Anda di halaman 1dari 111

Laporan Pendahuluan

4
PENYUSUNAN MATERI TEKNIS RENCANA DETAIL
TATA RUANG (RDTR) DAN PERATURAN ZONASI (PZ)
KAWASAN PERKOTAAN
IBUKOTA KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

BAB
PENDEKATAN DAN
METODOLOGI

4.1 Pendekatan
4.1.1 Comprehensive Planning
Berkaitan dengan jangka waktu perencanaan selama 20 tahun, maka pendekatan
perencanaan yang digunakan adalah pendekatan rasional menyeluruh.
Pendekatan rasional menyeluruh atau rational comprehensive approach, yang
secara konseptual dan analitis mencakup pertimbangan perencanaan yang luas,
dimana dalam pertimbangan luas tersebut tercakup berbagai unsur atau
subsistem yang membentuk sistem secara menyeluruh. Meyerson Banfield
mengidentifikasi terdapat 4 ciri utama pendekatan perencanaan rasional
menyeluruh, yaitu:
 Dilandasi oleh suatu kebijakan umum yang merumuskan tujuan yang ingin
dicapai sebagai suatu kesatuan yang utuh.
 Didasari oleh seperangkat spesifikasi tujuan yang lengkap, menyeluruh, dan
terpadu.
 Peramalan yang tepat serta ditunjang oleh sistem informasi (masukan data)
yang lengkap, andal, dan rinci.
 Peramalan yang diarahkan pada tujuan jangka panjang.
Namun demikian, pendekatan ini ternyata banyak dikritik karena dianggap
memiliki kelemahan-kelemahan seperti produk yang dihasilkan dirasakan kurang
memberikan informasi dan arahan yang relevan bagi stakeholders, cakupan
seluruh unsur dirasakan sukar direalisasikan, dukungan sistem informasi yang
lengkap dan andal biasanya membutuhkan dana dan waktu yang cukup besar,
serta umumnya sistem koordinasi kelembagaan belum mapan dalam rangka
pelaksanaan pembangunan dengan pendekatan yang rasional menyeluruh.

Halaman IV | 1
4.1.2 Pelibatan Pelaku Pembangunan
Penyusunan rencana tata ruang tidak terlepas dari keterlibatan masyarakat
sebagai pemanfaat ruang (pelaksana rencana tata ruang) dan sebagai pihak yang
terkena dampak positif maupun negatif dari perencanaan ruang itu sendiri. Oleh
karena itu dalam penyusunan rencana ini digunakan pendekatan partisipasi
masyarakat (stakeholder approach) untuk mengikut sertakan masyarakat di
dalam proses penyusunan rencana tata ruang melalui forum diskusi pelaku
pembangunan. Konsultan dalam hal ini berusaha untuk melibatkan secara aktif
pelaku pembangunan yang ada dalam setiap tahapan perencanaan. Di dalam
penyusunan rencana ini masyarakat tidak hanya dilihat sebagai pelaku
pembangunan (stakeholder) tetapi juga sebagai pemilik dari pembangunan
(stakeholder). Keterlibatan masyarakat sebagai stakeholder dimaksudkan untuk
mengurangi ketergantungan wilayah terhadap investor dari luar wilayah, tetapi
yang diharapkan adalah kerjasama antara investor dengan masyarakat sebagai
pemilik lahan di wilayah tersebut. Dengan posisi sebagai stakeholder diharapkan
masyarakat akan benar-benar memiliki pembangunan di wilayahnya, dapat
bersaing dengan penduduk pendatang dan dengan demikian masyarakat lokal
tidak tergusur dari wilayahnya.

Gambar 4.1. Keterlibatan Pelaku Pembangunan Dalam Penyusunan Rencana

4.1.3 Sustainable Development


Definisi dasar dari “Sustainable Development” yang dikemukakan oleh komisi
Brundlandt adalah pembangunan untuk memenuhi keperluan hidup manusia kini
dengan tanpa mengabaikan keperluan hidup manusia masa datang. Pengertian
awal ini dikembangkan oleh UNEP menjadi "memperbaiki kualitas kehidupan
manusia dengan tetap memelihara kemampuan daya dukung sumber daya alam
dan lingkungan hidup dari ekosistem yang menopangnya."

Halaman IV | 2
Suatu pendapat mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan
kemajuan yang dihasilkan dari interaksi aspek lingkungan hidup, dimensi
ekonomi dan aspek sosial politik sedemikian rupa masing-masing terhadap pola
perubahan yang terjadi pada kegiatan manusia (produksi, konsumsi, dan
sebagainya) dapat menjamin kehidupan manusia yang hidup pada masa kini dan
masa mendatang dan disertai akses pembangunan sosial ekonomi tanpa
melampaui batas ambang lingkungan (WCED, 1987). Perlu digaris bawahi bahwa
pengertian keberlanjutan tidak dapat didefinisikan secara mutlak maupun
mengikuti pendekatan atau ukuran pemahaman tertentu, demikian pula dengan
keberlanjutan kebijakannya.
Untuk menjamin berkelanjutannya pembangunan ekonomi dan sosial budaya,
ekosistem terpadu (integrated ecosystem) yang menopangnya harus tetap
terjaga dengan baik. Karena itu aspek lingkungan perlu diinternalisasikan ke
dalam pembangunan ekonomi. Secara sosial, ekosistem ini harus terjaga hingga
generasi yang akan datang (inter-generasi) sebagai sumber daya alam
pendukungnya, terutama menghadapi tantangan pertumbuhan penduduk tinggi
yang memacu produksi dan konsumsi. Sementara intra-generasi, pembangunan
ekonomi tidak membuat kesenjangan dalam masyarakat, terjadinya pemerataan
dan kestabilan.
Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga matra berikut ini:
1. Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan fakta bahwa
lingkungan hidup dan berbagai elemen di dalamnya memiliki keterkaitan dan
juga memiliki nilai ekonomi (dapat dinyatakan dengan nilai uang).
Pembangunan ekonomi berkelanjutan dapat mengelola lingkungan hidup dan
sumber daya alam secara efektif dan efisien dengan yang berkeadilan
perimbangan modal masyarakat, pemerintah dan dunia usaha;
2. Keberlanjutan sosial budaya; pembangunan berkelanjutan berimplikasi
terhadap pembentukan nilai-nilai sosial budaya baru dan perubahan bagi
nilai-nilai sosial budaya yang telah ada, serta peranan pembangunan yang
berkelanjutan terhadap iklim politik serta stabilitasnya. Dalam hal ini juga
perlu keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan ekonomi yang
berwawasan lingkungan serta mengurangi kesenjangan antar tingkat
kesejahteraan masyarakat;
3. Keberlanjutan kehidupan lingkungan (ekologi) manusia dan segala
eksistensinya. Sebagai penopang pembangunan ekonomi, lingkungan perlu
dipertahankan kualitasnya, karena itu harus dijaga keselarasan antara
lingkungan alam dan lingkungan buatan. Sebagai satu upaya
mempertahankan keberlanjutan, setiap kegiatan diminimalisirkan dampak
lingkungannya, diupayakan menggunakan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui, mengurangi limbah dan meningkatkan penggunaan teknologi
bersih.
Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa konsep yang menjadi landasan
berpikir dalam pengembangannya. Konsep tersebut antara lain sebagai berikut:

Halaman IV | 3
1. Pembangunan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan proses transformasi
sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya pendukung
beserta kombinasi ketiganya yang menghasilkan sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang sebesar-besarnya;
2. Hasil pembangunan dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan
tidak mengabaikan pemenuhan kebutuhan bagi generasi mendatang
(orientasi masa kini dan masa mendatang);
3. Pemahaman yang baik, tentang implikasi dari masing-masing pelaksanaan
kegiatan pembangunan itu sendiri, baik positif maupun negatif, terhadap
elemen hidup dan tidak hidup dalam lingkungan yang terkena pembangunan,
merupakan suatu alat efektif yang berfungsi mengendalikan. Penerapan nilai-
nilai lingkungan hidup terutama nilai-nilai yang menekankan tentang
keselarasan dan keterkaitan yang terdapat antara manusia dengan alam;
berperan sebagai strategi utama;
4. Pengendalian keberlanjutan pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan
pembangunan secara sinergis, merupakan suatu bentuk keberlanjutan.

4.2 Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan


4.2.1 Persiapan
Persiapan penyusunan Materi Teknis Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DAN
Peraturan Zonasi (PZ) Kawasan Perkotaan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat
terdiri atas:
1. Persiapan awal, yaitu upaya pemahaman terhadap Kerangka Acuan Kerja
(KAK) penyiapan anggaran biaya;
2. Kajian awal data sekunder, yaitu review RTRW Kabupaten Seram Bagian Barat
dan kebijakan pembangunan seperti RPJD dan RPJMD Kabupaten Seram
Bagian Barat serta kebijakan lainnya;
3. Persiapan teknis pelaksanaan meliputi penyusunan metodologi/metode dan
teknik analisis rinci, serta penyiapan rencana survei.

4.2.2 Tahap Pemetaan


4.2.2.1 Pembuatan Peta Kerja
Peta kerja adalah peta yang akan digunakan dalam melaksanakan pekerjaan
survei di lapangan. Peta kerja merupakan peta hasil proses berbagai tahapan
pengolahan data citra satelit tanpa titik kontrol (mosaic uncontrol), dan diakhiri
dengan proses penyusunan format layout (tata letak) dengan skala tertentu
sesuai kebutuhan survei lapangan yang akan dilaksanakan.

Halaman IV | 4
Sesuai dengan pekerjaan/kegiatan survei lapangan yang akan dilaksanakan
dalam pekerjaan ini, maka akan dibuat peta kerja yang terdiri dari :
1. Peta kerja untuk survei pengukuran GCP, terdiri dari :
a. Peta Kerja Pengukuran GCP skala kecil, dicetak pada format kertas ukuran
A1 dengan skala menyesuaikan ukuran kertas.
Pada peta kerja ini digambarkan distribusi titik-titik GCP yang tersebar di
seluruh area lokasi pekerjaan; sehingga dengan demikian akan
memudahkan tim survei pengukuran GCP dalam melaksanakan kegiatan
survei di lapangan.
Contoh peta kerja pengukuran GCP ini adalah seperti yang dapat dilihat
pada gambar berikut.

Gambar 4.2. Peta Kerja Pengukuran GCP Format Ukuran A1

b. Peta Kerja Pengukuran GCP skala besar, dicetak pada skala 1:2.500
dengan format kertas ukuran A3.
Pada setiap lembar peta kerja skala 1:2.500 ini digambarkan letak posisi
setiap titik GCP yang akan diukur di lapangan. Dengan skala peta kerja
1:2.500 akan terlihat detil lokasi pada area di sekitar posisi titik GCP,
sehingga dengan demikian tidak akan terjadi kesalahan identifikasi titik

Halaman IV | 5
GCP yang tampak pada peta kerja dengan keberadaan titik GCP tersebut
di lapangan.
Contoh peta kerja pengukuran GCP ini adalah seperti yang dapat dilihat
pada gambar berikut.

Gambar 4.3. Peta Kerja Pengukuran GCP Skala 1:2.500 Format Ukuran A3

2. Peta kerja untuk survei kelengkapan/identifikasi di lapangan dicetak pada


skala 1:5.000 dengan format kertas ukuran A1.
Peta kerja ini digunakan untuk melaksanakan survei kelengkapan/identifikasi
di lapangan, yang meliputi :
 Melakukan verifikasi penutupan lahan hasil interpretasi citra (juga
penggunaan lahan).
 Pengecekan data batas administrasi.
 Pengecekan unsur nama geografis (unsur perairan, nama desa,
kampung/permukiman, perumahan, bangunan pemerintah, fasilitas
umum, fasilitas sosial, dan lain-lain).
Contoh peta kerja kelengkapan/identifikasi di lapangan ini adalah seperti
yang dapat dilihat pada gambar berikut.

Halaman IV | 6
Gambar 4.4. Peta Kerja Survei Identifikasi Lapangan Skala 1:5.000 Format
Ukuran A1

Proses Pembuatan Peta Kerja


Proses pembuatan peta kerja secara rinci terdiri dari tahapan-tahapan kegiatan
seperti berikut :
1. Pembuatan DSM (Digital Surface Model) berdasarkan data TerraSar-X
resolusi 7,5 m atau SRTM 30 m.
2. Mosaik citra satelit resolusi tinggi.
Mosaik adalah proses penggabungan beberapa obyek baik raster atau vektor
menjadi satu kesatuan dalam bidang proyeksi dan datum yang sama. Dalam hal
ini yang dilakukan adalah mosaik uncontrol, yaitu menggabungkan beberapa
obyek raster tanpa ada pengikatan ke titik kontrol tanah hasil pengukuran GPS.
1. Orthorektifikasi citra satelit resolusi tinggi.
2. Penajaman citra (image enhancement).
3. Cropping citra, dilakukan berdasarkan area yang ditetapkan dan pada skala
tertentu sesuai kebutuhan peta kerja yang akan dibuat.
Cropping atau pemotongan adalah suatu proses untuk mendapatkan data
citra untuk peta yang akan dibuat berdasarkan area yang ditetapkan dan
sesuai dengan format layout (tata letak) peta yang akan dibuat, yaitu :

Halaman IV | 7
 Untuk peta kerja survei pengukuran GCP, data citra akan di cropping
berdasarkan area di sekitar lokasi titik kontrol dan titik GCP yang akan
diukur dengan skala 1:2.500.
 Untuk peta kerja survei kelengkapan/identifikasi di lapangan, data citra
akan di cropping berdasarkan indeks peta skala 1:5.000.
Semua data citra di cropping dalam sistem proyeksi UTM dan datum WGS 84.
4. Penyusunan layout (tata letak) peta kerja.
Layout dilakukan dengan mengikuti berbagai kaidah/ketentuan kartografi,
seperti : format dan pembagian lembar peta, jenis dan ketebalan garis,
informasi tepi pada lembar peta, dan sebagainya.
5. Pencetakan lembar-lembar peta kerja.

4.2.2.2 Tahap Survey Lapangan


A. Metode Pengamatan GCP (Ground Control Point/Titik Kontrol Tanah)
GCP (titik kontrol tanah) adalah titik-titik di lapangan yang diketahui secara
tepat data koordinat posisinya, yang diperlukan untuk melakukan koreksi
geometrik (orthorektifikasi) pada citra satelit. Setiap titik GCP merupakan
obyek di lapangan yang harus dapat diidentifikasi dengan jelas, baik di
lapangan maupun pada citra; dan untuk mengetahui posisi koordinatnya
harus dilakukan pengukuran titik GCP di lapangan dengan menggunakan alat
ukur GPS tipe geodetik, serta semua titik GCP harus ‘terikat’ dengan titik
kerangka dasar nasional (BIG dan/atau BPN).
Penentuan posisi dengan GPS ada dua jenis, yaitu Penentuan posisi secara
absolut (Absolute/Point Positioning) dan Penentuan posisi secara relatif
(Relative Positioning).
1. Absolute/Point Positioning
Absolute/Point Positioning adalah prinsip atau cara penentuan posisi titik
pengamat langsung dari pengamatan tunggal terhadap sejumlah satelit
pada saat tertentu (minimal 4 buah satelit). Pengamatan dengan teknik
ini adalah yang paling sederhana karena pengamat tidak membutuhkan
korelasi dengan stasiun pengamat lainnya.
2. Relative Positioning
Relative Positioning adalah prinsip penentuan posisi suatu titik dengan
melibatkan titik lain yang telah diketahui koordinatnya atau dengan
perkataan lain prinsip penentuan posisi suatu titik dengan cara

Halaman IV | 8
mengikatkan titik yang belum diketahui koordinatnya terhadap titik yang
telah diketahui koordinatnya. Pada prinsipnya dengan teknik ini diukur
selisih koordinat ruang (X,Y,Z) antara dua titik pengamat dimana
selanjutnya koordinat titik lainnya dihitung dengan mengacu pada titik
yang pertama (yang telah diketahui koordinatnya) :
X2 = X1 + X
Y2 = Y1 + Y
Z2 = Z1 + Z
Dalam sistem penentuan posisi secara relatif terdapat beberapa teknik
pengamatan dan penghitungan data, yaitu Single Difference, Double
Difference, Triple Difference.
 Single Difference
Merupakan penghitungan baseline dengan menggunakan data hasil 2
pengamatan receiver pada satu satelit pada saat yang bersamaan.
Keuntungannya adalah dapat menghilangkan pengaruh bias satelit.
 Double Difference
Merupakan penghitungan baseline dengan menggunakan data hasil 2
pengamatan receiver pada 2 satelit pada saat yang bersamaan.
Keuntungannya adalah dapat menghilangkan pengaruh bias jam
receiver.
 Tripple Difference.
Merupakan penghitungan baseline dengan mendiferensiasikan selisih
antara data 2 Double Difference terhadap waktu t1 dan t2.
Keuntungannya adalah dapat menghilangkan pengaruh cycle
ambiguity. Pengaruh dari faktor troposfir juga dapat direduksi dalam
proses hitungan baseline di atas berdasarkan pada data pengamatan
atmosfir terhadap hasil pengamatan sinyal L1 atau L2. Akan tetapi
pengaruh Ionosfir hanya dapat direduksi dengan pengamatan pada
gelombang L1 dan L2 (Dual Frequency).

Setelah pengukuran dibutuhkan proses pengolahan gps, dengan hitung


perataan, untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang timbul dalam
pengamatan GPS sehingga diperoleh hasil hitungan yang dianggap benar
(tereduksi dari kesalahan) sesuai toleransi statistik yang diinginkan.

Halaman IV | 9
Proses ini dapat dilakukan jika terdapat kondisi-kondisi geometrik dan
ukuran lebih dalam desain jaring baseline GPS. Pada prinsipnya proses
perataan dilakukan dengan meminimumkan kesalahan yang terjadi dari
hasil pengamatan dimana secara matematis ditulis sebagai :
VTPV = minimum
Survei pengukuran GCP dilakukan dengan menggunakan alat ukur GPS tipe
geodetik, dan dilakukan dengan metoda/cara pengukuran radial diferensial,
dengan pengukuran pada setiap titik GCP ± 1 jam.

1. Survey Pendahuluan dan Pemasangan Tugu


Survey pendahuluan dilakukan untuk menentukan posisi titik-titik
pengamatan GPS sebagaimana ditentukan dalam referensi BIG. Adapun
pemasangan tugu diatur sedemikian rupa seperti berikut, yaitu :
 Setiap 10 Km2 ada 4 titik.
 Mudah diidentifikasi baik di citra maupun di lapangan
Selain daripada itu juga harus berada di lokasi yang bebas dari halangan
benda-benda sekeliling yang mengakibatkan terhambatnya sinyal dari
satelit yang mengakibatkan terjadinya cycle slip dan efek pemantulan
sinyal oleh benda sekeliling (multipath).

2. Pengamatan GPS
Pengamatan GPS dilakukan dengan menggunakan 2(dua) atau 3 (tiga)
buah receiver ( tiga team ) dengan menggunakan GPS merk Leica sesuai
dengan desain jaring yang telah direncanakan. Pengamatan dilakukan
dengan rata-rata lama pengamatan sekitar 60 menit dan GDOP < 8, hal ini
bisa dilakukan mulai pukul 07.00 - 17.00 berdasarkan informasi yang
diperoleh dari data ephemeris satelit yang terakhir.
Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan di lapangan dan
memudahkan koordinasi, setiap tim dilengkapi dengan perangkat
komunikasi genggam 2 m selain terdapat pula perangkat komunikasi lain
di base camp dan mobil komando dengan daya pancar lebih kuat.
Pelaksanaan pekerjaan pengamatan di masing-masing tugu dimulai
dengan mengatur posisi tribrach agar memusat terhadap titik target
(tanda +) di atas lempeng kuningan yang terpasang di atas tugu dan
dilanjutkan dengan pendataran tribrach. Pengukuran tinggi dilakukan 2

Halaman IV | 10
(dua) kali saat akan memulai pengamatan dan 2 (dua) kali pada saat
mengakhiri pengamatan dengan toleransi 2 (dua) mm untuk kontrol
pengukuran tinggi antena.
Untuk mempermudah pengelolaan data, data dari setiap pengamatan
diberi nama dengan 8 (delapan) digit angka dengan 2 (dua) digit pertama
tanggal pengamatan, 2 (dua) digit kedua bulan pengamatan, 2 (dua) digit
ketiga tahun pengamatan, dan 2 (dua) digit terakhir sesi pengamatan.
Sebagai ilustrasi :
Di dalam setiap sesi pengamatan operator GPS bertugas mencatat setiap
data dan kejadian yang terjadi saat pengamatan yang sekiranya
berpengaruh terhadap hasil pengamatan seperti kondisi baterai, cuaca,
pengaruh lingkungan sekitar, status satelit, dan lain-lain.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metoda Static Relative
Positioning dengan interval epoch 15 detik, jumlah minimum satelit 6 dan
ketinggian halangan 150. Pengamatan dimulai dari titik referensi sekitar
pengamatan.

3. Pengolahan Baseline
Proses penghitungan baseline dilakukan setiap hari setelah selesai
pengamatan. Diawali dengan memindahkan data hasil pengamatan dari
GPS Controller (Memory Card) ke PC (dikenal dengan proses down load).
Tahap berikutnya adalah pemeriksaan data penunjang/masukan seperti
tinggi antena, antenna offset dan nomor tugu/titik.
Setelah dipastikan bahwa data penunjang tersebut adalah benar, maka
tahapan selanjutnya pengolahan baseline. Proses ini dimulai dengan
terlebih dahulu menentukan satu titik yang berfungsi sebagai titik
referensi (titik acuan hitungan) dan titik lainnya sebagai rover (titik yang
akan ditentukan koordinatnya didasarkan pada titik referensi tadi).
Kemudian dihitung (compute). Hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan
dengan kualitas baseline adalah standar deviasi baseline, nilai ambiguity
(Y or N), harga GDOP/PDOP, lama waktu pengamatan, jumlah satelit, nilai
rms, jumlah cycle slip dan untuk baseline yang diukur dua kali (common
baseline) harus diperhatikan pula besarnya komponen-komponen lintang
(dX), bujur (dY) dan komponen tinggi (dZ), panjang baseline (slope
distance) serta standar deviasinya.
Apabila pada proses pengolahan baseline tersebut ditemukan hasil yang
tidak memenuhi syarat misalnya nilai ambiguity tidak dapat dipecahkan,

Halaman IV | 11
maka diantisipasi dengan membuang satelit (Satellite Selection) yang
memiliki epok kurang dari 180 atau dengan membuang satelit yang
memiliki residual phase dengan perubahan mendadak. Atau jika
ditemukan nilai GDOP/PDOP lebih besar dari 8, maka diantisipasi dengan
melakukan windowing. Tahap-tahap pemrosesan baseline di atas dapat
digambarkan melalui visualisasi skematik sebagai berikut :

Gambar 4.5. Diagram Alir Pemrosesan Baseline

Halaman IV | 12
4. Perataan Jaring
Perataan jaring dimaksudkan untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan
pengamatan dengan kondisi geometrik sebagai kontrol kualitas yang
harus dipenuhi guna mengetahui dan menentukan besar kesalahan untuk
selanjutnya direduksi dan dihitung nilai-nilai pengamatan yang dianggap
benar. Proses perataan jaring ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1). Perataan Jaring Bebas (Free-net Adjustment)

Proses ini dilakukan dengan memasukkan nilai koordinat dari satu titik
ikat yang pertama digunakan/diukur kembali
2). Perataan Jaring Terikat (Minimally Constrained Adjusment)

Proses ini dilakukan dengan memasukkan koordinat titik kontrol yang


terdapat dalam jaring (titik-titik tersebut berlaku sebagai Fixed Point).
Pengolahan data di atas dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak SKI versi 2.3. Dan uji statistik harus memenuhi tingkat
kepercayaan 68%.

