Anda di halaman 1dari 31

KAJIAN ILMIAH

“PERUMUSAN TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI


PERKOTAAN”

DISUSUN OLEH :
NAMA : ANDI NURHANISA AHMADI ( 1965142038)
TUGAS : BAHASA INDONESIA
(Pengecekan Pertama 4% Plaglarism)

(Pengecekan Kedua 0% Plaglarism)


KAJIAN TEORI

A. Tujuan Perumusan
1. Definisi Perumusan Tujuan dan Sasaran

Sebuah rencana dalam penyusunannya terdapat step-step yang harus


dilakukan salah satunya adalah merumuskan tujuan yang merupakan satu diantara
tahap awal dari siklus perencanaan. Berikut ini merupakan pengertian tujuan
dalam konteks perencanaan wilayah dan kota yaitu :

a. Suatu pencapaian yang diinginkan dari kegiatan perencanaan, yang dinyatakan


dalam istilah yang bersifat kualitatif (Dusseldorp)
b. Pernyataan yang memberikan pedoman nyata tentang tindakan yang
diinginkan dari suatu kegiatan perencanaan (Bendavid)
c. Keinginan atau kehendak yang bersifat umum yang pencapaiannya sangat
diharapkan, bersifat jauh dan belum tentu dapat dirumuskan dan diprogram
dengan cukup spesifik untuk dikaitkan secara kuantitatif dalam rencana
komprehensif. Tujuan lebih menunjukkan apa yang ingin dicapai sehingga
sasaran kebijakan dan perencanaan lebih lanjut dapat diarahkan (Branch).

Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan


perumusan tujuan berkaitan dengan pencapaian yang diinginkan dari hasil
kebijakan atau keputusan yang sebelumnya sudah didiskusikan bersama dan
sepakat sehingga tujuan tersebut akan menjadi pedoman dalam menentukan
tindakan yang sesuai. Tujuan biasanya digunakan dalam jangka panjang dan
menengah.

Perbedaan Tujuan dan Sasaran yaitu tujuan merupakan keinginan


(intentions or desires), yang bersifat umum dan mengandung pengharapan, dan
pencapaiannya jauh dan tak terbatas. Dalam perencanaan komprehensif untuk
perkotaan, tujuan berasosiasi dengan keinginan atau harapan jangka panjang
(Artikel 3, Branch.dan Robinson, 1968 dalam Achmad Djunaedi, 2002).

”Tujuan" bersifat luas dan umum (broad and general), sedangkan "sasaran"
bersifat lebih rinci dan memperlihatkan langkah atau gerakan menuju pencapaian
tujuan (Artikel 1, McLoughlin, 1969 dalam Achmad Djunaedi, 2002).
Merumuskan tujuan dan sasaran untuk menyusun sebuah rencana sangat penting
dilakukan karena ”Tanpa penetapan tujuan, pencapaian visi hanyalah sebuah
impian” Pentingnya penetapan sasaran : “Sasaran memandu manajemen membuat
keputusan dan membuat kriteria untuk mengukur suatu pekerjaan”

2. Peran Perencana dalam Menentukan Tahapan Perumusan Tujuan dan Sasaran

Dalam merumuskan tujuan dan sasaran diperlukan keterlibatan dari


beberapa pihak salah satunya yaitu dari peran perencana. Menurut McLoughlin
(1969), tahapan perumusan tujuan :

a. Pengumpulan aspirasi klien


b. Perumusan tujuan dan sasaran antar para profesional
c. Presentasi dan diskusi / dialog dengan klien literasi terus sampai tercapai
kesepakatan (konsensus)

Peran perencana dalam perumusan tujuan dan sasaran pada tahap


pengumpulan aspirasi klien. Klien bisa jadi adalah masyarakat yang merupakan
subyek nantinya melaksanakan hasil rencana. Pada tahap ini perencana berusaha
mengumpulkan aspirasi masyarakat berupa pendapat/ide terkait isu-isu
pembangunan yang menjadi pertimbangan perencana untuk membuat tujuan dan
sasaran.

Tahap yang kedua adalah tahap perumusan tujuan dan sasaran antar para
profesional. Setelah mendapat ide dari masyarakat, perencanaan melakukan
diskusi dengan para profesional dari pemangku kepentingan lainnya. Misalnya
pemerintah daerah, umumnya untuk membuat suatu rencana tata ruang/rencana
pembangunan tujuan dan sasarannya diharapkan dapat bersinergi dengan visi misi
kepemimpinan kepala daerah tersebut. Para profesional dapat pula berasal dari
kalangan ahli dari berbagai disiplin ilmu.

Tahap yang ketiga adalah presentasi dan diskusi/dialog dengan klien


literasi terus sampai tercapai kesepakatan. Pada tahap ini perencana sebagai leader
berusaha untuk mencapai sebuah kesepakatan dengan masyarakat tentang tujuan
dan sasaran pembangunan daerahnya melalui sosialisasi.

Selain tahapan perumusan tujuan ada juga kriteria perumusan tujuan dan
sasaran yaitu :
a. Specific yaitu jelas, tidak mengundang multi interpretasi
b. Measurable (Terukur)
c. Attainable/ Achievable (Dapat dicapai)
d. Relevant/realistic (Sesuai dan realistis)
e. Time bound (Terikat dengan waktu)

Inovasi yang akan dilakukan yaitu menerapkan sistem informasi secara


online dimana informasi tersebut bisa menjadi wadah bagi masyarakat yang ingin
menyampaikan aspirasi atau ide untuk kepentingan pembangunan di daerahnya.
Mengingat bahwa setiap pembangunan yang akan dilakukan hasilnya dinikmati
oleh masyarakat, masyarakat pasti lebih memahami apa yang diprioritaskan di
desanya, selanjutnya aspirasi dari masyarakat akan dijadikan pertimbangan
perencana dalam menentukan tujuan dan sasaran. Tak hanya itu sistem informasi
ini juga digunakan oleh masyarakat untuk mengadu, berkeluh kesah ataupun
bertanya tentang segala sesuatu. Sistem informasi online bersifat terbuka dalam
arti setiap masyarakat bisa dengan mudah mengakses informasi, sebagai alternatif
tanya jawab antara pemerintah atau pihak pemangku kepentingan dengan
masyarakat.

