elemen-elemen kota yang memiliki nilai
historis dan budaya yang tinggi (urban heritage, langgam arsitektur, landmark kota) serta
modal sosial dan budaya yang melekat pada masyarakat (adat istiadat) yang mungkin
menghambat ataupun mendukung pembangunan, tingkat partisipasi/peran serta masyarakat
dalam pembangunan, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dan pergeseran nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.
2. Analisis ini akan digunakan sebagai bahan masukan dalam penentuan bagian dari wilayah
kota yang diprioritaskan penanganannya di dalam penyusunan RDTR.

Indikator sosial budaya sebenarnya tidak bisa diukur hanya dengan melihat sarana telekomunikasi
yang dipakai atau aksesibilitas masyarakat terhadap informasi. Sosial budaya dalam kehidupan
masyarakat melingkupi pranata sosial/kelembagaan masyarakat, adat istiadat, warisan budaya, dan
kondisi gender. Untuk itu, pengambilan data pada indikator ini, tidak cukup hanya dengan
menampilkan data penggunaan media komunikasi masyarakat, akan tetapi diperlukan juga data-
data antara lain:

1. Keberadaan situs purbakala di wilayah terkait


2. Kelembagaan adat
3. Nilai dan norma budaya
4. Kondisi gender (pembagian pekerjaan menurut jenis kelamin, akses dan kendali atas sumber
daya dan manfaatnya, pengambilan keputusan, dll)
5. Pranata sosial (agama, pelapisan sosial, keluarga)
6. Kepemimpinan lokal

E.2.4.6. Metode Analisis Kependudukan;

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis kependudukan, yaitu:
1. Analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendapatkan proyeksi perubahan
demografi seperti pertumbuhan dan komposisi jumlah penduduk serta kondisi sosial
kependudukan dalam memberikan gambaran struktur dan karakteristik penduduk. Hal ini
berhubungan erat dengan potensi dan kualitas penduduk, mobilisasi, tingkat pelayanan dan
penyediaan kebutuhan sektoral (sarana, prasarana maupun utilitas minimum).
2. Selain itu analisis terhadap penyebaran dan perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke
daerah perkotaan memberikan gambaran dan arahan kendala serta potensi sumber daya
manusia untuk keberlanjutan pengembangan, interaksi, dan integrasi dengan daerah di luar
BWP.
3. Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi demografi terhadap batasan daya
dukung dan daya tampung BWP dalam jangka waktu rencana.
4. Analisis ini digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan RDTR dan peraturan zonasi.

Pertumbuhan dan perkembangan penduduk pada dasarnya disebabkan oleh tingkat kesuburan
penduduk (banyaknya kelahiran), tingkat kesehatan yang semakin tinggi (berkurangnya angka
kematian) dan keluar masuknya penduduk dari dan keluar kota. Pertumbuhan dan perkembangan
penduduk akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan kotanya sendiri, pola pengaturan
kota dan kemungkinan perluasan, kemungkinan penyediaan lapangan pekerjaan serta besaran jenis
dan susunan fasilitas serta pelayanan. Penduduk merupakan subjek dari pembangunan, proyeksi
jumlah penduduk di masa datang merupakan dasar bagi tahap-tahap selanjutnya berkaitan dengan
berbagai kebutuhan penduduk baik fasilitas maupun utilitas pendukung bagi penduduk untuk
tinggal dan melaksanakan kegiatannya.

Proyeksi mengenai jumlah serta struktur penduduk dianggap sebagai persyaratan minimum untuk
proses perencanaan pembangunan. Perhitungan proyeksi penduduk sendiri dilakukan untuk semua
desa dan tidak secara parsial dilakukan pada satu kecamatan. Hal ini didasarkan pada tingkat
kebutuhan fasilitas dan utilitas merupakan perhitungan global yang kemudian diposisikan dan
dialokasikan berdasarkan arahan pusat-pusat pelayanan yang ada di Kecamatan.

Untuk memperkirakan proyeksi jumlah penduduk hingga 20 tahun mendatang, maka ada beberapa
metode yang akan digunakan sesuai dengan karakteristik perkembangan/pertumbuhan penduduk
dimasa lampau (5 tahun terakhir), diantaranya adalah :

1. Linear Aritmatik

 Pertumbuhanpenduduk relative tetap/ konstan setiap tahun


 Digunakan jika hanya jumlah penduduk total yang ingin diketahui
 Digunakan jika data yang lebih spesifik untuk metode lain tidak tersedia

 Kelemahan: fertilitas, mortalitas, dan migrasi tidak dipertimbangkan


Pn = Po + cn atau Pn = Po (1+ rn)

dimana:
Pn : penduduk pada tahun n
Po : penduduk pada tahun awal
c : jumlah pertambahan penduduk konstan (nilai absolut)
r : angka pertambahan penduduk (%)
n : periode (waktu) antara tahun awal dan tahun n

2. Geometric

Pertumbuhan penduduk secara geometric, dimana pertumbuhan penduduk yang menggunakan


dasar bunga majemuk Angka pertumbuhan penduduk dianggap sama untuk setiap tahun.

Pn = Po (1 + r)n

dimana:
Pn : penduduk pada tahun n
Po : penduduk pada tahun awal
r : angka pertumbuhan penduduk (%)
n : waktu dalam tahun (periode proyeksi)

3. Eksponensial

Pertumbuhan penduduk secara terus menerus setiap hari dengan angka pertumbuhan konstan.

Pn = Po x e rn

dimana:
Po : penduduk pada tahun awal
n : waktu dalam tahun (periode proyeksi)
r : angka pertumbuhan penduduk (%)
Pn : penduduk pada tahun n
e : bilangan pokok sistem logaritma natural = 2,7182818

Hasil metode eksponensial dan geometric hamper sama jika laju pertumbuhannya (r) relative
rendah (antara 1-2%)

4. Polinomial

Asumsi dalam metode ini adalah kecenderungan dalam laju pertumbuhan penduduk dianggap
tetap atau dengan kata lain hubungan masa lampau digunakan untuk memperkirakan
perkembangan yang akan datang.

Rumus Kurva Polinomial adalah sebagai berikut :


Pt -Q = Pt + b (Q)

Dimana :
Pt : Jumlah penduduk pada tahun dasar.
Pt – Q : Jumlah penduduk pada tahun (t – Q) 
Q : Selang waktu pada tahun dasar ke tahun (t – Q) 

Dimana : 

b nq -1 = b/ Q-1
b : Rata-rata pertambahan jumlah penduduk tiap tahun
bn : Tambahan penduduk n tahun

Untuk memperkirakan pertumbuhan penduduk sampai dengan 20 (dua puluh) tahun mendatang
laju pertumbuhan akan dijadikan sebagai dasar penghitungan proyeksi penduduk dengan
menggunakan metode perhitungan terpilih, dimana pemilihan dilakukan dengan melihat nilai R-
squared (R2) yang merupakan nilai indeks tingkat deviasi terhadap prediksi yang dilakukan,
dimana nilai yang terpilih dengan nilai R mendekati 1, dimana dengan nilai yang mendekati 1
memiliki tingkat kecocokan yang tinggi berdasarkan historis masa lalu.

Untuk kepentingan perencanaan wilayah, pengetahuan mengenai pergerakan penduduk ini sangat
penting. Pergerakan penduduk berbeda-beda, tergantung pada sifatnya. Hal ini merupakan
masalah kualitatif yang harus dikaji secara lebih mendalam dan tentu saja memerlukan data yang
sangat lengkap. Data termudah yang dapat diperoleh adalah data kuantitatif. Bagi daerah yang
tertutup, dimana migrasi dibatasi dan diawasi, taksiran migrasi tidak begitu diperlukan. Tetapi
bagi daerah yang terbuka, yang aliran penduduknya secara tidak langsung ditentukan oleh kebi-
jaksanaan pemerintah maka taksiran migrasi sangat diperlukan.

Dalam keputusan bermigrasi selalu terkandung keinginan untuk memperbaiki salah satu aspek
kehidupan, sehingga keputusan seseorang melakukan migrasi dapat disebabkan oleh berbagai
macam faktor. Menurut Lee (1987) ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam studi migrasi
penduduk, yaitu :

 Faktor-faktor daerah asal


 Faktor-faktor yang terdapat pada daerah tujuan
 Rintangan antara
 Faktor-faktor individual

Dalam menentukan besarnya migrasi pada suatu daerah, maka dilakukan model teoritis dimana
perumusan model ini secara teori sangat erat hubungannya dengan "model Gravitasi". Logika
dasar yang digunakan ialah bahwa kondisi tertentu suatu daerah, misalnya pembukaan lapangan
kerja baru, dapat menarik sejumlah migrasi dari daerah lain. Besarnya arus migrasi tersebut dipen -
garuhi oleh jumlah penduduk di daerah asal.

Model yang sering digunakan adalah Model Ravenstein:

Pi

Mij = ------- . f(Zj)

dij

Mij = migrasi dari daerah i ke daerah j


Pi = Penduduk daerah i
dij = jarak dari daerah i ke daerah j
f(Zj) = fungsi Zj, dan Zj adalah ukuran daya tarik daerah j  dimana f(Zj) merupakan
ukuran faktor penarik (berdasarkan BPS Nasional)

Wilayah-wilayah pinggiran di sekitar pusat secara berangsurangsur berkembang menjadi


masyarakat dinamis. Terdapat arus penduduk, modal, dan sumberdaya ke luar wilayah belakang
yang dimanfaatkan untuk menunjang perkembangan pusat-pusat dimana pertumbuhan ekonominya
sangat cepat dan bersifat kumulatif. Sebagai akibatnya, perbedaan pendapatan antara pusat dan
wilayah pinggiran cenderung lebih besar. Adanya interaksi antara desa-kota menunjukkan eratnya
hubungan antara wilayah 1 dengan wilayah 2 sebagai konsekuensi interaksi kota-desa dalam teori
pusat pertumbuhan. Adapun rumus untuk menghitung interaksi dalam hubungan desa-kota adalah
(Suwarjoko dalam Wiyadi dan Rina Trisnawati, 2002).

I1,2 = a (W1P1) (W2P2) / Jb1,2

Keterangan :
I1,2 : Interaksi dalam wilayah 1 dan 2
W1 : pendapatan perkapita wilayah 1
W2 : pendapatan perkapita wilayah 2
P1 : Jumlah penduduk wilayah 1
P2 : Jumlah penduduk wilayah 2
J1,2 : jarak antara wilayah 1 dan 2 (dalam meter)
a : konstanta yang nilainya 1
b : konstanta yang nilainya 2

E.2.4.7. Metode Analisis Ekonomi Dan Sektor Unggulan;

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis ekonomi dan sektor unggulan, yaitu:
1. Dalam mewujudkan ekonomi BWP yang berkelanjutan melalui keterkaitan ekonomi lokal
dalam sistem ekonomi kota, regional, nasional, maupun internasional, analisis ekonomi
dilakukan dengan menemukenali struktur ekonomi, pola persebaran pertumbuhan ekonomi,
potensi, peluang dan permasalahan perekonomian wilayah kota untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang baik, terjadinya investasi dan mobilisasi dana yang optimal.
2. Analisis diarahkan untuk menciptakan keterkaitan intra-regional (antar kawasan/kawasan
perkotaan/perdesaan/kabupaten/kota) maupun inter- regional sehingga teridentifikasi sektor-
sektor riil unggulan, dan solusi- solusi secara ekonomi yang mampu memicu peningkatan
ekonomi wilayah kota. Analisis diharapkan dapat membaca potensi ekonomi lokal terhadap
pasar regional, nasional maupun global.
3. Dari analisis ini, diharapkan diperoleh karakteristik perekonomian wilayah perencanaan dan
ciri-ciri ekonomi kawasan dengan mengidentifikasi basis ekonomi, sektor-sektor unggulan,
besaran kesempatan kerja, pertumbuhan dan disparitas pertumbuhan ekonomi di BWP.
4. Analisis ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan RDTR.

Analisis ekonomi dan sektor unggulan dilakukan untuk mewujudkan ekonomi wilayah yang
sustainable melalui terkaitan ekonomi lokal dalam sistem ekonomi wilayah yang lebih luas.
Dalam pengertian tersebut, analisis ekonomi diarahkan untuk menciptakan keterkaitan ekonomi
antar kawasan di dalam wilayah kabupaten/provinsi dan keterkaitan ekonomi antar wilayah
kabupaten. Dari analisis ini, diharapkan diperoleh pengetahuan mengenai karakteristik
perekonomian wilayah dan ciri-ciri ekonomi kawasan dengan mengidentifikasi basis ekonomi,
sektor-sektor unggulan, besaran kesempatan kerja, pertumbuhan dan disparitas pertumbuhan
ekonomi.

Analisis sektor unggulan dilakukan diantaranya dengan menggunakan analisis LQ dan multiplier-
effect. Untuk menetapkan sektor basis dapat digunakan metode Location Quotient (LQ). Location
quotient dapat dipergunakan sebagai alat ukur untuk mengukur spesialisasi relatif suatu
daerah/kabupaten pada sektor-sektor tertentu. LQ ini mempunyai penggunaan yang luas sehingga
satuan pengukuran apa saja dapat dipergunakan untuk menghitungnya. Rumus umum yang biasa
dipakai adalah sebagai berikut:

LQ = Si * N/Ni * S

Dimana:
Si = jumlah komoditas wilayah perencanaan;
Ni = jumlah komoditas di wilayah yang lebih luas;
S = jumlah komoditas total di wilayah dan/atau kawasan;
N = jumlah komoditas total di wilayah yang lebih luas.

Besarnya nilai LQ dapat diinterpretasikan sebagai berikut:


LQ > 1 : wilayah perencanaan mempunyai spesialisasi dalam sektor tertentu dibandingkan
wilayah yang lebih luas.
LQ = 1 : tingkat spesialisasi wilayah perencanaan dalam sektor tertentu sama dengan
wilayah yang lebih luas.
LQ < 1 : dalam sektor tertentu, tingkat spesialisasi wilayah berada di bawah wilayah yang
lebih luas.

Dalam menentukan wilayah pembanding, perlu diperhatikan perbedaan jenjang antara wilayah
pembanding dengan satuan wilayah/kawasan perencanaan agar proporsional.

Contoh : Jika suatu wilayah atau kawasan perencanaan mencakup lebih dari 1 (satu) wilayah
administratif, maka yang menjadi wilayah pembandingnya adalah Produk Domestik Bruto (PDB)
wilayah regionalnya.

Pengganda ekonomi basis menunjukkan bahwa pertumbuhan pendapatan atau tenaga kerja dalam
wilayah karena penggandaan (multifikasi) jumlah pembelanjaan kembali (dalam wilayah)
pendapatan dari barang dan jasa yang diproduksi didalam wilayah dan dipasarkan keluar
wilayahnya (ekspor). Menurut Tiebout dalam Tarigan (1962) terdapat perbandingan dalam Basis
Multiplier (Efek Pengganda Basis), bentuk pendapatan dan faktor-faktor yang terkait dengan
pengganda basis. Dalam bentuk pendapatan maka hubungan antara perubahan pendapatan basis
dengan perubahan total pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut:

∆Yt = K. ∆Yb

Dimana:
Yt = Pendapatan total (total income)
Yb = Pendapatan basis
Yn = Pendapatan non basis
K = Pengganda basis
∆ = perubahan pendapatan

Adapun pengganda basis dalam satuan pendapatan adalah:

Base Multiplier = Total Income atau dalam bentuk Simbol K = Yt


Basic Income Yb

E.2.4.8. Metode Analisis Transportasi (Pergerakan);

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis transportasi, yaitu:

1. Analisis transportasi dilakukan untuk menciptakan kemudahan dalam pergerakan, mendorong


pertumbuhan ekonomi kawasan, dan mendukung fungsi masing-masing zona.
2. Analisis transportasi didasarkan pada pusat kegiatan, proyeksi kebutuhan lalu lintas.
3. Analisis transportasi tersebut meliputi:
a. analisis sistem kegiatan
b. analisis sistem jaringan
c. analisis sistem pergerakan
4. Analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rencana struktur ruang.

Sistem Transportasi adalah suatu bentuk keterikatan dan keterkaitan antara penumpang, barang,
prasarana dan sarana yang berinteraksi dalam rangka perpindahan orang atau barang, yang
tercakup dalam suatu tatanan, baik secara alami ataupun buatan/rekayasa. Sistem transportasi
diselenggarakan dengan maksud untuk mengkoordinasi proses pergerakan penumpang dan barang
dengan mengatur komponen- komponennya di mana prasarana merupakan media untuk proses
transportasi, sedangkan sarana merupakan alat yang digunakan dalam proses transportasi. Tujuan
dari sistem transportasi adalah untuk mencapai proses transportasi penumpang dan barang secara
optimum dalam ruang dan waktu tertentu, dengan mempertimbangkan faktor keamanan,
kenyamanan dan kelancaran, serta efisiensi waktu dan biaya.

Sistem transportasi dibedakan dalam sistem transportasi makro dan sistem transportasi mikro.
Sistem transportasi makro merupakan sistem menyeluruh yang dapat dibagi menjadi beberapa
sistem yang lebih kecil (mikro) dan saling terkait serta saling mempengaruhi, terdiri atas Sistem
Penduduk, Sistem Kegiatan, Sistem Prasarana dan Sarana, dan Sistem Pergerakan. Dimana sistem
yang lebih kecil tersebut berada di dalam Sistem Tata Ruang.

Gambar 6.9. Sistem transportasi

Sistem pergerakan lalu lintas timbul karena adanya proses pemenuhan kebutuhan. Orang perlu
bergerak karena kebutuhannya tidak dapat dipenuhi di tempat ia berada.
Sistem kegiatan sebagai sistem mikro yang pertama, mempunyai jenis kegiatan tertentu yang akan
membangkitkan pergerakan dan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan kebutuhan.
Pergerakan yang berupa pergerakan manusia (penduduk) dan/atau barang, jelas membutuhkan
moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat moda transportasi tersebut bergerak.
Prasarana transportasi yang diperlukan, merupakan sistem mikro yang kedua, yang biasa dikenal
dengan sistem jaringan yang meliputi sistem jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus dan
stasiun kereta api, bandar udara dan pelabuhan laut.

Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan (prasarana) ini menghasilkan pergerakan
manusia dan/atau barang dalam bentuk kendaraan (sarana) dan/atau orang (pejalan kaki). Sistem
mikro ketiga atau sistem pergerakan yang aman, capat, nyaman, murah, handal dan sesuai dengan
lingkungannya, dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh sistem rekayasa dan manajemen
lalu lintas yang baik.