B. Pelaksanan Pengukuran GCP


1. Persiapan Pengukuran GCP
Berbagai kegiatan yang merupakan tahapan persiapan yang dilaksanakan
sebelum dilakukan pengukuran GCP di lapangan mencakup :
1). Pengadaan data koordinat dan deskripsi titik kerangka dasar nasional
orde 2/3 dari instansi BIG atau BPN.
2). Perencanaan/desain distribusi/penyebaran titik-titk GCP yang akan
disurvei di seluruh area yang merupakan lokasi pekerjaan. Sesuai
spesifikasi BIG, minimal terdapat 4 titik GCP dalam luasan 10 km2, dan
dapat diperbanyak sesuai kebutuhan. Selain jumlah, titik GCP harus
didesain tersebar merata di seluruh area citra.
3). Pembuatan peta kerja untuk pengukuran GCP, seperti yang telah
diuraikan dalam sub bab sebelumnya di atas dimana terdapat 2 (dua)
macam peta kerja untuk pengukuran GCP, yaitu :
a. Peta Kerja Pengukuran GCP skala kecil dengan ukuran A1 dimana
didalamnya diplotkan tanda rencana titik-titik GCP yang akan
diukur. Peta kerja ini dicetak dengan ukuran skala menyesuaikan
dengan format ukuran kertas A1, sehingga seluruh jumlah dan

Halaman IV | 13
sebaran titik GCP yang telah direncanakan dapat digambarkan di
atas gambar citra yang mencakup seluruh area pekerjaan.
b. Peta Kerja Pengukuran GCP skala besar dengan ukuran A3. Peta
kerja ini berisi informasi posisi dari setiap titik GCP yang akan
diukur. Pada kegiatan ini citra satelit yang digunakan adalah citra
satelit resolusi tinggi dengan maksimal resolusi adalah 1m, maka
skala yang digunakan untuk peta A3 adalah skala 1:2.500.
4). Persiapan peralatan yang akan digunakan, meliputi: GPS tipe Geodetik
lengkap sebanyak minimal 2 buah, kompas, GPS tipe Navigasi
(Handheld) Garmin 76 CSX, Pita Ukur, Kamera Digital, Laptop dan
peralatan lainnya yang dibutuhkan.

Gambar 4.6. Alat GPS Tipe Geodetik Untuk Pengukuran GCP

5). Pembuatan formulir isian untuk pengukuran GCP, yang terdiri dari 4
(empat) halaman, yaitu :
a. Halaman pertama berisi data deskripsi wilayah tempat lokasi
keberadaan titik GCP di lapangan. Pada halaman ini dijelaskan
obyek yang menonjol di lokasi titik tersebut, kondisi jalannya,
akses atau akomodasi menuju titik tersebut dan informasi lainnya
yang penting sehingga titik tersebut dengan mudah dapat
diketahui jika dilain waktu diperlukan kembali.
b. Halaman kedua berisi sketsa lokasi titik GCP di lapangan dari jarak
jauh dan jarak terdekat. Sketsa ini diambil dengan terlebih dahulu
surveyor menghadap kearah utara, dan dilanjutkan dengan ketiga
arah lainnya.

Halaman IV | 14
c. Halaman ketiga berisi data koordinat titik GCP dalam sistem
koordinat UTM dan Geodetik.
d. Halaman keempat berisi foto dari titik GCP. Untuk menempatkan
foto titik-titik tersebut harus diambil dari 4 (empat) penjuru;
Utara, Selatan, Timur dan Barat. Seluruh formulir itu harus diisi
untuk setiap titik GCP yang diukur, hal ini berguna pada saat
proses koreksi geometrik. Sehingga pada saat proses
memasukkan titik-titik tersebut kecitra satelit menjadi mudah dan
tidak akan ada kesalahan menaruh titik ditempat yang salah.
Contoh formulir untuk survei pengukuran GCP adalah seperti yang dapat
dilihat pada gambar berikut.

Halaman IV | 15
Gambar 4.7. Contoh Formulir Survei Pengukuran GCP

Halaman IV | 16
Halaman IV | 17
Halaman IV | 18
Halaman IV | 19
6). Pembuatan surat tugas, yang diperoleh dari pemberi kerja untuk
dipergunakan sebaik-baiknya oleh tim selama melaksanakan survey
pengukuran GCP di lapangan.

2. Pemasangan Tugu Paralon dan Pengukuran GCP


Di lapangan pada setiap lokasi/posisi titik GCP dilakukan
pemasangan/konstruksi berupa tugu dengan material pipa paralon
berukuran 3” yang diisi dengan campuran/adukan semen dan pasir, dan
kemudian setiap titik GCP diberi identitas (yang unik) sebagai alat
identifikasi titik/tugu GCP; seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 4.8. Contoh Konstruksi dan Identitas Titik GCP di Lapangan

Survei pengukuran GCP dilaksanakan seperti berikut :


 Pengukuran GCP pada obyek-obyek yang mudah diidentifikasi pada
citra satelit.
 Pengukuran GCP dengan GPS Geodetik, dengan menggunakan titik
kerangka dasar BIG sebagai referensi.
 Metode Pengukuran GPS cukup dengan metode Radial, dengan
pengukuran tiap titik ± 1 jam.
Pelaksanaan pengukuran GCP dengan alat GPS geodetik yang dilakukan
pada setiap lokasi/posisi titik GCP adalah seperti yang terlihat pada
gambar berikut.

Halaman IV | 20
Gambar 4.9. Contoh Pengukuran Titik GCP dengan Alat GPS Geodetik

3. Pengolahan Data Hasil Pengukuran GPS Geodetik


Proses pengolahan data hasil pengukuran titik GCP dengan alat ukur GPS
geodetik di lapangan dilakukan dengan menggunakan peranti lunak
(software) seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 4.10. Contoh Pengolahan (Proses Hitungan) Data GPS Geodetik

Halaman IV | 21
Halaman IV | 22
Halaman IV | 23
Halaman IV | 24
C. Survei Kelengkapan/Identifikasi Lapangan
Survei kelengkapan/identifikasi di lapangan dilaksanakan dengan membawa
peta kerja dan formulir isian yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Survei kelengkapan/identifikasi di lapangan bertujuan untuk :
1. Meng-update kekurangan informasi yang ada pada citra satelit; seperti
adanya bangunan baru, jalan atau jembatan baru dsb, langsung
digambarkan pada peta garis dengan skala dan dilengkapi dengan foto
dokumentasi.
2. Mencatat penggunaan bangunan dan intensitas pemanfaatan ruang.
3. Mencatat nama jalan, nama sungai/danau/situ/waduk, nama tempat dan
nama-nama instalasi penting lainnya. Pencatatan nama-nama setiap
obyek yang diamati langsung dituliskan pada lembar peta kerja.
4. Mencatat kondisi jaringan prasarana yang ada.
5. Mencatat berbagai persoalan terkait dengan RDTR dan Peraturan Zonasi
yang ada di kawasan perencanaan.

Berbagai kegiatan yang merupakan tahapan persiapan yang dilaksanakan


sebelum dilakukan survei kelengkapan/identifikasi lapangan mencakup :
1. Pembuatan peta kerja untuk survei kelengkapan/identifikasi lapangan,
seperti yang telah diuraikan dalam sub bab di atas yaitu berupa Peta
Kerja Survei Identifikasi Lapangan yang dicetak pada skala 1:5.000 dengan
format ukuran kertas A1.
2. Persiapan peralatan yang akan digunakan, meliputi: GPS tipe Navigasi
(Handheld) Garmin 76 CSX, Pita Ukur, Kamera Digital, Kompas, Laptop
dan peralatan lainnya yang dibutuhkan.

Halaman IV | 25
Gambar 4.11. Peralatan Untuk Survei Kelengkapan/Identifikasi Lapangan

GPS navigasi & kamera digital Komputer laptop

3. Pembuatan formulir isian untuk survei kelengkapan/identifikasi lapangan.


Contoh formulir untuk survei kelengkapan/identifikasi lapangan adalah
seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut.

Halaman IV | 26
Gambar 4.12. Contoh Formulir Survei Kelengkapan/Identifikasi Lapangan

Halaman IV | 27
4.2.2.3 Pengolahan Citra
Teknologi penginderaan jauh dewasa ini telah berkembang pesat, baik dari segi
wahana, resolusi dan pengolahannya. Pemakaian penginderaan jauh
memungkinkan diperolehnya informasi permukaan bumi dalam jumlah yang
besar dan relatif cepat. Untuk memperoleh informasi ini, dilakukan pengolahan
dan interpretasi citra dari hasil penginderaan jauh tersebut. Pengolahan citra
dapat dilakukan secara visual dan secara digital. Pengolahan citra secara visual
akan membutuhkan waktu lama dan informasi yang dapat digali terbatas. Hal ini
karena adanya keterbatasan mata dan daya ingat manusia dalam interpretasi.
Dengan adanya kemajuan teknologi komputer grafik memungkinkan pengolahan
citra secara digital. Pengolahan citra secara digital ini akan memberikan
keuntungan yaitu akurasi citra yang tinggi, efisiensi waktu, serta dapat
digunakannya metode-metode statistik di dalamnya. Sehingga dengan
diterapkannya pengolahan citra digital ini akan dapat secara cepat menghasilkan
informasi dengan kualitas tinggi.
Untuk memperoleh informasi citra dengan kulitas tinggi, diperlukan prosedur
pengolahan data citra yang handal pula. Adapun tahap pengolahan citra secara
umum adalah sebagai berikut: pemulihan citra (Image restoration), penajaman
citra (Image Enhancement),dan klasifikasi citra (Image Classification).

A. Koreksi Radiometrik/Penajaman Citra


Koreksi radiometrik digunakan untuk mengkoreksi nilai spectral yang
terdapat pada citra satelit. Tenaga pantulan dari obyek dipermukaan bumi
yang sampai ke sensor satelit banyak mengalami hambatan atmosfer yang
menyebabkan adanya bias. Bias ini akan menyebabkan tidak samanya
tenaga yang dipantulkan oleh obyek dengan tenaga yang diterima oleh
sensor.
Untuk berbagai kepentingan bias ini harus dikoreksi sehingga tenaga yang
diterima sensor akan sama atau mendekati dengan tenaga matahari yang
dipantulkan oleh obyek ke sensor.
Tahapan proses koreksi radiometrik (penajaman citra) mencakup :
a. Penajaman citra yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat
interpretabilitas obyek pada citra (feature) dilakukan melalui berbagai
teknik : pengaturan derajat brightness (gelap-terang) dan contrast
(kontras); sehingga pada akhirnya proses interpretasi/klasifikasi mudah
dilakukan.
b. Nilai brightness dan contrast disimpan dalam look up table (LUT) / tabel
penghubung/tabel identifikasi :
 Optimalkan derajat brightness dan contrast untuk maksud analisa
feature seperti: unsur alam, unsur buatan manusia, bidang, tutupan
lahan, dll.

Halaman IV | 28
 Tidak dipungkiri ketika menajamkan feature tertentu maka feature
lain menurun, sehingga perlu dibuat yang paling optimum sesuai
dengan tujuan digunakannya citra Resolusi Tinggi dan Landsat ini
sebagai masukan proses pembuatan peta penyebaran sawah.
c. Mengoptimasi tingkat keabuan (grey level) secara seimbang pada band
pankromatik dan colour balance pada band multispektral diantara scene
yang bersebelahan, dengan menghindarkan adanya kejenuhan warna
(saturation) dengan tidak mengakibatkan nilai reflectance citra menjadi
null atau zero value pada citra yang ditajamkan.
d. Citra yang telah ditajamkan kemudian di proses mosaik dan clipping (sub-
setting).

B. Koreksi Geometrik/Orthorektifikasi
Koreksi geometrik (orthorektifikasi) pada citra satelit adalah proses koreksi
yang dilakukan dengan tujuan untuk memposisikan kembali gambar citra
agar sesuai dengan keadaan sesungguhnya di lapangan; hal ini disebabkan
karena gambar citra yang diperoleh dari hasil pengambilan mengalami
pergeseran (displacement) sebagai akibat dari posisi satelit yang miring, serta
akibat variasi kondisi/keadaan topografi dari area yang diamati. Koreksi
geometri dilakukan dengan menggunakan sistem koordinat tertentu dengan
bantuan titik kontrol di lapangan (ground control point / GCP).
Koreksi geometrik dilakukan dengan memberikan koordinat ulang atau
rektifikasi ulang kepada citra satelit yang digunakan. Koordinat baru yang
diberikan ke dalam citra satelit adalah koordinat dari hasil pengukuran GPS di
lapangan. Untuk citra yang berbentuk persegi rektifikasi ulang cukup
dilakukan untuk empat titik sudutnya. Untuk yang berbentuk tidak
berarturan, lebih banyak lebih baik.
Metode yang digunakan dalam koreksi geometrik terdiri dari beberapa cara:
1. Polynomial
2. Rektifikasi
3. Orthorektifikasi
Untuk metode orthorektifikasi, diperlukan data DEM(Digital Elevasi Model),
yang dibuat dari titik-titik ketinggian lokasi pekerjaan. Dalam
pelaksanaannya, digunakan data SRTM.

Halaman IV | 29
Gambar 4.13. Diagram Pekerjaan Koreksi Geometrik

Halaman IV | 30
Halaman IV | 31
Proses orthorektifikasi bertujuan untuk :
 Registrasi dan transformasi citra ke dalam sistem georeference (UTM).
 Menghilangkan kesalahan skala yang disebabkan oleh kemiringan citra.
 Menghilangkan kesalahan distorsi optis citra.
 Menghilangkan kesalahan pergeseran relief akibat dari adanya variasi
terain (ketinggian permukaan tanah).
Berbagai tahapan yang harus dilakukan pada koreksi geometrik mencakup :
a. Pemilihan titik-titik kontrol di lapangan (ground control points / GCP)
secara photo point dengan menggunakan obyek-obyek yang mudah dan
jelas diidentifikasi di citra maupun di lapangan yang relatif tidak berubah
seperti: jalan, jembatan, dan sebagainya.
b. Menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error) dan penggunaan data
DEM (Digital Elevation Model), dimana nilai RMS error harus lebih kecil
dari 1 piksel. Data DEM untuk keperluan proses koreksi geometik
(orthorektifikasi) data citra adalah dengan menggunakan data kontur dari
peta digital RBI atau data lain yang lebih baik.
c. Orthorektifikasi dilakukan scene by scene.
Bersamaan orthorektifikasi dilakukan resampling / interpolasi intensitas
(intensity interpolation) dengan konvolusi kubik (cubic convolution) yang
dimaksudkan untuk mendapatkan koreksi sampai derajat 3 tidak linier
(akurasi lebih baik dari metode linier).

C. Mosaik dan Cropping Citra


Mosaik merupakan gabungan dua atau lebih citra (sesuai jumlah scene data
citra) sehingga membentuk paduan gambar yang utuh dan kontinyu. Mosaik
dipakai untuk memperoleh sudut pandang (field of view) yang lebih lebar dari
suatu obyek, dengan kata lain obyek-obyek yang tidak terekam dalam satu
citra perlu dilakukan penggabungan beberapa citra agar obyek terlihat utuh.
Cropping data citra adalah merupakan tahap akhir dalam proses pengolahan
data citra; dimana proses ini dilakukan untuk mendapatkan data citra sesuai
dengan kebutuhan.
Dalam pelaksanaan pekerjaan ini dilakukan cropping data citra per indeks
lembar peta (NLP) skala 1:5.000. Melalui proses ini akan dihasilkan potongan
(cropping) data citra dengan cakupan area sesuai dengan indeks lembar peta
(NLP) skala 1:5.000, dimana data citra tersebut akan digunakan dalam tahap
kegiatan digitasi citra serta proses kartografi.

Halaman IV | 32
4.2.2.4 Digitasi Citra (On Screen)
Digitasi bertujuan untuk merubah data citra satelit yang telah dikoreksi yang
merupakan data dalam format raster menjadi data digital dalam format vektor
atau menjadi data peta garis digital.
Sesuai dengan ketersediaan format data raster yang akan dikonversi dalam
proses digitasi, yaitu data citra digital; maka metoda digitasi yang digunakan
dalam pelaksanaan pekerjaan ini adalah digitasi on screen (on screen digitizing),
dimana dalam proses digitasi on screen ini pada prinsipnya pelaksanaan digitasi
dilakukan oleh operator melalui penggunaan layar monitor (monitor screen) dari
perangkat komputer sebagai perangkat utama.

A. Persiapan Digitasi (Interpretasi Citra)


Sebelum kegiatan digitasi citra dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan
tahapan persiapan yang ditujukan kepada para operator digitasi.
Kegiatan utama yang dilakukan dalam tahapan persiapan adalah proses
pemahaman tentang interpretasi citra kepada para operator digitasi, dengan
tujuan agar setiap operator digitasi akan memiliki tingkat kemampuan dan
pemahaman yang sama tentang interpretasi citra, khususnya dalam melihat
(membaca) gambaran dari setiap obyek yang tampak pada citra yaitu dengan
mengenali kedua kunci interpretasi citra berikut :
a. Pola/bentuk (pattern) setiap obyek yang tampak pada citra, seperti:
bangunan, perairan, tutupan lahan (perkebunan, padang rumput, dsb.).
b. Warna setiap obyek yang tampak pada citra.

B. Digitasi Untuk Pembuatan Peta Rencana Rinci Tata Ruang


Terdapat 4 (empat) unsur yang harus di digitasi dalam proses pembuatan
peta rencana rinci tata ruang skala 1:5.000, meliputi :
1. Blok jalan yang merupakan blok peruntukan terkecil dari kawasan
perencaan atau BWP.
Blok perencanaan yang akan digunakan di dalam rencana pola ruang dan
peraturan zonasi tidak harus sama dengan blok jalan yang didigitasi di
awal, namun bisa merupakan gabungan dari beberapa blok jalan,
bergantung pada kriteria blok perencanaan yang digunakan.
2. Jaringan jalan.
Jaringan jalan didigitasi dalam bentuk garis tunggal tepat pada poros jalan
yang terletak diantara dua blok jalan. Jaringan jalan ini akan menjadi
rujukan bagi rencana jaringan prasarana lainnya, yang digitasinya dapat
diletakan berimpit dengan jaringan jalan atau di kiri-kanannya. Setiap
ruas jalan yang memiliki nama jalan yang sama atau yang memiliki fungsi

Halaman IV | 33
jalan yang sama didigitasi sebagai satu entitas tersendiri. Jalan yang
bernama sama namun terbagi atas dua fungsi yang berbeda, didigitasi
sebagai dua entitas yang berbeda.
3. Bangunan dan gedung.
Bangunan dan gedung harus didigitasi untuk keperluan identifikasi
penggunaan lahan dan intensitas pemanfaatan ruang yang ada sekarang.
Bangunan dan gedung didigitasi berdasarkan penampakan atapnya,
sekedar untuk menunjukan posisinya. Sedangkan jenis bangunan,
ketinggian bangunan, kondisi bangunan, peruntukan bangunan dan
penggunaannya diperoleh dari survey lapangan.
4. Perairan.
Perairan yang harus didigitasi meliputi laut, sungai, kanal, saluran
drainase/ sewer, danau/situ. Perairan didigitasi untuk menetapkan batas
blok peruntukan dengan memperhatikan ketentuan sempadan yang
berlaku.
Digitasi untuk pembuatan peta rencana rinci tata ruang skala 1:5.000
harus menggunakan proyeksi peta UTM (Universal Transverse Mercator)
yang memiliki satuan meter dengan Datum WGS 84.
Data peta garis digital yang diperoleh dari hasil digitasi citra adalah
seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Halaman IV | 34
Gambar 4.14. Data Peta Garis Digital Hasil Digitasi Citra

Digitasi Poros Jalan

Digitasi Perairan

Halaman IV | 35
Digitasi Bangunan

4.2.2.5 Entry Data (Atribut Data Spasial)


Entry data lapangan merupakan kegiatan penyusunan basis data secara digital
dari hasil kegiatan survei kelengkapan data lapangan dan toponimi terhadap data
spasial dalam format vektor. Dalam kegiatan ini, struktur data sudah disiapkan
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, lalu berdasarkan data survei
lapang, struktur data yang tersedia di isikan informasinya. Standar struktur data
mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan.

4.2.2.6 Editing Peta Digital


Editing merupakan kegiatan memperbaiki peta digital berdasarkan informasi
hasil survei lapangan yang telah dilakukan. Kegiatan pengeditan ini dapat
menambah, mengurangi, atau memperbaiki informasi tekstual dan spasial.
Dalam kegiatan ini, biasanya informasi spasial mendapat porsi yang besar karena
harus mencocokan data peta kerja dengan informasi hasil survei lapangan.
Editing mencakup juga kegiatan digitasi dalam rangka memperbaiki informasi
spasial, standar penamaan layer, serta struktur atribut data spasial.
Tahapan proses editing peta digital ini bertujuan untuk menjamin bahwa data
yang dihasilkan benar-benar bersih (clean) baik dari aspek geometri maupun
atribut serta bebas dari kesalahan-kesalahan topologi (sesuai kaidah sistem
informasi geografis).

Halaman IV | 36
A. Cleaning Data Spasial
Proses cleaning data spasial ini merupakan proses editing data spasial hasil
pengecekan terhadap data lapangan dan proses edge matching.
Edge matching merupakan kegiatan dalam rangka menyesuaikan atau
singkronisasi perbedaan yang terjadi antar sambungan peta, baik informasi
yang bersifat substansial atau informasi secara grafis. Perbedaan ini terjadi
disebabkan oleh proses pekerjaan yang terpisah dan tidak dalam satu
coverage yang utuh ataupun karena perbedaan interpretasi terhadap batas
atau fungsi objek spasial. Proses edge matching dimaksudkan untuk
menggabungkan lembar-lembar peta hasil digitasi. Edge matching harus
dilakukan karena seringkali antar sambungan lembar-lembar peta terjadi
pergeseran akibat kesalahan secara grafis ataupun substansi pada waktu
proses digitasi, untuk itu dalam tahap ini pergeseran harus dibetulkan.
Visualisasi proses edge matching adalah seperti yang disajikan dalam gambar
berikut.

