Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

AGROKLIMATOLOGI
“ANALISA CURAH HUJAN WILAYAH”
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Agroklimatologi

Disusun oleh:
Nama : Suria Paloh
NIM : 4442210007
Kelas : IF

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan kelancaran kepada penulis dalam
menyelesaikan praktikum pada mata kuliah Agroklimatologi dengan judul
“Analisa Curah Hujan Wilayah”.
Dalam rangka memenuhi tugas praktikum Agroklimatologi, penulis
menyusun laporan praktikum ini untuk menghitung dan menganalisis curah hujan
wilayah. Dalam hasil praktikum ini penulis mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yayu
Romdhonah, S.TP., M.Si., P.hD, Ibu Dr. Dewi Firnia, S.P., M.P dan Ibu Endang
Sulistyorini, S.P.,M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Agroklimatologi
yang sudah memberi arahan terkait praktikum ini. Saudari Mia Khaerunisa dan
Putri Khalifah selaku Asisten Praktikum Agroklimatologi kelas 1F yang sudah
membantu dalam berjalannya praktikum ini.
Dalam penyusunan hasil praktikum ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan ini. Harapan penulis semoga
laporan ini dapat memberikan pengetahuan tambahan tentang cara menentukan
curah hujan pada suatu wilayah.

Serang, November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Tujuan.....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Hidrologi.....................................................................3
2.2 Curah Hujan...........................................................................................4
2.3 Curah Hujan Wilayah.............................................................................5
2.4 Penentuan Curah Hujan Wilayah....................................................7
2.4.1 Metode Poligon Thiessen.............................................................7
2.4.2 Metode Isohit...............................................................................8
2.4.3 Metode Rerata Aritmatik (Aljabar)..............................................9
2.5 Hubungan Hujan Wilayah dengan Irigasi dan Drainase......................10
BAB III METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat...............................................................................12
3.3 Cara Kerja.............................................................................................12
3.4 Analisis Data........................................................................................12
3.4.1 Metode Poligon Thiessen...........................................................12
3.4.2 Metode Isohit..............................................................................13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil.....................................................................................................14
4.2 Pembahasan..........................................................................................14
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan...............................................................................................21
5.2 Saran.....................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22
LAMPIRAN

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Metode Poligon dan Isohit..............................................................14

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus Hidrologi.....................................................................................4


Gambar 2. Curah Hujan...........................................................................................5
Gambar 3. Curah Hujan Hilayah..............................................................................7
Gambar 4. Metode Poligon Thiessen.......................................................................8
Gambar 5. Metode Isohit.........................................................................................9
Gambar 6. Stasiun hujan di suatu DAS..................................................................10

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam ilmu klimatologi pertanian (Agroklimat) memperkirakan curah hujan
yang jatuh dalam suatu wilayah apalagi dalam wilayah pertanian sangat penting.
Hujan adalah salah satu fenomena cuaca yang terjadi di permukaan bumi
(atmosfer bumi). Hujan terbentuk setelah melewati beberapa kejadian atau proses.
Penguapan air yang terjadi di permukaan bumi, baik dari permukaan berair seperti
laut, danau, sungai, maupun permukaan di darat seperti penguapan dari tanah,
rumput, dedaunan di pohon dan lain-lain (Jumin, 2002).
Curah hujan merupakan salah satu parameter hujan yang dapat diukur. Curah
hujan menunjukkan seberapa tinggi muka air yang diakibatkan oleh curah hujan
di suatu daerah. Hujan adalah peristiwa presipitasi yang terjadi dalam bentuk.
Hujan merupakan sumber utama air yang menyuplai permukaan bumi. Curah
hujan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda.
Perbedaan curah hujan menghasilkan karakteristik curah hujan yang khas. Curah
hujan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain garis lintang, ketinggian
tempat, jarak dari laut, posisi di dalam dan ukuran massa tanah daratan, arah angin
terhadap sumber air, relief, dan suhu nisbi tanah (Dwirani, 2019).
Tingkat curah hujan di suatu wilayah menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kondisi lingkungan di daerah tersebut. Curah hujan menjadi satu
bagian penting dalam bidang pertanian. Intensitas hujan yang ada pada saat itu
berpengaruh pada aktivitas pertanian yang ada. Sehingga perlunya diadakan
pengamatan mengenai analisis curah hujan yang bertujuan untuk mengetahui
curah hujan wilayah serta dapat mengetahui hubungan curah hujan dengan
rencana kegiatan irigasi dan drainase. Karena irigasi dan drainase penting
dilakukan dengan manajemen yang tepat, agar kelak akan menghasilkan produksi
pertanian yang optimal.
Proses terjadinya siklus air inilah yang kemudian disebut siklus hidrologi,
saat itu air terus mengikuti siklusnya. Air yang ada di permukaan bumi kemudian
menguap menuju ke langit dan berkumpul membentuk awan, hingga awan sampai
pada titik jenuh lalu meneteskan air ke bumi. Inilah yang disebut air hujan, curah
hujan ini merupakan unsur iklim yang mempunyai variasi terbesar baik itu variasi
sebaran waktu dan variasi sebaran tempat. Besar curah hujan yang terukur dan
tercatat oleh sebuah alat penakar hujan merupakan kejadian hujan lokal yang
mewakili wilayah tidak luas. Sebaran hujan dalam suatu wilayah tergantung pada
tipe hujan dan kondisi lahan (Perdana et.al., 2015).
Data curah hujan diperoleh dari pengukuran stasiun hujan. Karena intensitas,
sebaran, dan kedalaman curah hujan berbeda-beda dan tidak seragam di setiap
wilayah, maka susunan dan pola sebaran stasiun pencatat curah hujan harus tepat
agar dapat memberikan data yang mewakili lokasi dimana stasiun tersebut berada.
Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk penyusunan suatu
rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir.
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan praktikum untuk mempelajari cara
analisis data curah hujan wilayah pada suatu contoh data yang diberikan di mata
kuliah Hidrologi agar bermanfaat baik dalam kaitannya dengan mata kuliah lain
dan aplikasinya di dunia kerja khususnya dalam bidang yang mengatasi masalah
seputar faktor adanya air yakni hujan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut.
1. Menentukan curah hujan wilayah
2. Mempelajari hubungan curah hujan dengan rencana kegiatan irigasi dan
drainase