Sistem penduduk juga berpengaruh terhadap pergerakan yang terjadi. Kepadatan penduduk, skala
lokasi (lokal, kota, regional, desa), serta proses pertumbuhan penduduk (pesat, lambat, stagnan,
tertinggal) mempengaruhi besarnya pergerakan yang terjadi. Sistem penduduk bersama sistem
kegiatan, sistem jaringan (prasaran dan sarana), dan sistem pergerakan akan saling mempengaruhi.

Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui perubahan pada
tingkat pelayanan sistem pergerakan. Begitu pula pada sistem jaringan akan dapat mempengaruhi
sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan Aksesibilitas dari sistem pergerakan tersebut.
Selain itu sistem pergerakan berperan penting dalam menampung pergerakan penduduk/orang
dan/atau barang agar tercipta pergerakan yang lancar, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kembali sistem penduduk, sistem kegiatan dan sistem jaringan yang ada, dalam bentuk
Aksesibilitas dan mobilitas. Keempat sistem mikro ini saling berinteraksi dalam sistem
transportasi makro.

Proses perkembangan sistem pergerakan dapat digambarkan sebagai berikut :


Gambar 6.10. Proses Perkembangan Sistem Pergerakan

E.2.4.9. Metode Analisis Sumber Daya Buatan;

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis sumber daya buatan, yaitu:

1. Sumber daya buatan merupakan sumber daya alam yang telah/akan ditingkatkan
dayagunanya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemanfaatan sumber daya buatan akan
mengurangi eksploitasi sumber daya alam sehingga tetap dapat menjaga keseimbangan
ekosistem suatu wilayah. Misalnya, waduk, dinding talud penahan tanah, reklamasi pantai,
sodetan sungai, terasering, dan lain-lain.
2. Analisis sumber daya buatan dilakukan untuk memahami kondisi, potensi, permasalahan, dan
kendala yang dimiliki dalam peningkatan pelayanan sarana dan prasarana pada BWP. Melalui
analisis ini diharapkan teridentifikasi kebutuhan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk
memaksimalkan fungsi BWP.
3. Analisis didasarkan pada luas wilayah dan perhitungan penduduk per unit kegiatan dari
sebuah BWP atau perhitungan rasio penduduk terhadap kapasitas atau skala pelayanan
prasarana dan sarana wilayah perencanaan atau intensitas pemanfaatan ruang terhadap daya
dukung prasarana/utilitas serta analisis daya dukung wilayah.
4. Dalam analisis sumber daya buatan perlu dianalisis cost benefit ratio terhadap program
pembangunan sarana dan prasarana tersebut. Analisis sumber daya buatan sangat terkait erat
dengan perkembangan dan pemanfaatan teknologi.
5. Analisis ini digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan RDTR dan peraturan zonasi.

Adapun metode analisis sumber daya buatan, yaitu:

A. Analisis Perkiraan Kebutuhan Pengembangan Utilitas


Termasuk di dalam sistem prasarana wilyah adalah prasarana energi/listrik, telekomunikasi,
pengelolaan lingkungan (seperti sampah, air limbah dan air minum), prasarana kota, dan
sebagainya. Identifikasi dimaksudkan untuk menemui dan mengenali fungsi, kondisi, dan
tingkat pelayanan prasarana wilayah tersebut. Kebutuhan data yang harus dipenuhi adalah
pola jaringan, kapasitas volume, pelayanan, serta lokasi, fungsi dan kapasitas instalasi.

Metode kebutuhan prasarana dilakukan berdasarkan :

1. Penetapan jenis dan jumlah prasarana.


2. Standar teknis perencanaan kebutuhan prasarana berdasarkan jumlah penduduk
pendukung prasarana tersebut.
3. Standar perhitungan masing-masing prasarana, diantaranya :
a. Kriteria Perencanaan Air Baku yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Cipta
Karya (1994)
b. Permendagri No. 23 Tahun 2006, Standar Kebutuhan Pokok Air Minum
c. SNI 19-6728. 1-2002 tentang Penyusunan Neraca Sumber Daya – Bagian 1 :
Sumber Daya Spasial
d. SNI 02-2406-1991,Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Perkotaan
e. SNI 19-2454-1991,Tata Cara Pengolahan Teknik Sampah Perkotaan
f. SNI 3242 : 2008, Pengelolaan Sampah di Permukiman

Metode penempatan dilakukan berdasarkan :

 Jaringan atau penempatan prasarana yang ada pada saat ini.


 Kebijakan pembangunan prasarana wilayah
 Kriteria lokasi prasarana
 Hubungan fungsional antara sarana dan prasarana dan antar prasarana melalui matrik
hubungan fungsional

Secara umum dapat dilakukan analisis dengan metode/teknik seperti berikut :

a) Air Bersih

Menghitung Kebutuhan Air Bersih Domestik (Q dom)

P x q
Q dom =
Dimana: 86.400 dt
Q dom = kebutuhan air bersih domestik (ltr/dtk atau m3/dtk)
q = standar kebutuhan air (ltr/org/hari)
P = jumlah penduduk (jiwa)
Menghitng Kebutuhan Air Bersih Non Domestik (Q non dom)
5% x Q dom
Menghitung Jumlah Kebocoran
20% x (Q dom + Q Non Dom)
Menghitung Kebutuhan Sambungan Rumah (SR) dan Hidran Umum (HU)

 P x 20%
SR =
100 org
 P x 80%
HU =
5 org

b) Sistem Persampahan
Menghitung Volume Timbulan Sampah
VT =  p x  s
Dimana:
VT = Volume timbulan sampah (m3/ hari)
p = Jumlah penduduk (jiwa)
s = Jumlah timbulan sampah perkapita per hari (lt/org/hari)
Menghitung Tingkat Pelayanan

PL = VTA x 100%
VT
Dimana:
VTA = Volume timbulan sampah terangkut (m3/ hari)
VT = Volume timbulan sampah (m3/ hari)
PL = Tingkat pelayanan
Menghitung Kebutuhan Truk Sampah

T = VTA
VTR x RTR

Dimana:
T = Kebutuhan truk (unit)
VTA = Volume timbulan sampah terangkut (m3/ hari)
VTR = Volume timbulan sampah (m3/ hari)
RTR = Rotasi truk (rit/ hari)
Menghitung Kebutuhan Container

P x VL
C =
VC
Dimana:
C = Kebutuhan container (unit)
P = Pelayanan dengan container (%)
VL = Volume timbulan sampah (m3/ hari)
VC = Volume container (m3)
Menghitung Luas TPA

VL x To
L TPA =
t x d

Dimana:
L TPA = Luas TPA (Ha)
VL = Volume timbulan sampah (m3 / hari)
To = Lamanya waktu beroperasinya TPA (tahun)
t = Ketebalan
d = Density (faktor pemadatan) = 0.5

c) Air Kotor atau Limbah

Menghitung Volume Septik Tank


Va = Q x O x T
V1 = O x l x p
VT = Va + V1 + ¼ . VT
Dimana:
Va = Volume air dalam tangki (m3)
V1 = Volume lumpur mengendap (m3)
VT = Volume septik tank
Q = Debit air limbah lt/ort/hari
T = Waktu retensi, hari
O = Banyaknya orang membuang kotorannya
l = Banyaknya lumpur 0.096 lt/org/hr atau 40 lt/org/tahun
p = Periode pengurasan
¼ VT = Volume udara/ kosong

Menghitung Volume Cubluk

V = 1.33 x K x O x J
Dimana:
V = Isi cubluk (m3)
K = Kapasitas cubluk (m3/org/tahun)
O= Jumlah orang menggunakan cubluk (jiwa)
J = Jumlah tahun digunakannya cubluk sebelum dikosongkan

Perhitungan Jumlah Timbulan Tinja

V tinja = ( r x p ) x 1,4 m3 tahun


Dimana:
V tinja = Volume timbulan tinja (m3/tahun)
R = Rumah yang menggunakan septik tank (85%)
p = Jumlah penduduk per rumah (jumlah penduduk/5)

Jumlah Vacum Truk


V tinja
Vc truk =
( Va x t x h )

Dimana:
Vc truk = Jumlah vacum truk (unit)
V tinja = Volume timbulan tinja (m3/tahun)
Va = Volume 1 unit vacum truk (4m3/unit)
t = Rotasi (2 kali/hari)
h = Hari operasi (800 hari/tahun)

d) Drainase

Besarnya debit yang dialirkan saluran

Keterangan :
Q = Debit aliran puncak (m3 / detik)
C = Koefisien air permukaan (run off)
I = Intensitas hujan (mm / jam)
A = Daerah aliran (ha)

Besarnya Intensitas Hujan

R 24
I = x ( 24 / t ) 2 / 3
24

Dimana:
I = Intensitas hujan (mm/jam) besarnya intensitas dapat dilihat padat tabel
intensitas hujan
R24 = Tinggi curah hujan (mm/jam)

Waktu Konsentrasi

Tc = t1 + t2
t1 = (2/3 x 3.28 x Lo nd/s )0.167
t2 = L/ 60 x V

Dimana:
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
Lo = Jarak titik terjauh ke saluran (m)
L = Panjang saluran (m)
Nd = Koefisien hambatan (0,013 s.d 0,80)
s = Kemiringan
V = Kecepatan rata-rata di saluran (m/dtk)

Dimensi Saluran

Q = A x V
V = ( n x V / R 2/3 ) 2
Dimana:
Q = Debit saluran (m3/dtk)
V = Kecepatan aliran (m/dtk)
A = Luas penampang saluran (m2)
R = Jari-jari hidrolis
I = Kemiringan saluran
n = Koefisien manning:
 Pasang batu kali n = (0,017 – 0,035)
 Saluran tanah n = (0,017 – 0,045)
 Saluran beton n = (0,010 – 0,021)

Kecepatan aliran dalam saluran ditentukan berdasarkan kecepatan minimum dan


maksimum, tergantung kepada material yang digunakan. Kecepatan aliran untuk
saluran yang direncanakan (material beton atau batu kali) adalah antara 0,6 – 2
m/dtk.

1. Kemiringan Saluran

Kemiringan dasar saluran direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat


memberikan pengaliran secara gravitasi dengan batas kecepatan minimum tidak
boleh terjadi pengendapan, dan dengan kecepatan maksimum tidak boleh terjadi
perusakan pada dasar saluran maupun dinding saluran.

2. Bentuk Saluran

Sebagaimana telah direncanakan untuk sistem penyaluran air hujan, maka


bentuk saluran yang digunakan adalah bentuk trapesium. Faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam pemilihan bentuk saluran ini adalah tata guna tanah,
kemampuan pengaliran, dan kemudahan pembuatan dan pemeliharaan.

e) Listrik

Kebuhan Daya Listrik Untuk Seluruh Rumah


D = (Rt x Dt ) /1000
Rt = P x tr
Dimana:
D = Kebutuhan daya listrik untuk seluruh rumah (KW)
Rt = Jumlah rumah
P = Jumlah penduduk
tr = Tipe besar, sedang, kecil ( 1 : 3 : 6 )
Dt = Daya listrik berdasarkan tipe rumah besar, sedang, kecil ( 1300 watt, 900
watt, 450 watt)
R = Jari-jari hidrolis

Kebutuhan Daya Listrik Untuk Sarana Perkotaan

Ds = 25% x Tr
Dimana:
Ds = Kebutuhan daya listrik untuk sarana perkotaan (KW)
Tr = Total kebutuhan daya listrik seluruh rumah

Kebutuhan Daya Listrik Untuk Penerangan Jalan

Djl = 15% x Tr
Dimana:
Djl = Kebutuhan daya listrik untuk penerangan jalan (KW)
Tr = Total kebutuhan daya listrik seluruh rumah

f) Telepon

Kebutuhan Sambungan Telepon

T = Trt + Tsu + Twartel + Twarnet

Dimana:
T = Kebutuhan sambungan telepon (sambungan)
Trt = Kebutuhan telepon untuk rumah tangga (4 : 100 penduduk)
Tsu = Kebutuhan telepon untuk sarana umum (3% dari jumlah rumah
tangga)
Tumum = Kebutuhan telepon umum (1 : 3.000 penduduk)
Twartel = Kebutuhan telepon untuk wartel (1 : 3.000 penduduk)
Twarnet = Kebutuhan telepon untuk warnet (1 : 12.000 penduduk)
P = Jumlah penduduk
RK = Rumah kabel (1.500 sst/unit)

Kebutuhan Sambungan Telepon Untuk Rumah Tangga

Trt = (P x 4) / 100
Kebutuhan Sambungan Telepon Sarana Sosial dan Umum
Tsu = (3% x Trt)
Kebutuhan Sambungan Telepon Umum
Tumum = (P x 1) /3.000
Kebutuhan Sambungan Untuk Wartel
Twartel = (P x 1) /3.000
Kebutuhan Rumah Kabel
RK = T / 1.500
Kebutuhan STTO
STTO = P / 20.000

B. Analisis Perkiraan Kebutuhan Pengembangan Sarana/Fasilitas


Analisis dilakukan untuk mengatur kebutuhan distribusi, luas lahan dan ukuran fasilitas yang
diatur dalam struktur zona dan blok peruntukan. Komponen analisa terdiri dari fasilitas sosial
dan umum, ekonomi, budaya dan kebutuhan fasilitas penunjang kegiatan agrobisnis dan
agroindustri.

Untuk memperkirakan kebutuhan saranan/fasilitas, digunakan beberapa model kebutuhan


fasilitas yang bersumber dari :

 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan


Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang;
 Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 tentang
Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan
dan Permukiman dan Pekerjaan Umum.
 Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 403/KPTS/M/2002 tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat).
 RTRW Kabupaten Ciamis
 SNI Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan, SNI 03-1733-2004.

Metode dalam menentukan penempatan sarana/fasilitas, terdiri dari :


 Lokasi yang ada pada saat ini;
 Kebijakan, rencana dan program pembangunan fasilitas;
 Kriteria lokasil; dan
 Hubungan fungsional sarana melalui matrik hubungan fungsional dna keterdekatan
sarana/fasilitas

Selain menentukan kebutuhan sarana/fasilitas yang akan dikembangkan, maka dilakukan pula
tingkat pelayanan fasilitas. Analisis ini dipergunakan untuk mengetahui kemampuan suatu
fasilitas di dalam melayani kebutuhan penduduknya. Untuk mengetahui kelengkapan fasilitas
umum suatu kota. Model analisis ini adalah:
TPij = aij / bij X 100 %

Cis

Dimana:
Tpij = Tingkat pelayanan fasilitas i di kota j
aij = Tingkat fasilitas i di kota j
bij = Jumlah penduduk i di kota j
Cis = Jumlah fasilitas i persatuan penduduk menurut standar kota dipergunakan
Dengan cara perhitungan di atas dapat diketahui pelayanan setiap fasilitas.

E.2.4.10. Metode Analisis Kondisi Lingkungan Binaan;

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis kondisi lingkungan binaan, yaitu:

1. Analisis kondisi lingkungan binaan dilakukan untuk menciptakan ruang yang berkarakter,
layak huni dan berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan, dan sosial.
2. Analisis kondisi lingkungan binaan didasarkan pada kondisi fisik kawasan perencanaan dan
kriteria lokal minimum.
3. Analisis kondisi lingkungan binaan tersebut meliputi:
a. Analisis figure and ground
b. Analisis aksesibilitas pejalan kaki dan pesepeda
c. Analisis ketersediaan dan dimensi jalur khusus pedestrian
d. Analisis karakteristik kawasan (langgam bangunan)
e. Analisis land use
f. Analisis ketersediaan ruang terbuka hijau dan non hijau
g. Analisis vista kawasan (pelataran pandang)
h. Analisis tata massa bangunan
i. Analisis intensitas bangunan
j. Analisis land value capture (pertambahan nilai lahan)
k. Analisis kebutuhan prasarana dan sarana sesuai standar (jalan, jalur pejalan kaki, jalur
sepeda, saluran drainase, dan lainnya)
l. Analisis cagar budaya
4. Analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan konsep ruang.

Sebagai upaya menciptakan kawasan perkotaan yang menciptakan kesan serasi terhadap
lingkungan, maka pengolahan terhadap kebutuhan penataan intensitas pemanfaatan lahan dan tata
masa bangunan yang lebih lanjut diatur dalam rencana desain kawasan (RTBL), maka analisis
penentuan intensitas dan tata masa bangunan di kawasan perencanaan adalah sebagai berikut :

1. Analisis Figure And Grownd


Analisa ini bertujuan untuk mengetahui tekstur dan pola-pola tata ruang perkotaan serta untuk
mengetahui sebuah tatanan keteraturan massa atau ruang perkotaan. Pada analisa Figure And
Grownd yang akan dilakukan ini lebih mengarah pada tekstur yang ada di BWP Perkotaan.
Untuk melihat tekstur BWP Perkotaan dapat diketahui dengan Nearest Neighbour Analysis
(analisa tetangga terdekat). Analisis tetangga terdekat adalah sebuah analisis untuk
menentukan suatu pola permukiman. Dengan menggunakan perhitungan analisis tetangga
terdekat, sebuah permukiman dapat ditentukan polanya, misalnya pola mengelompok, tersebar
ataupun seragam. Analisis tetangga terdekat memerlukan data tentang jarak antara satu
permukiman dengan permukiman yang paling dekat yaitu permukiman tetangganya yang
terdekat. Pada hakekatnya, analisis tetangga terdekat digunakan untuk daerah dimana antara
satu permukiman dengan permukiman lain tidak ada hambatan-hambatan alamiah yang belum
dapat teratasi, misalnya jarak antara dua permukiman yang relatif dekat tetapi dipisahkan oleh
jurang atau sungai besar. Selain itu, analisa tetangga terdekat (nearest neigbour analysis)
dapat digunakan untuk mengetahui pola sebaran kepadatannya yang dapat diperoleh dengan
cara menghitung indeks pola persebaran titik menggunakan rumus yang dikemukakan oleh
Bintarto dan Surastopo (Metode Analisa Geografi), yaitu :

Ju
T=
Jh

Keterangan
T = Indeks nilai tetangga terdekat (Nearest Neigbour Analysis)
Ju = Jarak rata-rata tetangga terdekat (km), mengunakan rumus sebagai berikut :

Jh = Jarak rata-rata titik objek (km) , mengunakan rumus sebagai berikut :

untuk mendapatkan Semakin mendekati nilai T=0 maka pola yang terbentuk adalah mengelompok,
semakin mendekati nilai T=2,15 maka pola yang terbentuk adalah uniform/regular/seragam.
Adapun klasifikasi Indeks nilai tetangga terdekat (Nearest Neigbour Analysis) dapat dilihat pada
tabel dan gambat berikut.
Tabel 6.18. Klasifikasi Indeks Nilai Tetangga Terdekat (Nearest Neigbour Analysis)

T Pola
0 - 0,7 Mengelompok
0,71 - 1,4 Acak
1,41 - 2,15 Seragam atau menyebar
Sumber : Bintarto dan Surastopo (Metode Analisa Geografi) tahun 1979

2. Aksesbilitas Pejalan Kaki Dan Pesepeda


Kondisi perlengkapan jalan di BWP Perkotaan pada saat ini belum memiliki jalur khusus
untuk pejalan kaki maupun pesepeda. Oleh karena itu mengacu kepada Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas
Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan serta mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan
Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki Di Kawasan Perkotaan, maka perlu direncanakan
akses untuk jalur pejalan kaki maupun pesepeda.