Gambar 4.15. Edge Matching Data Spasial

Analisis spasial akan dapat dilakukan jika hubungan (relasi) antar unsur
rupabumi dapat didefinisikan dengan membangun topologi. Hasil akhir dari
pekerjaan ini harus betul-betul menjamin bahwa data yang dihasilkan benar-
benar bersih (clean) baik dari aspek geometri maupun atribut serta bebas
dari kesalahan-kesalahan topologi (free topological errors).

Halaman IV | 37
Direkomendasikan untuk melakukan proses topologi menggunakan
perangkat lunak GIS, cluster toleransi yang digunakan menggunakan standar
(default) dari perangkat lunak GIS.
Adapun aturan topologi / rule yang digunakan antara lain adalah:

Aturan Topologi Point Line Polygon


Must not overlap   
Must not have dangles 
Must not self-intersect 
Must not self-overlap 
Must not have gaps 
Must be single part   
Must be larger than cluster tolerance   
Must not intersect (khusus Kontur dan

Sungai)

B. Editing Data Atribut


Pengeditan dilakukan pada peta digital dengan panduan berdasarkan pada
catatan hasil survei lapangan yang ada.

C. Pembentukan Database
Sesuai ketentuan yang ada, database / basis data spasial (termasuk struktur
data atributnya) untuk rencana rinci tata ruang adalah seperti yang disajikan
pada tabel berikut.

Halaman IV | 38
Tabel 4.1. Database Spasial Rencana Rinci Tata Ruang
Unsur Peta /
No. Feature Atribut Keterangan
Nama Layer
A Peta Dasar BWP (Batas Wilayah Perkotaan)
1. BWP Poligon 1. Nama_BWP Poligon yang menggambarkan bagian
2. Jumlah_Penduduk wilayah perkotaan secara keseluruhan.
3. Luas_Ha
2. Sungai P Poligon 1. Nama_Sungai Sungai besar yang tergambarkan sebagai
2. Jenis poligon
3. Sungai G Garis 1. Nama_Sungai Sungai yang di peta digambarkan sebagai
2. Jenis garis
4. Danau Poligon 1. Nama_Danau Jenis danau : Danau (alam), Situ, Waduk
2. Jenis
5. Kontur Garis 1. Ketinggian Angka ketinggian dalam meter interval 2,5m.
Digambarkan bila ada datanya
6. Blok Jalan Poligon 1. Kode_Blok_Jalan Kode_blok jalan adalah kode pengenal yang
2. Luas_Pengukuran diberikan sendiri oleh pendigit peta, bebas
3. Luas _Peta tetapi harus unik (tidak sama satu sama lain)
4. Jumlah_Penduduk
7. Jalan Garis 1. Nama_Jalan Status_Rencana :
2. Fungsi_Jalan “E”= Eksisting; “R”= Rencana
3. Lebar_Jalan
4. Arah_Lalulintas
5. Jumlah_Jalur
6. Status_Rencana
8. Rel KA Garis 1. Nama_Ruas_Rel Kondisi : berfungsi, tidak berfungsi
2. Kondisi
3. Status_Rencana
9. Bangunan Poligon 1. Kode_Bangunan Kode_Bangunan = Kode Blok Jalan plus
2. Peruntukan nomor urut bangunan di dalam blok jalan
3. Konstruksi
4. Kondisi
5. Penggunaan
6. Keterangan
10. Toponimi Titik 1. Teks Teks toponimi bersangkutan
B Peta Rencana
1. Penggunaan Lahan BWP Poligon 1. Kode_Blok Satuan Data : Penggunaan Lahan.
2. Kode_Sub_Blok Nilai atribut penggunaan Lahan sebaiknya
3. Penggunaan_Lahan disusun mengikuti ketentuan Permen PU no
20 Tahun 2011, agar dapat diperbandingkan
dengan Rencana Pola Ruang.
2. Rencana Pola BWP Poligon 1. Kode_Blok Satuan Data : Blok atau Sub-Blok.
2. Kode_Sub_Blok Nilai Zona sepenuhnya harus sesuai dgn.
3. Kode_Zona Permen PU no 20 tahun 2011. Nilai Sub-Zona
4. Kode_Sub_Zona dan Sub-sub zona dapat disesuaikan dgn.
kebutuhan dan kondisi masing-masing
daerah.

4.2.2.7 Kartografi
Kartografi adalah suatu ilmu, teknik dan seni dalam menggambarkan
sebagian permukaan bumi pada suatu bidang datar dengan menggunakan
simbol-simbol penggambaran tertentu sebagai tanda/gambar tertentu yang
mewakili penggambaran setiap obyek/unsur yang ada di permukaan bumi, yang
tediri dari simbol-simbol tanda/gambar dalam bentuk titik, garis, dan area.
Adapun yang dimaksud dengan kaidah/ketentuan kartografi adalah berbagai
ketentuan yang terkait dengan cara penggambaran sebuah peta, yang terdiri dari
: (i) format lembar peta, (ii) pembagian lembar peta, (iii) jenis dan ketebalan
garis, (iv) informasi tepi lembar peta.

Halaman IV | 39
Visualisasi penyajian kartografis pada selembar peta adalah seperti yang
disajikan dalam gambar berikut.

Gambar 4.16. Contoh Penyajian Kartografis Sebuah Lembar Peta

4.2.3 Pengumpulan Data dan Informasi


Untuk keperluan pengenalan karakteristik Kawasan Perkotaan Ibukota
Kabupaten Seram Barat dan penyusunan rencana pola ruang dan rencana
jaringan prasarana di Kawasan Perkotaan Ibukota Kabupaten Seram Barat,
dilakukan pengumpulan data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer setingkat kelurahan dilakukan melalui:
1. Penjaringan aspirasi masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui penyebaran
angket, temu wicara, wawancara orang perorang, dan lain sebagainya;
dan/atau
2. Pengenalan kondisi fisik dan sosial ekonomi secara langsung melalui
kunjungan ke semua bagian dari wilayah perkotaan.
Data yang dihimpun dalam pengumpulan data meliputi;
1. Data wilayah administrasi;
2. Data fisiografis;
3. Data kependudukan;
4. Data ekonomi dan keuangan;
5. Data ketersediaan prasarana dan sarana;
6. Data peruntukan ruang;

Halaman IV | 40
7. Data penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan lahan;
8. Data terkait kawasan dan bangunan (kualitas, intensitas bangunan, tata
bangunan); dan
9. Peta dasar rupa bumi dan peta tematik yang dibutuhkan, penguasaan lahan,
penggunaan lahan, peta peruntukan ruang, pada skala atau ketelitian
minimal peta 1:5.000. Seluruh hasil identifikasi tersebut harus tampak jelas
tertuang dalam peta skala 1:5.000 diproses menggunakan program SIG,
dilengkapi oleh data visual sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam
pekerjaan selanjutnya.
Data yang dikumpulkan disajikan dalam bentuk data statistik dan peta, serta
informasi yang dikumpulkan berupa data tahunan (time series) minimal 5 (lima)
tahun terakhir dengan kedalaman data setingkat kelurahan. Data berdasarkan
kurun waktu tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran perubahan apa
yang terjadi pada bagian dari wilayah perkotaan.

4.2.4 Pengolahan dan Analisa Data


Pengolahan dan analisis data untuk penyusunan Materi Teknis Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR) DAN Peraturan Zonasi (PZ) Kawasan Perkotaan Ibukota
Kabupaten Seram Bagian Barat meliputi:
1. Analisis Struktur Internal Bagian Wilayah Perencanaan (BWP), meliputi:
a. Analisis Sistem Pusat Pelayanan;
b. Analisis Sistem Jaringan Jalan
c. Analisis Intensitas Pemanfaatan ruang pada BWP
2. Analisis Sistem Penggunaan Lahan
a. Analisis simpangan antara pola ruang RTRW dan kondisi eksisting;
b. Analisis tutupan lahan dan run-off yang ditimbulkan;
c. Analisis kepemilikan tanah
3. Analisis kedudukan dan peran BWP dalam wilayah yang lebih luas
a. Analisis kedudukan dan keterkaitan sosial-budaya dan demografi BWP
dalam wilayah yang lebih luas;
b. Analisis kedudukan dan keterkaitan ekonomi BWP pada wilayah yang
lebih luas;
c. Analisis kedudukan dan keterkaitan sistem prasarana wilayah
perencanaan dengan wilayah yang lebih luas;
d. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek lingkungan (pengelolaan fisik
dan SDA) BWP pada wilayah yang lebih luas;

Halaman IV | 41
e. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek pertahanan dan keamanan
BWP;
f. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek pendanaan BWP;
g. Analisis spesifik terkait kekhasan kawasan
4. Sumber daya alam dan fisik lingkungan BWP
a. Analisis sumber daya air
b. Analisis sumber daya tanah
c. Analisis topografi dan kelerengan
d. Analisis geologi lingkungan
e. Analisis klimatologi
f. Analisis sumber daya alam (zona lindung)
g. Analisis sumber daya alam dan fisik wilayah lainnya
5. Sosial budaya dilakukan untuk mengkaji kondisi sosial budaya masyarakat
yang mempengaruhi perkembangan wilayah
6. Kependudukan
7. Ekonomi dan sektor unggulan
8. Transportasi
9. Sumber Daya Buatan
10. Kondisi lingkungan binaan
11. Analisis kelembagaan
12. Analisis pembiayaan pembangunan
13. Analisis potensi dan masalah pengembangan di Kawasan Perkotaan Ibukota
Kabupaten Seram Barat, meliputi:
a. Analisis kebutuhan ruang; dan
b. Analisis perubahan pemanfaatan ruang.
14. Analisis kualitas kinerja kawasan dan lingkungan.
Keluaran dari pengolahan data meliputi:
1. Potensi dan masalah pengembangan di Kawasan Perkotaan Ibukota
Kabupaten Seram Barat;
2. Peluang dan tantangan pengembangan;
3. Kecenderungan perkembangan;
4. Perkiraan kebutuhan pengembangan di Kawasan Perkotaan Ibukota
Kabupaten Seram Barat;

Halaman IV | 42
5. Intensitas pemanfaatan ruang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
(termasuk prasarana/infrastruktur dan utilitas); dan
6. Teridentifikasinya indikasi arahan penanganan kawasan dan lingkungan.

4.2.5 Perumusan Konsep RDTR dan Muatan PZ


Perumusan konsep RDTR di Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat
dilakukan dengan:
1. Mengacu pada RTRW Kabupaten Seram Bagian Barat;
2. Mengacu pada pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
dan
3. Memperhatikan RPJP dan RPJM Kabupaten Seram Bagian Barat.

Konsep RDTR di Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat dirumuskan


berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya dengan
menghasilkan beberapa alternatif konsep pengembangan wilayah, yang berisi:
1. Rumusan tentang tujuan, kebijakan, dan strategi pengembangan wilayah
kota; dan
2. Konsep pengembangan wilayah kota.

Setelah dilakukan beberapa kali iterasi, dipilih alternatif terbaik sebagai dasar
perumusan RDTR di Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat. Hasil
kegiatan perumusan konsepsi RDTR Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian
Barat terdiri atas:
a. Tujuan Penataan Ruang
Tujuan pengembangan kawasan dirumuskan sesuai dengan karakter kawasan
yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Tujuan juga telah
mempertimbangkan urgensi permasalahan ruang kawasan yang harus segera
disusun pengendalian pelaksanaan pembangunannya.
b. Rencana Struktur Ruang
Rencana jaringan prasarana merupakan pengembangan hierarki sistem
jaringan prasarana yang ditetapkan dalam rencana struktur RTRW Kota.
Materi dari rencana jaringan prasarana RDTR meliputi:
1) Rencana Pengembangan Jaringan Pergerakan
Rencana pengembangan jaringan pergerakan merupakan seluruh jaringan
primer dan jaringan sekunder pada BWP yang meliputi jalan arteri, jalan
kolektor, jalan lokal, jalan lingkungan dan jaringan jalan lainnya yang
belum termuat dalam RTRW Kota, terdiri atas:

Halaman IV | 43
 Jaringan jalan arteri primer dan arteri sekunder;
 Jaringan jalan kolektor primer dan kolektor sekunder;
 Jaringan jalan lokal primer dan lokal sekunder;
 Jaringan jalan lingkungan primer dan lingkungan sekunder; dan
 Jaringan jalan lainnya yang meliputi:
 Jalan masuk dan keluar terminal barang serta terminal
orang/penumpang sesuai ketentuan yang berlaku (terminal tipe A,
B dan C hingga pangkalan angkutan umum);
 Jaringan jalan moda transportasi umum (jalan masuk dan
keluarnya terminal barang/orang hingga pangkalan angkutan
umum dan halte);
 Jalan masuk dan keluar parkir.
2) Rencana Pengembangan Jaringan Energi/Kelistrikan
Rencana pengembangan jaringan energi/kelistrikan merupakan
penjabaran dari jaringan distribusi dan pengembangannya berdasarkan
prakiraan kebutuhan energi/kelistrikan di BWP yang termuat dalam
RTRW, terdiri atas:
 Jaringan sub transmisi yang berfungsi untuk menyalurkan daya listrik
dari sumberdaya besar (pembangkit) menuju jaringan distribusi
primer (gardu induk) yang terletak di BWP (jika ada);
 Jaringan distribusi primer (jaringan SUTUT, SUTET dan SUTT) yang
berfungsi untuk menyalurkan daya listrik dari jaringan sub transmisi
menuju jaringan distribusi sekunder yang dilengkapi dengan
infrastruktur pendukung yang meliputi:
 Gardu induk yang berfungsi untuk menurunkan tegangan dari
jaringan sub transmisi (70–500 KV) menjadi tegangan menengah
(20 KV);
 Gardu hubung yang berfungsi untuk membagi daya listrik dari
gardu induk menuju gardu distribusi;
 Jaringan distribusi sekunder yang berfungsi untuk menyalurkan atau
menghubungkan daya listrik tegangan rendah ke konsumen yang
dilengkapi dengan infrastruktur pendukung berupa gardu distribusi
yang berfungsi untuk menurunkan tegangan primer (20 KV) menjadi
tegangan sekunder (220 V/380 V).
 Penjabaran jaringan pipa minyak dan gas bumi, di wilayah
perencanaan (jika ada); (sesuai UU No.20 tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan, Kepmen ESDM no.865 tahun 2003 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan)
3) Rencana Pengembangan Jaringan Telekomunikasi

Halaman IV | 44
Rencana pengembangan jaringan telekomunikasi, terdiri atas:
 Rencana pengembangan infrastruktur dasar telekomunikasi yang
berupa penetapan lokasi pusat automatisasi sambungan telepon;
 Rencana penyediaan jaringan telekomunikasi telepon kabel yang
berupa penetapan lokasi stasiun telepon otomat, rumah kabel dan
kotak pembagi;
 Rencana penyediaan jaringan telekomunikasi telepon nirkabel yang
berupa penetapan lokasi menara telekomunikasi termasuk menara
Base Transceiver Station (BTS);
 Rencana pengembangan sistem televisi kabel termasuk penetapan
lokasi stasiun transmisi;
 Rencana penyediaan jaringan serat optik; dan
 Rencana peningkatan pelayanan jaringan telekomunikasi.
4) Rencana Pengembangan Jaringan Air Minum
Rencana pengembangan jaringan air minum berupa rencana kebutuhan
dan sistem penyediaan air minum, terdiri atas:
 Sistem penyediaan air minum wilayah kabupaten/kota yang
mencakup sistem jaringan perpipaan dan bukan jaringan perpipaan;
 Bangunan pengambil air baku;
 Pipa transmisi air baku dan instalasi produksi;
 Pipa unit distribusi hingga persil;
 Bangunan penunjang dan bangunan pelengkap; dan
 Bak penampung.
5) Rencana Pengembangan Jaringan Drainase
Rencana pengembangan jaringan drainase, terdiri atas:
 Sistem jaringan drainase yang berfungsi untuk mencegah genangan;
 Rencana kebutuhan sistem jaringan drainase yang meliputi rencana
jaringan primer, sekunder, tersier dan lingkungan di BWP.
 Kondisi topografi di wilayah perencanaan yang berpotensi terjadi
genangan maka perlu dibuat kolam retensi, sistem pemompaan dan
pintu air.
6) Rencana Pengembangan Jaringan Air Limbah
Jaringan air limbah meliputi sistem pembuangan air limbah setempat (On
Site) dan/atau terpusat (Off Site). Sistem pembuangan air limbah
setempat, terdiri atas:
 Bak septik (septic tank); dan

Halaman IV | 45
 Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).
Sistem pembuangan air limbah terpusat, terdiri atas:
 Seluruh saluran pembuangan; dan
 Bangunan pengolahan air limbah.

c. Rencana Pola Ruang


Rencana pola ruang terdiri dari rencana zona lindung dan rencana budidaya
yang secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut.
1) Zona Lindung yang meliputi:
 Zona Hutan Lindung;
 Zona yang memberikan perlindungan terhadap zona di bawahnya
yang meliputi zona bergambut dan zona resapan air;
 Zona perlindungan setempat yang meliputi sempadan pantai,
sempadan sungai, zona sekitar danau atau waduk dan zona sekitar
mata air;
 Zona RTH kota yang antara lain meliputi taman RT, taman RW, taman
kota dan pemakaman;
 Zona suaka alam dan cagar budaya;
 Zona rawan bencana alam yang antara lain meliputi zona rawan tanah
longsor, zona rawan gelombang pasang dan zona rawan banjir;
 Zona lindung lainnya.
2) Zona Budidaya yang meliputi:
 Zona perumahan yang dapat dirinci ke dalam perumahan dengan
kepadatan sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah
(bila diperlukan dapat dirinci lebih lanjut ke dalam rumah susun,
rumah kopel, rumah deret, rumah tunggal, rumah taman dan
sebagainya);
 Zona perumahan juga dapat dirinci berdasarkan kekhususan jenis
perumahan, seperti perumahan tradisional, rumah sederhana/sangat
sederhana, rumah sosial dan rumah singgah;
 Zona perdagangan dan jasa meliputi perdagangan jasa deret dan
perdagangan jasa tunggal (bila diperlukan dapat dirinci lebih lanjut ke
dalam lokasi PKL, pasar tradisional, pasar modern, pusat perbelanjaan
dan sebagainya);
 Zona perkantoran meliputi perkantoran pemerintah dan perkantoran
swasta;

Halaman IV | 46
 Zona sarana pelayanan umum meliputi sarana pelayanan umum
pendidikan, sarana pelayanan umum transportasi, sarana pelayanan
umum kesehatan, sarana pelayanan umum olahraga, sarana
pelayanan umum sosial budaya dan sarana pelayanan umum
peribadatan;
 Zona industri meliputi industri kimia dasar, industri mesin dan logam
dasar, industri kecil dan aneka industri;
 Zona khusus berada di kawasan perkotaan dan tidak termasuk ke
dalam zona di atas antara lain meliputi zona untuk keperluan
pertahanan dan keamanan, zona instalasi pengolahan air limbah
(IPAL), zona tempat pemrosesan akhir (TPA) dan zona khusus lainnya;
 Zona lainnya, yang tidak selalu berada di kawasan perkotaan yang
antara lain meliputi zona pertanian, zona pertambangan dan zona
pariwisata;
 Zona campuran, yaitu zona budidaya dengan beberapa peruntukan
fungsi dan/atau bersifat terpadu seperti perumahan dan
perdagangan/jasa, perumahan, perdagangan/jasa dan perkantoran.

d. Penetapan Sub BWP yang diprioritaskan penanganannya


Penetapan bagian dari wilayah perencanaan yang diprioritaskan
penanganannya minimum harus memuat:
1. Lokasi
Lokasi adalah tempat bagian dari wilayah perencanaan yang
diprioritaskan penanganannya.
Lokasi bagian dari wilayah perencanaan yang diprioritaskan
penanganannya perlu digambarkan dalam peta. Batas delineasi lokasi
bagian dari wilayah perencanaan yang diprioritaskan penanganannya,
dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. batas fisik, seperti blok dan sub-blok;
b. fungsi kawasan, seperti masing-masing zona dan sub-zona;
c. wilayah administratif, seperti RT, RW, kelurahan, kecamatan, dan
wilayah perencanaan/desa;
d. penentuan secara kultural tradisional (traditional cultural-spatial
units), seperti desa adat;
e. penentuan berdasarkan kesatuan karakter tematis, seperti kawasan
kota lama, lingkungan sentra perindustrian rakyat, kawasan sentra
pendidikan, dan kawasan permukiman tradisional; dan
f. penentuan berdasarkan jenis kawasan, seperti kawasan baru yang
berkembang cepat, kawasan terbangun yang memerlukan penataan,

Halaman IV | 47
kawasan dilestarikan, kawasan rawan bencana, dan kawasan
gabungan atau campuran.
2. Tema Penanganan
Tema penanganan adalah program utama untuk setiap lokasi. Tema
penanganan bagian dari wilayah perencanaan yang diprioritaskan
penanganannya, dapat meliputi:
a. perbaikan prasarana, sarana, dan blok/kawasan; contohnya melalui
penataan lingkungan permukiman kumuh/nelayan (perbaikan
kampung), perbaikan desa pusat pertumbuhan, perbaikan kawasan,
serta pelestarian kawasan;
b. pengembangan kembali prasarana, sarana, dan blok/kawasan; contoh
nya melalui peremajaan kawasan, pengembangan kawasan terpadu,
revitalisasi kawasan, serta rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan
pasca bencana;
c. pelestarian/pelindungan blok/kawasan, contohnya melalui
pengendalian kawasan pelestarian, revitalisasi kawasan, serta
pengendalian kawasan rawan bencana.

e. Arahan Pemanfaatan Ruang


Program dalam rencana pemanfaatan ruang apabila dibuat dalam dokumen
RDTR memuat:
1. Program Pemanfaatan Ruang Utama, merupakan program-program
pengembangan wilayah perencanaan yang diindikasikan memiliki bobot
tinggi berdasarkan tingkat kepentingan atau diprioritaskan dan memiliki
nilai strategis untuk mewujudkan rencana pola ruang dan rencana
jaringan prasarana di wilayah perencanaan sesuai tujuan penataan ruang
wilayah perencanaan. Program pemanfaatan ruang ini dapat memuat
kelompok program sebagai berikut:
1) perwujudan rencana pola ruang di wilayah perencanaan, meliputi:
i. perwujudan zona lindung pada wilayah perencanaan; dan
ii. perwujudan zona budidaya pada wilayah perencanaan, dapat
meliputi:
(a) perwujudan penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum di
wilayah perencanaan;
(b) perwujudan ketentuan pemanfaatan ruang untuk setiap jenis
pola ruang (zona) jika peraturan zonasi terpisah dari dokumen
RDTR;
(c) perwujudan intensitas pemanfaatan ruang blok; dan
(d) perwujudan tata massa bangunan.