B. Kebijakan
1. Definisi Kebijakan

Jika kita menelusuri dalam literatur kepustakaan yang sudah diketahui oleh


umum, kata kebijakan diterjemahkan dari bahasa Inggris yaitu policy. Istilah
kebijakan atau policy digunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor
(misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga pemerintah)
atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Dalam arti yang luas policy mempunyai dua aspek pokok.


Pertama, policy merupakan praktika sosial, ia bukan event yang tunggal atau
terisolir. dengan demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala
kejadian dalam masyarakat. Kedua, policy merupakan dorongan
atau incentive bagi pihak-pihak yang sudah bersepakat menentukan tujuan
bersama tersebut untuk bersama-sama bekerja secara rasional.  Maka dari dua
aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa policy disatu pihak dapat berbentuk suatu
usaha yang kompleks dari masyarakat untuk kepentingan masyarakat, di lain pihak
policy merupakan suatu teknik atau cara untuk mengatasi konflik dan
menimbulkan insentif.

Istilah kebijakan atau sebagian orang mengistilahkan kebijaksanaan


seringkali disamakan pengertiannya dengan policy. Hal tersebut barangkali
dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang tepat istilah policy
ke dalam Bahasa Indonesia. Menurut Hoogerwerf dalam Sjahrir pada hakekatnya
pengertian kebijakan adalah “Semacam jawaban terhadap suatu masalah,
merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah
dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah” (Hoogerwerf dalam
Sjahrir 1988, 66).

James E. Anderson (1978, 33), memberikan rumusan kebijakan sebagai


perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau
serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Dari beberapa pengertian
tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut, kiranya
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi
tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what, why, who,
where, dan how.

Ada banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi mengenai
apa itu kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda, sehingga
pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut pandang
masing-masing penulisnya.

              Berikut ini beberapa definisi tentang kebijakan publik :

Chandler dan Plano ( 1988 ) Kebijkan publik adalah pemanfaatan yang


strategis terhadap sumberdaya sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-
masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk
intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi
kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka
dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian
kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan
sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan
berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.
Thomas R. Dye ( 1981 ) Kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang
tidak dilakukan maupun apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari
hal ini adalah negara. Pengertian ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui
oleh para ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik. Definisi
kebijakan publik menurut Thomas R. Dye ini dapat diklasifikasikan sebagai
keputusan ( decision making ), dimana pemerintah mempunyai wewenang untuk
menggunakan keputusan otoritatif, termasuk keputusan untuk membiarkan
sesuatu terjadi, demi teratasinya

Easton ( 1969 ) Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-


nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam
hal ini hanya pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada
masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih
oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada
masyarakat. Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan
sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja
pejabat publik. Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk
melakukan tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik,
sehingga definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi
pemerintah.

Anderson ( 1975 )  Kebijakan publik adalah sebagai kebijakan-kebijakan


yang dibangun oleh badanbadan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi
dari kebijakan tersebut adalah :

1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-


tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah
jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan.
4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat
negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu.
5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan
pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Definisi kebijakan publik menurut Anderson dapat diklasifikasikan sebagai


proses management, dimana didalamnya terdapat fase serangkaian kerja pejabat
publik ketika pemerintah benar-benar berindak untuk menyelesaikan persoalan di
masyarakat. Definisi ini juga dapat diklasifikasikan sebagai decision making
ketika kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif ( tindakan pemerintah
mengenai segal sesuatu masalah ) atau negatif ( keputusan pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu ).

Woll (1966) Kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk


memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui
berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Adapun pengaruh
dari tindakan pemerintah tersebut adalah :

a. Adanya pilihan kebijakan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau
yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk
mempengaruhi kehidupan masyarakat.
b. Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini
Menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran,
pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat.
c. Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Definisi kebijakan publik menurut Woll ini dapat diklasifikasikan sebagai


intervensi pemerintah ( intervensi sosio kultural ) yaitu dengan mendayagunakan
berbagai instrumen untuk mengatasi persoalan publik. Definisi ini juga dapat
diklasifikasikan sebagai serangkaian kerja para pejabat publik untuk
menyelesaikan persoalan di masyarakat.

Jones ( 1977 )   Jones menekankan studi kebijakan publik pada dua proses, yaitu :

a. Proses-proses dalam ilmu politik, seperti bagaimana masalah-masalah itu


sampai pada pemerintah, bagaimana pemerintah mendefinisikan masalah itu,
dan bagaimana tindakan pemerintah.
b. Refleksi tentang bagaimana seseorang bereaksi tehadap masalah-masalah,
terhadap kebijakan negara, dan memecahkannya.

Menurut Charles O. Jones ( 1977 ) kebijakan terdiri dari komponen-komponen :

a. Goal atau tujuan yang diinginkan.


b. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan.
c. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan.
d. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan,
membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.
e. Efek, yaitu akibat-akibat dari program ( baik disengaja atau tidak, primer atau
sekunder ).

 Jones memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan


pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit. Definisi
ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making, yaitu ketika pemerintah
membuat suatu keputusan untuk suatu tindakan tertentu. Klasifikasi ini juga dapat
didefinisikan sebagai intervensi negara dengan rakyatnya ketika terdapat efek dari
akibat suatu program yang dibuat oleh pemerintah yang diterapkan dalam
masyarakat.

Heclo ( 1972 ) Heclo menggunakan istilah kebijakan secara luas, yakni


sebagai rangkaian pemerintah atau tidak bertindaknya pemerintah atas sesuatu
masalah. Jadi lebih luas dari tindakan atau keputusan yang bersifat khusus.
Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making yaitu apa yang dipilih
oleh pemerintah untuk mengatasi suatu masalah publik, baik dengan cara
melakukan suatu tindakan maupun untuk tidak melakukan suatu tindakan.

Henz Eulau dan Kenneth Previt ( 1973 ) Merumuskan kebijakan sebagai


keputusan yang tetap, ditandai oleh kelakuan yang berkesinambungan dan
berulang-ulang pada mereka yang membuat kebijakan dan yang melaksanakannya.
Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making yaitu ketika
pemerintah memilih untuk membuat suatu keputusan      ( to do ) dan harus
dilaksanakan oleh semua masyarakat.

