Bogor 16680
3)Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, Jl. Meranti
ABSTRACT
Agro-hydrological drought can be interpreted as a shortage of surface water and ground water supplying and
insufficient for plants and society needs for a certain period. So far there have been no agro-hidrology drought index that
combine climate, surface and ground factors. This study develops a Drought Hazard Index (DHI) as an indicator of Agro-
Hydrological drought. The model developed from a combination of dry season rainfall, ground water depth, distance of water
sources, soil texture and Water Supply Vegetation Index (WSVI) using remote sensing and GIS methods. The Agro-hidrology
Drought Hazard Index developed is DHI = (0.33CH) + (0.27KAT) + (0.20SA) + (0.13T) + (0.06WSVI) with model validation
results showed high similarity drought in the field.
ABSTRAK
Kekeringan agro-hidrologi dapat diartikan sebagai kekurangan air permukaan, air tanah dan mencukupi untuk
tanaman dan kebutuhan masyarakat untuk jangka waktu tertentu. Sejauh ini belum ada indeks kekerigan agro-hidrologi yang
menggabungkan faktor iklim, air permukaan, dan air bawah permukaan tanah. Penelitian ini merumuskan sebuah indeks
bahaya kekeringan (Ibk) sebagai indikator kekeringan agro-hidrologi. Model yang dikembangkan dari kombinasi curah hujan
musim kering, kedalaman air tanah, jarak sumber air, tekstur tanah dan indeks ketersediaan air bagi tanaman dengan
menggunakan metode penginderaan jauh dan GIS. Indeks bahaya kekeringan agro-hidrologi yang telah dikembangkan adalah
Ibk= (0.33CH) + (0.27KAT) + (0.20SA) + (0.13T) + (0.0WSVI) dengan hasil validasi model menunjukkan kemiripan yang
tinggi kekeringan di lapangan.
Kata kunci: Kekeringan agro-hidrologi, analisis GIS, indeks bahaya, penginderaan jauh
PENDAHULUAN ha dan puso sebesar 3,713 ha. Dari jumlah itu, urutan
pertama adalah Sulawesi Selatan dengan kekeringan
Kekeringan didefinisikan secara umum adalah 27,889 ha dan puso 1,490 ha (BNPB, 2011).
kurangnya ketersediaan air untuk sementara/dalam jangka Kabupaten Sidrap dan Pinrang merupakan daerah
waktu tertentu. Kekeringan dapat diartikan juga sebagai yang berada di wilayah sungai Kariango yang termasuk
suatu keadaan dimana terjadi kekurangan air, dalam hal ini sentra produksi beras di Sulawesi Selatan yang telah
biasanya dikonotasikan dengan kekurangan air hujan mengalami kekeringan. Balai Penyuluh Kecamatan (BPK)
(Raharjo, 2010). Bencana kekeringan merupakan bencana Patampanua Kabupaten Pinrang melaporkan bahwa
yang terjadi secara perlahan akan tetapi dapat perkembangan intensifikasi tanaman padi musim tanam
menimbulkan kerusakan dan kerugian yang sangat besar. April-September 2011, menunjukkan 3 desa yang
Beberapa dari dampak kekeringan adalah krisis air dan mengalami kekeringan (puso) antara lain: Desa Sipatuo
krisis pangan. seluas 180 ha, Desa Malimpung seluas 317 ha dan Desa
Krisis pangan dapat terjadi di Indonesia, yang Padang Loang seluas 51 ha.
salah satunya terkait dengan bencana kekeringan saat ini Saat ini terdapat 3 indeks kekeringan popular
yang mengancam penurunan produksi pangan nasional. yang sering digunakan yaitu Indeks kekeringan Borger
Data Kementerian Pertanian pada bulan Januari-Juli 2011 untuk kekeringan meteorologi, Indeks suplai air
menunjukkan daerah kekeringan 73,703 ha dan puso 2,089 permukaan (Surface Water Supply Index) untuk
ha, yang mengalami peningkatan di bulan Agustus 95,851 kekeringan hidrologi, dan Indeks keparahan kekeringan
Palmer (Palmer Drought Severity Index) untuk kawasan Excel, Global Positioning System (GPS) dan alat tulis
budidaya pertanian. Pada dasarnya dalam penentuan menulis.
kekeringan didasarkan pada objek kekeringannya, belum
terdapat adanya gabungan antara kekeringan satu dan Jenis dan Sumber Data
lainnya. Wilayah sungai Kariango pada bulan kering
Data primer berupa data citra Landsat dan data
mengalami kekurangan air baik untuk masyarakat maupun
yang diperoleh melalui survei dan wawancara penduduk
untuk pertanian. Penelitian ini mencoba merumuskan
dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder
indeks kekeringan yang dapat menjawab kekeringan
terdiri dari data spasial dan data tabular antara lain batas
hidrologis dan pertanian di lokasi penelitian. Effendy
administrasi BPDAS Saddang Sulsel, data wilayah sungai
(2011) menyatakan diperlukan indeks kekeringan baru
Kariango dan curah hujan BMKG Maris, Sulsel; peta
dengan memasukkan parameter unsur meteorologi (curah
tanah skala 1:250,000 (PPT Bogor); citra Landsat ETM7
hujan, suhu udara, evaporasi, kelembaban nisbi udara) dan
2011; sungai (peta RBI 1:50,000), kedalaman sumur
unsur lain berupa sumber air, tanah, vegetasi dan populasi.
