Anda di halaman 1dari 66

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perencanaan Wilayah

Perencanaan Wilayah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang

dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang

lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya

dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai

sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat

menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan

Bratakusumah, 2003).

Dalam upaya pembangunan wilayah, masalah yang terpenting yang menjadi

perhatian para ahli ekonomi dan perencanaan wilayah adalah menyangkut

proses pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Perbedaan teori

pertumbuhan ekonomi wilayah dan teori pertumbuhan ekonomi nasional

terletak pada sifat keterbukaan dalam proses input-output barang dan jasa

maupun orang. Dalam sistem wilayah keluar masuk orang atau barang dan

jasa relatif bersifat lebih terbuka, sedangkan pada skala nasional bersifat lebih

tertutup (Sirojuzilam, 2007).

Perencanaan Wilayah merupakan satu-satunya jalan yang terbuka untuk

menaikkan pendapatan per kapita, mengurangi ketimpangan pendapatan dan

meningkatkan kesempatan kerja (Jhingan, 2000). Perencanaan Pembangunan

Daerah adalah “Suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor), baik
2

umum (publik) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat

lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling

ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi dan aspek

lingkungan lainnya dengan cara:

1. secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan

daerah;

2. merumuskan tujuan dan kebijakan pembangunan daerah;

3. menyusun konsep strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan

4. melaksanakannya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia

sehingga peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan” (Solihin, D,

2005).

Menurut Archibugi (2008) berdasarkan penerapan teori perencanaan

wilayah dapat dibagi atas empat komponen yaitu :

(a) Physical Planning (Perencanaan fisik).

Perencanan yang perlu dilakukan untuk merencanakan secara fisik

pengembangan wilayah. Muatan perencanaan ini lebih diarahkan

kepada pengaturan tentang bentuk fisik kota dengan jaringan

infrastruktur kota menghubungkan antara beberapa titik simpul

aktivitas. Teori perencanaan ini telah membahas tentang kota dan

sub bagian kota secara komprehensif. Dalam perkembangannya teori

ini telah memasukkan kajian tentang aspek lingkungan. Bentuk produk

dari perencanaan ini adalah perencanaan wilayah yang telah dilakukan


3

oleh pemerintah Kota Medan dalam bentuk master plan (tata ruang,

lokasi tempat tinggal, aglomerasi, dan penggunaan lahan).

(b) Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro).

Dalam perencanaan ini berkaitan perencanaan ekonomi wilayah.

Mengingat ekonomi wilayah menggunakan teori yang digunakan sama

dengan teori ekonomi makro yang berkaitan dengan pembangunan

ekonomi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan, distribusi pendapatan,

tenaga kerja, produktivitas, perdagangan, konsumsi dan investasi.

Perencanaan ekonomi makro wilayah adalah dengan membuat

kebijakan ekonomi wilayah guna merangsang pertumbuhan ekonomi

wilayah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan

bidang aksesibilitas lembaga keuangan, kesempatan kerja, tabungan).

(c) Social Planning (Perencanaan Sosial).

Perencanaan sosial membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas

sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan

masalah kriminal. Perencanaan sosial diarahkan untuk membuat

perencanaan yang menjadi dasar program pembangunan sosial di

daerah. Bentuk produk dari perencanaan ini adalah kebijakan demografis.

(d) Development Planning (Perencanaan Pembangunan).

Perencanaan ini berkaitan dengan perencanaan program pembangunan

secara komprehensif guna mencapaipengembangan wilayah.


4

Fianstein dan Norman (1991) tipologi perencanaan dibagi atas empat

macam yang didasarkan pada pemikiran teoritis. Empat macam

perencanaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Traditional planning (perencanaan tradisional). Pada jenis

perencanaan ini perencana menetapkan maksud dan tujuan untuk

merubah sebuah sistem kota yang telah rusak. Biasanya pada konsep

perencanaan ini membuat kebijakan-kebijakan untuk melakukan

perbaikan pada sistem kota. Pada perencanaan tradisional

memiliki program inovatif terhadap perbaikan lingkungan

perkotaan dengan menggunakan standar dan metode yang

professional.

b) User-Oriented Planning (Perencanaan yang berorientasi pada

pengguna).

Konsep perencanaan ini adalah membuat perencanaan yang

bertujuan untuk mengakomodasi pengguna dari produk

perencaan tersebut, dalam hal ini masyarakat Kota. Masyarakat

yang menentukan produk perencanaan harus dilibatkan dalam

setiap proses perencanaan.

c) Advocacy Planning (Perencanaan Advokasi).

Pada perencanaan ini berisikan program pembelaan terhadap

masyarakat yang termarjinalkan dalam proses pembangunan kota

dalam hal ini adalah masyarakat miskin kota. Pada perencanaan

advokasi akan memberikan perhatian khusus terhadap melalui

program khusus guna meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.


5

d) Incremental Planning (Perencanaan dukungan).

Pada perencanaan yang bersifat dukungan terhadap sebuah proses

pengambilan keputusan terhadap permasalahan-permasalahan

perkotaan. Produk perencanaan ini bersifat analisis yang mendalam

terhadap permasalahan dengan mempertimbangkan dampak positif

dan dampak negatif sebuah kebijakan.

Menurut Glasson dalam buku Tarigan (2005) menyebutkan tipe-tipe

perencanaan terdiri dari; physical planning and economic planning,

allocative and innovative planning, multi or single objective planning dan

indicative or imperative planning. Selanjutnya menurut Tarigan (2005) di

Indonesia juga dikenal jenis top-down and bottom-up planning, vertical and

horizontal planning, dan perencanaan yang melibatkan masyarakat secara

langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat sama sekali. Uraian di atas

masing-masing jenis itu dikemukakan sebagai berikut:

1. Perencanaan Fisik Versus Perencanan Ekonomi.

Pada dasarnya pembedaan ini didasarkan atas isi atau master dari

perencanaan. Namun demikian, orang awam terkadang tidak bisa

melihat perbedaan antara perencanaan fisik dengan perencanaan

ekonomi. Perencanaan fisik (physical planning) adalah perencanaan untuk

mengubah atau memanfaatkan struktur fisik suatu wilayah misalnya

perencanaan tata ruang atau tata guna, perencanaan jalur transportasi/

komunikasi, penyediaan fasilitas untuk umum, dan lain-lain. Perencanaan

ekonomi (economic planning) berkenaan dengan perubahan struktur


6

ekonomi suatu wilayah dan langkah-langkah untuk memperbaiki

tingkat kemakmuran suatu wilayah. Perencanaan ekonomi didasarkan

atas mekanisme pasar daripada perencanaan fisik yang lebih didasarkan

atas kelayakan teknis. Perlu dicatat bahwa apabila perencanaan itu

bersifat terpadu, perencanaan fisik berfungsi untuk mewujudkan berbagai

sasaran yang ditetapkan di dalam perencanaan ekonomi. Akan tetapi, ada

juga keadaan di mana hasil perencanan fisik harus

dipertimbangkan perencanaan ekonomi, misalnya dalam hal tata ruang.

2. Perencanaan Alokatif Versus Perencanaan Inovatif.

Pembedaan ini didasarkan atas perbedaan visi dari perencanaan tersebut,

yaitu antara perencanaan model alokatif dan perencanaan yang bersifat

inovatif. Perencanaan alokatif (alocative planning) berkenaan dengan

menyukseskan rencana umum yang telah disusun pada level yang lebih

tinggi atau telah menjadi kesepakatan bersama. Jadi, inti kegiatannya

berupa koordinasi dan sinkronisasi agar sistem kerja untuk mencapai

tujuan itu dapat berjalan secara efektif dan efesien sepanjang waktu.

Karena sifatnya, model perencanaan ini kadang-kadang disebut

regulatory planning (mengatur pelaksanaan). Dalam perencanaan inovatif

(innovative planning), para perencana lebih memiliki kebebasan, baik

dalam menetapkan target maupun cara yang ditempuh untuk mencapai

target tersebut. Artinya, mereka dapat menetapkan prosedur atau cara-

cara, yang penting target itu dapat dicapai atau dilampaui. Perencanaan

inovatif juga berlaku apabila ada kegiatan baru yang perlu dibuat

prosedur atau sistem kerjanya, yang selama ini belum ada.


7

3. Perencanaan Bertujuan Jamak versus Perencanaan Bertujuan

Tunggal.

Pembedaan ini didasarkan atas luas pandang (skop) yang tercakup, yaitu

antara perencanaan bertujuan jamak dan perencanaan tunggal.

Perencanaan dapat mempunyai dan sasaran tunggal atau jamak.

Perencanaan bertujuan tunggal apabila sasaran yang hendak dicapai

adalah sesuatu yang dinyatakan dengan tegas dalam perencanaan itu dan

bersifat tunggal. Misalnya, rencana pemerintah untuk membangun 100

unit rumah di suatu lokasi tertentu. Perencanaan bertujuan ini tidak

mengaitkan pembangunan rumah dengan manfaat lain yang

mungkin ditimbulkannya karena tidak menjadi fokus perhatian

utama. Perencanaan bertujuan jamak adalah perencanaan yang memiliki

beberapa tujuan sekaligus. Misalnya, rencana pelebaran dan

peningkatkan kualitas jalan penghubung yang ditujukan untuk

memberikan berbagai manfaat sekaligus, yaitu agar perhubungan di

daerah semakin lancar, dapat menarik berdirinya permukiman baru

dan mendorong bertambahnya aktivitas pasar di daerah tersebut.

Terkadang ada juga sasaran lain dengan dibukanya jalan baru yang bisa

saja tidak dinyatakan secara tegas dalam rencana itu sendiri. Misalnya,

makin lancarnya komunikasi sehingga masyarakat setempat makin

terbuka untuk pembaruan dan makin lancarnya perdagangan.

Perencanaan ekonomi umumnya bertujuan jamak sedangkan

perencanaan fisik ada yang bertujuan tunggal tetapi ada juga yang

bertujuan jamak.
8

4. Perencanaan Bertujuan Jelas Versus Perencanaan Bertujuan

Laten.

Pembedaan ini didasarkan atas konkret atau tidak konkretnya isi rencana

tersebut. Perencanaan bertujuan jelas adalah perencanaan yang dengan

tegas menyebutkan tujuan dan sasaran dari perencanaan tersebut, yang

sasarannya dapat diukur keberhasilannya. Dalam perencanaan, tujuan

selalu dibuat lebih bersifat umum dibandingkan dengan sasaran. Tujuan

belum tentu dapat diukur walaupun bisa dirasakan, sedangkan sasaran

biasanya dinyatakan dalam angka konkret sehingga bisa diukur dengan

tingkat pencapaiannya. Misalnya, tujuan perencanaan adalah menaikkan

taraf hidup rakyat, sasarannya adalah menaikkan pendapatan per kapita

dari $ 400 menjadi $ 500 per tahun, dalam jangka waktu tiga tahun yang

akan datang. Perencanaan bertujuan laten adalah perencanaan yang

tidak menyebutkan sasaran dan bahkan tujuannya pun kurang jelas

sehingga sulit untuk dijabarkan. Tujuan perencanaan laten sering dikejar

secara tidak sadar, misalnya ingin hidup lebih bahagia, kehidupan dalam

masyarakat yang aman, nyaman, dan penuh dengan rasa kekeluargaan.

5. Perencanaan Indikatif Versus Perencanaan Imperatif.

Pembedaan ini didasarkan atas ketegasan dari isi perencanaan dan

tingkat kewenangan dari institusi pelaksana. Perencanaan indikatif

adalah perencanaan di mana tujuan yang hendak dicapai hanya

dinyatakan dalam bentuk indikasi, artinya tidak dipatok dengan tegas.

Tujuan bisa juga dinyatakan dalam bentuk indikator tertentu, namun


9

indikator ini sendiri bisa konkret dan bisa hanya perkiraan (indikasi).

Tidak diatur bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak

diatur prosedur ataupun langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut,

yang penting indikator yang dicantumkan dapat tercapai. Dalam

perencanaan itu mungkin terdapat petunjuk atau pedoman, yaitu

semacam nasehat bagaimana sebaiknya rencana itu dijalankan, tetapi

pedoman itu sendiri tidak terlalu mengikat.

Pelaksana di lapangan masih dapat melakukan perubahan sepanjang

tujuan ingin dicapai dapat dicapai atau dilampaui dengan besaran biaya

tidak melampaui yang ditentukan. Perencana imperatif adalah

perencanaan yang mengatur baik sasaran, prosedur, pelaksana, waktu

pelaksanaan, bahan-bahan, serta alat-alat yang dapat dipakai untuk

menjalankan rencana tersebut. Itulah sebabnya mengapa perencanaan

ini disebut perencanaan komando. Pelaksana di lapangan tidak berhak

mengubah apa yang tertera dalam rencana. Hampir mirip dengan tipe

perencanaan di atas adalah yang menggunakan bentuk kombinasi lain,

yaitu induced planning versus imperative planning. Pembedaan dalam

kombinasi terakhir ini lebih didasarkan atas kewenangan dari institusi

terlibat. Induced planning adalah perencanaan dengan sistem

rangsangan. Perencanaan dengan sistem rangsangan, yaitu apabila

pemerintah pada level yang lebih tinggi memberi rangsangan kepada

pemerintah yang lebih rendah. Hal ini terjadi jika pemerintah pada level

yang lebih rendah mau melaksanakan program yang diinginkan oleh

pemerintah pada level yang lebih tinggi.


10

6. Top Down Versus Bottom Up Planning.

Pembedaan perencanaan jenis ini didasarkan atas kewenangan dari

institusi yang terlibat. Perencanaan model up-down dan bottom-up hanya

berlaku apabila terdapat beberapa tingkat atau lapisan pemerintahan atau

beberapa jenjang jabatan di perusahaan yang masing-masing tingkatan

diberi wewenang untuk melakukan perencanaan. Perencanaan model top

down adalah apabila kewenangan utama dalam perencanaan itu berada

pada institusi yang lebih tinggi di mana institusi perencana pada level

yang lebih rendah harus menerima rencana atau arahan dari institusi

yang lebih tinggi. Rencana dari institusi yang lebih tinggi tersebut harus

dijadikan bagian rencana institusi yang lebih rendah. Umumnya terjadi

adalah kombinasi antara kedua model tersebut. Akan tetapi dari

rencana yang dihasilkan oleh kedua level institusi perencanaan

tersebut, dapat ditentukan model mana yang lebih dominan. Apabila

yang dominan adalah top-down maka perencanaan itu disebut

sentralistik, sedangkan apabila yang dominan adalah bottom-up

maka perencanaan itu disebut desentralistik.

7. Vertical Versus Horizontal Planning.

Pembedaan ini juga didasarkan atas perbedaan kewenangan antar

institusi walaupun lebih ditekankan pada perbedaan jalur koordinasi

yang diutamakan perencana. Vertical planning adalah perencanaan

yang lebih mengutamakan koordinasi antar berbagai jenjang pada sektor

yang sama. Model ini mengutamakan keberhasilan sektoral, jadi


11

menekankan pentingnya koordinasi antar berbagai jenjang pada instansi

yang sama. Tidak diutamakan keterkaitan antar sektor atau apa yang

direncanakan oleh sektor lainnya, melainkan lebih melihat kepada

kepentingan sektor itu sendiri itu bagaimana hal ini dapat dilaksanakan

oleh berbagai jenjang pada instansi yang sama di berbagai daerah secara

baik dan terkoordinasi untuk mencapai sasaran sektoral. Horizontal

planning menekankan keterkaitan antar berbagai sektor sehingga

berbagai sektor itu dapat berkembang secara bersinergi. Horizontal

planning melihat pentingnya koordinasi antar berbagai instansi pada level

yang sama, ketika masing-masing instansi menangani kegiatan atau

sektor yang berbeda. Horizontal planning menekankan keterpaduan

program antar berbagai sektor pada level yang sama. Antara kedua model

perencanaan itu harus terdapat arus bolak-balik sehingga dihasilkan

rencana yang baik.

8. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung Versus

yang tidak melibatkan masyarakat.

Pembedaan ini juga didasarkan atas kewenangan yang diberikan kepada

institusi perencanaan yang sering kali terkait dengan luas bidang yang

direncanakan. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara

langsung adalah apabila sejak awal masyarakat telah diberitahu dan

diajak ikut serta dalam menyusun rencana tersebut. Perencanaan yang

tidak melibatkan masyarakat adalah apabila masyarakat tidak dilibatkan

sama sekali dan paling-paling hanya dimintakan persetujuan dari

DPRD untuk persetujuan akhir. Perencanaan yang tidak melibatkan


12

masyarakat misalnya apabila perencanaan itu bersifat teknis pelaksanaan,

bersifat internal, menyangkut bidang yang sempit, dan tidak secara

langsung bersangkut paut dengan kepentingan orang banyak.

Persetujuan DPRD pun umumnya tidak dimintakan untuk perencanaan

seperti itu. Perencanaan yang bersangkut paut dengan kepentingan orang

banyak mestinya melibatkan masyarakat tetapi dalam prakteknya

masyarakat hanya diwakili oleh orang-orang yang dikategorikan sebagai

tokoh masyarakat. Dalam praktik, kedua pembagian di atas tidaklah

mutlak. Artinya, perencanaan sering mengambil bentuk diantara

keduanya. Perencanaan yang melibatkan masyarakat luas hanya

mungkin untuk wilayah yang kecil, misalnya lingkungan, desa atau

kelurahan, dan kecamatan. Untuk wilayah yang lebih luas, biasanya

hanya mungkin dengan cara mengundang tokoh-tokoh masyarakat atau

pimpinan organisasi kemasyarakatan. Seringkali tokoh masyarakat atau

organisasi kemasyarakatan hanya dilibatkan pada diskusi awal untuk

memberikan masukan dan pada diskusi akhir untuk melihat bahwa

aspirasi mereka sudah tertampung. Perencanaan yang menyangkut

kepentingan masyarakat banyak biasanya harus mendapat persetujuan

DPRD sebagai perwakilan dari kepentingan masyarakat.

2.2. Sistem Perencanaan Pembangunan Wilayah

Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dianggap sebagai perencanaan

untuk memperbaiki penggunaan sumber daya yang ada. Perencanaan adalah

suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui

urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.


13

Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk

peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik aspek pendapatan,

kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan

kebijakan, berdaya saing maupun peningkatan indeks manusia

(Kuncoro,2005).

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2004 dikeluarkan

pemerintah untuk memperbaiki berbagai kelemahan perencanaan

pembangunan yang dirasakan dimasa lalu. Sasaran perbaikan yang

diharapkan antara lain adalah mewujudkan keterpaduan dan sinergi

pembangunan antar dinas dan instansi dan antar daerah, keterpaduan antara

perencanaan dan penganggaran serta untuk lebih mengoptimal kan

pemanfaatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan.

Rencana pembangunan menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 terdiri

dari:

1. RPJP

2. RPJM

3. RKP

4. Renstra kementrian/SKPD

5. Renja kementrian/SKPD

Ad 1. RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang)

Koordinasi pembangunan jangka panjang secara nasional dilakukan

melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP),

baik untuk pemerintah, pemerintah propinsi maupun pemerintah


14

kabupaten/kota untuk periode 20 tahun. RPJP-Nasional, propinsi

maupun kabupaten/kota berisikan visi, misi dan arah pembangunan

secara nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan terbentuknya

pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945. RPJP ini selanjutnya dijadikan landasan

utama penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM

untuk periode 5 tahun).

Ad 2. RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)

RPJM memuat strategi pembangunan, kebijakan umum, program

kementerian/ lembaga/SKPD, program kewilayahan serta kerangka

ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian

nasional/daerah secara menyeluruh, termasuk kebijakan fiskal dan

kerangka pendanaan. RPJM tersebut selanjutnya dijadikan dasar

utama untuk penyusunan Rencana Tahunan (Annual Planning) yang

bersifat operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang

bersangkutan. Bahkan rencana tahunan yang harus dibuat tersebut telah

menggunakan istilah lain yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP)

pada tingkat nasional atau RKPD untuk tingkat daerah yang

mengisyaratkan bahwa rencana tahunan tersebutlah yang menjadi

rencana kerja pemerintah untuk tahun yang bersangkutan.

RKPD/RKP tersebut berisikan prioritas pembangunan, rancangan

kerangka ekonomi makro, program kementerian/lembaga, program

kewilayahan dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.


15

Dengan mempedomani rancangan RPJP Daerah yang telah selesai

disusun, Pemerintah Daerah diwajibkan pula menyusun RPJM Daerah

yang berisikan arah dan strategi kebijakan pembangunan daerah dan

program kerja satuan perangkat daerah, baik yang bersifat lintas

sektoral maupun lintas wilayah. Termasuk dalam RPJM Daerah ini

adalah rencana kerja dan kerangka regulasi dan pendanaan yang

bersifat indikatif. Agar perencanaan menjadi lebih kongkrit, maka

target-target yang ditetapkan perlu diusahakan secara kuantitatif,

walaupun disadari hal ini tidak dapat dilakukan untuk semua sektor.

Target yang bersifat kuantitatif tersebut nantinya juga sangat diperlukan

pada waktu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberhasilan

terhadap pelaksanaan program.

Rancangan RPJM-Daerah yang telah selesai selanjutnya dijadikan

dasar menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang

merupakan rencana tahunan (Annual Planning) bersifat operasional.

RKPD pada dasarnya merupakan jabaran dari RPJM Daerah yang

berisikan rencana kerja pembangunan daerah, prioritas, dan program

pembangunan daerah, berikut pendanaannya, baik yang dilaksanakan

secara langsung maupun tidak langsung oleh pemerintah daerah untuk

tahun yang bersangkutan (Gani, J.Y, 2005).


16

Ad 3. RKP (Rencana Kerja Pemerintah)

Peranan RKP demikian penting karena dokumen perencanaan ini

adalah memadukan perencanaan pembangunan jangka menengah yang

kurang operasional dengan perencanaan anggaran yang sangat

operasional sesuai dengan kemampuan dana pada tahun yang

bersangkutan. Dengan adanya RKP/D tersebut maka akan terdapat

keterpaduan antara perencanaan, program dan pendanaan sesuai

dengan prinsip Ilmu Perencanaan yaitu Planning, Programming and

Budgetting System (PPBS).