Keberadaan jalur pejalan kaki tidak hanya sekedar sebagai pemberi kesan pada sebuah kota,
namun memiliki fungsi utama yaitu sebagai wadah bagi pejalan kaki untuk dapat bergerak dan
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan aman dan nyaman, tanpa ada rasa takut
baik terhadap sesama pengguna jalur tersebut maupun terhadap kendaraan Adapun kawasan
yang memerlukan jalur pejalan kaki adalah sebagai berikut sekitar kawasan perdagangan dan
jasa skala pusat kawasan, dan sekitar kawasan industri.

3. Analisis Ketersediaan Dan Dimensi Jalur Khusus Pedestrian


Menurut Menteri Pekerjaan Umum No. 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan,
Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki Di Kawasan
Perkotaan, ketersediaan dan dimensi jalur khusus pedestrian, meliputi:

a. Fasilitas Sarana Ruang Pejalan kaki


Fasilitas Sarana Ruang Pejalan kaki meliputi sarana ruang pejalan kaki adalah drainase,
jalur hijau, lampu penerangan, tempat duduk, pagar pengaman, tempat sampah, marka
dan perambuan, papan informasi (signage), halte/shelter bus dan lapak tunggu, serta
telepon umum. Persyaratan teknis penyediaan sarana ruang pejalan kaki diatur dalam
Keputusan Menteri Perhubungan tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan: KM 65 Tahun 1993.

 Drainase: Drainase terletak berdampingan atau dibawah dari ruang pejalan kaki.
Drainase berfungsi sebagai penampung dan jalur aliran air pada ruang pejalan kaki.
Keberadaan drainase akan dapat mencegah terjadinya banjir dan genangan-genangan
air pada saat hujan. Dimensi minimal adalah lebar 50 centimeter dan tinggi 50
centimeter.
 Jalur hijau: Jalur hijau diletakan pada jalur amenitas dengan lebar 150 centimeter
dan bahan yang digunakan adalah tanaman peneduh.
 Lampu Penerangan: Lampu penerangan diletakkan pada jalur amenitas. Terletak
setiap 10 meter dengan tinggi maksimal 4 meter, dan bahan yang digunakan adalah
bahan dengan durabilitas tinggi seperti metal & beton cetak.
 Tempat Duduk: Tempat duduk diletakan pada jalur amenitas. Terletak setiap 10
meter dengan lebar 40-50 centimeter, panjang 150 centimeter dan bahan yang
digunakan adalah bahan dengan durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.
 Pagar pengaman : Pagar pengaman diletakan pada jalur amenitas. Pada titik tertentu
yang berbahaya dan memerlukan perlindungan dengan tinggi 90 centimeter, dan
bahan yang digunakan adalah metal/beton yang tahan terhadap cuaca, kerusakan,
dan murah pemeliharaannya.
 Tempat Sampah : Tempat sampah diletakan pada jalur amenitas. Terletak setiap 20
meter dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang digunakan adalah bahan
dengan durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.
 Marka, Perambuan, Papan Informasi (Signage) : Marka dan perambuan, papan
informasi (signage) diletakan pada jalur amenitas, pada titik interaksi sosial, pada
jalur dengan arus pedestrian padat, dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan
yang digunakan terbuat dari bahan yang memiliki durabilitas tinggi, dan tidak
menimbulkan efek silau.
 Halte/Shelter Bus dan Lapak Tunggu : Halte/shelter bus dan lapak tunggu diletakan
pada jalur amenitas. Shelter harus diletakan pada setiap radius 300 meter atau pada
titik potensial kawasan, dengan besaran sesuai kebutuhan, dan bahan yang
digunakan adalah bahan yang memilikibdurabilitas tinggi seperti metal.

b. Ukuran dan Dimensi Prasarana Ruang Pejalan Kaki


Lebar efektif minimum jaringan pejalan kaki berdasarkan kebutuhan orang adalah 60
centimeter ditambah 15 centimeter untuk bergoyang tanpa membawa barang, sehingga
kebutuhan total minimal untuk 2 (dua) orang pejalan kaki berpapasan menjadi 150
centimeter. Untuk arcade dan promenade yang berada di daerah pariwisata dan komersial
harus tersedia area untuk window shopping atau fungsi sekunder minimal 2 meter. Lebar
jaringan pejalan kaki berdasarkan lokasi menurut Keputusan Menteri Perhubungan No.
KM 65 Tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 6.19. Lebar Jaringan Pejalan Kaki Berdasarkan Lokasi

No Lokasi ruang pejalan kaki Lebar


minimal
1. Jalan di daerah perkotaan atau kaki lima 4 meter
2. Di wilayah perkantoran utama 3 meter
3. Di wilayah industri
pada jalan primer 3 meter
pada jalan akses 2 meter
4. Di wilayah pemukiman
pada jalan primer 2,75 meter
pada jalan akses 2 meter
Sumber : Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan

Ruang pejalan kaki memiliki perbedaan ketinggian baik dengan jalur kendaraan bermotor
ataupun dengan jalur hijau. Perbedaan tinggi maksimal antara ruang pejalan kaki dan
jalur kendaraan bermotor adalah 20 centimeter. Sementara perbedaan ketinggian dengan
jalur hijau 15 centimeter. Untuk ketetapan-ketetapan lainnya disesuaikan dengan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis
Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

4. Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Dan Non Hijau


Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang atau jalur dan atau mengelompok yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Permen PU No. 5 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan). Secara
Fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami dapat berupa habitat liar alami, kawasan
lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan
olahraga, pemakaman atau jalur-jalur hijau jalan. Dilihat dari fungsinya RTH dapat berfungsi
ekologis, sosial budaya, estetika dan ekonomi. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti
pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti
hirarki dan struktur ruang perkotaan. Dari segi kepmilikan, RTH dibedakan ke dalam RTH
publik dan RTH privat.

Penyediaan Ruang Terbuka Hijau bertujuan untuk menjaga ketersediaan lahan sebagai
kawasan resapan air, menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara
lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat dan
meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan
perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih. Berdasarkan kepemilikan, RTH
dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat. Ruang Terbuka Hijau Publik maupun Privat
memiliki beberapa fungsi utama seperti fungsi ekologis serta fungsi tambahan, yaitu sosial
budaya, ekonomi, estetika/arsitektural. Khusus untuk RTH dengan fungsi sosial seperti tempat
istirahat, sarana olahraga dan atau area bermain, maka RTH ini harus memiliki aksesibilitas
yang baik untuk semua orang, termasuk aksesibilitas bagi penyandang cacat. Zona Ruang
terbuka Hijau ditetapkan dengan tujuan mempertahankan atau melindungi lahan untuk
ketersediaan ruang resapan, rekreasi di luar bangunan, sarana pendidikan dan untuk dinikmati
nilai-nilai keindahan visualnya. Zona RTH perkotaan dikelompokkan dalam Zona seperti
tabel di berikut:

Tabel 6.20. Klasifikasi RTH Berdasarkan Kepemilikan

RTH RTH
No Jenis
Publik Privat
1. RTH Pekarangan
a. Pekarangan rumah Tinggal √
b. Halaman perkantoran, pertokoan dan tempat usaha √
c. Taman Atap bangunan √
2. RTH Taman dan Hutan Kota
a. Taman RT √ √
b. Taman RW √ √
c. Taman Kelurahan √ √
d. Taman Kecamatan √ √
e. Taman Kota √
f. Hutan Kota √
g. Sabuk Hijau (green belt) √
3. RTH Jalur Hijau Jalan
a. Pulau jalan dan median jalan √ √
b. Jalur pejalan kaki √ √
c. Ruang dibawah jalan layang √
4. RTH Fungsi Tertentu
a. RTH sempadan REL Kereta Api √
b. Jalur Hijau Jaringan Listrik Tegangan Tinggi √
c. RTH Sempadan Sungai √
e. RTH Pengamanan Sumber air Baku/ mata air √
f. Pemakaman √
Sumber : Permen PU No 5 tahun 2008

Ruang Terbuka Hijau Publik adalah area memanjang jalur dan atau mengelompok yang
penggunaannya lebih terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman maupun
yang sengaja ditanam. Ketentuan penggunaan lahan di Ruang terbuka Publik ini diatur dengan
mengacu kepada Permen PU No 5 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan RTH Kawasan Perkotaan dengan ketentuaan 70% merupakan lahan hijau dan
30% sisanya dapat diperkeras sebagai pelantaran atau fasilitas pendukung. RTH Publik
kemudian diklasifikasikan kembali menjadi beberapa bagian yaitu:

a. RTH Taman Kecamatan


RTH Taman Kecamatan merupakan taman aktif dengan fasilitas utama lapangan
olahraga, dengan jalur trek lari disekitarnya, atau dapat berupa taman pasif untuk
kegiatan yang lebih pasif, sehingga lebih didominasi oleh ruang hijau. Luasan minimal
taman kecamatan adalah sebesar 24.000 m2 atau 2,4 Ha yang memberikan kebebasan
bergerak kepada pengguna 0,3 m2. Pada saat ini belum terdapat lokasi taman kecamatan
di wilayah perencanaan, akan tetapi di perencanaan akan diarahkan disediakan Taman
Kecamatan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan publik masyarakat di BWP Cangkuang.

b. RTH Taman Desa


RTH Taman Kecamatan merupakan taman aktif yang dapat difasilitasi berupa lapangan
olahraga, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat keluruhan. Luasan minimal yang harus
dimiliki oleh taman kelurahan adalah sebesar 9000 m2 dengan ruang minimal yang
disediakan untuk pengguna adalah sebesar 0,3 m2. Lokasi yang diarahkan sebagai Taman
Desa berada di semua pusat desa yang berada di BWP Cangkuang, penetapan ini
menyesuaikan kondisi eksisting dimana pada saat ini lokasi tersebut dimanfaatkan
masyarakat sebagai lapangan olahraga.

c. RTH Taman RW
Taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu RW, khusnya kegiatan remaja,
kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan masyarakat lain di RW tersebut. Luas taman
RW minimal 1.250 m2 dengan ruang sebesar 0,5 m2 untuk pengguna beraktifitas. Pada
saat ini di wilayah perencanan belum memiliki taman dengan statsus taman RW untuk
masyarakat.

d. RTH Taman RT
Taman yang ditujukan untuk melayani masyarakat dalam lingkup 1 (satu) RT,
Khususnya untuk melayani kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut.

e. RTH Pemakaman
RTH Pemakaman Umum merupakan zona ruang terbuka hijau yang diperuntukkan
sebagai tempat pelayanan publik untuk penguburan jenazah. Pemakaman juga memiliki
fungsi ekologis yaitu sebagai daerah resapan air, tempat pertumbuhan berbagai jenis
vegetasi, pencipta iklim mikro serta tempat hidup burung, serta fungsi sosial masyarakat
di sekitarnya di antaranya sebagai sumber pendapatan (musiman). Karenanya,
penyediaan RTH pada areal pemakaman umum perlu diupayakan untuk menambah
keindahan kota, meningkatkan kemampuan peresapan air, dan pendukung ekosistem,
sehingga bila keberadaan RTH tertata dengan baik maka dapat dihilangkan kesan angker
pada wilayah tersebut.

f. RTH Jalur Hijau


Jalur Hijau dapat berupa Sempadan Jalan, Jalur SUTT, Penyangga TPA Sampah, dan
Penyangga Pembangkit Listrik PLN. Untuk BWP Cangkuang, RTH Jalur Hijau
diarahkan pada Sempadan Jalan Lintas Sumatera atau Jalan Palembang-Jambi (konsep
green koridor), dan sempadan sungai dawas.

5. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)


Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Blok Peruntukan adalah rasio / perbandingan luas lahan
terbangun (land coverage) dengan luas lahan keseluruhan blok peruntukan. Batasan KDB
dinyatakan dalam persen (%).

Komponen Perhitungan KDB Blok Peruntukan Perhitungan KDB berdasarkan pada luas
wilayah terbangun yang diperkenankan adalah jumlah luas seluruh petak yang digunakan
untuk kegiatan utama.

Dasar pertimbangan Selain mempertimbangkan kecenderungan perkembangan kota dan


rencana pemanfaatan lahan, penentuan KDB juga didasarkan atas kondisi fisik, seperti
kemiringan lereng. Hal ini ditujukan untu menjaga agar sesedikit mungkin lahan miring
dieksploitasi dengan memberikan batasan luas lahan yang boleh dibangun. Makin curam
lahan, makin kecil KDB yang diperkenankan. KDB bisa bias mengatur posisi bangunan dalam
tapak. Konfigurasi dan orientasi bangunan perlu diatur dengan pedoman aturan yang lain
seperti, Garis Sempadan Bangunan (GSB).

Ketentuan KDB Blok berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada rumus di bawah ini :

C = X – (S2/x)

Keterangan :
C =KDB maksimum (dalam %)
X = Maksimum KDB untuk daerah tersebut
S = Kemiringan lereng rata-rata
x = Kemiringan lereng maksimum yg masih diperbolehkan untuk dibangun di wilayah
tersebut.

6. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)

KLB Adalah angka perbandingan jumlah luas seluruh lantai bangunan terhadap luas tanah
(tapak), berguna untuk mengatur rasio/persyaratan tinggi bangunan pada suatu kawasan.
Dalam KLB, ketinggian bangunan diatur sedemikian rupa untuk memperoleh tatanan yang
baik, sehingga pembedaan ketinggian massa pada suatu deretan bangunan hanya
dimungkinkan untuk alasan-alasan lain seperti penghindaran kesan monoton atau mengurangi
rintangan pandangan dari unit-unit sekitarnya.

Koefisien Lantai Bangunan batas maksimum dan minimum suatu bangunan pada setiap blok
peruntukan. Besarnya angka KLB ini ditentukan berdasarkan jumlah tingkat bangunan
dikalikan dengan KDB
Ketentuan KLB adalah sebagai berikut :

a. KLB sangat rendah untuk bangunan tidak bertingkat dan bertingkat maksimum 2 lantai;
b. KLB rendah untuk bangunan bertingkat maksimum 4 lantai;
c. KLB sedang untuk bangunan bertingkat maksimum 8 lantai;
d. KLB tinggi untuk bangunan bertingkat maksimum 9 lantai;
e. KLB sangat tinggi untuk bangunan bertingkat maksimum 20 lantai.

Dalam menghitung KLB perlu diketahui dahulu Luas Lantai Bangunan keseluruhan;
ketentuan perhitungan luas bangunan sebagai berikut :

a. Perhitungan luas lantai adalah jumlah luas lantai yang diperhitungkan sampai batas
dinding terluar termasuk balkon dan mezanin, termasuk lantai dasarnya;
b. Luas lantai mezanin dihitung seperti yang ada hanya apabila luas mezanin tadi melebihi
50% dari luas lantai tipikalnya maka luas lantai mezanin dihitung sama dengan 100%
luas lantai tipikalnya;
c. Bagi lantai mezanin yang luasnya lebih kecil dari 50% luas bangunan tipikalnya, tidak
dihitung sebagai lantai bangunan pada perhitungan ketinggian bangunan tetapi luas lantai
tersebut diperhitungkan pada perhitungan KLB;
d. Overstek yang melebihi lebar 1,5 meter dan bidang mendatarnya digunakan atau tidak
digunakan sebagai lantai bangunan maka luas bidang datarnya dihitung penuh (100%);
e. Overstek yang lebarnya tidak lebih dari 1,5 meter dan bidang mendatarnya tidak
digunakan sebagai lantai bangunan maka luas bidang mendatarnya tidak diperhitungkan;
f. Overstek yang lebarnya tidak lebih dari 1,5 meter dan bidang mendatarnya digunakan
untuk lantai bangunan maka luas bidang mendatarnya dihitung penuh (100%);
g. Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (basement) disamakan dengan batasan luas
lantai dasar untu perhitungan KDB, tetapi lantai basement ini tidak diperhitungkan pada
saat menghitung Luas Lantai Dasar untuk KDB;
h. Dalam perhitungan KLB luas lantai di bawah tanah (basement) diperlakukan seperti luas
lantai di atas tanah.

Perhitungan KLB berdasarkan pada luas tapak yang ada di belakang GSB, ditentukan sebagai
berikut :

a. Dalam perhitungan KLB luas lantai di bawah tanah diperhitungkan seperti luas lantai di
atas tanah;
b. Luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak diperhitungkan dalam
perhitungan KLB asal tidak melebihi 50% dari KLB yang ditetapkan, selebihnya
diperhitungkan 50% terhadap KLB;
c. Lantai bangunan parkir diperkenankan mencapai 150% dari KLB yang ditetapkan;
d. Ramp dan tangga terbuka dihitung 50% selama tidak melebihi 10% dari luas lantai dasar
yang diperkenankan;
e. Batasan perhitungan luas ruang bawah tanah (basement) ditetapkan oleh Kepala Daerah.

7. Koefisien Dasar Hijau (KDH)

Koefisien Dasar Hijau (KDH) Blok Peruntukan adalah rasio perbandingan luas ruang terbuka
hijau blok peruntukan dengan luas blok peruntukan atau merupakan suatu hasil pengurangan
antara luas blok peruntukan dengan luas wilayah terbangun dibagi dengan luas blok
peruntukan. Batasan KDH dinyatakan dalam persen (%)

Penggunaan :

a. Penentuan KDH adalah untuk menyediakan ruang terbuka hijau sebagai kawasan
konservasi, untuk mengurangi erosi dan run off air hujan yang tinggi, serta menjaga
keseimbangan air tanah

b. Ruang terbuka hijau / ruang bebas juga dipertimbangkan untuk penempatan jaringan
utilitas umum

 Rencana blok peruntukan agar mempertimbangkan ruang bebas yang dapat


ditempatkan di sepanjang garis belakang, depan, atau samping petak, untuk keperluan
penempatan jaringan utilitas umum, seperti jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan
air kotor/limbah, jaringan drainase, dan jaringan air bersih;
 Ruang bebas yang diperlukan untuk keperluan penempatan jaringan utilitas umum
tersebut adalah minimum 2 meter;
 Ruang bebas tersebut merupakan ruang yang dimiliki oleh masing-masing pemilik
blok peruntukan, namun penggunaannya hanya untuk penempatan pelayanan jaringan
utilitas umum.
 Ruang terbuka di antara GSJ dan GSB harus dipergunakan sebagai unsur penghijauan
dan atau daerah peresapan air hujan serta kepentingan umum lainnya .