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Hidrologi


Hidrologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu terdiri dari kata hydros yang
berarti air dan kata logos yang berarti ilmu, dengan demikian secara umum
hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang air. Secara lebih mendetail,
hidrologi adalah cabang ilmu teknik sipil yang mempelajari pergerakan, distribusi
dan kualitas air di seluruh bumi, termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air.
Siklus hidrologi adalah suatu rangkaian proses yang terjadi dengan air yang terdiri
dari penguapan, presipitasi, infiltrasi dan pengaliran keluar (out flow). Penguapan
terdiri dari evaporasi dan transpirasi. Uap yang dihasilkan mengalami kondensasi
dan dipadatkan membentuk awan yang nantinya kembali menjadi air dan turun
sebagai presipitasi. Sebelum tiba di permukaan bumi presipitasi tersebut sebagian
langsung menguap ke udara, sebagian tertahan oleh tumbuh-tumbuhan (intersepsi)
dan sebagian mencapai permukaan tanah (Perdana et.al., 2015).
Siklus hidrologi merupakan proses berkelanjutan dimana air bergerak dari
bumi ke atmosfer dan kemudian kembali ke bumi. Air di permukaan tanah dan
laut menguap ke udara. Uap air tersebut bergerak dan naik ke atmosfer, yang
kemudian mengalami kondensasi dan berubah menjadi titik-titik air yang
berbentuk awan. Selanjutnya titik-titik air tersebut jatuh sebagai hujan ke
permukaan laut dan daratan. Hujan yang jatuh sebagian tertahan oleh tumbuh-
tumbuhan (intersepsi) dan selebihnya sampai ke permukaan tanah. Sebagian air
hujan yang sampai ke permukaan tanah akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi)
dan sebagian lainnya mengalir di atas permukaan tanah (aliran permukaan atau
surface run off) mengisi cekungan tanah, danau, dan masuk ke sungai dan
akhirnya mengalir ke laut. Air yang meresap ke dalam tanah sebagian mengalir di
dalam tanah (perkolasi) mengisi air tanah yang kemudian keluar sebagai mata air
atau mengalir ke sungai. Akhirnya aliran air di sungai akan sampai ke laut. Proses
tersebut berlangsung terus menerus yang disebut dengan siklus hidrologi.
(Triatmodjo, 2008).

3
Hampir semua kegiatan pengembangan sumber daya air memerlukan
informasi hidrologi untuk dasar perencanaan dan perancangan, salah satu
informasi hidrologi yang penting adalah data hujan. Data hujan ini dapat terdiri
dari data hujan harian, bulanan dan tahunan. Pengumpulan dan pengolahan data
hujan ini diharapkan dapat menyajikan data hujan yang akurat, menerus dan
berkelanjutan sesuai dengan kondisi lapangan, tersusun dalam sistem database,
data menyediakan data/informasi hidrologi yang tepat sesuai dengan kebutuhan
(Handoko, 2003).

Gambar 1. Siklus Hidrologi


(Sumber: Salsabila et al., 2020)

2.2 Curah Hujan


Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam
waktu tertentu. Alat untuk mengukur banyaknya curah hujan disebut Rain gauge.
Curah hujan diukur dalam harian, bulanan, dan tahunan. Curah hujan yang jatuh
di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah bentuk
medan/topografi, arah lereng medan, arah angin yang sejajar dengan garis pantai
dan jarak perjalanan angina di atas medan datar. Hujan merupakan peristiwa
sampainya air dalam bentuk cair maupun padat yang dicurahkan dari atmosfer ke
permukaan bumi (Sunarno, 2012).
Curah hujan merupakan salah satu rabic iklim selain suhu, kelembaban,
radiasi matahari, evaporasi, tekanan udara dan kecepatan angin. Hujan adalah air
yang jatuh ke permukaan bumi sebagai akibat terjadinya kondensasi dari partikel-
partikel air dilangit. Jumlah curah hujan diukur sebagai volume air yang jatuh di
atas permukaan bidang datar dalam periode waktu tertentu, yaitu harian,
mingguan, bulanan, atau tahunan (Endriyanto et al., 2011).

4
Definisi curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan yang diterima oleh
permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan perembesan ke
dalam tanah. Pengukuran curah hujan pada tiap stasiun pengamatan hujan akan
menghasilkan nilai curah hujan titik yang dianggap mewakili nilai curah hujan
untuk radius tertentu yang bergantung dari letak stasiun, topografi wilayah dan
sebaran (tipe) hujan pada wilayah tersebut. Daerah yang berbukit-bukit
memerlukan stasiun yang lebih rapat daripada daerah yang datar, karena daerah
belakang angin tidak dapat diwakili oleh daerah hadap angin (Utaya, 2013).
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama
periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter (mm) di atas
permukaan horizontal. Curah hujan juga dapat diartikan sebagai ketinggian air
hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan
tidak mengalir. Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke
permukaan bumi. Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu
proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi
pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan
terjadi dalam suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan
mempengaruhi proses yang terjadi didalam-Nya (Bayong, 2004).

