Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

KLIMATOLOGI PERTANIAN
“ANALISA CURAH HUJAN WILAYAH”
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Klimatologi Pertanian

Disusun Oleh
Nama : Riska Fitriani
NIM : 4442180031
Kelas : IV A
Kelompok : 5 ( Lima )
\

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
s]aya dapat menyelesaikan laporan praktikum mata kuliah Klimatologi Pertanian
yang berjudul “Analisa Curah Hujan Wilayah” dengan tepat waktu. Terimakasih
kepada Ibu Sri Ritawati, S.TP., M.Sc.; Bapak Nur Iman Muztahidin, S.P., M.Sc.;
dan Ibu Nuniek Hermita, S.Hut., M.Sc. selaku dosen pengampu mata kuliah
Klimatologi Pertanian yang telah memberikan banyak ilmu. Terimakasih kepada
Saudari Rahmadia Fitri dan Saudari Dinar Wilutami sebagai asisten laboratorium
Agroekoteknologi yang telah membimbing dalam pelaksanaan praktikum dan
membantu dalam pembuatan laporan praktikum ini. Adapun tujuan pembuatan
laporan ini adalah untuk memenuhi tugas praktikum dalam mata kuliah
Klimatologi Pertanian.
Sebagai penulis, saya mengakui bahwasanya masih banyak kekurangan
dalam penulisan laporan ini. Maka dari itu, saran dan kritik dari pembaca sangat
saya harapkan demi lebih memperbaiki dalam penulisan laporan. Terimakasih.

Serang, April 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………...……. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………..…….... ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang…….…………………………………………….………
1
1.2 Tujuan………….….…..……….………………………………………..
2
BAB II TINJUAN PUSTAKA...............................................................................
3
2.1 Curah Hujan…………….......…..…....……….............………………....
3
2.2 Curah Hujan Wilayah........................................…..............................….
3
2.3 Hubungan Hujan Wilayah dengan Irigasi dan Drainase...........................
6
BAB III METODE PRAKTIKUM.......................................................................
7
3.1 Waktu dan Tempat……………………….……..…….……........……....
7
3.2 Alat dan Bahan………………………………...……………...….……..
7
3.3 Cara Kerja…………………………………....…………...……….…....
7
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................
8
4.1 Hasil……………………………………..………………….………..…..
8

2
4.2 Pembahasan……………………………………..……………..……....... 8
BAB V PENUTUP................................................................................................
11
5.1 Simpulan………...…………….…….…………….………………..…..
11
5.2 Saran……………………………………………………..…………...... 11
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..………….....
12

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengelolaan DAS merupakan usaha manusia untuk mengatur hubungannya
dengan sumberdaya di dalam DAS sehingga dapat tercipta kelestarian. Penilaian
keberhasilan pengelolaan DAS dapat diketahui dengan melakukan pengukuran
morfometri DAS yang dipengaruhi oleh kondisi fisik dan iklim (curah hujan) dari
DAS itu sendiri (Narulita, dkk, 2010).
Curah hujan wilayah merupakan curah hujan yang pengukurannya dilakukan
di suatu wilayah tertentu (wilayah regional). Curah hujan yang dibutuhkan untuk
menyusun suatu rencangan pemanfaatan air dan rencana pengendalian banjir
adalah curah hujan rata – rata diseluruh daerah yang bersangkutan, bukan hanya
curah hujan pada satu titik saja. Menurut Sosrodarsosno dan Takeda (1977) data
curah hujan dan debit merupakan data yang sangat penting dalam perencanaan
waduk. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan.
Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk penyusunan suatu
rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir. Loebis (1987)
mengatakan bahwa metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata –
rata wilayah ada tiga metode, yaitu metode rata – rata aritmatika (aljabar), metode
polihon Thiessen, dan metode Isohit.
Tingkat curah hujan di suatu wilayah menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kondisi lingkungan di daerah tersebut. Curah hujan menjadi satu
bagian penting dalam bidang pertanian. Intensitas hujan yang ada pada saat itu
berpengaruh pada aktivitas pertanian yang ada. Sehingga perlunya diadakan
pengamatan mengenai analisis curah hujan yang bertujuan untuk mengetahui
curah hujan wilayah serta dapat mengetahui hubungan curah hujan dengan
rencana kegiatan irigasi dan drainase. Karena irigasi dan drainase penting
dilakukan dengan manajemen yang tepat, agar kelak akan menghasilkan produksi
pertanian yang optimal.

1
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah:
1. Menentukan curah hujan wilayah.
2. Mempelajari hubungan curah hujan dengan rencana kegiatan irigasi dan
drainase.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Curah Hujan


Data Hujan merupakan masukan utama dari sistem sungai dan aliran sungai.
Oleh karena itu untuk mengetahui semua karakteristik aliran, harus diketahui
informasi mengenai besaran curah hujan yang terjadi di lokasi yang sama atau
disekitarnya. Hampir semua kegiatan pengembangan sumber daya air memerlukan
informasi hidrologi untuk dasar perencanaan dan perancangan, salah satu
informasi hidrologi yang penting adalah data hujan. Data hujan ini dapat terdiri
dari data hujan harian, bulanan dan tahunan. Pengumpulan dan pengolahan data
hujan ini diharapkan dapat menyajikan data hujan yang akurat, menerus dan
berkelanjutan sesuai dengan kondisi lapangan, tersusun dalam sistem database,
data menyediakan data/informasi hidrologi yang tepat sesuai dengan kebutuhan
(Handoko, 2007).
Dengan berkembangnya kondisi Satuan Wilayah Sungai (SWS), maka
kebutuhan akan air semakin meningkat yang kadang-kadang terjadi konflik antar
kepentingan. Kecermatan dalam analisis ketersediaan air dapat dicapai bilamana
tersedia data hujan yang akurat. Data hujan ini juga digunakan untuk input
evaluasi unjuk kerja desaign capacity atau pedoman operasi bangunan air
(Bayong, 2004).

2.2 Curah Hujan Wilayah


Curah hujan (mm) adalah ketinggian air hujan yang terkumpul dalam penakar
hujan pada tempat yang datar, tidak menyerap, tidak meresap dan tidak mengalir.
Menurut Triatmodjo (2008), stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman
hujan di titik dimana stasiun berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus
diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat
lebih dari stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang
tercatat di masing-masing stasiun dapat tidak sama. Dalam analisis klimatologi
sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut, yang dapat
dilakukan dengan tiga metode. Menurut Triadmodjo (2008) berikut ketiga metode

3
tersebut:

1. Metode Rerata Aritmatik (Aljabar)


Metode aljabar ini adalah metode mencari rerata suatu stasiun hujan seperti
pada gambar 1 dibawah ini ;

Gambar 1. Stasiun hujan di suatu DAS (Triatmodjo, 2008)


Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada
suatu daerah. Pengukuran dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang
bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun
hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam
DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.
Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan oleh persamaan 3.1
P 1+ P 2+ P 3+…+ Pn
P= .................................................... (3.1)
n
Dengan :
P : Hujan rerata kawasan
P1, p2, p3,.....,pn : Hujan di stasiun 1, 2, 3, ..., n
n : Jumlah stasiun
2. Metode Thiessen

Gambar 2. Metode Poligon Thiessen (Triatmodjo, 2008)

4
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang
mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa
hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang
tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila
penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Perhitungan
poligon Thiessen seperti pada persamaan 3.2 sperti dibawah ini
A 1. P 1+ A 2. P 2+ A 3. P 3+ …+ An. Pn
P= .................................... (3.2)
A 1+ A 2+ A 3+…+ An
Dengan :
P : Hujan rerata kawasan
P1, P2, ..., Pn : Hujan pada stasiun
1,2,..,n A1,A2, ..., An : Luas daerah stasiun 1,2,..., n
N : Jumlah stasiun penakar
3. Metode Isohiet

Gambar 3. Metode Isohiet (Triatmodjo, 2008)


Isohiet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman
hujan yang sama. Pada metode isohiet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah
di antara dua garis isohiet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua
garis isohiet tersebut. Metode isohiet merupakan cara paling teliti untuk
menghitung kedalaman hujan rerata di suatu daerah, tetapi cara ini membutuhkan
pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dibandingkan dengan dua metode
sebelumnya. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulisseperti pada
persamaan 3.3 :
I1I2 I 2I 3 InIn+1
A1 +A2 + …+ An
2 2 2 ......................................(3.3)
P=
A 1+ A 2+ …+ An
Dengan:

5
P: Hujan rerata kawasan
I1,I2,...,In : Garis isohiet ke
A1,A2,...,An : Luas areal poligon
1,2,...,n,n+1 A1,A2,...,A3 : Luas daerah yang dibatasi oleh isohiet ke 1 dan 2, 2
dan 3,..., n dan n+1

2.3 Hubungan Hujan Wilayah dengan Irigasi dan Drainase


Untuk menunjang rancangan pekerjaan irigasi dan drainase serta
pengontrolan banjir,, maka njumlah air yang mengalir perlu diketahui secarapasti.
jika mungkin, jumlah tersebut dapat langsung diukur. tetapi jika tidak, harus
digunakan cara lain, yaitu secara tidak langsung dengan memperhitungkan data –
data curah hujan yang ada (Sanusi, 2014).
Jumlah curah hujan yang jatuh pada suatu periode dinyatakan dalam
ketinggian (mm, inchi, dsb.) dan mencakup pada suatu bidang horizontal dengan
luas tertentu. data curah hujan ini sering juga dipakai untuk memperkirakan besar
curah hujan yang jatuh didaerah sekitarnya. akan tetapi, jika daerah yang diwakili
makin luas, maka angka perkiraan akan memiliki kesalahan yang lebih besar.
karena secara statistik data curah hujan harus memperhatikan dimensi ruang dan
waktu tersebut (Sosrodarsono, 1977).

6
7
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Rabu, 11 Maret 2020 pukul 10.50 WIB
sampai dengan selesai. Bertempat di laboratorium Ilmu Dasar dan Perlindungan
Tanaman, lantai 2, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum saat praktikum kali ini diantaranya alat
tulis, spidol dan kalkulator. Sedangkan bahan yang digunakan ialah HVS dan
kertas milimeter blok.

3.3 Cara Kerja


Adapun cara kerja dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Materi praktikum dijelaskan oleh asisten laboratorium.
3. Cara menggambar dan menghitung dengan metode poligon Thiessen dan
isohyet dijelaskan oleh asisten laboratorium.
4. Metode poligon dan isohyet digambar pada milimeter blok.
5. Dihitung besarnya hujan wilayah dengan masing – masing metode tersebut.

8
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil Metode Polygon Thiessen dan Isohyet
Polygon Isohyet

4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini akan dibahas mengenai analisis curah hujan wilayah
digunakan perhitungan menggunakan dua metode, yaitu metode poligon theissen
dan metode isohit. Metode Poligon Theissen digunakan untuk memperhitungkan
bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu
luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi
pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun
mewakili luasan tersebut. Sedangkan metode isohit digunakan untuk menghitung
kedalaman hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode ini stasiun hujan harus
banyak dan tersebar merata, metode Isohit membutuhkan pekerjaan dan perhatian
yang lebih banyak dibanding dua metode lainnya. Diperkuat oleh Nurulita, dkk
(2010) Isohit adalah garis yang menggambarkan tebal hujan yang sama besarnya.
Penggambaran setiap garis isohiet dari suatu DPS harus mempertimbangkan
faktor topografi dan faktor lainnya yang berpengaruh terhadap sebaran hujan.
Pada metode polygon theissen untuk mengetahui rata-rata hujan wilayah
dapat dihitung dengan mengalikan antara luas areal poligon (A) dengan curah
hujan di masing-masing stasiun penakar. Perhitungan ini diulang sesuai dengan
jumlah stasiun penakar yang ada (n), yang kemudian dibagi dengan luas areal total
(AT).

9
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan pada luas daerah 1 (A 1) adalah
25,09 m2, luas daerah 2 (A2) adalah 15,62 m2, luas daerah 3 (A3) adalah 16,80 m2,
luas daerah 4 (A4) adalah 18,60 m2, luas daerah 5 (A5) adalah 19,66 m2, luas
daerah 6 (A6) adalah 22,21 m2, luas daerah 7 (A7) adalah 18,86 m2. Sedangkan
curah hujan di masing-masing stasiun penakar didapati pada stasiun 1 (P 1) adalah
100, stasiun 2 (P2) adalah 70, stasiun 3 (P3) adalah 90, stasiun 4 (P4) adalah 120,
stasiun 5 (P5) adalah 120, stasiun 6 (P6) adalah 110, stasiun 7 (P7) adalah 90. Dari
keseluruhan data tersebut kemudian dibagi dengan luas areal total sebesar 136,84
m2. Dan didapati hasil rata-rata hujan wilayah sebesar 98,413 mm. Metode
poligon lebih teliti dibandingkan dengan metode aritmatika diperkuat oleh
pendapat Handoko (2012) Meskipun demikian metode poligon ini dianggap lebih
baik daripada metodearitmatik, karena telah mempertimbangkan luas daerah yang
dianggap mewakili, sebagai bobot dalam perhitungan tebal hujan rata - rata.
Kelemahan dari metode poligon ialah belum dapat memberikan bobot yang tepat
sebagai sumbangan satu hujan untuk hujan daerah.
Selanjutnya yaitu menggunakan metode isohit yang dapat digunakan untuk
menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai ketinggian / ketebalan hujan
yang sama. Diperjelas oleh Ritawati (2015) Cara yang digunakan dalam metode
ini adalah dengan menghubungkan masing-masing stasiun terdekat dengan garis
lurus, kemudian tentukan titik-titik pada garis tersebut yang mempunyai ketebalan
hujan yang sama (dengan skala proporsional antara dua stasiun), tarik garis yang
menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketebalan hujan yang sama besarnya
(isohit), tebalnya hujan rata-rata anatara dua isohit dihitung dengan membagi dua
jumlahan nilai isohit berdekatan, dan luas antara dua isohit dihitung menggunakan
plainmeter.
Didapati hasil pada luas areal antara 2 isohit yaitu pada areal 1 (A1) adalah,
4,33 m, pada areal 2 (A2) adalah 16,77 m, pada areal 3 (A3) adalah 22,80 m, pada
areal 4 (A4) adalah 58,23 m, pada areal 5 (A5) adalah 70,54 m, pada areal 6 (A6)
adalah 69,10 m, pada areal 7 (A 7) adalah 34,76 m, pada areal 8 (A 8) adalah 5,16
m. Sedangkan curah hujan antara dua isohit pada masing-masing stasiun penakara
diketahui pada stasiun 1 (P1) adalah 65, pada stasiun 2 (P 2) adalah 75, pada stasiun
3 (P3) adalah 85, pada stasiun 4 (P4) adalah 95, pada stasiun 5 (P5) adalah 105,

10
pada stasiun 6 (P6) adalah 115, pada stasiun 7 (P7) adalah 125, pada stasiun 8 (P8)
adalah 65. Dari keseluruhan data tersebut kemudian dibagi dengan luas areal total
yaitu sebesar 281,69 m2. Dan didapati hasil rata-rata hujan wilayah sebesar
103,101 mm.
Adapun kelemahan dari metode isohit yakni subyektif diperjelas oleh
Handoko (2012) Teknik atau metode Isohit dipandang paling baik dan teliti, tapi
bersifat subyektif dan tergantung pada keahlian, pengalaman, dan pengetahuan
pemakai terhadap sifat curah hujan di daerah setempat. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa cara Isohit lebih teliti, tetapi cara perhitungannya
memerlukan banyak waktu karena garis-garis isohit yang baru perlu ditentukan
untuk setiap curah hujan. Metode Isohit terutama berguna untuk mempelajari
pengaruh curah hujan terhadap aliran sungai terutama di daerah dengan tipe curah
hujan orografik.
Dari perhitungan tersebut kita dapat mengetahui rata-rata curah hujan
untuk menghubungkan dengan rencana kegiatan drainase dan irigasi. Karena
kedua kegiatan tersebut berhubungan dengan curah hujan yang nantinya akan
berhubungan pula dengan pengairan pada daerah pertanian misalnya untuk
mendapatkan hasil produksi yang optimal

11
12
BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan
Adapun simpulan dari hasil praktikum diatas adalah dalam pengukuran curah
hujan pada suatau wilayah dapat menggunakan dua metode, yaitu metode polygon
theissen dan metode isohit. Metode Polygon Theissen digunakan untuk
memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di
sekitarnya. Sedangkan metode isohit digunakan untuk menghitung kedalaman
hujan rata-rata di suatu daerah, pada metode ini stasiun hujan harus banyak dan
tersebar merata, metode Isohit membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih
banyak dibanding dua metode lainnya. Metode poligon memeliki kelebihan yakni
lebih baik dibandingkan dengan metode aritmatika, dengan kelemahan metode
poligon yang dimiliki yakni belum dapat memberikan bobot yang tepat sebagai
sumbangan satu hujan untuk hujan daerah. Sedangkan metode isohit dianggap
sebagai metode paling teliti, akan tetapi dalam pengerjaannya yang lebih rumit.
Dari perhitungan tersebut kita dapat mengetahui rata-rata curah hujan untuk
menghubungkan dengan rencana kegiatan drainase dan irigasi. Karena kedua
kegiatan tersebut berhubungan dengan curah hujan yang nantinya akan
berhubungan pula dengan pengairan pada daerah pertanian misalnya untuk
mendapatkan hasil produksi yang optimal.

5.2. Saran
Saran untuk praktikum ini adalah agar praktikan lebih teliti lagi dalam
mengamati peta curah hujan, dan pemahaman lebih lanjut, sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam penghitungan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bayong. 2004. Iklim Lingkungan. Bandung : PT. Cendikia Jaya Utama.


Handoko. 2012. Klimatologi. Yogyakarta: BPFE
Loebis Joesron. 1987. Banjir Rencana untuk Bangunan Air. Bandung: DPU.
Narulita, Ida. Dkk. 2010. Karakteristik Curah Hujan di Wilayah Pengaliran
Sungai (WPS) Ciliwung-Cisadade. Jurnal Riset Geologi dan
Pertambangan. Vol (20) 2 : 125 -132
Ritawati, Sri dan Romdhonah, Yayu. 2015. Petunjuk Praktikum Klimatologi
Pertanian. Serang : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Sanusi, Wahidah. 2014. Analisis Homogenitas Data Curah Hujan Tahunan Kota
Makassar. Jurnal Teknik Sipil dan Teknologi. Vol (5) 5 : 73 – 77
Sosrodarsono, Suyono dan Takeda, Kensaku. 1977. Bendungan Tipe Urugan.
Jakarta : Pradnya.
Triatmodjo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta : Beta Offset.

14
15

Anda mungkin juga menyukai