Anda di halaman 1dari 24

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Perencanaan Pembangunan Wilayah

Perencanaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menghubungkan

pengetahuan atau tehnik yang dilandasi kaidah-kaidah ke dalam praksis (praktik-

praktik yang dilandasi teori) dalam persfektif kepentingan orang banyak atau

publik. Di dalam perencanaan, karena berlandaskan kaidah ilmiah, senantiasa

diizinkan terjadi perubahan dalam rangka menuju atau mendekati cita-cita yang

lebih baik. Ada pun sasarannya adalah tercapainya suatu kearifan hasil dari

pemikiran yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat

(Nugroho dan Dahuri, 2002).

Definisi sederhana perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan

memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Definisi ini tepat untuk sebuah perencanaan yang sederhana tapi tidak mampu

memberikan gambaran atas suatu perencanaan yang rumit dan luas. Definisi lain

mengatakan bahwa, perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan yang dapat

dicapai setelah memperhatikan faktor-faktor pembatas dalam mencapai tujuan

tersebut, memilih serta menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan

tersebut.

Definisi yang lebih luas mengatakan bahwa perencanaan adalah

menetapkan suatu tujuan setelah memperhatikan pembatas internal dan pengaruh

eksternal, memilih serta menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan

tersebut. Sungguhpun definisi ini sudah luas tapi belum menunjukkan pengertian

perencanaan yang rumit. Perencanaan dalam bidang ekonomi wilayah umumnya


8

lebih rumit, seringkali tujuan konkret yang hendak dicapai tidak segera

ditentukan. Misalnya, kita ingin meningkatkan pendapatan masyarakat sebuah

desa dalam lima tahun mendatang. Untuk maksud itu perlu perencanaan yang

konkrit dimana tujuan perlu dirumuskan, misalnya agar pendapatan perkapita rata-

rata mencapai angka tertentu. Menetapkan angka-angka tertentu tidak mudah

karena memerlukan banyak pemikiran dan analisa misalnya analisa yang terkait

dengan laju pertumbuhan masa lalu dan yang akan datang. Suatu perencanaan

yang ideal hendaknya memuat sifat-sifat persfektif, futuristik, dan antispasi secara

terintegrasi. Sifatnya yang lebih menyukai persfektif adalah implikasi dan

landasan teori yang digunakan. Bila perencanaan lebih bersifat deskriptif akan

menimbulkan hambatan dan keterbatasan dalam penerapan sehingga mengurangi

keabsahaannya. Sifat futuristik memuat pesan bahwa perencanaan mampu

berhadapan dengan resiko-resiko dan ketidakmenentuan di masa yang akan

datang. Ada pun sifat antisipatif lebih menunjukkan bahwa perencanaan harus

mampu memfasilitasi dan menyelesaikan berbagai fenomena yang dihadapi

(Nugroho dan Dahuri, 2002).

Menurut John Glasson dalam Sitohan (1977), ciri-ciri pokok dari

perencanaan umum mencakup serangkaian tindakan berurutan yang ditujukan

pada pemecahan persoalan-persoalan di masa datang. Persoalan-persoalan

perencanaan memang beraneka-ragam, namun terlihat kecenderungan bahwa yang

terutama persoalan-persoalan ekonomi dan sosial, periode perencanaan, cakrawala

waktu dari ”masa datang”, juga bermacam-macam sesuai dengan tipe dan tingkat

perencanaan, namun demikian semua perencanaan mencakup suatu proses yang


9

berurutan dapat diwujudkan sebagai sebuah konsep dalam sejumlah tahap, sebagai

berikut :

 identifikasi persoalan,

 perumusan tujuan-tujuan umum dan sasaran yang lebih khusus dan dapat

diukur, bertalian dengan persoalan yang bersangkutan,

 identifikasi pembatas-pembatas yang mungkin terjadi,

 proyeksi mengenai keadaan masa depan,

 pencaharian dan penilaian berbagai arah kegiatan alternatif, dan

 penyusunan suatu rencana yang dipilih, yang didalamnya dapat tercantum

sesuatu perumusan kebikjaksanaan atau strategi dan juga suatu rencana

yang defenitif.