Gambar 2. Curah Hujan


(Sumber: https://www.climate4life.info/)

2.3 Curah Hujan Wilayah


Besarnya hujan yang dicatat oleh sebuah alat penakar hujan mewakili daerah
yang tidak begitu luas. Kerapatan jaringan penakar hujan tergantung pada tipe
hujan dan kondisi lahannya. Kerapatan jaringan penakar hujan yang memadai
dapat memberikan hasil pencatatan rerata hujan wilayah yang baik. Curah hujan

5
titik yang dicatat pada alat penakar hujan dipergunakan untuk menentukan
besarnya curah hujan wilayah, baik untuk basis harian, bulanan, maupun tahunan
(Indarto, 2012).
Untuk menunjang rancangan pekerjaan irigasi dan drainase serta
pengontrolan banjir, maka jumlah air yang mengalir perlu diketahui secara pasti.
Jika mungkin, jumlah tersebut dapat langsung diukur. Tetapi jika tidak, harus
digunakan cara lain, yaitu secara tidak langsung dengan memperhitungkan data-
data curah hujan yang ada (Indarto, 2012).
Intensitas curah hujan adalah jumlah curah hujan dalam suatu satuan waktu
tertentu, yang biasanya dinyatakan dalam mm/jam, mm/hari, mm/tahun, dan
sebagainya; yang berturut-turut sering disebut hujan jam-jaman, harian, tahunan,
dan sebagainya. Biasanya data yang sering digunakan untuk analisis adalah nilai
maksimum, minimum dan nilai rata-ratanya. Cara Perhitungan Curah Hujan
Daerah, Curah hujan yang diperlukan untuk menyusun suatu rancangan
pemanfaatan air adalah curah hujan rata-rata di daerah yang bersangkutan, bukan
hanya pada satu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah atau
daerah dan dinyatakan dalam mm. Cara-cara perhitungan curah hujan daerah dari
pengamatan curah hujan di beberapa pos stasiun hujan adalah sebagai berikut: a)
Cara Rata-rata Aljabar b) Cara Poligon Thiessen c) Metode Isohit d) Jaringan
Pengukuran Hujan (Dwirani, 2019).
Jumlah curah hujan yang jatuh pada suatu periode dinyatakan dalam satuan
ketinggian (mm, inci, dsb.) dan mencakup pada satu bidang horizontal dengan
luas tertentu. Data curah hujan ini sering juga dipakai untuk memperkirakan besar
curah hujan yang jatuh di daerah sekitarnya. Akan tetapi jika daerah yang
mewakili makin luas, maka angka perkiraan akan memiliki kesalahan yang lebih
besar. Karena secara statistik data curah hujan bervariasi menurut waktu dan
ruang, maka dalam menganalisis frekuensi terjadinya curah hujan harus
memperhatikan dimensi ruang dan waktu tersebut (Indarto, 2012).
Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik dimana
stasiun berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik
pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari stasiun
pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-

6
masing stasiun dapat tidak sama. Dalam analisis klimatologi sering diperlukan
untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut, yang dapat dilakukan dengan
tiga metode (Triatmodjo, 2008).

Gambar 3. Curah Hujan Hilayah


(Sumber: https://www.bmkg.go.id/)

2.4 Penentuan Curah Hujan Wilayah


2.4.1 Metode Poligon Thiessen
Dalam kajian ini, analisa curah hujan wilayah digunakan metode
poligon thiessen mengingat pos penakar hujan tidak tersebar merata. Metode
ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan
di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah
sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang
tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut (Yelza et al., 2011).
Metode perhitungan hujan daerah ini digunakan apabila titik
pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata. Perhitungan hujan rata-
rata daerah dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik
pengamatan. Cara ini didasarkan atas cara rata-rata timbang (weighted
average) (Yelza, 2011).
Metode poligon thiessen metode ini memperhitungkan bobot dari
masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitar. Pada suatu luasan di
dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada
stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun
mewakili stasiun tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun
hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata

7
dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun
(Triadmodjo, 2008). Perhitungan poligon thiessen seperti pada persamaan 3.2
seperti dibawah ini.
A 1. P 1+ A 2. P 2+ A 3. P 3+ …+ An. Pn
P= .................................... (3.1)
A 1+ A 2+ A 3+…+ An
Dengan:
P : Hujan rerata kawasan
P1, P2, ..., Pn : Hujan pada stasiun
1, 2,.., n A1,A2, ..., An : Luas daerah stasiun 1,2,..., n
N : Jumlah stasiun penakar

Gambar 4. Metode Poligon Thiessen


(Sumber: Triatmodjo, 2008)
2.4.2 Metode Isohit
Metode isohit adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan
kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohit, dianggap bahwa hujan pada
suatu daerah di antara dua garis isohit adalah merata dan sama dengan nilai
rerata dari kedua garis isohit tersebut. Metode isohit merupakan cara paling
teliti untuk menghitung kedalaman hujan rerata di suatu daerah, tetapi cara ini
membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dibandingkan
dengan dua metode sebelumnya (Triadmodjo, 2008). Rumusnya adalah:
I1I2 I 2I 3 InIn+1
A1 +A 2 + …+ An
2 2 2 ......................................(3.2)
P=
A 1+ A 2+ …+ An
Dengan:
P: Hujan rerata kawasan
I1, I2,...,In : Garis isohit ke

