Anda di halaman 1dari 7

POSITRON Vol. 9, No. 2 (2019), Hal.

74 - 80

DOI: 10.26418/positron.v9i2.35072

Analisis Karakteristik Kekeringan DAS Kapuas Kalimantan Barat


Berdasarkan Luaran Global Climate Model
Andi Ihwana,d*, Hidayat Pawitanb, Rahmat Hidayatb, Arnida Lailatul Latifahc dan Muh. Taufikb
aProgram Studi Klimatologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB
bDepartemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB
cLaboratorium HPC (High-Performance Computing) LIPI, Cibinong
dProgram Studi Geofisika FMIPA Universitas Tanjungpura

*Email : andihwan@physics.untan.ac.id
(Diterima 5 September 2019; Disetujui 19 November 2019; Dipublikasikan 30 November 2019)

Abstrak

Daerah aliran sungai (DAS) Kapuas, walaupun berada di wilayah benua maritim Indonesia dengan curah
hujan yang tinggi sepanjang tahun, namun sering mengalami kebakaran lahan dan hutan. Bencana
kebakaran lahan dan hutan tersebut merupakan dampak dari kekeringan yang berkepanjangan. Informasi
tentang karakteristik kekeringan di wilayah DAS Kapuas masih kurang diungkap terutama terkait dengan
penggunaan data iklim global. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik kekeringan
meteorologis dan kekeringan hidrologis DAS Kapuas. Analisis kekeringan meteorologis digunakan
pendekatan Standardize Precipitation Index (SPI) dan kekeringan hidrologis digunakan Standarized Runoff
Index (SRI). Data curah hujan dan runoff dari Global Climate Model (GCM) yang telah di-downscaling
menjadi 20 km x 20 km digunakan sebagai input data. Berdasarkan indeks kekeringan skala satu bulanan
selama 30 tahun (1981-2010), diperoleh bahwa DAS Kapuas telah mengalami kekeringan meteorologis
sebanyak 45 kali dan 48 kali kekeringan hidrologis dengan kategori moderat kering sampai dengan ekstrim
kering. Luas wilayah yang mengalami kekeringan meteorologis maksimum terjadi pada tahun 1986 yakni
11,01% dari total wilayah DAS, kekeringan hidrologis maksimum terjadi pada tahun 1991 yakni 13,9% dari
total wilayah DAS. Durasi kejadian kedua jenis kekeringan tersebut dominan berdurasi satu bulan. Luas
wilayah kekeringan, tingkat keparahan, frekuensi, dan durasi kekeringan cenderung meningkat saat
kejadian El-Niño. Hasil analisis karakteristik kekeringan menunjukkan bahwa data GCM dapat digunakan
untuk analisis kekeringan di DAS Kapuas.
Kata kunci: el-niño, iklim ekstrim, kekeringan meteorologis, kekeringan hidrologis, MIROC5
dengan anomali curah hujan di bawah normal,
1. Latar Belakang
sedangkan kekeringan hidrologi merupakan keke-
Permasalahan kondisi iklim ekstrim, terutama ringan yang berkaitan dengan kekurangan pasokan
ekstrim kering, merupakan tantangan tersendiri air permukaan serta air tanah. Metode untuk
untuk dikaji. Kejadian ekstim kering menyebabkan mengkaji karakteristik kekeringan sampai saat ini
terjadinya bencana kekeringan. Kekeringan diaki- telah banyak dikembangkan, salah satunya adalah
batkan karena kondisi anomali curah hujan ketika Standardize Precipitation Index (SPI) untuk keke-
intensitas curah hujan lebih rendah dibandingkan ringan meteorologis dan Standarized Runoff Index
dengan kondisi normal sehingga jumlah pasokan (SRI) untuk kekeringan hidrologis. Metode SPI dan
air tidak mencukupi [1,2]. Bencana kekeringan SRI merupakan metode kekeringan sederhana dan
merupakan ancaman serius secara global, dan fleksibel dengan para-meter input SPI berupa curah
diproyeksikan akan semakin parah di masa menda- hujan dan parameter input SRI berupa limpa-
tang [3]. Di wilayah Indonesia, terdapat berbagai san/runoff. Kedua metode tersebut telah digunakan
kejadian yang dapat memicu kekeringan, antara oleh beberapa peneliti sebelumnya. Metode SPI
lain fenomena El-Niño [4,5] dan Indian Ocean telah digunakan untuk analisis karakteristik kekeri-
Dipole [6]. ngan di pulau Kalimantan [8] dan Pulau Bali [9],
Kekeringan dapat dibedakan berdasarkan metode SPI dan SRI secara bersamaan telah
kekeringan meteorologis, kekeringan pertanian digunakan untuk menganalisis kekeringan hidro-
dan kekeringan hidrologi [7]. Kekeringan meteoro- meteorologi bebera-pa Daerah Aliran Sungai (DAS)
logis merupakan indikasi pertama yang menyebab- di Polandia [10], dan kedua metode tersebut juga
kan kekeringan, kekeringan meteorologi berkaitan

