Anda di halaman 1dari 11

5th ACE Conference.

28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

PERBANDINGAN BEBERAPA METODE INDEKS


KEKERINGAN UNTUK PULAU LOMBOK
Humairo Saidah1, Muh. Bagus Budianto2, Moh. Ali Albar3
1
Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Mataram, Mataram.
Email:h.saidah@unram.ac.id
2
Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Mataram, Mataram.
Email:mbagusbudianto@unram.ac.id
3
Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Mataram, Mataram.
Email:mohalialbar@unram.ac.id

ABSTRACT
Drought index calculation that is needed for understanding drought characteristic of the
region can be useful for mitigation and also early anticipation of drought dissaster. There
are many meteorological drought index calculation methods that have been published and
applicated worldwide. This study chose SPI, PDSI and DI method to be evaluated and
compared to the drought occurrence data in Lombok Island. Its aimed to determine the
best method to be chosen for drought assesement.The best method determined statistically
by counting the amount of the drought months resulted from model compared with
drought occurrence data in Lombok island.The result showed that SPI result was given
accuracy rate of 61% and RMSE about 0.54. Decile Index methods was resulted the
lowest accuracy rate of 56% and the highest RMSE about 0.58. While PDSI method was
the most accurate model with accuracy rate of 69% and RMSE 0.48. Moreover PDSI also
given the best accuracy to predict the time of drought period while dry season compared
to other method with accuracy rate of 71%. So, it concluded that the PDSI method was the
best method to evaluate and detect the drought periods in Lombok.

Keywords: SPI, PDSI, DI, drought index

ABSTRAK
Besaran indeks kekeringan diperlukan untuk memahami karakteristik kekeringan suatu
wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan mitigasi dan antisipasi dini bencana
kekeringan. Terdapat banyak metode perhitungan Indeks kekeringan meteorologis yang
sudah dipublikasi dan dipakai secara luas. Tiga metode dipilih dalam penelitian ini untuk
dievaluasi kedekatan hasilnya terhadap data kekeringan di Pulau Lombok, yaitu SPI, DI
dan PDSI. Evaluasi dilakukan untuk menentukan metode terbaik untuk dipilih dalam
melakukan penilaian kekeringan. Metode terbaik ditentukan secara statistik dengan
menghitung jumlah bulan kering yang dihasilkan model dan membandingkannya dengan
kejadian kekeringan di Pulau Lombok. Hasil yang diperoleh adalah Metode SPI memiliki
tingkat akurasi 61% dengan RMSE 0.54. Metode DI memiliki tingkat akurasi sebesar 56%
dan RMSE 0.58. Sedangkan metode PDSI memiliki tingkat akurasi terbaik yaitu sebesar
69% dengan RMSE terkecil yaitu 0.48. Selain itu, metode PDSI juga paling unggul dalam
ketepatan memprediksi datangnya periode bulan kering dibanding metode lain dengan
akurasi mencapai 71%. Sehingga disimpulkan metode PDSI adalah metode terbaik dalam
mengevaluasi dan mendeteksi periode keringan di Lombok.

KataKunci : SPI, PDSI, DI, indeks kekeringan

278
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

1. PENDAHULUAN

Kekeringan (drought) merupakan salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak
sirkulasi musiman dalam pengaruh iklim global yang ditandai dengan ketersediaan air
yang jauh dari kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, dan kegiatan lainnya.
Dampak kejadian kekeringan dikenal sangat luas. Secara langsung kekeringan terkait
dengan masalah kesehatan masyarakat, biasanya akibat sanitasi yang buruk hingga
wabah penyebaran penyakit, dan secara luas dapat menyebabkan kemiskinan dan
ketertinggalan suatu daerah.