8
A1, A2,...,An : Luas areal poligon
1, 2, ..., n, n+1 A1, A2,..., A3 : Luas daerah yang dibatasi oleh isohit ke 1
dan 2, 2 dan 3,..., n dan n+1
Atau
n
S Ai . Pi
i =1
P=
AT
Keterangan:
P = rerata hujan wilayah
Ai = luas area antara dua isohit
Pi = curah hujan antara dua isohit
AT = luas area total
n = jumlah dua isohit

Gambar 5. Metode Isohit


(Sumber: Triatmodjo, 2008)
2.4.3 Metode Rerata Aritmatik (Aljabar)
Metode rerata aritmatik ini adalah metode yang paling sederhana untuk
menghitung hujan rerata pada suatu daerah. Pengukuran dengan metode ini
yaitu dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan
dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang
digunakan dalam hitungan biasanya adalah staisun yang berada di dalam
DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa
diperhitungkan untuk mengukur. Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan
oleh persamaan 3.3 (Triatmodjo, 2008).

9
P 1+ P 2+ P 3+…+ Pn
P= .................................................... (3.3)
n
Keterangan:
P : Hujan rerata kawasan
P1, p2, p3,.....,pn : Hujan di stasiun 1, 2, 3, ..., n
n : Jumlah stasiun

Gambar 6. Stasiun hujan di suatu DAS


(Sumber: Triatmodjo, 2008)

2.5 Hubungan Hujan Wilayah dengan Irigasi dan Drainase


Untuk menunjang rancangan pekerjaan irigasi dan drainase serta
pengontrolan banjir, maka jumlah air yang mengalir perlu diketahui secara pasti.
Jika mungkin, jumlah tersebut dapat langsung diukur. Tetapi jika tidak, harus
digunakan cara lain, yaitu secara tidak langsung dengan memperhitungkan data-
data curah hujan yang ada (Indarto, 2012).
Jumlah curah hujan yang jatuh pada suatu periode dinyatakan dalam
ketinggian (mm, inci, dsb.) dan mencakup pada suatu bidang horizontal dengan
luas tertentu. data curah hujan ini sering juga dipakai untuk memperkirakan besar
curah hujan yang jatuh didaerah sekitarnya. akan tetapi, jika daerah yang diwakili
makin luas, maka angka perkiraan akan memiliki kesalahan yang lebih besar.
karena secara statistik data curah hujan harus memperhatikan dimensi ruang dan
waktu tersebut (Sosrodarsono et al., 2002).
Irigasi dan drainase merupakan bagian penting dalam penataan sistem
penyediaan air di bidang pertanian maupun tata ruang. Saluran drainase sering
kali dirujuk sebagai drainase saja karena secara teknis hampir semua drainase
terkait dengan pembuatan saluran. Saluran drainase permukaan biasanya berupa

10
parit, sementara untuk bawah tanah disebut gorong-gorong di bawah tanah
(Jumin, 2002).
Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan
pertanian. Dalam dunia modern, saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat
dilakukan manusia. Pada zaman dahulu, jika persediaan air melimpah karena
tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan
dengan mengalirkan air tersebut ke lahan pertanian (Indarto, 2012).
Drainase atau pengatusan adalah pembuangan massa air secara alami atau
buatan dari permukaan atau bawah permukaan dari suatu tempat. Pembuangan ini
dapat dilakukan dengan mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan
air. Irigasi dan drainase merupakan bagian penting dalam penataan sistem
penyediaan air di bidang pertanian maupun tata ruang. Saluran drainase sering
kali dirujuk sebagai drainase saja karena secara teknis hampir semua drainase
terkait dengan pembuatan saluran. Saluran drainase permukaan biasanya berupa
parit, sementara untuk bawah tanah disebut gorong-gorong di bawah tanah
(Jumin, 2002).

11
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Pelaksanaan praktikum "Analisa Curah Hujan Wilayah" dilaksanakan pada
hari Senin, 1 November 2022. Pada pukul 10.50-12.30 WIB. Bertempat di
Laboratorium Sindangsari Lantai 1, Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan pada kegiatan praktikum kali ini yaitu alat tulis.
penggaris, kertas millimeterblok, dan kalkulator, dan data curah hujan suatu
wilayah.

3.3 Cara Kerja


Adapun cara kerja pada praktikum kali ini yaitu :
1. Disiapkan alat dan bahan praktikum yang dibutuhkan.
2. Dijelaskan materi tentang praktikum.
3. Ditulis pemaparan materi.
4. Digambar data curah hujan pada milimeter block.
5. Dilakukan analisis dan perhitungan dengan menggunakan metode
poligon thiessen dan isohit.
6. Dibuat hasil dalam bentuk laporan.