Halaman IV | 48
2) program perwujudan rencana jaringan prasarana di wilayah
perencanaan, meliputi:
i. perwujudan pusat pelayanan kegiatan di wilayah perencanaan;
dan
ii. perwujudan sistem jaringan prasarana untuk wilayah
perencanaan, yang mencakup pula sistem prasarana nasional dan
wilayah/regional di dalam wilayah perencanaan, dapat meliputi:
(a) perwujudan sistem jaringan pergerakan di wilayah
perencanaan;
(b) perwujudan sistem jaringan energi;
(c) perwujudan sistem jaringan kelistrikan;
(d) perwujudan sistem jaringan telekomunikasi;
(e) perwujudan sistem air minum;
(f) perwujudan sistem drainase;
(g) perwujudan sistem air limbah; dan
(h) perwujudan sistem jaringan lainnya sesuai kebutuhan wilayah
perencanaan.
3) perwujudan penetapan bagian dari wilayah perencanaan yang
diprioritaskan penanganannya, dapat meliputi:
i. perbaikan prasarana, sarana, dan blok/kawasan
ii. pembangunan baru prasarana, sarana, dan blok/kawasan;
iii. pengembangan kembali prasarana, sarana, dan blok/kawasan;dan
iv. pelestarian/pelindungan blok/kawasan
2. Lokasi, tempat di mana usulan program akan dilaksanakan.
3. Besaran, merupakan perkiraan jumlah satuan masing-masing usulan
program utama pengembangan wilayah yang akan dilaksanakan.
4. Sumber Pendanaan, yang dapat berasal dari APBD kota, APBD provinsi,
APBN, swasta, dan/atau masyarakat.
5. Instansi Pelaksana, yang merupakan pihak-pihak pelaksana program
utama yang meliputi pemerintah (sesuai dengan kewenangan masing-
masing pemerintahan), swasta, serta masyarakat.
6. Waktu dan Tahapan Pelaksanaan, usulan program direncanakan dalam
kurun waktu perencanaan 20 (dua puluh) tahun yang dirinci setiap 5
(lima) tahunan, sedangkan masing-masing program mempunyai durasi
pelaksanaan yang bervariasi sesuai kebutuhan. Penyusunan program
utama disesuaikan dengan pentahapan jangka waktu 5 tahunan RPJP
Daerah Kab/Kota.

Halaman IV | 49
f. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang bertujuan untuk menjamin
bahwa pemanfaatan ruang dilakukan sesuai Rencana Tata Ruang; mengatur
keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang; menjamin bahwa
pembangunan yang akan dilaksanakan dapat mencapai standar kualitas
minimum; melindungi atau menjamin agar pembangunan baru tidak
mengganggu pemanfaat ruang yang telah ada; memelihara atau
memanfaatkan lingkungan secara berkelanjutan; menyediakan aturan yang
seragam di setiap zona; mencegah dampak pembangunan yang merugikan;
dan meminimalkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan
peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta
pengenaan sanksi.
1. Peraturan Zonasi
Peraturan zonasi merupakan kelengkapan rencana tata ruang kawasan
yang harus disusun secara bersamaan sebagai lampiran yang tidak
terpisahkan dari dokumen RTR kawasan atau secara terpisah sebagai
kelengkapan dokumen RTR kawasan.
Peraturan zonasi kawasan memuat ketentuan kegiatan dan penggunaan
lahan yang berisikan kegiatan yang diperbolehkan, baik diperbolehkan
tanpa syarat, dengan syarat, atau dengan pengecualian; dan kegiatan
yang tidak diperbolehkan;
Peraturan zonasi ini merupakan dasar dalam pemberian insentif dan
disinsentif, pemberian izin, serta pengenaan sanksi.
Peraturan zonasi juga bertujuan untuk meningkatkan kesehatan,
keselamatan, kenyamanan lingkungan, dan moral dari masyarakat;
memberikan kepastian dan keadilan dalam pemanfaatan ruang yang
berorientasi pada kesejahteraan masyarakat; dan menjamin peran
masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang kota.
2. Ketentuan Insentif dan Disinsentif
Insentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan
terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang.
Insentif ini diberikan dalam bentuk insentif fiskal berupa pemberian
keringanan atau pembebasan pajak maupun dalam bentuk insentif non
fiskal berupa penambahan dana alokasi khusus, pemberian kompensasi,
subsidi silang, kemudahan perizinan, imbalan, sewa ruang, urun saham,
penyediaan prasarana dan sarana, penghargaan, dan/atau publisitas atau
promosi.
Sedangkan disinsentif adalah perangkat untuk mencegah, membatasi
pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan
rencana tata ruang. Disinsentif ini diberikan dalam bentuk disinsentif
fiskal berupa pengenaan pajak yang tinggi maupun dalam bentuk

Halaman IV | 50
disinsentif non fiskal berupa pengurangan dana alokasi khusus, kewajiban
pemberian kompensasi, persyaratan khusus dalam perizinan, kewajiban
membayar imbalan, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana,
dan/atau pemberian status tertentu dari pemerintah.
Pemberian insentif dan disinsentif dalam penataan ruang diselenggarakan
dengan tujuan:
a. Meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka
mewujudkan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
b. Memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan
rencana tata ruang; dan
c. Meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam
rangka pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang.

3. Ketentuan Perizinan
Izin pemanfaatan ruang diberikan dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan umum; menghindari eksternalisasi negatif; dan menjamin
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, strandar dan
kualitas minimum yang ditetapkan.
Izin diberikan kepada calon pengguna ruang yang akan melakukan
kegiatan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan/zona berdasarkan
arahan rencana pola ruang. Pemberian izin dimaksudkan sebagai upaya
penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus
dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Jenis perizinan antara lain:
a. Izin Kegiatan (sektoral)
b. Izin Prinsip
c. Izin Tetap
d. Izin Pertanahan (lokasi, hak atas tanah)
e. Izin Perencanaan dan Bangunan
Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik
yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai
sanksi adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda.

4. Arahan Sanksi
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib menaati rencana tata
ruang yang telah ditetapkan; memanfaatkan ruang sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; mematuhi ketentuan
yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan

Halaman IV | 51
memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut di atas akan dikenai
sanksi administratif berupa peringatan tertulis; penghentian sementara
kegiatan; penghentian sementara pelayanan umum; penutupan lokasi;
pencabutan izin; pembatalan izin; pembongkaran bangunan; pemulihan
fungsi ruang; dan/atau denda administratif.
Pemberian sanksi terhadap pelanggaran penataan ruang diberikan
berdasarkan besar atau kecilnya dampak yang ditimbulkan akibat
pelanggaran penataan ruang; nilai manfaat pemberian jenis sanksi yang
diberikan untuk pelanggaran penataan ruang; dan kerugian publik yang
ditimbulkan akibat pelanggaran penataan ruang.
Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan tertib tata ruang dan tegaknya peraturan perundang-
undangan bidang penataan ruang.

Halaman IV | 52
Gambar 4.17. Kerangka Pemikiran

Halaman IV | 53
4.3 Metode Pengumpulan Data dan Desain Survey
Pembahasan mengenai metode survei dalam Penyusunan RDTR di Kawasan
Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat terdiri atas:
 Pekerjaan Survei
Survei adalah bentuk riset yang memusatkan pada salah satu atau beberapa
aspek dari objeknya. Oleh karena itu hasil dari suatu survei sering
dipergunakan untuk menyusun suatu perencanaan atau menyempurnakan
perencanaan yang sudah ada. Penggunaannya sebagai data perencanaan
dimungkinkan karena melalui survei untuk suatu objek penelitian
diungkapkan secara menyeluruh. Objek dari survei dapat terdiri dari
lingkungan suatu bangsa/negara, daerah, sebuah kab/kota, sebuah desa,
suatu sistem dan lain-lain. Salah satu bentuk dari survei adalah Survei
Pendapat Umum (Public Opinion Survey) dan Survei Kemasyarakatan
(Community Survey).
Survei ini penting tidak hanya sebagai ungkapan gambaran pendapat
masyarakat, namun juga penting bagi penentu kebijakan (policy maker)
untuk mengetahui pendapat umum (public opinion) berupa sikap dan
beberapa kecenderungan lain yang berlaku di dalam kelompok tertentu atau
dalam masyarakat luas, terutama mengenai kebijakan yang akan ditetapkan.
Penelitian tentang pendapat umum biasanya mempergunakan kuesioner
sebagai alat pengumpul data dari sejumlah subjek yang dipilih secara teliti
agar mewakili kelompok atau masyarakat luas secara representatif.
Sedangkan untuk survei kemasyarakatan, seringkali disebut sebagai
penelitian sosial yang maksudnya untuk mengungkap aspek atau beberapa
aspek tertentu dalam kehidupan masyarakat. Melalui penelitian ini
dikumpulkan data untuk mengambil kesimpulan tentang pendapat,
keinginan, kebutuhan, kondisi, dan lain-lain di dalam masyarakat mengenai
aspek yang diselidiki. Luas dan kedalaman penelitian ini dipengaruhi oleh
faktor keterbatasan waktu dan biaya, keterbatasan kemampuan tenaga
pelaksana dan tenaga ahli penganalisa serta ketersediaan masyarakat untuk
bekerjasama dan membantu dalam memberikan data yang relevan. Salah
satu objek penelitian yang bisa di selidiki dengan survei ini adalah situasi
geografis dan situasi ekonomi yang banyak pengaruhnya terhadap pola
kehidupan masyarakat. Misalnya mempengaruhi sistem dan pelaksanaan
transportasi, komunikasi, administrasi pemerintahan, pelayanan kesehatan
dan pendidikan, rekreasi, keamanan dan ketenteraman masyarakat, dan
sebagainya.

 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi langsung
dan komunikasi langsung. Teknik observasi langsung adalah cara
pengumpulan data yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya

Halaman IV | 54
langsung pada tempat di mana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang
terjadi. Pengamatannya dapat menggunakan atau tanpa alat. Sedangkan
teknik komunikasi langsung adalah cara mengumpulkan data, di mana
peneliti mengadakan kontak langsung secara lisan atau tatap muka (face to
face) dengan sumber data dalam situasi yang sebenarnya. Secara praktis,
oleh karena keterbatasan teknis yang dimiliki, kuesioner dipilih sebagai alat
untuk mengumpulkan data. Kuesioner ini berisi tentang daftar pertanyaan
yang disampaikan kepada responden. Seperti yang telah diuraikan di atas,
oleh karena fokus dari penelitian ini pada objeknya (materi penelitian)
berupa pendapat masyarakat tentang pembangunan, maka identitas
responden bukan merupakan hal yang penting untuk diketahui, namun asal
responden penting untuk diketahui karena identitas bukan objek yang diteliti.
Secara lebih jauh kelompok asal masyarakat yang berlatar belakang sosio
ekonomi yang berbeda mempunyai korelasi yang erat dengan pandangan
atau pendapatnya terhadap pembangunan di masa depan. Adapun asumsi
yang digunakan adalah mereka yang berasal di daerah tertentu memiliki
kepentingan langsung dan memiliki kepentingan yang melekat dengan
pembangunan di masa depan. Oleh karena itu kuesioner yang disusun lebih
berfokus kepada objek yang ingin diketahui (diteliti). Sehingga objek
penelitian ini banyak mengungkap faktor-faktor yang (diduga) mempengaruhi
preferensi seseorang terhadap pembangunan di masa depan.
Pengumpulan data primer setingkat desa/kelurahan dapat meliputi:
a. Penjaringan aspirasi masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui
penyebaran angket, temu wicara, wawancara orang perorang dan lain
sebagainya;
b. Pengenalan kondisi fisik dan sosial ekonomi wilayah perencanaan secara
langsung melalui kunjungan ke semua bagian dari wilayah perencanaan.
Pengumpulan data sekurang-kurangnya, meliputi:
a. Data wilayah administrasi;
b. Data fisiografis;
c. Data kependudukan;
d. Data ekonomi dan keuangan;
e. Data ketersediaan prasarana dan sarana ;
f. Data peruntukan ruang;
g. Data penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan lahan;
h. Data terkait kawasan dan bangunan (kualitas, intensitas bangunan, tata
massa bangunan);
i. Peta dasar rupa bumi dan peta tematik yang dibutuhkan, penguasaan
lahan, penggunaan lahan, peta peruntukan ruang, pada skala peta
minimal 1:5.000.

Halaman IV | 55
Keakuratan jenis data, sumber penyedia data, kewenangan sumber atau
instansi penyedia data, tingkat kesalahan, variabel ketidakpastian, serta
variabel-variabel lainnya yang mungkin ada, perlu diperhatikan dalam
pengumpulan data. Hasil dari tahap kegiatan pengumpulan data akan
menjadi bagian dari dokumen buku data dan analisis.

Halaman IV | 56
Tabel 4.2. Cheklist Kebutuhan Data Sekunder
No BUKU LAPORAN SUMBER DATA KETERANGAN
1 RTRW Kab. SBB  Bappeda Delengkapi dengan peta
digital (format shp)
2 Kabupaten dan Kecamatan Dalam Angka BPS 5 tahun terakhir
3 RPJPD dan RPJMD  Bappeda

4  Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP)  Dinas PUPR – Bidang Cipta Dilengkapi dengan Peta
 Buku Putih Sanitasi (BPS) Karya Digital (format Shp)
 Strategi Sanitasi Kota (SSK)
 Memorandum Program Sanitasi (MPS)
 Rencana Induk Sistem Penyediaan Air Minum (RISSPAM)
 Masterplan Persampahan
 Masterplan Drainase
 Masterplan Air Limbah
 Masterplan Ruang Terbuka Hijau
 Rencana Program Investasi Infrastruktur (RPI2JM) Bidang Cipta Karya

5 SK Jaringan Jalan Kabupaten (lengkap dengan kondisi, fungsi, status, dan  Dinas PUPR – Bidang Bina Dilengkapi dengan Peta
dimensi) dan Rencana Pembangunan Baru Marga Digital (format Shp)

6 Data Inventarisasi Sumberdaya Air (lokasi dan dimensi)  Dinas PUPR – Bidang Dilengkapi dengan Peta
 Sungai Besar dan Anak Sungai (DAS dan Sub DAS) Pengairan Digital (format Shp)
 Situ
 Danau
 Embung
 Waduk

Data dan Peta Lokasi Daerah Irigasi Air Permukaan dan Daerah Irigasi Air

Halaman IV | 57
No BUKU LAPORAN SUMBER DATA KETERANGAN
Tanah (DIAT) serta rencana pengembangan

7 Tatanan Transportasi Lokal (Tatralok) Kabupaten Dinas Perhubungan Dilengkapi dengan Peta
Digital (format Shp)
8 Peraturan Daerah Terkait Penataan Bangunan dan Lingkungan, Intensitas dan Dinas PUPR
Tata Massa Bangunan (Misalnya : Aturan IMB, Sempadan Bangunan dan
Jalan, dan lain-lain)
9 Dokumen Informasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah/Status Dinas Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup
10  Kajian Resiko Bencana; Bahaya, Kerentanan, Ketahanan dan Resiko Badan Penanggulangan Bencana Dilengkapi dengan Peta
Bencana Daerah (BPBD)
 Lokasi rawan bencana
 Jalur dan ruang evakuasi bencana

11  Masterplan Agropolitan Dinas Pertanian Dilengkapi dengan Peta


 Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Lahan Digital (format Shp)
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan
12  Data Sentra IKM (lokasi, produk yang dikembangkan) Dinas Perindustrian dan
 Rencana Induk Pengembangan Industri Kabupaten Perdagangan

13  Sebaran lokasi ODTW Dinas Pemuda, Olahraga dan Dilengkapi dengan Peta
 Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPARDA) Pariwisata

14  Sebaran lokasi pengembangan perikanan Dinas Perikanan Dilengkapi dengan Peta


 Rencana pengembangan perikanan

15 Bentuk, Tata Cara dan Prosedur Perizinan Pemanfaatan Ruang Dinas Perizinan
 Izin Prinsip

Halaman IV | 58
No BUKU LAPORAN SUMBER DATA KETERANGAN
 Izin Lokasi
 Izin Peruntukan Penggunaan Tanah
 Izin Mendirikan Bangunan

Halaman IV | 59
4.4 Metode Analisis Perencanaan RDTR
4.4.1 Analisis Struktur Internal BWP
Analisis Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat pada wilayah yang lebih
luas, dilakukan untuk memahami kedudukan dan keterkaitan Kawasan
Perkotaan Ibukota Kabupaten Seram Barat dalam sistem regional yang lebih luas
dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan, sumber daya buatan atau sistem
prasarana, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sistem regional tersebut berupa
sistem kota-kota di Provinsi Maluku, kabupaten atau kota yang berbatasan, di
mana Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat tersebut dapat berperan
dalam perkembangan regional. Oleh karena itu, dalam analisis regional ini
dilakukan analisis pada aspek berikut:
Analisis kedudukan dan keterkaitan sosial-budaya dan demografi Kawasan
Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat pada wilayah yang lebih luas;
1. Analisis kedudukan dan keterkaitan ekonomi Kawasan Ibukota Kabupaten
Seram Bagian Barat pada wilayah yang lebih luas;
2. Analisis kedudukan dan keterkaitan sistem prasarana Kawasan Ibukota
Kabupaten Seram Bagian Barat dengan wilayah yang lebih luas. Sistem
prasarana yang diperhatikan dalam analisis ini adalah sistem prasarana
wilayah;
3. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek lingkungan (pengelolaan fisik dan
SDA) Kecamatan Biringkanya pada wilayah yang lebih luas;
4. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek pertahanan dan keamanan
Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat; dan
5. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek pendanaan Kecamatan
Biringkanya.

Keluaran dari analisis regional, meliputi:


1. Gambaran pola ruang dan sistem jaringan prasarana Kawasan Ibukota
Kabupaten Seram Bagian Barat yang berhubungan dengan wilayah lain yang
berbatasan;
2. Gambaran fungsi dan peran Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat
pada wilayah yang lebih luas (kabupaten/kota berdekatan secara sistemik);
3. Gambaran potensi dan permasalahan pembangunan akan penataan ruang
pada wilayah yang lebih luas terkait dengan kedudukan dan hubungan
Kecamatan Biringkanya dengan wilayah yang lebih luas; dan
4. Gambaran peluang dan tantangan pembangunan Kecamatan Biringkanya
dalam wilayah yang lebih luas yang ditunjukkan oleh sektor unggulan.

Halaman IV | 60
Keluaran analisis regional digunakan sebagai pertimbangan dalam Penyusunan
Materi Teknis RDTR di Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat yang
meliputi:
1. Penetapan fungsi dan peran Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat
dalam wilayah yang lebih luas yang akan mempengaruhi pada pembentukan
jaringan prasarana terutama lintas sub wilayah/lintas kawasan atau yang
mengemban fungsi layanan dengan skala yang lebih luas dari wilayah
Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat; dan
2. Pembentukan pola ruang Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat
yang serasi dengan kawasan berdekatan terutama pada wilayah perbatasan
agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi dalam pemanfaatan ruang dalam
rangka perwujudan tujuan penataan ruang.

Berikut ini rincian dari analisis wilayah yang lebih luas dan metode analisisnya:
1. Analisis kedudukan dan keterkaitan sosial-budaya dan Kawasan Ibukota
Kabupaten Seram Bagian Barat pada wilayah yang lebih luas;
Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi karakteristik sosial-
budaya masyarakat Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat dalam
kaitannya dengan karakteristik sosial-budaya di Kabupaten Seram Bagian
Barat dan Provinsi Maluku. Selain itu, analisis ini juga mengidentifikasi
kedudukan masyarakat Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat dari
sisi demografi dikaitkan dengan karakteristik demografi di wilayah kecamatan
lain di Kabupaten Seram Bagian Barat. Pada analisis ini diperbandingkan
jumlah penduduk antar kecamatan di Kabupaten Seram Bagian Barat baik
dari sisi kuantitas maupun kualitas (IPM).
2. Analisis kedudukan dan keterkaitan ekonomi Kawasan Ibukota Kabupaten
Seram Bagian Barat pada wilayah yang lebih luas;
Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi struktur ekonomi
Kawasan Perkotaan Ibukota Kabupaten Seram Barat dalam kaitannya dengan
struktur ekonomi di Kabupaten Seram Barat. Pada analisis ini
mengidentifikasi kedudukan struktur ekonomi Kawasan Ibukota Kabupaten
Seram Bagian Barat dari sisi ekonomi makro pada wilayah Kabupaten Seram
Bagian Barat. Pada analisis ini diperbandingkan kinerja dan struktur ekonomi
makro Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat dengan kecamatan
lain di Kabupaten Seram Bagian Barat. Indikator ekonomi makro utama yang
diperbandingkan dalam analisis ini adalah PDRB, selain itu juga indikator lain
seperti tabel I-O, kinerja investasi, potensi investasi, kinerja ekspor-impor dan
indikator ekonomi makro lainnya.

Halaman IV | 61
3. Analisis kedudukan dan keterkaitan sistem prasarana Kawasan Ibukota
Kabupaten Seram Bagian Barat dengan wilayah yang lebih luas.
Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi sistem prasarana Kawasan
Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat dalam kaitannya dengan sistem
prasarana wilayah di Kabupaten Seram Bagian Barat. Pada analisis ini
mengidentifikasi kondisi eksisting sistem prasarana wilayah dan rencana
sistem prasarana yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Seram
Bagian Barat, Pemerintah Provinsi Maluku maupun oleh Pemerintah Pusat.
Sistem prasarana yang dikaji adalah prasarana transportasi, energi/listrik,
telekomunkasi, limbah, persampahan, sumber daya air (drainase, air minum),
jalur evakuasi dan ruang evakuasi bencana, serta prasarana lainnya.
4. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek lingkungan (pengelolaan fisik
dan SDA) Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat pada wilayah
yang lebih luas;
Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi kondisi fisik-lingkungan
dan sumber daya alam Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat
dalam kaitannya dengan wilayah kecamatan lain di Kabupaten Seram Bagian
Barat. Pada analisis ini mengidentifikasi kondisi eksisting fisik-lingkungan dan
sumber daya alam dan kebijakan-kebijakan pengelolaan lingkungan dalam
kerangka wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku maupun
nasional. Analisis ini mengulas arti penting lingkungan dan pengelolaan
lingkungan di Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat dalam
menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan pada wilayah Kabupaten
Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku dan Nasional.
5. Analisis kedudukan dan keterkaitan aspek pendanaan Kawasan Ibukota
Kabupaten Seram Bagian Barat.
Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi kondisi dan potensi
pendanaan yang dimiliki Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat
dalam kaitannya dengan wilayah di Kabupaten Seram Bagian Barat. Pada
analisis ini mengidentifikasi kedudukan struktur APBD Kawasan Ibukota
Kabupaten Seram Bagian Barat pada konteks wilayah Kabupaten Seram
Bagian Barat.