(survei dan wawancara); dan validasi data kekeringan
BNPB (2011) telah memetakan indeks risiko
(survei dan wawancara).
kekeringan di Sulawesi selatan dengan skala 1:1,700,000,
Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu 1)
dan wilayah sungai Kariango berada dalam kelas sedang.
pengumpulan data, 2) pengolahan data awal, dan 3)
Pemetaan tersebut memiliki cakupan besar dan belum
analisis data yang diagramatiknya disajikan pada
dapat dipakai untuk penanggulangan kekeringan di daerah
Gambar 2.
yang detil. Perumusan upaya mitigasi memerlukan analisis
bahaya kekeringan dengan skala detil di lokasi tersebut
karena wilayah sungai Kariango termasuk sentra produksi
beras di Sulawesi Selatan.
Penelitian ini baru, dengan tujuan membuat
indeks dan peta bahaya kekeringan agro-hidrologi serta
mengetahui sebaran bahaya kekeringan pada penggunaan
lahan di wilayah sungai Kariango.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah sungai
Kariango Sulawesi Selatan terletak pada 3039’0”-4003’0”
LS dan 119034’0”BT-119053’0” BT tersaji pada Gambar 1
dengan luas secara administrasi terletak dalam 3
Kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Pinrang,
Sidrap, dan Enrekang seluas 80,365 ha.
Metode Analisis
13
J. Tanah Lingk., 15 (1) April 2013: 12-19 ISSN 1410-7333
14
Penentuan Indeks Bahaya Kekeringan Agro-Hidrologi (Syarif, M.M., B. Barus, dan S. Effendy)
15
J. Tanah Lingk., 15 (1) April 2013: 12-19 ISSN 1410-7333
Tabel 2. Jenis penggunaan lahan 2011 hasil dijitasi on-screen ketersediaan air bagi masyarakat dan tanaman (air tanah
dipompa oleh perakaran tanaman). Jenis tanaman,
Jenis Penggunaan Lahan Luas
kerapatan penutupan dan penutupan tanaman berpengaruh
ha %
Hutan 1,595 1.98 langsung terhadap jumlah air pada permuakan tanah di
Tubuh Air 216 0.27 dalam DAS (Indarto, 2010). Ketika vegetasi mengalami
Tambak 1,328 1.65 kekeringan, NDVI menurun dan suhu kanopi meningkat,
Pertanian lahan kering/kebun WSVI menurun. Oleh karena itu, WSVI dapat
27,831 34.6
campuran
Mangrove 42.7 0.05 mencerminkan kekeringan efektif (Zhao et al., 2005 dalam
Semak/Belukar 7,148 8.89 Sivakumar et al., 2005).
Permukiman 2,018 2.51 Dalam penentuan tingkat bahaya kekeringan
Sawah 40,185 50.0 dilakukan pembobotan semua parameter berdasarkan
Jumlah 80,365 100.00 urutan kepentingannya, yaitu semakin besar pengaruhnya
maka bobot yang diberikan juga semakin besar. Konsep
Indeks Kekeringan Agro-Hidrologi pemilihan penentuan faktor parameter dan urutan
Kekeringan agro-hidrologi dapat diartikan pengaruhnya dalam rumusan indeks bahaya kekeringan
kurangnya pasokan air permukaan dan air tanah sehingga sebagai berikut: kurangnya curah hujan menjadi indikator
tidak mampu memenuhi/mempengaruhi kebutuhan awal suatu wilayah rawan kekeringan sehingga parameter
tanaman dan masyarakat pada periode waktu tertentu. ini diputuskan menempati bobot pertama. Air tanah secara
Dalam kajian indeks bahaya kekeringan agro-hidrologi, langsung berpengaruh bila curah hujan kurang yang
pemilihan faktor yang digunakan dan bobot kepentingan sifatnya menampung air hujan dan mengalirkannya ke
didasarkan pada konsep air tersedia. sungai, sehingga bobot air tanah lebih tinggi dari bobot
Intensitas hujan yang rendah pada musim sungai. Semakin dalam air tanah dan jauh dari sumber air
kemarau sangat mempengaruhi terjadinya kekeringan, menggambarkan rawan kekeringan. Tekstur tanah
setiap penyimpangan curah hujan secara langsung akan mengurangi dan meningkatkan efek kekeringan karena
mempengaruhi tingkat kedalaman air tanah (Dileep et al., perbedaan dalam daya mengikat air dan menyalurkannya.