Ketentuan : Besarnya ruang terbuka hijau didasarkan pada luas lahan yang tidak boleh
di-grading berdasarkan kemiringan lereng

8. Kepadatan Bangunan
Kepadatan Bangunan ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
AF
KDB =
AL

KLB = 1,67 ( 1 – KDB )

AF
n = ( - 1 ) x 1,67
AL

Dimana:
KDB = Koefisien Dasar Bangunan (%)
AF = Luas Dasar Bangunan (m2)
AL = Luas Lahan (Ha)
n = Jumlah Lantai Bangunan (lantai)
KLB = Koefisien Lantai Bangunan (%)

9. Kepadatan Penghuni

Kepadatan penghuni ditentukan dari kebutuhan luas lantai bagi setiap orang dan jumlah orang
per hektar

a. Kebutuhan Luas Lantai

Kebutuhan luas lantai bagi setiap orang, yang terdiri dari: lantai untuk hunian dan 20%
dari luas lantai untuk keperluan lalu lintas. Kebutuhan luas lantai untuk setiap satu orang:

KL = 6 m3 + ( 20% x 6 m ) = 7,2 m2

b. Jumlah Orang Per Hektar

Jumlah orang per hektar tergantung dari koefisien lantai bangunan


 AF = KLB x AL
 AF max =  AF/7,2 jiwa/Ha
U =  AF max/5 jiwa
Dimana:
 AF = Kepadatan penghuni (m2)
 AF max = Kepadatan penghuni maksimum (jiwa/ha)
U = Jumlah unit per hektar (unit/ha)
AL = Luas lahan (Ha)
10. Garis Sempadan Bangunan (GSB)

Pada Garis Sempadan Bangunan (GSB) minimum untuk setiap bangunannya mempunyai
perbedaan-perbedaan ini berdasarkan sarana jaringan jalan yang melintasi bangunan tersebut.
Untuk jarak antar bangunan ditentukan berdasarkan keselamatan, misalnya bila terjadi
kebakaran pada satu rumah tidak akan menjalar kerumah yang ada disamping kanan-kirinya
maupun di belakangnya, tetapi jarak antar bangunan sebaiknya juga memperhatikan hubungan
sosial antar masyarakat sekitar. Penempatan Garis Sempadan Bangunan (GSB) berkaitan
dengan lebar jalan (daerah milik jalan/damija atau Right of Ways/RoW). Berdasarkan
Peraturan Bangunan Nasional (DPMB) yang dikeluarkan Dirjen Cipta Karya Departemen PU
secara umum perhitungan penentuan Garis Sempadan Bangunan adalah :

GSB = ½ x L +1

Keterangan :

L= Lebar Jalan (Meter)

GSB = Garis Sempadan Bangunan (Meter)

Berdasarkan aturan yang ada maka arahan pengembangan GSB di kawasan perencanaan
dengan ½ ROW berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan (pasal 40 – 44) meliputi :

 Untuk semua bangunan yang menghadap pada koridor Jalan Kolektor Primer di
Kecamatan maka GSB di tetapkan yaitu minimal ½ ROW dimana ROW Jalan Kolektor
Primer adalah 15 m sehingga GSB yang di tetapkan minimal 8 m dengan GSB samping
minimal 3 m dan GSB Belakang minimal 3 m.

 Untuk semua bangunan yang menghadap pada koridor jalan yang memiliki lebar jalan 11
meter maka GSB di tetapkan minimal 6 m sehingga GSB yang di tetapkan minimal 6 m
dengan GSB samping minimal 3 m dan GSB Belakang minimal 3 m.

 Untuk semua bangunan yang menghadap ke koridor jalan yang memiliki rencana lebar
jalan 7 m maka GSB min ditetapkan minimal 4 m dengan GSB samping minimal 2 m dan
GSB Belakang minimal 2 m.

 Untuk Bangunan yang menghadap pada koridor Jalan yang memiliki lebar jalan 5 m maka
GSB min di tetapkan 3 m dengan GSB samping minimal 1,5 m dan GSB belakang
minimal 1 m.

 Untuk Bangunan yang menghadap pada koridor Jalan yang memiliki lebar jalan 2 meter
maka GSB min di tetapkan 2 m dengan GSB samping minimal 1 m dan GSB belakang
minimal 1 m.
11. Penentuan Tinggi Bangunan

Tinggi bangunan adalah tinggi suatu bangunan atau bagian bangunan, yang diukur dari rata-
rata permukaan tanah sampai setengah ketinggian atap miring atau sampai puncak dinding,
dipilih yang tertinggi. Jarak bangunan adalah jarak yang terkecil, diukur di antara permukaan-
permukaan denah dari bangunan-bangunan atau jarak antara dinding terluar yang berhadapan
antara dua bangunan.

E.2.4.11. Metode Analisis Kelembagaan;

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis kelembagaan, yaitu:

1. Analisis kelembagaan dilakukan untuk memahami kapasitas pemerintah kota dalam


menyelenggarakan pembangunan yang mencakup struktur organisasi dan tata laksana
pemerintahan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana kerja, produk-produk pengaturan
serta organisasi nonpemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat.
2. Analisis diharapkan menghasilkan beberapa bentuk dan operasional kelembagaan di BWP
sehingga semua pihak yang terlibat dapat berpartisipasi dalam perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
3. Analisis ini digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan RDTR dan peraturan zonasi.

E.2.4.12. Metode Analisis Pembiayaan Pembangunan.

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis pembiayaan pembangunan, yaitu:

1. Analisis pembiayaan pembangunan dilakukan untuk mengidentifikasi besar pembelanjaan


pembangunan, alokasi dana terpakai, dan sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang
terdiri dari :
a. pendapatan asli daerah;
b. pendanaan oleh pemerintah;
c. pendanaan dari pemerintah provinsi;
d. investasi swasta dan masyarakat;
e. bantuan dan pinjaman luar negeri; dan
f. sumber-sumber pembiayaan lainnya

2. Analisis pembiayaan juga menghasilkan perkiraan besaran kebutuhan pendanaan untuk


melaksanakan rencana pembangunan wilayah kota yang diterjemahkan dalam usulan program
utama jangka menengah dan jangka panjang.
3. Analisis ini digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan RDTR terkait rencana
pemanfaatan ruang (program utama).

E.2.4.13. Metode Analisis Peraturan Zonasi

Berdasarkan Permen ATR/Kepala BPN No. 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR
dan PZ Kabupaten/Kota, metode analisis peraturan zonasi, yaitu:

1. Analisis karakteristik peruntukan zona/sub zona berdasarkan kondisi yang diharapkan


dilakukan untuk mengidentifikasi definisi dan kualitas lokal minimum pada masing-masing
zona/sub zona serta menjadi rumusan bagi:
a. ketentuan penggunaan lahan;
b. ketentuan intensitas pemanfaatan ruang;
c. ketentuan tata bangunan; dan/atau
d. ketentuan khusus.
2. Analisis jenis dan karakteristik kegiatan eksisting dan perkembangannya dilakukan untuk
mengidentifikasi kegiatan yang ada saat ini, kegiatan yang direncanakan, dan/atau kegiatan
yang mungkin timbul akibat rencana yang disusun. Analisis ini digunakan sebagai dasar
dalam:
a. rumusan tabel atribut kegiatan untuk peta zonasi;
b. perumusan ketentuan kegiatan; dan/atau
c. penentuan kebutuhan TPZ.
3. Analisis kesesuaian kegiatan terhadap zona/sub zona dilakukan untuk mengidentifikasi
kompatibilitas kegiatan dengan zona/sub zona serta kompatibilitas kegiatan dengan kualitas
lokal minimum zona/sub zona. Analisis ini merupakan dasar dalam perumusan ketentuan
kegiatan dan penggunaan lahan (matriks ITBX).
4. Analisis dampak kegiatan terhadap jenis peruntukan/zona/sub zona dilakukan sebagai dasar
dalam:
a. perumusan ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan (matriks ITBX);
b. penentuan kebutuhan TPZ.
5. Analisis pertumbuhan dan pertambahan penduduk pada suatu zona dilakukan sebagai dasar
penentuan kebutuhan prasarana dan sarana minimum/maksimum di setiap zona/sub zona.
Analisis ini juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi standar teknis dari sektor- sektor
terkait.
6. Analisis gap antara kualitas peruntukan/zona/sub zona yang diharapkan dengan kondisi
eksisting dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi dengan karakteristik spesifik yang
membutuhkan pengaturan yang berbeda. Analisis ini merupakan dasar dalam perumusan
ketentuan khusus serta dapat menjadi masukan bagi analisis kewenangan dalam perencanaan,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
7. Analisis karakteristik spesifik lokasi dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi dengan
karakteristik spesifik yang membutuhkan pengaturan yang berbeda. Analisis ini dilakukan
sebagai dasar perumusan dalam:
a. ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan (matriks ITBX);
b. ketentuan khusus;
c. kebutuhan TPZ.
8. Analisis ketentuan atau standar setiap sektor terkait dilakukan untuk mengidentifikasi
kebutuhan prasarana minimum/maksimum dan standar- standar pemanfaatan ruang. Analisis
ini dilakukan sebagai dasar perumusan dalam:
a. Standar teknis;
b. Ketentuan sarana dan prasarana minimum.
9. Analisis kewenangan dalam perencanaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Analisis ini dilakukan sebagai dasar perumusan dalam ketentuan pelaksanaan.

E.2.5. Tahapan Perumusan Konsep RDTR dan Muatan PZ

Perumusan Konsep RDTR dan Muatan PZ yang tertuang dalam Permen ATR/Kepala BPN No. 16
Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan PZ Kabupaten/Kota, yaitu:

A. Perumusan Konsep RDTR


Perumusan konsep RDTR dilakukan dengan:

1. Mengacu pada RTRW;


2. Mengacu pada pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
3. Memperhatikan RPJP kabupaten/kota dan RPJM kabupaten/kota.

Konsep RDTR dirumuskan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya
dengan menghasilkan beberapa alternatif konsep RDTR, yang berisi:

1. Rumusan tentang tujuan penataan BWP; dan


2. Konsep struktur internal BWP.

Penyusunan alternatif konsep RDTR ini berdasarkan prinsip optimasi pemanfaatan ruang
kawasan perkotaan (ruang darat, ruang laut, ruang udara termasuk ruang di dalam bumi) dan
mempertimbangkan rekomendasi perbaikan hasil pelaksanaan KLHS.

Kegiatan penyusunan konsep RDTR melibatkan masyarakat secara aktif dan bersifat
dialogis/komunikasi dua arah. Dialog dilakukan antara lain melalui konsultasi publik,
workshop, FGD, seminar, dan bentuk komunikasi dua arah lainnya. Konsultasi publik
minimal dilakukan 1 (satu) kali dituangkan dalam berita acara dengan melibatkan perguruan
tinggi, pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Setelah dilakukan beberapa kali iterasi, dipilih alternatif terbaik sebagai dasar perumusan
RDTR. Hasil kegiatan perumusan konsepsi RDTR terdiri atas:

1. Tujuan penataan BWP;


2. Rencana struktur ruang;
3. Rencana pola ruang;
4. Penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya; dan
5. Ketentuan pemanfaatan ruang.

B. Perumusan Muatan PZ
Perumusan muatan peraturan zonasi meliputi:

1. Penentuan delineasi blok peruntukan


2. Perumusan aturan dasar, yang memuat:
a. Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan;
b. Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang;
c. Ketentuan tata bangunan;
d. Ketentuan prasarana minimal;
e. Ketentuan khusus;
f. Standar teknis;
g. Ketentuan pelaksanaan meliputi:
 ketentuan variansi pemanfaatan ruang;
 ketentuan insentif dan disinsentif; dan
 ketentuan penggunaan lahan yang tidak sesuai (non- conforming situation)
dengan peraturan zonasi;
3. perumusan teknik pengaturan zonasi yang dibutuhkan (jika ada).

Hasil kegiatan perumusan muatan PZ terdiri atas:

 Aturan dasar untuk setiap zona/sub zona yang tercantum dalam RDTR; dan
 Teknik pengaturan zonasi (jika ada).

Hasil dari tahap di atas didokumentasikan di dalam Buku Rencana yang merupakan salah satu
bagian dari Materi Teknis RDTR dan PZ.

E.2.6. Tahapan Penyusunan dan Pembahasan Raperda tentang RDTR dan PZ


Penyusunan dan pembahasan Raperda tentang RDTR dan PZ,
Penyusunan dan Pembahasan Raperda tentang RDTR dan PZ Penyusunan dan pembahasan
Raperda tentang RDTR dan PZ, terdiri atas:

1. Penyusunan naskah akademik Raperda tentang RDTR dan PZ;


2. Penyusunan Raperda tentang RDTR dan PZ yang merupakan proses penuangan materi teknis
RDTR dan PZ ke dalam pasal-pasal dengan mengikuti kaidah penyusunan peraturan
perundang-undangan; dan
3. Pembahasan Raperda tentang RDTR dan PZ yang melibatkan pemerintah kabupaten/kota
yang berbatasan dan masyarakat. Rekomendasi perbaikan hasil pelaksanaan KLHS harus tetap
dipertimbangkan dalam muatan Raperda tentang RDTR dan PZ dalam setiap pembahasannya.

Hasil pelaksanaan penyusunan dan pembahasan Raperda tentang RDTR dan PZ, terdiri atas:

a. naskah akademik Raperda tentang RDTR dan PZ;


b. naskah Raperda tentang RDTR dan PZ; dan
c. berita acara pembahasan terutama berita acara dengan kabupaten/kota yang berbatasan.

Kegiatan penyusunan dan pembahasan Raperda tentang RDTR dan PZ melibatkan Masyarakat
dalam bentuk pengajuan usulan, keberatan, dan sanggahan terhadap naskah Raperda RDTR dan
PZ, melalui:

a. media massa (televisi, radio, surat kabar, majalah);


b. website resmi lembaga pemerintah yang berkewenangan menyusun RTRW kota;
c. surat terbuka di media massa;
d. kelompok kerja (working group/public advisory group); dan/atau
e. diskusi/temu warga (public hearings/meetings), konsultasi publik minimal 1 (satu) kali,
workshops, FGD, seminar, konferensi, dan panel.

Konsultasi publik dalam penyusunan dan pembahasan Raperda tentang RDTR dan PZ ini
dilakukan minimal 1 (satu) kali dituangkan dalam berita acara dengan melibatkan perguruan tinggi,
pemerintah, swasta, dan masyarakat.

E.3. KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

E.3.1. Metode Pelaksanaan Pekerjaan

Pada bagian ini dijelaskan mengenai metode pengumpulan dan analisis data serta metode
Penyusunan RDTR BWP Cangkuang. Metode pengumpulan dan analisis data dilakukan mengacu
pada kaidah-kaidah dalam melakukan penelitian, sedangkan metode penyusunan KLHS mengacu
pada PP No. 46 Tahun 2016. Pelaksanaan pengumpulan dan analisis data merupakan hasil kerja
sama dengan tim Penyusunan RDTR BWP Cangkuang Kabupaten Bandung karena penyusunan
dokumen KLHS ini bersifat embeded terhadap Penyusunan RDTR BWP Cangkuang Kabupaten
Bandung.

E.3.2. Metode Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data (survei) yang dilakukan dalam Penyusunan KLHS RDTR Kecamatan
Cangkuang Kabupaten Bandung mencakup 2 jenis kegiatan yang didasarkan pada jenis datanya,
yaitu:

1. Data Primer
Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli (tidak melalui
media perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok,
hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian. Metode
yang digunakan untuk mendapatkan data primer yaitu: (1) metode survei dan (2) metode observasi.
Kegiatan ini terutama bertujuan untuk memperoleh gambaran keadaan yang spesifik diwilayah
studi.
 Metode Survei (Survey Methods)
Metode survei merupakan metode pengumpulan data primer yang menggunakan pertanyaan
lisan dan tertulis. Metode ini memerlukan adanya kontak atau hubungan antara peneliti dengan
subjek (responden) penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan.
Data yang diperoleh sebagian besar merupakan data deskriptif, akan tatapi pengumpulan data
dapat dirancang untuk menjelaskan sebab akibat atau mengungkapkan ide-ide. Umumnya
digunakan untuk mengumpulkan data yang sama dari banyak subjek. Teknik yang digunakan
adalah wawancara, dan kuesioner.
 Metode Observasi (Observation Methods)
Metode observasi adalah proses pencatatan pola perilaku subyek (orang), objek (benda) atau
kejadian yang sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu
yang diteliti. Kelebihan metode ini dibandingkan metode survei adalah data yang dikumpulkan
umumnya tidak terdistorsi, lebih akurat dan bebas dari response bias. Metode ini menghasilkan
data yang lebih rinci mengenai perilaku (subjek), benda atau kejadian (objek).
2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung
melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa
bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder atau informasi yang bersifat
sekunder berupa data-data yang dihasilkan atau dikumpulkan oleh dinas-dinas maupun instansi
sektoral yang terkait. Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang
telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengumpulan data untuk kegiatan penyusunan KLHS
ini adalah:

 Data dan informasi dapat diperoleh dari pemangku kepentingan seperti instansi pemerintah,
perguruan tinggi dan lembaga penelitian;
 Data dan informasi dapat berupa data sekunder maupun primer; Data dan informasi yang
dikumpulkan yang diperlukan saja, khususnya yang terkait dengan isu strategis lingkungan
hidup dan pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati; dan
 Verifikasi data dan informasi perlu dilakukan untuk menjamin keabsahannya.