Data yang dibutuhkan


 Data RTRW Kabupaten Seram Bagian Barat
 Data RPJP & RPJMD Kabupaten Seram Bagian Barat
 Data Citra Kawasan Perkotaan (Kondisi Fisik) yang Rekomendasi BIG
 Data Sebaran sarana dan prasarana (pendidikan, peribadatan, kesehatan,
perdagangan jasa, perkantoran, industri, pariwisata, perumahan, dan
lainnya)

Halaman IV | 62
 Data jaringan jalan (nasional, provinsi, kab/kota, lokal)
Gambar 4.18. Ilustrasi Pusat Pelayanan di dalam BWP

4.4.2 Analisis Penggunaan Lahan


Analisis ini diperlukan untuk mengetahui pola, luas dan persebaran penggunaan
lahan yang ada di wilayah kajian serta kecenderungan perkembangan
penggunaan lahan di masa yang akan datang. Analisis ini dimaksudkan untuk
mengetahui penguasaan, peruntukan, pemanfaatan dan penggunaan
lahan/tanah dalam rangka mengendalikan pemanfaatan ruang.
Secara lebih rinci analisis penggunaan lahan dimaksudkan untuk melakukan
kajian-kajian terhadap:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi pemanfaatan/penggunaan
lahan/tanah, distribusi penggunaan lahan serta interest/kecenderungan
swasta dan masyarakat dalam penguasaan/pemilikan/penggunaan lahan,
baik karena pengaruh aspek fisik/ lokasi, ekonomi, harga tanah, aksesibilitas,
keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif, keterkaitan sosial maupun
aspek lainnya.
2. Bentuk-bentuk penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan lahan yang
dilakukan masyarakat dan swasta.
3. Bentuk-bentuk intervensi pemerintah dalam rangka pengendalian
pemanfaatan baik berupa insentif misalnya berupa rangsangan pemerintah
kepada swasta untuk menanamkan modal, maupun bentuk disinsentif
misalnya berupa penguasaan/pengaturan yang dilakukan pemerintah antara
lain larangan, pengenaan pajak yang tinggi, perizinan bersyarat, dan
sebagainya.

Halaman IV | 63
Pendekatan proses permodelan pekerjaan ini, salah satu tekniknya
menggunakan perangkat komputer melalui program GIS (Geographic
Information System) atau biasa dikenal dengan nama SIG (Sistem Informasi
Geografis). Substansi materi GIS yang akan mengawali pekerjaan ini merupakan
salah satu bentuk sistem informasi yang mengelola data dan menghasilkan
informasi yang beraspek spasial, bergeoferensi dan berbasis komputer dengan
kemampuan memasukan, menyusun, memanipulasi dan menganalisis data serta
menampilkan sebagai suatu informasi.
Setiap feature (titik, garis dan polygon) disimpan dalam angka koordinat X, Y dan
untuk konsep layer-nya disimpan dalam bentuk coverage. Secara umum
dijelaskan sebagai berikut: Setiap layer pada GIS dalam bentuk coverage terdiri
dari feature geografi yang dihubungkan secara topologi dan berkaitan dengan
data atribut, sebagaimana dapat terlihat pada gambar berikut.

Gambar 4.19. Permodelan Dunia Nyata dalam Data Spasial GIS

Data yang dibutuhkan


 Data RTRW Kabupaten Seram Bagian Barat;
 Data penggunaan lahan eksisting Tahun 2019;
 Data Fisik Wilayah (Kondisi topografi, Kondisi geologi, Kondisi hidrologi,
Kondisi hidrogeologi, Kondisi jenis tanah, dan lain-lain);
 Data Rawan Bencana;
 Data status lahan;

Halaman IV | 64
Gambar 4.20. Contoh Analisis Pengganaan Lahan

4.4.3 Analisis Fisik dan Daya Dukung Lingkungan


Analisis ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana daya dukung fisik dan
lingkungan pada wilayah kajian, yang meliputi wilayah potensi pengembangan,
wilayah kendala dan wilayah limitasi. Analisis terhadap kondisi fisik kawasan
merupakan salah satu faktor yan penting dalam mendukung pengembangan
suatu kawasan. Kondisi fisik dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Fisik dengan limitasi pengembangan; suatu kondisi fisik yang tidak dapat
dikembangkan untuk suatu kegiatan.
2. Fisik dengan kendala pengembangan; suatu kondisi fisik yang dapat
dikembangkan untuk suatu kegiatan akan tetapi terdapat berbagai kendala.
3. Fisik dengan kemungkinan pengembangan; suatu kondisi fisik yang dapat
dikembangkan untuk suatu kegiatan tanpa ada kendala.
Untuk mendapatkan kondisi fisik di atas, maka analisis yang perlu dilakukan
adalah analisis superimpose (overlay) dari beberapa kondisi fisik, yaitu:
a. Kondisi topografi
b. Kondisi geologi
c. Kondisi hidrologi
d. Kondisi hidrogeologi
e. Kondisi jenis tanah
f. Dan lain-lain.
Dalam analisis tiap kondisi fisik ini juga diperlukan kriteria-kritera serta berbagai
pertimbangan untuk mendapatkan hasil kondisi fisik yang sebenarnya. Faktor

Halaman IV | 65
yang penting dalam analisis kondisi fisik ini adalah untuk mendapatkan daerah
rawan bencana (tanah longsor, gempa bumi, banjir, dan lain-lain). Dengan
diketahui daerah rawan bencana tersebut, maka dapat diantisipasi
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Gambar 4.21. Proses Analisis Daya Dukung dan Kesesuaian Lahan


TOPOGRAFI
GEOLOGI
ANALISIS
HIDROLOGI SUPERIMPOSE
(OVERLAY)
HIDROGEOLOGI

JENIS TANAH

LIMITASI KENDALA KEMUNGKINAN


PENGEMBANAN PENGEMBANAN PENGEMBANAN

WILAYAH
WILAYAH POTENSIAL
PERLINDUNGAN PENGEMBANGAN

KRITERIA KRITERIA KEGIATAN


ANALISIS
KESEUAIAN LAHAN FUNGSIONAL KAB.
WILAYAH
- Iklim - Permukiman perkotaan
- Vegetasi - Permukiman Pedesaan
- Potensi SDA - Prasarana & Sarana
- dll WILAYAH WILAYAH - dll
PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN
POTENSI KEGIATAN
SUMBERDAYA FUNGSIONAL
ALAM (SDA) KABUPATEN

Dalam menganalisis fisik kemampuan lahan digunakan pedoman Permen PU


No.20/PRT/M/2007 yang di dalamnya menjelaskan langkah yang harus dilakukan
setelah tahap pengumpulan data yang sebelumnya telah dilakukan.
Dalam analisis ini, banyak menggunakan overlay berbagai peta yang dimiliki.
Dalam Analisis Kemampuan Lahan (ASL) ini dilakukan 9 Satuan Kemampuan
Lahan (SKL), yaitu:
A. SKL Morfologi
B. SKL Kestabilan Lereng
C. SKL Kestabilan Pondasi
D. SKL Ketersediaan Air
E. SKL Drainase
F. SKL Terhadap Erosi
G. SKL Pembuangan Limbah
H. SKL Bencana Alam
I. SKL Mudah di Kerjakan; dan

Halaman IV | 66
J. Analisis Kemampuan Lahan
Apabila SKL di atas telah selesai dikerjakan, maka langkah selanjutnya yaitu
semua peta SKL yang telah selesai dikerjakan diberi skor dan di-overlay sehingga
akan menghasilkan peta kemampuan lahan wilayah tersebut. Berikut langkah-
langkah dalam pengerjaan masing-masing SKL yang mengacu pada Permen PU
No.20/PRT/M/2007 hingga menghasilkan peta kemampuan lahan.

A. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Morfologi


Analisis Kemampuan Lahan secara morfologi dilakukan untuk
mengidentifikasi bentuk bentang alam pada suatu wilayah perencanaan yang
mampu dikembangkan sesuai dengan fungsinya. Analisis kemampuan lahan
secara morfologi berupa peta Satuan Kemampuan Lahan (SKL) morfologi
yang merupakan hasil overlay Peta Morfologi dan Peta Kemiringan Lereng.
Dalam melakukan pemilahan bentuk bentang alam/morfologi pada wilayah
dan/atau kawasan perencanaan yang mampu untuk dikembangkan sesuai
dengan fungsinya maka diperlukan suatu analisis dengan melakukan Satuan
Kemampuan Lahan (SKL) Morfologi.
Sasaran-sasaran dalam Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Morfologi yaitu:
1. Memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk di kembangkan
dalam suatu wilayah dilihat dari segi morfologinya.
2. Mengetahui potensi dan kendala morfologi masing-masing tingkatan
kemampuan lahan terhadap morfologi.

Tabel 4.3. Kriteria Kelas SKL Morfolgi


Morfologi Kemiringan % SKL Morfologi Nilai
Gunung/Pegunungan Dan > 40% Kemampuan lahan dari 1
Bukit/Perbukitan morfologi Tinggi
Gunung/Pegunungan dan 25 – 40% Kemampuan lahan dari 2
Bukit/Perbukitan morfologi Cukup
Bukit/Perbukitan 15 – 25% Kemampuan lahan dari 3
morfologi Sedang
Datar 2 – 15% Kemampuan lahan dari 4
morfologi Kurang
Datar 0 – 2% Kemampuan lahan dari 5
morfologi Rendah
Sumber : Hasil olahan dari Permen PU No 20 Tahun 2007

Halaman IV | 67
Tabel 4.4. Skoring Kemampuan Lahan (SKL) Morfologi
Kemiringan (%) Nilai Morfologi Nilai
0% - 2% 5 Datar 5
> 2% -15% 4 Landai 4
> 15% - 25% 3 Agak Curam 3
> 25% – 40% 2 Curam 2
> 40% 1 Sangat Curam 1
Sumber : Hasil olahan dari Permen PU No 20 Tahun 2007

Kemampuan lahan dari morfologi tinggi berarti kondisi morfologis suatu wilayah
kompleks. Morfologi kompleks berarti bentang alamnya berupa gunung,
pegunungan dan bergelombang. Akibatnya, kemampuan pengembangannya
sangat rendah sehingga sulit dan tidak layak untuk dikembangkan. Lahan seperti
ini sebaiknya direkomendasikan sebagai wilayah lindung, atau budidaya yang
tidak berkaitan dengan manusia, contohnya untuk wisata alam. Morfologi tinggi
tidak bisa dimanfaatkan untuk aktivitas ladang dan sawah. Sebaliknya lahan
dengan morfologi rendah berarti kondisi morfologis tidak kompleks. Ini berarti
tanahnya datar dan mudah dikembangkan sebagai tempat permukiman dan
budidaya.

Gambar 4.22. Skema Pembuatan Peta SKL Morfologi

B. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Mudah Dikerjakan


SKL kemudahan dikerjakan berfungsi untuk mengetahui tingkat kemudahan
lahan di wilayah dan/atau kawasan untuk digali/dimatangkan dalam proses
pembangunan/pengembangan kawasan. Peta SKL ini merupakan overlay dari
peta topografi, peta kemiringan lereng, dan peta geologi. Ilustrasi
penyusunan peta SKL kemudahan dikerjakan dan pembobotan nilai dari
setiap elemen peta yang terkait.
Sasaran yang ingin di capai untuk mendapatkan SKL Kemudahan Dikerjakan
yaitu:

Halaman IV | 68
1. Memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk digali, ditimbun,
ataupun dimatangkan dalam proses pembangunan untuk pengembangan
kawasan,
2. Mengetahui potensi dan kendala dalam pengerjaan masing-masing
tingkatan kemampuan lahan kemudahan dikerjakan,
3. Mengetahui metode pengerjaan yang sesuai untuk masing-masing
tingkatan kemampuan lahan.
Masukan
1. Peta Topografi,
2. Peta Morfologi,
3. Peta Kemiringan Lereng,
4. Peta Geologi,
5. Peta Geologi Permukaan,
6. Peta Penggunaan Lahan yang ada saat ini.
Keluaran
1. Peta Satuan Kemampuan Lahan Kemudahan Dikerjakan,
2. Deskripsi masing-masing tingkatan kemudahan dikerjakan.
Langkah-langkah
1. Tentukan tingkat kekerasan batuan berdasarkan peta topografi, peta
geologi, peta penggunaan lahan yang ada saat ini, dan sesuaikan dengan
data geologi permukaan yang merupakan hasil pengamatan langsung di
lapangan.
2. Tentukan kemudahan pencapaian berdasarkan peta morfologi, peta
kemiringan lereng, dan penggunaan lahan yang ada saat ini.
3. Tentukan tingkat kemudahan dikerjakan berdasarkan kedua hal tersebut
di atas, lengkap dengan deskripsi masing-masing tingkatan.

Gambar 4.23. Skema Pembuatan Peta SKL Kemudahan Dikerjakan

Halaman IV | 69
C. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kestabilan Lereng
Kestabilan lereng artinya wilayah tersebut dapat dikatakan stabil atau tidak
kondisi lahannya dengan melihat kemiringan lereng di lahan tersebut. Bila
suatu kawasan disebut kestabilan lerengnya rendah, maka kondisi
wilayahnya tidak stabil. Tidak stabil artinya mudah longsor, mudah bergerak
yang artinya tidak aman dikembangkan untuk bangunan atau permukiman
dan budidaya. Kawasan ini bisa digunakan untuk hutan, perkebunan dan
resapan air. Sebenarnya, satu SKL saja tidak bisa menentukan peruntukan
lahan apakah itu untuk pertanian, permukiman, dan lain-lain. Peruntukan
lahan didapatkan setelah semua SKL ditampalkan (overlay) lagi.

Tabel 4.5. Pembobotan SKL Kestabilan Lereng


Morfologi Lereng Ketinggian Curah Penggunaan SKL Kestabilan Nilai
Hujan Lahan Lereng
Gunung/Pegunungan > 40% Tinggi Sama Semak, Belukar, Rendah 1
dan Bukit/Perbukitan Ladang
Gunung/Pegunungan 25% – Cukup Sama Kebun, Hutan, Kurang 2
dan Bukit/Perbukitan 40% Tinggi Hutan Belukar
Bukit/Perbukitan 15% – Sedang Sama Semua Sedang 3
25%
Datar 2% – Rendah Sama Semua Tinggi 4
15%
Datar 0% – 2% Sangat Sama Semua Tinggi 5
Rendah
Sumber : Permen PU No 20 Tahun 2007

Lingkup dalam melakukan analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kestabilan


Lereng yaitu untuk mengetahui tingkat kemantapan lereng di suatu wilayah
atau kawasan dalam menerima beban pada pengembangan wilayah dan
kawasan. Sasaran untuk mengetahui tingkat kemantapan lereng di suatu
wilayah yaitu:
1. Memperoleh gambaran tingkat kestabilan lereng untuk pengembang
wilayah atau kawasan.
2. Mengetahui daerah-daerah yang berlereng cukup aman untuk
dikembangkan sesuai dengan fungsi kawasan.
3. Mengetahui batasan-batasan pengembangan pada masing-masing
tingkatan kestabilan lereng.

Halaman IV | 70
Gambar 4.24. Skema Pembuatan Peta SKL Kestabilan Lereng

D. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Kestabilan Pondasi


SKL kestabilan pondasi berfungsi untuk mengetahui tingkat kemampuan
lahan dalam mendukung bangunan berat dalam pengembangan wilayah
serta jenis-jenis pondasi yang sesuai untuk masing-masing tingkatan.
Sehingga untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam mendukung
bangunan ada beberapa sasaran yang ingin dicapai yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui gambaran daya dukung tanah di Kawasan Perkotaan Ibukota
Kabupaten Seram Barat.
2. Memperoleh gambaran tingkat kestabilan pondasi di Kawasan Perkotaan
Ibukota Kabupaten Seram Barat.
3. Mengetahui perkiraan jenis pondasi dari masing-masing kestabilan
pondasi.
Dalam mencapai sasaran yang diinginkan sehingga menghasilkan suatu hasil
yang baik maka diperlukan data-data pendukung sehingga menjadi sesuatu
yang baik, yaitu Peta Kestabilan Lereng, Peta Geologi, Peta Geologi
Permukaan, Karakteristik Air Tanah Dangkal, Penggunaan Lahan yang ada
saat ini. Setelah data-data tersebut dilakukan analisis maka akan
menghasilkan Peta Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Pondasi dan
deskripsi masing-masing tingkatan kestabilan pondasi yang memuat juga
perkiraan jenis pondasi untuk masing-masing tingkatan kestabilan pondasi.

Tabel 4.6. Pembobotan SKL Pondasi


SKL Kestabilan Penggunaan Lahan SKL Kestabilan Pondasi Nilai
Lereng
Rendah Semak, Belukar, Ladang Daya Dukung Kestabilan 1
Pondasi Rendah
Kurang Kebun, Hutan, Hutan Daya Dukung Kestabilan 2
Belukar Pondasi Kurang
Sedang Semua Daya Dukung Kestabilan 3
Pondasi Kurang
Tinggi Semua Daya Dukung Kestabilan 4
Pondasi Tinggi

Halaman IV | 71
SKL Kestabilan Penggunaan Lahan SKL Kestabilan Pondasi Nilai
Lereng
Tinggi Semua Daya Dukung Kestabilan 5
Pondasi Tinggi
Sumber : Permen PU No 20 Tahun 2007

Tabel 4.7. Skoring Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Pondasi


SKL Kestabilan Pondasi Nilai
Daya Dukung Kestabilan Pondasi Tinggi 5
Daya Dukung Kestabilan Pondasi Cukup 4
Daya Dukung Kestabilan Pondasi Sedang 3
Daya Dukung Kestabilan Pondasi Kurang 2
Daya Dukung Kestabilan Pondasi Rendah 1
Sumber : Permen PU No 20 Tahun 2007

Gambar 4.25. Skema Pembuatan Peta SKL Kestabilan Pondasi

Kestabilan pondasi artinya kondisi lahan yang mendukung stabil atau


tidaknya suatu bangunan atau kawasan terbangun. Kestabilan pondasi tinggi
berarti wilayah tersebut akan stabil untuk pondasi apapun atau untuk segala
jenis pondasi. Kestabilan pondasi kurang berarti wilayah tersebut kurang
stabil untuk berbagai bangunan, namun mungkin untuk jenis pondasi
tertentu, bisa lebih stabil, seperti pondasi cakar ayam. Sedangkan kestabilan
pondasi rendah berarti wilayah tersebut kurang stabil untuk berbagai
bangunan.

E. Satuan Kemampuan Lahan Ketersediaan Air


Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Ketersediaan Air merupakan satuan untuk
mengetahui tingkat ketersediaan air di wilayah atau kawasan perencanaan
yaitu di Kawasan Ibukota Seram Bagian Barat. Setelah data-data tersebut
dianalisis maka akan menghasilkan peta SKL Ketersediaan Air.
Dalam geohidrologi sudah memperlihatkan ketersediaan air. Geohidrologi
sudah memiliki kelasnya yaitu tinggi, sedang, hingga rendah. Untuk melihat

Halaman IV | 72
ketersediaan air seharusnya menggunakan data primer, tetapi karena
keterbatasan waktu dan dana biasanya pengambilan data primer tidak dapat
dilakukan. Ketersediaan air sangat tinggi artinya ketersediaan air tanah dalam
dan dangkal cukup banyak. Sementara ketersediaan air sedang artinya air
tanah dangkal tidak cukup banyak, tapi air tanah dalamnya banyak. Perlu
diperhatikan beberapa hal di bawah ini :
1. Hati-hati dalam merekomendasikan air tanah dalam atau artesis, karena
tanah artesis ini pengisiannya lambat dan daerah peresapannya perlu
pengaman. Eksploitasi air tanah dalam yang melebihi kapasitasnya akan
menimbulkan berbagai permasalahan, seperti amblesan di permukaan,
dan penyusupan air laut pada daerah pantai.
2. Data curah hujan yang digunakan dalam penghitungan ketersediaan air
adalah data curah hujan minimal rata-rata (10 tahunan), karena
penghitungan ini didasarkan pada ketersediaan air minimal, sehingga
pada musim kering pun masih bisa disediakan air sebesar yang
diperhitungkan tersebut.
3. Untuk air tanah yang mutunya kurang atau tidak memenuhi persyaratan,
digolongkan dalam kemampuan yang rendah, dan tidak diperhitungkan
dalam perhitungan kapasitas air. Dalam kasus air yang tersedia hanya
dengan mutu demikian, maka analisis harus dilengkapi dengan
pengolahan air secara sederhana untuk dapat digunakan langsung oleh
penduduk.
4. Kondisi geologi yang perlu diperhatikan juga adalah kemungkinan adanya
gejala mineralisasi baik ditempat maupun di bagian hulu, karena proses
tersebut akan menimbulkan pengayaan unsur kimia tertentu yang
bersifat beracun seperti Sulfur, Arsen, dan lainnya.
5. Penggunaan lahan yang ada saat ini yang kemungkinan bersifat
mencemari air seperti: industri, pembuangan sampah, dan lainnya perlu
diperhatikan dalam merekomendasikan ketersediaan air tanah ini.
Tujuan melakukan analisis untuk mengetahui tingkat ketersediaan air guna
pengembangan kawasan, dan kemampuan penyediaan air masing-masing
tingkatan. Untuk mencapai tujuan analisis SKL Ketersediaan Air ini sasaran
yang digunakan adalah:
1. Mengetahui kapasitas air untuk pengembangan kawasan,
2. Mengetahui sumber-sumber air yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan
pengembangan kawasan, dengan tidak mengganggu keseimbangan tata
air,
3. Memperoleh gambaran penyediaan air untuk tiap tingkatan ketersediaan
air, dan pengolahan secara umum untuk air dengan mutu kurang
memenuhi persyaratan kesehatan.

Halaman IV | 73
Dalam mencapai sasaran yang diinginkan sehingga menghasilkan suatu hasil
yang baik maka diperlukan data-data pendukung sehingga menjadi sesuatu
yang baik, yaitu Peta Morfologi, Peta Jenis Tanah, Peta Curah Hujan, Peta
Sebaran Mata Air dan Peta Air Tanah Dangkal.

Tabel 4.8. Pembobotan Ketersediaan Air


Morfologi Lereng Penggunaan Lahan SKL Ketersediaan Air Nilai
Gunung/Pegununga > 40% Semak, Belukar, Ketersediaan Air Sangat 1
n dan Ladang Rendah
Bukit/Perbukitan
Gunung/Pegununga 25% – Kebun, Hutan, Hutan Ketersediaan Air Rendah 2
n dan 40% Belukar
Bukit/Perbukitan
Bukit/Perbukitan 15% – Semua Ketersediaan Air Sedang 3
25%
Datar 2% – 15% Semua Ketersediaan Air Tinggi 4
Datar 0% – 2% Semua Ketersediaan Air Tinggi 5
Sumber: Permen PU No 20/PRT/M/2007

Tabel 4.9. Kriteria Kelas SKL Ketersediaan Air


Kemiringan % SKL Ketersediaan Air Nilai
0 – 2% Ketersediaan Air Sangat Tinggi 5
2 – 15% Ketersediaan Air Cukup 4
15 – 25% Ketersediaan Air Sedang 3
25 – 40% Ketersediaan Air Kurang 2
> 40% Ketersediaan Air Sangat Rendah 1
Sumber : Hasil olahan dari Permen PU No 20 Tahun 2007

Gambar 4.26. Skema Pembuatan Peta SKL Ketersediaan Air

Halaman IV | 74
F. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Drainase
Drainase berkaitan dengan aliran air, serta mudah tidaknya air mengalir.
Drainase tinggi artinya aliran air mudah mengalir atau mengalir lancar.
Drainase rendah berarti aliran air sulit dan mudah tergenang. SKL drainase
berfungsi untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam mematuskan
air hujan secara alami, sehingga kemungkinan genangan baik bersifat lokal
ataupun meluas dapat dihindari. Peta SKL ini merupakan overlay dari peta
topografi, peta kemiringan lereng, dan peta curah hujan.
Sasaran untuk Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Drainase yaitu:
1. Mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam proses pematus.
2. Memperoleh gambaran karakteristik drainase alamiah masing-masing
tingkatan kemampuan drainase.

