Anda di halaman 1dari 9

Laila Ainun Nisa

232021070001

Rehabilitasi Lahan Pertanian di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas

Degradasi lahan merupakan tantangan serius yang sedang dihadapi secara global pada masa
kini, yang sebagian besar disebabkan oleh praktik pertanian yang tidak berkelanjutan serta
memburuknya perubahan iklim. Praktik pertanian intensif sering kali menghasilkan erosi
tanah yang signifikan, penurunan sumber daya alam, dan degradasi kualitas tanah secara
keseluruhan. Sementara itu, dampak dari perubahan iklim semakin memperparah situasi ini
dengan meningkatnya kejadian cuaca ekstrem, kenaikan suhu global yang terus menerus, dan
pola curah hujan yang tidak stabil. Kedua faktor ini saling berinteraksi, menimbulkan tekanan
besar pada ekosistem dan kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Dalam kombinasi,
mereka menciptakan tantangan yang serius bagi keberlanjutan lingkungan dan pertanian di
seluruh dunia.

Degradasi lahan sering terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan
kapasitasnya. Pemanfaatan lahan yang tidak tepat bisa menyebabkan erosi dan sedimentasi,
yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas lahan. Penurunan produktivitas tersebut
umumnya disebabkan oleh erosi, yang sering terjadi di lahan pertanian tanaman pangan.
Erosi ini mengakibatkan penurunan kualitas fisik, kimia, dan biologi tanah, serta mengurangi
unsur hara, bahan organik tanah, dan hasil tanaman. Akibatnya, produktivitas lahan pertanian
menurun, yang merupakan salah satu indikasi dari degradasi lahan. Namun, penurunan
produktivitas ini bisa bersifat permanen atau sementara, tergantung pada kondisi dan faktor-
faktor lainnya.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.328/Menhut-II/2009 yang mengenai


Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014, menggolongkan DAS Brantas sebagai salah
satu dari 108 DAS prioritas yang harus mendapat perhatian khusus (Menteri Kehutanan
Republik Indonesia, 2009). Oleh karena itu, DAS Brantas memerlukan serangkaian kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan, penghijauan, serta konservasi tanah dan air untuk menjaga
keberlangsungan ekosistemnya. Erosi yang terjadi terutama di kawasan budidaya pertanian
(tanaman sayuran) dan kawasan hutan yang ditanami tanaman semusim berakibat terjadinya
sedimentasi di sub DAS Brantas. Wilayah ini selain berlereng curam juga mempunyai sifat
tanah yang mudah tererosi dan tidak memiliki vegetasi penutup tanah pada saat musim hujan.
menurut Nining, et al. (2019). Menurut laporan yang diterbitkan oleh Direktorat Kehutanan
dan Konservasi Sumber Daya Air pada tahun 2012, terjadi peningkatan konversi lahan sawah
menjadi permukiman terutama di wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Malang, Sidoarjo,
Pasuruan, dan Blitar, dengan total luas sekitar 3.028,30 hektar dalam rentang waktu 2006-
2012. Selain itu, konversi hutan menjadi ladang dan kebun juga terjadi dengan luas sekitar
3.028,30 hektar di Kabupaten Tulungagung, Trenggalek, Blitar, dan Malang. Data dari
laporan statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa laju
deforestasi di Jawa Timur pada periode 2012-2013 mencapai 3.344,4 hektar per tahun
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). Meskipun lahan kritis di Jawa
Timur mengalami penurunan dari 506.336 hektar menjadi 485.042 hektar selama periode
2011-2013, namun lahan yang sangat kritis mengalami peningkatan dari 102.577 hektar
menjadi 736.877 hektar1. Penting untuk menargetkan upaya perbaikan pada lokasi-lokasi
yang mengalami degradasi yang signifikan agar kegiatan rehabilitasi dapat berhasil, . Oleh
karena itu, penting untuk memiliki pemahaman yang jelas tentang distribusi spasial lahan
yang mengalami degradasi. Dengan mengetahui lokasi secara spasial, kita dapat
mengidentifikasi pihak-pihak yang dapat berkontribusi dalam mendukung upaya rehabilitasi
tersebut. Estimasi erosi pada tingkat Daerah Aliran Sungai (DAS) juga akan membantu
pengelola untuk mengidentifikasi lokasi yang perlu diprioritaskan untuk mendapatkan
perhatian rehabilitasi.
Tujuan Studi Kasus:
● Menilai efektivitas teknik rehabilitasi lahan yang telah diimplementasikan.
● Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan program rehabilitasi.