74
POSITRON Vol. 9, No. 2 (2019), Hal. 74 - 80

Gambar 1. Wilayah Kajian, DAS Kapuas (modifikasi dari http://sipdas.menlhk.go.id/).

telah digunakan untuk menganalisis kejadian banjir yang dapat diunduh di alamat https://esgf-
dan kekeringan di Vietnam [11]. node.llnl.gov/. Pada data GCM tersebut, dilakukan
DAS Kapuas merupakan salah satu DAS dataran downscaling sampai dengan 20 km x 20 km dengan
rendah yang berada di Pulau Kalimantan. DAS metode dynamic downscaling. Simulasi dalam pene-
Kapuas mempunyai peran sangat vital dalam sis- litian ini dilakukan selama 30 tahun (1981–2010)
tem ekosistem di wilayah tersebut, walaupun dan dibagi menjadi tiga periode, yakni periode
wiayah tersebut sepanjang tahun mendapatkan pertama 1981–1990, periode ke dua 1991-2000
hujan dengan intensitas yang tinggi, namun dan periode ke tiga 2001–2010. Variabel iklim yang
kebakaran lahan dan hutan telah beberapa kali digunakan dalam penelitian ini adalah curah hujan
terjadi [12]. Hal ini berdampak serius terhadap dan runoff.
ekosistem di wilayah tersebut. Disamping itu,
2.2. Lokasi Penelitian
kajian karakteristik kekeringan meteorologis
maupun kekeringan hidrologis secara spasial dan Wilayah kajian dalam penelitian ini adalah DAS
temporal di DAS Kapuas belum banyak diungkap Kapuas yang terletak pada 109,0527o BT s/d
sehingga kajian yang lebih dalam masih sangat 114,2030o BT dan 1,3192o LS s/d 1,5864o LU,
diperlukan. dengan luas wilayah 10.063.599,82 ha,
Artikel ini difokuskan untuk mengkaji http://sipdas.menlhk.go.id/ (Gambar 1).
karakteristik kekeringan meteorologis dan keke- 2.3. Penentuan tingkat kekeringan berdasarkan
ringan hidrologi DAS Kapuas selama 30 tahun SPI dan SRI
(1981–2010) menggunakan data iklim global. Metode SPI dan SRI merupakan salah satu
Karakteristik kekeringan yang dikaji adalah indeks metode indeks kekeringan yang ditujukan untuk
kekeringan, luas wilayah kekeringan, tingkat kepa- menentukan dan memonitoring kejadian
rahan, frekuensi dan durasi kekeringan berdasar- kekeringan. Metode SPI untuk memonitoring keke-
kan kekeringan meteorologis dan hidrologis. ringan meteorologi pertama kali dikem-bangkan
2. Metodologi oleh McKee [13] sedangkan SRI digunakan untuk
2.1. Data memonitoring kekeringan hidrologi. Varia-bel yang
digunakan sebagai masukan pada metode SPI
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah curah hujan bulanan sedangkan pada
adalah MIROC5, merupakan salah satu luaran GCM