Robert Eyestone Secra luas kebijakan publik dapat didefinsikan sebagai


hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Definisi ini dapat
diklasifikasikan sebagai governance, dimana didalamnya terdapat interaksi negara
dengan  rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan publik.

Richard Rose  Kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian


kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya
bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri.
Kebijakan ini dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu
keputusan untuk melakukan sesuatu. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai
intervensi negara dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan publik,
karena melalui hal tersebut akan terjadi perdebatan antara yang setuju dan tidak
setuju terhadap suatu hasil kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Carl Friedrich Ia memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang


diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu,
yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka
mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud
tertentu. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah
( intervensi sosio kultural ) dengan mendayagunakan berbagai instrumen ( baik
kelompok, individu maupun pemerintah ) untuk mengatasi persoalan publik.

James Anderson Kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai


maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi
suatu masalah atau persoalan. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi
pemerintah ( intervensi sosio kultural ) yaitu dengan mendayagunakan berbagai
instrumen untuk mengatasi persoalan publik.

Amir Santoso Pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat


dibagi kedalam dua kategori, yaitu :

1. Pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik sebagai tindakantindakan


pemerintah.Semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan
publik. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making dimana
tindakan-tindakan pemerintah diartikan sebagai suatu kebijakan.
2. Pendapat ahli yang memberikn perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan.
Kategori ini terbagi dalam dua kubu, yakni :
Mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusankeputusan
pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksudmaksud tertentu dan mereka yang
menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa
diramalkan atau dengan kata lain kebijakan publik adalah serangkaian instruksi
dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan
tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Definisi ini dapat
diklasifikasikan sebagai decision making oleh pemerintah dan dapat juga
diklasifikasikan sebagai interaksi negara dengan rakyatnya dalam mengatasi
persoalan publik.

Kebijakan publik terdiri dari rangkaian keputusan dan tindakan. Kebijakan


publik sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-
akibat yang bisa diramalkan ( Presman dan Wildvsky ). Definisi ini dapat
diklasifikasikan sebagai decision making dimana terdapat wewenang pemerintah
didalamnya untuk mengatasi suatu persoalan publik. Definisi ini juga dapat
diklasifikasikan sebagai intervensi antara negara pada suatu masyarakat.

2. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan Publik

Menurut Edwards III, pelaksanaan kebijakan dapat diartikan sebagai


bagian dari tahapan proses kebijaksanaan, yang posisinya berada diantara tahapan
penyusunan kebijaksanaan dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh
kebijaksanaan tersebut (output, outcome). Lebih lanjut, Edward III
mengidentifikasikan aspek-aspek yang diduga kuat berkontribusi pada
pelaksanaan kebijakan, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi atau sikap
pelaksana, dan struktur birokrasi. Keempat aspek mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan, baik secara langsung maupun tidak secara langsung, dan masing-
masing aspek saling berpengaruh terhadap aspek lainnya (Wahyudi, 2016).

a. Kewenangan/ Struktur Birokras

Kewenangan merupakan otoritas/ legitimasi bagi para pelaksana dalam


melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik (Afandi & Warjio,
2015). Kewenangan ini berkaitan dengan struktur birokrasi yang melekat pada
posisi/ strata kelembagaan atau individu sebagai pelaksana kebijakan.
Karakteristik utama dari birokrasi umumnya tertuang dalam prosedur kerja
atau Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi organisasi.

b. Komunikasi

Komunikasi adalah aktivitas yang mengakibatkan orang lain


menginterprestasikan suatu ide/ gagasan, terutama yang dimaksudkan oleh
pembicara atau penulis melalui sesuatu sistem yang biasa (lazim) baik dengan
simbol-simbol, signal-signal, maupun perilaku (Wardhani, Hasiolan, &
Minarsih, 2016). Komunikasi mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik,
dimana komunikasi yang tidak baik dapat menimbulkan dampak-dampak
buruk bagi pelaksanaan kebijakan. Dimensi komunikasi yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik diantaranya: transmisi,
konsistensi, dan kejelasan (Winarno, 2012). Pencapaian keberhasilan
pelaksanaan kebijakan publik mensyaratkan pelaksana untuk mengetahui yang
harus dilakukan secara jelas; tujuan dan sasaran kebijakan harus
diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga dapat
mengurangi kesenjangan antara rencana dan pelaksanaan kebijakan. Apabila
penyampaian informasi tentang tujuan dan sasaran suatu kebijakan kepada
kelompok sasaran tidak jelas, dimungkinkan terjadi resistensi dari kelompok
sasaran (Afandi & Warjio, 2015). Kemampuan komunikasi diarahkan agar
pelaksana kegiatan dapat berunding satu sama lain dan menemukan titik
kesepahaman/ konsensus yang saling menguntungkan. Konsensus yang
terbagun dapat meningkatkan kinerja personal dalam bekerja dengan
menemukan kondisi win-win solution pada setiap permasalahan (Ramdhani &
Suryadi, 2005).

c. Sumber Daya

Pelaksanaan kebijakan harus ditunjang oleh ketersediaan sumberdaya


(manusia, materi, dan metoda). Pelaksanaan kebijakan publik perlu dilakukan
secara cermat, jelas, dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan
sumberdaya yang diperlukan, maka pelaksanaaan kebijakan akan cenderung
tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Tanpa dukungan sumberdaya,
kebijakan hanya akan menjadi dokumen yang tidak diwujudkan untuk
memberikan pemecahan masalah yang ada di masyarakat, atau upaya
memberikan pelayanan pada masyarakat. Dengan demikian, sumberdaya
merupakan faktor penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumberdaya
dalam pelaksanaan kebijakan publik diantaranya: staf yang memadai,
informasi, pendanaan, wewenang, dan fasilitas pendukung lainnya (Afandi &
Warjio, 2015).

d. Disposisi atau sikap dari pelaksana

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh pelaksana


kebijakan, seperti komitmen, disiplin, kejujuran, kecerdasan, dan sifat
demokratis (Wahab, 2010). Apabila pelaksana kebijakan memiliki disposisi
yang baik, maka dia diduga kuat akan menjalankan kebijakan dengan baik,
sebaliknya apabila pelaksana kebijakan memiliki sikap atau cara pandang yang
berbeda dengan maksud dan arah dari kebijakan, maka dimungkinkan proses
pelaksanaan kebijakan tersebut tidak akan efektif dan efisien. Disposisi atau
sikap para pelaksana akan menimbulkan dukungan atau hambatan terhadap
pelaksanaan kebijakan tergantuk dari kesesuaian kompetensi dan sikap dari
pelaksanan. Karena itu, pemilihan dan penetapan personalia pelaksana
kebijakan dipersyaratkan individu-individu yang memiliki kompetensi dan
dedikasi yang tepat pada kebijakan yang telah ditetapkan (Afandi & Warjio,
2015).