Disini sudah jelas terlihat bahwa SPPN-2004 berupaya untuk

mewujudkan perencanaan pembangunan terpadu, baik pada tingkat

nasional maupun pada tingkat daerah melalui keterkaitan yang erat

antara RPJP, RPJM, Renstra SKPD, dan Renja SKPD dan penyusunan

anggaran. Keterpaduan ini sangat penting artinya untuk mewujudkan

proses pembangunan yang saling menunjang menuju kepada suatu arah

pembangunan masa depan nasional yang jelas. Sementara itu, masing -

masing daerah membuat perencanaan pembangunan untuk daerahnya

berdasarkan visi dan misi Kepala daerahnya masing-masing tanpa

melihat kaitan dengan RPJP, RPJM dan RKPD daerah sekitarnya.

Pada dasarnya, RKP tersebut merupakan jabaran dari RPJM dan

berisikan program dan proyek pembangunan yang kongkrit dan

operasional sesuai dengan dana pembangunan yang tersedia pada tahun

bersangkutan. Bahkan SPPN 2004 selanjutnya menetapkan pula

bahwa RKP menjadi dasar penyusunan RAPBN dan RKPD sebagai


17

dasar penyusunan RAPBD. Dengan demikian, sistem penyusunan

RAPBD yang biasanya dilakukan oleh Tim KUA (Kebijakan Umum

Anggaran) sesuai dengan KEPMENDAGRI 29, tahun 2003 sudah tidak

berlaku lagi dan diganti dengan PERMENDAGRI 13 tahun 2006

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Undang-undang No.17, tahun 2003 tentang Keuangan Negara

mengamanatkan bahwa dalam proses penyusunan Rencana Pendapatan

dan Belanja Daerah (RAPBD), pemerintah diwajibkan menyusun

Kebijaksanaan Umum Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafon

Anggaran Sementara (PPAS) dan Rencana Kerja Anggaran (RKA).

Penyusunan KUA dimaksudkan untuk dapat memilah dan menentukan

program dan kegiatan yang menjadi urusan daerah sehingga dapat

dibiayai dengan APBD. PPA dimaksudkan untuk dapat menentukan

program dan kegiatan yang diprioritaskan untuk dibiayai pada tahun

bersangkutan berikut plafon anggarannya, baik untuk tingkat program

maupun untuk SKPD secara keseluruhan. Sedangkan RKA

dimaksudkan untuk dapat memadukan antara program dan kegiatan

yang telah diprioritaskan pelaksanaannya dengan penyusunan anggaran

sesuai dengan plafon yang ditetapkan melalui Nota Kesepakatan antara

Kepala Daerah dan DPRD. Dengan cara demikian, keterpaduan antara

perencanaan dan penganggaran akan dapat terlaksana dalam praktek

(Sjafrizal, 2008).
18

Ad 4. Renstra-SKPD (Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah)

Dalam praktek di daerah kelihatannya RENSTRADA lebih

banyak diperhatikan oleh Pemerintah Daerah karena Departemen

Dalam Negeri mengaitkan dokumen perencanaan ini dengan

pertanggungjawaban Kepala Daerah. Karena itu dalam penyusunan

APBD, RENSTRADA ini lebih banyak dijadikan dasar,

sedangkan PROPEDA tidak terlalu banyak diperhatikan sehingga

hanya tinggal di dalam lemari. Sebenarnya kedua dokumen tersebut

mempunyai sifat yang berbeda dan saling mendukung satu sama

lainnya.

SPPN 2004 memberikan ketentuan yang sangat jelas tentang kedua

dokumen perencanaan pembangunan ini. Di dalam SPPN dinyatakan

secara tegas bahwa Rencana Strategis (RENSTRA) adalah dokumen

perencanaan untuk institusi, sehingga ruang lingkupnya adalah sesuai

dengan tugas pokok dan fungsi dari institusi yang bersangkutan. Pada

tingkat pusat, dokumen yang disusun adalah RENSTRA-KL karena

institusi yang terlibat adalah kementerian dan lembaga. Sedangkan

pada tingkat daerah dokumen yang disusun adalah RENSTRA-SKPD

karena institusi yang terlibat adalah satuan kerja perangkat daerah seperti

dinas dan instansi.


19

Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) yang sekarang bertukar

nama dengan RPJM adalah merupakan dokumen perencanaan yang

mencakup kesatuan wilayah tertentu baik secara nasional maupun

pada tingkat daerah. Dalam satu wilayah biasanya terdapat berbagai

institusi baik yang tergabung dalam unsur pemerintah, swasta

maupun masyarakat. Karena itu, RPJM mencakup tidak hanya

kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah saja, baik

pusat maupun daerah, tetapi juga yang dilakukan oleh 298 pihak

swasta maupun kelompok masyarakat lainnya. Karena itu, dalam

mengelola kegiatan pembangunan, seharusnya pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah lebih banyak memperhatikan RPJM yang

mencakup kegiatan pembangunan secara keseluruhan. Sedangkan

RENSTRA merupakan jabaran dari RPJM untuk institusi tertentu,

dan juga dapat berfungsi sebagai masukan untuk penyusunan RPJM

yang sudah akan final melalui Musyawarah Rencana Pembangunan

(MUSRENBANG).

Sesuai dengan SPPN 2004, MUSRENBANG mempunyai dua fungsi

utama. Pertama, sebagai alat untuk melakukan koordinasi penyusunan

perencanaan pembangunan antar berbagai pelaku kegiatan

pembangunan. Tujuan koordinasi ini jelas adalah untuk dapat

mewujudkan sistem pembangunan yang terpadu dan saling menunjang

satu sama lainnya sehingga proses pembangunan akan menjadi lebih

lancar. Kedua, sebagai alat untuk menyerap partisipasi masyarakat dalam

penyusunan perencanaan dengan mengikutsertakan berbagai tokoh


20

masyarakat, cerdik pandai, alim ulama dan pemuka adat. Tujuan utama

dalam hal ini adalah agar perencanaan yang disusun dapat

disesuaikan dengan aspirasi masyarakat umum sehingga dukungan

masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan akan dapat dioptimalkan.

Ini berarti bahwa, MUSRENBANG juga berfungsi sebagai alat untuk

dapat mewujudkan Perencanaan Partisipatif (Participatory Planning)

yang merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan demokrasi dalam

pelaksanaan pembangunan.

Disini MUSRENBANG sebagai pengganti RAKORBANG dilakukan

secara komprehensif, tidak hanya dalam rangka koordinasi program

dan proyek yang akan dilakukan setiap tahun, tetapi dilakukan untuk

semua tingkat perencanaan, baik RPJP, RPJM dan RKP. Hal ini

dilakukan agar koordinasi dan singkronisasi dapat dilakukan secara

menyeluruh dan terpadu, baik secara sektoral maupun menurut

tingkat pemerintahan (Solihin, D, 2005).

Ad 5. Renja-SKPD (Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah)

Penyusunan rencana dan kegiatan kerja ini memperhatikan hal-hal yang

telah disepakati oleh masyarakat dan unsur pelaku pembangunan

(stakeholder) dalam musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah

dan yang telah disampaikan dalam Renja SKPD. Dalam Rencana

Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah berisikan tujuan, sasaran,

program dan kegiatan. Indikator kinerja dan kelompok sasaran

yang menggambarkan pencapaian Renstra SKPD.


21

Dana Indikatif beserta sumbernya serta prakiraan maju berdasarkan

pagu indikatif artinya jelas sumber dana yang dibutuhkan untuk

menjalankan program dan kegiatan. Koordinasi penyusunan Renstra

SKPD dan Renja SKPD dilakukan masing-masing SKPD.

2.3. Teori Kota dan Rencana Tata Guna Lahan

2.3.1 Kota

Kota adalah sebagai gabungan sel lingkungan perumahan, atau

tempat di mana orang bekerja bersama untuk kepentingan umum. Jenis

daerah perkotaan bisa beragam sebesar beragamnya berbagai

kegiatan yang dilakukan pada wilayah perkotaan seperti

perdagangan, transportasi, pengadaan barang dan jasa, atau

gabungan dari semua aktivitas tersebut (Gallion dan Eisner, 1992).

Sebuah kota adalah suatu pemukiman yang relatif besar, padat dan

permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari

segi sosial. Kota adalah salah satu ungkapan kehidupan manusia yang

mungkin paling kompleks. Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa,

dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi

kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling

penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena

permukimanperkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari dirinya

sendiri, melainkan dari kehidupan di dalamnya (Zahnd, 2006).


22

Kota yang dipandang sebagai suatu obyek studi di mana di dalamnya

terdapat masyarakat manusia yang sangat komplek, telah mengalami

proses interelasi antar manusia dan antar manusia dengan

lingkungannya. Produk hubungan tersebut ternyata mengakibatkan

terciptanya pola keteraturan daripada pengguna lahan yang

menghasilkan struktur ruang kota (Yunus, 2000).

Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang struktur ruang kota,

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Teori Konsentris; Menurut pengamatan Burgess, sesuatu kota akan

terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini

mencerminkan penggunaan lahan yang berbeda, seperti berikut:

Gambar 2.3 Teori Konsentris


Sumber : Breter, 2001

Seperti terlihat pada model di atas, daerah perkotaan terdiri dari

dari (I) kawasan pusat kota, (II) kawasan pabrik, (III) kawasan

transisi, (IV) kawasan pemukiman pekerja, (V) kawasan pemukiman

yang lebih baik, dan (VI) Kawasan pengembangan.


23

2. Teori Sektor; Munculnya ide untuk mempertimbangkan variabel

sektor ini pertama kali dikemukan oleh Hoyt. Secara konseptual,

model teori sektor menunjukkan persebaran zona-zona

konsentrisnya. Jelas sekali terlihat disini bahwa jalur transportasi

yang menjari (menghubungkan pusat kota ke bagian-bagian yang

lebih jauh) diberi peranan yang besar dalam pembentukan pola

struktur ruang kota.

3. Teori Multiple Nuclei (Teori Pusat Kegiatan Banyak); Teori ini

pertama kalinya dicetuskan oleh C.D. Harris dan FL. Ulman.

Menurut pendapatnya, bahwa kebanyakan kota-kota besar tidak

tumbuh dalam ekspresi keruangan yang sederhana, yang hanya

ditandai oleh pusat kegiatan saja, namun terbentuk sebagai suatu

produk perkembangan dan integrasi yang berlanjut dan terus

menerus dari sejumlah pusat-pusat kegiatan terpisah satu sama lain

dalam suatu sistem perkotaan (multi centered theory).

Pembangunan kota terus berlanjut akibat proses urbanisasi sehingga

menyebar ke bagian pinggir kota, yang berakibat pada perubahan

struktur ruang dan bentuk kota (Burnley dan Murphy 1995; Davis

et al. 1994; Nelson 1992). Burnley dan Murphy (1995)

menjelaskan pembangunan sub urban dapat berakibat pada

ketimpangan wilayah perkotaan karena wilayah sub urban yang

dibangun belum dilengkapi jaringan infrastruktur yang memadai.


24

Menurut Herbes (1987) daerah sub urban yang baru dibangun oleh

arus urbanisasi tumbuh dan berkembang mengikuti pola

perkampungan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.

Meskipun kita menyadari sebagai proses pembangunan kota telah

membawa implikasi terhadap ketimpangan wilayah, namun dengan

adanya literatur tentang perencanaan wilayah dapat dijadikan

sebagai dasar untuk mempersempit terjadinya ketimpangan wilayah

( Bahl dkk,1992).

2.3.2 Rencana Tata Guna Lahan

Suatu rencana tata guna lahan merupakan ekspresi kehendak

lingkungan masyarakat mengenai bagaimana seharusnya pola tata

guna lahan suatu lingkungan pada masa yang akan datang. Dalam

rencana itu ditentukan daerah-daerah yang akan digunakan bagi

berbagai jenis, kepadatan dan intensitas kategori penggunaan,

misalnya penggunaan untuk pemukiman, perdagangan, industri dan

berbagai kebutuhan umum. Ditentukan pula azas dan standar yang

harus diterapkan pada pembangunan atau pelestarian di daerah itu. Di

dalam suatu rencana tata guna lahan biasanya tercantum naskah uraian

dan beberapa peta. Di dalam uraiannya terkandung kebijaksanaan-

kebijaksanaan, sedangkan peta-peta menggambarkan penerapan

rencana pada ruang yang tersedia, baik secara umum maupun

terperinci, dengan menetapkan jenis penggunaan tertentu untuk daerah-

daerah tertentu pula.


25

Suatu rencana tata guna lahan biasanya merupakan bagian dari suatu

rencana menyeluruh. Dalam bagian-bagian lain dibahas persoalan

transportasi, utilitas umum; seperti listrik, gas dan air; berbagai

macam prasarana masyarakat dan masalah-masalah khusus yang

membutuhkan perhatian, misalnya pembangunan ekonomi dan

pelestarian lingkungan. Sifat rencana tata guna lahan bias berlainan

karena jenis dan luas lingkungan, struktur pemerintahan serta peraturan-

peraturan negara bagian dan kotamadya atau kabupaten yang mengatur

soal perlahanan. Misalnya, suatu rencana tata guna lahan untuk sebuah

dusun di pedesaan barangkali akan lain sekali ruang lingkupnya dan

tidak begitu mendesak seperti rencana tata guna lahan di sebuah kota

industri yang besar.

Sebuah rencana tata guna lahan di daerah pemukiman sekitar

pusat kota mungkin berorientasi lain daripada rencana tata guna

lahan di daerah pusat kota. Suatu rencana tata guna lahan untuk suatu

wilayah yang dikelola beberapa pemerintahan, misalnya suatu

wilayah metropolitan, mungkin akan dilandasi rancangan pelaksanaan

yang lain sama sekali daripada rencana sejenis untuk suatu wilayah

kotamadya atau kabupaten dengan pemerintahan tunggal. Dan suatu

rencana tata guna lahan untuk suatu lingkungan di dalam wilayah

pemerintahan yang memiliki sedikit saja atau sama sekali tidak

memiliki peraturan-peraturan mengenai perencanaan lingkungan

barangkali akan lain sekali bila dibandingkan dengan rencana tata

guna lahan untuk wilayah pemerintahan yang memiliki perencanaan

yang kuat serta peraturan-peraturan pelaksanaan rencana tata guna lahan.


26

Jangka waktu rencana tata guna lahan juga berbeda-beda, tergantung

berapa jauh jangkauannya ke masa depan. Suatu rencana jangka panjang

biasanya menuju ke sasaran yang terletak 20 atau 25 tahun yang akan

datang, sedangkan suatu rencana tata guna lahan yang dimaksudkan

untuk melaksanakan program pembangunan tertentu mungkin hanya

menjangkau sasaran 5 tahun atau kurang. Misalnya, kota Atlanta di

Negara bagian Georgia, Amerika Serikat, memiliki peraturan yang

mengharuskan penyusunan rencana-rencana tata guna lahan berjangka

waktu 1,5 dan 15 tahun yang masing-masing harus diperbaharui tiap

tahun.

Oleh sebab perencanaan perkotaan bersifat menyeluruh dan integral,

maka suatu rencana tata guna lahan biasanya hanya merupakan unsur

fungsional dari suatu proses menyeluruh. Sekalipun merupakan

unsur yang paling menentukan, perencanaan perkotaan dilengkapi

dengan unsur-unsur fungsional dan hasil-hasil penelitian yang bersifat

mendukungnya.

Undang-undang negara bagian Florida mengandung contoh tentang hal

itu. Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-undang tentang

Pengaturan Perencanaan Menyeluruh serta Pengembangan Lahan

Pemerintah Daerah Negarabagian Florida, tiap kotamadya dan

kabupaten harus menyusun serta mensahkan rencana menyeluruh yang

mencakup unsur-unsur sebagai berikut:


27

1. Perbaikan modal

2. Rencana tata guna lahan untuk masa depan

3. Sirkulasi lalu lintas

4. Saluran pembuangan limbah manusia, sampah padat, saluran

pembuangan air hujan dan air minum

5. Pelestarian alam

6. Rekreasi dan ruang terbuka

7. Perumahan

8. Pengelolaan daerah pantai (hanya untuk kewenangan hukum daerah

pantai)

9. Koordinasi antar instansi pemerintah

Unsur-unsur tambahan berikut ini bersifat mana suka tetapi yang

pertama dan

kedua merupakan keharusan bagi pemerintah daerah yang berpenduduk

lebih dari 50.000 jiwa:

a. Perjalanan Masal (Mass Transit)

b. Pelabuhan, penerbangan dan rencana-rencana fasilitas terkait

c. Kendaraan tidak bermotor (misalnya sepeda) dan lalu lintas pejalan-

kaki

d. Parkir halaman

e. Bangunan umum dan fasilitas-fasilitas terkait

f. Pola kemasyarakatan

g. Pembangunan kembali daerah-daerah secara umum

h. Keselamatan
28

i. Pelestarian tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat dengan

pemandangan indah

j. Pembangunan ekonomi

k. Unsur-unsur yang bersifat khas dan merupakan kebutuhan bagi daerah

itu

Rencana tata guna lahan juga membuka kesempatan bagi

pembangunan perumahan, daerah perbelanjaan dan pembangunan

ekonomi yang memadai, di samping memberikan perlindungan bagi

daerah-daerah serta sumber daya lingkungan yang menentukan.

Hal-hal itu diusahakan untuk mencapainya secara mencoba menciptakan

suatu pola pengembangan lahan yang masuk akal dan bukan pola

pengembangan dan penyebaran yang acak-acakan, tidak teratur, tidak

mantap dan mahal yang akan terjadi jika tidak diciptakan pola

pengembangan yang masuk akal, melainkan konfigurasi khusus yang

logis dan bertahap, didasarkan pada kebijakan-kebijakan yang sudah

disahkan.

Beberapa penelitianyang biasanya mendahului persiapan penyusunan

rencana tata guna lahan, yaitu:

1. Penelitian kependudukan

2. Penelitian ekonomi

3. Analisis lingkungan

4. Identifikasi masalah-masalah, sasaran dan tujuan masyaraka


29

Unsur-unsur rencana menyeluruh yang bukan rencana tata guna lahan

(seperti unsur-unsur mengenai transportasi, listrik, air bersih dan gas,

serta fasilitas umum) mungkin mendahului, menyertai atau menyusuli

persiapan perencanaan tata guna lahan. Hal itu tergantung pada

struktur, jadwal dan kendala-kendala yang terdapat dalam proses

perencanaan menyeluruh. Unsur-unsur rencana menyeluruh yang

biasanya menyusul sesudah tersusun rencana tata guna lahan meliputi:

a. Rencana-rencana untuk daerah yang lebih kecil, seperti daerah

pemukiman, pusat pusat bisnis, lingkungan industri atau daerah-

daerah pelestarian

b. Rencana-rencana fungsional untuk tujuan-tujuan khusus, seperti

rencana untuk perumahan atau tempat-tempat rekreasi.

Sekalipun mungkin ada tahapan analitis yang ideal (tentunya

sampai batas-batas tertentu bias terwujud) pertimbangan praktis

mengenai anggaran, ketentuan hukum dan hal-hal yang

menimbulkan keresahan masyarakat yang sering menjadi faktor

penentu mengenai bagaimana dan kapan pelaksanaan rencana tata

guna lahan harus dilaksanakan (Catenese dan Snyder, 1988).

2.3.3 Proses Perencanaan Tata Guna Lahan

Dalam pengertian yang paling sederhana, proses itu meliputi tiga tahap

(lihat segi empat di tengah) : (1) dimana tempat anda, (2) kemana anda

hendak pergi dan (3) bagaimana cara pencapaiannya.

Dalam mempelajari bagian ini mungkin akan bermanfaat bila melihat

lagi diagram dasar pada gambar untuk mengetahui bagian mana saja
30

yang tepat untuk berbagai bagian perencanaan tata guna lahan dan

proses implementasinya.

2.4. Teori Pembangunan Wilayah

Pembangunan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk

memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan

antarwilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah.

Kebijakan pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi fisik

geografis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang sangat berbeda

antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya sehingga penerapan

kebijakan pengembangan wilayah itu sendiri harus disesuaikan dengan

kondisi, potensi, dan isu permasalahan di wilayah bersangkutan.

Pembangunan, menurut Schumpeter, adalah perubahan spontan dan terputus-

putus dalam keadaaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti

situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Sedangkan pertumbuhan


31

adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi

melalui kenaikan tabungan dan penduduk. Menurut Boner,“ pembangunan

memerlukan dan melibatkan semacam pengarahan, pengaturan, dan pedoman

dalam rangka menciptakan kekuatan-kekuatan bagi perluasan dan

pemeliharaan, sedang ciri pertumbuhan spontan merupakan ciri

perekonomian maju dengan kebebasan usaha (Sjafrizal, 2008).

Menurut Todaro (2006) bahwa pembangunan harus berlangsung pada satu

tingkat perubahan secara menyeluruh sehingga suatu sistem sosial yang

telah diselaraskan dengan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan dasar pribadi

dan kelompok yang beraneka ragam dalam sistem tersebut akan bergerak

menjauhi kondisi hidup yang secara umum dianggap kurang memuaskan

dan mengarah ke situasi atau kondisi hidup yang secara material dianggap

lebih baik.

Pembangunan secara umum dapat diartikan sebagai usaha yang memajukan

kehidupan masyarakat dari kondisi yang tidak baik menjadi kondisi yang

lebih baik. Siagian (1983) mendefinisikan bahwa pembangunan itu adalah

sebagai usaha atau rangkaian usaha yang pertumbuhan dan perubahan yang

berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan

pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation

building). Pembangunan ekonomi didefinisikan dalam tiga pengertian sebagai

berikut:

1. Pembangunan ekonomi harus diukur dalam arti kenaikan pendapatan

nasional riil dalam suatu jangka waktu yang panjang. Definisi ini tidak
32

memuaskan, karena tidak mempertimbangkan berbagai perubahan

misalnya pertumbuhan penduduk. Jika suatu kenaikan dalam pendapatan

nasional riil dibarengi dengan pertumbuhan penduduk yang lebih cepat,

maka yang terjadi bukan kemajuan tetapi adalah sebaliknya yaitu

kemunduran.

2. Meier dalam Siagian (1983) bahwa pembangunan ekonomi “sebagai

proses kenaikan pendapatan riil per kapita dalam suatu jangka waktu

yang panjang”. Baran dalam Siagian (1983) membenarkan

“pertumbuhan (pembangunan) ekonomi adalah kenaikan output perkapita

barang-barang material dalam suatu jangka waktu”. Definisi di atas

menekankan bahwa pembangunan ekonomi dicerminkan oleh tingkat

kenaikan pendapatan riil lebih tinggi dibandingkan tingkat

pertumbuhan penduduk. Definisi tersebut mengabaikan masalah yang

bertalian dengan struktur masyarakat, struktur penduduk, lembaga dan

budaya masyarakat, dan bahkan distribusi output di antara anggota

masyarakat.

3. Ada kecenderungan untuk mendefinisikan pembangunan ekonomi

dilihat dari tingkat kesejahteraan ekonomi. Misalnya pendapatan nasional

riil per kapita naik dibarengi dengan penurunan kesenjangan pendapatan

dan pemenuhan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Definisi ini

mempunyai beberapa keterbatasan,

a) kenaikan pendapatan nasional atau per kapita riil, si kaya bertambah

kaya dan si miskin bertambah miskin, berarti kesenjangan

bertambah lebar;
33

b) dalam mengukur kesejahteraan ekonomi harus hati-hati, output

dapat dinilai dengan kenaikan pendapatan nasional riil, dan

c) harus dipertimbangkan tidak saja barang apa yang diproduksi, tetapi

juga bagaimana barang tersebut diproduksi.

Pembangunan nasional didukung oleh pembangunan yang terjadi di

wilayah. Untuk itu diperlukan pendekatan yang penting didalami adalah

teori yang berkaitan dengan pengembangan wilayah, dan adapun teori

tersebut adalah sebagai berikut:

2.4.1 Teori Lokasi dan Aglomerasi

Teori Lokasi memberikan kerangka analisa yang baik dan

sistematis mengenai pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial,

serta analisa interaksi antar wilayah. Teori Lokasi menjadi penting

dalam analisa ekonomi karena pemilihan lokasi yang baik akan dapat

memberikan penghematan yang sangat besar untuk ongkos angkut

sehingga mendorong terjadinya efisiensi baik dalam bidang produksi

maupun pemasaran. Sedangkan interaksi antar wilayah akan dapat

pula mempengaruhi perkembangan bisnis yang pada gilirannya akan

dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Sjafrizal, 2008).

Untuk menganalis pembangunan kota dan wilayah, kita harus

memahami sepenuhnya mengenai kekuatan-kekuatan aglomerasi dan

deaglomerasi. Kekuatan-kekuatan tersebut dapat menjelaskan

terjadinya konsentrasi dan dekonsentrasi atau dispersi kegiatan


34

industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Manfaat-manfaat yang

ditinbulkan oleh kegietan-kegiatan di atas dapat dikelompokkan dalam

tiga kategori, antara lain: yaitu penghematan skala (scale economies),

penghematan lokasi (localization economies). dan penghematan

urbanisasi (urbanization economies).

1. Penghematan skala (scale economies). Terdapat penghematan

dalam produksi secara internal bila skala produksinya

ditingkatkan. Biaya tetap yang besar sebagai akibat investasi

dalam bentuk pabrik dan peralatan, yang memungkinkan

dilaksanakan pemanfaatan pabrik dan peralatan tersebut dalam skala

besar dapat membagi-bagi beban biaya-biaya tetap pada berbagai

unit terdapat dalam sistem produksi. Sebagai konsekuensinya, unit

biaya produksi menjadi lebih rendah sehingga dapat bersaing

dengan perusahaan-perusahaan lain.

Produksi pada skala besar dimaksudkan untuk menghundari unit

biaya operasi yang eksesif. Hal ini dapat dipertanggungjawabkan

hanya pada lokasi-lokasi yang melayani pendudukdalam jumlah

besar, atau dengan perkataan lain mempunyai suatu pasar yang

luas. Jadi dapat disimpulkan bahwa terjadinya penghematan

skala internal memberikan manfaat pada konsentrasi penduduk

dalam jumlah besar daripada jumlah penduduk yang sedikit, industri

dan kegiatan-kegiatan lainnya.


35

2. Penghematan lokalisasi (lokalization economies). Jenis kedua,

kekuatan yang terpenting konsentrasi industri diasosiasikan

dengan penghematan yang dinikmati oleh semua perusahaan

dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu.

3. Penghematan urbanisasi (urbanization economies). Penghematan

urbanisasi diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total

(penduduk, hasil industri, pendapatan, dan kemakmuran) di suatu

lokasi untuk semua kegiatan yang dilakukan bersama-sama.

Keuntungan aglomerasi baru dapat muncul bilamana terdapat

keterkaitan yang erat antara kegiatan ekonomi yang ada pada

konsentrasi tersebut baik dalam bentuk keterkaitan dengan input

(Backward Linkages) atau keterkaitan output (Forward Linkages).

Dengan adanya keterkaitan ini akan menimbulkan berbagai bentuk

keuntungan eksternal bagi para pengusaha, baik dalam bentuk

penghematan biaya produksi, ongkos angkut bahan baku, dan hasil

produksi serta penghematan biaya penggunaan fasilitas karena

beban dapat ditanggung bersama. Penghematan tersebut

selanjutnya akan dapat menurunkan biaya yang harus dikeluarkan

oleh para pengusaha sehingga daya saingnya menjadi semakin

meningkat. Penurunan biaya inilah yang selanjutnya mendorong

terjadinya peningkatan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang

berada dalam kawasan pusat pertumbuhan tersebut.


36

2.4.2 Teori tempat Sentral (Central Place Theory)

Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis

pusat-pusat kota atau wilayah-wilayah nodal, tetapi tidak menjelaskan

bagaimana pola georafis tersebut terjadi secara gradual dan

bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa

depan, atau dapat dikatakan tidak menjelaskan gejala-gejala

(fenomena) pembangunan. Dengan demikian teori tersebut dapat

dikatakan bersifat statis. Agar teori tempat sentral mampu menjelaskan

gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori

pertumbuhan wilayah. Salah satu diantaranya adalah teori Perroux

(kutub pertumbuhan) yang membahas perubahan-perubahan struktural

pada tata ruang geografis. Atau dapat dikatakan teori tempat sentral

merupakan dasar dari teori kutub pertumbuhan.

Teori tempat sentral sebagian brsifat positif karena berusaha menjelaskan

pola aktual arus pelayanan jasa, dan sebagian lagi bersifat normatif

karena berusaha menentukan pola optimal distribusi tempat-tempat

sentral. Teori tempat sentral mempunyai kontribusi pada pemahaman

interrelasi spasial dan kota-kota sebagai sistem di dalam sistem

perkotaan.

Teori tempat sentral tidak memberikan pejelasan secara lengkap

mengenai pertumbuhan kota karena teori tersebut diformulasikan

berdasarkan pembangunan daerah pertanian yang tersusun secara

herarkis dan berpenduduk merata. Dengan tumbuhnya kota-kota maka


37

muncullah jasa-jasa yang tidak berkanaan dengan pasar wilayah

belakang. Sebagai contoh kehidupan kota metropolitan dapat

mencipakan kebutuhan-kebutuhan sendiri (internal), misalnya

peningkatan penyediaan fasilitas penyediaan air minum, listrik,

angkutan umum, demikian pula kebutuhan fasilitas parkir. Persoalan-

persoalan yang dihadapai dalam pertumbuhan kota ternyata tidak

sesederhana seperti persoalan pemasaran barang-barangdan jasa-jasa

yang dihasilkan oleh tempat sentral. Analisis tempat sentral

menekankan pada peranan sektor perdagangan dan kegiatan-kegiatan

jasa daripada kegiatan-kegiatan manufaktur.

Kegiatan manufaktur dianggap sebagai kegiatan produktif non tempat

sentral. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak kota-kota besar

dan kota-kota lainnya sering kali mengalami perluasan dalam hal

lokasi manufaktur karena kota-kota yang bersangkutan merupakan

pasar tenaga kerja yang luas dan pada umumnya memberikan

keuntungan-keuntungan aglomerasi, dimana perusahaan-perusahaan

manufaktur lebih banyak melayani pasar nasional daripada pasar-

pasar regional. Model tempat sentral ternyata tidak berhasil

menjelaskan timbulnya kecendrungan yang kuat dalam masyarakat

mengenai pengelompokkan perusahaan-perusahaan karena pertim

bangan keuntungan-keuntungan aglomerasi dan ketergantungan.


38

2.4.3 Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)

Sebagaimana diketahui bahwa potensi dan kemampuan masing-masing

wilayah berbeda-beda satu sama lainnya, demikian pula masalah

pokok yang dihadapinya tidak sama. Sehingga usaha-usaha

pembangunan sektoral yang akan dilaksanakan harus

disinkronisasikan dengan usaha-usaha pembangunan regional.

Hirschman mengatakan bahwa untuk mencapai tingkat pendapatan yang

lebih tinggi, terdapat keharusan untuk membangun sebuah atau

beberapa buah pusat kekuatan ekonomi dalam wilayah suatu negara,

atau yang disebut sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth point

atau growth pole).

Terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep kutub

pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu

unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Pengaruh tersebut

semata adalah dominasi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata

ruang geografis dan dimensi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata

ruang geografis dan dimensi tata ruang (geographic space and space

dimension). Proses pertumbuhan adalah konsisten dengan teori tata

ruang ekonomi (economic space theory), dimanaindustri pendorong

(propulsive industries atau industries motrice) dianggap sebagai titik

awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan

selanjutnya. Nampaknya Perroux lebih menekankan pada aspek

pemusatan pertumbuhan (Adisasmita, 2005).


39

Hirschman berdalil bahwa pertumbuhan awalnya terbatas pada

wilayah-wilayah yang disukai, meskipun ketimpangan menyebar

berdasarkan letak geografis, meliputi terpencil dan pertumbuhan ini

terjadi melalui dampak hubungan dengan kutub-kutub pertumbuhan.

Teori kutub pertumbuhan menyajikan dua fungsi baik fungsi idiologi

maupun fungsi politik. Di dalam suatu arti idiologis dan pada suatu

tingkat teoritis yang tidak dapat diambil melalui pertanyaan-

pertanyaan sosial yang lebih mendalam. Teori kutub pertumbuhan

bersandar terhadap mekanisme harga sebagai faktor penengah dan

retribusi sumberdaya. Perroux menetapkan bahwa sektor-sektor

pertumbuhan didefinisikan dengan hubungan-hubungan ekonomi

dengan unit-unit lain di dalam ekonomi.

Asumsi Perroux adalah tujuan sosial dari perkembangan wilayah yang

dimanfaatkan oleh agen-agen yang ingin memperoleh keuntungan

pribadi. Mengikuti pendapat Perroux, Boudeville mendefenisikan kutub

pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat industri sedang

berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan

mendorong lebih lanjut perkembangan ekonomi melalui wilayah

pengaruhnya (localized development pole). Teori Boudeville dapat

dianggap sebagai pelengkap terhadap teori tempat sentral yang

diformulasikan oleh Chirstaller dan kemudian diperluas oleh Losch.

Boudeville mengemukakan aspek “kutub fungsional” dan memberikan

pula perhatian pada aspek geografis (Piche, 1982).


40

2.4.4 Teori Konvergen (Convergence Theory)

Bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya

prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan

tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Teori Konvergen dapat

terjadi jika negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan

pembangunan regional akan berkurang (Convergence). Dari pandangan

neo-klasik, ketimpangan wilayah dapat dihubungan dengan faktor

ketidaksempurnaan pasar dan sifat kelambanan proses pembangunan.

Menyamaratakan faktor harga antara wilayah dalam suatu wilayah

melalui integrasi akan meningkatkan faktor mobilitas sehingga dengan

demikian akan ada pencapaian keseimbangan atau pola pertumbuhan

wilayah konvergen. Hal tersebut juga ditanggapi rendahnya

pendapatan wilayah akan meningkatkan para pekerja melalui migrasi,

sehingga menarik investor dengan biaya pekerja yang rendah.

Teori konvergen akan terus berlanjut sampai para pekerja dan

penghasilan seimbang. Karena wilayah yang produktivitas dan

tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi kedepannya akan lebih

sulit menghitung hasil pengurangnya. Akibatnya, untuk dapat

menyeimbangkan perekonomian dapat dilakukan jika perekonomian

berada pada posisi yang lemah. Teori harga Factor Price Equalization

(FPE) sudah menjadi dasar pemikiran yang kuat dalam perdagangan

bebas internasional sejak Heckscher berpendapat bahwa pada kondisi

tertentu membuka perdagangan yang akan menyamakan hasil-

terhadap kesamaan faktor-faktor pada negara-negara lain, dan Ohlin


41

pada awal abad ini, dan disempurnakan oleh Paul Samuelson

menyempurnakan secara matematis.

Dalam analisa integrasi perekonomian dunia, beberapa ahli seperti

Porter dan Krugman mulai melihat pentingnya jarak geografis. Bertil

Ohlin membuat asumsi bahwa dua faktor produksi merupakan hal yang

penting di setiap negara, yang sebahagian faktor tersebut merupakan hal

yang tidak penting pada beberapa negara. Komoditas bergerak dengan

baik di perdagangan internasional, tanpa didukung pajak atau biaya

transportasi. Dari pandangannya, perdagangan bebas telah cukup

mampu menggantikan mobilitas internasional sehingga pergerakan

terhadap perdagangan bebas akan menyebabkan harga pada negara -

negara menjadi sama. Dan jika kedua negara melanjutkan untuk

menghasilkan barang-barang pada perdagangan bebas, faktor harganya

sebenarnya akan menjadi sama tanpa pergerakkan. Kesamaan faktor

harga ini (FPE) dibuktikan secara matematis oleh Samuelson. Teori

konvergen masih digunakan sebagai model dalam literatur teori

pertumbuhan, yang menyatakan bahwa liberalisasi dalam asas dasar

dapat meningkatkan proses konvergen melalui wilayah (Hwang, 1996).

2.4.5 Teori Divergen (Divergence theory)

Divergence terjadi pada saat modal dan tenaga kerja ahli cenderung

terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan

pembangunan regional cenderung melebar. Ketimpangan wilayah

yang tinggi menyebabkan pengangguran atau tingkat pendapatan


42

yang cenderung menurun pada sebahagian masyarakat. Untuk

mengatasi ini diperlukan campur tangan pemerintah untuk membuat

kebijakan yang akan mengurangi ketimpangan wilayah (Jeong, 1995).

Bila wilayah miskin mampu untuk menaikkan pendapatan per kapita

masyarakat secara terus menerus, maka ketimpangan wilayah dapat

dipersempit secara perlahan (Dapeng, 1998).

Ada tiga strategi dasar dimana para pembuat kebijakan bisa membantu

variasi basis ekonomi wilayah. Masing-masing strategi ini memiliki

tingkat risiko berbeda, antara lain:

a) jangkauan industri melibatkan perluasan hubungan ke depan dan

ke belakang untuk menambah rangkaian nilai wilayah;

b) pengaruh industri melibatkankan kolaborasi industri dengan sektor

perindustrian lain di mana ada kemungkinan besar sinergi bisnis

berdasarkan potensi pengembangan wilayah di wilayah yang

belum pernah di sentuh (white space); serta

c) jangkauan dan pengaruh industri melibatkan kombinasi satu

industri atau lebih dalam penambahan nilai dan pengembangan

wilayah yang belum pernah disentuh (white space development).

2.4.6 Pendapatan

Secara lengkap terdapat empat pelaku ekonomi yakni sektor rumah

tangga, sektor perusahaan (swasta), sektor pemerintah (publik), dan

sektor luar negeri (internasional). Untuk menggambarkan bagaimana

keempat pelaku ekonomi tersebut berinteraksi dalam perekonomian


43

dapat dilihat dalam diagram melingkar (circular flow diagram) David

Egg berikut ini:

Gambar 2.9 Sirkulasi Aliran Pendapatan dan Pengeluaran

Aliran tersebut menggambarkan aliran pendapatan dari sektor perusahaan

kearah sektor rumah tangga sebagai akibat dari penggunaan faktor-faktor

produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa. Aliran itu

meliputi (1) gaji dan upah, yang merupakan pendapatan tenaga kerja, (2)

sewa yang merupakan pendapatan dari tanah dan bangunan, (3) bunga,

yang merupakan pendapatan dari modal dan (4) keuntungan yang merupakan

pendapatan pemilik perusahaan.


44

Sebagian dari pendapatan ini tidak diterima oleh rumah tangga.

Keuntungan-keuntungan perusahaan harus membayar pajak keuntungan,

sedangkan pendapatan rumah tangga yang lain harus membayar pajak

perseorangan. Setelah dikurangi pajak, pendapatan rumah tangga akan

digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan pembelanjaan aatau

ditabung. Yang paling penting untuk membeli barang dan jasa untuk

memenuhi kebutuhannya. Sisa pendapatan rumah tangga, yaitu setelah

dikurangi pajak, pengeluaran untuk konsumsi dan pengeluaran untuk

membeli barang impor akan ditabung di lembaga keuangan, yang kemudian

lembaga keuangan akan meminjamkan dana yang didapat dari tabungan

rumah tangga kepada penanam modal.

Menurut Sukirno ( 2007 ) untuk menghitung nilai barang-barang dan jasa-jasa

yang diciptakan oleh sesuatu perekonomian tiga cara penghitungan dapat

digunakan, yaitu:

1. Cara pengeluaran. Dengan cara ini pendapatan nasional dihitung

dengan menjumlahkan nilai pengeluaran/perbelanjaan ke atas barang-

barang dan jasa yang diproduksikan di dalam negara tersebut.

2. Cara produksi atau produk neto. Dengan cara ini pendapatan nasional

dihitung dengan menjumlahkan nilai produksi barang dan jasa yang

diwujudkan oleh berbagai sektor (lapangan usaha) dalam perekonomian.

3. Cara pendapatan. Dalam penghitungan ini pendapatan nasional

diperoleh dengan cara menjumlahkan pendapatan yang diterima

oleh faktor-faktor produksi yang digunakan untuk mewujudkan

pendapatan nasional.
45

Di dalam penghitungan pendapatan nasional digunakan istilah pendapatan,

yang dimaksud adalah pendapatan pribadi dan pendapatan disposebel.

Pendapatan pribadi dapat diartikan sebagai semua jenis pendapatan,

termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apa

pun, yang diterima oleh penduduk sesuatu negara. Pendapatan disposebel

adalah pendapatan pribadi dikurangi oleh pajak yang harus dibayar oleh

para penerima pendapatan. Dengan demikian hakikatnya pendapatan

disposebel adalah pendapatan yang dapat digunakan oleh para penerimanya,

yaitu rumah tangga yang ada dalam perekonomian, untuk membeli barang-

barang dan jasa-jasa yang mereka ingini. Tetapi biasanya tidak semua

pendapatan disposebel itu digunakan untuk tujuan konsumsi, sebagian

darinya ditabung dan sebagian lainnya digunakan untuk membayar bunga,

untuk pinjaman yang digunakan untuk membeli barang-barang secara

menyicil.

Untuk memudahkan mengingat hubungan di antara (i) pendapatan disposebel

(Yd) dan pendapatan pribadi (Yp), dan (ii) pendapatan disposebel (Yd)

dengan konsumsi dan tabungan, di bawah ini dinyatakan formula (rumus)

dari hubungan tersebut :

(i) Y d = Yp - T

(ii) Yd = C + S

Pendapatan Nasional merupakan gabungan dari pendapatan wilayah - wilayah

yang ada dilingkup perekonomian naisional. Peningkatan perekonomian

wilayah berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi Nasional. Untuk itu


46

diperlukan pembangunan disetiap wilayah guna menunjang perekonomian

nasional.

Gambar 2.10 Tabungan dan investasi

Keadaan di pasaran modal pada mulanya adalah bersifat: keinginan untuk

melakukan investasi dan meminjam modal digambarkan oleh kurva I 0 dan

penawaran tabungan adalah S F. Maka pasaran modal akan seimbang apabila

investasi = I0 sama dengan suku bunga = r 0. Tabungan yang dilakukan oleh

rumah tangga adalah S 0=I0, dan pengeluaran rumah tangga adalah C0.

Pada keseimbangan ini pengeluaran agregat adalah: C0 + I0 dan nilainya

sama dengan YF (oleh karena YF = C0 + I0, sedangkan S0 = I0, maka YF =

C0 + S0 = C0 + I0). Dalam perekonomian dua sektor yang mencapai

keseimbangan berlaku keadaan: I = S.

2.4.7 Distribusi Pendapatan

Kemakmuran masyarakat tidak semata-mata hanya didasarkan pada tolok

ukur besarnya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita saja, namun

juga bagaimana pendapatan nasional itu didistribusikan, apakah

pendapatan nasional didistribusikan secara lebih merata ataukah timpang.


47

Distribusi pendapatan dianggap kurang adil jika sebagian besar output

nasional dikuasai oleh sebagian kecil penduduk.

Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia pada umumnya

menggunakan data BPS mengenai pengeluaran konsumsi rumah tangga dari

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran konsumsi

dipakai sebagai suatu pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi

pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini sebenarnya

mempunyai suatu kelemahan yang serius data pengeluaran konsumsi

bisa memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau

tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya.

Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dianggap sebagai salah satu

indikator perbaikan ekonomi tidak bisa mengukur tingkat kesejahteraan dan

distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu bisa

dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tergantung dari mana sumber-

sumber pertumbuhan itu berasal. Kesenjangan ekonomi atau

ketidakmerataan dalam distribusi pandapatan antara kelompok masyarakat

berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta

tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan

(poverty line) (Tambunan, 2001).

Keyakinan mengenai adanya efek menetes ke bawah (trickle down effects)

dalam proses pembangunan telah menjadi pijakan bagi sejumlah pengambil

kebijakan dalam pembangunannya. Dengan keyakinan tersebut maka strategi


48

pembangunan yang dilakukan akan lebih terfokus pada bagaimana mencapai

suatu laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang

relatif singkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, konsekuensi negatif yang

dapat muncul sebagai akibat jalan pintas yang diambil berdasarkan

pengalaman masa lalu adalah pusat pembangunan ekonomi nasional dan

daerah dimulai pada wilayah-wilayah yang telah memiliki infrastruktur

lebih memadai terutama Jawa. Selain itu pembangunan akan difokuskan

pada sektor-sektor yang secara potensial memiliki kemampuan besar dalam

mengasilkan nilai tambah yang tinggi terutama sektor industri dan jasa.

Diantara para pengeritik pola pembangunan ekonomi yang telah ditempuh

oleh kebanyakan Negara berkembang, termasuk Indonesia, terdapat banyak

orang yang beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu

dibarengi kenaikan dalam ketidakmerataan distribusi pendapatan atau

ketimpangan relatif. Dengan perkataan lain, para pengeritik ini, termasuk

banyak ekonom, beranggapan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang

pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade-off, yang membawa

implikasi bahwa pemerataan dalam distribusi pendapatan hanya dapat

dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya,

pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai kemerosotan dalam

distribusi pendapatan atau kenaikan dalam ketidakmerataan relatif.

Pertumbuhan versus distribusi pendapatan merupakan masalah yang menjadi

perhatian di negara-negara sedang berkembang (Arsyad, 2004). Banyak

negara sedang berkembang yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi


49

yang tinggi pada tahun 1960-an mulai menyadari bahwa pertumbuhan

yang tinggi hanya sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah

kemiskinan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi banyak dirasakan

orang tidak memberikan pada pemecahan masalah kemiskinan dan

ketidakmerataan distribusi pendapatan ketika tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi tersebut diiringi dengan meningkatnya tingkat

pengangguran dan pengangguran semu di daerah pedesaaan maupun

perkotaan. Distribusi pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok

miskin semakin senjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata telah

gagal untuk menghilangkan atau bahkan mengurangi luasnya kemiskinan

absolut di negara-negara sedang berkembang.

Data dekade 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan ekonomi dan

distribusi pendapatan di banyak negara sedang berkembang, terutama

negara-negara dengan proses pembangunan ekonomi yang pesat atau

dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia,

menunjukkan seakan -akan ada suatu korelasi positif antara laju

pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi (Tambunan, 2001). Semakin

tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin

besar perbedaan antara kaum miskin dengan kaum kaya. Studi Ahuja (1997)

mengenai negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan bahwa setelah

sempat turun dan stabil selama periode 1970-an dan 1980-an, pada saat

negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun

yang tinggi (Asian miracle), pada awal dekade 1990-an ketimpangan

distribusi pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali.


50

Menurut Sirojuzilam (2008) Pembangunan dilaksanakan secara umum

menyangkut beberapa aspek utama, mulai dari pembangunan di bidang

ekonomi, sosial, kelembagaan, dan aspek lingkungan. Akan tetapi

di dalam proses pencapaiannya akan selalu mengakibatkan terjadinya

ketimpangan. Hal ini sekaligus menolak pendapat kaum neoklasik yang

terlalu optimis menyatakan bahwa pada awal pembangunan memang akan

dijumpai ketidakseimbangan atau ketimpangan, akan tetapi pada akhirnya

akan dicapai suatu keseimbangan atau kemerataan. Pada prinsipnya ada

beberapa bentuk ketimpangan yang terjadi antara lain distribution income

disparities, urban rural income disparities, dan regional income disparities

Berbagai macam alat pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat

distribusi pendapatan penduduk. Diantara alat tersebut yang sangat

umum dipergunakan adalah Gini Indeks.

(1) Gini Indeks

Dimana:

Pi = % kumulatif jumlah penduduk

Qi = % kumulatif jumlah pendapatan

Gi = 0, Perfect Equality

Gi = 1, Perfect Inequality
51

(2) Kurva Lorenz

Kurva Lorenz secara umum sering dipergunakan untuk menggambarkan

bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan

masyarakat. Kurva Lorenz digambarkan pada sebuah bidang persegi

bujur sangkar dengan bantuan garis diagonalnya. Semakin dekat

kurva ini dengan diagonalnya, berarti ketimpangan yang terjadi

semakin rendah dan sebaliknya semakin melebar kurva ini menjauhi

diagonal berarti ketimpangan yang terjadi semakin tinggi. Bentuk

Kurva Lorenz biasanya digambarkan berdasarkan data yang diperoleh

setelah menghitung angka Gini atau seperti terlihat pada gambar berikut

ini:
52

(3) Kriteria Bank Dunia

Berdasarkan Kriteria Bank Dunia di dalam menentukan tingkat

ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk,

maka penduduk dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

a. 20% Penduduk pendapatan tinggi

b. 40% Penduduk pendapatan sedang

c. 40% Penduduk pendapatan rendah

dengan kriteria ketimpangan.

1. Tinggi, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan

nasional < 12%,

2. Sedang, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan

nasional 12%- 17%, dan

3. Rendah, 40% penduduk pendapatan rendah menerima pendapatan

nasional > 17%.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan menggunakan

Williamson Index dan ukuran ketimpangan lainnya. Selanjutnya

dilanjutkan pula dengan pembahasan tentang ketimpangan pembangunan

antar wilayah di Indonesia yang dilanjutkan dengan faktor-faktor utama yang

menentukan ketimpangan tersebut. Terakhir dilakukan pembahasan tentang

beberapa kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah

Daerah untuk penanggulangan ketimpangan pembangunan antar

wilayah tersebut (Sjafrizal, 2008).


53

Ketimpangan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemiskinan

merupakan permasalahan dalam pembangunan. Lewat pemahaman yang

mendalam akan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi dan

kemiskinan dapat memberikan dasar yang baik untuk menganalisis

masalah pembangunan yang lebih khusus agar permasalahan pembangunan

ini bisa dipecahkan dengan perencanaan pembangunan yang lebih baik

(Arsyad, 2004).

Ketimpangan pembangunan ekonomi dapat mengakibatkan konsekuensi

sosial dalam pembangunan itu sediri. Konsekuensi dari ketimpangan

pembangunan ekonomi adalah rendahnya mobilitas sosial dan dapat

menyebabkan kemiskinan (Colclough, 1990). Ketimpangan pembangunan

ekonomi dari waktu kewaktu telah banyak dianalisis secara empiris

dengan menggunakan pendekatan teori-teori yang ada (Harrison, 1984).

Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan

tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi

negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa

selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar

dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang

lebih “matang”, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya

keseimbangan antar daerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.


54

Ketimpangan pembangunan antar kecamatan dapat dianalisis dengan

menggunakan indeks ketimpangan regional (regional inequality) yang

dinamakan indeks ketimpangan Williamson (Sjafrizal, 1997):

Dimana:

IW = Indeks ketimpangan wilayah kecamatan

Yi = Pendapatan per kapita di kecamatan i

Y = Pendapatan per kapita rata-rata Kabupaten / Kota i

fi = jumlah penduduk di kecamatan i

n = jumlah penduduk Kabupaten / Kota i

Masalah ketimpangan ekonomi antar daerah tidak hanya tampak pada

wajah ketimpangan perekonomian Pulau Jawa melainkan juga antar

Kawasan Barat Indonesia (Kabarin) dan Kawasan Timur Indonesia

(Katimin). Berbagai program yang dikembangkan untuk menjembatani

ketimpangan antar daerah selama ini ternyata belum mencapai hasil yang

memadai. Alokasi penganggaran pembangunan sebagai instrumen untuk

mengurangi ketimpangan ekonomi tersebut tampaknya perlu lebih

diperhatikan di masa mendatang. Strategi alokasi anggaran itu harus

mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus

menjadi alat mengurangi kesenjangan/ketimpangan regional (Majidi, 1997).

Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal,

keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu
55

daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang

bersangkutan. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu

wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah

dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu,

Ardani (1992) mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar

daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu

tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.

Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah

yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash

effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects)

terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses

ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar

secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga

mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad,1999).

Menurut Kuncoro (2002), konsep entropi Theil dari distribusi pada dasarnya

merupakan aplikasi konsep teori informasi dalam mengukur ketimpangan

ekonomi dan konsentrasi industri. Studi empiris yang dilakukan Theil

dengan menggunakan indeks entropi menawarkan pandangan yang tajam

mengenai pendapatan regional per kapita dan kesenjangan pendapatan,

kesenjangan internasional, serta distribusi produk domestik bruto dunia.

Untuk mengukur ketimpangan pendapatan regional bruto provinsi, Ying

menggunakan indeks entropi Theil. Indeks entropi Theil tersebut dapat

dibagi/diurai menjadi dua subindikasi, yaitu ketimpangan regional dalam


56

wilayah dan ketimpangan regional antarwilayah atau regional (Ying, 2000).

Dengan menggunakan alat analisis indeks entropi Theil akan diketahui ada

tidaknya ketimpangan yang terjadi di kabupaten/kota. Rumus dari indeks

entropi Theil adalah sebagai berikut (Ying, 2000):

I(y) = Σ (yj / Y)x log [(yj / Y) / ( xj / X) ]

Di mana:

I(y) = indeks entropi Theil

yj = PDRB per kapita kecamatan j

Y = rata-rata PDRB per kapita Kabupaten / kota j

xj = jumlah penduduk kecamatan j

X = jumlah penduduk Kabupaten / Kota j

Indeks entropi Theil memungkinkan kita untuk membuat perbandingan

selama kurun waktu tertentu. Indeks ketimpangan entropi Theil juga

dapat menyediakan pengukuran ketimpangan secara rinci dalam subunit

geografis yang lebih kecil, yang pertama akan berguna untuk

menganalisis kecenderungan konsentrasi geografis selama periode tertentu;

sedang yang kedua juga penting ketika kita mengkaji gambaran yang lebih

rinci mengenai ketimpangan spasial. Sebagai contoh ketimpangan antar

daerah dalam suatu negara dan antar subunit daerah dalam suatu kawasan

(Kuncoro, 2002).

2.4.8 Penyebab Ketimpangan Pendapatan

Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor utama yang menyebabkan atau

memicu terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan GNP


57

per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan tingkat hidup

rakyat banyak. Bahkan pertumbuhan GNP per kapita di beberapa negara

sedang berkembang seperti Pakistan, India, Kenya, dan lain-lain telah

menimbulkan penurunan absolut dalam tingkat hidup orang miskin di

perkotaan dan pedesaan. Apa yang disebut dengan proses penetesan ke

bawah (trickle down effect) dari manfaat pertumbuhan ekonomi bagi orang

miskin tidak terjadi.

Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor

yang menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan di negaranegara

sedang berkembang, yaitu:

a. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya

pendapatan per kapita;

b. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara

proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;

c. Ketimpangan pembangunan antar daerah;

d. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal

(capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan

harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang

berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;

e. Rendahnya mobilitas sosial;

f. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang

mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk

melindungi usaha-usaha golongan kapitalis;


58

g. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang

berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai

akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor

negara-negara sedang berkembang; dan

h. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan,

industri rumah tangga, dan lain-lain.

Kecenderungan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi tidak saja terjadi di negara-negara sedang

berkembang saja, namun juga terjadi di negara-negara industri maju. Studi

dari Jantti (1997) dan Mule (1998) dalam Tambunan (2001) memperlihatkan

bahwa perkembangan ketimpangan pendapatan antara kaum kaya dan

kaum miskin di Swedia, Inggris, Amerika Serikat dan beberapa negara

lainnya di Eropa Barat menunjukkan suatu kecenderungan yang meningkat

selama dekade 1970-an dan 1980-an. Dari studi Jantti disimpulkan bahwa

semakin besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan di negara-

negara tersebut disebabkan oleh pergeseran pergeseran demografi,

perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan publik. Dalam

hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan pendapatan dari

kepala keluarga dan semakin besarnya andil pendapatan dari istri di dalam

jumlah pendapatan keluarga merupakan dua faktor penyebab penting.

Ekonomi aglomerasi atau ekonomi eksternal yang tercipta karena

terkonsentrasinya para produsen telah diterima luas sebagai salah satu

penyebab terciptanya kota. Eksternalitas dalam spasial dalam arti berkaitan


59

dengan kedekatan (proximity) antar perusahaan, dimana perusahaan

menerima keuntungan eksternal (external benefits) dengan berlokasi saling

berdekatan satu dengan yang lain.

Weber adalah salah seorang yang pertama-tama mengajukan pertanyaan

mengapa pabrik-pabrik cenderung berlokasi saling berdekatan. Menurut

Weber, ekonomi aglomerasi (deglomerasi) menentukan apakah industri

terkonsentrasi di suatu tempat atau tersebar di lebih dari satu tempat. Karena

itu, ekonomi aglomerasi disebabkan oleh faktor-faktor aglomerasi yang

unik, bukan hanya karena orientasi lokasi seperti orientasi tenaga kerja

(labor orientation) dan transportasi (transport orientation).

Hoover mengkritik teori aglomerasi Weber sebagai tidak membedakan tiga

kekuatan (forces) yang mempengaruhi biaya produksi (production costs),

yaitu (i) ekonomi skala besar (large-scale economies), suatu skala ekonomi

internal terhadap perusahaan pada suatu lokasi tertentu (Mills, Dixit) (ii)

ekonomi lokalisasi (localizatio economies), eksternal terhadap perusahaan

pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap industri (Henderson;

Ogawa dan Fujita; dan Fujita dan Ogawa) (iii) ekonomi urbanisasi

(urbanization economies), eksternal terhadap industri pada suatu lokasi

tertentu tetapi internal terhadap kawasan perkotaan (Arnott, Kanemoto, dan

Upton).

Sebagian besar model ukuran kota (city size) yang menjelaskan keberadaan

ekonomi aglomerasi mendasarkan analisa mereka pada alokasi pertanian


60

(agricultural allocation theory) dari von Thunen. Dalam modelnya, von

Thunen memperlihatkan kota besar tunggal (a single large city) di tengah-

tengah suatu dataran yang subur. Produk-produk tertentu yang biaya

transportasi paling tinggi diproduksi berlokasi paling dekat dengan kota

dengan tujuan mengurangi biaya transportasi. Terdapat hubungan terbalik

(inverse) antara sewa tanah (land rent) dan biaya transportasi, semakin jauh

jarak suatu lokasi dari kota semakin rendah tingkat sewa tanah.

Keberlakuan hubungan ini dengan mudah diubah menjadi zona

konsentris (concentric zone) dari teori sewa-perkotaan (urban-rent theory).

Caranya adalah dengan mengubah pusat kota di tengah-tengah dataran

menjadi distrik pusat bisnis (central business district/CDB). Untuk

selanjutnya distrik pusat bisnis akan kita sebut sebagai DPB. Lokasi DPB

berada tepat di tengah kota dikelilingi oleh daerah pinggiran kota suburbs)

dimana para konsumen dan pekerja tinggal. Semua kegiatan produksi

berlokasi di DPB.

Dua karya utama dalam ekonomi skala besar adalah makalah-makalah yang

ditulis berturut-turut oleh Mills dan Dixit. Mills mengasumsikan suatu kota

berpusattunggal (monocentric) dengan tiga jenis produksi: barang,

transportasi, dan perumahan. Mills selanjutnya menganggap adanya

skala hasil yang meningkat (increasing returns to scale), karena itu

produsen barang bersifat monopoli. Mills memperlihatkan secara analitis

bahwa semakin besar tingkat peningkatan hasil (increasing returns)

dalam produksi barang, semakin tidak elastis (in elastic) permintaan

terhadap barang tersebut. Persyaratan ini diperlukan bagi produsen agar


61

dapat membayar nilai produk marginal (value of marginal product) dari

faktor-faktor produksi (inputs).

Model struktur kota yang bersifat lebih umum dikembangkan oleh Dixit.

Tema utama dari karya Dixit adalah ukuran kota optimum (optimum city

size) yang ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi

(economies of scale in production) dan disekonomi (diseconomies)

transportasi disebabkan oleh kemacetan lalulintas (congestion). Dixit

membuat asumsi bahwa hanya terdapat satu perusahaan yang memproduksi

komoditi tunggal dan skala hasil yang meningkat. Seperti model yang

dikembangkan oleh Mills, model yang dikembangkan oleh Mills, Dixit

beramsusi produsen barang adalah monopoli beralokasi di PDB. Namun

dibandingkan dengan model Mills, model yang dikembangkan oleh Dixit

bersifat umum. Dixit mengintegrasikan manfaat sebagai fungsi dari

barang industri dan perumahan (tanah). Model Dixit memperlihatkan

analitis bahwa tingkat skala peningkatan (degree of increasing returns)

sama dengan rasio sewa tanah terhadap nilai output.

Sekalipun model Dixit memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita

mengenai ekonomi aglomerasi dalam suatu rangka yang lebih umum, namun

kritik keras terhadap model ini adalah pemberlakuan skala ekonomi dalam

sistem monopoli dianggap terlalu sederhana. Skala peningkatan internal

(internal returns to scale) bagi produsen yang memiliki kekuatan monopoli

susah untuk diterima sebagai penyebab ekonomi aglomerasi. Model ini

tidak memberikan banyak penjelasan terhadap keadaan kota modern


62

sebenarnya. Fenomena suatu kota modern adalah terdapat banyak

produsen dan terjadi perdagangan antarkota, keadaan ini jauh berbeda dari

keadaan pasar monopoli. Kritik ini juga berlaku pada model yang

dikembangkan oleh Mills.

Ketidakpuasan terhadap proposisi bahwa ekonomi skala besar merupakan

penentu konsentrasi industri di daerah perkotaan besar mengarah pada

usaha-usaha untuk mengembangkan model teoritis yang dapat menjelaskan

keberadaan ekonomi lokalisasi. Ekonomi aglomerasi dalam pengertian

ekonomi lokalisasi dianalisa, antara lain, oleh Henderson. Ciri utama dari

model Henderson adalah mengasumsikan terdapat banyak perusahaan

kecil di daerah perkotaan yang masing-masing memandang dirinya

berhadapan dengan teknologi berskala hasil yang konstan (constant

returns to scale), sementara itu industri secara keseluruhan memperoleh

peningkatan hasil (increasing returns) yaitu skala ekonomi bersifat eksternal

terhadap perusahaan. Kita dapat menyebut jenis eksternalitas seperti ini

sebagai skala ekonomi ala Chipman, karena Chipman yang mengusulkan

pendekatan ini. Karena itu, produk marginal tenaga kerja pribadi (private

marginal product of labor) dalam industri berbeda dengan produk

marginal sosial (social marginal product). Keadaan ini mempertahankan

keberlakuan habisnya (exhaustion) penerimaan perusahaan untuk

pembayaran faktor-faktor produksi atau penerimaan sama dengan

pengeluaran.
63

Pasar dicirikan oleh persaingan sempurna karena setiap perusahaan yang ikut

serta dalam persaingan (entering) diuntungkan oleh eksternalitas skala

ekonomi industri. Henderson mengintegrasikan faktor eksternalitas pada

peubah (variable) output dari fungsi produksi, karena itu kita anggap model

Henderson memperlihatkan ekonomi lokalisasi (Juoro, 1989).

Pendapatan merupakan salah satu variabel yang menentukan

pengembangan wilayah. Dalam proses pembangunan wilayah terjadi

ketimpangan pendapatan (Nishiola 1994).

Menurut Kim dkk (2003) ketimpangan pendapatan dapat dipengaruhi oleh

empat variabel yaitu pendidikan, kesempatan kerja, infrastruktur dan

jaringan informasi. Menurut Song dkk (2000) terdapat lima variabel yang

menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan pendapatan

yaitu investasi, infrastruktur, modal manusia, jumlah penduduk dan letak

geografis. Menurut hasil penelitian Rahman (2002) ketimpangan

pendapatan dapat dipengaruhi oleh skill dan penggunaan teknologi dalam

proses produksi. Menurut Wilder dkk. (1999) perbedaan tingkat pendidikan

dan budaya masyarakat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

ketimpangan pendapatan, sedangkan hasil penelitian Ding (2002)

pendapatan yang didekati dengan pengeluaran per kapita akan memberikan

petunjuk aspek pemerataan pendapatan yang telah tercapai. Walaupun

hal ini tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya namun

paling tidak memberikan petunjuk untuk melihat arah dari perkembangan

yang terjadi. Selama ini untuk mendapatkan informasi mengenai


64

pendapatan sebenarnya menemui bermacam kendala diantaranya: tidak

terus terangnya responden memberikan informasi yang sebenarnya, ada

yang membesarkan ada pula yang mengecilkan. Selain itu terkadang menjadi

tidak etis pada sebagian orang untuk meminta informasi mengenai

pendapatan yang sebenarnya.

Sulitnya mendapatkan tingkat pendapatan yang sebenarnya menjadi alasan

penggunaan pendekatan pengeluaran untuk mengetahui distribusi

pendapatan masyarakat. Dalam realitanya tingkat pengeluaran akan

berbanding lurus dengan tingkat pendapatan. Semakin besar pendapatan

masyarakat maka akan semakin besar tingkat pengeluaran. Asumsi ini

menjadi acuan dalam kajian untuk mengukur distribusi pendapatan

masyarakat.

Sementara itu penelitian yang menyangkut pengukuran ketimpangan

distribusi pendapatan yang terjadi di daerah di Indonesia antara lain di Kutai

Kartanegara oleh BPS (2005) yang menemukan koefisien Gini sebesar

0,31. Koefisien Gini ini mengindikasikan ketimpangan distribusi yang

cukup rendah. Hal ini didukung dengan keberhasilan kebijakan dalam

menurunkan kemiskinan di kabupaten tersebut. Penelitian lain khususnya di

Kabupaten Banyumas pernah dilakukan oleh Suroso dkk (2005) yang

menemukan ketimpangan distribusi pendapatan di Banyumas tahun 2005

dengan koefisien Ginisebesar 0,432. Koefisien Gini tersebut

mengindikasikan ketimpangan pendapatan yang cukup besar. Hasil ini juga

menunjukkan kecenderungan yang meningkat dibanding keadaan


65

sebelumnya. Dibandingkan dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, maka

Kabupaten Banyumas yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan

pendapatan per kapita lebih rendah menujukkan ketimpangan distribusi

pendapatan yang relatif tinggi.

Pendapatan masyarakat yang merata, sebagai suatu sasaran merupakan

masalah yang sulit dicapai, namun berkurangnya kesenjangan adalah salah

satu tolok ukur keberhasilan pembangunan. Indikator yang cukup baik untuk

mengukur tingkat pemerataan pendapatan masyarakat adalah distribusi

pendapatan masyarakat diantara golongan penduduk (golongan pendapatan).

Pendapatan masyarakat sangat tergantung dari lapangan usaha, pangkat dan

jabatan pekerjaan, tingkat pendidikan umum, produktivitas, prospek usaha,

permodalan dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab perbedaan

tingkat pendapatan penduduk. Indikator distribusi menanggapi tentang

kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi ketimpangan. Shangkar dan

Shah (2003) kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan alokasi dana

pembangunan yang tidak berimbangan dapat menyebabkan ketimpangan

pendapatan. Menurut Mukhopadhaya (2003) menyatakan bahwa kebijakan

pemerintah terhadap kaum imigran dapat menyebabkan terjadi ketimpangan

pendapatan di masyarakat.

Sejumlah studi empirik berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor

penyebab ketimpangan distribusi pendapatan dari berbagai tinjauan.

Beberapa studi menyampaikan beberapa variabel makro-ekonomi

berpengaruh terhadap distribusi pendapatan seperti inflasi dan pengangguran


66

menurut studi Mocan (1999) dan Blejer dan Guererro (1990).

Anda mungkin juga menyukai