3.4 Analisis Data


Adapun analisis data yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu:
3.4.1 Metode Poligon Thiessen
Metode ini dapat dilakukam pada daerah yang mempunyai distribusi
penakar hujan yang tidak seragam dengan mempertimbangkan faktor berat
dari masing masing penakur: Stasiun penakar diplot pada sebuah peta, lalu
dihubungkan dengan garis tegak lurus antara penakar yang berdekatan Garis
tegak lurus yang ditarik melalui tengah-tengah garis tadi membentuk poligon,

12
yang merupakan batas wilayah yang dipengaruhi oleh penukar tersebut. Luas
poligon dihitung dengan menggunakan planimeter.
A1.P1 + A2.P2 + .............. + An.Pn
P =
AT
P = rerata hujan wilayah
A1, A2, ......... An = luas areal poligon
P1, P2, ........... Pn = curah hujan di masing-masing stasiun penakar.
n = jumlah stasiun penakar
AT = luas areal total
3.4.2 Metode Isohit
Lokasi stasiun hujan dan besarnya curah hujan diplot pada sebuah peta.
Pada peta ini dapat dibuat garis kontur yang menghubungkan tempat-tempat
yang mempunyai ketinggian / ketebalan hujan yang sama (isohit). Caranya:
(1) hubungkan masing-masing stasiun terdekat dengan garis lurus, (2)
tentukan titik-titik pada garis tersebut yang mempunyai ketebalan hujan yang
sama (dengan skala proporsional antara dua stasiun), (3) tarik garis yang
menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketebalan hujan yang sama
besarnya (isohit), (4) tehalnya hujan rerata antara dua isohit dihitung dengan
membagi dua jumlahan nilai isohit berdekatan, dan (5) luas antara dua isohit
dihitung menggunakan planimeter.
n
S Ai . Pi
i =1
P=
AT
P = rerata hujan wilayah
Ai = luas area antara dua isohit
Pi = curah hujan antara dua isohit
AT = luas area total
n = jumlah dua isohit

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil Metode Poligon dan Isohit
Polygon Isohit

4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini tentang analisa curah hujan wilayah. Sebelum
dilaksanakannya praktikum ini asisten praktikum memberikan modul sebagai
bahan bacaan sebelum dilakukan pertemuan praktikum dan Pre-test lalu setiap
mahasiswa mempelajari mengenai peralatan Agroklimatologi secara individu dan
nantinya akan dijelaskan kembali pada saat pertemuan praktikum guna mahasiswa
dapat memahami lebih dalam materinya.
Curah hujan atau yang sering disebut presipitasi dapat diartikan jumlah air
hujan yang turun di daerah tertentu dalam satuan waktu tertentu Jumlah curah
hujan merupakan volume air yang terkumpul di permukaan bidang datar dalam
suatu periode tertentu (harian, mingguan, bulanan, atau tahunan). Curah hujan
dapat diukur dengan alat pengukur curah hujan yang biasanya ada pada stasiun
klimatologi. Hal ini didukung oleh pendapat Bayong (2010), Curah hujan dibatasi
sebagai tinggi air hujan yang diterima oleh permukaan sebelum mengalami aliran

14
permukaan, evaporasi, dan perembesan ke dalam tanah. Dan juga pendapat
Triadmojo (2008), Curah hujan yaitu merupakan ketinggian air hujan yang
terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak
mengalir. Curah hujan dapat diukur menggunakan alat ombrometer.
Setiap wilayah memiliki intensitas, penyebaran, serta kedalaman hujan
berbeda dan tidak merata, sehingga pola penempatan dan penyebaran stasiun
pencatatan curah hujan harus tepat supaya memberikan data yang mewakili lokasi
dimana stasiun tersebut berada. Ditambahkan oleh Handayani (2012) Data hujan
yang diperoleh dari pengukuran alat penakar hujan merupakan hujan yang terjadi
hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall) namun untuk kawasan yang
luas, satu penakar hujan belum tentu dapat menggambarkan hujan wilayah
tersebut, angka perkiraan akan memiliki kesalahan yang lebih besar, karena secara
statistik data curah hujan bervariasi menurut waktu dan ruang, maka dalam
menganalisis frekuensi terjadinya curah hujan harus memperhatikan dimensi
ruang dan waktu tersebut.
Mula- mula disiapkan peta curah hujan suatu wilayah dan dibuat areal
tersebut pada kertas milimeterblock sejumlah 2 lembar untuk metode poligon
thiessen dan isohit dengan skala 1 : 100.000. Peta yang digunakan keduanya sama
namun dalam menentukan luas stasiun dan tinggi hujan ini berbeda karena
penarikan garis dilakukan sesuai metode masing-masing. Untuk menentukan luas
stasiun, dilakukan dengan cara menghitung jumlah kotak-kotak yang ada pada
masing-masing stasiun mulai dari kotak besar hingga kecil. Setiap kotak besar
pada milimeterblock memiliki luas yang terdiri dari 100 kotak kecil dalam satuan
milimeter.
Pengukuran ini dilakukan perhitungan curah hujan wilayah dengan
metode poligon thiessen, yaitu luas poligon yang telah diukur dikalikan dengan
kedalaman hujan di stasiun yang berada di dalam poligon. Metode poligon
Thiessen dapat diaplikasikan pada berbagai medan lapangan dengan
mempertimbangkan luas daerah. Hal ini sampaikan oleh Pengki et al. (2020),
Metode poligon thiessen dilakukan dengan memperhitungkan bobot dari masing-
masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Sedangkan metode isohit
menghubungkan garis titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Dengan