Lebih lanjut, Subarsono (2011) menghimpun beberapa teori yang


berkenaan dengan variabelvariabel yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
publik, diantaranya :

a. Teori Merilee S. Grindle

Pelaksanaan kebijakan publik dalam teori Merilee S. Grindle


dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni: isi kebijakan (content of policy);
dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel tersebut
mencakup: sejauhmana kepentingan kelompok sasaran tertuang dalam isi
kebijakan; jenis manfaat yang diterima oleh kelompok sasaran; sejauhmana
perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; apakah penempatan lokasi
program sudah tepat; apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan
pelaksananya secara detail; dan apakah sebuah program didukung oleh
sumberdaya yang memadai (Subarsono, 2011).

b. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier

Teori ini menyebut ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi


keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik, yaitu: karakteristik dari masalah
(tractability of the problems), karakteristik kebijakan/ Undang-Undang (ability
of statute to structure implementation), dan variabel lingkungan (nonstatutory
variables affecting implementation) (Subarsono, 2011).

c. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

Teori Meter dan Horn menyatakan paling tidak dijumpai lima variabel
yang mempengaruhi kinerja pelaksanaan kebijakan publik, yakni: standar dan
sasaran kebijakan; sumberdaya; komunikasi antar organisasi dan penguatan
aktivitas; karakteristik agen pelaksana; dan kondisi sosial, ekonomi dan
politik. (Subarsono, 2011)

3. Dimensi Pelaksanaan Kebijakan Publik

Berdasarkan beberapa konsep dan sifat tindakan yang berkenaan dengan


pelaksanaan Good Governance, menurut pemahaman penulis maka pelaksanaan
kebijakan dapat diukur/ dievaluasi berdasarkan dimensi-dimensi: konsistensi,
transparansi, akuntabilitas, keadilan, efektivitas, dan efisiensi.

a. Konsistensi

Pelaksanaan kebijakan berlangsung dengan baik apabila pelaksanaan


kebijakan dilakukan secara konsisten dengan berpegang teguh pada prosedur
dan norma yang berlaku (Mutiasari, Yamin, & Alam, 2016).

b. Transparansi

Transparansi merupakan kebebasan akses atas informasi yang patut


diketahui oleh publik dan/ atau pihak-pihak yang berkepentingan (Coryanata,
2012). Informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan kebijakan publik perlu
dilakukan bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang
memerlukan, dan disediakan secara memadai, serta mudah dimengerti
(Rohman, 2016).

c. Akuntabilitas

Setiap aktivitas pelaksanaan kebijakan publik harus dapat


dipertanggungjawabkan baik secara administratif maupun substantif, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Rohman, 2016).

d. Keadilan

Keadilan secara umum dapat dipahami sebagai kebaikan, kebajikan,


dan kebenaran, yang mengikat antara anggota masyarakat dalam mewujudkan
keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban (Nasution,
2016). Keadilan dalam kebijakan publik diwujudkan pada aktivitas pelayanan
yang tidak diskriminatif. Pelaksanaan kebijakan publik tidak membedakan
kualitas pelayanan pada kelompok sasaran berdasarkan pertimbangan suku,
ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain (Rohman, 2016).

e. Partisipatif

Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan dan peran serta masyarakat


dalam pelaksanaan kebijakan. Partisipasi masyarakat disamping menopang
percetapan pelaksanaan kebijakan, pada sisi lain akan berdampak pada proses
evaluasi/ kontrol atas kinerja pemerintah dan dapat mampu menimalisir
penyalahgunaan wewenang. Partisipasi masyarakat merupakan kunci sukses
dari pelaksanaan kebijakan publik karena dalam partisipasi menyangkut aspek
pengawasan dan aspirasi. Pengawasan yang dimaksud di sini termasuk
pengawasan terhadap pihak eksekutif melalui pihak legislatif (Coryanata,
2012). Berdasarkan uraian tersebut, pelaksanaan kebijakan sebaiknya bersifat
partisipatif, yaitu pelaksanaan kebijakan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, kepentingan, dan
harapan masyarakat (Rohman, 2016)

f. Efektivitas

Efektifitas berkenaan dengan pencapaian hasil yang telah ditetapkan,


atau pencapaian tujuan dari dilaksanakannya tindakan, yang berhubungan
dengan aspek rasionalitas teknis, dan selalu diukur dari unit produk atau
layanan (Dunn, 2003). Dalam pelaksanaan kebijakan publik, efektifitas diukur
dari keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan pada
kebijakan publik.

g. Efisiensi

Efisiensi berkenaan dengan jumlah penggunaan sumberdaya yang


dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi
merupakan hubungan antara efektivitas dan penggunaan sumberdaya (Dunn,
2003). Indikator ukuran yang dapat digunakan pada dimensi efisiensi adalah
penggunaan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan, yang bisa diukur dengan tingkat pengunaan waktu, biaya, manusia,
peralatan, dan sumberdaya lainnya.

4. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Publik

Keberhasilan implementasi kebijakan membutuhkan keterlibatan


stakeholders secara demokratis dan partisipatif. Stakeholders dan pembuat
kebijakan harus terus menerus terlibat dalam dialog untuk menganalisis
konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, evaluasi
pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan untuk melihat akuntabilitas dan
peningkatan kinerja suatu kebijakan publik. Model Helmut Wollman menguraikan
evaluasi pelaksanaan kebijakan pada tiga tipe utama, yaitu: ex-ante evaluation, on-
going evaluation, dan ex-post evaluation (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).

a. Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante)

Evaluasi ex-ante adalah evaluasi kebijakan yang dilakukan sebelum


kebijakan tersebut diimplementasikan dengan tujuan untuk memilih dan
menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara
mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya (Diansari, 2016). Secara
hipotetik, tipe evaluasi ex-ante ditujukan untuk mengantisipasi dan
memberikan penilaian awal atas perkiraan pengaruh, dampak, atau
konsekuensi dari kebijakan yang direncanakan atau yang telah ditetapkan.
Tujuannya adalah memberikan informasi yang relevan dengan kebijakan atau
dengan proses pembuatan kebijakan yang sedang berjalan. Tipe evaluasi ex-
ante juga memberikan analisa dampak terhadap lingkungan kebijakan
(Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).

b. Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going)

Evaluasi on-going yaitu evaluasi dilakukan pada saat pelaksanaan


kebijakan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan kebijakan
dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya (Diansari,
2016). Evaluasi on-going secara umum dimaksudkan untuk menjamin agar
tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, bukan dimaksudkan
untuk evaluasi penilaian akhir capaian kinerja pelaksanaan kebijakan. Dengan
dilakukan evaluasi on-going, jika terjadi penyimpangan, diharapkan akan
dapat dilakukan langkah perbaikan sedini mungkin melalui sejumlah
rancangan/ rekomendasi, sehingga hasil akhir pelaksanaan kebijakan akan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Christiyanto, Nurfitriyah, &
Sutadji, 2016). Esensi dari evaluasi on-going adalah untuk memberikan
informasi yang relevan yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki proses
pelaksanaan kebijakan ke arah yang ingin dicapai (Lintjewas, Tulusan, &
Egetan, 2016).

c. Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post)

Ex-post evaluation merupakan model evaluasi klasik dari evaluasi


pelaksanaan kebijakan. Evaluasi ex-post dimaksudkan untuk memberikan
penilaian terhadap tingkat pencapaian tujuan serta dampak dari kebijakan yang
telah dilaksanakan (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016). Evaluasi ex-post
adalah evaluasi yang dilaksanakan setelah pelaksanaan kebijakan berakhir,
yang ditujukan untuk menganalisa tingkat pencapaian (keluaran/ hasil/
dampak) pelaksanaan kebijakan. Evaluasi ex-post digunakan untuk menilai
efisiensi (keluaran dan hasil dibandingkan masukan), efektivitas (pencapaian
tujuan dan sasaran), ataupun manfaat (dampak pelaksanaan kebijakan terhadap
penyelesaian masalah) (Diansari, 2016).

5. Diskresi Pelaksanaan KebijakanPublik


Diskresi merupakan kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari
pelaksana kebijakan publik (para pejabat administrasi negara yang berwenang dan
berwajib) menurut pendapat sendiri (Mustafa, Purnama, & Syahbandir, 2016).

Diskresi merupakan pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh


penilaian pribadi, yang tidak terikat dengan hukum yang berlaku. Diskresi adalah
kebebasan yang diberikan kepada pelaksana kebijakan publik dalam rangka
penyelenggaraan kebijakan publik, sesuai dengan meningkatnya tuntutan
pelayanan publik yang harus diberikan negara kepada masyarakat yang semakin
kompleks (Pradana, 2016).

Namun demikian, diskresi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi


indikator-indikator yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu: melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan
kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu
guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Ruang lingkup diskresi meliputi
adanya kekuasaan pelaksana kebijakan (pejabat public) untuk bertindak menurut
keputusan dan hati nurani sendiri, karena adanya pilihan keputusan atau tindakan,
peraturan tidak mengatur, peraturan tidak lengkap, ataupun karena adanya stagnasi
pemerintahan. Tindakan tersebut dilakukan atas dasar kekuasaan atau
kewewenangan yang melekat pada dirinya selaku pengambil keputusan (Mustafa,
Purnama, & Syahbandir, 2016).

Keputusan diskresi biasanya digunakan dalam peningkatan pelayanan


masyarakat. Umumnya, pelaksana kebijakan dituntut harus dapat memahami
dinamika kemasyarakatan secara personal, terlebih lagi pelaksana kebijakan yang
harus mengatasi akibat dari keputusan yang mereka berikan dalam pelayanan
masyarakat. Adanya derajat kebebasan ini, dapat menyebabkan tidak seragamnya
pelayanan yang diperoleh masyarakat pelaksana kebijakan (Pradana, 2016).

Penggunaan diskresi bagi pelaksana kebijakan misalnya pemanfaatan


budaya lokal, penggunaan sumberdaya lokal, atau penggunaan bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan suatu kebijakan.

Penggunaan diskresi bagi pelaksana kebijakan misalnya pemanfaatan


budaya lokal, penggunaan sumberdaya lokal, atau penggunaan bahasa daerah pada
kelompok masyarakat tertentu sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan suatu
kebijakan. Beberapa diskresi yang diduga diperkenankan pada pelaksanaan
kebijakan pembangunan misalnya dengan pemilihan prioritas pada pembangunan
yang berwawasan lingkungan, mengingat setiap pembangunan harus
memperhatikan aspek keberlanjutan (Farida & Ramdhani, 2014).

Pada bidang pertanian, dengan melihat efektivitas, efisiensi, dan kesehatan


konsumsi komoditi pertanian dapat digunakan model pertanian organik (Santosa
& Ramdhani, 2005; Santosa & Ramdhani, 2005; Ramdhani & Santosa, 2005).

Pada pengembangan industri kecil diprioritaskan pada pengembangan


produk yang memiliki proses produksi yang memperhatikan kesehatan lingkungan
(Ramdhani, Santosa, & Amin, 2005), yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan
rekayasa proses biologi (Hernaman, Rochana, Andayaningsih, Suryani, &
Ramdhani, 2015).