Metodologi:
DAS Brantas terletak pada ketinggian rata-rata di bawah 500 meter di atas permukaan laut.
Jenis tanah yang paling umum di daerah ini adalah lithic troporthent, dengan kemiringan
lahan berkisar antara 15 hingga 30 persen. Tingkat kerusakan tanah dan sifat fisik tanah di
wilayah ini diklasifikasikan sebagai sedang, sementara kesuburan tanah cenderung rendah.
Kandungan unsur fosfat dan bahan organik dalam tanah juga cenderung rendah hingga sangat
rendah. Daerah ini memiliki iklim yang relatif kering, dengan curah hujan tahunan rata-rata
sekitar 2000 mm. Rata-rata curah hujan tahunan mencapai 1.835,80 mm, dengan 4,2 bulan
memiliki curah hujan lebih dari 200 mm dan 5,9 bulan memiliki curah hujan kurang dari 100
mm. Bulan-bulan kering umumnya terjadi dari bulan Mei hingga Oktober, sementara bulan
basah biasanya dimulai dari awal November hingga April. Curah hujan bulanan tertinggi
terjadi pada bulan Januari dengan rata-rata 398,98 mm, sementara curah hujan bulanan
terendah terjadi pada bulan Agustus dengan hanya 10,98 mm. Berdasarkan klasifikasi iklim
oleh sistem Oldeman, wilayah ini termasuk dalam tipe C3. Musim hujan biasanya dimulai
sekitar bulan Oktober atau November, bahkan bisa tertunda hingga Desember, dan berakhir
antara bulan April dan Juli, namun, semua data ini belum mencakup dari adanya badai El
Nino. Distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi
keberhasilan pertanian tanaman pangan di daerah ini. Kegagalan pertanaman lebih sering
disebabkan oleh kekeringan, terutama pada musim tanam kedua, atau karena keterlambatan
hujan pada awal pertumbuhan tanaman.
Hasil analisis erosi menunjukkan bahwa rata-rata erosi terbobot untuk Daerah Aliran Sungai
(DAS) Brantas adalah sebesar 448,73 ton per hektar per tahun, menunjukkan tingkat erosi
yang tinggi. Terdapat variasi erosi mulai dari tingkat sangat ringan hingga sangat tinggi.

1 Wahyuningrum, Nining & Buana Putra, Pamungkas. (2019). Degraded Land Analyses of Brantas
River Basin to Support Land Rehabilitation. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 8. 135.
10.18330/jwallacea.2019.vol8iss2pp135-145.
Erosi tinggi dan sangat tinggi masing-masing mencakup sekitar 22,51% dan 19,23% dari total
luas area. Kedua tingkat erosi ini paling banyak terjadi pada jenis penutupan lahan seperti
hutan lindung, hutan produksi, tegal, dan kebun campuran. Seluruh area lahan tegal
mengalami erosi tinggi dan sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tidak
hanya jenis penutupan lahan, tetapi juga kemiringan lereng, tekstur tanah, drainase, dan
tingkat tutupan vegetasi.
Sungai Brantas juga disinyalir terkena dampak pencemaran, menurut penelitian oleh Cicik,
dkk (2024)2 logam berat sudah sangat mencemari sungai Brantas dengan pollution index (PI)
dan risiko ekologis (EI) logam Cd berturut-turut yaitu 11,95 (tercemar ekstrim), 0,87
(ambang peringatan), dan 537,61 (risiko berbahaya). Pencemaran ini terindikasi di lahan
pertanian kabupaten Malang daerah aliran sungai (DAS) Brantas.
Secara umum logam berat pada lahan pertanian bersumber dari beberapa faktor, yaitu;
pertanian intensif dengan penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang mengancam
keberlanjutan lingkungan serta kerusakan lahan pertanian. Kerusakan lahan pertanian secara
umum dapat diartikan sebagai penurunan kemampuan atau produktivitas lahan untuk
mendukung kegiatan pertanian yang efektif (Shah and Strong 1999) 3, limbah industri dan
limbah domestik, pertambangan dan penggunaan kendaraan bermotor juga menyumbang
sebagian besar faktor yang mencemari Logam berat pada lahan pertanian.

