*Email: wiwinpradnyadewi41@gmail.com
ABSTRAK
Guningkidul merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang wilayahnya
didominasi oleh perbukitan karst. Gunungkidul memiliki curah hujan rata-rata 1.1181,94 mm/tahun
yang menjadikan daerah ini berpotensi mengalami kekeringan. Kekeringan merupakan bencana alam
yang terjadi slow on-set atau perlahan-lahan dengan durasi menyesuaikan dengan tibanya musim
hujan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membuat peta kerawanan kekeringan di wilayah
Gunungkidul. Metode yang akan digunakan dalam menganalisis data yakni dengan pemberian skor
dan bobot pada masing-masing parameter curah hujan, jenis tanah, penggunaan lahan, kemiringan
lereng dan suhu permukaan untuk menghasilkan peta kerawanan kekeringan. Hasil penelitian ini
menujukan bahwa gunungkidul memiliki curah hujan sedang dengan intensitas berkisar (2100-
2385)mm/tahun dengan jenis tanah didominasi oleh mediteranian dengan luasan 79254,8 ha atau
sekitar 54%, penggunaan lahan didominasi oleh tegalan dengan 56.229 ha atau sekitar 38% dengan
kemiringan lereng datar dengan luas wilayah 50.037 sekitar 33,69 % dan suhu permukaan yang
homogen yakni 26,74oC kemudian di overlay dengan penentuan indeks bahaya kekeringan yang
diklasifikasikan menjadi 4 kelas yakni aman, agak rawan, rawan, dan sangat rawan. Dari hasil analisis
menunjukan Gunungkidul secara umum sangat rentan terhadap bencana kekeringan dengan kekeringan
yang terjadi adalah kekeringan geometeorologis dimana tingkat kerawanan kekeringan paling besar
dipengaruhi oleh curah hujan, jenis tanah dan penggunaan lahan.
ABSTRACT
Gunung Kidul is one of the regencies in the Special Region of Yogyakarta, whose territory is
dominated by karst hills. With an average rainfall of 1,1181.94 mm/year, Gunungkidul Regency has
the potential to experience drought. Drought is a natural disaster that occurs slowly on-set or slowly
with a duration of adjusting to the arrival of the rainy season. This study aims to determine and create a
drought vulnerability map in the Gunungkidul area. The method used in analyzing the data is by
assigning a score and weight to each rainfall parameter, soil type, land use, slope, and surface
temperature to produce a drought vulnerability map. The results of this study indicate that
Gunungkidul has moderate rainfall with an intensity ranging from (2100-2385) mm/year. The
Mediterranean dominates soil type with an area of 79254.8 ha or about 54%. Land use is dominated by
moor with 56,229 ha or about 38%. A flat slope with an area of 50,037 or 33.69% of the total area. A
homogeneous surface temperature recorded was 26.74oC. Those parameters were then overlaid to
determine the drought vulnerability index. The vulnerability index is classified into four classes: safe,
somewhat vulnerable, vulnerable, and very vulnerable. The results show Gunungkidul is generally
very susceptible to drought. The drought that occurs is a geometeorological drought where the level of
drought vulnerability is most influenced by rainfall, soil type, and land use.
Keywords: Drought potential, Scoring, Overlay, Geographic information system
PENDAHULUAN
Kabupaten Gunungkidul yang beribukota di Wonosari merupakan salah satu
kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak 39 km sebelah tenggara Kota
Yogyakarta. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul mencapai 1.485,36 km2 atau
sekitar 46,63% dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Kabupaten
Gunungkidul didominasi oleh kawasan perbukitan karst. Kawasan karst merupakan
kawasan yang kondisinya gersang dan memiliki banyak singkapan batuan kemudian
digunakan untuk menyebutkan wilayah lain di seluruh dunia yang memiliki kondisi
yang sama (Darmanto & Cahyadi, 2013).