Diskresi pada program peningkatan pelayanan publik dapat dilakukan


dengan mengimplementasikan sistem informasi, penggunaan sistem informasi
diyakini akan meringankan pekerjaan yang kompleks menjadi lebih sederhana
serta mampu memberikan pelayanan lebih cepat dan tepat (Ramdhani, Suryadi, &
Susantosa, 2006; Tsabit, Ramdhani, & Cahyana, 2012), dan bahkan dapat
menggunakan Sistem Information Geografis (SIG) sebagai pengendalian program
pembangunan berdasarkan pemetaan lokasi untuk memberikan pembangunan
yang lebih adil dan merata (Bustomi, Ramdhani, & Cahyana, 2012).

C. Strategi Perkotaan
1. Strategi

Strategi dibuat oleh pengambil keputusan (administrasi negara) untuk


menentukan langkah yang tepat dalam penyelesaian masalah yang sedang
dihadapi. Strategi yang dibuat harus diimplementasikan dalam penyelesaian
masalah sehingga tolak ukur strategi akan dapat diukur dari implementasinya.

Strategi merupakan salah satu yang dibutuhkan oleh setiap manusia,


organisasi, perusahaan, dan permerintah untuk melakukan tindakan secara
terencana dan terarah dalam mencapai tujuannya. Hax dan Majluf (dalam J.Salusu,
2006:100-101) merumuskan secara komprehensif tentang strategi sebagai berikut :
a. Strategi ialah suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu, dan integral;
b. Menentukan dan menampilkan tujuan organisasi dalam artian sasaran jangka
panjang, program bertindak, dan prioritas alokasi sumber daya;
c. Menyeleksi bidang yang akan digeluti atau akan digeluti organisasi;
d. Mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama, dengan
memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan
eksternal organisasi, dan kekuatan serta kelemahannya;
e. Melibatkan semua tingkat hierarki dari organisasi.

Definisi di atas menyatakan bahwa strategi menjadi suatu kerangka yang


fundamental dalam organisasi sehingga organisasi memiliki arahan dan tujuan
serta dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah. Hal ini
membuat organisasi memiliki kekuatan untuk dapat mencapai tujuan yang telah
dirumuskan dengan strategi organisasi.

McNichols dalam J.Salusu (2006:101) “strategi ialah suatu seni


menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai
sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi
yang paling menguntungkan”.

Kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi merupakan


kerangka dasar organisasi dengan menggunakan sumberdaya yang ada dalam
organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, selalu berinterkasi dengan lingkungan
untuk mendapatkan hubungan yang menguntungkan. Strategi yang dibuat harus
menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah sehingga strategi menjadi
fleksibel untuk diterapkan dalam lingkungan.

Pengambilan keputusan dilakukan oleh pengambil keputusan yang


memiliki peranan yang penting dalam menentukan kebijakan. Pengambilan
keputusan harus tepat sasaran untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang
terjadi. Pengambilan keputusan strategi menjadi hal yang penting untuk dilakukan
dalam penyelesaian permasalahan. J.Salusu (2006: 47) bahwa ” pengambilan
keputusan ialah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode
yang efisien sesuai situasi. Proses itu untuk menemukan dan menyelesaikan
masalah organisasi”.
Pengambilan keputusan memiliki suatu aturan kunci dalam pengambilan
keputusan ialah sekali kerangka yang tepat sudah diselesaikan, keputusan dibuat
(Brinckloe, et. al dalam J.Salusu, 2006: 48). Keputusan dibuat untuk mempercepat
tindakan perubahan maka dari itu, pengumpulan keputusan hendaknya dipahami
dalam dua pengertian, yaitu (1) penetapan tujuan yang merupakan terjemahan dari
cita-cita, aspirasi, dan (2) pencapaian tujuan melalui implementasinya (Inbar
dalam J.Salusu, 2006:48).

Pengambilan keputusan menjadi suatu proses yang harus dijalankan


pemerintah untuk mendapatkan keputusan yang dapat menyelesaikan
permasalahan sesuai dengan kondisii lingkungan yang ada. Pengambilan
keputusan dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah diskusi.
Diskusi untuk menentukan sebuah keputusan menjadi penting karena harus dapat
menampung seluruh aspirasi dan harapan dari seluruh pihak dalam mengambil
keputusan. Pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak akan memiliki
banyak alternatif keputusan yang baik sesuai dengan lingkungan masing-masing,
sehingga harus disatukan dalam satu keputusan bersama dan implementasinya
menjadi tanggungjawab bersama pula.

Keputusan stratejik berarti pilihan stratejik. Pilihan dari beberapa alternatif


stratejik. Pilihan itu berupa ketetapan mengenai aspirasiaspirasi stratejik yang
realistik, yaitu keinginan yang masuk akal dan dapat direalisasikan. Pilihan itu
sekaligus merupakan pilihan strategi (Ansoff). Keputusan stratejik antara lain
harus dapat menentukan bagaimana hubungan lembaga dengan lingkungan yaitu
hubungan yang harus saling mempengaruhi satu dengan yang lain, serta memberi
arah bagi semua kegiatan administratif dan operasional organisasi (Cope). Di
samping tujuan, sasaran, dan ruang lingkup yang harus diperhitungkan dalam
pembuatan keputusan stratejik, perlu pula dipertimbangkan unsur keuangan,
frekuensi pembuatannya, serta jangka waktu (J.Salusu, 2006:111).

Banyak hal yang harus diperhatikan dalam keputusan yang stratejik


sehingga dapat mengayomi seluruh pihak dan dapat menyelesaikan permasalahan
yang ada di lingkungan. Alternatif yang dikumpulkan sesuai aspirasi dan harapan
harus disesuaikan dengan kondisi organisasi (tujuan, sasaran, keuangan,dan lain-
lain) dan kondisi lingkungan.
Analisis SWOT digunakan untuk mengidentifikasi lingkungan internal
(Strength dan Weaknesses) dan lingkungan eksternal (Opportunity dan Threat)
untuk dapat menentukan strategi yang akan diambil. “Analisis SWOT adalah satu
pekerjaan yang cukup berat karena hanya dengan itu alternatif-alternatif stratejik
dapat disusun” (J.Salusu, 2006: 350).

