Era globalisasi yang berlangsung sangat cepat dengan dicirikan adanya perubahan yang
signifikan di bidang informasi dan teknologi, investasi dan pergerakan penduduk,
menuntut adanya perencanaan tata ruang yang optimal tanpa mengabaikan kepentingan
masyarakat dan kondisi lingkungan. Kebijakan penataan ruang di masa depan merupakan
kebijakan publik yang harus transparan, berkeadilan dan akomodatif terhadap
kepentingan berbagai lapisan masyarakat sehingga keterlibatan masyarakat sebagai aktor
pembangunan dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang mutlak
diperlukan.
Penataan ruang di Indonesia telah berlangsung sejak lama, antara lain dengan
dibentuknya ordonansi pembangunan kota beserta peraturan perencanaannya
(Stadsvormings ordonnantie) pada tahun 1948. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan
terbitnya peraturan perundang-undangan lainnya sebagai pengganti peraturan yang
diterbitkan pada jaman penjajahan, seperti UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah, UU Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Produk aturan lainnya yang secara spesifik mengatur penataan ruang
adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 1980 yang intinya kota harus
memiliki rencana induk dan rencana detail sebagai dasar pembangunan kota.
Ketiga undang-undang tersebut di atas menjadi dasar atau acuan bagi terbentuknya
undang-undang tentang penataan ruang, yang kemudian diakomodasikan pada tanggal 13
Oktober 1992 dalam UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Beberapa kata
kunci yang mendasari diterbitkannya UU ini antara lain adalah bahwa ruang wilayah
Republik Indonesia memiliki kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan dengan
keanekaragaman ekosistem dan sumberdaya alamnya yang perlu dikoordinasikan dan
diterpadukan dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (binaan) dalam pola
pembangunan yang berkelanjutan melalui pengembangan tata ruang dalam satu
kesatuan tata lingkungan yang dinamis. Hal lainnya juga menjadi pertimbangan adalah
kondisi yang ada pada saat itu dimana peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang belum menampung tuntutan perkembangan pembangunan.
Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menjelaskan bahwa
kegiatan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan
sumberdaya alam, sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia.
Dengan adanya tujuan untuk mewujudkan keterpaduan berbagai sumberdaya, maka
sebagai implikasinya proses penataan ruang perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang
menyangkut berbagai kewenangan antara berbagai tingkat pemerintahan terhadap
sumberdaya dimaksud.
1. Perencanaan Wilayah
Perencanaan (Faludi,1973): suatu
pemikiran untuk mencapai suatu cita-cita
dan tujuan di masa datang yang lebih baik,
dengan mempertimbangkan usaha-usaha
pemanfaatan segala sumber daya yang
dimiliki secara efektif, efisien dan
berkelanjutan dengan memperhatikan
kendala maupuan keterbatasan yang ada.
Perencanaan wilayah selalu menyangkut tiga jenis aspek kehidupan, yaitu aspek sosial
budaya, aspek ekonomi dan aspek fisik. Oleh karena itu setiap perencanaan wilayah
pada skala wilayah yang berbeda selalu terkait pula dengan ketiga aspek kehidupan
tersebut. Walaupun dalam skala yang lebih luas ketiga aspek tersebut sangat sulit untuk
dipilah-pilahkan karena pada hakekatnya ketiga hal itu saling terkait, namun proporsi
kegiatan dalam beberapa hal masih dapat diamati mengenai titik beratnya. Hal ini inline
dengan orientasi pembangunan berkelanjutan dalam perspektif land management
sebagaimana dikemukakan oleh Enemark dkk (2005) dalam Gambar 1 berikut. Gambar 1
tersebut menunjukkan bahwa orientasi utama paradigma land management adalah
Sustainable Development (pembangunan berkelanjutan) yang menyangkut aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan (fisik).
Konsep atau perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur
ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang (UU No. 24/1992). Menurut Tarigan (2004, 43)
perencanaan ruang adalah peren canaan penggunaan/pemanfaatan ruang wilayah, yang
intinya adalah perencanaan penggunaan lahan (land use planning) dan perencanaan
pergerakan pada ruang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ‘roh’ dalam perencanaan
ruang adalah land use planning, yang dalam konteks kelembagaan di Indonesia (Badan
Pertanahan Nasional) sering disebut dengan rencana tata guna tanah. Meskipun
perkembangan terakhir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah (PP 16/2004)
secara implisit disebutkan bahwa
penatagunaan tanah atau pola
pengelolaan tata guna tanah adalah
sub sistem dari rencana tata ruang
wilayah.
Land use planning menurut
pendapat Working Group on
Integrated Land Use Planning
(WGLUP) dalam Amler dkk (1999, 16)
menyatakan bahwa “Land Use Planning (LUP) is an iterative process based on the dialogue
amongst all stakeholders aiming at the negotiation and decision for a sustainable form land
use in rural areas as well as initiating and monitoring its implementation”. Artinya bahwa
perencanaan penggunaan lahan merupakan sebuah proses yang didasarkan pada dialog
antar semua stake holder yang berisikan negosiasi dan keputusan untuk mewujud kan
keberlanjutan penggunaan tanah di wilayah pedesaan secara baik, mulai tahapan inisiasi
sampai monitoring dalam implementasi.
Penataan ruang didasarkan pada pemahaman potensi dan keterbatasan sumber daya
baik manusia, alam, maupun modal. Serta tuntutan kebutuhan hidup saat ini dan
keberlangsungan hidup generasi yang akan datang. Berikut pengertian mengenai Tata
Ruang Wilayah:
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk hidup lain, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional.
Tata ruang ini merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang yang disusun
hierarkis yaitu secara nasional, regional dan lokal.
1) Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW);
2) Proses pemanfaatan ruang, merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang
atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri;
3) Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perijinan
dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan
RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
3. Daftar Pustaka
Amler, B., Betke, D., Eger, H., Ehrich, C., Kohler, A., Kutter, A., von Lossau, A., Muller, U.,
Seidemann, S., Steurer, R., dan Zimmermann, W. 1999, Land Use Planning:
Methods, Strategies and Tools, Deutsche Gesellschaft für Technische
Zusammenarbeit (GTZ), Eschborn, Germany.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum 2012, Mengenal
Lebih Dekat Penataan Ruang Bagi Generasi Muda, Jakarta.
Enemark, S, Williamson, I, dan Wallace, J 2005, 'Building Modern Land Administration
System in Developed Economies', Journal of Spatial Science, vol. 50, no. 2, hlm. 51-
58
Hariyanto dan Tukidi, 2007, “Konsep Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di
Indonesia di Era Otonomi Daerah”, Jurnal Geografi, Volume 4 Nomor 1, Januari
2007.
Tarigan, Robinson 2004, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta.
Terry, George R dan Rue, Leslie W 1991, Dasar-dasar Manajemen, cetakan ketiga, Bumi
Aksara, Jakarta.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tana