Tabel 4.10. Pembobotan SKL Drainase


Morfologi Lereng Ketinggian Penggunaan Lahan SKL Nilai
Drainase
Gunung/Pegunungan > 40% Tinggi Semak, Belukar, Tinggi 5
dan Bukit/Perbukitan Ladang
Gunung/Pegunungan 25 – Cukup Tinggi Kebun, Hutan, Hutan Tinggi 4
dan Bukit/Perbukitan 40% Belukar
Bukit/Perbukitan 15 – Sedang Semua Cukup 3
25%
Datar 2 – 15% Rendah Semua Kurang 2
Datar 0 – 2% Sangat Semua Kurang 1
Rendah
Sumber: Permen PU No 20/PRT/M/2007

Tabel 4.11. Kriteria Kelas SKL Drainase


Kemiringan % SKL Drainase Nilai
0 – 2% Sangat kurang 1
2– 15% Kurang 2
15 – 25% Sedang 3
25 – 40% Tinggi 4
> 40% Sangat tinggi 5
Sumber : Hasil Olahan dari Permen PU No 20 Tahun 2007

Halaman IV | 75
Gambar 4.27. Skema Pembuatan Peta SKL Untuk Drainase

G. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) terhadap Erosi


Satuan Kemampuan Lahan (SKL) terhadap Erosi merupakan satuan untuk
mengetahui tingkat keterkikisan tanah di wilayah atau kawasan perencanaan,
mengetahui ketahanan lahan terhadp erosi, memperoleh gambaran batasan
pada masing-masing tingkatan kemampuan terhadap erosi, mengetahui
daerah yang peka terhadap erosi dan perkiraan pengendapan hasil erosi
tersebut pada bagian hilir. Ada beberapa peta yang dibutuhkan dalam
analisis ini, antara lain Peta Permukaan, Peta Geologi, Peta Morfologi, Peta
Kemiringan Lereng, Data Hidrologi Dan Klimatologi, serta Penggunaan Lahan.
Setelah data-data tersebut dianalsis maka akan menghasilkan peta SKL
terhadap erosi.

Tabel 4.12. Pembobotan SKL Erosi


Morfologi Lereng Penggunaan Lahan SKL Erosi Nilai
Gunung/Pegunungan > 40% Semak, Belukar, Erosi Tinggi 1
dan Bukit/Perbukitan Ladang
Gunung/Pegunungan 25% – Kebun, Hutan, Hutan Erosi Cukup 2
dan Bukit/Perbukitan 40% Belukar Tinggi
Bukit/Perbukitan 15% – Semua Erosi Sedang 3
25%
Datar 2% – 15% Semua Erosi Sangat 4
Rendah
Datar 0% – 2% Semua Tidak Ada Erosi 5
Sumber: Permen PU No 20/PRT/M/2007

Erosi berarti mudah atau tidaknya lapisan tanah terbawa air atau angin. Erosi
tinggi berarti lapisan tanah mudah terkelupas dan terbawa oleh angin dan
air. Erosi rendah berarti lapisan tanah sedikit terbawa oleh angin dan air.

Halaman IV | 76
Tidak ada erosi berarti tidak ada pengelupasan lapisan tanah. Perlu
diperhatikan bahwa SKL terhadap Erosi ini seringkali berlawanan dengan SKL
untuk Drainase, namun demikian tidak berarti berlaku umum dengan
menganggap SKL terhadap Erosi ini adalah kebalikan dari SKL untuk Drainase,
dan tidak berarti pula pada waktu di-superimpose-kan akan saling
menghilangkan, karena kedua SKL ini berbeda bobotnya dalam suatu wilayah
dan/atau kawasan.

Tabel 4.13. Kriteria Kelas SKL Terhadap Erosi


Kemiringan % Keterngan SKL terhadap erosi Nilai
> 40% Erosi Tinggi 1
25 – 40% Erosi Cukup Tinggi 2
15 – 25% Erosi Sedang 3
2 – 15% Erosi Sangat Rendah 4
0 – 2% Tidak Ada Erosi 5
Sumber : Hasil olahan dari Permen PU No 20 Tahun 2007

Gambar 4.28. Skema Pembuatan Peta SKL terhadap Erosi

H. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Pembuangan Limbah


SKL pembuangan limbah adalah tingkatan untuk memperlihatkan wilayah
tersebut cocok atau tidak sebagai lokasi pembuangan. Analisa ini
menggunakan peta hidrologi dan klimatologi. Kedua peta ini penting, tetapi
biasanya tidak ada data rinci yanng tersedia. SKL pembuangan limbah kurang,
berarti wilayah tersebut kurang/tidak mendukung sebagai tempat
pembuangan limbah. Perlu diperhatikan beberapa hal di bawah ini:
1. Peresapan dan pengaliran air yang melalui penampungan tersebut
hendaknya benar-benar diperhitungkan dalam analisis, dikaitkan dengan
pemanfaatan air tersebut pada daerah hilirnya. Hal ini tentunya
memerlukan ketajaman analisis menurut kondisi hidrologi dan
geologinya.

Halaman IV | 77
2. Jenis limbah yang akan ditempatkan juga harus diperhitungkan untuk
menghindari Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3), karena jenis limbah ini
memerlukan lokasi pembuangan khusus.
3. Penggunaan lahan yang ada saat ini, terutama permukiman dan
prasarana kota lainnya hendaknya jauh dari daerah yang diusulkan,
mengingat berbagai kesulitan yang mungkin timbul akibat penampungan
tersebut.

Tabel 4.14. Pembobotan SKL Pembuangan Limbah


SKL
Penggunaan
Morfologi Lereng Ketinggian Pembuangan Nilai
Lahan
Limbah
Gunung/Pegunungan > 40% Tinggi Semak, Belukar, Sangat Kurang 1
dan Bukit/ Perbukitan Ladang
Gunung/Pegunungan 25% – Cukup Tinggi Kebun, Hutan, Kurang 2
dan Bukit/ Perbukitan 40% Hutan Belukar
Bukit/Perbukitan 15% – Sedang Semua Sedang 3
25%
Datar 2% – 15% Rendah Semua Cukup 4
Datar 0% – 2% Sangat Semua Sangat Cukup 5
Rendah
Sumber: Permen PU No 20/PRT/M/2007

Gambar 4.29. Skema Pembuatan Peta SKL Pembuangan Limbah

Halaman IV | 78
I. Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Bencana Alam

SKL bencana alam merupakan pertampalan (overlay) dari lima peta bencana
alam, yaitu :
 Rawan gunung berapi dan aliran lava;
 Kawasan rawan gempa bumi dan kawasan zona patahan/sesar;
 Kawasan rawan longsor dan gerakan tanah;
 Kawasan rawan gelombang pasang dan abrasi pantai;
 Kawasan rawan banjir.
Jadi, morfologi gunung dan perbukitan dinilai tinggi pada peta rawan
bencana gunung api dan longsor. Sedangkan lereng datar yang dialiri sungai
dinilai tinggi pada rawan bencana banjir. Penentuan kelas pada rawan
bencana ini ada lima. Kelas 1 artinya rawan bencana alam dan kelas 5 artinya
tidak rawan bencana alam. Analisis SKL bencana alam dinilai dari ketentuan
berikut :

Tabel 4.15. Pembobotan SKL Bencana Alam


Morfologi Lereng Ketinggian Penggunaan SKL Bencana Nilai
Lahan
Gunung/Pegunungan > 40% Tinggi Semak, Potensi 5
dan Bukit/Perbukitan Belukar, Tinggi
Ladang
Gunung/Pegunungan 25% – Cukup Tinggi Kebun, Hutan, Potensi 4
dan Bukit/Perbukitan 40% Hutan Belukar Tinggi
Bukit/Perbukitan 15% – Sedang Semua Potensi 3
25% Cukup
Datar 2% – 15% Rendah Semua Potensi 2
Kurang
Datar 0% – 2% Sangat Semua Potensi 1
Rendah Kurang
Sumber: Permen PU No 20/PRT/M/2007

Halaman IV | 79
Gambar 4.30. Skema Pembuatan Peta SKL Terhadap Bencana Alam

Analisis satuan kemampuan lahan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi


lahan yang berhubungan dengan kemampuan lahan terhadap kemungkinan
keterjadian bencana alam. Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) ini
menggunakan kriteria berupa kawasan yang pernah mengalami atau
berpotensi akan keterjadian bencana alam, baik berupa banjir, tanah
longsor/gerakan tanah, letusan gunung berapi, gempa bumi ataupun
tsunami. Kondisi ini dapat dicerminkan dari interprestasi peta geologi
termasuk jenis dan sifat fisik batuan serta peta kemiringan lereng.

 Analisis Kemampuan Lahan


Setelah seluruh hasil analisis SKL didapat, selanjutnya dapat dihitung bobot
keseluruhan sebagai berikut:
1. Melakukan analisis satuan-satuan kemampuan lahan, untuk memperoleh
gambaran tingkat kemampuan pada masing-masing satuan kemampuan
lahan.
2. Tentukan nilai kemampuan setiap tingkatan pada masing-masing satuan
kemampuan lahan, dengan penilaian 5 (lima) untuk nilai tertinggi & 1
(satu) untuk nilai terendah kemampuan lahan.
3. Kalikan nilai-nilai tersebut dengan bobot dari masing-masing satuan
kemampuan lahan. Bobot ini didasarkan pada seberapa jauh pengaruh
satuan kemampuan lahan tersebut pada pengembangan wilayah.
4. Superimpose-kan semua satuan-satuan kemampuan lahan tersebut,
dengan cara menjumlahkan hasil perkalian nilai kali bobot dari seluruh
satuan-satuan kemampuan lahan dalam satu peta, sehingga diperoleh

Halaman IV | 80
kisaran nilai yang menunjukkan nilai kemampuan lahan di wilayah
dan/atau kawasan perencanaan.
5. Tentukan selang nilai yang akan digunakan sebagai pembagi kelas-kelas
kemampuan lahan, sehingga diperoleh zona-zona kemampuan lahan yang
menunjukkan tingkatan kemampuan lahan di wilayah ini, dan
digambarkan dalam satu peta klasifikasi kemampuan lahan untuk
perencanaan tata ruang.
Pembuatan peta nilai kemampuan lahan yang merupakan penjumlahan nilai
dikalikan bobot ini ada dua cara, yakni:
a. Men-superimpose-kan setiap satuan kemampuan lahan yang telah
diperoleh hasil pengalian nilai dengan bobotnya secara satu persatu,
sehingga kemudian diperoleh peta jumlah nilai dikalikan bobot seluruh
satuan secara kumulatif.
b. Membagi peta masing-masing satuan kemampuan lahan dalam sistem
grid, kemudian memasukkan nilai dikalikan bobot masing-masing satuan
kemampuan lahan ke dalam grid tersebut. Penjumlahan nilai dikalikan
bobot secara keseluruhan adalah tetap dengan menggunakan grid, yakni
menjumlahkan hasil nilai dikalikan bobot seluruh satuan kemampuan
lahan pada setiap grid yang sama.

Tabel 4.16. Pembobotan Total SKL


SKL
Morfologi Kemudahan Kestabilan Kestabilan Ketersediaan Terhadap Drainase Pembuangan Bencana
Dikerjakan Lereng Pondasi Air Erosi Limbah Alam

Bobot : 5 Bobot : 1 Bobot : 5 Bobot : 3 Bobot : 5 Bobot :3 Bobot : 5 Bobot : 0 Bobot : 5

5 1 5 3 5 3 25 0 25
10 2 10 6 10 6 20 0 20
15 3 15 9 15 9 15 0 15
20 4 20 12 20 12 10 0 10
25 5 25 15 25 15 5 0 5
Sumber: Permen PU No 20/PRT/M/2007

Tabel 4.17. Kriteria Klasifikasi Pengembangan


Total nilai Kelas Kemampuan Lahan Klasifikasi Pengembangan
32-58 Kelas a Kemampuan Pengembangan Sangat
Rendah
59-83 Kelas b Kemampuan Pengembangan Rendah
84-109 Kelas c Kemampuan Pengembangan Sedang
110-134 Kelas d Kemampuan Pengembangan Agak Tinggi
135-160 Kelas e Kemampuan Pengembangan Sangat Tinggi
Sumber: Permen PU No 20/PRT/M/2007

Halaman IV | 81
Gambar 4.31. Skema Pembuatan Peta Kemampuan Lahan & Analisis Daya
Tampung

4.4.4 Analisis Sosial Budaya


Dilakukan untuk mengkaji kondisi sosial budaya masyarakat yang mempengaruhi
pengembangan wilayah perencanaan seperti elemen-elemen kota yang memiliki
nilai historis dan budaya yang tinggi (urban heritage, langgam arsitektur,
landmark kota) serta modal sosial dan budaya yang melekat pada masyarakat
(adat istiadat) yang mungkin menghambat ataupun mendukung pembangunan,
tingkat partisipasi/peran serta masyarakat dalam pembangunan, kepedulian
masyarakat terhadap lingkungan, dan pergeseran nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat setempat. Analisis ini akan digunakan sebagai bahan masukan
dalam penentuan bagian dari wilayah kota yang diprioritaskan penangannya di
dalam Penyusunan Materi Teknis RDTR di Kawasan Ibukota Kabupaten Seram
Bagian Barat dan peraturan zonasi Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian
Barat.

Data yang dibutuhkan


 Data BPS Kecamatan Seram Barat 5 Tahun terakhir
 Data RTRW Kabupaten Seram Bagian Barat
 Data Kearifan Lokal
 Data Mayoritas Penduduk
 Data Adat Istiadat yang ada.

Halaman IV | 82
Gambar 4.32. Contoh Siklus Peran Serta Masyarakat dalam Mendukung
Pembangunan dan Lingkungan

4.4.5 Analisis Kependudukan


Analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendapatkan proyeksi
perubahan demografi seperti pertumbuhan dan komposisi jumlah penduduk
serta kondisi sosial kependudukan dalam memberikan gambaran struktur dan
karakteristik penduduk. Hal ini berhubungan erat dengan potensi dan kualitas
penduduk, mobilisasi, tingkat pelayanan dan penyediaan kebutuhan sektoral
(sarana, prasarana maupun utilitas minimum).
Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi demografi terhadap
batasan daya dukung dan daya tampung Kawasan Ibukota Kabupaten Seram
Bagian Barat dalam jangka waktu rencana. Analisis ini digunakan sebagai
pertimbangan dalam Penyusunan Materi Teknis RDTR Kabupaten Seram Bagian
Barat. Analisis ini dilakukan dengan cara menganalisis potensi kependudukan di
wilayah dan/atau kawasan perencanaan. Analisis ini bertujuan untuk:
1. Memperoleh gambaran potensi penduduk.
2. Sebagai acuan dalam menentukan kebijakan penyebaran penduduk.
3. Memperoleh gambaran situasi dan kondisi objektif dari perencanaan
pengembangan/pemberdayaan masyarakat.
Adapun masukan data yang dibutuhkan antara lain:
1. Data Jumlah Penduduk,
2. Data Jumlah Penduduk Usia Produktif dan Tidak Produktif,
3. Data Penduduk Menurut Daerah Tempat Tinggal,

Halaman IV | 83
4. Data Penduduk Menurut Daerah Asal,
5. Data Banyak dan Laju pertumbuhan penduduk,
6. Data Luas Daerah dan Kepadatan Penduduk,
7. Data jumlah penduduk time series untuk Proyeksi Penduduk
8. Data Estimasi Proporsi Penduduk Menurut Kelompok Umur Produktif dan
Tidak Produktif.
Keluaran dalam analisis kependudukan ini antara lain:
1. Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin saat ini dan yang akan
datang.
2. Proyeksi jumlah penduduk yang digunakan untuk merencanakan penyediaan
fasilitas bagi masyarakat seperti fasilitas pendidikan, penyediaan lapangan
kerja, kesehatan, penyediaan kebutuhan pangan, dan sebagainya.
Dalam melakukan proyeksi penduduk ini akan digunakan metode proyeksi
Metode Pertumbuhan Eksponensial (Exponential Growth Model) atau Metode
Bunga Berganda, dengan perkiraan tidak akan terjadi fluktuasi. Asumsi dasar
aplikasi Exponential Growth Model adalah tingkat pertumbuhan penduduk tiap
tahun akan selalu proposional dengan jumlah penduduk pada tahun sebelumnya.
Dan terdapat suatu variabel yang bersifat konstan, yaitu tingkat pertumbuhan
penduduk, bukan jumlah pertambahan penduduk. Model matematikanya adalah
sebagai berikut :

Pt = P0( 1 + r ) t

di mana:
Pt = Jumlah penduduk pada tahun t (tahun rencana).
P0 = Jumlah penduduk pada tahun dasar.
r = Presentase pertumbuhan rata-rata.
t = Selang waktu antara tahun dasar dan tahun rencana.

Dalam melakukan proyeksi penduduk juga mempertimbangkan hasil proyeksi


dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan hasil proyeksi penduduk pada suatu wilayah
dari hasil kajian yang pernah dilakukan sebelumnya.

Data yang dibutuhkan


 Data Kecamatan Seram Barat 5 Tahun terakhir (Jumlah Penduduk,
Kepadatan, Laju Pertumbuhan, Jenis Kelamin, Usia, dan lainnya)
 Data RTRW Kabupaten Seram Bagian Barat

Halaman IV | 84
Gambar 4.33. Contoh Analisis Proyeksi Penduduk

4.4.6 Analisis Ekonomi dan Sektor Unggulan


Dalam mewujudkan ekonomi Kawasan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat
yang berkelanjutan melalui keterkaitan ekonomi lokal dalam sistem ekonomi
kota, regional, nasional, maupun internasional, analisis ekonomi dilakukan
dengan menemukenali struktur ekonomi, pola persebaran pertumbuhan
ekonomi, potensi, peluang dan permasalahan perekonomian wilayah kota untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik, terjadinya investasi dan mobilisasi
dana yang optimal. Analisis diarahkan untuk menciptakan keterkaitan intra-
regional (antar kawasan/kelurahan/kabupaten/kota) maupun inter-regional
sehingga teridentifikasi sektor-sektor riil unggulan, dan solusi-solusi secara
ekonomi yang mampu memicu peningkatan ekonomi wilayah kota. Analisis
diharapkan dapat membaca potensi ekonomi lokal terhadap pasar regional,
nasional maupun global.
Dari analisis ini, diharapkan diperoleh karakteristik perekonomian wilayah
perencanaan dan ciri-ciri ekonomi kawasan dengan mengidentifikasi basis
ekonomi, sektor-sektor unggulan, besaran kesempatan kerja, pertumbuhan dan
disparitas pertumbuhan ekonomi di Kawasan Perkotaan Ibukota Kabupaten
Seram Barat. Analisis ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam
Penyusunan RDTR dan peraturan zonasi Kawasan Ibukota Kabupaten Seram
Bagian Barat.
Analisis ekonomi wilayah dilakukan dengan menganalisis kinerja pembangunan
ekonomi (baik ditinjau dari indikator PDRB maupun IPM), struktur ekonomi dan
pergeserannya dan sektor basis. Analisis dilakukan dengan metode shift share,
metode LQ, dan laju pertumbuhan ekonomi. Data utama yang digunakan dalam
analisis ekonomi ini adalah data PDRB.

Halaman IV | 85
 Analisis Location Quotient (LQ)
Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah teknik yang digunakan
adalah Kuosien Lokasi (Location Quotient = LQ). LQ digunakan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor basis atau unggulan
(leading sector). Indikator yang digunakan: Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) suatu wilayah.
Location Quotient yaitu usaha untuk mengukur konsentrasi dari suatu
kegiatan dalam suatu daerah dengan cara membandingkakan peranannya
dalam perekonomian daerah itu dengan peranan kegiatan sejenis dalam
perekonomian regional atau nasional. LQ merupakan rasio antara jumlah
tenaga kerja pada sektor tertentu atau PDRB terhadap total nilai PDRB di
suatu daerah dibandingkan dengan rasio PDRB dan sektor yang sama di
Kabupaten Seram Bagian Barat.
Formula matematis:

di mana :
Vi(s) = Jumlah PDRB suatu sektor Kabupaten/Kota
V(s) = Jumlah PDRB total Kabupaten/Kota
Vi r = Jumlah PDRB suatu sektor tingkat Provinsi
Vr = Jumlah PDRB total tingkat Provinsi
Besarnya nilai LQ dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
LQ >1 : wilayah perencanaan mempunyai spesialisasi dalam sektor
tertentu dibandingkan wilayah yang lebih luas.
LQ = 1 : tingkat spesialisasi wilayah perencanaan dalam sektor tertentu
sama dengan wilayah yang lebih luas.
LQ <1 : dalam sektor tertentu, tingkat spesialisasi wilayah berada di
bawah wilayah yang lebih luas.

 Analisis Shift Share


Tujuan analisis shift share adalah untuk menentukan kinerja atau
produktifitas kerja perekonomian daerah dengan membandingkannya pada
daerah yang lebih besar (tingkat regional). Teknik ini menggambarkan kinerja
(performance) sektor–sektor di Kecamatan Seram Barat dibandingkan kinerja
perekonomian Kabupaten Seram Bagian Barat. Analisis ini merupakan suatu
teknik membagi atau menguraikan pertumbuhan ekonomi suatu daerah
sebagai perubahan atau peningkatan nilai suatu variabel/indikator
pertumbuhan perekonomian suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu.