Analisis SWOT menjadi alat untuk menentukan langkah yang akan


diambil suatu organisasi dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dengan
memaksimalkan kekuatan dan peluang untuk dapat meminimalisir kelemahan dan
ancaman. “Kegagalan analisis SWOT berarti gagal dalam mencari relasi dan titik
temu antara faktor-faktor stratejik dalam lingkungan internal dan yang terdapat
dalam lingkungan eksternal….” (J.Salusu, 2006: 350).

Analisis SWOT sangat menentukan kebijakan yang akan diambil.


Penentuan/pengambilan kebijakan stratejik yang baik dapat dilakukan apabila
dalam menganalisis SWOT sesuai dengan situasi dan kondisi yang dikaji secara
mendalam. Data yang diperoleh suatu organisasi akan di analisis SWOT untuk
mendapatkan strategi yang selaras dengan tujuan organisasi.

Analisis struktur organisasi merupakan analisis kedua dalam implementasi


strategi. Analisis struktur organisasi ada yang perlu diperhatikan yaitu :

a. Struktur organisasi yang formal yaitu struktur organisasi yang mewakili


hubungan antara sumber daya yang dirancang oleh pihak manajemen dan
biasanya disampaikan dalam bentuk bagan.
b. Struktur organisasi yang tidak formal yaitu struktur organisasi yang mewakili
hubungan sosial berdasarkan persahabatan atau kepentingan bersama di antara
anggota-anggota organisasi. (Setiawan Hari Purnomo dan Zulkieflimansyah,
2007: 89)

Tahapan selanjutnya dalam proses implementasi strategi adalah analisis


budaya organisasi. Organisasi itu tidak hanya sekedar struktur yang tergambarkan
lewat bagan namun budaya organisasi yang mengimplementasikan strategi.
“Budaya organisasi merupakan komponen yang menyebabkan mengapa suatu
strategi dapat diimplementasikan pada suatu organisasi, sementara strategi tersebut
gagal untuk diimplementasikan pada organisasi yang lain dengan kondisi yang
relatif sama.”( Setiawan Hari Purnomo dan Zulkieflimansyah, 2007:96)

Analisis kepemimpinan merupakan salah satu tahapan dalam proses


implementasi. Implementasi strategi biasanya bersinggungan dengan perubahan
maka tidaklah mengherankan kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting
dan perlu. Setiap pemimpin dan gaya kepemimpinan akan menentukan keputusan
yang akan diambil oleh organisasi. “Apapun gaya kepemimpinan yang dianut oleh
manajemen organisasi, dalam turbulensi lingkungan seperti sekarang ini, setiap
pemimpin harus siap dan dituntut untuk melakukan transformasi.” (Setiawan Hari
Purnomo dan Zulkieflimansyah, 2007: 99)

Implementasi dan evaluasi strategi merupakan tahapan akhir. Hal ini,


organisasi harus memiliki gagasan yang jelas mengenai perubahan yang
diinginkan tentang struktur organisasi, budaya organisasi, dan kepemimpinan.
Implementasi strategi yang dilakukan oleh organisasi sesuai dengan strategi yang
telah diformulasikan, maka implementasi diperlukan pengendalian implementasi
strategi. Hal ini untuk menjaga agar strategi agar tetap pada jalurnya.

2. Perkotaaan atau tata ruang

Penataan ruang menjadi konsep yang harus dijalankan oleh Pemerintah


untuk menciptakan tata ruang yang sesuai dengan peruntukannya sehingga
diperlukan penataan ruang dalam setiap pembangunan yang dilakukan oleh
Pemerintah. Menurut Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dalam Pasal 1 bahwa :

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
Ruang menjadi salah satu bagian dari penataan ruang karena yang ditata
adalah ruang sehingga ruang untuk berbagai macam kegiatan dalam suatu wilayah
dapat terencana. “Tata Ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan
ruang baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Tata ruang perlu
direncanakan dengan maksud agar lebih mudah menampung kelanjutan
perkembangan kawasan yang bersangkutan” (Rahardjo Adisasmita, 2010:64).
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan
penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang (UU 26/2007 Pasal 1).
Pengertian di atas, penataan ruang merupakan suatu pola untuk memenej
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian terhadap suatu ruang untuk
perkembangan suatu kawasan. Pengembangan suatu kawasan haruslah melihat
ruang yang tersedia dan menata sesuai dengan kebutuhan kawasan tersebut.
Konsep penataan ruang di Indonesia telah diatur dalam Undang Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Asas penataan ruang di Indonesia
dalam UU 26/2007 pasal 2 adalah keterpaduan, keserasian, keselarasan,
keberhasilgunaan, keseimbangan, keterbukaan, keberlanjutan, keberdayagunaan,
kebersamaan, kemitraan, perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan
keadilan, dan akuntabilitas.
Asas penataan ruang ini menjadi kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam menyelenggarakan penataan ruang nasional. Selain asas penataan
ruang terdapat juga tujuan penataan ruang dalam UU 26/2007 pasal 3 yaitu :
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan :
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.
c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Asas dan tujuan penataan ruang menjadi pedoman untuk pelaksanaan


penataan ruang nasional maupun daerah yang nantinya akan diatur setiap daerah
tentang rencana tata ruang wilayah.

Penataan ruang memang diperlukan dalam setiap pembangunan terutama


daerah perkotaan. “Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan perkotaan sebagai tempat
pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi” (UU 26/2007 Pasal 1).

Kawasan perkotaan yang memiliki peranan dan fungsi yang berbeda


dengan pedesaan membuat perkotaan memiliki daya tarik tersendiri. Penataan
ruang kawasan perkotaan diarahkan untuk beberapa hal, yaitu :

a. Mencapai tata ruang kawasan perkotaan yang optimal, serasi, selaras dan
seimbang dalampengembangan hidup manusia.
b. Meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi dan seimbang antara
perkembangan lingkungan dan nilai kehidupan masyarakat.
c. Mengatur pemanfaatan ruang kawasan perkotaan guna meningkatkan
kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif
terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial. (Rahardjo Adisasmita,
2010:149)

Arahan untuk penataan ruang kawasan perkotaan memang harus


diperhatikan karena telah banyak pihak yang mengeksploitasi lahan sehingga
lingkungan menjadi kurang diperhatikan dan sangat minim dalam melestarikan
lingkungan.