75
POSITRON Vol. 9, No. 2 (2019), Hal. 74 - 80

Gambar 3. Indeks kekeringan DAS Kapuas 30 tahun (1981 – 2010): a. SPI dan SRI skala satu bulan, dan
b. SPI dan SRI skala 12 bulan.
metode SRI adalah runoff. Perhitungan nilai indeks Pada persamaan (3) dan (4), nilai 𝑐𝑖 dan 𝑑𝑖 (i = 1, 2,
kekeringan kedua metode menggunakan distribusi 3) adalah:
gamma yang dituliskan sebagai berikut [14]: 𝑐0 = 2,515517; 𝑐1 = 0,802853; 𝑐2 = 0,010328
𝑑0 = 1,432788; 𝑑1 = 0,189269; 𝑑2 = 0,001308
𝑥
1
𝐺(𝑥) = ∫ 𝑥 𝑎−1 𝑒 −𝑥/𝛽 𝑑𝑥 (1) 2.4. Analisis karakteristik kekeringan
𝛽 𝛼 Г(α) 0
Kekeringan yang dianalisis dalam makalah ini
Dengan α adalah parameter bentuk, β adalah adalah kekeringan skala satu bulan dan skala 12
parameter skala, x adalah jumlah presipitasi, dan bulan. Karakteristik kekeringan yang dianalisa
Г(α) adalah fungsi gamma. Distribusi gamma dalam artikel ini meliputi berbagai kondisi kekeri-
kemudian ditransformasikan ke dalam distribusi ngan yang mencakup tingkat keparahan frekuensi,
frekuensi kumulatif melalui persamaan [14]: durasi, dan luas wilayah kekeringan. Gambar 2
menunjukkan karakteristik kekeringan pada
𝐻(𝑥) = 𝑞 + (1 − 𝑞)𝐺(𝑥) (2)
ambang -1. Durasi kekeringan (bulan) (Dd) meru-
Dengan q adalah probabilitas tidak curah (jumlah pakan ukuran lamanya peristiwa kekeringan secara
kejadian hujan 0) dan H(x) adalah probabilitas berturut-turut dalam satuan bulan. Tingkat kepara-
kumulatif curah hujan. han kekeringan (Ds) merupakan akumulasi indeks
Kemudian, indeks kekeringan SPI dan SRI (Z) kekeringan dalam satu durasi kekeringan.
dihitung berdasarkan [14,15]: Sedangkan frekuensi relatif kejadian kekeringan
(%) (Df) merupakan perbandingan jumlah bulan
𝑐0 + 𝑐1 𝑡 + 𝑐2 𝑡 2 kekeringan dengan total bulan pengamatan dikali-
𝑍 = − (𝑡 − ); (3)
1 + 𝑑0 𝑡 + 𝑑1 𝑡 2 + 𝑑2 𝑡 3 kan dengan 100% [17,18,19]. Karakteristik kekeri-
untuk 0 < 𝐻(𝑥) ≤ 0,5 ngan hasil perhitungan SPI dan SRI yang digunakan
dan adalah nilai di bawah ambang batas negatif satu
(-1) seperti yang disajikan pada Tabel 1.
𝑐0 + 𝑐1 𝑡 + 𝑐2 𝑡 2
𝑍 = + (𝑡 − ); (4)
1 + 𝑑0 𝑡 + 𝑑1 𝑡 2 + 𝑑2 𝑡 3
untuk 0,5 < 𝐻(𝑥) ≤ 1
dengan

1
√𝑙𝑛 ( 2) 0 < 𝐻(𝑥) ≤ 0,5
(𝐻(𝑥))
𝑡= (5)
1 Gambar 2. Karakteritik kekeringan: durasi (Dd),
√𝑙𝑛 ( 2) 0,5 < 𝐻(𝑥) ≤ 1 dan tingkat keparahan (Ds), garis putus-putus
{ (1 − 𝐻(𝑥))
merupakan nilai ambang batas kekeringan (-1).

76
POSITRON Vol. 9, No. 2 (2019), Hal. 74 - 80

3. Hasil dan Pembahasan Kalimatan Barat. Dampak kekeringan di Pulau


Tabel 1. Klasifkasi kekeringan berdasarkan nilai Kalimantan akan menyebabkan terjadinya kebaka-
SPI dan SRI [16]. ran lahan dan hutan [21,22].