15
mengetahui data hujan maka dapat dilakukan perencanaan bangunan air, drainase,
erosivitas lahan maupun bahaya longsor. Menurut Ningsih (2012), Rata-rata
terbobot (weighted average), masing-masing stasiun hujan ditentukan luas daerah
pengaruhnya berdasarkan poligon yang dibentuk (menggambarkan garis-garis
sumbu pada garis-garis penghubung antara dua stasiun hujan yang berdekatan).
Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada
tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian tiap stasiun
penakar Rn akan terletak pada suatu poligon tertentu An. Dengan menghitung
perbandingan luas untuk setiap stasiun yang besarnya = An/A, untuk A adalah
luas daerah penampungan atau jumlah garis yang dibuat tidak boleh ada tiap titik
hanya terdapat pada satu poligon yang berpotongan satu sama lain.
Pada metode poligon thiessen memberikan hasil yang lebih akurat daripada
metode lain. Berdasarkan tabel bagian metode poligon Thiessen di atas, tabel
tersebut merupakan hasil analisis curah hujan dengan menggunakan metode
poligon thiessen. Poligon thiessen merupakan metode perhitungan hujan wilayah
dengan basis interpolasi nilai curah hujan antara satu stasiun dengan stasiun
lainnya. Metode poligon biasanya digunakan untuk mengetahui tinggi hujan rata-
rata serta apabila stasiun hujan tidak merata. Jaringan stasiun pengukuran hujan
perlu dirancang sedemikian rupa guna efektif memberikan besarnya (takaran /
jumlah dari masukan) hujan yang jatuh di DAS. Data hujan memiliki banyak
manfaat. Dengan berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan didapatkan hasil
dari metode poligon thiessen.
- Stasiun 1 P = 100 mm, A = 24,99 cm2 , dan A x P = 2,499 cm2mm.
- Stasiun 2 P = 70 mm, A = 14,77 cm2 , dan A x P = 1.033,9 cm2mm.
- Stasiun 3 P = 90 mm, A = 16,73 cm2, dan A x P = 1.505,7 cm2mm.
- Stasiun 4 yaitu P = 120 mm, A = 17,79 cm2, dan A x P = 2.134,8 cm2mm.
- stasiun 5 yaitu P = 120 mm, A = 18,86 cm2, dan A x P = 2.263,2 cm2mm.
- stasiun 6 yaitu P = 110 mm, A = 20,96 cm2, dan A x P = 2.305,6 cm2mm.
- Stasiun 7 yaitu P = 90 mm, A = 18,84 cm2 , dan A x P = 1.695,6 cm2 mm.
Nilai A didapatkan dari hasil perhitungan dari kotak yang ada di kertas
dimulai dari kotak besarnya hingga kotak terkecil. Selanjutnya menghitung nilai
AT dengan cara menjumlahkan nilai A1 sampai A7 dan di dapatkan hasilnya yaitu

16
132,94 cm2. Lalu langkah terakhir adalah mencari P (rerata hujan wilayah)
dengan rumus
A1.P1 + A2.P2 + .............. + An.Pn
P = dan didapatkan hasil yaitu sebesar
AT
101,081691 mm. Menurut Guntara (2015), poligon thiessen digunakan apabila
dalam suatu wilayah stasiun pengamatan curah hujannya tidak tersebar merata.
Metode ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk
mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Meskipun belum dapat memberikan
bobot yang tepat sebagai sumbangan satu stasiun hujan untuk hujan daerah,
metode ini telah memberikan bobot tertentu kepada masing-masing stasiun
sebagai fungsi jarak stasiun hujan. Metode poligon thiessen ini akan memberikan
hasil yang lebih teliti daripada cara aritmatik, akan tetapi penentuan stasiun
pengamatan dan pemilihan ketinggian akan mempengaruhi ketelitian hasil.
Metode ini termasuk memadai untuk menentukan curah hujan suatu wilayah,
tetapi hasil yang baik akan ditentukan oleh sejauh mana penempatan stasiun
pengamatan hujan mampu mewakili daerah pengamatan. Metode ini cocok untuk
daerah datar dengan luas 500-5000 km2. Soemarto (2008) menyatakan kelebihan
dari metode Poligon Thiessen yaitu dapat dilakukan pada daerah dengan distribusi
yang tidak seragam dengan pertimbangan luas daerah pengaruh masing-masing
penakar. Meskipun merupakan metode yang paling sering digunakan, metode ini
memiliki kekurangan karena tidak memasukkan pengaruh topografi dan
penentuan stasiun pengamatan dan pemilihan ketinggian dapat mempengaruhi
ketelitian hasil. Untuk hasil yang baik ditentukan oleh sejauh mana penempatan
stasiun pengamatan mampu mewakili daerah pengamatan.
Analisa data curah hujan suatu wilayah selanjutnya menggunakan metode
Isohit. metode isohit adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan curah
hujan yang sama. Pada metode isohit, dianggap bahwa hujan dalam suatu wilayah
diantara dua garis isohit adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua
garis. Pengukuran metode ini diperoleh dengan menghubungkan stasiun terdekat
kemudian ditentukan titik yang memiliki ketebalan yang sama dan tarik garis
yang menghubungkan ketebalan hujan yang sama besarnya kemudian tebalnya
hujan rerata antara isohit dihitung dengan menjumlahkan nilai isohit berdekatan
dan dibagi dua. Dalam analisa curah hujan wilayah praktikum ini, terdapat 8

17
Stasiun yang digunakan pada metode Isohit. Rumus yang digunakan dalam
perhitungan metode isohit adalah sebagai berikut:
Untuk menghitung nilai P pada metode isohit yaitu dengan P