Informasi sekunder dapat digabungkan dengan data primer yang dikumpulkan melalui diskusi
dengan masyarakat lokal yang memahami wilayah studi, misalnya dengan cara observasi lapangan,
wawancara langsung, diskusi dengan stakeholder atau diskusi kelompok terfokus (FGD) dan
survei. Data dan informasi yang diperoleh dari survei primer dan sekunder, biasanya masih
bersifat kasar, sehingga masih diperlukan adanya pengolahan lebih lanjut sehingga data dan
informasi yang disajikan lebih informatif serta mudah dibaca dan dipahami. Adapun teknik
pengolahan dan penyusunan data didasarkan pada jenis dan sifat data bersangkutan antara lain:

 Data yang sifatnya kuantitatif, diolah dan disusun dengan tabulasi, yang dalam penyajian
akhir berupa tabel- tabel, grafik maupun uraian;
 Data yang bersifat kualitatif, diolah dan disusun secara deskriptif, yaitu berupa uraian yang
menerangkan keadaan data tersebut;
 Data yang sifatnya menunjukkan letak, diolah dan disusun dengan menggunakan peta-peta
data; dan
 Data yang sifatnya menunjukkan suasana, diolah serta disusun yang berupa foto-foto serta
uraian-uraian.
3. Kebutuhan Data

Kebutuhan data dalam Penyusunan KLHS Kabupaten RDTR Kecamatan Cangkuang Kabupaten
Bandung adalah sebagai berikut:

Tabel 6.21. Kebutuhan Data

No. Jenis data/informasi/dokumen Instansi Sumber Data


Bappeda, Dinas Pekerjaan
1 Dokumen perencanaan (RTRW, RPJM, dll.)
Umum dan Penataan Ruang, dll.
Bappeda, Dinas Lingkungan
2 Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Hidup atau Kantor Statistik
(Badan Pusat Statistik), dll.
3 Studi AMDAL yang pernah dilakukan Bappeda, dll.
4 Kecamatan Dalam Angka BPS (Badan Pusat Statistik), dll.
5 Data hasil penelitian Perguruan Tinggi, Lembaga
Pemerintah, LSM, dll.
6 Konsultasi dengan pihak berwenang Instansi Pemerintah, dll.
Masyarakat, Dinas Terkait,
Wawancara melalui tanya jawab langsung ataupun pelaksanaan
7 LSM, praktisi, Perguruan
diskusi/FGD
Tinggi, dll.
Bappeda, Dinas Pekerjaan
8 Dokumen RTRW dan Peta Analisis dan Peta Rencana RTRW
Umum dan Penataan Ruang, dll.
Sumber: Hasil Analisis 2020

E.3.2.1. Metode Analisis Data

Metode Analisis Secara umum analisis yang digunakan dalam Penyusunan KLHS RDTR
Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung yaitu:

1. Metode Kualitatif
Metode ini digunakan untuk menganalisis data yang berbentuk non numerik atau data yang
tidak dapat diterjemahkan dalam bentuk angka-angka, misalnya data mengenai keadaan
sosial masyarakat, politik, kebijaksanaan, budaya dan kondisi fisik alam khususnya yang
terkait dengan isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan. Metode ini digunakan karena
dianggap praktis dan mudah dipahami. Metode ini dapat bersifat:
 Deskriptif
Analisa yang memberikan gambaran pengertian dan penjelasan terhadap kondisi wilayah
studi.
 Normatif
Analisa mengenai keadaan yang seharusnya menurut pedoman ideal atau norma-norma
tertentu. Pedoman atau norma ini dapat berbentuk standar-standar, landasan hukum,
batasan-batasan yang dikeluarkan oleh instansi tertentu.
 Asumtif
Analisa dengan menggunakan asumsi-asumsi atau anggapan-anggapan tertentu yang
dibuat berdasarkan kondisi tertentu dan diperkirakan dapat terjadi dalam waktu yang
relatif lama pada wilayah studi, asumsi ini harus layak dan dapat diterima secara umum.
 Komparatif
Melakukan perbandingan antara berbagai kondisi dan permasalahan untuk mendapatkan
suatu karakteristik struktur wilayah studi. Misalnya membandingkan suatu masalah
dengan masalah lain atau suatu kondisi dengan kondisi lain yang memiliki kesamaan
sehingga dapat diperoleh karakteristik struktur wilayah yang jelas.
2. Metode Kuantitatif
Metode ini digunakan untuk memprediksi serta analisa lain yang sifatnya kuantitatif. Teknik
yang digunakan, yaitu:
 Proyektif
Menganalisis bahwa kebijakan, rencana dan/atau program bukanlah sekedar untuk
memperkirakan apa yang akan terjadi di masa depan, melainkan juga untuk
merencanakan dan mengendalikan langkah-langkah yang diperlukan sehingga menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu
hidup generasi masa kini dan masa depan.
 Ekonomi
Menganalisis potensi dan masalah sektor ekonomi yang terdapat diwilayah studi yang
terkait dengan kebijakan rencana dan/atau program.

E.3.3. Metode Penyusunan KLHS

Penyelenggaraan KLHS RDTR Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung mengacu pada PP No.
46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS. Dalam PP ini penyelenggaraan
KLHS meliputi tiga (3) tahap, yaitu:

1. Pembuatan dan pelaksanaan KLHS


Tahap ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan Pemerintah Daerah setempat
melalui SKPD terkait didampingi oleh tenaga ahli lingkungan khususnya yang memiliki
sertifikasi penyusunan KLHS dari konsultan.
2. Penjaminan kualitas dan pendokumentasian KLHS
Tahap ini merupakan kewajiban dari pihak Pemerintah Daerah juga untuk menjamin bahwa
KLHS yang dibuat sudah sesuai dengan kaidah-kaidah dalam penyusunannya serta telah
mengkaji daya dukung dan daya tampung lingkungan di daerah kajian.
3. Validasi KLHS
Tahap ini dilakukan oleh pihak yang berwenang yang umumnya dilakukan oleh tim penilai
dari DLH dan beberapa tenaga ahli terkait untuk melakukan penilaian terhadap kelayakan
dokumen KLHS. Namun dikarenakan Permen untuk mengatur mekanisme validasi KLHS
belum terbentuk, maka dalam penyusunan KLHS ini hanya dilakukan validasi dalam bentuk
asistensi dengan pihak DLH Provinsi Jawa Barat.
Gambar 6.11. Bagan Alir Tahap Penyelenggaraan KLHS
Sumber: Hasil Analisis dan Diskusi 2021

Pembuatan dan Penjaminan kualitas dan


Validasi KLHS
pelaksanaan KLHS pendokumentasian KLHS

Pembuatan dan pelaksanaan KLHS dilakukan melalui mekanisme;


1. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup
dan pembangunan berkelanjutan;
2. Perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program;
3. Penyusunan rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan Kebijakan, Rencana,
dan/atau Program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
E.3.4. Pengkajian Pengaruh Kebijakan, Rencana dan/atau Program Terhadap Kondisi
Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan

E.3.4.1. Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas

A. Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan

Identifikasi isu pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan cara:

1. Mengumpulkan isu pembangunan berkelanjutan, isu pembangunan berkelanjutan dikumpulkan


dari telaah literatur dan curah pendapat Kelompok Kerja.
2. Memusatkan isu-isu pembangunan berkelanjutan.

Pemusatan isu-isu pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan kesamaan substansi dan/atau


telaahan sebab-akibat. yang dilaksanakan dengan memperhatikan:

 Isu lintas sektor;


 Isu lintas wilayah;
 Isu lintas pemangku kepentingan; dan
 Isu lintas waktu.

Hasil pemusatan isu-isu pembangunan berkelanjutan dikonsultasikan dengan masyarakat dan


pemangku kepentingan untuk pengayaan dan penajaman isu pembangunan berkelanjutan.
IDENTIFIKASI
IDENTIFIKASI ISU PB
MUATAN KRP

Identifikasi materi
muatan KRP
Dilakukan dengan
analisis uji silang
dengan penjelasan
Ps 15 UU No 32
Tahun 2009

UJI SILANG

Penyusunan rekomendasi perbaikan untuk Analisis pengaruh materi muatan


Perumusan alternatif
pengambilan keputusan KRP yang mengintegrasikan KRP yang berpotensi menimbulkan
penyempurnaan KRP
prinsip pembangunan berkelanjutan pengaruh terhadap kondisi LH

Gambar 6.12. Bagan Alir Tahap Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS


Sumber: Hasil Analisis dan Diskusi 2020
B. Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Yang Paling Strategis

Identifikasi isu pembangunan berkelanjutan yang paling strategis dilakukan dengan cara menelaah
hasil isu-isu pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan unsur-unsur paling sedikit:

1. Karakteristik wilayah
Telaah karakteristik wilayah dilakukan dengan analisis yang menggunakan data spasial, antara
lain:
 Peta Rupa Bumi Indonesia;
 Peta Rencana Tata Ruang; dan
 Peta Tutupan Lahan.
2. Tingkat pentingnya potensi dampak
Telaah tingkat pentingnya potensi dampak dilakukan dengan memperhatikan:
 Indikasi cakupan wilayah; dan
 Frekuensi dan/atau intensitas yang mengindikasikan pentingnya potensi dampak.
3. Keterkaitan antar isu strategis pembangunan berkelanjutan
Telaah keterkaitan antar isu strategis pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan cara
analisis sebab akibat atau analisis sejenis lainnya.
4. Keterkaitan dengan materi muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
Telaah materi muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dilakukan dengan cara pemetaan
lokasi dan/atau analisis potensi pengaruh.
5. Muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Telaah muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan dengan
cara analisis keterkaitan isu pembangunan berkelanjutan dengan muatan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
6. Hasil KLHS dari Kebijakan, Rencana, dan/atau Program pada hierarki diatasnya yang harus
diacu, serupa dan berada pada wilayah yang berdekatan, dan/atau memiliki keterkaitan
dan/atau relevansi langsung.
7. Telaah hasil KLHS dari Kebijakan, Rencana dan/atau Program pada hierarki diatasnya yang
harus diacu, serupa dan berada pada wilayah yang berdekatan, dan/atau memiliki keterkaitan
dan/atau relevansi langsung dilakukan dengan cara analisis keterkaitan isu pembangunan
berkelanjutan dengan hasil KLHS dimaksud.

Hasil telaahan isu-isu pembangunan berkelanjutan prioritas dikonsultasikan dengan masyarakat


dan pemangku kepentingan untuk pengayaan dan penajaman isu pembangunan berkelanjutan yang
paling strategis, hasil konsultasi menjadi dasar telaahan pada tahap identifikasi isu-isu
pembangunan berkelanjutan yang paling strategis. Lebih jelasnya mengenai identifikasi
pembangunan berkelanjutan dapat di lihat pada Tabel 2.22.
Tabel 6.22. Contoh Matrik Telaahan Isu Pembangunan Berkelanjutan yang Paling Strategis

Telaah Karakteristik Wilayah Tingkat Pentingnya Potensi


Hasil
Indikasi Frekuensi KLHS
Peta Tutupan Keterkaitan
Peta RBI Peta RTRW Cakupan dan/atau Keterkaitan dari
Lahan dengan
Wilayah Intensitas antar Isu Muatan KRP
Isu PB Materi Keterangan
Pembangunan RPPLH pada
Bervegetasi/ Muatan
Berkelanjutan Hierarki
Lokasi dan Jenis Pola Lahan Indikasi KRP
Sering/Tidak di
Topografi Ruang Terbuka/ Luas atasnya
Laut
Ada,
Cekungan/ Belum 7 kriteria
Budidaya/ 50 persen dengan
Banjir elevasi Lahan terbuka Setiap hujan Tidak ada ada ada masuk isu
permukiman luas kota KLHS
rendah RPPLH PB strategis
Provinsi
Isu PB 2
dst.
Sumber: Hasil Analisis dan Diskusi 2020
C. Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas
Isu pembangunan berkelanjutan prioritas diperoleh dengan cara menelaah hasil rumusan isu-
isu pembangunan berkelanjutan yang paling strategis dengan daftar yang paling sedikit
berkaitan dengan:
1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup untuk pembangunan;
2. Perkiraan dampak dan/atau risiko Lingkungan Hidup;
3. Kinerja layanan atau jasa ekosistem;
4. Intensitas dan cakupan wilayah bencana alam;
5. Status mutu dan ketersediaan sumber daya alam;
6. Ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati;
7. Kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
8. Tingkat dan status jumlah penduduk miskin atau penghidupan sekelompok masyarakat
serta terancamnya keberlanjutan penghidupan masyarakat;
9. Risiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat; dan
10. Ancaman terhadap perlindungan kawasan tertentu yang secara tradisional dilakukan oleh
masyarakat dan masyarakat hukum adat.

Daftar isu pembangunan berkelanjutan prioritas dilakukan dengan cara pembobotan. Hasil
pembobotan menetapkan paling sedikit tiga isu pembangunan berkelanjutan prioritas. Hasil
pembobotan dikonsultasikan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk pengayaan
dan penajaman isu pembangunan berkelanjutan prioritas. Lebih jelasnya mengenai identifikasi
isu pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 6.23. Contoh Matrik Penentuan Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas

Tingkat dan status Ancaman


jumlah penduduk terhadap
Kapasitas
Kerentanan miskin atau Risiko perlindungan
daya dukung Intensi-tas Status mutu
Ketahanan dan dan kapasitas penghidupan terhadap kawasan tertentu
dan daya Perkiraan dampak Kinerja dan cakupan dan
Isu PB yang potensi adaptasi sekelompok keseha-tan yang secara
tampung dan/atau risiko layanan atau wilayah ketersediaan Juml Ringka-
paling keanekaragama terhadap masyarakat serta dan tradisional
Lingkungan Lingkungan Hidup jasa ekosistem bencana sumber daya ah san
strategis n hayati perubahan terancamnya keselamatan dilakukan oleh
Hidup untuk alam alam
iklim keberlanjutan masyarakat masyarakat dan
pembangunan
penghidupan masyarakat
masyarakat hukum adat

Isu PB
Banjir 5 5 4 5 4 3 2 5 5 3 41
prioritas 1
Bukan isu
Isu PB
4 4 3 3 3 4 2 3 2 2 30 PB
strategis 2
prioritas
Isu PB Isu PB
3 3 3 3 4 5 4 3 2 2 32
strategis 3 prioritas 2
dst.

Sumber: Hasil Analisis dan Diskusi 2020

Keterangan:
1 : Sangat tidak penting
2 : Tidak penting
3 : Cukup penting
4 : Penting
5 : Sangat penting
E.3.4.2. Identifikasi Materi Muatan Kebijakan Rencana dan/atau Program yang
Berpotensi Menimbulkan Pengaruh Terhadap Kondisi Lingkungan Hidup

Identifikasi materi muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dilakukan dengan menelaah
konsep rancangan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang akan disusun atau menelaah
seluruh materi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program berlaku yang akan dievaluasi.

Identifikasi materi muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dilakukan dengan cara
uji silang antara materi muatan Kebijakan, Rencana dan/atau Program dengan kriteria dampak
dan/atau risiko Lingkungan Hidup dan pembangunan berkelanjutan. Hasil uji silang dijadikan
dasar untuk analisis pengaruh materi muatan Kebijakan, Rencana dan/atau Program yang
berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap kondisi Lingkungan Hidup. Untuk lebih jelasnya
mengenai identifikasi materi muatan kebijakan, rencana/atau program yang berpotensi
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Kriteria dampak/ risiko LH


No. Materi muatan KRP Keterangan
1 2 3 4 5 6 7
KRP 1 >2 kriteria negatif, perlu
1 - - - - + - +
KLHS
KRP 2 >2 kriteria negatif, perlu
2 - - - + + - +
KLHS
KRP 3 >2 kriteria negatif, perlu
3 - - + - + + +
KLHS
KRP 4 >2 kriteria negatif, perlu
4 - - + - + + +
KLHS
5 dst.
Tabel 6.24. Contoh Matrik Uji Silang dalam Proses Penapisan Kebijakan, Rencana,
dan/atau Program yang Berpotensi Menimbulkan Dampak dan/ atau Resiko
Lingkungan Hidup

Sumber: Hasil Analisis dan Diskusi 2020

Keterangan:
KRP bernilai positif artinya berdampak positif terhadap lingkungan hidup sebaliknya, KRP bernilai
negatif artinya berdampak negatif terhadap lingkungan hidup.
1. Perubahan iklim;
2. Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;
3. Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau
kebakaran dan lahan;
4. Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;
5. Peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;
6. Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan
sekelompok masyarakat; dan/atau
7. Peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.

E.3.4.3. Analisis Pengaruh Materi Muatan Kebijakan Rencana dan/atau Program yang
Berpotensi Menimbulkan Pengaruh Terhadap Kondisi Lingkungan Hidup

Analisis pengaruh dilakukan dengan cara menguji keterkaitan antara materi muatan Kebijakan,
Rencana dan/atau Program dengan isu pembangunan berkelanjutan prioritas. Hasil analisis
pengaruh dikonsultasikan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk pengayaan dan
penajaman hasil analisis pengaruh. Lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 2.5.

Tabel 6.25. Contoh Matrik Uji Silang dalam Analisis Pengaruh Materi Muatan KRP dengan
Isu PB Prioritas

Isu PB Prioritas Jumlah Pengaruh


Materi Muatan KRP Ringkasan
Isu PB 1 Isu PB 2 dst. Negatif
Perlu kajian muatan
KRP yang perlu KLHS 1 - - + 2 pengaruh negatif
KLHS
Perlu kajian muatan
KRP yang perlu KLHS 2 - - - 3 pengaruh negatif
KLHS
Tidak perlu kajian
KRP yang perlu KLHS 3 0 - 0 1 pengaruh negatif
muatan KLHS
Tidak perlu kajian
KRP yang perlu KLHS 4 0 - 0 1 pengaruh negatif
muatan KLHS
Perlu kajian muatan
KRP yang perlu KLHS 5 - - + 2 pengaruh negatif
KLHS
Perlu kajian muatan
dst. - - + 2 pengaruh negatif
KLHS
Sumber: Hasil Analisis dan Diskusi 2020

Keterangan:
KRP bernilai positif artinya materi muatan KRP berpengaruh positif terhadap Isu Pembangunan
Berkelanjutan prioritas, 0 artinya materi muatan KRP tidak berpengaruh terhadap Isu PB prioritas,
sedangkan KRP bernilai negatif artinya materi muatan KRP berpengaruh negatif terhadap Isu PB
prioritas.