Di dalam proses perencanaan dikenal empat tradisi. Pertama, tradisi

analisis kebijakan. Dalam tradisi ini perencananaan diarahkan untuk memberikan

nasehat kepada pengambil keputusan dalam rangka perbaikan terhadap kebijakan

yang sudah ada. Dalam tradisi ini ini perencana atau analis kebijakan tidak lebih

hanya sebagai pemberi pertimbagan sehingga dianggap mendukung status quo.

Kedua, tradisi reformasi sosial. Dalam tradisi reformasi sosial, perencanaan

diarahkan untuk mengembangkan suatu mekanisme yang baru (anti status quo)

dalam rangka pemecahan masalah. Perencana menginginkan, misalnya

pembentukan kelembagaan ekonomi yang baru agar kesejahteraan masyarakat

dapat meningkat. Ketiga, tradisi pembelajaran sosial. Tradisi ini menjelaskan

bahwa perencanaan berjalan seiring dengan proses-proses yang terjadi dan

berkembang di dalam masyarakat. Didalam masyarakat terjadi proses dialektika

berdasarkan pengalaman sejarah menuju keadaan yang diinginkan melalui proses


10

pembelajaran. Keempat, tradisi mobilisasi sosial, perencanaan diarahkan untuk

mengganti atau mengubah sistem masyarakat melalui cara mobilisasi menuju

keadaan yang baru. Pandangan radikal ini dikenal sebagai transformasi sosial

(Nugroho dan Dahuri, 2002).

Pengertian wilayah tidak dapat dilepaskan dengan penggunaan dalam

berbagai tujuan. Istilah wilayah dapat digunakan untuk skala sempit dalam

lingkungan tetangga hingga skala luas dalam pergaulan internasional. Menurut

Nugroho dan Dahuri (2002), wilayah (region) adalah suatu area geografis yang

memiliki ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi

dan berinteraksi. Kata ciri tertentu dalam pengertian tersebut memiliki arti penting

dan kritis karena berhubungan dengan tujuan analisis sekaligus tujuan

perencanaan, itu sebabnya batasan geografis suatu wilayah menjadi longgar dan

mungkin tidak harus ditetapkan.

Namun menurut Glasson (1974) dalam Sitohang (1977), wilayah dapat

dilihat sebagai suatu ruang pada permukaan bumi. Pengertian permukaaan bumi

adalah menunjuk pada tempat atau lokasi yang dilihat secara horizontal dan

vertikal. Jadi termasuk didalamnya apa yang ada dibawah permukaan bumi,

diatas permukaan bumi. Ada dua cara pandang berbeda tentang wilayah yaitu

cara pandang subyektif dan objektif. Cara pandang subyektif, yaitu wilayah

adalah alat untuk mendefinisikan suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria

tertentu atau tujuan tertentu. Cara pandang objektif menyatakan wilayah itu

benar-benar ada dan dapat dibedakan dari ciri-ciri/gejala alam disetiap wilayah.

Wilayah bisa dibedakan berdasarkan musim, temperatur, konfigurasi lahan, jenis

tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.


11

Dalam menganalisis wilayah menurut Blair (1991) dalam Nugroho dan

Dahuri (2002) secara umum dikenal tiga tipe. Pertama, wilayah fungsional.

Wilayah tipe ini dicirikan oleh adanya integrasi antara komponen-komponen di

dalamnya yang berinteraksi ke dalam wilayah seolah-olah berinteraksi ke wilayah

luar. Terbentuknya wilayah fungsional ini akan tampak dalam keadaan pelaku-

pelaku ekonomi lokal saling berinteraksi diantara mereka sendiri pada derajat atau

tingkatan (kualitas dan kuantitas) lebih dari interaksi pelaku ekonomi lokal

dengan pelaku dari luar.