Halaman IV | 86
Dalam metode analisis ini dibedakan melalui indikator-indikator, di
antaranya:
1. Differential Shift (wilayah studi) adalah melihat perubahan pertumbuhan
dari suatu kegiatan/sektor i di wilayah studi terhadap kegiatan/sektor i
tersebut di wilayah referensi
2. Proportionality Shift (wilayah referensi), melihat perubahan pertumbuhan
suatu sektor i di wilayah referensi terhadap keseluruhan (total)
kegiatan/sektor yang ada di wilayah referensi

 Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP)


Merupakan alat untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial
dengan formula:
a. Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi ( RPs )

Di mana:
Eij = perubahan PDRB sektor i di wilayah studi
E ij(t) = PDRB sektor i pada awal periode penelitian wilayah studi
E ir = perubahan PDRB sektor i di wilayah referensi
Eir (t) = PDRB awal periode penelitian wilayah referensi
RPs adalah perbandingan antara laju pertumbuhan pendapatan kegiatan i
wilayah studi dengan laju pertumbuhan pendapatan kegiatan i di wilayah
referensi.

b. Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr)

Di mana :
Eir = Perubahan PDRB kegiatan i di wilayah referensi
Eir (t) = PDRB di sektor i pada awal periode penelitian
Er = Perubahan PDRB di wilayah referensi
E r (t) = PDRB pada awal penelitian wilayah referensi

Halaman IV | 87
RPr adalah perbandingan antara laju petumbuhan pendapatan kegiatan i
di wilayah referensi dengan laju pertumbuhan total kegiatan (PDRB)
wilayah referensi.
Keterangan :
Jika nilai RPr > 1, positif (+)
Jika nilai RPr < 1, negatif (-)
RPr positif artinya menunjukkan bahwa pertumbuhan suatu sektor
tertentu dalam wilayah referensi lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB
total wilayah referensi.
RPr negatif artinya menunjukkan bahwa pertumbuhan suatu sektor
tertentu dalam wilayah referensi lebih kecil dari pertumbuhan PDRB total
wilayah referensi.
Jika nilai RPs > 1, positif (+)
Jika nilai RPs < 1, negatif (-)
RPs positif artinya menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pada tingkat
wilayah studi lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sektor pada
wilayah referensi.
RPs negatif artinya pertumbuhan suatu sektor pada tingkat wilayah studi
lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sektor tersebut pada
wilayah referensi.
Dari kombinasi kedua perbandingan tersebut dapat diperoleh deskripsi
kegiatan ekonomi yang potensial pada wilayah studi:
a. Nilai RPr positif (+) dan nilai RPs (+) berarti pertumbuhan sektor
tersebut menonjol pada wilayah referensi maupun wilayah studi, atau
disebut Dominan Pertumbuhan.
b. Nilai RPr positif (+) dan nilai RPs negatif (-) artinya sektor tersebut
mempunyai pertumbuhan menonjol pada wilayah referensi tetapi
belum menonjol pada wilayah studi.
c. Nilai RPr negati (-) dan nilai RPs positif (+) artinya pertumbuhan sektor
tersebut tidak menonjol di wilayah referensi tetapi pada wilayah studi
pertumbuhan sektor tersebut menonjol.
d. Nilai RPr negatif (-) dan nilai RPs negatif (-) berarti pertumbuhan
sektor tersebut adalah rendah, baik di wilayah referensi maupun
wilayah studi.
Untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial berdasarkan
kriteria pertumbuhan dan kriteria keunggulan komparatif, maka ada 4
kemungkinan:
a. RPs (+) dan LQ (+) menunjukkan suatu kegiatan yang sangat dominan
baik dari pertumbuhan maupun keunggulan komparatif.

Halaman IV | 88
b. RPs (+) dan LQ (-) menunjukkan suatu kegiatan yang pertumbuhannya
dominan tetapi tidak mempunyai keunggulan komparatif.
c. RPs (-) dan LQ (+) menunjukkan suatu kegiatan yang pertumbuhannya
kecil tetapi mempunyai keunggulan komparatif.
d. RPs (-) dan LQ (-) menunjukkan bahwa suatu kegiatan yang tidak
potensial baik dilihat dari pertumbuhan maupun kriteria keunggulan
komparatif.

Data yang dibutuhkan


 Data BPS Kecamatan Seram Barat 5 Tahun terakhir (PDRB, Potensi Ekonomi,
Jenis Komoditas Unggulan Ekonomi, dan lainnya)
 Data RTRW Kabupaten Seram Bagian Barat

4.4.7 Analisis Sarana dan Prasarana


Analisis sarana dan prasarana dimaksudkan untuk melakukan pengkajian-
pengkajian terhadap:
1. Kondisi sarana prasarana yang ada (eksisting) yang meliputi antara lain
sarana dan prasarana transportasi, pengairan/irigasi, energi/listrik,
telekomunikasi dan pengelolaan lingkungan.
2. Kondisi tingkat pelayanan atau pemanfaatan sarana prasarana seperti
tersebut di atas dalam mendukung kegiatan ekonomi dan peningkatan
kualitas atau daya dukung lingkungan wilayah perencanaan.
3. Proyeksi kebutuhan sarana dan prasarana, dengan mengacu kepada standar
kebutuhan sarana dan prasarana.
Sarana dan prasarana yang dimaksudkan di sini adalah: transportasi,
telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan.
Seluruh kebutuhan sarana dan prasarana ini disesuaikan dengan kebutuhan
perkembangan kawasan untuk masa 20 tahun ke depan menurut hasil proyeksi
penduduk. Alur analisis sarana dan prasarana dapat dilihat pada gambar berikut.

Halaman IV | 89
Gambar 4.34. Alur Analisis Sarana dan Prasarana

Pada dasarnya analisis kebutuhan sarana dan prasarana akan terkait erat dengan
beberapa hal yaitu jumlah penduduk dan hasil proyeksinya, standar jumlah
minimal kebutuhan akan fasilitas yang dimaksud, dan standar kebutuhan ruang
untuk masing-masing sarana/prasarana. Pada kajian ini ditampilkan beberapa
contoh teknik perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana kawasan.

(a) Sistem Penyediaan Air Bersih


Salah satu contoh formula perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana
wilayah adalah kebutuhan akan air bersih pada suatu wilayah. Analisis
kebutuhan air bersih dilakukan dengan menghitung tingkat ketersediaan
sumber air bersih dengan proyeksi kebutuhan akan air bersih untuk jangka
waktu 20 tahun ke depan. Tingkat ketersediaan air bersih didekati dari sisi
jumlah sumber mata air, danau, dan keberadaan badan air (sungai dan atau
anak sungai) dengan asumsi sungai tersebut kondisinya masih layak untuk
dijadikan sebagai sumber air bersih. Debit ketersediaan air bersih dari
sumber air didekati dengan perhitungan:

Qtot = (n1 A1 V1) + (n2 A2 V2) +(n3 A3 V3) +…..+ (nn An Vn)

Dengan:
Qtot = debit air total dari semua sumber air yang ada
nn = jumlah sumber air yang ada untuk satu sumber (misal sungai, danau)
AnVn = debit air untuk masing-masing sumber air

Halaman IV | 90
Sedangkan proyeksi kebutuhan akan air bersih dihitung berdasarkan hasil
proyeksi penduduk, dengan rincian kebutuhan untuk fasilitas umum dan
kebutuhan domestik. Besaran perkiraan kebutuhan air dilakukan dengan
menghitung jumlah konsumen (masyarakat, perkantoran, fasilitas ibadah,
fasilitas pendidikan, perdagangan, dan lain-lain) dikalikan dengan standar
kebutuhan air bersih untuk masing-masing konsumen.

Perkiraan Kebutuhan air bersih =


(Kf+Kd)

Dengan :
Kf = Proyeksi kebutuhan air bersih untuk berbagai fasilitas yang
didapat dengan cara mengalikan standar kebutuhan (antara 80
L/hr/orang – 120 L/hr/orang) dengan banyaknya fasilitas dan
banyaknya orang yang terdapat pada fasilitas tersebut.
Kd = Proyeksi kebutuhan air domestik untuk rumah tangga.
Diperoleh dengan cara mengalikan standar kebutuhan (antara 60
L/hr/orang – 80 L/hr/orang) dengan besarnya jumlah penduduk
pada suatu peruntukan tertentu.
Penilaian Cakupan Pelayanan (CP) dan kebutuhan pengembangan sistem:

(jumlah SR x jiwa/rumah) + (jumlah HU x jiwa/HU)


CP = x 100%
Jumlah penduduk

Perhitungan kebutuhan air didasarkan kepada:


 Jumlah penduduk dan proyeksi di daerah bersangkutan;
 Jenis kawasan dan luasnya;
 Rencana cakupan pelayanan dan jenis sambungan berdasarkan minat dan
kemampuan penduduk daerah pelayanan;
 Kebutuhan per orang per hari;
 Jumlah jiwa/rumah;
 Target cakupan yang akan dipenuhi;
 Kebutuhan khusus kawasan potensial.

Halaman IV | 91
(b) Sistem Pengelolaan Air Limbah
Penilaian Cakupan Pelayanan (CP) pengelolaan air limbah dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus yang memperhitungkan kapasitas layanan
dengan rumus:

Jumlah Prasarana (i) Jumlah Pemakai /Prasarana


CP = x 100%
Jumlah Penduduk

(c) Sistem Sarana Drainase


Penilaian kondisi eksisting, mencakup inventarisasi sistem drainase yang
telah ada, kondisi topografi, pengumpulan data hidrologi, peta,
kependudukan, pelayanan-pelayanan yang ada (untuk drainase mikro
maupun makro), keadaan fisik alami untuk pemilihan teknologi (tipe tanah
dan topografi), fasilitas-fasilitas lain, data banjir, data pasang surut, genangan
dan banjir yang terjadi.

(d) Sistem Pengelolaan Persampahan


Penilaian Cakupan Pelayanan (CP) persampahan dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus yang memperhitungkan kapasitas layanan dengan
rumus:

Volume sampah terangkut (m3)


CP = x 100%
Volume timbulan sampah (m3)

(e) Model Pemenuhan Pelayanan Fasilitas


Perkiraan kebutuhan fasilitas sosial dan ekonomi wilayah dilakukan dengan
melihat skala pelayanan faslilitas dengan proyeksi jumlah penduduk kawasan.
Selisih antara perkiraan kebutuhan fasilitas dengan kondisi eksisting
merupakan rencana penambahan fasilitas sosial dan ekonomi wilayah.
Standar-standar yang dipergunakan untuk memperkirakan kebutuhan
fasilitas sosial dan ekonomi adalah:
Tingkat pelayanan fasilitas umum diukur dengan cara mengkaji kemampuan
suatu jenis fasilitas dalam melayani kebutuhan penduduknya. Dalam hal ini,
fasilitas umum yang memiliki tingkat pelayanan 100% mengandung arti
bahwa fasilitas tersebut memiliki kemampuan pelayanan yang sama dengan
kebutuhan penduduknya. Untuk mengetahui kelengkapan fasilitas umum
suatu bagian wilayah, dihitung tingkat pelayanannya dengan menggunakan
rumus:

Halaman IV | 92
𝑑𝑖𝑗 ⁄𝑏𝑖𝑗
𝑇𝑃 = 𝑋100%
𝐶𝑖𝑠

di mana:
TP = tingkat pelayanan fasilitas i di kawasan j
dij = jumlah fasilitas i di kawasan j
bij = jumlah penduduk di kawasan j
Cis = jumlah fasilitas i persatuan penduduk menurut standar
penentuan fasilitas untuk kawasan

Dengan perhitungan ini, dapat diketahui tingkat pelayanan setiap


fasilitas, kecuali untuk fasilitas peribadatan, di mana perbedaan terletak
pada jumlah penduduk pada kawasan yang diamati, yaitu bij diganti oleh
jumlah penduduk menurut agama.

4.4.8 Analisis Sistem Transportasi


Analisis ini dimaksudkan untuk melakukan kajian-kajian terhadap:
1. Pola jaringan transportasi untuk mencermati sejauh mana keterkaitan
fungsional dan ekonomi antar pusat-pusat permukiman, antar kawasan,
kawasan produksi, baik di dalam wilayah maupun antar wilayah.
2. Fungsi, kondisi dan tingkat pelayanan prasarana transportasi yang ada
sekarang, kecenderungan perkembangan.
Dari analisis ini diperlihatkan tingkat kinerja sarana prasarana transportasi dan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan pemerataan wilayah serta kesatuan
wilayah. Salah satu metoda atau perangkat analisis sistem prasarana transportasi
adalah Analisis Aksesibilitas.
Transportasi bukan merupakan tujuan akhir (ends) melainkan terjadi karena
adanya kebutuhan (derived demmand). Sistem pergerakan (traffic flow) yang
terjadi sebagai akibat dari adanya aktivitas yang dilakukan (sistem aktivitas) yang
didukung dengan adanya jaringan (sistem jaringan). Sistem kegiatan merupakan
fungsi dari penduduk dengan segala aktivitasnya, seperti perumahan,
perkantoran, perdagangan dan sebagainya. Sedangkan sistem jaringan
merupakan sarana dan prasarana yang dapat mendukung terjadinya pergerakan,
misalnya jaringan jalan, kereta api, pesawat terbang, terminal, pelabuhan dan
sebagainya. Keseluruhan sistem di atas juga terkait dengan sistem kelembagaan
yang terdiri atas:

Halaman IV | 93
1. Aspek legal, termasuk kebijaksanaan dan peraturan perundangan yang
berlaku;
2. Aspek organisasi dengan segala SDM-nya baik lembaga pemerintah, swasta
atau masyarakat;
3. Aspek keuangan.
Keseluruhan sistem di atas terkait juga dengan sistem lingkungan yang terwujud
oleh aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, politik-keamanan-ketertiban, serta
teknologi. Selain itu sistem transportasi tersebut tidak terlepas dari wilayah
regional, nasional maupun internasional (Kusbiantoro, 1994).

Gambar 4.35. Sistem dan Sub Sistem Transportasi

Dalam sistem suatu kota/wilayah terdapat berbagai macam aktivitas, antara lain
bekerja, sekolah, belanja dan sebagainya. Pada kenyataannya berbagai aktivitas
yang ada tersebut tidak berada dalam suatu kawasan, orang akan melakukan
perjalanan untuk melaksanakan berbagai aktivitas tersebut, sehingga akan
menimbulkan berbagai macam pergerakan baik kendaraan, orang ataupun
barang yang menggunakan sistem jaringan transportasi. Pergerakan yang terjadi
ini akan menimbulkan berbagai macam interaksi, yang akan memerlukan
perjalanan sehingga akan menghasilkan arus lalu lintas.
Perubahan guna lahan akan berimplikasi pada perubahan bangkitan/tarikan
perjalanan, yang juga akan berakibat pada perubahan kebutuhan sarana dan
prasana lalu lintas. Perubahan pada sistem aktivitas akan membangkitkan
pergerakan baru, yang membebani sistem jaringan dan sistem pergerakan. Bila
tambahan tersebut sampai pada kondisi tertentu dan tidak ditanggapi dengan
benar akan menimbulkan gangguan pergerakan. Menurut Institute of
Transportation Engineers (1976) bangkitan/tarikan ditentukan oleh luas lantai
ruangan, guna lahan, sekolah dan daya tarik tempat rekreasi. Maka untuk
berbagai aktivitas akan memberikan kontribusi yang berbeda dalam
menghasilkan bangkitan/tarikan perjalanan untuk saat ini maupun mendatang.

Halaman IV | 94
Bangkitan perjalanan adalah banyaknya perjalanan yang ditimbulkan oleh suatu
daerah atau zona per satuan waktu. Menurut Tamin (1997: 97) faktor yang
diperhatikan dalam bangkitan pergerakan untuk manusia adalah pendapatan,
pemilikan kendaraan, struktur dan ukuran rumah tangga, nilai lahan, kepadatan
daerah permukirnan, penggunaan lahan (misalnya: kegiatan industri, komersial,
perkantoran dan sebagainya) serta tingkat aksesibilitas.
Model peramalan permintaan untuk perjalanan di perkotaan terdiri dari
sejumlah model terpisah yang harus digunakan secara berurutan. Kebutuhan
akan sejumlah model yang berlainan apabila digabungkan akan dapat
meramalkan permintaan perjalanan yang mencerminkan bagaimana rumitnya
perjalalanan di perkotaan, di mana pertimbangan-pertimbangan harus diberikan
pada banyak tempat yang bisa memenuhi maksud perjalanan dan pada
banyaknya rute yang tersedia untuk setiap moda.
Tahapan pertama adalah peramalan pola penggunaan lahan untuk tahun-tahun
mendatang, di mana perjalanan tadi harus diramalkan. Pola tata guna lahan
menggambarkan pengaturan kegiatan manusia yang diterangkan melalui jumlah
setiap kegiatan pada daerah yang lebih kecil yang disebut zona. Pengukuran
kegiatan dalam zona antara lain meliputi jumlah manusia yang tinggal di zona
tersebut, jumlah pekerja untuk masing-masing industri yang ada, jumlah dan
ukuran pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Dengan dasar seperti di atas,
perjalanan yang berasal dan bertujuan ke masing-masing zona akan diperkirakan,
cara ini disebut dengan analisis pembangkit perjalanan (trip generation analysis).
Dari analisis yang telah didapat, tempat asal perjalanan dikaitkan dengan
beberapa tujuan perjalanan yang memungkinkan, sehingga akan dihasilkan
distribusi perjalanan yang berbeda-beda, ini biasa disebut dengan distribusi
perjalanan (trip distribution). Selanjutnya ditentukan berbagai altematif moda
yang bisa digunakan, yang dikenal dengan pemilihan moda (modal split). Dan
pada akhirnya setelah moda ditentukan, dapat dilakukan pemilihan rute yang
akan dipakai atau yang disebut dengan penentuan lalu lintas (traffic assignment).
1. Metode Analisis Interaksi Antar Bagian Wilayah
Selain faktor kependudukan pendekatan analisis wilayah juga melalui analisis
terhadap pola hubungan/interaksi antar wilayah maupun antar bagian
wilayah. Asumsi dasar yang digunakan adalah melihat suatu daerah sebagai
suatu massa, sehingga hubungan antar daerah diasumsikan dengan
hubungan antar massa yang memiliki daya tarik, sehingga terjadi saling
mempengaruhi antar daerah.
Pemodelan yang dapat digunakan dalam melakukan analisis terhadap pola
interaksi atau keterkaitan antar daerah atau antar bagian wilayah dengan
wilayah lainnya, adalah Model Gravitasi. Penerapan model ini dalam bidang
analisis perencanaan kecamatan adalah dengan anggapan dasar bahwa
faktor aglomerasi penduduk atau pemusatan kegiatan dengan potensi
sumber daya alam yang dimiliki, mempunyai daya tarik menarik. Persamaan
umum Model Gravitasi ini adalah:

Halaman IV | 95
Pi  Pj
Tij  k
P

Di mana :
Tij = pergerakan penduduk sub-wilayah i ke sub-wilayah j
k = tetapan empiris (bobot)
Pi = pergerakan penduduk sub wilayah i
Pj = pergerakan penduduk yang berakhir di sub wilayah j
P = jumlah penduduk sub wilayah i

2. Metode Analisis Aksesibilitas Wilayah


Faktor kemudahan pencapaian baik dalam hubungan keterkaitan antar
bagian wilayah dalam wilayah perencanaan ataupun antar komponen dalam
bagian wilayah, sangat menentukan intensitas interaksi antar bagian wilayah
maupun antar komponen pembentuk wilayah, serta struktur tata ruang yang
direncanakan.
Metode ini merupakan upaya untuk mengukur tingkat kemudahan
pencapaian antar kegiatan, atau untuk mengetahui seberapa mudah suatu
tempat dapat dicapai dari lokasi tertentu. Pada dasarnya model ini
merupakan fungsi dari kualitas prasarana penghubung unit kegiatan yang
satu dengan lainnya per satuan jarak yang harus ditempuh. Model
persamaannya adalah sebagai berikut:

FKT
A
d

Di mana :
A = Nilai aksesibilitas
F = Fungsi jalan (arteri, kolektor, lokal)
K = Kondisi jalan (baik, sedang, buruk)
d = Jarak antara kedua unit kegiatan
Metoda lainnya, yaitu Indeks Aksesibilitas, dengan bentuk persamaan adalah
sebagai berikut :

Ej
A ij 
d  b
ij

Halaman IV | 96
Di mana:
Aij = Indeks aksesibilitas
Ej = Ukuran aktivitas
dij = Jarak tempuh (jarak geografi atau waktu tempuh)
b = Parameter

Data yang dibutuhkan


 Data RTRW Kabupaten Seram Bagian Barat
 Data BPS Kabupaten Seram Bagian Barat 5 Tahun terakhir (Kondisi Jaringan
Jalan)
 Data Jaringan Jalan
 Data Kondisi Transportasi (Darat, Udara, dan Danau)
 Data Trayek Angkutan Darat (AKDP, AKAP)
 Data Status Jaringan Jalan;
 Visualisasi Kondisi Lapangan.

Gambar 4.36. Analisis Sistem Pergerakan

Gambar 4.37. Analisis Sistem Jaringan (RUMIJA) dan (ROW)

Halaman IV | 97
4.4.9 Analisis Kondisi Lingkungan Binaan
Untuk melihat kondisi dan tingkat pelayanan kawasan serta bangunan untuk
menunjang fungsi dan peran kawasan perkotaan Ibukota Seram Bagian Barat,
dilakukan analisis terhadap jenis dan kapasitas fungsi/kegiatan kawasan serta
kinerjanya. Demikian pula dengan kualitas bangunan dari aspek keselamatan.
Dengan informasi tersebut, diharapkan dapat diformulasikan kondisi kawasan
terutama menyangkut pengaturan intensitas pemanfaatan ruang, tata massa
bangunan, tindakan penanganan kawasan (diremajakan/revitalisasi), dan
penanganan bangunan. Analisis ini digunakan sebagai pertimbangan dalam
penyusunan RDTR dan peraturan zonasi kawasan perkotaan Ibukota Seram
Bagian Barat.
Analisis kondisi lingkungan binaan dilakukan untuk menciptakan ruang yang
berkarakter, layak huni dan berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan, dan
sosial.
Analisis kondisi lingkungan binaan didasarkan pada kondisi fisik kawasan
perencanaan dan kriteria lokal minimum.
Analisis kondisi lingkungan binaan tersebut meliputi:
a) Analisis figure and ground
b) Analisis aksesibilitas pejalan kaki dan pesepeda
c) Analisis ketersediaan dan dimensi jalur khusus pedestrian
d) Analisis karakteristik kawasan (langgam bangunan)
e) Analisis land use
f) Analisis ketersediaan ruang terbuka hijau dan non hijau
g) Analisis vista kawasan (pelataran pandang)
h) Analisis tata massa bangunan
i) Analisis intensitas bangunan
j) Analisis land value capture (pertambahan nilai lahan)
k) Analisis kebutuhan prasarana dan sarana sesuai standar (jalan, jalur pejalan
kaki, jalur sepeda, saluran drainase, dan lainnya)
l) Analisis cagar budaya
Data yang dibutuhkan
 Visualisasi Kondisi Eksisting Lapangan (Bahu Jalan dan Area Terbuka)
 Visualisasi Kondisi Eksisting Lahan Terbangun dan Non Terbangun di
Kawasan;
 Pendataan Lapangan Terkait KDB, KLB, KDH di Kawasan Perkotaan;

Halaman IV | 98
 Data- Data Terkait dengan Cagar Budaya, Bangunan Bersejarah, dan Data
RTH eksisting

Gambar 4.38. Contoh Jalur Pedestrian

Gambar 4.39. Contoh RTH Perkotaan

4.4.10 Analisis Intensitas Pemanfaatan Ruang


4.4.10.1 Analisis Penentuan KDB (Koefisien Dasar Bangunan)
KDB adalah perbandingan antara luas bangunan dengan luas lahan. Nilai KDB di
suatu kawasan menentukan berapa persen luas bangunan di suatu kawasan yang
boleh dibangun. Penentuan KDB ditinjau dari aspek lingkungan dengan tujuan
untuk mengendalikan luas bangunan di suatu lahan pada batas-batas tertentu

Halaman IV | 99
sehingga tidak mengganggu penyerapan air hujan ke tanah. Nilai KDB dapat
dihitung melalui debit infiltrasi air pada suatu daerah sebagai berikut:
𝑲𝑫𝑩= ((𝑨−𝑶𝑺))/𝑨𝒙𝟏𝟎𝟎%

di mana :
𝐎𝐒 = 𝑰𝒊𝒏𝒇/𝑸𝒊𝒏𝒇
OS = luas kawasan yang harus dilestarikan
Iinf = intensitas infiltrasi (l/detik)
Lalu debit dan intensitas infiltrasi air adalah:
Qinf = C x I x A
Qinf = debit infiltrasi air (l/detik)
C = koefisien infiltrasi
I = intensitas infiltrasi minimum (l/detik)
A = luas lahan (ha/m2)
Iinf = S x A
Iinf = intensitas infiltrasi (l/detik)
S = koefisien penyimpanan
A = luas lahan (ha/m2)
Koefisien infiltrasi (C) tergantung dari jenis bidang yang menutupi di atasnya,
apakah itu dari bahan kedap air ataupun dari rumput masing-masing mempunyai
koefisien tertentu seperti pada tabel berikut:

Tabel 4.18. Koefisien Infiltrasi


Kemiringan Tanah
No Daerah Tangkapan
0% - 5% 5% - 10% 10% - 30%
1. Sedikit tanah terbuka, sedikit penghijauan, infiltrasinya sedikit 1,8 1,9 2,2
2. Cukup tanah terbuka, 50% penghijauan, infiltrasinya sedang 1,2 1,4 1,7
3. Daerah terbuka, penghijauannya banyak/padat, infiltrasinya 0,8 1,0 1,2
tinggi
Sumber: Stern, 1979 dalam Suwandono, 1988

4.4.10.2 Analisis Penentuan Tinggi Bangunan


Tinggi bangunan adalah tinggi suatu bangunan atau bagian bangunan, yang
diukur dari rata-rata permukaan tanah sampai setengah ketinggian atap miring
atau sampai puncak dinding atau parapet, dipilih yang tertinggi. Jarak bangunan
adalah jarak yang terkecil, diukur di antara permukaan-permukaan denah dari

Halaman IV |
100
bangunan-bangunan atau jarak antara dinding terluar yang berhadapan antara
dua bangunan.