Analisis kekeringan sangat dibutuhkan dalam mendukung kegiatan petanian menuju


ketahanan pangan. Pertanian terutama padi merupakan konsumen air terbesar yang
sangat rawan terhadap kekeringan.Perhitungan analisis kekeringan biasanya
menghasilkan suatu besaran indeks yang menggambarkan tingkat keparahan
kekeringan. Kekeringan dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu kekeringan
meteorologis, kekeringan pertanian dan kekeringan Hidrologis. Kekeringan
meteorologis berkaitan dengan besaran curah hujan yang terjadi berada dibawah kondisi
normalnya pada suatu musim. Keringan pertanian berhubungan dengan berkurangnya
kandungan air dalam tanah (lengas tanah), dan kekeringan hidrologis berkaitan dengan
berkurangnya pasokan air dari dalam tanah.

Kekeringan meteorologis menggambarkan berkurangnya curah hujan yang merupakan


indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan. Banyak metode analisis untuk
mendeteksi kekeringan meteorologis ini dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya.
Diantara metode yang banyak dipakai secara luas adalah SPI (Standardised
Precipitation Index), PDSI (Palmer Drought Severity Index), Decile Index, Theory of
Run, PNI (Precipitation Normal Index), WSI (surface water supply index) dan lain-lain.

Model SPI memiliki keunggulan yaitu sederhana, hanya memerlukan data hujan dan
dapat menentukan tingkat keparahan kekeringan dengan cara mengukur
kekurangan/deficit curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya.
Model SPI dipilih karena memiliki keunggulan yaitu handal, memiliki indeks yang
fleksibel dan sederhana dalam perhitungan (McKee et.al, 1993). Selain menyajikan
indeks kekeringan Model SPI dapat sekaligus menggambarkan indeks kebasahan
(Saidah, et al., 2017). Model PDSI biasa dipakai untuk mengevaluasi kekeringan yang
telah terjadi terutama di daerah semiarid dan yang beriklim sub-humid kering (Quiring
dan Papakryiakou, 2003; Turyanti, 1995). Model PDSI juga merupakan standarisasi
untuk iklim lokal sehingga dapat digunakan untuk semua negara dalam menunjukkan
kekeringan relatif atau kondisi curah hujannya (Huang et al., 2011; Suryanti, 2008).
Metode PDSI juga bisa digunakan untuk mengkaji kekeringan dan dalam
memperkirakan kekeringan (Vasiliades dan Loukas, 2009). Metode Decile Indexadalah
metode yang digunakan oleh pemerintah Australia dalam sistim pengawasan kekeringan
di Australia. Metode ini unggul dalam akurasi juga sederhana dalam perhitungannya
(Parakoti and Scott, 2002)

Penelitian ini ingin menguji keakuratan ketiga metode, yaitu SPI, PDSI dan DI untuk
diaplikasikan di pulau Lombok, khususnya Pulau Lombok Bagian Selatan, yang

279
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

merupakan daerah terkering di pulau Lombok sehingga dapat digunakan sebagai salah
satu metode untuk keperluan monitoring dan evaluasi kekerngan di wilayah ini.

2. METODOLOGI

2.1 Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam analisis kekeringan dengan metode SPI, dan Di adalah
data hujan. Sementara metode PDSI membutuhkan data hujan, data kapasitas lengas
tanah dan data evapotranspirasi potensial. Data kapasitas lengas tanah diperoleh dengan
cara menggabungkan peta rupa bumi dengan peta penggunaan lahan dan peta tekstur
tanah. Data hujan dikumpulkan dari BIIW NTB. Data tata guna lahan, peta tekstur
tanah, peta jenis tanah dikumpulkan dari Bappeda Propinsi NTB

Lokasi daerah penelitian adalah Pulau Lombok bagian selatan, khususnya kecamatan
Sekotong, yang merupakan daerah dengan intensitas kekeringan yang tinggi di Pulau
Lombok. Selain memiliki dukungan data hujan yang memadai daerah Sekotong juga
memiliki catatan kejadian kekeringan sejak tahun 2010 yang akan digunakan sebagai
bahan evaluasi ketelitian model. Tersedia 28 tahun pencatatan data hujan dari 1990-
2017, di Stasiun hujan Sekotong yang berada di Desa Sekotong, Kecamatan Sekotong,
Kabupaten Lombok Barat, berada di elevasi +90,22 m dengan koordinat 08 44' 03" LS
dan 116 05' 12" BT.

Gambar 1. Peta lokasi Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat

2.2 Metode

Penelitian ini menganalisis Indeks kekeringan dari 3 metode yaitu SPI, DI dan PDSI,
dan membandingkan hasilnya dengan data kekeringan yang dikumpulkan dari BPBD.
Pada bulan-bulan yang terdapat kesesuaian antara indeks kekeringan hasil perhitungan
dengan data kekeringan BPBD akan diberikan skor 1, sedangkan yang tidak sesuai
diberikan skor 0. Jumlah bulan-bulan yang bersesesuaian kemudian dijumlahkan untuk
mendapatkan banyaknya bulan sesuai. Semakin banyak bulan yang sesuai, makin tinggi
keakuratan metode tersebut.

280
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

Seluruh data hujan tersedia akan digunakan untuk analisis indeks kekeringan sedangkan
evaluasi ketelitian model hanya menggunakan indeks yang dihasilkan sejak 2012 hingga
2017, mengingat data kekeringan baru dimulai pencatatannya sejak 2012.

3. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

3.1 Metode SPI

Perhitungan nilai SPI berdasarkan jumlah sebaran gamma yang didefinisikan


sebagai fungsi frekuensi atau peluang kejadian sebagai berikut ;

(1)

Nilai α dan β diestimasi untuk setiap stasiun hujan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :

(2)

(3)
Dimana
(4)
n = jumlah data curah hujan dan

Karena fungsi gamma tidak terdefinisi untuk x = 0, maka nilai G(x) menjadi :
(5)

Dimana q = m/n dengan m adalah jumlah kejadian hujan 0 mm dalam deret seri data
hujan.

Perhitungan nilai SPI :


(6)

dan transfom gamma distribution : (7)

(8)

dan transfom gamma distribution : (9)

Kekeringan terjadi pada waktu nilai SPI secara berkesinambungan negatif dan mencapai
intensitas kekeringan dengan SPI bernilai -1 atau lebih kecil. Indeks SPI positif
mengidentifikasikan hujan yang lebih besar dari median dan SPI negatif menunjukan
hujan yang lebih kecil dari median.

281
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

Berdasarkan perhitungan metode SPI untuk wilayah Sekotong, diperoleh hasil dan 6
tahun terakhir disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Nilai SPI 1 bulanan wilayah Sekotong tahun 2012-2017


Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
2012 -2.1 -0.3 -1.8 -0.4 -1.9 -0.2 -1.3 -1.1 -0.9 -0.6 -0.4 -0.1
2013 -0.6 -0.6 -0.2 -0.1 -1.4 -1.9 -0.3 -0.7 -0.9 -0.8 -0.6 -1.6
2014 -1.4 -0.7 -0.6 -0.5 -0.6 -0.7 -0.9 -1.4 0.0 -0.9 -0.3 -0.3
2015 -0.3 -0.2 -1.3 -1.1 -0.6 -0.3 -0.1 -1.0 0.0 -0.9 -1.3 -0.8
2016 -0.5 -0.4 -1.1 -1.0 -0.5 -2.1 -1.9 -2.6 -2.3 -2.0 -1.2 -0.8
2017 -0.6 -1.6 0.0 -0.2 -0.1 -1.6 -1.5 -0.1 -1.0 -1.2 -1.3 -1.0

3.2 Metode DI (Decile Index)

Metode ini dikembangkan oleh Gibbs dan Maher (1967) kata desil berasal dari satu per
sepuluh, dimana rentetan data diurut menjadi 10 kelompok. Kelompok pertama adalah
hujan dengan kemungkinan lebih kecil, 10 % dari seluruh kejadian. Kelompok kedua
adalah curah hujan dengan kemungkinan lebih kecil, 20 % dari seluruh kejadian.