2007). Jika muka air tanah cukup dalam, maka kapasitas Selanjutnya vegetasi tergantung pada tekstur tanah
akuifernya relatif kecil, sehingga daerah tersebut akan memenuhi kebutuhan tanaman.
mudah mengalami kekeringan, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan dari ulasan tersebut, maka parameter
Kedalaman air tanah mencerminkan kapasitas akuifer yang terpilih diurut berdasarkan kepentingan dan bobotnya
untuk menyimpan air dan mengalirkan ke sungai. Sungai sehingga diperoleh bobot normalisasi dengan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam fungsinya menggunakan metode rasional. Pembobotan parameter
sebagai tempat mengalirkan air. Semakin dekat dengan yang mempengaruhi kekeringan disajikan pada Tabel 3.
sumber air maka daerah tersebut kecil kemungkinan
Tabel 3. Bobot normalisasi parameter
mengalami kejadian kekeringan. Air permukaan tanah dan
air tanah yang mengalir ke sungai berhubungan langsung Parameter
Urutan Urutan Bobot
dengan tekstur tanah dalam pola gerakan air (Indarto, Kepentingan Bobot Normalisasi
Curah Hujan (CH) 1 5 0.33
2010). Tekstur tanah dapat meningkatkan atau mengurangi
Kedalaman Air
efek kekeringan, karena perbedaan dalam aerasi 2 4 0.27
Tanah (KAT)
memegang air (Berger et al., 2012). Tekstur tanah Sumber air (SA) 3 3 0.20
menentukan jumlah air yang dapat diikat pada berbagai Tekstur Tanah (T) 4 2 0.13
Water Supplying
kondisi kadar lengas tanah; semakin baik daya ikat air
Vegetation Index 5 1 0.07
tanah akan semakin baik untuk kebutuhan dan (WSVI)
16
Penentuan Indeks Bahaya Kekeringan Agro-Hidrologi (Syarif, M.M., B. Barus, dan S. Effendy)
Dari hasil pembobotan yang dibuat dihasilkan kekeringan. Hal ini dikarenakan belum ada persepsi petani
persamaan yang digunakan dalam persamaan Indeks dan pemerintah yang sama mengenai tingkat kekeringan di
Bahaya Kekeringan Agro-hidrologi sebagai berikut : lapangan dan bencana kekeringan tidak seperti bencana
lain seperti longsor dan banjir yang meninggalkan jejak
tingkat bencana.
………………………………… (11) Terkait dengan data puso tidak bisa digunakan
dimana : dalam membandingkan tingkat kekeringan karena
Ibk = Indeks Bahaya Kekeringan klasifikasi puso sendiri juga belum ada persepsi yang sama
CH = Skor curah hujan antara petani dan pemerintah. Selain itu, dari informasi
KAT = Skor kedalaman air tanah petani yang diwawancarai, banyak lahan sawah mereka
SA = Skor sumber air yang mengalami gagal panen tidak ikut terdata dalam
T = Skor tekstur tanah kategori puso dan yang terdata hanya sebagian petani yang
WSVI = Skor Indeks ketersediaan air tanaman (Water tergabung dalam kelompok tani.
Supplying Vegetation Index) Analisis tumpang tindih yang dilakukan
menghasilkan wilayah-wilayah yang menggambarkan
Penentuan nilai kelas bahaya, skor dari kelima
kondisi kekeringan di wilayah tersebut. Wilayah bahaya
parameter yang dikalikan dengan bobot normalisasi dibagi
kekeringan dapat diartikan sebagai daerah terancam
dalam beberapa kelas yaitu aman, rendah, sedang dan
kekeringan cukup tinggi karena curah hujan rendah dan
tinggi.
sumber air tanah terbatas, atau daerah yang mempunyai
Pembuatan peta bahaya kekeringan dilakukan
faktor fisik lahan/tanah yang dapat mempercepat
dengan cara menjumlahkan nilai skor keseluruhan dari
timbulnya kekeringan. Nilai bahaya kekeringan (Tabel 4)
hasil tumpang tindih peta tematik penyebab kekeringan
menunjukkan dari total luasan kajian kekeringan hanya
yang disusun. Semua parameter yang digunakan telah
terdapat 25.7% atau seluas 20,618 ha tidak mengalami
distandarisasi dengan ukuran piksel yang sama 30x30 m2
kekeringan yang berada tidak jauh dari jarak sumber air.