Lahan pertanian di Kabupaten Gunungkidul sebagian besar adalah lahan
kering tadah hujan (± 90 %), sehingga petani hanya tergantung pada daur iklim
khususnya curah hujan (PEMKAB, 2017). Kabupaten Gunungkidul mempunyai
curah hujan rata – rata sebesar 1.1881,94 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-
rata 91,22 mm hari/tahun. Luas panen padi ladang atau lahan sawah tadah hujan di
Gunungkidul sebesar 43.850 ha. Berdasarkan pada data panen di 2021, dalam setahun
produksinya bisa mencapai 301.160,97 ton. Selain pertanian lahan sawah tadah hujan,
potensi pertanian lahan kering di Gunungkidul digunakan untuk tegalan seluas 3.258
hektar dengan komoditas jagung, kacang tanah, ubi kayu, beberapa kedelai, dan ubi
jalar (Khalimi & Kusuma, 2018). Sektor pertanian memiliki peran yang sangat
penting dalam meningkatkan perekonomian di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pertanian di Gunungkidul menyumbang PDRB atas harga berlaku tahun 2016 sebesar
14.982,0 milyar rupiah atau sebesar 25,28 persen disusul oleh kategori konstruksi
yang memberi sumbangsih sebesar 9,40 persen. Selanjutnya, PDRB Kabupaten
Gunungkidul atas harga konstan 2010 pada tahun 2016 sebesar 11.697,4 milyar
rupiah (Nurhidayati, 2018).
Namun dengan kondisi dan karakteristik wilayah karst Gunungkidul memiliki
kerentannan terhadap kekeringan yang cukup tinggi. Kekeringan merupakan bencana
alam yang terjadi slow on-set atau secara perlahan dengan durasi menyesuaikan
dengan tibanya musim hujan serta berdampak sangat luas dan bersifat lintas sektor
(sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan).
Kekeringan adalah bencana yang kompleks, ditandai dengan kondisi
kekurangan air yang berkepanjangan (Ghulam et al., 2007). Kekeringan dapat
diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana terjadi kekurangan air, dalam hal ini
biasanya dikonotasikan dengan kurangnya air hujan (Rahajo, 2010). Kekeringan
merupakan salah satu bencana yang sering terjadi dan telah menimbulkan banyak
kerugian non struktural terutama pada sektor pertanian. Kekeringan dapat
diklasifikasikan berdasarkan karakteristik serta dampak yang ditimbulkan.
(Sivakumar et al., 2010) dan (BNPB, 2016) mengklasifikasikan kekeringan menjadi 4
yaitu: 1) Kekeringan meteorologi yakni kekeringan yang mengacu pada kurangnya
curah hujan bila dibandingkan dengan kondisi rata-rata dalam periode waktu yang
lama. 2) Kekeringan hidrologis adalah kekeringan akibat berkurangnya pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air
waduk, danau dan air tanah. 3) Kekeringan Pertanian berhubungan dengan
berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. 4) Kekeringan
Sosial Ekonomi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai
ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekeringan
meteorologis, pertanian dan hidrologis.
Kekeringan dapat menimbulkan dampak amat luas, kompleks dan dalam
rentang waktu yang Panjang setelah berakhirnya kekeringan. Dampak kekeringan
pada sektor pertanian adalah terbatasnya air irigasi, berkurangnya areal tanam,
produktivitas lahan menurun, menyusutnya produksi tanaman, serta berkurangnya
pendapatan petani (BNPB, 2016). Kekeringan dapat diidentifikasi dengan
menggunakan pendekatan bentuklahan. Pendekatan ini digunakan berdasarkan
beberapa penelitian sebelumnya yang menyebutkan bentuklahan memeiliki
keterkaitan dengan ketersediaan airtanah. Dewasa ini, penelitian kekeringan
berdasarkan berbagai indikator kekeringan (Sadri & Burn, 2012). Indikator
kekeringan efektif digunakan sebagai tolak ukur mengetahui dan menganalisis
kekeringan. Beberapa indikator kekeringan dipakai dalam penelitian sebelumnya,
misalnya indeks kekeringan kelembaban tanah, curah hujan terstandarisasi, dan
kondisi vegetasi (Liu & Kogan, 1996).
Kekeringan yang terjadi di Gunungkidul dibuktikan dengan seringnya terjadi
gagal panen pada lahan pertanian. Pada tahun 2019 sebanyak 400 hektar lahan
pertanian mengalami gagal panen akibat kemarau yang datang lebih awal hal ini
tentunya memerlukan mitigasi yang lebih awal agar kerugian akibat kekeringan dapat
ditekan. Mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan memetakan kerawanan
kekeringan dan mengkaji lebih lanjut mengenai waktu dan komoditas pertanian yang
ditanam agar tidak terkena dampak kekeringan. Oleh karena itu diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui dan membuat peta kerawanan kekeringan di wilayah
Gunungkidul.
METODE PENELITIAN
Penelitian kajian risiko bencana kekeringan ini merupakan penelitian
kewilayahan bersifat kuantitaif dengan data yang tidak diambil langsung dari
lapangan atau secara sekunder menggunakan metode analisis spasial. Data spasial
sekunder diperoleh dari penyedia data maupun pewali data resmi. Untuk mengetahui
keabsahan hasil penelitian dilakukan survey lapangan.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada awal Juli hingga akhir awal Agustus 2022.
Lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta dan Pusat Studi Bencana
Universitas Gadjah Mada. Ruang lingkup penelitian untuk meneliti potensi
kekeringan yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, mengetahui tingkat kerawanan
kekeringan yang terjadi serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kekeringan yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul.
Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan lokasi
serta kajian kekeringan yang ada di Kabupaten Gunungkidul.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- komputer dengan perangkat lunak ArcGIS 10.3 dan Ms. Office 2010
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Peta RBI Kabupaten Gunungkidul, Peta penggunaan lahan, Peta jenis tanah
daerah penelitian, Peta administrasi desa wilayah penelitian, Data curah hujan,
Data suhu, dan Peta kemiringan lereng DEMNAS
Teknik Analisis Data
Dalam kajian ini dilakukan penilaian terhadap beberapa metode deteksi
parameter kekeringan. Ada 2 metode sistem informasi geografi yang akan digunakan
dalam menganalisis data yakni metode skoring dan overlay. Skoring adalah
pemberian skor terhadap tiap kelas di masing-masing parameter. Pemberian skor
didasarkan pada pengaruh kelas tersebut terhadap kejadian dengan
mempertimbangkan kondisi lapangan(Rahmi et al., 2019). Semakin besar
pengaruhnya terhadap kejadian, maka semakin tinggi nilai skornya (Sudijono, 2007).
Metode skoring atau pengharkatan merupakan metode yang digunakan untuk
mengklasifikasikan parameter menjadi beberapa kelas, kemudian masing-masing
kelas akan diberi skor atau penilaian sesuai tingkat kemampuannya. Metode skoring
digunakan untuk beberapa parameter yakni suhu permukaan, curah hujan,
penggunaan lahan, jenis tanah dan kemiringan lereng. Pemberian nilai pada setiap
parameter adalah sama yaitu 1-5, sedangkan pemberian bobot tergantung pada
pengaruh dari setiap parameter yang memiliki faktor paling besar dalam tingkat
kerawanan (Matondang et al., 2013)
Metode overlay atau tumpang tindih merupakan metode penyatuan satu grafis
peta dengan grafis peta lain beserta atribut-atributnya. Penyatuan peta tersebut akan
menghasilkan satu grafis peta baru yang memiliki informasi atau atribut gabungan
dari peta sebelumnya(Febriyanti & Kurniawati, 2021). Overlay yang dilakukan
merupakan overlay berbobot.
Pembobotan dengan cara penjumlahan rangking dihitung menurut rumus:
(n−rj+ 1)
wj= (1)
∑(n−rp +1)
dimana wj adalah bobot normal untuk parameter ke j (j=1,2...n), dimana n adalah
banyaknya parameter yang sedang dikaji, p adalah parameter (p=1,2...n) dan rj posisi
ranking suatu parameter.
Setiap parameter diberi bobot senilai(n−rj+1) dan kemudian dinormalisasi dengan
∑( n−rp +1).
Pengolahan data menggunakan skoring
Metode skoring digunakan untuk beberapa parameter yakni suhu permukaan,
curah hujan, penggunaan lahan, kemiringan lereng dan jenis tanah.
1. Curah hujan
Variabel curah hujan dalam tahap skoring telah ditetapkan panduan yang disajikan
pada berikut:
Tabel 1. Skor Parameter Curah Hujan
No Curah hujan rata-rata Skor
. (mm/tahun)
1. >2300 1
2. 2250-2300 2 Penentuan
3. 2200-2250 3
skoring
4. 2150-2200 4
untuk curah
5. 2100-2150 5
hujan
didasarkan pada studi literatur dari jurnal terkait upaya penanganan Kawasan kering
menggunakan teknologi penginderaan jauh di Kabupaten Gresik (Raharjo et al.,
2021). Memperhatikan hasil analisis rata-rata curah hujan yang ada di Kabupaten
Gunungkidul kemudian diklasifikasikan menjadi 5 kelas dengan rentang masing-
masing kelas sebesar 50 mm/tahun. Perhitungan curah didasarkan pada hasil dari
pengolahan interpolasi stasiun curah hujan yang bersumber dari balai besar wilayah
sungai serayu opak menggunakan sistem informasi geografis (SIG).
2. Jenis tanah
Variabel jenis tanah dalam tahap skoring telah ditetapkan panduan yang disajikan
pada tabel berikut:
Tabel 2. Skor Parameter Jenis Tanah
Penentuan skoring untuk jenis didasarkan pada studi literatur dari beberapa
jurnal terkait Pemetaan Rawan Banjir dan Kekeringan Menurut Perka BNPB Nomor
2 Tahun 2012 (Studi Kasus: Kabupaten Jombang)(Ayyubi et al., 2012). Dengan
memperhatikan hasil analisis terhadap karakteristik dari tanah tersebut kemudian
diklasifikasikan menjadi 5 kelas dengan 5 skor sesuai karakteristiknya dalam
menyerap dan menahan air.
3. Penggunaan lahan
Variabel penggunaan lahan dalam tahap skoring telah ditetapkan panduan yang
disajikan pada tabel berikut:
5. Suhu permukaan
Variabel suhu permukaan dalam tahap skoring telah ditetapkan panduan yang
disajikan pada tabel berikut:
Penentuan skoring untuk suhu permukaan didasarkan pada studi literatur dari
jurnal terkait upaya penanganan Kawasan kering menggunakan teknologi
penginderaan jauh di Kabupaten Gresik (Raharjo et al., 2021) dengan memperhatikan
hasil analisis rata-rata suhu yang ada di Kabupaten Gunungkidul kemudian
diklasifikasikan menjadi 1 kelas dikarenakan hasil perhitungan dari rata-rata suhu
tahunan selama 5 tahun menunjukan hasil homogen yakni 26,376 oC. Perhitungan
suhu didasarkan pada hasil dari pengolahan interpolasi titik-titik suhu menggunakan
sistem informasi geografis (SIG).
Urutan Bobot
Parameter Urutan Bobot
Kepentingan Normalisasi
Curah Hujan (CH) 1 5 0,33
Jenis Tanah (JT) 2 4 0,27
Penggunaan Lahan
3 3 0,20
(PL)
Kemiringan lereng
4 2 0,13
(KL)
Suhu Permukaan
5 1 0,07
(SP)
Sesuai dengan konsep teori indeks (Spigel & Stephens, 1999), perumusan
indeks dimulai dari paling sederhana, yaitu penambahan variabel yang disesuaikan
dengan tujuan karakteristik indeks yang akan dicapai. Perumusan indeks kekeringan
dilakukan dengan penggabungan dari beberapa parameter indeks dan pengaruhnya
yang kemudian dikelaskan. Rumusan Indeks Kekeringan yang dibuat adalah sebagai
berikut:
Secara ringkas tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir pada Gambar 1
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Curah Hujan
Intensitas hujan yang rendah pada musim kemarau sangat mempengaruhi
terjadinya kekeringan, setiap penyimpangan curah hujan secara langsung akan
mempengaruhi tingkat kedalaman air tanah (Panda et al., 2007). Berdasarkan data
rata-rata tahunan stasiun curah hujan dari 7 stasiun selama periode 5 tahun terakhir
curah hujan rata-rata tahunan di Kabupaten Gunungkidul berkisar antara 2.100-2385
mm/tahun. Curah hujan tertinggi (>2300 mm/tahun) terkonsentrasi di Kabupaten
Gunungkidul bagian utara. Peta curah hujan diperoleh dari interpolasi dengan metode
isohyet dari 7 titik stasiun dengan standarisasi ukuran pixel mengikuti resolusi
DEMNAS 8,2878088 x 8, yang dikelaskan menjadi lima kelas dengan
memperhatikan tabel pembobotan parameter curah hujan bahwa jumlah hujan 2100-
2150 mm/tahun merupakan skor terbesar dalam penilaian curah hujan.
Tabel 7. Data Curah Hujan
Y
CH
Stasiun (Latitude) X
(mm/tahun)
(Longtitude)
Panggang -8,02944 110,43813 2101,729567
Gedangan -7,84207 110,59492 2385,273587
Kd Keris -7,892342 110,59901 2252,779813
Ngawen -7,836043 110,69437 2362,8893
Wanagama -7,915995 110,53939 2151,660927
Tepus -8,121506 110,65265 2157,02228
Playen -7,931127 110,54538 2177,973913
persentase
Nilai Tingkat Grid Shape Shape Luas
Kekeringan
Interval Kerawanan code Length Area (Ha)
(%)
0,0026 3259,
1,4 - 2,23 Aman 1 3
7 05 2,23
2,23 - 29254
Agak Rawan 2 11 0,024
3,06 ,5 20,03
3,06 - 0,0774 94348
Rawan 3 26
3,89 5 ,4 64,60
3,89 - Sangat 0,0157 19178
4 18
4,72 Rawan 4 ,8 13,13