Rencana pemanfaatan ruang kawasan perkotaan dijabarkan dalam bentuk


Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) yang mengacu pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Kota dan SK Menteri PU No.640/KPTS Tahun 1990 tentang Perencanaan Tata
Ruang Kota (Rahardjo Adisasmita, 2010:149).

Penataan ruang kawasan perkotaan yang mempunyai kegiatan utama


berbeda dengan pedesaan maka penataan ruang di kawasan perkotaan sangat
berbeda dengan penataan ruang di pedesaan. Penataan ruang diperkotaan harus
dapat diarahkan menuju kesejahteraan sosial dan untuk mejaga kelestarian
lingkungan.

Kegiatan penataan ruang perkotaan harus proporsional sesuai dengan


fungsi dan tujuannya tanpa mengesampingkan faktor lingkungan. Undang Undang
nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang telah disebutkan pada pasal 28 yaitu
penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan non hijau serta fasilitas
untuk menjalankan fungsi kota. Hal ini telah diatur untuk penataan ruang kawasan
salah satunya adalah kawasan kota.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi perhatian dalam


perencanaan dalam penataan ruang. Penataan ruang merupakan salah satu syarat
untuk pembangunan berkelanjutan.

Tata ruang dasarnya berupa alokasi letak, luas dan atribut pada suatu
wilayah. Rencana tata ruang merupakan syarat yang diperlukan untuk
meminimalkan konflik antar kegiatan, menjamin keberlanjutan kegiatan,
mendorong terjadinya efisiensi kegiatan yang lebih tinggi, menjamin kepastian
investigasi kegiatan. Perencanaan tata ruang merupakan suatu bentuk kesepakatan
publik dan mengikat sebagai kontrak sosial. Kalau kedua hal tersebut digabung,
maka perencanaan tata ruang adalah suatu bentuk keputusan kolestif yang
dihasilkan dari proses politik atas pilihan-pilihan alokasi dan atau cara alokasi
ruang yang ditawarkan melalui teknik substantif (Rahardjo Adisasmito, 2010:
257).

Rencana tata ruang wilayah untuk membantu penataan ruang wilayah


sebagaimana fungsinya. Wilayah perkotaan yang berfungsi sebagai pelayanan
sosial, ekonomi, dan sebagainya memiliki rencana tata ruang wilayah sesuai
dengan kawasannya.

“Penyusunan rencana pembangunan yang didukung oleh rencana tata


ruang wilayah, diperlukan untuk mencermati kondisi, potensi, ciri-ciri tata ruang
wilayah dan kemampuannya dalam berkembang” (Rahardjo Adisasmito, 2010:
281). Hal ini untuk menyusun indikator tata ruang wilayah dan metode
penilaiannya sehingga penyusunan RTRW dan indikatornya dapat dioptimalkan.

Perlu melihat indikator dalam perkembangan secara tepat dan cepat untuk
mendapatkan gambaran maka diperlukan empat dimensi dan empat aspek
pembangunan tata ruang wilayah.

Empat dimensi pembangunan tata ruang wilayah adalah karakteristik tata


ruang, potensi atau kemampuan pertumbuhan, tingkat pembangunan sosial dan
kelembagaan, dan tingkat pembangunan sosial. Sedangkan empat aspek
pembangunan tata ruang wilayah yaitu aspek ekonomi, aspek sosial demografis,
aspek fisik dan lingkungan, dan aspek infrastruktur/prasarana. (Rahardjo
Adisasmito, 2010: 282- 283)

Empat dimensi dan empat aspek pembangunan tata ruang wilayah menjadi
pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah dengan indikator
yang ditentukan dalam proses pengamatan potensi, ciriciri, kondisi tata ruang
wilayah.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghoffar, 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan


UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Karya Kencana: Yogyakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. PT Buana


Ilmu Populer: Jakarta.

Dadang Juliantoro, dkk, 2000. Strategi Tiga Kaki: dari Pintu Otonomi Daerah
Mencapai Keadilan Sosial, Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia


Pustaka Utama: Jakarta

Djoko Prakoso, 1984. Kedudukan dan Fungsi Kepala Daerah beserta Perangkat
Daerah lainnya di dalam Undang-Undang Pokok Pemerintahan Di daerah,
Ghalia Indonesia: Jakarta.

Djoko Sutono, 1982. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press: Jakarta

Faisal Abdullah, 2009. Prinsip, Konsep dan Tantangan dalam Negara Hukum, Pukap
Indonesia: Makassar.

Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, 2007. Kamus Inggris-Indonesia Cetakan


Keduapuluh Sembilan, PT. Gramedia: Jakarta.

Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta:
Jakarta.

Ni‟matul Huda, 2005. Hukum tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Philipus M. Hadjon, 2002. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada


University Press: Yogyakarta.

Siagian S.P, 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara; Bandung.
Simamora H, 1995, Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE YKKPN:
Yogyakarta.
Aidar G, M. Ramli, Amirullah, Lintong dan Baharuddin K., 2010. Pendampingan
program strategis Kementerian Pertanian (Laporan hasil diseminasi)BPTP
Sulawesi Selatan.

Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Jakarta, Prenadamedia group, 2014).

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan


Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas
Parahyangan, 2000),

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,


1998)

Bagir Manan, wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi
Daerah

F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2006)

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie


Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994),

Juniarso Ridwan & Achmad Sudrjat, Hukum Adminitrasi Negara, (Bandung, Penerbit
Nuansa, 2012).

Prajudi Atmosudirdjo. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia

Puslitbang Tanaman Pangan. 2009. Petunjun Pelaksanaann Pendampingan SL PTT.

Puslitbang Tanaman Pangan dan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan


Teknologi Pertanian. 20 hal.

Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas


Islam Indonesia, 1998)

Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik


Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan 59 Yuridis
Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1990),
Suryana, A. 2005. Pelaksanaan Pertanian Berkelanjutan Andalan
PelaksanaanNasional. Makalah pada Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan
untuk Mendu-kung Pelaksanaan Nasional, 15 Pebruari 2005 di Universitas
Sebelas MaretSolo.

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, 1983,


CV.Rajawali, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai