Berdasarkan
dimensi
pendekatan
dan
koordinasi,
perencanaan
pembangunan terdiri dari (a) perencanaan makro; (b) perencanaan sektoral; (c) perencanaan
ragional, dan (d) perencanaan mikro.
Perencanaan pembanguna makro adalah perencanaan pembangunan nasional dalam
skala makro atau menyeluruh. Perencanaan sektoral adalah perencanaan yang dilakukan
dengan pendekatan sektor, yaitu kumpulan dari kegiatan atau program yang mempunyai
persamaan karakteristik serta tujuan. Perencanaan dengan dimensi pendekatan regional
menitikberatkan pada aspek lokasi di mana kegiatan dilakukan. Perencanaan mikro adalah
perencanaan skala terinci dalam perencanaan tahunan, yaitu penjabaran rencana makro,
sektoral maupun regional ke dalam susunan proyek dan kegiatan dengan berbagai dokumen
perencanaan serta penganggarannya.
Fungsi Perencanaan
Fungsi perencanaan adalah kegiatan menetapkan tujuan organisasi dan diikuti dengan
pembuatan berbagai rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan tersebut.
Secara singkat, berdarkan rangkuman dari berbagai pustaka (seperti Bryson, 1988; Bryson
dan Einsweiler, 1988; Gordon, 1993; djunaedi, 1955), perencanaan strategi untuk sektor
publik dapat dilustrasikan sebagai berikut.
RENCANA STRATEGIK
Memuat Visi, Misi, Isu-isu strtegis, dan strategi
RENCANA OPERASIONAL
Memuat Program dan Proyek/Rencana Tindakan
TINDAKAN/AKSI
Ada dua jenis rencana, yaitu: (1) Rencana strategic yang disusun untuk mencapai tujuan
umum organisasi, yaitu pelaksanaan misi organisasi, dan (2) rencana operasional yang
merupakan rincian tentang bagaiamana rencana strategic dilaksanakan.
Sistem perencanaan mencakup lima pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan,
yaitu:
1) Politik;
2) Teknokratik;
3) Partisipatif;
4) Atas-bawah (top-down);
5) Bawah-atas (bottom-up).
Perencanaan menurut pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan
metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja. Perencanaan menurut
pendekatan partisipatif dilaksankan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka ditujukan untuk mendapatkan
aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas
dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang yang ada di dalam organisasi. Rencana
yang berasal dari proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang
dilaksanakan baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, maupun Desa.
Perncanaan pembangunan terdiri dari empat tahapan yakni:
1) Penyusunan rencana;
2) Penetapan rencana;
3) Pengendalian pelaksana rencana;
4) Evaluasi pelasanaan rencana.
Pengendalian atas pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk menjamin
tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam dokumen perencanaan
melalui kegiatan koreksi dan penyesuaian. Hal ini dilakukan oleh pimpinan unit organisasi
selama pelaksanaan rencana tersebut. Selanjutnya, pimpinan unit perencanaan menghimpun
dan menganalisis hasil pemantauan atas pelaksaan rencana pembangunan dari masing-masing
pimpinan unit kerja organisasi sesuai tugas dan kewenangannya.
Evaluasi pelaksaan rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan
yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi untuk menilai
pencapaian sasaran, tujuan, dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan
indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan.
3
Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result),
manfaat (benefit), dan dampak (impact).
SIKLUS PERENCANAAN PUBLIK
Dalam mencapai perencanaan yang efektif ada banyak hal yang sering menjadi
halangan seperti:
o Kegagalan manajemen dalam memahami sistem yang diterapkan di sekitar area
organisasi.
o Kurangnya dukungan manajemen terhadap sistem perencanaan, pimpinan kurang
mendukung dan berperan serta dalam segala kegiatan.
o Kegagalan memahami peran penting perencanaan dalam proses manajemen.
Silkus Perencanaan Publik
Evaluasi hasil pelaksanaan tahun lalu dan penetapan prosedur perencanaan
Survei melalui Pos (Mailed Surveys): survei ini murah, tidak memerlukan pelatihan
atau perekrutan pewawancara mengizinkan subjek merespons dengan sesuka hatinya,
dan menyediakan subjek waktu untuk menjawab secara rinci setiap pertanyaan yang
mungkin memerlukan ketelitian (misalnya, berapa pembayaran hipotk per bulan untuk
pajak property?).
2.
Survei melalui Telepon (Telephone Survei): survey melalui telepon dapat dilakukan
dengan cepat, lebih murah ketimbang survei kepada perorangan, dan menghindari
bias yang disebabkan oleh penerimaan responden.
5
3.
Survei per Orang (In-Person Surveys): survei ini akan berjalan baik dengan kuesioner
yang panjang/banyak, mampu mendapatkan populasi yag sangat sulit dijangkau, dan
merekam respons responden secara visual.
Visionering
Visionering adalah teknik partisipasi publik yang digunkan untuk membangun cita-cita
dan tujuan organisasi yang sering didasari pada tema dalam literature visionering. Tema ini
kemudian disusun ke dalam pernyataan visi yang lebih berfokus pada image masyarakat di
masa yang akan dating. Visionering dugunakan pada awal proses perencanaan. Sampel pada
masyarakat dipilih dengan diatur secara informal. Akan ditunjuk seorang pemimpin
kelompok untuk mengarahkan diskusi. Perkiraan dan ilustrasi sering digunakan untuk
menunjukkan konsekuensi dari pilihan kelompok.
Brainstorming
Teknik brainstorming klasik dapat digunakan untuk memformulasikan maksud dan
tujuan,
mengidentifikasi
isu,
mengembangkan
strategi,
memilih
alternative,
dan
menyelesaikan konflik. Teknik ini secara garis besar berjalan sebagai berikut:
a. Pertanyaan dibuat dan diajukan kepada kelompok.
b. Masing-masing anggota kelompok menuliskan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
c. Masing-masing anggota kelompok membaca jawabannya. Pengulangan jawaban
diperbolehkan namun diskusi tidak diperkenankan dalam hal ini.
d. Masing-masing anggota kelompok mendiskusikan jawaban kelompok secara bergiliran.
e. Jawaban kelompok dihasilkan.
Teknik brainstorming secara klasik menempatkan masing-masing anggota kelompok
pada tingkatan yang sama/sederajat. Hal ini mencegah adanya dominasi pada salah satu
peserta dalam menentukan hasil.
(2) Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik fakta maupun nilai.
Untuk menyatakan bahwa kinerja kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat
kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan
7
berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat untuk menyatakan
demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual
merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah
tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
(3) Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutantuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa
depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post).
Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat
sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).
(4) Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda,
karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan
rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dapat
dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan
karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain), nilai-nilai sering ditata di
dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan
antar tujuan dan sasaran.
b. Fungsi Evaluasi
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.
Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat
dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan
kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi
mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu (misalnya, perbaikan kesehatan)
dan target tertentu (sebagai contoh, 20 persen pengurangan penyakit kronis pada tahun
1990) telah dicapai.
Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai
yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan
dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara
sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju.
Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analisis dapat menguji alternatif
sumber nilai (misalnya, kelompok kepentingan dan pegawai negeri, kelompok-
kelompok klien) maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis,
ekonomi, legal, sosial, substantif).
yaitu aktivitas-aktivitas
tersebut terutama ditekankan pada produksi tuntutan designatif (faktual) ketimbang tuntutan
evaluatif. Mengingat kurang jelasnya arti evaluasi di dalam analisis kebijakan, menjadi
sangat penting untuk membedakan beberapa pendekatan dalam evaluasi kebijakan : evaluasi
semu, evaluasi formal, dan evaluasi teoritis keputusan.
a. Evaluasi Semu
Evaluasi Semu (Pseudo Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metodemetode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai
9
hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil
tersebut terhadap individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan. Asumsi utama
dari evaluasi semu adalah bahwa ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang
dapat terbukti sendiri (self evident) atau tidak kontroversial. Dalam evaluasi-semu analisis
secara khusus menerapkan bermacam-macam metode (rancangan eksperimental-semu,
kuisioner, random sampling, teknik statistik) untuk menjelaskan variasi hasil kebijakan
sebagai produk dari variabel masukan dan proses. Namun setiap hasil kebijakan yang ada
(misalnya, jumlah lulusan pelatihan yang diperkerjakan, unit-unit pelayanan medis yang
diberikan, keuntungan pendapatan bersih yang dihasilkan) diterima begitu saja sebagai tujuan
yang tepat. Bentuk-bentuk utama dari evaluasi semu mencakup berbagai pendekatan untuk
pemantauan : eksperimentasi sosial, akutansi sistem sosial, pemeriksanaan sosial, dan sistesis
penelitian dan praktik.