Kedua, wilayah homogen, wilayah homogen dicirikan oleh adanya

kemiripan relatif dalam wilayah. Kemiripan ciri tersebut dapat dilihat dari aspek

sumber daya alam (misalnya iklim dan komoditas), sosial (agama, suku,

kelompok ekonomi), dan ekonomi (sektor ekonomi). Beberapa istilah yang

mengacu ke wilayah homogen misalnya wilayah Puncak (beriklim sejuk di

Bogor), wilayah kumuh (perkotaan dengan penduduk miskin), wilayah miskin

(wilayah yang tertinggal dan terbelakang tidak tersentuh manfaat pembangunan),

wilayah elite (wilayah orang kaya atau pejabat perkotaan), wilayah jasa (wilayah

perdagangan dan jasa-jasa lain), dan wilayah Pantura (wilayah pantai utara Jawa

yang berkonotasi dengan sentra produksi padi).

Ketiga, wilayah administratif. Wilayah ini dibentuk untuk kepentingan

pengelolaan atau organisasi oleh pemerintah maupun pihak-pihak lain. Batas

wilayahnya secara geografis sangat jelas dilandasi keputusan politik dan hukum.

Wilayah administratif sering dianggap lebih penting jika dibandingkan dengan

dua tipe lainnya karena dianggap lebih sering digunakan sebagai dasar perumusan

kebijakan. Pembagian wilayah berdasarkan propinsi, kota, kabupaten, kecamatan


12

dan pedesaan adalah maksud tersebut. Berdasarkan pengertian dasar dan uraian

yang telah dikemukakan, perencanaan wilayah adalah konsep yang utuh dan

menyatu dalam pembangunan wilayah. Secara luas perencanaan pembangunan

wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan

kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi program pembangunan yang ada

didalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek

sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan

berkelanjutan.

Sedemikian jauh perencanaan pembangunan wilayah menjadi relevan

karena di dalam aspek wilayah dalam impelementasi dalam kebijakan ekonomi,

perencanaan pembangunan wilayah menyimpan tiga pilar penting (Hoover dan

Giarratani dalam Nugroho dan Dahuri, 2002). Pertama, keunggulan koperatif

(imperfect mobility of factor). Pilar ini berhubungan erat dengan keadaan

ditemukannya sumber-sumber daya tertentu yang secara fisik relatif sulit atau

memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya

faktor-faktor lokal (bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya), yang

mengikat mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki

keunggulan komparatif. Kedua, aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar

aglomerasi merupakan fenomena yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi

berupa meningkatnya keuntungan-keuntungan (imperfect mobility) sebagai akibat

pemusatan ekonomi sacara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-

biaya produksi akibat penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan

distribusi produk. Ketiga, biaya transpor (imperfect mobility of good and

services). Pilar ini adalah yang paling kasat mata dan sangat mempengaruhi
13

aktivitas perekonomian. Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan

lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan

wilayah.

2.2.1 Pengertian Umum Agropolitan

Penerapan model pusat-pusat pertumbuhan di negara-negara berkembang

melalui strategi industrialisasi dan investasi ekonomi yang diarahkan pada

perkotaan yang relatif memiliki pertumbuhan cepat menyebabkan berbagai

ketimpangan, termasuk antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan.

Moderenisasi baik secara sosial dan ekonomi yang dimiliki wilayah perkotaan

tidak dapat dinikmati oleh penduduk yang menyebabkan wilayah perdesaan

semakin tertinggal dari wilayah perkotaan dan terdapat gejala kota

mengeksploitasi sumber daya alam perdesaan secara besar-besaran (urban bias).

Friedmann dan Douglass (1975) dalam Ernan dan Sugimin (2007)

menawarkan konsep agropolitan sebagai solusi atas terjadinya pembangunan yang

tidak berimbang antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Desa dan kota

mempunyai peran yang sama dalam pengembangan ekonomi suatu wilayah. Jika

peran desa dan kota tersebut dapat berjalan dengan baik maka akan menciptakan

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan wilayah yang ideal

adalah terjadinya interaksi wilayah yang sinergis dan saling memperkuat,

sehingga nilai tambah yang diperoleh dari adanya interaksi tersebut dapat terbagi

secara adil dan proporsional sesuai dengan peran dan potensi sumberdaya yang

dimiliki masing-masing wilayah.


14

Agropolitan, diartikan sebagai upaya pengembangan kawasan pertanian

yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis,

yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan

pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Kawasan sentra produksi pangan

(agropolitan) merupakan kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena

berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong,

menarik, kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.

Kawasan sentra produksi pangan (agropolitan), terdiri dari kota pertanian dan

desa-desa sentra produksi pertanian yang ada disekitarnya, dengan batasan yang

tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi lebih ditentukan

dengan memperhatikan skala ekonomi kawasan yang ada.


15

Pendekatan pembangunan kawasan agropolitan menggunakan pendekatan

pembangunan sistem agribisnis. Sistem agribisnis ini mencakup 5 sub sistem

(Sutawi, 2002), yaitu: 1) Sub sistem agribisnis hulu (up stream agribusiness),

yakni industri-indsutri yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian;

2) Sub sistem usaha tani (on farm agribusines), yaitu kegiatan yang menggunakan

barang-barang modal dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas

primer; 3) Sub sistem pengolahan (down stream agrobusiness), yaitu industri

yang mengolah komoditas primer menjadi produk olahan baik produk antara

maupun produk akhir ; 4) Sub sistem pemasaran, yaitu kegiatan–kegiatan untuk

memperlancar pemasaran komoditas pertanian baik segar maupun olahan didalam

dan luar negeri; 5) Sub sistem jasa yang menyediakan jasa bagi sub sistem

agribisnis hulu, sub sistem usaha tani dan sub sistem agribisnis hilir.

Pembangunan sistem dan usaha agribisnis ini diarahkan secara terpadu untuk

mendayagunakan keunggulan komparatif yang dimiliki suatu wilayah (perdesaan)

yang memiliki keterkaitan kuat dengan aktivitas budidaya pertanian menjadi

keunggulan bersaing.

Pengelolaan ruang dimaknakan sebagai kegiatan pengaturan,

pengendalian, pengawasan, evaluasi, penertiban dan peninjauan kembali atas

pemanfaatan ruang kawasan sentra produksi pangan (agropolitan). Program

pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) adalah

pembangunan ekonomi berbasis pertanian yang dilaksanakan dengan jalan

mensinergikan berbagai potensi yang ada, yang utuh dan menyeluruh, yang

berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang

digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah.


16

Di Indonesia, agropolitan diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh

dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu

melayani dan mendorong kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) diwilayah

sekitarnya. Tujuan dari pengembangan kawasan agropolitan ini untuk

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan

pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan

mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing

berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi di kawasan agropolitan.

Kawasan perdesaan harus dikembangkan sebagai satu kesatuan pengembangan

wilayah berdasarkan keterkaitan ekonomi antara desa-kota (urban-rural

linkages), dan menyeluruh hubungan yang bersifat interpendensi/timbal balik

yang dinamis.

2.2.1. Ciri-Ciri Kawasan Agropolitan

Suatu kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) yang sudah

berkembang harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Sebagian besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut di dominasi oleh

kegiatan pertanian dan atau agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan

terintegrasi mulai dari :

a. Subsistem agribisnis hulu (up stream agribusiness) yang mencakup:

mesin, peralatan pertanian pupuk, dan lain-lain.


17

b. Subsistem usaha tani/pertanian primer (on farm agribusiness) yang

mencakup usaha: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan,

peternakan, dan kehutanan.

c. Subsistem agribisnis hilir (down stream agribusiness) yang meliputi:

industri-industri pengolahan dan pemasarannya, termasuk perdagangan

untuk kegiatan ekspor.

d. Subsistem jasa-jasa penunjang (kegiatan yang menyediakan jasa bagi

agribisnis) seperti: perkreditan, asuransi, transportasi, penelitian dan

pengembangan, pendidikan, penyuluhan, infrastruktur, dan kebijakan

pemerintah.

2. Adanya keterkaitan antara kota dengan desa (urban-rural linkages) yang

bersifat interdependensi/timbal balik dan saling membutuhkan, dimana

kawasan pertanian di perdesaan mengembangkan usaha budi daya (on farm)

dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota

menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budi daya dan agribisnis

seperti penyediaan sarana pertanian antara lain: modal, teknologi, informasi,

peralatan pertanian dan lain sebagainya.

3. Kegiatan sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh

kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk didalamnya usaha industri

(pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk

perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana

pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.

4. Kehidupan masyarakat di kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) sama

dengan suasana kehidupan di perkotaan, karena prasaranaa dan infrastruktur


18

yang ada dikawasan agropolitan diusahakan tidak jauh berbeda dengan di

kota.

2.2.2. Persyaratan Kawasan Agropolitan

Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan sentra produksi

pangan (agropolitan) harus dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1 . Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk

mengembangkan komoditi pertanian khususnya pangan, yang dapat

dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi

unggulan).

2 Memiliki prasarana dan infrastruktur yang memadai untuk mendukung

pengembangan sistem dan usaha agribisnis khususnya pangan, seperti

misalnya : jalan, sarana irigasi/pengairan, sumber air baku, pasar,

terminal, jaringan telekomunikasi, fasilitas perbankan, pusat informasi

pengembangan agribisnis, sarana produksi pengolahan hasil pertanian,

dan fasilitas umum serta fasilitas sosial lainnya.

3 Memiliki sumberdaya manusia yang mau dan berpotensi untuk

mengembangkan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) secara

mandiri.

4 Konservasi alam dan kelestarian lingkungan hidup bagi kelestarian

sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun ekosistem secara

keseluruhan.

2.3. Evaluasi dan Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk

tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah
19

teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan atau arahan

penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat

kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut

dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan

perbaikan (kesesuaian lahan potensial).

Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat

biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan

yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa

karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh

tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian

lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang

dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau

lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih

memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan

tanaman yang lebih sesuai.

Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat

dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit.

Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian

lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang

tidak sesuai (N=Not Suitable).

Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo yang

menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut

dibelakang simbol ordo yang menunjukkan tingkat kelas yang makin kurang

sesuai bila nomornya makin tinggi. Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian
20

dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-

masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi : (1) Untuk

pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan

yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu : lahan sangat

sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang

tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk

pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan

atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).

Adapun penjelasan mengenai tingkat Kesesuaian lahan untuk pemetaan

tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) secara kualitatif pembagian dan

defenisi kelas adalah sebagai berikut :

Kelas S1 : Sangat sesuai (Highly Suitable). Lahan tidak mempunyai faktor

pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara

berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan

berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.

Kelas S2 : Cukup sesuai (Moderate Suitable). Lahan mempunyai faktor

pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap

produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input).

Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.

Kelas S3 : Sesuai marginal ( Marginally Suitable). Lahan mempunyai faktor

pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat

berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan

masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2.

Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal


21

tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan

(intervensi) pemerintah atau pihak swasta.

Kelas N1 : Tidak sesuai pada saat ini (currenly not suitable). Lahan yang

mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih mungkin bisa

diperbaiki dengan tingkat pengelolaan tinggi. Faktor pembatas

sedemikian besarnya sehingga tanpa pengelolaan tinggi, mencegah

penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

Kelas N2 : Tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable). Lahan

mempunyai pembatas permanent yang sangat berat sehingga

mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari.

2.4. Studi Kelayakan Ekonomi

Studi kelayakan adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam

dan menyeluruh tentang suatu kegiatan atau usaha atau bisnis yang akan

dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan

(Kasmir dan Jakfar, 2003).

Kelayakan berarti penelitian yang dilakukan secara mendalam tersebut

dilakukan untuk menentukan apakah usaha yang akan dijalankan memberikan

manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang akan dikeluarkan.

Dengan kata lain kelayakan dapat diartikan bahwa usaha yang dijalankan akan

memberikan keuntungan finansial dan non finansial. Aspek-aspek yang dikaji

dalam studi kelayakan mencakup aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan

teknologis, aspek organisasi dan manajemen serta aspek ekonomi dan keuangan

(Ibrahim, 2003). Pada penelitian ini yang dikaji adalah aspek keuangan/finansial.
22

Analisis kelayakan finansial merupakan salah satu cara untuk

mengevaluasi suatu usaha. Beberapa metode kriteria investasi yang digunakan

yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Net B/C.

Berbagai kriteria tersebut mencerminkan analisis partial yang didasarkan pada

asumsi bahwa proyek yang dianalisa itu kecil dibandingkan dengan perekonomian

secara keseluruhan, sehingga tidak mempengaruhi harga-harga (Kadariah, 1988).

Analisis finansial ini penting dalam memperhitungkan insentif bagi orang-

orang yang turut serta dalam mensukseskan pelaksanaan proyek atau usaha, sebab

tidak ada gunanya melaksanakan suatu proyek atau usaha jika hanya

menguntungkan dari sudut ekonominya tetapi para petani yang menjalankan

aktivitas produksi tidak bertambah baik keadaannya (Kadariah dkk, 1999). Maka

dalam mengelolah usahatani perlu dilakukan analisis finansial selama umur

proyek tersebut. Tujuan dari penggunaan analisis finansial adalah untuk

memperkirakan tingkat kelayakan usahatani tersebut. Suatu proyek usahatani

disebut layak apabila manfaat yang dihasilkan lebih besar dari pada biaya yang

dikeluarkan selama proyek tersebut dilaksanakan. Karenanya berbagai faktor

penunjang yang mendukung proyek tersebut secara pasti harus diketahui sebelum

proyek itu dilaksanakan (Choliq dkk, 1999). Studi kelayakan adalah suatu

kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha

atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak

usaha tersebut dijalankan (Kasmir dan Jakfar, 2003).

Kelayakan berarti penelitian yang dilakukan secara mendalam tersebut

dilakukan untuk menentukan apakah usaha yang akan dijalankan akan

memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang akan
23

dikeluarkan. Dengan kata lain kelayakan dapat diartikan bahwa usaha yang

dijalankan akan memberikan keuntungan finansial dan non finansial.

Aspek-aspek yang dikaji dalam studi kelayakan mencakup aspek pasar dan

pemasaran, aspek teknis dan teknologis, aspek organisasi dan manajemen serta

aspek ekonomi dan keuangan (Ibrahim, 2003). Pada penelitian ini yang dikaji

adalah aspek keuangan/finansial.

Analisis kelayakan finansial merupakan salah satu cara untuk

mengevaluasi suatu usaha. Beberapa metode kriteria investasi yang digunakan

yaitu NPV, IRR dan Net B/C. Berbagai kriteria tersebut mencerminkan analisis

partial yang didasarkan pada asumsi bahwa proyek yang dianalisa itu kecil

dibandingkan dengan perekonomian secara keseluruhan, sehingga tidak

mempengaruhi harga-harga (Kadariah, 1988).

Suatu proyek usahatani disebut layak apabila manfaat yang dihasilkan

lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan selama proyek tersebut dilaksanakan.

Karenanya berbagai faktor penunjang yang mendukung proyek tersebut secara

pasti harus diketahui sebelum proyek itu dilaksanakan (Choliq dkk, 1999).

Ukuran menyeluruh untuk mengetahui baik tidaknya suatu usaha adalah

menggunakan kriteria investasi. Usaha dapat dikatakan layak untuk dijalankan

apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : NPV ≥ 0; Net B/C ≥ 1; IRR ≥

Opportunity Cost of Capital (Kadariah dkk, 1999).

Menurut Choliq, dkk (1999), bahwa Net Present Value (NPV) digunakan

untuk menghitung selisih antara present value dari benefit (manfaat) dan cost

(biaya) pada Discount Factor tertentu, dan menurut Kadariah (1988) NPV
24

digunakan untuk mengukur hasil bersih yang maksimal yang dapat dicapai dengan

investasi modal atau pengorbanan sumber-sumber lain.

Suatu usaha dikatakan layak apabila dalam perhitungan hasil NPV positif.

Sedangkan Internal Rate of Return (IRR) digunakan untuk mengetahui persentase

keuntungan dari suatu proyek tiap-tiap tahun dan juga merupakan alat ukur

kemampuan proyek dalam mengembalikan bunga pinjaman.

Apabila nilai suatu IRR lebih besar dari pada/sama dengan Opportunity

Cost of Capital, maka proyek dinyatakan layak. Adapun metode yang digunakan

dalam analisis kelayakan finansial adalah NPV, IRR dan Net B/C. Suatu proyek

dikatakan layak apabila NPV ≥ 0 (positif), IRR ≥ Opportunity Cost of Capital,

dan Net B/C ≥ 1.

2.5 Analitis Hirarki Proses (AHP)

Dalam suatu proses pengambilan keputusan, para pengambil keputusan

seringkali dihadapkan pada berbagai masalah yang bersumber dari beragamnya

kriteria. Analisis hirarki proses (AHP) dapat digunakan untuk menyelesaikan

masalah tersebut. AHP dikembangkan di Wharton School of Business oleh

Thomas Saaty pada tahun 1970-an. Pada saat itu Saaty merupakan profesor di

Wharton School of Business. Pada tahun 1980, Saaty akhirnya mempublikasikan

karyanya tersebut dalam bukunya yang berjudul Analytic Hierarchy Process

(Sumbangan, 2002).

AHP kemudian menjadi alat yang sering digunakan dalam pengambilan

keputusan karena AHP berdasarkan pada teori yang merefleksikan cara orang

berpikir. Dalam perkembangannya, AHP dapat digunakan sebagai model

alternatif dalam menyelesaikan berbagai macam masalah, seperti memilih


25

portofolio dan peramalan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering

menghadapi kondisi untuk melakukan pengambilan keputusan dengan segera.

Umumnya kita juga telah memikirkan beberapa alternatif solusi, dengan berbagai

argumen pro dan kontra. Dengan demikian, AHP dapat memberikan solusi yang

optimal dengan cara yang transparan melalui :

 Analisis keputusan secara kuantitatif dan kualitatif,

 Evaluasi dan representasi solusi secara sederhana melalui model hirarki,

 Argumen yang logis,

 Pengujian kualitas keputusan,

 Waktu yang dibutuhkan relatif singkat.

Menurut (Tanjung dan Ma’arif, 2003) pada prinsipnya, metode AHP ini

memecah-mecah suatu situasi yang kompleks, tidak terstruktur, ke dalam bagian-

bagian secara lebih terstruktur, mulai dari goals ke objectives, kemudian ke sub-

objectives lalu menjadi alternatif tindakan. Pembuat keputusan kemudian

membuat perbandingan sederhana hirarki tersebut untuk memperoleh prioritas

seluruh alternatif yang ada.

Secara detail, terdapat tiga prinsip dasar AHP, yaitu :

1. Dekomposisi (Decomposition)

Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan decomposition,

yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin

mendapatkan hasil yang akurat, maka pemecahan terhadap unsur-unsurnya

dilakukan hingga tidak memungkinkan dilakukan pemecahan lebih lanjut.


26

Pemecahan tersebut akan menghasilkan beberapa tingkatan dari suatu

persoalan. Oleh karena itu, proses analisis ini dinamakan hierarki (hierachy).

2. Penilaian Komparasi (Comparative Judgment)

Prinsip ini membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada

suatu tingkat tertentu yang berkaitan dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini

merupakan inti dari AHP karena berpengaruh terhadap prioritas elemen-

elemen. Hasil penilaian ini tampak lebih baik bila disajikan dalam bentuk

matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison).

3. Penentuan Prioritas (Synthesis of Priority)

Dari setiap matriks pairwise comparison dapat ditentukan nilai

eigenvector untuk mendapatkan prioritas daerah (local priority). Oleh karena

matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka global priority

dapat diperoleh dengan melakukan sintesa di antara prioritas daerah. Prosedur

melakukan sintesa berbeda menurut hierarki. Pengurutan elemen-elemen

menurut kepentingan relative melalui prosedur sintesa dinamakan priority

setting. Pertanyaan yang biasa diajukan dalam penyusunan skala kepentingan

adalah :

a. Elemen mana yang lebih (penting/disukai/mungkin/….)

b. Berapa kali lebih penting (penting/disukai/mungkin/….)

Agar diperoleh skala yang bermanfaat ketika membandingkan dua elemen,

seseorang akan memberikan jawaban perlu memahami pengertian menyeluruh

tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria atau


27

tujuan yang dipelajari. Dalam penyusunan skala kepentingan ini digunakan

patokan Tabel sebagai berikut :

Tabel 1. Skala Dasar Analisis Hirarki Proses

Tingkat kepentingan Defenisi


1  Sama pentingnya dengan yang lain
3  Moderat pentingnya dibanding yang lain
5  Kuat pentingnya dibanding yang lain
7  Sangat kuat pentingnya dibandingkan yang lain
9
 Ekstrim pentingnya dibandingkan dengan yang lain
2, 4, 6, 8
 Nilai diantara dua penilain yang berdekatan
Reciprocal
 Jika elemen i memiliki salah satu angaka diatas
dibandingkan elemen j, maka elemen j memiliki
nilai kebalikannya ketika dibanding elemen i.

AHP merupakan salah satu alat dalam memecahkan masalah yang bersifat

strategis. Langkah-langkah penggunaan AHP adalah sebagai berikut: (1)

Identifikasi sisitem, (2) Penyusunan hirarki, (3) Penyusunan maktriks gabungan,

(4) Pengolahan (5) Perhitungan vektor prioritas.

Adapun alur dari penggunaan AHP dapat dilihat pada Gambar 1.

A
MULAI

IDENTIFIKASI SISTEM
PENGOLAHAN VERTIKAL

PENYUSUNAN HIRAKI

MENGHITUNG VEKTOR PRIORITAS


SELESAI
28
CR MEMENUHI
PENYUSUNAN HIRAKI

MENYUSUN MAKTRIKS GABUNGAN

A
TIDAK

Gambar 1. Diagram Alur Metode AHP (Saaty T.L).

2.5.1. Manfaat AHP

Fokus AHP adalah pencapaian tujuan yang akan menghasilkan keputusan

yang rasional. Keputusan yang rasional didefinisikan sebagai keputusan terbaik

dari berbagai tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat keputusan. Kunci utama

keputusan yang rasional tersebut adalah tujuan, bukan alternatif, kriteria, atau

atribut. Masalah yang dapat diselesaikan dengan menggunakan AHP meliputi

masalah sosial, politik. AHP bermanfaat untuk menghadapi perspektif, rasional

dan irrasional, serta risiko dan ketidakpastian dalam lingkungan yang kompleks.

AHP juga dapat digunakan untuk memprediksi hasil, merencanakan hasil yang
29

diharapkan di masa yang akan datang, memfasilitasi pembuatan keputusan sebuah

kelompok, melakukan kontrol terhadap perubahan sistem pembuatan keputusan,

mengalokasikan sumber daya, memilih alternatif, melakukan perbandingan

cost/benefit, mengevaluasi karyawan dan mengalokasikan kenaikan gaji.

Secara khusus, AHP sesuai untuk digunakan dalam pengambilan

keputusan yang melibatkan perbandingan elemen keputusan yang sulit untuk

dinilai secara kuantitatif. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa reaksi natural

manusia ketika menghadapi pengambilan keputusan yang kompleks adalah

mengelompokkan elemen-elemen keputusan tersebut menurut karakteristiknya

secara umum. Pengelompokan ini meliputi pembuatan hirarki (ranking) dari

elemen-elemen keputusan kemudian melakukan perbandingan antara setiap

pasangan dalam setiap kelompok, sebagai suatu matriks. Setelah itu akan

diperoleh bobot dan rasio inkonsistensi untuk setiap elemen. Dengan demikian

akan mudah untuk menguji konsistensi data.

AHP merupakan sebuah metode sistematis untuk membandingkan

seperangkat tujuan atau alternatif. Dalam hal ini, AHP merupakan proses

perumusan kebijakan yang powerful dan fleksibel dalam menentukan prioritas,

membandingkan alternatif dan membuat keputusan yang terbaik ketika pengambil

keputusan harus mempertimbangkan aspek kuantitatif dan kualitatif. AHP

mengurangi kerumitan suatu keputusan menjadi rangkaian perbandingan satu-

satu, kemudian mensistesis hasil perbandingan tersebut. Dengan demikian, AHP

tidak hanya bermanfaat dalam pembuatan keputusan yang terbaik tetapi juga

memberikan dasar yang kuat bahwa keputusan tersebut merupakan keputusan

yang terbaik.
30

Anda mungkin juga menyukai