¿
A1 ( P 1+2 P2 )+ A 2( P 1+2 P 2 )+ …+ An ( Pn+2Pn+2 ) untuk mendapatkan nilai
A 1+ A 2+…+ An
rata rata hujan wilayah. Berdasarkan perhitungan kedua yang telah dilakukan
didapatkan hasil dari metode isohit yaitu sebagai berikut:
- Stasiun 1 yaitu P = 65 mm, A = 4,17 cm2.
- Stasiun 2 yaitu P = 75 mm, A = 14,45 cm2.
- Stasiun 3 yaitu P = 85 mm, A = 22,82 cm2.
- Stasiun 4 yaitu P = 95 mm, A = 47,44 cm2.
- Stasiun 5 yaitu P = 105 mm, A = 69,54 cm2.
- Stasiun 6 yaitu P = 115 mm, A = 71,66 cm2.
- Stasiun 7 yaitu P = 125 mm, A = 39,69 cm2.
- Stasiun 8 yaitu P = 130 mm, A = 0,85 cm2.
Kemudian perhitungan nilai AT dengan menjumlahkan nilai A1 sampai A8
yang didapatkan pada perhitungan awal dan di dapatkan hasilnya yaitu 270,62
cm2. Kemudian pada langkah terakhir adalah mencari P (rerata hujan wilayah)
A 1. P 1+ A 2. P 2+⋯+ A 8. P 8
dengan cara P = dan di dapatkan hasilnya yaitu
AT
105,002032. Menurut Guntara (2015), isohit memperhitungkan secara aktual
pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Metode ini cocok untuk daerah berbukit dan
tidak teratur dengan luas lebih dari 5000 km2. Peta isohit digambarkan pada peta
topografi berdasarkan data curah hujan (interval 10-20 mm) pada titik-titik
pengamatan di dalam dan di sekitar daerah yang dimaksud. Metode ini dipandang
lebih baik tetapi bersifat subyektif dan tergantung pada keahlian, pengalaman dan
pengetahuan.
Pada hasil yang didapatkan metode isohit cocok digunakan di daerah
pegunungan dan berbukit. Peta isohit digambar pada peta fotografi berdasarkan
titik-titik pengamatan yang diukur. Cara ini adalah cara rasional yang terbaik jika
garis-garis isohit dapat digambar dengan teliti. Metode isohit merupakan cara
paling teliti untuk menghitung kedalaman hujan rerata di suatu daerah, tetapi cara

18
ini membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dari metode lainnya.
Pengukuran metode ini diperoleh dengan menghubungkan stasiun terdekat.
Dua metode untuk menentukan curah hujan wilayah tersebut memiliki
kelemahan dan kelebihan masing-masing. Metode poligon ini memberikan hasil
yang lebih teliti dari cara aljabar. Akan tetapi penentuan titik pengamatan akan
mempengaruhi ketelitian hasil yang didapat dan membutuhkan waktu yang lebih
lama karena proses perhitungan yang dilakukan memerlukan ketelitian yang lebih.
Triatmodjo (2008) menyebutkan bahwa jumlah stasiun yang dipasang dalam DAS
jangan terlalu banyak yang berakibat mahalnya biaya, ataupun terlalu sedikit
yang menyebabkan hasil pencatatan hujan tidak dapat dipercaya. Penentuan
jumlah optimum dari stasiun hujan yang perlu dipasang dalam suatu DAS dapat
dilakukan secara statistik. Dasar statistik tersebut adalah bahwa sejumlah tertentu
dari stasiun hujan yang diperlukan untuk memberikan hujan rerata dengan
presentasi kesalahan tertentu. Apabila kesalahan yang diizinkan lebih besar,
maka diperlukan jumlah stasiun hujan yang lebih kecil; demikian pula
sebaliknya. Metode isohit memberikan cara rasional yang terbaik jika garis-garis
isohit dapat digambar secara teliti, namun tingkat kesalahan yang mungkin terjadi
pada proses perhitungan lebih besar.
Presipitasi (Intensitas curah hujan) adalah jumlah curah hujan yang
dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu, yang terjadi
pada satu kurun waktu air hujan terkonsentrasi. Menurut Suroso (2013) Besarnya
intensitas curah hujan berbeda-beda tergantung dari lamanya curah hujan dan
frekuensi kejadiannya. Curah hujan setiap wilayah berbeda-beda, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu faktor garis lintang
menyebabkan perbedaan kuantitas curah hujan, semakin rendah garis lintang
semakin tinggi potensi curah hujan yang diterima, karena di daerah lintang rendah
suhunya lebih besar daripada suhu di daerah lintang tinggi, suhu yang tinggi inilah
yang akan menyebabkan penguapan juga tinggi, penguapan inilah yang kemudian
akan menjadi hujan dengan melalui kondensasi terlebih dahulu. faktor ketinggian
tempat, semakin rendah ketinggian tempat potensi curah hujan yang diterima akan
lebih banyak, karena pada umumnya semakin rendah suatu daerah suhunya akan
semakin tinggi. Jarak dari sumber air (penguapan), semakin dekat potensi hujanya

19
semakin tinggi. Arah angin, angin yang melewati sumber penguapan akan
membawa uap air, semakin jauh daerah dari sumber air potensi terjadinya hujan
akan semakin sedikit. Hubungan dengan deretan pegunungan, hal itu disebabkan
uap air yang dibawa angin menabrak deretan pegunungan, sehingga uap tersebut
dibawa keatas sampai ketinggian tertentu akan mengalami kondensasi, ketika uap
ini jenuh dia akan jatuh diatas pegunungan sedangkan dibalik pegunungan yang
menjadi arah dari angin tadi tidak hujan (daerah bayangan hujan), hujan ini
disebut hujan orografik, faktor perbedaan suhu tanah (daratan) dan lautan,
semakin tinggi perbedaan suhu antara keduanya potensi penguapanya juga akan
semakin tinggi, faktor luas daratan, semakin luas daratan potensi terjadinya hujan
akan semakin kecil, karena perjalanan uap air juga akan panjang.