E.3.4.4. Pengkajian Muatan KLHS

Hasil analisis paling sedikit memuat kajian:

A. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
B. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
C. Kinerja layanan atau jasa ekosistem;
Kajian kinerja layanan atau jasa ekosistem dilakukan dengan cara analisis spasial
menggunakan peta indikasi layanan ekosistem seperti Peta indikasi layanan ekosistem air dan
Peta indikasi layanan ekosistem pangan.
D. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
Kajian efisiensi pemanfaatan sumber daya alam dilakukan dengan cara:
1. Menginventarisasi pencadangan sumber daya alam yang didapatkan dari instansi yang
berwenang.
2. Menginventarisasi kebutuhan sumber daya alam optimal yang akan digunakan untuk
pembangunan sesuai masa perencanaan pembangunan yang merujuk pada dokumen
RPPLH.
E. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
Kajian tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan dengan
cara:
1. Mengkaji kerentanan dan risiko perubahan iklim.
2. Menyusun pilihan adaptasi perubahan iklim.
3. Menentukan prioritas pilihan aksi adaptasi perubahan iklim.
F. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Kajian tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati dilakukan dengan cara:
1. Analisis spesies/jenis tumbuhan dan satwa
Pengkajian spesies/jenis flora dan fauna dilakukan dengan memperhatikan:
 Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang meliputi:
 Penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
 Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya; dan
 Pemeliharaan dan pengembangbiakan.
 Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan mengendalikan pendayagunaan
jenis tumbuhan dan satwa liar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dengan
tetap menjaga keanekaragaman jenis dan keseimbangan ekosistem.
2. Analisis ekosistem
Pengkajian ekosistem dilakukan dengan memperhatikan interaksi antar jenis tumbuhan dan
satwa serta potensi daya dukung dan daya tampung.
3. Analisis genetik
Pengkajian genetik dilakukan dengan memperhatikan keberlanjutan sumber daya genetik
dan populasi jenis tumbuhan dan satwa.

Hasil analisis menjadi dasar perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau
Program. Lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 2.6.
Tabel 6.26. Contoh Matrik Uji Silang Materi Muatan KRP dengan Muatan Kajian Analisis

Muatan Kajian Analisis


No
Muatan KRP Jasa Risiko dan Perubahan
. DDDT SDA Bio-diversity
Ekosistem Dampak LH Iklim
Pembangunan
1            
Tanggul A
Telaahan:            
a. Trace AB : Jasa Analisis Semakin tidak ada, karena
Banjir, Land
berada pada Ekosistem kebutuhan SDA Panas dari pemukiman
subsidance,
pola ruang: Terlampaui air / pangan unit Pemb : ke tanggul, tidak
kualitas air
Pemukiman terganggu Semen, kerikil, ada vegetasi
menurun
padat pasir.
Dari
mana
diambilnya?
4 Dst .............            
Sumber: Hasil Analisis dan Diskusi 2020

E.3.2.2. Perumusan Alternatif Penyempurnaan Kebijakan, Rencana dan/atau Program

Pada tahapan ini dilakukan perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana dan/atau
Program berdasarkan hasil analisis. Hasil analisis menghasilkan beberapa alternatif yang perlu
dilakukan analisis lanjutan dengan mempertimbangkan besaran manfaat dan risiko. Hasil analisis
lanjutan dipilih berdasarkan manfaat yang lebih besar dan dapat dilaksanakan. Hasil analisis
lanjutan yang mempunyai risiko lebih besar dan tidak ada alternatif lain, maka wajib dilakukan
upaya mitigasi yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Dalam hal hasil analisis lanjutan terdapat
lebih dari satu alternatif yang mempunyai nilai manfaat lebih besar dan dapat dilaksanakan, maka
pemilihan alternatif dilakukan dengan analisis sistem. Hasil analisis dapat dikonsultasikan dengan
masyarakat dan pemangku kepentingan untuk pengayaan dan penajaman alternatif penyempurnaan
Kebijakan, Rencana, dan/atau Program. Alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau
Program dapat berupa:

a. Perubahan tujuan atau target;


b. Perubahan strategi pencapaian target yang lebih memenuhi pertimbangan pembangunan
berkelanjutan;
c. Perubahan atau penyesuaian ukuran, skala, dan lokasi yang lebih memenuhi pertimbangan
pembangunan berkelanjutan;
d. Perubahan atau penyesuaian proses, metode, dan adaptasi terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang lebih memenuhi pertimbangan pembangunan berkelanjutan;
e. Penundaan, perbaikan urutan, atau perubahan prioritas pelaksanaan;
f. Pemberian arahan atau rambu-rambu untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi
ekosistem; dan
g. Pemberian arahan atau rambu-rambu mitigasi dampak dan risiko lingkungan hidup.

Hasil perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program


dijadikan dasar dalam menyusun rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan Kebijakan,
Rencana, dan/atau Program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

E.3.2.3. Penyusunan Rekomendasi Perbaikan untuk Pengembalian Keputusan Kebijakan,


Rencana, dan/atau Program yang Mengintegrasikan Prinsip Pembangunan
Berkelanjutan

Pada tahapan ini dilakukan penyusunan rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan
Kebijakan, Rencana dan/atau Program berdasarkan hasil perumusan alternatif penyempurnaan
Kebijakan, Rencana, dan/atau Program. Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan
Kebijakan, Rencana, dan/atau Program memuat:

a. Materi perbaikan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program; dan/atau


b. Informasi jenis usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung
Lingkungan Hidup dan tidak diperbolehkan lagi.

E.4. PETA DASAR

E.4.1. Metodologi Peta Dasar


E.4.1.1. Konsep Teori
Sebelum menjelaskan metodelogi pekerjaan Peta Dasar, terlebih dahulu dijelaskan konsep teori
yang digunakan dalam Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi dan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Cangkuang.

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) adalah sistem informasi khusus yang
mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang
lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan,
mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi
menurut lokasinya, dalam sebuah database.

E.4.1.2. Jenis dan Struktur Data Pada SIG

Secara umum, terdapat dua jenis data yang digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan
fenomena-fenomena yang terdapat di dunia nyata, yaitu:

(1) Jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek keruangan dari fenomena yang bersangkutan.
Jenis data ini sering disebut sebagai data-data posisi, koordinat, ruang, atau spasial.
(2) Jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek deskriptif dari fenomena yang dimodelkan.
Aspek deskriptif ini mencakup item atau properti dari fenomena yang bersangkutan hingga
dimensi waktunya. Jenis data ini sering disebut sebagai data atribut atau data nonspasial.

E.4.1.3. Data Spasial

Jenis data alat bantu sistem perancangan (CAD-computer aided design), dan sistem kartografi
mengenai keruangan (spasial) ini banyak digunakan oleh sistem-sistem yang digunakan sebagai
yang berbasiskan computer (CAC- computer assisted cartografi).

Sistem-sistem ini digunakan di berbagai bidang aplikasi seperti perencanaan dan rekayasa teknik
sipil, pemetaan digital, kartografi, perencanaan kota, arsitektur, perancangan dan penggambaran
mesin dan lain-lain. Jenis data spasial yang digunakan di dalam sistem-sistem ini kebanyakan
adalah vektor.

Secara umum, kemampuan system CAD adalah pembuatan grafik, sketsa, diagram, digitasi peta
dan gambar rancangan, pemberian notasi, pembentukan gambar perspektif, dan beberapa analisa
spasial. Analisa spasial dalam CAD bervariasi. Setiap sistemCAD mampu melakukan analisa
perhitungan jarak, keliling (perimeter), luas (area), membentuk zone buffer dan lain-lain.

Data spasial juga digunakan dalam bidang pengindraan jarak jauh (indraja – remote sensing).
Bidang ini membahas pengumpulan informasi mengenai suatu objek, kejadian, atau area melalui
analisis data yang didapat dari pengamatan dengan peralatan yang tidak terjadi kontak langsung
dengan objek kejadian, atau area yang diamati. Dengan demikian, bidang indraja sering
menggunakan peralatan berupa kamera, scanner, atau sensor-sensor lainnya yang dibawa oleh
wahana pengangkut yang dapat bergerak cepat. Salah satu aktivitas indraja yang paling tua adalah
pemotretan udara dengan menggunakan balon udara dan pesawat terbang. Aktivitas lainnya adalah
perekaman data unsur-unsur permukaan bumi dengan menggunakan satelit. Jenis data spasial yang
digunakan pada bidang indraja adalah raster.

Model data spasial yang digunakan dalam SIG antara lain raster dan vektor. Dalam SIG yang
berdasarkan raster garis, titik, dan area direpresentasikan dengan menggunakan sel atau piksel.

Gambar 6.13. Model data raster


Sedangkan dalam SIG yang berdasarkan vektor, data spasial titik, garis, dan area memiliki definisi
matematik (yakni koordinat kartesius).

Gambar 6.14. Model data vektor

E.4.1.4. Cara Kerja SIG

Sebagaimana lembaran peta dapat merepresentasikan dunia nyata di atas kertas. Tetapi SIG
memiliki kekuatan lebih dan fleksibilitas dari pada lembaran peta kertas. Peta merupakan
representasi grafis dari dunia nyata, objek-objek yang dipresentasikan diatas peta disebut unsur
peta atau map features (contoh sungai, taman, kebun, jalan dan lain-lain). Karena peta
mengorganisasikan unsur-unsur berdasarkan lokasi, peta sangat baik dalam memperlihatkan
hubungan atau relasi yang dimiliki oleh unsur-unsurnya. Contoh hubungan tersebut misalnya :

a. Suatu gedung terletak di dalam wilayah kecamatan tertentu

b. Jembatan melintas diatas suatu sungai

c. Bangunan kuno bersebelahan dengan taman

Peta menggunakan titik, garis, dan poligon dalam merepresentasikan objek-objek dunia nyata,
misalnya :

a. Sungai ditampilkan sebagai poligon

b. Jalan bebas hambatan digambarkan sebagai garis-garis

c. Bangunan dipresentasikan sebagai poligon

Peta menggunakan simbol grafis dan warna untuk membantu dalam mengidentifikasi unsurunsur
berikut deskripsinya, misalnya :

a. Sungai diwarnai biru

b. Taman atau kebun diwarnai hijau

c. Jalan bebas hambatan diwarnai merah

d. Jalan yang lebih kecil digambarkan dengan menggunakan garis-garis yang tipis
e. Bangunan digambarkan sebagai poligon

f. Label dan teks mengidentifikasi unsur-unsur peta dengan menggunakan nama-nama unsur
yang bersangkutan.

Gambar 6.15. Contoh peta dan unsur-unsurnya

SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut-atributnya di dalam satuan yang
dikenal sebagai ―layers‖. Contoh layers misalnya sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas
administrasi, hutan dan lain-lain. Kumpulan dari layers ini membentuk basis data SIG. Dengan
demikian, perancangan basisdata merupakan hal yang penting dalam SIG untuk menentukan
efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan, dan keluaran SIG.

Gambar 6.16. Layer, tabel dan basisdata SIG


E.4.2. Kerangka Kerja Pelaksanaan Pekerjaan

Dengan memperhatikan lingkup analisis yang disampaikan pada subbab sebelumnya, maka dapat
diperlukan suatu kerangka kerja pelaksanaan pekerjaan yang sistematis sehingga mampu
mengarahkan proses pekerjaan secara efektif, melaksanakan semua lingkup pekerjaan dan
menghasilkan rekomendasi sesuai maksud, tujuan, dan sasaran pelaksanaan pekerjaan ini.
Gambar 6.17. Kerangka Kerja Pelaksanaan Pekerjaan

E.4.3. Metode Perundangan dan Literatur

Kajian studi literatur dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dan informasi terkait konsep
dasar software Sistem Informasi Manajemen Potensi Daerah Berbasis GIS. Berikut ini disampaikan
metoda studi literatur berikut dengan hasil yang akan diperoleh dari kajian tersebut.

1. Kajian Perundangan: penelusuran pengaturan terkait tata ruang dan investasi potensi daerah
yang memuat:

a. Penyelenggaraan tata ruang dan investasi potensi investasi daerah.

b. Perlunya tata ruang dan investasi potensi daerah.

c. Tujuan tata ruang dan investasi potensi daerah.


d. Kegunaan Sistem Informasi Tata Ruang dan investasi bagi perencanaan dan
pengembangan tata ruang wilayah.

e. Metoda pelaksanaan survey sekunder untuk mengumpulkan data potensi investasi daerah.

2. Kajian Literatur: penelusuran literatur-literatur terkait dengan teori dasar database, GIS dan
pengembangan software yang memuat:

a. Pengembangan dan peranan sistem teknologi informasi saat ini dan ada saja kendala yang
dihadapi dalam sistem teknologi informasi.

b. Tahapan pengembangan sistem teknologi informasi khususnya dalam pengembangan


perangkat lunak disertai dengan parameter-parameter apa saja yang harus dipersiapkan.

E.4.4. Metode Survey Sekunder

Untuk menyelesaikan seluruh kegiatan pekerjaan ini sesuai dengan langkah metodelogi yang telah
disusun dibutuhkan data-data yang dikumpulkan dengan berbagai metoda pegumpulan data.
Namun untuk lebih mengefektifkan waktu dan biaya perlu diidentifikasi terlebih dahulu kebutuhan
data dan disesuaikan dengan analisis yang akan dilakukan. Dari listing kebutuhan data dapat
diidentifikasi metoda pengumpulan data yang mungkin dapat dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan data.

E.4.5. Metode Pengumpulan Data

Untuk mempermudah proses mendapatkan data yang dibutuhkan di atas, maka perlu kiranya
disusun suatu metoda pengumpulan data yang komprehensif dan terstruktur sehingga dapat
memanfaatkan waktu yang disediakan sesuai arahan dalam Kerangka Acuan Kerja. Untuk itu
dalam studi ini digunakan sejumlah metoda survey sebagai berikut:

a. Survey data sekunder (instansional) dilakukan untuk mengumpulkan literatur serta data
sekunder di instansi terkait untuk memperoleh:

i. Data peraturan perundangan mengenai pembangunan tata ruang dan investasi

ii. Pengelompokan data dan metoda survey tata ruang dan investasi.

iii. Data literatur-literatur terkait dengan pengembangan sistem teknologi informasi dan teori
dasar database, GIS dan pengembangan software berbasis Sistem Informasi.

iv. Data tata ruang dan investasi potensi daerah yang memuat:

 Peta dasar wilayah Kota Batam .


 Data awal potensi daerah.

b. Survey wawancara/kuisioner dengan mewawancarai stakeholder untuk memperoleh infomasi


terkait dengan masukan pengelompokan jenis database sistem informasi tata ruang dan
investasi, masukan komponen masukan, pengolahan dan penyajian data dan masukan terhadap
model/bentuk software GIS.

E.4.6. Kebutuhan Data

Adapun tabel berikut disampaikan sejumlah kebutuhan data berikut kegunaan data dalam Kajian
Penyusunan RDTRK Kota Tegal (Khusus Pemetaan RDTR) tersebut.

Tabel 6.27. Jenis dan Kebutuhan Data dalam Penyusunan RDTRK Kota Tegal (Khusus
Pemetaan RDTR)

No. Jenis Data Item Detail Data Kegunaan Data Sumber Data
1. Peraturan, - UU, PP dan Perda - Menyusun konsep Survey
pustaka/literatur terkait sistem informasi
dan studi terkait - Teori terkait tata ruang dan
pengembangan sistem investasi
teknologi informasi - Menyusun rancang
dan sistem database desain software
- Hasil studi-studi tata ruang dan
terkait investasi berbasis
GIS
2. Data potensi - Data tipologi wilayah - Menyusun struktur Survey
Daerah - Peta dasar Wilayah database sist
- Data potensi daerah : - tata ruang danm
kondisi fisik daerah informasi tata
Kota Batam, Potensi ruang dan
indutri dan potensi investasi
alam - Data
input/masukan
software sistem
informasi tata
ruang dan investasi
3. Data - Masukan jenis potensi - Menyusun konsep Survey
wawancara daerah rancang model
- Masukan komponen yang akan
masukan, pengolahan digunakan
dan penyajian data
- Masukan terhadap
model/bentuk software
Sumber : Hasil Penyusunan Tim Tahun 2020

E.4.7. Metoda Desain Software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi

Kegiatan desain software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi berbasis GIS meliputi:
1. Konsep rancang desain database Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi berbasis GIS yang
meliputi:

a. Menentukan spesifikasi perangkat lunak yang akan digunakan yaitu pemilihan perangkat
lunak yang akan digunakan. Pemilihan sistem perangkat lunak ini harus disesuaikan
dengan kebutuhan dalam pengembangan software Sistem Informasi Tata Ruang dan
Investasi Berbasis GIS. Dengan pemilihan perangkat lunak yang tepat diharapkan
perangkat lunak mampu berjalan dengan cepat dan akurat.

b. Menentukan spesifikasi perangkat keras yang akan digunakan. Untuk mendukung kinerja
sistem perangkat lunak yang akan dibuat, perlu didukung juga oleh sistem perangkat
keras (hardware spesification) yang tepat.

c. Menyusun kerangka model software Sistem Informasi Manajemen Potensi Daerah


berbasis GIS berupa menyusun algoritma perangkat lunak

d. Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS. Tahapan dalam menyusun
algoritma meliputi:

 Identifikasi kebutuhan Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS

 Dari hasil identifikasi kebutuhan dapat ditentukan input, output dan proses sebagai
proses penyelesaian masalah.

 Menyusun flowchat untuk membantu secara visual diagram proses software Sistem
Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS.

 Menyusun algoritma penyusunan software sistem informasi.

2. Rancang arsitektur software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS yaitu
merancang bagaimana software Sistem Informasi Manajemen Potensi Daerah berada dalam
sistem jaringan komputer, apakah Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS ini
dapat diakses oleh beberapa komputer (sistem LAN) atau hanya digunakan pada satu
komputer/PC atau mobile.

3. Rancang komponen penyimpangan (input), pengolahan (analisis) dan penyajian data


(presentasi data) yang terdiri dari:

a. Komponen input data yaitu komponen yang akan dimasukan ke dalam software Sistem
Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS ini.

b. Komponen proses: apa saja yang akan diolah/dianalisis oleh software Sistem Informasi
Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS ini.
c. Komponen output: tampilan yang akan disampaikan dalam software Sistem Informasi Tata
Ruang dan Investasi Berbasis GIS ini

4. Desain model software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS yang
meliputi:

a. Menyusun algoritma (hasil kerangka model/flowchat) ke dalam bahasa pemrograman


tertentu yang sudah ditentukan

b. Menterjemahkan bahasa tingkat tinggi (butir a) ke dalam bahasa mesin yang dimengerti
komputer

c. Menjalankan (running) program perangkat lunak yang sudah dibuat, hal ini dilakukan
untuk mencoba jika ternyata masih ada kesalahan dalam menyusunan program baik secara
substansi perhitungan biaya pokok maupun secara penterjemahan bahasa pemogramannya.

d. Sebagai tahap akhir dilakukan perbaikan kesalahan program (debugging) sesuai informasi
dari hasil butir a sehingga dihasilkan program perangkat lunak yang sesuai dengan
arsitektur model yang diinginkan.

E.4.8. Metoda Uji Coba Software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi

Uji coba aplikasi software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS yang telah
dirancang dilakukan dengan memasukkan database aset dan barang daerah hasil pengumpulan data
di lapangan dan melakukan proses pengolahan sampai penyajian data dan tampilan yang akan
dimunculkan dalam software ini.

Berikut ini proses uji coba aplikasi software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis
GIS yakni:

1. Proses pemasukan data (input) Pemasukan data terdiri dari tiga hal yaitu data spasial (peta),
data non spasial (tabular/atribut) dan data dokumentasi (foto lapangan). Proses pemasukan dari
tiga hal tersebut adalah sebagai berikut :

a. Data Spasial (peta)

Peta dapat berupa peta dalam bentuk hardcopy atau peta dalam bentuk softcopy. Peta yang
berupa peta hardcopy perlu dilakukan proses untuk mengubah peta tersebut ke dalam
bentuk digital. Proses ini dilakukan dengan scanner kemudian di digitasi on screen
menggunakan perangkat lunak AutoCAD. Dari proses tersebut akan dihasilkan sebuah peta
digital Kabupaten Garut. Namun jika data peta sudah dalam bentuk softcopy proses
pemasukan tidak serumit dalam bentuk hardcopy, yang dilakukan hanya perbaikan-
perbaikan peta (jika ada perubahan gambar).

b. Data Non Spasial (tabular/atribut)

Data yang berupa tabular diketik dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.
Data tersebut kemudian dikonversi ke dalam bentuk/format dBase (dbf), sehingga data
dapat dibaca oleh ArcView. Data tabular struktur database yang telah disusun di atas
dengan data berupa data objek pajak reklame sesuai hasil pengumpulan data.

c. Data Foto

Pemasukan data yang berupa foto dilakukan dengan cara scanning. Hasilnya disimpan
dalam format yang dapat ditampilkan oleh ArcView seperti gif, bmp, tif.

2. Proses pengolahan data, yaitu proses pengolahan Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi
Berbasis GIS berdasarkan pendekatan-pendekatan yang telah ditetapkan sebelumnya terkait
dengan proses penyusunan kebutuhan penanganan potensi daerah.

3. Software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS yang dihasilkan merupakan
penyajian dari data yang berhubungan dengan data potensi daerah di daerah survey. Penyajian
data yang akan ditampilkan dalam bentuk laporan, tabel maupun grafik.

E.4.9. Metoda Alih Teknologi

Untuk mengaplikasikan software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi Berbasis GIS ini perlu
dilakukan alih teknologi kepada pengguna sistem perangkat lunak ini (user). Alih teknologi dapat
dilakukan dengan workshop/training/pelatihan dari sistem yang dibentuk agar dapat dioperasikan
oleh user/pengguna jasa dan ditindaklanjuti dengan pengambilan data untuk masa-masa yang akan
datang.

Sebagai bahan informasi secara hardcopy disusun buku manual petunjuk bagi penguna (user
manual) yang berisikan seluruh informasi software Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi
Berbasis GIS mulai dari proses input, proses analisis dan output yang dihasilkan dan ditampilkan,
misalnya sebagai berikut:

1. Proses pemasukan data: untuk memberikan informasi langkah-langkah dalam pemasukan data
(inputing data).

2. Proses analisa: berisikan bagaimana proses analisa untuk keperluan penentuan kebijakan
tertentu.

3. Penyajian hasil: berisikan hasil proses analisa yang meliputi hasil keputusan dan bagaimana
kebijakan selanjutnya.
E.4.10. Prototipe

1. Arsitektur Aplikasi

2. Rancangan Aplikasi

a. Digital dan Editing Data Online

Sistem Informasi Tata Ruang dan Investasi mempunyai tools untuk melakukan digitasi dan
Editing Data secara Online, sehingga pengguna dapat melakukan perubahan data dari mana
dan kapan saja baik menggunakan PC, laptop maupun teknologi mobile

b. Background Peta
Fitur aplikasi yang berfungsi untuk menampilkan data dari sumber lain  sebagai
background seperti googlemaps atau yahoomaps.  Dengan menggunakan tampilan ini 
informasi dan posisi sebenarnya suatu  wilayah dapat diketahui

c. Informasi Statistik

Fitur yang berfungsi untuk menyajikan data statistik  potensi daerah, tampilan data statistik
tersebut dapat ditampilkan dalam bentuk angka, tabel maupun grafik

d. Konfigurasi Informasi Layer

Merupakan bagian dari aplikasi yang berfungsi untuk mengatur tampilan layer-layer
potensi daerah dalam satu tampilan peta sesuai kebutuhan pengguna
e. Routing (Jarak Optimal)

Merupakan Fasilitas yang dapat digunakan untuk memilih rute optimal (terpendek) dari
lokasi yang satu ke lokasi yang lain

f. Update Informasi melalui Aplikasi Mobile

Updating informasi yang diterima dari Mobile Simpotenda melalui Pelaporan Online
langsung terupdate pada Webgis Simpotenda dengan menggunakan Smartphone/PDA
berbasis OS Android.
Penjelasan dari setiap tahapan dari flowchart ini adalah sebagai berikut :

1. AOI (Area of Interest) dan Spesifikasi Teknis

AOI (Area of Interest) merupakan area yang harus kita tentukan sesuai dengan kebutuhan
luasan citra yang akan kita pesan. AOI ditentukan berdasarkan titik-titik koordinat citra,
yang pada akhirnya dibuat dalam bentuk poligon dengan format shapefile. AOI dapat
dibuat oleh pihak client maupun konsultan.

2. Konfirmasi ke Digital Globe

Setelah AOI dari citra yang akan dipesan selesai dibuat, selanjutnya pihak konsultan
mengirimkan AOI tersebut ke Digital Globe selaku penyedia jasa satelit beresolusi tinggi
untuk terlebih dahulu mengetahui ketersediaan datanya. Pihak konsultan sebelumnya telah
menentukan kriteria satelit yang harus dipenuhi, misalnya tahun pemotretan paling lama
tahun 2020 dengan umur citra satelit di bawah 90 hari, serta cakupan awan tidak lebih dari
15%.

3. Konfirmasi dari Digital Globe

Digital Globe kemudian merespon dengan mengirimkan Quicklook citra yang


bersangkutan. Quicklook itu berisi tampilan visual dari citra yang tersedia, sehingga pihak
client dapat membuat keputusan terkait deal yang harus dilakukan.

Gambar 6.18. Contoh Quicklook


4. Konfirmasi ke client

Quicklook yang diberikan oleh Digital Globe kepada konsultan selanjutnya diteruskan ke
client untuk ditindaklanjuti. Jika pihak client menyetujui data yang ditawarkan, maka pihak
konsultan dapat segera mengajukan pembelian citra kepada Digital Globe.

5. Pemesanan citra

Pemesanan citra diawali dengan penandatanganan kontrak yang tertera dalam Order
Quotation. Scan dari order quotation yang telah ditandatangani oleh konsultan selanjutnya
dikirimkan ke Digital Globe untuk ditindaklanjuti sebagai tahapan pembelian citra.

A. Pembuatan Peta Kerja

Peta kerja adalah peta yang akan digunakan dalam melaksanakan pekerjaan survei di lapangan.
Peta kerja merupakan peta hasil proses berbagai tahapan pengolahan data citra satelit tanpa titik
kontrol (mosaic uncontrol), dan diakhiri dengan proses penyusunan format layout (tata letak)
dengan skala tertentu sesuai kebutuhan survei lapangan yang akan dilaksanakan.

Sesuai dengan pekerjaan/kegiatan survei lapangan yang akan dilaksanakan dalam pekerjaan ini,
maka akan dibuat peta kerja yang terdiri dari :

1. Peta kerja untuk survei pengukuran GCP, terdiri dari :

a. Peta Kerja Pengukuran GCP skala kecil, dicetak pada format kertas ukuran A1
dengan skala menyesuaikan ukuran kertas.

Pada peta kerja ini digambarkan distribusi titik-titik GCP yang tersebar di seluruh
area lokasi pekerjaan; sehingga dengan demikian akan memudahkan tim survei
pengukuran GCP dalam melaksanakan kegiatan survei di lapangan.

Contoh peta kerja pengukuran GCP ini adalah seperti yang dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 6.19. Contoh Peta Kerja Pengukuran GCP Format Ukuran A1


b. Peta Kerja Pengukuran GCP skala besar, dicetak pada skala 1:2.500 dengan format
kertas ukuran A3.

Pada setiap lembar peta kerja skala 1:2.500 ini digambarkan letak posisi setiap titik
GCP yang akan diukur di lapangan. Dengan skala peta kerja 1:2.500 akan terlihat
detil lokasi pada area di sekitar posisi titik GCP, sehingga dengan demikian tidak
akan terjadi kesalahan identifikasi titik GCP yang tampak pada peta kerja dengan
keberadaan titik GCP tersebut di lapangan.

Contoh peta kerja pengukuran GCP ini adalah seperti yang dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 6.20. Contoh Peta Kerja Pengukuran GCP Skala 1:2.500 Format Ukuran A3

2. Peta kerja untuk survei kelengkapan/identifikasi di lapangan dicetak pada skala 1:5.000
dengan format kertas ukuran A1.

Peta kerja ini digunakan untuk melaksanakan survei kelengkapan/identifikasi di


lapangan, yang meliputi :

 Melakukan verifikasi penutupan lahan hasil interpretasi citra (juga penggunaan


lahan).
 Pengecekan data batas administrasi.

 Pengecekan unsur nama geografis (unsur perairan, nama desa,


kampung/permukiman, perumahan, bangunan pemerintah, fasilitas umum, fasilitas
sosial, dan lain-lain).

Contoh peta kerja kelengkapan/identifikasi di lapangan ini adalah seperti yang dapat
dilihat pada gambar berikut.
Gambar 6.21. Contoh Peta Kerja Survei Identifikasi Lapangan Skala 1:5.000 Format
Ukuran A1

Proses Pembuatan Peta Kerja

Proses pembuatan peta kerja secara rinci terdiri dari tahapan-tahapan kegiatan seperti
berikut :

1. Pembuatan DSM (Digital Surface Model) berdasarkan data TerraSar-X resolusi 7,5
m atau SRTM 30 m.

2. Mosaik citra satelit resolusi tinggi.

Mosaik adalah proses penggabungan beberapa obyek baik raster atau vektor
menjadi satu kesatuan dalam bidang proyeksi dan datum yang sama. Dalam hal ini
yang dilakukan adalah mosaik uncontrol, yaitu menggabungkan beberapa obyek
raster tanpa ada pengikatan ke titik kontrol tanah hasil pengukuran GPS.

3. Orthorektifikasi citra satelit resolusi tinggi.

4. Penajaman citra (image enhancement).

5. Cropping citra, dilakukan berdasarkan area yang ditetapkan dan pada skala tertentu
sesuai kebutuhan peta kerja yang akan dibuat.

Cropping atau pemotongan adalah suatu proses untuk mendapatkan data citra
untuk peta yang akan dibuat berdasarkan area yang ditetapkan dan sesuai dengan
format layout (tata letak) peta yang akan dibuat, yaitu :
 Untuk peta kerja survei pengukuran GCP, data citra akan di cropping
berdasarkan area di sekitar lokasi titik kontrol dan titik GCP yang akan
diukur dengan skala 1:2.500.

 Untuk peta kerja survei kelengkapan/identifikasi di lapangan, data citra


akan di cropping berdasarkan indeks peta skala 1:5.000.

Semua data citra di cropping dalam sistem proyeksi UTM dan datum WGS 84.

6. Penyusunan layout (tata letak) peta kerja.

Layout dilakukan dengan mengikuti berbagai kaidah/ketentuan kartografi, seperti :


format dan pembagian lembar peta, jenis dan ketebalan garis, informasi tepi pada
lembar peta, dan sebagainya.

7. Pencetakan lembar-lembar peta kerja.

B. Metode Pengamatan GCP (Ground Control Point/Titik Kontrol Tanah)

GCP (titik kontrol tanah) adalah titik-titik di lapangan yang diketahui secara tepat data
koordinat posisinya, yang diperlukan untuk melakukan koreksi geometrik (orthorektifikasi)
pada citra satelit. Setiap titik GCP merupakan obyek di lapangan yang harus dapat
diidentifikasi dengan jelas, baik di lapangan maupun pada citra; dan untuk mengetahui posisi
koordinatnya harus dilakukan pengukuran titik GCP di lapangan dengan menggunakan alat
ukur GPS tipe geodetik, serta semua titik GCP harus ‘terikat’ dengan titik kerangka dasar
nasional (BIG dan/atau BPN).

Penentuan posisi dengan GPS ada dua jenis, yaitu Penentuan posisi secara absolut
(Absolute/Point Positioning) dan Penentuan posisi secara relatif (Relative Positioning).

1. Absolute/Point Positioning

Absolute/Point Positioning adalah prinsip atau cara penentuan posisi titik pengamat
langsung dari pengamatan tunggal terhadap sejumlah satelit pada saat tertentu (minimal 4
buah satelit). Pengamatan dengan teknik ini adalah yang paling sederhana karena pengamat
tidak membutuhkan korelasi dengan stasiun pengamat lainnya.

2. Relative Positioning

Relative Positioning adalah prinsip penentuan posisi suatu titik dengan melibatkan titik
lain yang telah diketahui koordinatnya atau dengan perkataan lain prinsip penentuan posisi
suatu titik dengan cara mengikatkan titik yang belum diketahui koordinatnya terhadap titik
yang telah diketahui koordinatnya. Pada prinsipnya dengan teknik ini diukur selisih
koordinat ruang (X,Y,Z) antara dua titik pengamat dimana selanjutnya koordinat titik
lainnya dihitung dengan mengacu pada titik yang pertama (yang telah diketahui
koordinatnya) :

X2 = X1 + X

Y2 = Y1 + Y

Z2 = Z1 + Z

Dalam sistem penentuan posisi secara relatif terdapat beberapa teknik pengamatan dan
penghitungan data, yaitu Single Difference, Double Difference, Triple Difference.

 Single Difference

Merupakan penghitungan baseline dengan menggunakan data hasil 2 pengamatan


receiver pada satu satelit pada saat yang bersamaan. Keuntungannya adalah dapat
menghilangkan pengaruh bias satelit.

 Double Difference

Merupakan penghitungan baseline dengan menggunakan data hasil 2 pengamatan


receiver pada 2 satelit pada saat yang bersamaan. Keuntungannya adalah dapat
menghilangkan pengaruh bias jam receiver.

 Tripple Difference.

Merupakan penghitungan baseline dengan mendiferensiasikan selisih antara data 2


Double Difference terhadap waktu t1 dan t2. Keuntungannya adalah dapat
menghilangkan pengaruh cycle ambiguity. Pengaruh dari faktor troposfir juga dapat
direduksi dalam proses hitungan baseline di atas berdasarkan pada data pengamatan
atmosfir terhadap hasil pengamatan sinyal L1 atau L2. Akan tetapi pengaruh Ionosfir
hanya dapat direduksi dengan pengamatan pada gelombang L1 dan L2 (Dual
Frequency).

Setelah pengukuran dibutuhkan proses pengolahan gps, dengan hitung perataan, untuk
menghilangkan kesalahan-kesalahan yang timbul dalam pengamatan GPS sehingga diperoleh
hasil hitungan yang dianggap benar (tereduksi dari kesalahan) sesuai toleransi statistik yang
diinginkan.

Proses ini dapat dilakukan jika terdapat kondisi-kondisi geometrik dan ukuran lebih dalam
desain jaring baseline GPS. Pada prinsipnya proses perataan dilakukan dengan meminimumkan
kesalahan yang terjadi dari hasil pengamatan dimana secara matematis ditulis sebagai :
VTPV = minimum

Survei pengukuran GCP dilakukan dengan menggunakan alat ukur GPS tipe geodetik, dan
dilakukan dengan metoda/cara pengukuran radial diferensial, dengan pengukuran pada setiap
titik GCP ± 1 jam.

a. Survey Pendahuluan dan Pemasangan Tugu

Survey pendahuluan dilakukan untuk menentukan posisi titik-titik pengamatan GPS


sebagaimana ditentukan dalam referensi BIG. Adapun pemasangan tugu diatur sedemikian
rupa seperti berikut, yaitu :

 Setiap 10 Km2 ada 4 titik.

 Mudah diidentifikasi baik di citra maupun di lapangan

Selain daripada itu juga harus berada di lokasi yang bebas dari halangan benda-benda
sekeliling yang mengakibatkan terhambatnya sinyal dari satelit yang mengakibatkan
terjadinya cycle slip dan efek pemantulan sinyal oleh benda sekeliling (multipath).

b. Pengamatan GPS

Pengamatan GPS dilakukan dengan menggunakan 2(dua) atau 3 (tiga) buah receiver ( tiga
team ) dengan menggunakan GPS merk Leica sesuai dengan desain jaring yang telah
direncanakan. Pengamatan dilakukan dengan rata-rata lama pengamatan sekitar 60 menit
dan GDOP < 8, hal ini bisa dilakukan mulai pukul 07.00 - 17.00 berdasarkan informasi
yang diperoleh dari data ephemeris satelit yang terakhir.

Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan di lapangan dan memudahkan


koordinasi, setiap tim dilengkapi dengan perangkat komunikasi genggam 2 m selain
terdapat pula perangkat komunikasi lain di base camp dan mobil komando dengan daya
pancar lebih kuat.

Pelaksanaan pekerjaan pengamatan di masing-masing tugu dimulai dengan mengatur posisi


tribrach agar memusat terhadap titik target (tanda +) di atas lempeng kuningan yang
terpasang di atas tugu dan dilanjutkan dengan pendataran tribrach. Pengukuran tinggi
dilakukan 2 (dua) kali saat akan memulai pengamatan dan 2 (dua) kali pada saat
mengakhiri pengamatan dengan toleransi 2 (dua) mm untuk kontrol pengukuran tinggi
antena.

Untuk mempermudah pengelolaan data, data dari setiap pengamatan diberi nama dengan 8
(delapan) digit angka dengan 2 (dua) digit pertama tanggal pengamatan, 2 (dua) digit kedua
bulan pengamatan, 2 (dua) digit ketiga tahun pengamatan, dan 2 (dua) digit terakhir sesi
pengamatan. Sebagai ilustrasi :

Di dalam setiap sesi pengamatan operator GPS bertugas mencatat setiap data dan kejadian
yang terjadi saat pengamatan yang sekiranya berpengaruh terhadap hasil pengamatan
seperti kondisi baterai, cuaca, pengaruh lingkungan sekitar, status satelit, dan lain-lain.

Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metoda Static Relative Positioning dengan


interval epoch 15 detik, jumlah minimum satelit 6 dan ketinggian halangan 15 0.
Pengamatan dimulai dari titik referensi sekitar pengamatan.

c. Pengolahan Baseline

Proses penghitungan baseline dilakukan setiap hari setelah selesai pengamatan. Diawali
dengan memindahkan data hasil pengamatan dari GPS Controller (Memory Card) ke PC
(dikenal dengan proses down load). Tahap berikutnya adalah pemeriksaan data
penunjang/masukan seperti tinggi antena, antenna offset dan nomor tugu/titik.

Setelah dipastikan bahwa data penunjang tersebut adalah benar, maka tahapan selanjutnya
pengolahan baseline. Proses ini dimulai dengan terlebih dahulu menentukan satu titik yang
berfungsi sebagai titik referensi (titik acuan hitungan) dan titik lainnya sebagai rover (titik
yang akan ditentukan koordinatnya didasarkan pada titik referensi tadi). Kemudian
dihitung (compute). Hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan kualitas baseline
adalah standar deviasi baseline, nilai ambiguity (Y or N), harga GDOP/PDOP, lama waktu
pengamatan, jumlah satelit, nilai rms, jumlah cycle slip dan untuk baseline yang diukur dua
kali (common baseline) harus diperhatikan pula besarnya komponen-komponen lintang
(dX), bujur (dY) dan komponen tinggi (dZ), panjang baseline (slope distance) serta
standar deviasinya.

Apabila pada proses pengolahan baseline tersebut ditemukan hasil yang tidak memenuhi
syarat misalnya nilai ambiguity tidak dapat dipecahkan, maka diantisipasi dengan
membuang satelit (Satellite Selection) yang memiliki epok kurang dari 180 atau dengan
membuang satelit yang memiliki residual phase dengan perubahan mendadak. Atau jika
ditemukan nilai GDOP/PDOP lebih besar dari 8, maka diantisipasi dengan melakukan
windowing. Tahap-tahap pemrosesan baseline di atas dapat digambarkan melalui
visualisasi skematik sebagai berikut :
Gambar 6.22. Diagram Alir Pemrosesan Baseline

d. Perataan Jaring

Perataan jaring dimaksudkan untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan pengamatan


dengan kondisi geometrik sebagai kontrol kualitas yang harus dipenuhi guna mengetahui
dan menentukan besar kesalahan untuk selanjutnya direduksi dan dihitung nilai-nilai
pengamatan yang dianggap benar. Proses perataan jaring ini dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu :

1). Perataan Jaring Bebas (Free-net Adjustment)

Proses ini dilakukan dengan memasukkan nilai koordinat dari satu titik ikat yang
pertama digunakan/diukur kembali.

2). Perataan Jaring Terikat (Minimally Constrained Adjusment)


Proses ini dilakukan dengan memasukkan koordinat titik kontrol yang terdapat dalam
jaring (titik-titik tersebut berlaku sebagai Fixed Point).

Pengolahan data di atas dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SKI versi
2.3. Dan uji statistik harus memenuhi tingkat kepercayaan 68%.

C. Pelaksanan Pengukuran GCP

a. Persiapan Pengukuran GCP

Berbagai kegiatan yang merupakan tahapan persiapan yang dilaksanakan sebelum


dilakukan pengukuran GCP di lapangan mencakup :

1). Pengadaan data koordinat dan deskripsi titik kerangka dasar nasional orde 2/3 dari
instansi BIG atau BPN.

2). Perencanaan/desain distribusi/penyebaran titik-titk GCP yang akan disurvei di seluruh


area yang merupakan lokasi pekerjaan. Sesuai spesifikasi BIG, minimal terdapat 4
titik GCP dalam luasan 10 km2, dan dapat diperbanyak sesuai kebutuhan. Selain
jumlah, titik GCP harus didesain tersebar merata di seluruh area citra.

3). Pembuatan peta kerja untuk pengukuran GCP, seperti yang telah diuraikan dalam sub
bab sebelumnya di atas dimana terdapat 2 (dua) macam peta kerja untuk pengukuran
GCP, yaitu :

a. Peta Kerja Pengukuran GCP skala kecil dengan ukuran A1 dimana didalamnya
diplotkan tanda rencana titik-titik GCP yang akan diukur. Peta kerja ini dicetak
dengan ukuran skala menyesuaikan dengan format ukuran kertas A1, sehingga
seluruh jumlah dan sebaran titik GCP yang telah direncanakan dapat digambarkan
di atas gambar citra yang mencakup seluruh area pekerjaan.

b. Peta Kerja Pengukuran GCP skala besar dengan ukuran A3. Peta kerja ini berisi
informasi posisi dari setiap titik GCP yang akan diukur. Pada kegiatan ini citra
satelit yang digunakan adalah citra satelit resolusi tinggi dengan maksimal resolusi
adalah 1m, maka skala yang digunakan untuk peta A3 adalah skala 1:2.500.

4). Persiapan peralatan yang akan digunakan, meliputi: GPS tipe Geodetik lengkap
sebanyak minimal 2 buah, kompas, GPS tipe Navigasi (Handheld) Garmin 76 CSX,
Pita Ukur, Kamera Digital, Laptop dan peralatan lainnya yang dibutuhkan.

Gambar 6.23. Alat GPS Tipe Geodetik Untuk Pengukuran GCP


5). Pembuatan formulir isian untuk pengukuran GCP, yang terdiri dari 4 (empat) halaman,
yaitu :

a. Halaman pertama berisi data deskripsi wilayah tempat lokasi keberadaan titik GCP
di lapangan. Pada halaman ini dijelaskan obyek yang menonjol di lokasi titik
tersebut, kondisi jalannya, akses atau akomodasi menuju titik tersebut dan
informasi lainnya yang penting sehingga titik tersebut dengan mudah dapat
diketahui jika dilain waktu diperlukan kembali.

b. Halaman kedua berisi sketsa lokasi titik GCP di lapangan dari jarak jauh dan jarak
terdekat. Sketsa ini diambil dengan terlebih dahulu surveyor menghadap kearah
utara, dan dilanjutkan dengan ketiga arah lainnya.

c. Halaman ketiga berisi data koordinat titik GCP dalam sistem koordinat UTM dan
Geodetik.

d. Halaman keempat berisi foto dari titik GCP. Untuk menempatkan foto titik-titik
tersebut harus diambil dari 4 (empat) penjuru; Utara, Selatan, Timur dan Barat.
Seluruh formulir itu harus diisi untuk setiap titik GCP yang diukur, hal ini berguna
pada saat proses koreksi geometrik. Sehingga pada saat proses memasukkan titik-
titik tersebut kecitra satelit menjadi mudah dan tidak akan ada kesalahan menaruh
titik ditempat yang salah.

Contoh formulir untuk survei pengukuran GCP adalah seperti yang dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 6.24. Contoh Formulir Survei Pengukuran GCP


6). Pembuatan surat tugas, yang diperoleh dari pemberi kerja untuk dipergunakan sebaik-
baiknya oleh tim selama melaksanakan survey pengukuran GCP di lapangan.

b. Pemasangan Tugu Paralon dan Pengukuran GCP

Di lapangan pada setiap lokasi/posisi titik GCP dilakukan pemasangan/konstruksi berupa


tugu dengan material pipa paralon berukuran 3” yang diisi dengan campuran/adukan semen
dan pasir, dan kemudian setiap titik GCP diberi identitas (yang unik) sebagai alat
identifikasi titik/tugu GCP; seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 6.25. Contoh Konstruksi dan Identitas Titik GCP di Lapangan

Survei pengukuran GCP dilaksanakan seperti berikut :

 Pengukuran GCP pada obyek-obyek yang mudah diidentifikasi pada citra satelit.
 Pengukuran GCP dengan GPS Geodetik, dengan menggunakan titik kerangka dasar
BIG sebagai referensi.

 Metode Pengukuran GPS cukup dengan metode Radial, dengan pengukuran tiap titik ±
1 jam.

Pelaksanaan pengukuran GCP dengan alat GPS geodetik yang dilakukan pada setiap
lokasi/posisi titik GCP adalah seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 6.26. Contoh Pengukuran Titik GCP dengan Alat GPS Geodetik

c. Pengolahan Data Hasil Pengukuran GPS Geodetik

Proses pengolahan data hasil pengukuran titik GCP dengan alat ukur GPS geodetik di
lapangan dilakukan dengan menggunakan peranti lunak (software) seperti yang terlihat
pada gambar berikut.

Gambar 6.27. Contoh Pengolahan (Proses Hitungan) Data GPS Geodetik


D. Survei Kelengkapan/Identifikasi Lapangan

Survei kelengkapan/identifikasi di lapangan dilaksanakan dengan membawa peta kerja dan


formulir isian yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Survei kelengkapan/identifikasi di lapangan bertujuan untuk :

1. Meng-update kekurangan informasi yang ada pada citra satelit; seperti adanya
bangunan baru, jalan atau jembatan baru dsb, langsung digambarkan pada peta garis
dengan skala dan dilengkapi dengan foto dokumentasi.

2. Mencatat penggunaan bangunan dan intensitas pemanfaatan ruang.


3. Mencatat nama jalan, nama sungai/danau/situ/waduk, nama tempat dan nama-nama
instalasi penting lainnya. Pencatatan nama-nama setiap obyek yang diamati langsung
dituliskan pada lembar peta kerja.

4. Mencatat kondisi jaringan prasarana yang ada.

5. Mencatat berbagai persoalan terkait dengan RDTR dan Peraturan Zonasi yang ada di
kawasan perencanaan.

a. Persiapan Survei Kelengkapan/Identifikasi Lapangan

Berbagai kegiatan yang merupakan tahapan persiapan yang dilaksanakan sebelum


dilakukan survei kelengkapan/identifikasi lapangan mencakup :

1. Pembuatan peta kerja untuk survei kelengkapan/identifikasi lapangan, seperti yang


telah diuraikan dalam sub bab di atas yaitu berupa Peta Kerja Survei Identifikasi
Lapangan yang dicetak pada skala 1:5.000 dengan format ukuran kertas A1.

2. Persiapan peralatan yang akan digunakan, meliputi: GPS tipe Navigasi (Handheld)
Garmin 76 CSX, Pita Ukur, Kamera Digital, Kompas, Laptop dan peralatan lainnya
yang dibutuhkan.

Gambar 6.28. Peralatan Untuk Survei Kelengkapan/Identifikasi Lapangan

GPS navigasi & kamera digital Komputer laptop

3. Pembuatan formulir isian untuk survei kelengkapan/identifikasi lapangan.

Contoh formulir untuk survei kelengkapan/identifikasi lapangan adalah seperti yang


dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 6.29. Contoh Formulir Survei Kelengkapan/Identifikasi Lapangan


E. Pengolahan Citra

Teknologi penginderaan jauh dewasa ini telah berkembang pesat, baik dari segi wahana,
resolusi dan pengolahannya. Pemakaian penginderaan jauh memungkinkan diperolehnya
informasi permukaan bumi dalam jumlah yang besar dan relatif cepat. Untuk memperoleh
informasi ini, dilakukan pengolahan dan interpretasi citra dari hasil penginderaan jauh tersebut.
Pengolahan citra dapat dilakukan secara visual dan secara digital. Pengolahan citra secara
visual akan membutuhkan waktu lama dan informasi yang dapat digali terbatas. Hal ini karena
adanya keterbatasan mata dan daya ingat manusia dalam interpretasi. Dengan adanya
kemajuan teknologi komputer grafik memungkinkan pengolahan citra secara digital.
Pengolahan citra secara digital ini akan memberikan keuntungan yaitu akurasi citra yang tinggi,
efisiensi waktu, serta dapat digunakannya metode-metode statistik di dalamnya. Sehingga
dengan diterapkannya pengolahan citra digital ini akan dapat secara cepat menghasilkan
informasi dengan kualitas tinggi.

Untuk memperoleh informasi citra dengan kulitas tinggi, diperlukan prosedur pengolahan data
citra yang handal pula. Adapun tahap pengolahan citra secara umum adalah sebagai berikut:
pemulihan citra (Image restoration), penajaman citra (Image Enhancement),dan klasifikasi
citra (Image Classification).

J.1 Koreksi Radiometrik/Penajaman Citra

Koreksi radiometrik digunakan untuk mengkoreksi nilai spectral yang terdapat pada citra
satelit. Tenaga pantulan dari obyek dipermukaan bumi yang sampai ke sensor satelit
banyak mengalami hambatan atmosfer yang menyebabkan adanya bias. Bias ini akan
menyebabkan tidak samanya tenaga yang dipantulkan oleh obyek dengan tenaga yang
diterima oleh sensor.

Untuk berbagai kepentingan bias ini harus dikoreksi sehingga tenaga yang diterima sensor
akan sama atau mendekati dengan tenaga matahari yang dipantulkan oleh obyek ke sensor.

Tahapan proses koreksi radiometrik (penajaman citra) mencakup :

a. Penajaman citra yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat interpretabilitas obyek


pada citra (feature) dilakukan melalui berbagai teknik : pengaturan derajat
brightness (gelap-terang) dan contrast (kontras); sehingga pada akhirnya proses
interpretasi/klasifikasi mudah dilakukan.

b. Nilai brightness dan contrast disimpan dalam look up table (LUT) / tabel
penghubung/tabel identifikasi :

 Optimalkan derajat brightness dan contrast untuk maksud analisa feature


seperti: unsur alam, unsur buatan manusia, bidang, tutupan lahan, dll.

 Tidak dipungkiri ketika menajamkan feature tertentu maka feature lain


menurun, sehingga perlu dibuat yang paling optimum sesuai dengan tujuan
digunakannya citra Resolusi Tinggi dan Landsat ini sebagai masukan proses
pembuatan peta penyebaran sawah.

c. Mengoptimasi tingkat keabuan (grey level) secara seimbang pada band


pankromatik dan colour balance pada band multispektral diantara scene yang
bersebelahan, dengan menghindarkan adanya kejenuhan warna (saturation) dengan
tidak mengakibatkan nilai reflectance citra menjadi null atau zero value pada citra
yang ditajamkan.

d. Citra yang telah ditajamkan kemudian di proses mosaik dan clipping (sub-setting).

J.2 Koreksi Geometrik/Orthorektifikasi

Koreksi geometrik (orthorektifikasi) pada citra satelit adalah proses koreksi yang dilakukan
dengan tujuan untuk memposisikan kembali gambar citra agar sesuai dengan keadaan
sesungguhnya di lapangan; hal ini disebabkan karena gambar citra yang diperoleh dari
hasil pengambilan mengalami pergeseran (displacement) sebagai akibat dari posisi satelit
yang miring, serta akibat variasi kondisi/keadaan topografi dari area yang diamati. Koreksi
geometri dilakukan dengan menggunakan sistem koordinat tertentu dengan bantuan titik
kontrol di lapangan (ground control point / GCP).

Koreksi geometrik dilakukan dengan memberikan koordinat ulang atau rektifikasi ulang
kepada citra satelit yang digunakan. Koordinat baru yang diberikan ke dalam citra satelit
adalah koordinat dari hasil pengukuran GPS di lapangan. Untuk citra yang berbentuk
persegi rektifikasi ulang cukup dilakukan untuk empat titik sudutnya. Untuk yang
berbentuk tidak berarturan, lebih banyak lebih baik. Metode yang digunakan dalam koreksi
geometrik terdiri dari beberapa cara:

1. Polynomial

2. Rektifikasi

3. Orthorektifikasi

Untuk metode orthorektifikasi, diperlukan data DEM (Digital Elevasi Model), yang dibuat
dari titik-titik ketinggian lokasi pekerjaan. Dalam pelaksanaannya, digunakan data SRTM.

Gambar 6.30. Diagram Pekerjaan Koreksi Geometrik


Proses orthorektifikasi bertujuan untuk :

 Registrasi dan transformasi citra ke dalam sistem georeference (UTM).

 Menghilangkan kesalahan skala yang disebabkan oleh kemiringan citra.

 Menghilangkan kesalahan distorsi optis citra.

 Menghilangkan kesalahan pergeseran relief akibat dari adanya variasi terain


(ketinggian permukaan tanah).

Berbagai tahapan yang harus dilakukan pada koreksi geometrik mencakup :

a. Pemilihan titik-titik kontrol di lapangan (ground control points / GCP) secara


photo point dengan menggunakan obyek-obyek yang mudah dan jelas
diidentifikasi di citra maupun di lapangan yang relatif tidak berubah seperti: jalan,
jembatan, dan sebagainya.

b. Menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error) dan penggunaan data DEM
(Digital Elevation Model), dimana nilai RMS error harus lebih kecil dari 1 piksel.
Data DEM untuk keperluan proses koreksi geometik (orthorektifikasi) data citra
adalah dengan menggunakan data kontur dari peta digital RBI atau data lain yang
lebih baik.

c. Orthorektifikasi dilakukan scene by scene.

Bersamaan orthorektifikasi dilakukan resampling / interpolasi intensitas (intensity


interpolation) dengan konvolusi kubik (cubic convolution) yang dimaksudkan untuk
mendapatkan koreksi sampai derajat 3 tidak linier (akurasi lebih baik dari metode linier).

J.3 Mosaik dan Cropping Citra

Mosaik merupakan gabungan dua atau lebih citra (sesuai jumlah scene data citra) sehingga
membentuk paduan gambar yang utuh dan kontinyu. Mosaik dipakai untuk memperoleh
sudut pandang (field of view) yang lebih lebar dari suatu obyek, dengan kata lain obyek-
obyek yang tidak terekam dalam satu citra perlu dilakukan penggabungan beberapa citra
agar obyek terlihat utuh.
Cropping data citra adalah merupakan tahap akhir dalam proses pengolahan data citra;
dimana proses ini dilakukan untuk mendapatkan data citra sesuai dengan kebutuhan.

Dalam pelaksanaan pekerjaan ini dilakukan cropping data citra per indeks lembar peta
(NLP) skala 1:5.000. Melalui proses ini akan dihasilkan potongan (cropping) data citra
dengan cakupan area sesuai dengan indeks lembar peta (NLP) skala 1:5.000, dimana data
citra tersebut akan digunakan dalam tahap kegiatan digitasi citra serta proses kartografi.

Anda mungkin juga menyukai