Berdasarkan definisi desil kelima sama dengan median, sehingga cara ini dikelompokan
menjadi 5 kelompok yaitu :
Desil 1 – 2 : terendah, 20 % jauh di bawah normal
Desil 3 - 4 : di atas terendah, 20 % di bawah normal
Desil 5 - 6 : di tengah, 20 % mendekati normal
Desil 7 - 8 : di atas tengah-tengah, 20 % diatas normal
Desil 9 - 10 : tertinggi, jauh di atas normal

Metode Desil (Decile Index) dipilih sebagai ukuran kekeringan oleh Austalian Drought
Watch System karena relatif sederhana untuk dihitung (Aryadipura, 2012).Metode Desil
diterapkan di Australia untuk mengetahui tingkat keparahan kekeringan pada lahan
pertanian/peternakan. Rumus metode Desil-1 secara umumyaitu :

(10)

dengan :

D1 = Desil-1 yang dicari pada suatu titik yang membatasi 10 % frekwensi yang
terbawah dalam distribusi.
Bb = Batas bawah rentang interval Desil-1 (nyata)
Cfb = Frekwensi kumulatif di bawah Desil-1 yang dicari
Fd = Frekwensi pada interval Desil-1 yang dicari
N = Jumlah seluruh frekwensi dalam distribusi
n = Desil yang dicari ( n =1)
i = lebar interval

282
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

Sedangkan hasil perhitungan indeks kekeringan menggunakan metode DI disajikan


pada tabel 2 .

Tabel 2. Indeks DI wilayah Sekotong tahun 2012 – 2017

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
2012 10 5 1 6 10 3 9 8 8 3 6 5
2013 8 8 6 5 10 10 6 6 8 9 3 8
2014 10 8 3 7 8 3 8 10 6 2 6 4
2015 7 6 9 9 8 3 5 7 6 2 2 8
2016 5 4 3 2 3 10 10 10 10 10 8 8
2017 8 10 5 6 5 10 10 5 8 10 10 8

3.3 Metode PDSI (Palmer Drought Severity Index)

Input data dalam metode PDSI adalah curah hujan, kapasitas air tanah (WHC) dan
evapotranspirasi potensial. Kelebihan metode ini selain menghasilkan nilai indeks, juga
menghasilkan koefisien parameter iklim, yaitu koefisien evapotranspirasi, koefisien
imbuhan, koefisien limpasan (run off) dan koefisien kehilangan lengas tanah. Dari
koefisien tersebut dapat dilakukan perhitungan curah hujan yang terjadi selama bulan
tertentu untuk mendukung evapotranspirasi, limpasan dan cadangan lengas tanah yang
dipertimbangkan sebagai kondisi normal. Klasifikasi indeks kekeringan Palmer dibagi
menjadi 11 kelas dengan indeks nol sebagai keadaan normal.

Metode Palmer dalam analisanya selain data hujan, juga membutuhkan masukan data
penggunaan lahan, jenis tanah dan tekstur tanah. Data tata guna lahan, tekstur dan jenis
tanah wilayah Sekotong disajikan dalam gambar 2 sampai 4.

Gambar 2. Peta tata guna lahan kecamatan Sekotong

283
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

Gambar 3. Peta jenis tanah kecamatan Sekotong

Gambar 4. Peta tekstur tanah kecamatan Sekotong

Hasil perhitungan indeks kekeringan menggunakan metode PDSI disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Indeks kekeringan PDSI Wilayah Sekotong tahun 2012 - 2017

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
2012 33.1 6.3 -7.9 1.9 5.3 -6.0 -1.5 -4.3 -4.7 -6.0 2.6 6.4
2013 11.8 13.3 3.2 -1.3 0.3 3.5 -6.1 -4.9 -4.6 -0.9 -1.4 25.5
2014 21.6 13.8 -1.5 2.9 -4.4 -5.5 -2.9 -3.7 -4.7 -6.1 2.3 4.9
2015 8.2 5.5 6.9 3.2 -4.1 -4.4 -4.0 -4.2 -4.6 -6.0 -5.5 7.7
2016 3.0 8.0 -3.8 -3.4 -4.7 7.2 -0.1 1.0 2.4 6.5 6.1 11.9
2017 12.2 21.7 1.6 0.2 -4.5 1.0 -1.3 -4.6 -4.0 1.5 9.2 13.9

284
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

3.4 Evaluasi Keakuratan Model

Pengujian akurasi model dilakukan dengan membandingkan indeks hasil unjuk kerja
model SPI, PDSI dan DI terhadap data kekeringan dari BPBD Kabupaten Lombok
Barat. Pihak BPBD mencatat periode kekeringan jika masyarakat sudah tidak memiliki
akses terhadap air baik air hujan maupun air permukaan. Sehingga bulan kekeringan
yang tercatat adalah gambaran nyata periode kekeringan yang terjadi. Data kekeringan
BPBD disajikan dalam format angka, dimana bulan dengan kejadian kekeringan
diberikan skor -1, sedangkan bulan tanpa kekeringan digambarkan dengan skor 0.
Selanjutnya disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. Data kekeringan BPBD

BPBD Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des
2012 0 0 0 0 -1 -1 -1 -1 -1 -1 0 0
2013 0 0 0 0 0 0 0 -1 -1 0 0 0
2014 0 0 0 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 0
2015 0 0 0 0 0 0 -1 -1 -1 -1 -1 0
2016 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2017 0 0 0 0 0 0 -1 -1 -1 -1 0 0
Sumber : BPDB NTB

Perhitungan keakuratan model dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan skor pada
indeks yang dihasilkan oleh ketiga metode, dengan skor -1 untuk indeks yang
menunjukkan ada kekeringan dan skor 0 untuk bulan tidak ada kekeringan. Selanjutnya
dilakukan pengecekan terhadap kesesuaian skor. Bulan yang memiliki skor yang sama
akan mendapatkan skor 1 dan bulan yang memiliki skor tidak sama mendapat skor 0.
Demikian seterusnya sehingga dapat dilakukan penjumlahan terhadap perolehan jumlah
skor. Makin tinggi skor menandakan kesesuaian yang juga semakin tinggi, baik itu
kesesuaian indeks pada bulan kering maupun basah.

Tabel 5. Skor kesesuaian SPI, DI dan PDSI terhadap data BPBD

BPBD SPI DI PDSI


Jumlah data 72 72 72 72
Jumlah indeks bulan basah 41 45 61 39
Jumlah indeks bulan kering 31 27 11 33
Jumlah bulan sesuai 44 40 50
Prosentase sesuai 61 56 69
RMSE 0.54 0.58 0.48

Hasil evaluasi ini disajikan dalam bentuk grafik pada gambar 5.

285
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

Gambar 5. Grafik Evaluasi Kesesuaian metode SPI, DI dan PDSI

Grafik 5 memperlihatkanmetoda PDSI adalah metode terbaik dalam memberikan indeks


kekeringan di wilayah studi diikuti SPI dan kemudian DI. PDSI memiliki prosentase
kesesuaian paling tinggi yaitu 69% dan angka kesalahan yang terkecil 0.48, diikuti
kemudian metode SPI dan terakhir metode DI.

Untuk menggambarkan tingkat keparahan kekeringan, maka dilakukan akumulasi skor


indeks kekeringan yang mana skor kumulatif akan menunjukkanlamanyakejadian bulan
kering. Makin banyak skor diperoleh berarti makin lama durasi kekeringan terjadi. Hasil
perhitungan indeks kekeringan menurut metode SPI, DI dan PDSI dalam bentuk skor
kumulatif, disajikanbersamaandengan data kekeringan BPBD tahun 2012-2017 pada
gambar 6.

Gambar 6. Grafik skor kumulatif Indeks kekeringan SPI, PDSI, DI dan BPBD

Gambar 6 mempelihatkan metode PDSI tampak memiliki kemampuan yang paling baik
untuk mendeteksi kekeringan panjang yang terjadi pada tahun 2012, 2014, 2015 dan
2017 dibandingkan metode SPI dan DI. Perhitungan keakuratan ketiga metode terhadap
kejadian kekeringan jika ditinjau kesesuaiannya hanya pada bulan kering saja diperoleh
hasil seperti disajikan pada tabel 9.

Tabel 6. Jumlah kesesuaian indeks hasil SPI, DI dan PDSI ditinjau pada bulan kering

SPI DI PDSI
jumlah bulan kering data BPBD 31 31 31
jumlah data sesuai (match) 7 2 22
prosentase sesuai 23% 6% 71%

286
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

Tabel 9 adalah data yang diambil hanya pada bulan yang memiliki kejadian bulan
kering. Tabel 9 memperlihatkan bahwa Metode PDSI mampu memberi skor indeks
untuk bulan kering secara tepat (match)sebanyak 22 bulan dari 31 bulan kering yang
terjadi. Sementara metode SPI hanya 7 bulan dan metode DI hanya 2 bulan. Sehingga
hal ini menunjukkan bahwa PDSI adalah metode terbaik dalam mengevaluasi dan
memonitor kekeringan di Lombok.

Selain membutuhkan masukan data yang lebih banyak, dalam proses perhitungannya
metode PDSI memiliki tingkat kesulitan yang lebih dibandingkan metode SPI dan DI.
Sehingga dalam penerapannya metode SPI dan DI tetaplah menarik untuk diterapkan
meski memiliki akurasi yang lebih rendah.

4. KESIMPULAN

Dilihat dari kesesuaiannya terhadap kejadian kekeringan data BPBD, maka metode
terbaik dalam mengevaluasi dan menentukan indeks kekeringan di Pulau Lombok
adalah PDSI, diikuti SPI dan kemudian DI. Metode PDSI memberikan angka
keakuratan sebesar 69% untuk pengujian keseluruhan kondisi (bulan basah dan kering),
dan pengujian pada bulan kering PDSI memberikan 71% persen indeks bulan kering
secara tepat.

5. DAFTAR PUSTAKA

Aryadipura, Sudhian. 2012. Analisa Kekeringan Daerah Aliran Sungai Upper Brantas
dan Daerah Aliran Sungai Kali Metro dengan Metode Standardized Precipitation
Index (Spi) dan Desil.Skripsi.FTSP UPNasional Veteran Surabaya
Gibbs, W. J. and J. V. Maher. 1967.Rainfall Deciles as Drought Indicators. Australian
Bureau of Meteorology. Bull. 48, 37 pp.
Huang, S.Dahal, D.Young, C.Chander, G.dan Liu, S. 2011. Integration of Palmer
Drought Severity Index and Remote Sensing Data to Simulate Wetland Water
Surface from 1910 to 2009 in Cottonwood Lake Area.North Dakota.Remote
Sensing of Environment. Vol. 115, hal. 3377-3389
McKee, T. B. N. J. Doesken and J. Kleist. 1993.The relationship of drought frequency
and duration of time scales. Eighth Conference on Applied Climatology.
American Meteorological Society. Jan17-23. Anaheim CA. pp.179-186
Parakoti, B. dan Scott, D. 2002. Drought Index for Rarotonga (Cook Islands).
Proceedings of the Pacific Regional Consultation on Water in Small Island
Countries. Theme 2. Case Studie.
Quiring, S.M. dan Papakryiakou, T.N. 2003.An Evaluation of Agricultural Drought
Indices for the Canadian Prairies. Agricultural and Forest Meteorology. Vol. 118,
hal 49-62.
Saidah, H., Budianto, M. B. & Hanifah, L., 2017. Analisa Indeks Dan Sebaran
Kekeringan Menggunakan Metode Standardized Precipitation Index (SPI) Dan

287
5th ACE Conference. 28 November 2018, Padang, Sumatra Barat

Geographical Information System (GIS) Untuk Pulau Lombok. SPEKTRAN. Vol


5 no 2
Suryanti, Ika. 2008. Analisis Hubungan Antara Sebaran Kekeringan Menggunakan
Indeks Palmer Dengan Karakteristik Kekeringan. Skripsi. Bogor: IPB
Turyanti, A. 1995.Sebaran Indeks Kekeringan Wilayah Jawa Barat.Skripsi. Jurusan
Geofisika dan Meteorologi. FMIPA IPB
Vasiliades, L. dan Loukas, A.2009.Hydrological Response to Meteorological Drought
Using the Palmer Drought Indices in Thessaly.Greece. Desalination. Vol. 237.
hal. 3-21.

288

Anda mungkin juga menyukai