20
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap wilayah
memiliki intensitas, penyebaran, serta kedalaman hujan berbeda dan tidak merata,
sehingga pola penempatan dan penyebaran stasiun pencatatan curah hujan harus
tepat supaya memberikan data yang mewakili lokasi dimana stasiun tersebut
berada. Dua metode untuk mengukur rata-rata curah hujan wilayah dalam suatu
chathment area atau DAS (Daerah aliran sungai) yaitu dengan metode poligon
thiessen dan isohit. Hubungan hujan wilayah dengan irigasi dan drainase yaitu
untuk menunjang rancangan pekerjaan irigasi dan drainase serta pengontrolan
banjir, maka jumlah air yang mengalir perlu diketahui secara pasti. Jika hujan
tinggi maka irigasi harus bisa menampungnya dengan baik tidak mengakibatkan
terjadinya banjir.
Dua metode untuk menentukan curah hujan wilayah tersebut memiliki
kelemahan dan kelebihan masing-masing. Metode Thiessen ini memberikan hasil
yang lebih teliti dari cara aljabar. Akan tetapi penentuan titik pengamatan akan
mempengaruhi ketelitian hasil yang didapat dan membutuhkan waktu yang lebih
lama karena proses perhitungan yang dilakukan memerlukan ketelitian yang lebih.
Metode isohit memberikan cara rasional yang terbaik jika garis-garis isohit dapat
digambar secara teliti, namun tingkat kesalahan yang mungkin terjadi pada proses
perhitungan lebih besar. Hasil analisis perhitungan bahwa dalam metode poligon
didapatkan hasil yang berbeda-beda yang berbeda-beda pada setiap wilayah yang
ditarik garis sebagai pembatas wilayah.

5.2 Saran
Sebaiknya praktikan lebih kondusif, sehingga informasi yang didapat sesuai
dengan hasil analisis pada saat dilaksanakannya percobaan. Disarankan juga untuk
praktikum selanjutnya lebih teliti lagi dalam melakukan penghitungan agar data
yang didapat lebih akurat serta sebaiknya para praktikan tidak melupakan
kalkulatornya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Bayong, G.K. 2010. Klimatologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius.


Bayong, T. H. K. 2004. Iklim dan Lingkungan. Bandung: Penerbit PT Cendikia
Jaya Utama.
Dwirani, F. 2019. Menentukan Stasiun Hujan dan Curah Hujan Dengan Metode
Polygon Thiessen Daerah Kabupaten Lebak. Jurnal Lingkungan dan
Sumberdaya Alam (JURNALIS). Vol. 2(2): 139-146.
Endriyanto, dan F. Ihsan. 2011. Teknik Pengamatan Curah Hujan di Stasiun
Klimatologi Kebun Percobaan Cukur Gondang Pasuruan. Balai Penelitian
Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika. Pasuruan.
Guntara, I. 2015. Handout Klimatologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Handayani ,D. 2012. Metode Thiessen Polygon untuk Ramalan Sebaran Curah
Hujan Periode Tertentu pada Wilayah yang Tidak Memiliki Data Curah
Hujan. Jurnal Teknologi Informasi. 17(2): 154-163.
Handoko. 2003. Klimatologi Dasar. Bogor: FMIPA-IPB Press.
Indarto. 2012. Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Jumin, H. B. 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologi. Jakarta: Grafindo
Persada.
Ningsih, D. H. U. 2012. Metode Thiessen Polygon untuk Ramalan Sebaran Curah
Hujan Periode Tertentu pada Wilayah yang Tidak Memiliki Data Curah
Hujan. Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK. Vol. 17(2): 154-163.
Perdana, D.A.., A. Zakaria dan Sumiharni. 2015. Studi Pemodelan Curah hujan
Sintetik Dari Beberapa Stasiun di Wilayah Pringsewu. Journal Rekayasa
Sipil dan Desain. Vol. 3. (1): 45-56.
Salsabila, A., dan I. L. Nugraheni. 2020. Pengantar Hirologi. Bandar Lampung:
Anugrah Utama Raharja.
Soemarto, C. D. 2008. Hidrologi Teknik. Jakarta: Erlangga
Sosrodarsono, S. dan Takeda, K. 2002. Bendungan Tipe Urugan. Jakarta:
Pradnya.

22
Sunarno. 2012. Rancang Bangun Sistem Pengukur Curah Hujan Jarak-Jauh Real
Time Sebagai Peringatan Banjir Lahar Dingin. Forum Teknik Vol. 33(3):
175-180.
Suroso. 2013. Analisis Curah Hujan untuk Membuat Kurva Intensity-Duration
Frequency (IDF) di Kawasan Rawan Banjir Kabuaten Banyumas. Jurnal
Teknik Sipil. Vol. 3(1): 67-77.
Triadmojo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset.
Utaya, S. 2013. Pengantar Hidrologi. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Yelza, M., J. Nugroho, dan S. Nasaputra. 2011. Pengaruh Perubahan Tataguna
Lahan Terhadap Debit Limpasan Drainase di Kota Bukittinggi. Jurnal
Agroland. Vol. 3(2): 1-18.

23
LAMPIRAN

Lampiran 1. Metode Poligon Thiessen Lampiran 2. Metode Isohit

Anda mungkin juga menyukai