Nilai Indeks Kategori 3.2. Luas kekeringan


≤ -2,0 Ekstrim kering Berdasarkan luas wilayah kekeringan Secara
-1,99 s/d -1,50 Sangat kering umum dalam kurung waktu 30 tahun, dampak
-1,49 s/d -1,00 Moderat kering kekeringan hidrologis diwilayah DAS Kapuas lebih
-0,99 s/d 0,99 Normal tinggi dibandingkan dengan kekeringan hidrologis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa luas wilayah
3.1. Indeks kekeringan DAS Kapuas.
DAS Kapuas yang mengalami kekeringan meteoro-
Berdasarkan indeks kekeringan SPI dan SRI
logis maksimum 11,01% dari total wilayah DAS
pada skala satu bulan menunjukan bahwa DAS
terjadi pada tahun 1986, sedangkan kekeringan
Kapuas selama 30 tahun (1981–2010) telah menga- hidrologis maksimum 13,9% dari total wilayah DAS
lami kekeringan meteorologis sebanyak 45 kali dan
terjadi pada tahun 1991 (Gambar 4). Disamping itu,
48 kali kekeringan hidrologis mulai dari kategori
terdapat tahun-tahun lainnya yang luas wilayah
moderat sampai ekstrim kering (Gambar 3a). kekeringan cukup tinggi yakni terjadi Tahun
Fluktuasi Indeks kekeringan skala satu bulan
1997/1998, 2008 dan 2010 merupakan tahun
tidak memperlihatkan keterkaitan kekeringan di
kejadian El-Niño. Hal ini menunjukkan bahwa
DAS Kapuas dengan kejadian El-Niño dan Indian kejadian El-Niño memperluas wilayah kekeringan
Ocean Dipole. Kemudian, jika berdasarkan indek
baik itu kekeringan meteorologis maupun
kekeringan pada skala 12 bulan, DAS Kapuas dalam
kekeringan hidrologis.
kurung 30 tahun tercatat telah mengalami
kekeringan sebanyak 9 kali (Gambar 3b), baik 3.3. Tingkat keparahan kekeringan
kekeringan meteorologis maupun kekeringan Rata-rata tingkat keparahan kekeringan DAS
hidrologis. Berdasarkan kekeringan skala 12 Kapuas dalam kurung 30 tahun berdasarkan
bulanan, kekeringan meteorologis dan hidrologis kekeringan meteorologis lebih tinggi dibandingkan
yang terjadi di DAS Kapuas pada tahun 1982, 1986, dengan kekeringan hidrologis. Bahkan, tingkat
1987, 1991, 1997 dan 2009 berkaitan dengan keparahan maksimum kekeringan meteorologis
tahun-tahun kejadian El-Niño. Bahkan, tahun 1997- jauh lebih besar (-22,2) terjadi pada periode ke-2
1998 merupakan tahun dengan indeks kekeringan yakni di tahun 1997 dibandingkan tingkat
berkategori ekstrim kering. Hal ini disebabkan keparahan maksimum kekeringan hidrologi (-11,2)
karena pada tahun tersebut merupakan tahun El- terjadi pada periode ke-3, yakni di tahun 2009
Niño kuat yang berbarengan dengan kejadian DMI (Gambar 5a). Tingkat keparahan kekeringan, baik
positif. Telah diungkapkan penelitian sebelumnya itu kekeringan meteorologis maupun kekeringan
bahwa kejadian El-Niño sangat mempengaruhi hidrologis, akan semakin tinggi pada saat kejadian
kekeringan di wilayah Indonesia [20] termasuk di El-Niño.

Gambar 4. Grafik time series luas wilayah dampak kekeringan DAS Kapuas selama 30 tahun (1981 –
2010) berdasarkan: a. SPI dan b. SRI.

77
POSITRON Vol. 9, No. 2 (2019), Hal. 74 - 80

Gambar 5. Karateristik kekeringan meteorologis dan hidrologis DAS Kapuas selama 30 tahun (1981 –
2010) berdasarkan SPI dan SRI: a. tingkat keparahan kekerigan, b. Frekuensi relatif (%) kejadian
kekeringan, c. jumlah kejadian kekeringan berdasarkan durasi kekeringan.

3.4. Frekuensi kejadian kekeringan 1990) dan mengalami penurunan pada periode
Frekuensi kejadian kekeringan meteorologis berikutnya. (Gambar 5b).
dan kekeriangan hidrologis DAS Kapuas di atas 3.5. Durasi kekeringan
20% tiap periode, hal ini menunjukkan bahwa
Kejadian kekeringan di DAS Kapuas pada ketiga
kejadian kekeringan di atas 24 bulan setiap tiap
periode pada umumnya berdurasi tiga bulan,
periode. Frekuensi maksimum kekeringan
kecuali pada periode kedua durasi kejadian
meteorologis terjadi pada periode ke dua (1991–
kekeringan maksimum terjadi dalam kurung waktu
2000) yakni sebanyak 35 bulan, sedangkan
5 bulan. Walaupun durasi kekeringan maksimum
kekeringan hidrologis frekuensi maksimum sebe-
sampai lima bulan, namun durasi kekeringan di
sar 31 bulan terjadi pada periode pertama (1981–

78
POSITRON Vol. 9, No. 2 (2019), Hal. 74 - 80

wilayah ini dominan terjadi dalam satu bulan baik [2] Mishra A. K. and Singh V. P., A review of
kekeringan meteorologis maupun kekeringan drought concepts, J. Hydrol., 391(1), pp. 202–
hidrologis (Gambar 5c). Hal ini terlihat dari rata- 216, 2010.
rata kejadian kekeringan pada durasi satu bulan [3] IPCC, Climate Change 2007: The Physical
lebih tinggi dibandingkan dengan durasi lainnya. Science Basis. Contribution of Working Group
I to the Fourth Assessment Report of the
Hsil yang sama juga diperoleh Walsh (1996), bahwa
Intergovernmental Panel on Climate Change.
durasi kekeringan Kalimantan sangat singkat yakni 2007.
di bawah 3 bulan [8]. Analisis durasi kekeringan [4] Hendon H., Indonesian Rainfall Variability :
yang dilakukan Walsh menggunakan data Impacts of ENSO and Local Air–Sea
observasi. Kejadian kekeringan paling lama terjadi Interaction, J. Clim., 16, pp. 1775–1790, 2003.
pada periode kedua yakni saat kejadian El-Niño [5] Alexander M. A., Bladé I., Newman M., Lanzante
kuat pada tahun 1997-1998 yakni kekeringan J. R., Lau N.C., and Scott J. D., The Atmospheric
dengan durasi lima bulan. Hasil ini juga sesuai Bridge: The Influence of ENSO
Teleconnections on Air–Sea Interaction over
dengan Taufik et al. (2017) yang menyatakan
the Global Oceans, J. Clim., 15(16), pp. 2205–
bahwa kejadian El-Niño akan memperparah dan 2231, Aug. 2002.
memperlama durasi kekeringan [23].
[6] Saji N. H., Goswami B. N., Vinayachandran P. N.
Tingkat keparahan kekeringan yang terjadi di and Yamagata T., A dipole mode in the tropical
DAS Kapuas selama kurung waktu 30 tahun Indian Ocean, Nature, 401(6751), pp. 360–
bersesuaian dengan durasi kekeringan. Hal ini 363, Sep. 1999.
terlihat pada periode ke dua, tingkat keparahan [7] Wilhite D. A. and Glantz M. H., Understanding:
kekeringan yang tejadi lebih tinggi dibandingkan the Drought Phenomenon: The Role of
dengan dua periode lainnya terutama kekeringan Definitions, Water Int., 10(3), pp. 111–120,
Jan. 1985.
meteorologis hal ini diduga karena durasi kejadian
kekeringan yang tinggi (kejadian kekeringan yang [8] Walsh R. P. D., Drought frequency changes in
Sabah and adjacent parts of northern Borneo
berkepanjangan). Disamping itu, tingkat keparahan
since the late nineteenth century and possible
kekeringan yang tinggi pada periode dua juga implications for tropical rain forest dynamics,
disebabkan karena frekuensi kejadian kekeringan J. Trop. Ecol., 12(3), pp. 385–407, 1996.
yang tinggi. [9] Muharsyah R. and Ratri D. N., Durasi dan
kekuatan kekeringan menggunakan indeks
4. Kesimpulan hujan terstandarisasi di pulau Bali, J.
DAS Kapuas dalam kurun 30 tahun (1981- Meteorologi dan Geofisika, 16(2), pp. 93–104,
2010) telah mengalami kekeringan meteorologis 2015.
sebanyak 45 kali dan 48 kali kekeringan hidrologis [10] Meresa H. K., Osuch M. and Romanowicz R.,
pada skala satu bulan. Kategori kekeringan yang Hydro-Meteorological Drought Projections
terjadi mulai moderat kering sampai ekstrim into the 21-st Century for Selected Polish
Catchments, Water, 8(206), pp. 1–22, 2016.
kering.
[11] M. T. Vu, Raghavan V. S., and Liong S.-Y.,
Luas wilayah DAS yang mengalami kekeringan,
Ensemble Climate Projection for Hydro-
tingkat keparahan, frekuensi kejadian dan durasi Meteorological Drought over a river basin in
kejadian kekeringan mengalami fluktuasi dan Central Highland, Vietnam, KSCE J. Civ. Eng.,
cenderung mengalami peningkatan seiring dengan 19(2), pp.427–433, 2015.
kejadian El-Niño. [12] Anshari, G. , Peter Kershaw, A. , Van Der Kaars,
S. and Jacobsen, G., Environmental change and
5. Ucapan Terima Kasih peatland forest dynamics in the Lake
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sentarum area, West Kalimantan, Indonesia. J.
Laboratorium HPC (High-Performance Computing) Quaternary Sci., 19: 637-655. 2004.
LIPI, Cibinong yang telah menyediakan server [13] McKee T. B., Doesken N. J., and Kleist J., The
untuk pengolahan data GCM. relationship of drought frequency and
duration to time scales. Proceedings of the 8th
Daftar Pustaka Conference of Applied Climatology, 17-22
[1] Dai A., Drought under global warming: a January, Anaheim, CA. American Meterological
review, Wiley Interdiscip. Rev. Clim. Change., Society, Boston, MA, pp.179-184. 1993
2(1), pp.45–65, Jan. 2011.

79
POSITRON Vol. 9, No. 2 (2019), Hal. 74 - 80

[14] Edwards, D. C. and McKee T. B., Characteristics [20] Coelho C. A. S. and Goddard L., El Niño–Induced
of 20th century drought in the United States at Tropical Droughts in Climate Change
multiple time scales. Climatology Report 97-2, Projections, J. Clim., 22(23), pp.6456–6476,
Department of Atmospheric Science, Colorado Dec. 2009.
State University, Fort Collins, Colorado. 2004. [21] Wooster M. J., Perry G. L. W. and Zoumas A.,
[15] Lloyd-Hughes, B. and Saunders M.A., A drought Fire, drought and El Nino relationships on
climatology for Europe. Int. J. Climatol. 22, Borneo (Southeast Asia) in the pre-MODIS era
pp.1571–1592. 2004. (1980-2000), Biogeosciences, 9(1), pp. 317–
[16] WMO, Standardized Precipitation Index User 340, 2012.
Guide, World Meteorological Organization [22] Hidayat H., Teuling A.J., Vermeulen B., Taufik
(WMO), 2012. M., Kastner K., Geertsema T. J., Bol D. C. C.,
[17] Brito S. S. B., Cunha A. P. M. A., Cunningham C. Hoekman D. H., Haryani G. S., Van Lanen H. A.
C., Alvalá R. C., Marengo J. A. and Carvalho M. J., Delinom R. M., Dijksma R., Anshari G. Z.,
A., Frequency, duration and severity of Ningsih N. S., Uijlenhoet R. and Hoitink A. J. F.,
drought in the Semiarid Northeast Brazil Hydrology of inland tropical lowlands: The
region, Int. J. Climatol., 38(2), pp.517–529, Kapuas and Mahakam wetlands, Hydrol. Earth
Feb. 2018. Syst. Sci., 21(5), pp.2579–2594, 2017.
[18] Botai M. C., Botai O. J., Dlamini C. L., Zwane S. N. [23] Taufik M., Torfs P. J. J. F., Uijlenhoet R., Jones P.
and Phaduli E., Characteristics of Droughts in D., Murdiyarso D. and Van Lanen H. A. J.,
South Africa: A Case Study of Free State and Amplification of wildfire area burnt by
North West Provinces, Water, 8(10), 2016. hydrological drought in the humid tropics, Nat.
[19] Shiau J. T. and Modarres R., Copula-based Clim. Change., 7, pp.428, 2017.
drought severity-duration-frequency analysis
in Iran, Meteorol. Appl., 16(4), pp.481–489,
Dec. 2009.

80

Anda mungkin juga menyukai