b. Evaluasi Formal
Evaluasi Formal (Formal Evaluation) merupakan pendekatan yang menggunakan
metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai
hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan
yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program.
Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal
adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program. Dalam
evaluasi formal analisis menggunakan berbagai macam metode yang sama seperti yang
dipakai dalam evaluasi semu dan tujuannya adalah identik : untuk menghasilkan informasi
yang valid dan dapat dipercaya mengenai variasi-variasi hasil kebijakan dan dampak yang
dapat dilacak dari masukan dan proses kebijakan. Meskipun demikian perbedaannya adalah
bahwa evaluasi formal menggunakan undang-undang dokumen-dokumen program, dan
wawancara dengan pembuat kebijakan dan administrator untuk mengidentifikasikan,
mendefinisikan dan menspesifikasikan tujuan dan target kebijakan. Kelayakan dari tujuan dan
target yang diumumkan secara formal tersebut tidak ditanyakan. Dalam evaluasi formal tipetipe kriteria evaluatif yang paling sering digunakan adalah efektifitas dan efisiensi. Salah satu
tipe utama evaluasi formal adalah evaluasi sumatif yang meliputi usaha untuk memantau
pencapaian tujuan dan target formal setelah suatu kebijakan atau progam diterapkan untuk
jangka waktu tertentu. Evaluasi sumatif diciptakan untuk menilai produk-produk kebijakan
dan program publik yang stabil dan mantap. Sebaliknya, evaluasi formatif meliputi usahausaha untuk secara terus menerus memantau pencapaian tujuan-tujuan dan target formal.
10
Perbedaan antara evaluasi sumatif dan formatif tidak seharusnya dilebih-lebihkan meskipun
demikian karena perbedaan utama dari karakteristik evaluasi formatif adalah jumlah titik
waktu di mana hasil kebijakan dipantau. Karena itu, perbedaa antara evaluasi sumatif dan
formatif adalah persoalan derajat. Evaluasi formal dapat bersifat sumatif dan formatif, tetapi
mereka juga dapat meliputi kontrol langsung atau tidak langsung terhadap masukan kebijakan
dan proses-proses. Dalam kasus pertama, evaluator dapat memanipulasi secara langsung
tingkat pengeluaran, campuran program, atau karakteristik kelompok sasaran.
Artinya evaluasi dapat mempunyai satu atau lebih karakteristik eksperimentasi sosial
sebagai pendekatan terhadap pemantauan. Dalam kasus kontrol yang bersifat tidak langsung,
masukan dan proses kebijakan tidak dapat secara langsung dimanipulasi. Sebaliknya
masukan dan proses tersebut harus dianalisis secara retrospektif berdasarkan pada aksi-aksi
yang telah dilakukan. Empat tipe evaluasi formal masing-masing didasarkan pada orientasi
yang berbeda terhadap proses kebijakan (sumatif lawan formatif) dan tipe kontrol terhadap
aksi (langsung lawan tidak langsung).
Variasi Evaluasi Formal
perkembangan, karena bersifat formatif dan meliputi kontrol secara langsung, dapat
digunakan untuk mengadaptasi secara langsung pengalaman baru yang diperoleh
melalui manipulasi yang sistematis terhadap variabel masukan dan proses.
pelayanan
alternatif).
Sebaliknya
evaluasi
proses
retrospektif
lebih
Evaluasi hasil retrospektif juga meliputi pemantauan dan evaluasi hasil tetapi tidak
disertai dengan control langsung terhadap masukan-masukan dan proses kebijakan yang
dapat dimanipulasi. Paling jauh adalah control secara tidak langsung atau kontrol statistik
yaitu, evaluator berusaha mengisolasi pengaruh dari banyak factor lainnya dengan
menggunakan metode kuantitatif. Pada umumnya, terdapat dua varian utama evaluasi
proses retrospektif studi lintas seksional dan studi longitudinal. Studi longitudinal adalah
studi yang mengevaluasi perubahan hasil dari satu, beberapa, atau banyak program pada
dua atau lebih titik waktu. Banyak studi longitudinal telah dilaksanakan di bidang
keluarga berencana, di mana tingkat fertilitas dan perubahan dalam penerimaan alat-alat
kontrasepsi dipantau dan dievaluasi selama kurun waktu yang cukup panjang (5 sampai
20 tahun). Sebaliknya, Studi lintas sektoral berusaha untuk memantau dan mengevaluasi
berbagai program pada satu titik waktu tertentu. Tujuan studi lintas sektoral adalah
menemukan apakah hasil dan dampak berbagai macam program berbeda secara
signifikan satu sama lain; dan jika berbeda, tindakan apa, kondisi awal apa atau kejadiankejadian apa yang dapat menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut.
keputusan di satu sisi, dan evaluasi semu dan evaluasi formal di sisi lainnya, adalah bahwa
evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan
target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau yang dinyatakan. Ini berarti bahwa
tujuan dan target para pembuat kebijakan dan administrator merupakan salah satu sumber
nilai, karena semua pihak yang mempunyai andil dalam memformulasikan dan
mengimplementasikan kebijakan (sebagai contoh, staf tingkat menengah dan bawah, pegawai
pada badan-badan lainnya, kelompok klien) dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan target
di mana kinerja nantinya akan diukur. Evaluasi keputusan teoritis merupakan cara untuk
mengatasi beberapa kekurangan dari evaluasi semu dan evaluasi formal :
(1) Kurang dan tidak dimanfaatkannya informasi kinerja. Sebagian besar informasi yang
dihasilkan melalui evaluasi kurang digunakan atau tidak pernah digunakan untuk
memperbaiki pembuatan kebijakan. Untuk sebagian, hal ini karena evaluasi tidak cukup
responsif terhadap tujuan dan target dari pihak-pihak yang mempunyai andil dalam
perumusan dan implementasi kebijakan dan program.
(2) Ambiguitas kinerja tujuan. Banyak tujuan dan program publik yang kabur. Ini berarti
bahwa tujuan umum yang sama misalnya untuk meningkatkan kesehatan dan mendorong
konservasi energi yang lebih baik dapat menghasilkan tujuan spesifik yang saling
bertentangan satu terhadap lainnya. Ini dapat terjadi jika diingat bahwa tujuan yang sama
(misalnya, perbaikan kesehatan) dapat dioperasionalkan ke dalam paling sedikit enam
macam kriteria evaluasi : efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan, responsivitas dan
kelayakan. Salah satu tujuan dari evaluasi keputusan teoritis adalah untuk mengurangi
kekaburan tujuan dan menciptakan konflik antar tujuan spesifik atau target.
(3) Tujuan-tujuan yang saling bertentangan. Tujuan dan target kebijakan dan programprogram publik tidak dapat secara memuaskan diciptakan dengan memusatkan pada
nilai-nilai salah satu atau beberapa pihak (misalnya kongres, kelompk klien yang
diminan atau kepala administrator). Dalam kenyataan, berbagai pelaku kebijakan dengan
tujuan dan target yang saling berlawanan nampak dalam hampir semua kondisi/situasi
yang memerlukan evaluasi. Evaluasi keputusan-teoritis berusaha untuk mengidentifikasi
berbagai pelaku kebijakan ini dan menampakkan tujuan-tujuan mereka.
Salah satu tujuan utama dari evaluasi teoritis keputusan adalah untuk menghubungkan
informasi mengenaihasil-hasil kebijakan dengan nilai-nilai dari berbagai pelaku
kebijakan.
14
Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari pelaku
kebijakan baik yang dinyatakan secara formal maupun secara tersembunyi merupakan
ukuran yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program.
Dua bentuk utama dari evaluasi teoritis kebijakan adalah penaksiran evaluabilitas dan
15