mengikuti ukuran piksel citra Landsat sehingga skala peta
Hal ini menunjukkan lokasi kajian sangat rawan bencana
yang dihasilkan dari analisis indeks bahaya kekeringan
kekeringan. Luasan hasil analisis bahaya tidak sesuai
agro-hidrologi tersebut menghasilkan skala peta 60,000.
dengan luasan wilayah kajian, akibat adanya konversi data
Validasi model kekeringan yang dibuat dengan
raster ke vektor sehingga luasan bertambah sebesar 91.3
kekeringan aktual di lokasi penelitian sangat akurat dari
ha.
tolak ukur titik validasi lapangan 96%, dimana dari 53 titik
validasi lapangan yang diperoleh dari hasil wawancara Tabel 4. Kelas bahaya kekeringan beserta luasannya di lokasi
kelompok tani dan masyarakat terdapat 51 titik yang penelitian
sesuai dan yang tidak sesuai (error). Ada 2 titik yaitu titik
yang mengalami kekeringan dan tidak kering. Sebaran Kelas Luas
Nilai Interval
Bahaya Ha %
kekeringan di DAS Kariango disajikan pada Gambar 4. 1.12 - 2.07 Aman 20,618 25.7
Gambar 5 menunjukkan korelasi yang sedang 2.07 - 2.54 Rendah 26,195 32.6
antara luasan puso dan luasan model yang mengalami 2.54 - 3.01 Sedang 23,763 29.5
kekeringan. Sejauh ini belum ada standarisasi yang dapat 3.01 - 4.01 Tinggi 9,826 12.2
digunakan acuan untuk mengukur keakuratan tingkat Jumlah 80,456.64 100.00
kekeringan di lapangan dan tingkat kekeringan di model
2 titik tidak
sesuai dari 53
titik validasi
lapangan
17
J. Tanah Lingk., 15 (1) April 2013: 12-19 ISSN 1410-7333
Puso Pusodan
& Model
ModelKekeringan
Pusodan Model
& Model Kekeringan
Kekeringan RendahRendah Puso Kekeringan Sedang
Sedang
400
300
200
200 100
0
0
y = 0.286x + 0.266
18
Penentuan Indeks Bahaya Kekeringan Agro-Hidrologi (Syarif, M.M., B. Barus, dan S. Effendy)
anthropogenic effects on groundwater levels in Spiegel, M.R. 1961. Theory and Problems of Statistics.
Orissa, India. J. Hydrol., 343: 140-153. McGraw-Hill International Book Company. New
York.
Effendy, S. 2011. Geoindikator untuk
kekeringan.Workshop Pengembangan Indikator USDA Natural Resources Conservation Service. 2008.
Geo untuk Pengelolaan Risiko Bencana di Available Water Capacity. Soil Quality
Indonesia. Tim Pusat Pengkajian Perencanaan Indicators.
dan Pengembangan Wilayah dan LPPM, IPB Soils.usda.gov/sqi/assessment/files/available_wat
dengan Kementrian Riset dan Teknologi. er_capacity_sq_physical_indicator_sheet.pdf.(dia
kses 22 Januari 2013).
ESRI. 2010. ArcGIS Resources: On map scale and raster
resolution. blogs.esri.com/esri/arcgis/2010/12/12/ USGS. 2003. Landsat 7 science data users handbook.
on-map-scale-and-raster-resolution/. (diakses 8 http://ltpwww.gsfc.nasa.gov/IAS/
Januari 2013). handbook_htmls.(diakses Agustus 2012).
Indarto, 2010. Hidrologi. Dasar Teori dan Contoh Weng, Q. 2001. A remote sensing – GIS evaluation of
Aplikasi Model Hidrologi. PT. Bumi Aksara. urban expansion and its impact on surface
Jakarta. temperature in the Zhujiang Delta. Int. J. Remote
sensing, 22: 1999-2014.
Raharjo, P.D. 2010. Teknik penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis untuk identifikasi potensi Zhao, Y., S. Li. and Y. Zhang. 2005. Early Detection and
kekeringan. Makara Teknologi, 14:97-105. Monitoring of Drought and Flood in hina Using
Remote Sensing and GIS. In M.V.K. Sivakumar,
Sitanggang, G. 2008. Teknik dan metode fusi R.P. Motha, and Das. P (Eds.). Natural Disasters
(Pansharpening) data ALOS (AVNIR-2 dan and Extreme Events in Agriculture. Springer. pp
PRISM) untuk identifikasi penutup 308-309.
lahan/tanaman pertanian sawah. Majalah Sains
dan Teknologi Dirgantara, 3: 33-49.
19
J. Tanah Lingk., 15 (1) April 2013: 12-19 ISSN 1410-7333
20