Rehabilitasi dan perbaikan infrastruktur


Sejak 34 tahun lalu, program reboisasi dan penghijauan yang terus ditingkatkan telah menjadi
fokus utama dalam upaya untuk menghentikan proses pengkritisan lahan dan mengurangi
jumlah lahan kritis. Dalam rangka meningkatkan upaya reboisasi dan penghijauan di seluruh
Indonesia, pemerintah telah mencanangkan "Gerakan Satu Juta Pohon". Namun angka
perluasan lahan kritis tidak berhasil dihentikan.
Penghijauan telah terbukti menjadi metode yang efektif dalam penanganan masalah
konservasi, terutama dalam menjaga fungsi hidrologis lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS)
hulu. Studi yang dilakukan oleh Pakpahan dkk. pada tahun 1992 4 menunjukkan bahwa
penghijauan mampu mengurangi erosi dan aliran permukaan hingga masing-masing 95,8
persen dan 76,9 persen. Meskipun demikian, karena tujuan utama penghijauan lebih fokus
pada pelestarian sumber daya lahan daripada kepentingan petani, pelaksanaannya seringkali
mengalami kendala. Menurut Pusat Pengembangan Agribisnis tahun 1991, tingkat adopsi
terhadap teknik konservasi tanah dan air di daerah tersebut masih rendah, yaitu sekitar 33
persen. Meskipun sebagian petani (sekitar 20 persen) telah mengadopsi teknik tersebut, masih

2 Handayani, C. O., Sukarjo, Zu’amah, H., dan Dewi, T. (2024). Penilaian Status dan Risiko Ekologi Cemaran
Logam Berat di Lahan Pertanian Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Jurnal Ilmu Lingkungan, 22(1), 60-68,
doi:10.14710/jil.22.1.60-68

3 Shah, M. and M. Strong. 1999. Food in the 21th century. From Science to Sustainable Agriculture. CGIAR
Secretariat, World Bank, Washington D. C. USA.

4 Pakpahan,A., N. Syafaat, A. Purwoto., H. P. Salim, G. S. Hardono.1992. Kelembagaan Lahan dan Konservasi Tanah dan Air. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Monograph Series No. 5
diperlukan upaya lebih lanjut untuk mencapai standar yang ditetapkan, sementara sebagian
besar petani lainnya belum mengadopsinya.
Penanaman vegetasi pohon dapat menjadi opsi alternatif untuk mengendalikan erosi. Menurut
hasil penelitian oleh Mashudi dkk. (2016)5, tanaman Trembesi terbukti mampu mengurangi
tingkat erosi, dan semakin tanaman tersebut bertambah usia, tingkat erosi akan terus
menurun. Kegiatan penanaman tersebut ditekankan pada lokasi yang memiliki kemiringan
tanah, terutama di area dengan penutupan lahan berupa tanaman semusim. Namun, perlu
dipahami bahwa struktur hutan juga memiliki pengaruh terhadap tingkat erosi. Adopsi
struktur tajuk yang bertingkat (multilayer), yakni teknik penanaman yang menggabungkan
berbagai jenis tanaman dengan variasi bentuk dan tinggi tajuk, telah terbukti dapat membantu
mengurangi risiko erosi akibat air hujan, oleh karena itu, dalam memilih jenis tanaman untuk
penanaman, penting untuk mempertimbangkan keragaman bentuk dan tinggi tajuknya.
Pohon trembesi memiliki daun yang lebat dan akar yang kuat, membuatnya cocok sebagai
bagian dari upaya penahan erosi. Penanaman pohon trembesi dalam skema reboisasi
dilakukan dengan cara menanam bibit atau steknya di titik lokasi yang rentan terhadap erosi,
penanaman dapat dilakukan dengan cara menggali lubang dengan ukuran yang sesuai dengan
sistem perakaran dan pertumbuhan pohon. Bibit atau stek pohon trembesi ditempatkan di
dalam lubang tanam dengan hati-hati, memastikan akar terurai dengan baik. Setelah
penanaman, pohon trembesi perlu diberi dukungan dan perawatan yang cukup untuk
memastikan pertumbuhan yang optimal. Penyiraman yang teratur dan pemangkasan jika
diperlukan akan membantu pohon trembesi berkembang dengan baik. dengan teknik yang
sama beberapa jenis pohon hutan juga dapat ditanam sebagai antisipasi pencegahan erosi
tanah.

Pemilihan rumput vetiver yang memiliki sistem perakaran yang dalam dan kuat juga sangat
efektif dalam menahan erosi tanah. Penanaman rumput vetiver dilakukan dengan cara
menanam stek atau bibitnya dalam jarak tertentu sesuai dengan desain penanaman kontur.
penanaman dapat dilakukan dengan cara menggali lubang tanam dengan kedalaman dan jarak
yang sesuai dengan rencana penanaman. Stek rumput vetiver kemudian ditanam di dalam
lubang tanam dengan posisi akar yang lurus dan rata, penyiraman secara teratur juga sangat
penting untuk membantu pertumbuhan akar yang kuat.

Monitoring terus-menerus terhadap pertumbuhan dan kondisi tanaman akan membantu dalam
mengevaluasi efektivitas penahan erosi dan membuat penyesuaian jika diperlukan.

Kota Malang sebagai salah satu yang dilewati oleh sungai Brantas,telah melakukan upaya
untuk mengurangi erosi tanah di lahan pertanian melalui peremajaan drainase dan terasering.
Proyek ini melibatkan pembangunan sistem drainase yang terintegrasi dengan terasering dan
bendungan yang telah direncanakan sebelumnya. Sistem drainase akan didesain secara
strategis untuk menyalurkan air dari lahan pertanian ke sungai atau saluran irigasi dengan

5 Mashudi, Susanto, M., & Baskorowati, L. (2016). Potensi Hutan Tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King) dlam Pengendalian Limpasan
dan Erosi. J. Manusia dan Lingkungan
efisien. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi risiko erosi dan genangan air, serta
meningkatkan produktivitas pertanian secara keseluruhan.

Program revegetasi juga dilakukan di sepanjang sungai-sungai kecil, lereng-lereng curam,


dan area-area yang rentan terhadap erosi di Kota Malang. Dalam program ini, dilakukan
penanaman spesies tumbuhan lokal yang memiliki sistem akar yang kuat dan mampu
menahan erosi tanah. Langkah ini diharapkan dapat membantu memperkuat tanah dan
mengurangi resiko erosi yang berkelanjutan di wilayah tersebut.

Penelitian dan Pengembangan


Di Indonesia, yang dikenal dengan iklimnya yang basah, erosi umumnya terjadi akibat curah
hujan yang tinggi. Oleh karena itu, dalam upaya penanganan lahan kering di DAS hulu
Brantas, dilakukan melalui upaya konservasi dengan konsep usahatani yang telah
dikembangkan. Konsep ini mencakup pengelolaan lahan pertanian dengan menggabungkan
teknik konservasi mekanik dan vegetatif dalam pola usahatani terpadu. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan produktivitas usahatani dan pendapatan petani, mengurangi tingkat
erosi, serta meningkatkan partisipasi petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air.
Untuk menguji keefektifan konsep tersebut, dilakukan pengujian terhadap empat model
usahatani konservasi. yaitu:6
Model A : Sistem usahatani yang dilakukan oleh petani sebagai pembanding.
Model B : Sistem usahatani konservasi teras bangku, ditanami tanaman pangan dan tahunan
pada bidang olah, rumput pakan pada bibir dan tampingan teras, serta melibatkan
ternak.
Model C : Sistem usahatani konservasi teras gulud, ditanami tanaman pangan dan tanaman
tahunan pada bidang olah, rumput dan leguminosa pohon pada guludan, dan
ternak.
Model D : Sistem usahatani konservasi teras individu, ditanami tanaman tahunan, rumput,
dan leguminosa pohon, serta ternak
Di lapangan, terdapat hubungan yang erat antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani. Peran
asisten lapangan (sekitar 3-4 orang di setiap lokasi) sangat penting dalam dinamika ini.
Mereka tinggal di desa sehingga memungkinkan komunikasi yang lancar dengan kelompok
tani setiap saat, dan mereka juga menjaga koordinasi dengan Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL/PLP) yang bertugas di desa tersebut. Meskipun demikian, tingkat partisipasi petani
dapat bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya, tergantung pada faktor-faktor seperti status
kepemilikan lahan, jarak antara tempat tinggal petani dengan lahan mereka, apakah lahan
tersebut merupakan sumber pendapatan utama atau hanya sebagai pendapatan tambahan,
serta upaya pembinaan terhadap kelompok tani.

6 Djauhari, A & yam A. (1996)). SISTEM PENGELOLAAN LAHAN KERING DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HULU
Teknologi

Menerapkan fitoremediasi menggunakan tanaman hiperakumulator di lahan pertanian yang


terkontaminasi logam berat. Tanaman hiperakumulator dipilih untuk menyerap dan
mengakumulasi logam berat dari tanah, membersihkan lahan secara alami. Satu marga
tumbuhan paku yang dikenal sebagai hiperakumulator logam-logam berat berbahaya
adalah Pteris dari suku Pteridaceae banyak anggota jenisnya mempunyai kemampuan luar
biasa dalam mentoleransi dan menyerap arsenik serta memindahkan sejumlah besar arsenik
ke daun.

Menggunakan bioaugmentasi dengan menambahkan mikroba yang menguntungkan ke dalam


tanah. Mikroba ini akan membantu dalam mempercepat pemecahan bahan organik,
memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan kesuburan tanah secara keseluruhan.

Menanam tanaman penutup yang cocok untuk kondisi tanah dan iklim Kota Malang, seperti
leguminosa atau rumput-rumputan. Tanaman penutup akan ditanam diantara barisan tanaman
utama atau di lereng-lereng curam untuk menjaga kelembaban tanah, mengurangi erosi, dan
memperbaiki struktur tanah.

Menerapkan rotasi tanaman dengan menanam pupuk hijau di antara siklus tanaman utama.
Jenis tanaman pupuk hijau yang dapat ditanam meliputi leguminosa seperti kacang-kacangan
atau klabet yang memiliki kemampuan fiksasi nitrogen dan dapat meningkatkan kesuburan
tanah secara alami.

Di wilayah pertanian Kota Malang, telah diterapkan serangkaian teknik untuk mengatasi
masalah kontaminasi tanah. Salah satunya adalah metode pencucian tanah dengan
menggunakan larutan kimia khusus pada area-area yang terkontaminasi oleh logam berat atau
zat kimia lainnya. Proses ini bertujuan untuk membersihkan tanah dari kontaminan yang
berpotensi merugikan pertumbuhan tanaman serta kesehatan manusia.

Selain itu, teknik imobilisasi juga diterapkan untuk mengubah bentuk atau sifat kontaminan
kimia sehingga tidak aktif atau tidak berbahaya bagi lingkungan sekitarnya. Proses ini
melibatkan penggunaan bahan kimia atau material tertentu yang mampu mengikat
kontaminan kimia dan mencegahnya berpindah atau merembes ke lingkungan sekitar.

Terakhir, penerapan oksidasi kimia juga menjadi bagian dari upaya penanganan kontaminasi
tanah. Metode ini melibatkan penggunaan zat kimia atau proses kimia untuk mengubah
kontaminan kimia menjadi bentuk yang kurang beracun atau lebih mudah terurai oleh
lingkungan sekitar. Dengan menerapkan berbagai teknik ini, diharapkan dapat meningkatkan
kualitas tanah di lahan pertanian Kota Malang serta menjaga kelestarian lingkungan
sekitarnya.

Analisa kendala
teridentifikasi beberapa faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan atau kendala yang
dihadapi selama proses rehabilitasi. Pertama, degradasi lahan yang disebabkan oleh praktik
pertanian tidak berkelanjutan dan perubahan iklim merupakan tantangan utama yang
dihadapi. Praktik pertanian intensif sering menghasilkan erosi tanah dan degradasi kualitas
tanah secara keseluruhan, sementara perubahan iklim memperburuk situasi dengan
meningkatkan kejadian cuaca ekstrem dan kenaikan suhu global. Kedua faktor ini saling
berinteraksi dan menimbulkan tekanan besar pada ekosistem dan kesejahteraan manusia.

Faktor lain yang memengaruhi keberhasilan rehabilitasi adalah faktor geografis dan
lingkungan. DAS Brantas memiliki topografi berlereng curam dan jenis tanah lithic
troporthent, yang menyebabkan tingkat erosi yang tinggi. Kurangnya vegetasi penutup tanah
pada saat musim hujan juga memperburuk kondisi tersebut. Selain itu, pencemaran logam
berat, seperti yang terdeteksi di sungai Brantas, juga menjadi masalah serius yang perlu
ditangani.

Dalam mengatasi tantangan tersebut, penerapan teknologi menjadi kunci. Berbagai teknik
rehabilitasi, seperti penghijauan, perbaikan infrastruktur, dan fitoremediasi, telah diterapkan.
Penghijauan terbukti efektif dalam mengurangi erosi dan aliran permukaan, tetapi
pelaksanaannya sering mengalami kendala karena kurangnya adopsi oleh petani. Penerapan
fitoremediasi menggunakan tanaman hiperakumulator dan teknik imobilisasi serta oksidasi
kimia juga telah dilakukan untuk mengatasi kontaminasi tanah oleh logam berat dan zat
kimia lainnya.

Selain teknologi, peran aktif pihak terkait, seperti peneliti, penyuluh, dan kelompok tani, juga
menjadi faktor penting dalam keberhasilan rehabilitasi. Komunikasi yang lancar dan
koordinasi yang baik antara mereka sangat diperlukan. Namun, tingkat partisipasi petani
dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, seperti status kepemilikan lahan dan jarak
antara tempat tinggal petani dengan lahan mereka.

Secara keseluruhan, berhasil tidaknya program rehabilitasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
termasuk kondisi geografis dan lingkungan, teknologi yang diterapkan, serta peran aktif
pihak terkait. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor tersebut, upaya
rehabilitasi lahan pertanian di DAS Brantas dapat menjadi lebih efektif dan berkelanjutan.

Strategi Lanjutan

1. Pengembangan Teknologi yang Lebih Efektif: Melanjutkan penelitian dan


pengembangan teknologi yang lebih efektif dalam mengatasi erosi tanah dan
kontaminasi logam berat. Berdasarkan artikel, penggunaan fitoremediasi dan teknik
imobilisasi serta oksidasi kimia telah diterapkan, namun mungkin perlu adanya
inovasi lebih lanjut dalam teknologi ini untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitasnya.
2. Penguatan Peran Pihak Terkait: Mengoptimalkan peran pihak terkait, seperti
peneliti, penyuluh, dan kelompok tani, dalam proses rehabilitasi. Komunikasi yang
lancar dan koordinasi yang baik antara mereka sangat penting. Oleh karena itu,
pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka
tentang praktik-praktik konservasi tanah dan air dapat menjadi strategi yang efektif.
3. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat: Meningkatkan pendidikan dan kesadaran
masyarakat, terutama petani, tentang pentingnya praktik-praktik konservasi tanah dan
air. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang dampak praktik pertanian terhadap
lingkungan dan keberlanjutan lahan, diharapkan akan meningkatkan adopsi teknik-
teknik konservasi oleh petani.
4. Pengembangan Kebijakan yang Mendukung: Pembangunan kebijakan yang
mendukung rehabilitasi lahan pertanian, termasuk insentif bagi petani yang
menerapkan praktik-praktik konservasi tanah dan air. Kebijakan ini dapat mencakup
pemberian subsidi untuk penggunaan teknologi konservasi, penghargaan bagi petani
yang berhasil menerapkan praktik-praktik konservasi, serta peraturan yang mengatur
penggunaan lahan secara berkelanjutan.
5. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan: Melakukan monitoring dan evaluasi
berkelanjutan terhadap efektivitas praktik-praktik rehabilitasi yang telah dilakukan.
Dengan memantau perkembangan lahan secara terus-menerus, dapat diketahui apakah
praktik-praktik yang diterapkan berhasil atau tidak, dan apakah perlu dilakukan
penyesuaian atau perbaikan di masa depan.

Kesimpulan
Permasalahan lahan kritis, terutama di wilayah hulu sungai di Indonesia, telah menjadi
perhatian yang serius. Dari sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalami masalah
tersebut, sekitar 45 persen dianggap sebagai prioritas, sementara 27,5 persen termasuk dalam
kategori super prioritas. Penyebab utama dari akumulasi masalah ini adalah karena (1)
program rehabilitasi dan konservasi lahan yang belum mencapai tingkat yang memadai.
Mayoritas petani, yang memiliki lahan pertanian yang terbatas dan kurang produktif,
seringkali menggunakan lahan tersebut secara tidak efisien dan tidak mendukung upaya
konservasi yang sesuai. Selain itu, (2) kurangnya prioritas terhadap partisipasi petani dalam
program-program tersebut disebabkan oleh hambatan sosial, budaya, serta keterbatasan
sarana dan prasarana yang tersedia.
Secara umum, intervensi telah memberikan dampak positif dalam memperbaiki kondisi lahan
pertanian dan lingkungan sekitarnya. Beberapa teknologi, seperti fitoremediasi, teknik
imobilisasi, dan oksidasi kimia, telah berhasil membersihkan tanah dari kontaminan yang
berbahaya dan mengembalikan produktivitas lahan. Keberhasilan implementasi teknologi
seringkali terkendala oleh adopsi petani dan koordinasi antar pemangku kepentingan, sebab
hal tersebut dirasa penting pengembangan teknologi yang lebih efektif, penguatan peran
pihak terkait, pendidikan masyarakat, pembangunan kebijakan yang mendukung, serta
monitoring dan evaluasi berkelanjutan
Saran
Diharapkan intervensi yang telah dikembangkan dapat disebar dan dikembangkan.
Dokumentasi dan penyebarluasan praktik-praktik terbaik yang telah terbukti berhasil dalam
rehabilitasi lahan pertanian di DAS Brantas akan menjadi landasan untuk upaya ini. Selain
itu, kolaborasi antar wilayah menjadi penting dalam pertukaran pengetahuan, teknologi, dan
sumber daya guna mempercepat penyebarluasan praktik konservasi tanah dan air yang
efektif. Penguatan kapasitas lokal, terutama bagi petani, melalui pelatihan, pendidikan, dan
dukungan teknis, akan memainkan peran kunci dalam implementasi praktik konservasi.
Sementara itu, pengawasan dan evaluasi berkelanjutan terhadap intervensi yang dilakukan
diperlukan untuk memastikan efektivitasnya dan memberikan dasar untuk perbaikan jika
diperlukan. Pendekatan multisektoral yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah
hingga LSM dan masyarakat lokal, diharapkan dapat menciptakan sinergi yang kuat dalam
menangani tantangan erosi tanah dan kontaminasi logam berat.

Anda mungkin juga menyukai