Tabel 4.19. Persyaratan Ukuran Tinggi dan Jarak Bangunan


No Tinggi Bangunan (m) Jarak Bangunan (m)
1 0 s/d 8 3
2 8 s.d 14 3-6
3 14 s.d 40 6-8
4 >40 >8
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1987

Dalam menentukan tinggi bangunan dapat dilihat dari berbagai kriteria yang
dapat diukur sebagai berikut:
Y = f (X1, X2, X3, …, Xn)
di mana:
Y = Tinggi bangunan
X1 s/d Xn = Kriteria/pertimbangan yang menentukan tinggi bangunan
X1 = Pertimbangan jalur pesawat terbang
X2 = Pertimbangan terhadap bahaya kebakaran
X3 = Pertimbangan optimum harga
X4 = Pertimbangan terhadap FAR/FSI dan LUI
X5 = Pertimbangan terhadap SEP dan ALO
X6 = Pertimbangan terhadap angin
X7 = Pertimbangan terhadap daya dukung tanah.
X8 = Pertimbangan terhadap gempa

a. X1 = Pertimbangan Jalur Pesawat Terbang


Pada kriteria ini yang diperhatikan adalah peil ketinggian tempat yang akan
diukur dan kedudukan tempat tersebut pada area jalur terbang pesawat.
Ketinggian maksimum yang diperbolehkan sebagai berikut:
Tm = Tm1 ± St
di mana:
Tm = Tinggi maksimum yang diijinkan
Tm1 = Tinggi maksimum yang diijinkan berdasarkan standar
Daerah pendekatan 1 : 0 m – 151.5 m
Daerah pendekatan 2 : 151.5 m

Halaman IV |
101
Daerah keliling 1: 45.5 m
Daerah kerucut : 45.5 m sampai 151.5 m
Daerah keliling 2: 151.5 m
St = Selisih ketinggian antara tempat yang diukur dengan peil bandar udara.
Tanda (+) berlaku untuk daerah yang lebih rendah dari bandara
Tanda (-) berlaku untuk daerah yang lebih tinggi dari bandara

b. X2 = Pertimbangan terhadap Bahaya Kebakaran


Pada prinsipnya pertimbangan terhadap bahaya kebakaran ini mengharapkan
agar bangunan-bangunan yang dipergunakan oleh banyak orang tidak terlalu
tinggi atau bangunan yang semakin rendah semakin baik ditinjau dari aspek
evakuasi dan pemadaman pada saat terjadi kebakaran.Tinggi bangunan
terkait keamanan terhadap bahaya kebakaran perlu mengacu kepada
Permen PU No.26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi
Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan dan Permen PU
No.29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

c. X3 = Pertimbangan Optimum Harga


Pertimbangan ini didasarkan pada aspek ekonomi yaitu semakin dekat
dengan pusat kota maka harga/sewa tanah semakin tinggi. Konsep ini
menimbulkan pemikiran terhadap bangunan vertikal sebagai perwujudan
fisiknya yang menyatakan tingginya kegiatan kota dan wujud bangunan
sebagai alat pemasaran. Namun pada kenyataannya, pembangunan secara
vertikal memiliki batasan ekonomis yaitu tidak selamanya membangun
vertikal lebih menguntungkan daripada membeli lahan baru. Hal ini dapat
dilihat dari rumus berikut:

Jika FAR = 1 maka total luas lantai = total luas lahan


Jika FAR = 2 maka total luas lantai = 2x total luas lahan dan seterusnya
Maka bersama-sama dengan building coverage dapat menentukan tinggi
bangunan:

Dari rumus di atas diketahui bahwa semakin luas lahan maka semakin kecil
luas lantai dasar, sehingga dengan kebutuhan luas lantai yang tetap,
bangunan ditambah ketinggiannya.

Halaman IV |
102
Kemudian Intensitas Penggunaan Lahan/Land Use Intensity (LUI) merupakan
perluasan dari FAR/FSI tersebut yang dilengkapi dengan perbandingan parkir,
ruang terbuka, rekreasi dan garasi terhadap luas lahan seluruhnya.

Tabel 4.20. Land Use Intensity (LUI) Ratio


OSR (Open LSR (Liveability RSR (Recreation
LUI FAR
SpaceRatio) Space Ratio) Space Ratio)
3,0 0,100 8,0 6,5 0,25
3,1 0,107 7,4 5,8 0,24
3,2 0,115 6,9 5,2 0,23
3,3 0,123 6,4 4,7 0,23
3,4 0,132 5,9 4,2 0,22
3,5 0,141 5,5 3,8 0,21
3,6 0,152 5,1 3,5 0,20
3,7 0,162 4,8 3,3 0,20
3,8 0,174 4,4 3,0 0,19
3,9 0,187 4,2 2,8 0,19
4,0 0,200 3,8 2,6 0,18
4,1 0,214 3,6 2,4 0,18
4,2 0,230 3,3 2,2 0,17
4,3 0,246 3,0 2,0 0,16
4,4 0,264 2,8 1,8 0,16
4,5 0,283 2,6 1,7 0,15

d. X4 = Pertimbangan terhadap SEP (Sky Exposure Plane) dan ALO (Angle Of


Light)
Kriteria SEP dipertimbangkan atas kondisi fisik dasar yaitu pencahayaan sinar
matahari yaitu perbandingan antara jarak bidang horisontal dengan vertikal
yang terjadi karena bidang lereng khayal akibat pencahayaan matahari. ALO
merupakan sudut pencahayaan yang terkena bayangan matahari. Kriteria ini
dapat digunakan untuk menentukan tinggi dan jarak bangunan atau blok
bangunan maksimum berdasarkan pertimbangan pencahayaan alami dengan
tujuan penghematan energi, kesehatan dan berhubungan dengan iklim mikro
setempat. Untuk SEP umumnya dipergunakan untuk menentukan tinggi dan
blok bangunan pada bangunan-bangunan yang merapat jalan. ALO
dipergunakan untuk menentukan sudut pencahayaan yang berhubungan
dengan ketinggian setempat. Pengukuran ALO dimulai dari garis di tengah
jalan, atau garis sempadan pagar muka dan belakang, atau dari garis di
tengah antara sempadan pagar dengan sempadan bangunan.

Halaman IV |
103
Kemudian untuk menentukan jarak bangunan diperoleh dengan menentukan
terlebih dahulu sudut ALO (idealnya sudut ALO = 45o, 26,5o dan 18,3o) dan
tinggi bangunan.

e. X5 = Pertimbangan terhadap Angin


Angin akan berpengaruh pada struktur bangunan, perhitungan lebar
permukaan bangunan yang berhadapan langsung dengan arah angin dan
penentuan jarak bangunan satu dengan yang lain sehingga mendapat aliran
udara yang alami. Angin dapat menentukan tinggi bangunan berdasarkan
pertimbangan strukturnya serta lebar/jarak bangunan berdasarkan
pertimbangan aliran udara alami. Tinggi bangunan dihitung melalui
kecepatan angin pada suatu tempat yaitu:

di mana:
Vz = rata-rata kecepatan angin di pusat kota
Vg = rata-rata kecepatan angin di suatu daerah
Z = tinggi bangunan
Zg = Tinggi bangunan di kota
a = gradien tinggi bangunan di kota

f. X6 = Pertimbangan terhadap Daya Dukung Tanah


Pertimbangan ini memiliki peran yang kecil dikarenakan perkembangan
teknologi yang dapat mengatasi persoalan daya dukung tanah, misalnya di
tanah rawa pun dengan penggunaan teknologi maka dapat dibangun gedung
bertingkat banyak.

di mana:
Ht = Total tinggi bangunan
A = Daya dukung tanah minimum
Ps = Total beban strukur bangunan
P1 = Total beban lantai

Halaman IV |
104
δH = Rata-rata tinggi tiap lantai

g. X7 = Pertimbangan terhadap Gempa


Pertimbangan ini serupa dengan pertimbangan terhadap daya dukung tanah.
Perkembangan teknologi terhadap struktur bangunan tahan gempa
membuat pertimbangan ini memiliki peran kecil terhadap penentuan tinggi
bangunan.

dengan
V = Cd. Wt
dan
Cd = C. I. K
di mana:
Fi = Faktor beban gempa horisontal yang dikerjakan pada taraf i
hi = Ketingian sampai taraf i
Wi = Bagian dari Wt yang disumbangkan oleh beban vertikal pada taraf i
V = Beban geser dasar akibat gempa
Wt = Beban vertikal total
Cd = Koefisien gempa dasar yang dimodifikasikan sehubungan dengan
keutamaan dan jenis struktur (C I K)
C = Koefisien gempa dasar untuk cara perencanaan lengkap
I = Faktor keutamaan dari gedung
K = Faktor jenis struktur

4.4.11 Analisis Tata Bangunan


Garis sempadan adalah garis yang pada pendirian bangunan ke arah yang
berbatasan di atas permukaan tanah yang tidak boleh terlampaui. Garis
sempadan ini terdiri dari:
a. Sempadan muka : yang berbatasan dengan jalan
b. Sempadan belakang : yang berbatasan dengan jalan atau bangunan di
belakangnya.
c. Sempadan samping : yang berbatasan dengan jalan atau bangunan di
sampingnya.

Halaman IV |
105
d. Sempadan pagar : garis di mana harus dipasang bagian luar dari pagar-pagar
persil atau pagar-pagar pekarangan.
Dalam menentukan garis sempadan digunakan pertimbangan terhadap
transportasi yaitu mempertimbangkan segi kemacetan lalu lintas. Beberapa
bangunan yang bertingkat biasanya banyak identik dengan sentralisasi
pekerjaan, kegiatan dan mengurangi biaya transportasi, serta penggunaan lahan
yang efisien dibandingkan dengan sistem horisontal. Hal ini yang biasanya
menimbulkan kemacetan. Pertimbangan terhadap transportasi ini mengambil
pendekatan penentuan batas kecepatan minimum pada karakteristik arus stabil
yaitu lalu-lintas lancar pada jalan perkotaan dengan batas kecepatan 15 mil/jam
atau +25 km.

Gambar 4.40. Ilustrasi Penentuan Garis Sempadan Bangunan

Dengan bertitik tolak dari batas kecepatan tersebut, dapat diperoleh jarak
minimum bangunan di kanan dan kiri jalan berdasarkan jarak pandang dan jarak
mengerem secara aman bagi kendaraan pada suatu perempatan. Hal ini didapat
dengan rumus:

Da=0.063.Va2+1,47ta.Va+16
Db = (a.Da) / Da-b

di mana :
Da, Db = Jarak mengerem secara aman antara kendaraan A dan B
a,b = Jarak kendaraan terhadap bangunan
Va, Vb = Kecepatan kendaraan A dan B
ta = Waktu reaksi yang dibutuhkan untuk mengerem

Halaman IV |
106
Dalam penerapannya, penentuan lebar dan jalur jalan dilihat dari Standar Bina
Marga terbaru dan Kepmen PU no.20/KPTS/1986 atau penggantinya sebagai
berikut:
¾ Jalur primer = 3,50 – 3,75 m/jalur
¾ Jalur sekunder = 3,00 – 3,50 m/jalur (arteri)
¾ Jalur tersier = 2,75 – 3,00 m/jalur (kolektor dan lokal)

Tabel 4.21. Dimesi Jalan


Lebar Lebar Bahu
Badan Jalan
Jenis Jalan Perkerasan Jalan Minimum
Minimum (m)
Jarak Minimum (m)
Arteri 8,00 7,50 0,25
Kolektor 7,00 6,50 0,25
Lokasl 6,00 5,50 0,25
Lingkungan untuk 3,50 3,00 0,25
Kendaraan
Setapak 2,50 1,50 0,25
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1986

4.4.12 Analisis Kelembagaan


Analisis kelembagaan dilakukan untuk memahami kapasitas pemerintah
Kecamatan Seram Barat dalam menyelenggarakan pembangunan yang
mencakup struktur organisasi dan tata laksana pemerintahan, sumberdaya
manusia, sarana dan prasarana kerja, produk-produk pengaturan serta organisasi
nonpemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat (termasuk masyarakat adat).
Analisis diharapkan menghasilkan beberapa bentuk dan operasional
kelembagaan di Kecamatan Seram Barat sehingga semua pihak yang terlibat
dapat berpartisipasi dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Analisis ini digunakan sebagai pertimbangan dalam
Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi Kawasan Perkotaan Ibukota Seram
Bagian Barat.

Halaman IV |
107
Gambar 4.41. Proses Identifikasi Stakeholder Terkait
STAKEHOLDERS IDENTIFIKASI STAKEHOLDERS
FORMAL STAKEHOLDERS TERKAIT INFORMAL

LSM MASYARAKAT ADAT


KABUPATEN KECAMATAN & KELURAHAN
SWASTA LEMBAGA INFORMAL

DINAS BADAN LEMBAGA KECAMATAN


Dinas PU BAPEDDA DPRD Kantor Camat KONSEP-KONSEP
PARAMETER
………… SETDA Muspik POLA PARTNERSHIP
PEMERINTAH, KEPENTINGAN
dll Kelurahan PEMERINTAH,
MASYARAKAT DAN
dll SWASTA SWASTA DAN
MASYARAKAT

POLA PARTNERSHIP
PEMERINTAH,
MASYARAKAT DAN
SWASTA

4.4.13 Analisis Pembiayaan Pembangunan


Analisis pembiayaan pembangunan dilakukan untuk mengidentifikasi besar
pembelanjaan pembangunan, struktur APBD, alokasi dana terpakai, dan sumber-
sumber pembiayaan pembangunan yang terdiri dari :
a. pendapatan asli daerah Kabupaten Seram Bagian Barat;
b. pendanaan oleh pemerintah daerah (APBD Seram Bagian Barat)
c. pendanaan oleh pemerintah (APBN);
d. pendanaan dari pemerintah provinsi (APBD Maluku);
e. investasi swasta dan masyarakat;
f. bantuan dan pinjaman luar negeri; dan
g. sumber-sumber pembiayaan lainnya.
Analisis pembiayaan juga menghasilkan perkiraan besaran kebutuhan pendanaan
untuk melaksanakan rencana pembangunan wilayah kota yang diterjemahkan
dalam usulan program utama jangka menengah dan jangka panjang. Analisis ini
digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan RDTR Kawasan Perkotaan
Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat terkait rencana pemanfaatan ruang
(program utama).

Halaman IV |
108
4.5 Proses Penyusunan Peta RDTR
Proses penyusunan peta Materi Teknis Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DAN
Peraturan Zonasi (PZ) Kawasan Perkotaan Ibukota Kabupaten Seram Bagian Barat
terdiri atas:
a. Pembelian Peta Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT)
b. Melakukan Konsultasi Ke BIG
c. Melakukan Survey GCP, ICP & Toponim
 Tahap I
 Tahap II
d. Melakukan konsultasi ke BIG untuk asistensi GCP, ICP
e. Melakukan proses Orthorektifikasi & Uji akurasi
f. Melakukan digitasi unsur peta dasar skala 1 : 5000
g. Melakukan Konsultasi di BIG untuk asistensi hasil Ortirektifikasi

Tabel 4.22. Muatan dan Sistematika Penyajian Album Peta


No Nama Peta Muatan Peta
A Peta Profil Wilayah Perencanaan
1 Peta orientasi Peta skala kecil disesuaikan dengan ukuran kertas yang
menunjukan kedudukan geografis wilayah perencanaan di dalam
wilayah yang lebih luas
2 Peta batas Deliniasi wilayah perencanaan:
administrasi a. Skala peta mengikuti ukuran kertas;
b. Setiap kabupaten atau kota serta wilayah perencanaan dan
subwilayah perencanaan lainnya diberi warna berbeda; dan
c. Setiap deliniasi wilayah perencanaan diberi nama/kode
wilayah perencanaan bersangkutan.
3 Peta guna lahan Berisi deliniasi jenis guna lahan yang ada di seluruh wilayah
perencanaan:
a. Skala peta mengikuti ukuran kertas; dan
b. Klasifikasi pemanfaatan ruangnya bebas sesuai dengan apa yang
ada di kenyataannya (tidak harus mengikuti klasifikasi untuk
rencana pola ruang).
4 Peta rawan Berisi deliniasi wilayah rawan bencana menurut tingkatan
bencana bahayanya:
a. Skala peta mengikuti ukuran kertas; dan
b. Tingkatan bahaya bencana alam dinyatakan dalam gradasi
warna.
B. Peta Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
1 Peta rencana struktur ruang Skala peta adalah 1:5000 yang terdiri dari:
a. Peta rencana pengembangan pusat pelayanan yang memuat

Halaman IV |
109
No Nama Peta Muatan Peta
distribusi pusat-pusat pelayanan di dalam BWP meliputi: pusat
pelayanan kota/kawasan perkotaan, sub pusat pelayanan
kota/kawasan perkotaan, pusat lingkungan (pusat lingkungan
kecamatan, pusat lingkungan kelurahan, dan pusat RW).
b. Peta rencana trabnsportasi menggambarkan seluruh system
jaringan primer dan jaringan sekunder pada wilayah perencanaan
yang meliputi jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, jalan
lingkungan; jaringan kereta api; jalur pejalan kaki; jalur sepeda
dan jaringan jalan lainnya.
c. Peta rencana jaringan prasarana:
 Peta rencana energi/kelistrikan, menggambarkan
seluruh jaringan penyaluran minyak dan gas bumi baik dari
fasilitas produksi ke kilang pengolahan dan/atau tempat
penyimpanan, maupun jaringan penyalur ke konsumen, serta
jaringan transmisi dan distribusi ketenagalistrikan dan gardu
listrik.
 Peta rencana pengembangan jaringan telekomunikasi
memuat jaringan tetap maupun jaringan bergerak.
 Peta rencana pengembangan jaringan air minum memuat
sistem penyediaan air minum wilayah perencanaan mencakup
sistem jaringan perpipaan dan jaringan non- perpipaan.
 Peta rencana pengembangan jaringan drainase memuat
rencana jaringan drainase primer, sekunder, tersier, lokal,
bangunan peresapan, dan bangunan tampungan.
 Peta rencana pengembangan jaringan air limbah memuat
seluruh sistem pengelolaan air limbah setempat maupun
terpusat.
 Peta rencana jaringan prasarana lainnya memuat jalur
evakuasi dan tempat evakuasi bencana sementara, serta
prasarana lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan
wilayah perencanaan, missal peta rencana jalur evakuasi
bencana.
2 Peta rencana pola ruang a. Skala peta 1:5.000, bila tidak dapat disajikan secara utuh
dalam 1 lembar kertas, peta disajikan beberapa lembar.
Pembagian lembar penyajian peta harus mengikuti angka bujur
dan lintang geografis yang beraturan, seperti halnya pada peta
dasar.
b. Pada setiap lembar peta harus dicantumkan peta indeks dan
nomor lembar peta yang menunjukkan posisi lembar peta yang
disajikan di dalam wilayah kabupaten/kota secara keseluruhan
atau wilayah perencanaan yang disusun RDTR-nya.
c. Setiap wilayah perencanaan dan subwilayah perencanaan
dicantumkan kode wilayahnya.
d. Kandungan peta meliputi:
 Batas wilayah perencanaan dan subwilayah perencanaan yang
didasarkan pada batasan fisik
 Jaringan jalan, jaringan jalur kereta api, dan sungai.
 Deliniasi rencana zona dan subzona yang merupakan

Halaman IV |
110
No Nama Peta Muatan Peta
pembagian pemanfaatan ruang berdasarkan fungsinya.
 Pewarnaan zona disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan mengenai ketelitian peta, sedangkan sub
zona dibagai sesuai ketentuan dan pada peta diberi keterangan
dengan sistem kode.
3 Peta Sub BWP yang a. Skala peta 1:5000, bila tidak dapat disajikan secara utuh
diprioritaskan dalam 1 lembar kertas, peta disajikan beberapa lembar.
penanganannya Pembagian lembar penyajian peta harus mengikuti angka bujur
dan lintang geografis yang beraturan, seperti halnya pada peta
rupa bumi.
b. Pada setiap lembar peta harus dicantumkan peta indeks dan
nomor peta yang menunjukkan posisi lembar peta yang disajikan di
dalam wilayah perencanaan secara keseluruhan.
c. Peta memuat deliniasi lokasi yang diprioritaskan penanganannya
pada wilayah perencanaan.
Sumber: Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor Tahun 2018 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota

Halaman IV |
111

Anda mungkin juga menyukai