Dari ketiga teori yang digabungkan maka didapat suatu definisi bahwa pola massa dan
tata ruang perkotaan memiliki struktur yang jelas jika hubungan antar solid (massa) dan
void (ruang terbuka) dapat terbaca dengan jelas.
Sebuah kota akan memiliki banyak kawasan. Beberapa kawasan mempunyai bentuk dan
ciri khas yang mirip, namun ada juga beberapa kawasan yang memiliki bentuk dan ciri
khas berbeda. Kota adalah sesuatu yang bersifat kompleks, maka perkembangan kota
sering mempunyai kecenderungan membuat orang merasa tersesat dalam gerakan di
daerah kota yang belum mereka kenal. Hal ini sering terjadi di daerah yang tidak
mempunyai linkage (hubungan) satu sama lain. Selain itu tidak jarang dengan adanya
perbedaan bentuk dan ciri di setiap kawasan tersebut bahkan menimbulkan kesan ‘berdiri
sendiri dan terpisah’ dari kotanya, sehingga perlu dibuat
suatu jaringan (linkage) antar kawasan tersebut yang
memberikan kesan kompak satu sama lain.
Salah satu cara membuat linkage tersebut adalah dengan
cara pendekatan linkage visual atau seni berhubungan
secara arsitektural. Edmund Bacon (1978:336)
merumuskan linkage visual terjadi akibat adanya dua
atau lebih fragmen kota yang dihubungkan menjadi satu
kesatuan secara visual. Adapun elemen linkage visual ini
terdiri atas garis, koridor, sisi (edge), sumbu dan irama.
Gordon Cullen merumuskan seni berhubungan secara
arsitektural ini sebagai sesuatu yang “tujuannya adalah
memakai semua elemen yang cocok untuk menciptakan
sebuah lingkungan : bangunan, pohon, sungai, lalulintas, papan iklan, dll, dalam
menyatukan elemen yang satu dengan elemen yang lain dengan cara yang menyebabkan
sebuah peristiwa menarik”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penghubung bagian-bagian kota satu dengan
lain memang merupakan kriteria penting sehingga kawasan-kawasan kota dapat dipahami
sebagai suatu hierarki yang lebih besar.
C. Struktur Keruangan
Struktur keruangan (spasial) pada umumnya merupakan hasil sifat khas topografi,
pemasaan vegetasi dan gabungan sifat khas topografi dan pemasaan vegetasi. Ketiga
unsur ini menentukan ukuran dan terutama kualitas ruang, maka biasanya unsur-unsur
tersebut dianggap sebagai penentu keruangan.
Aspek lain yang tidak kalah penting dalam struktur keruangan adalah dalam hal
menentukan dan mengembangkan lokasi tapak yang dapat mendukung berbagai fungsi
tata guna lahan. Pengetahuan terhadap spatial enclosure akan membekali perancang
untuk menempatkan kegiatan-kegiatan yang secara spesifik tidak menarik, seperti daerah
servis, ke lokasi yang tidak menarik dan tertutup.
Vegetasi alami yang terdapat di kawasan perencanaan telah membentuk struktur
keruangan. Struktur keruangan yang terbentuk dari lansekap tersebut menjadi sangat
penting terutama untuk menetapkan fungsi yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
visual seperti jalan, jalan setapak untuk lintas alam, dll.
Adapun sifat khas keruangan pada umumya tergantung pada tiga hal, yaitu : besaran
ruang, tingkat ketertutupan (degree of enclosure) visual dan sifat khas visual.
Besaran ruang penting untuk menentukan dampak visual secara menyeluruh. Demikian
juga potensinya untuk menyerap fungsi tertentu. Besaran ruang tersebut dapat
dievaluasi menurut luas dan hubungan antar luas suatu ruang dengan semua ruang yang
ada dalam satu site.
Tingkat ketetutupan visual (degree of enclosure) merupakan faktor spasial penting,
terutama untuk menempatkan fungsi yang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan hubungan
sirkulasi (jalan raya maupun jalan setapak), pemandangan (view atau vista). Walaupun
pengertian ruang disini mengesankan ketertutupan namun struktur keruangan tersebut
dapat membangkitkan citra (image) suatu site.
Sifat khas visual berhubungan erat dengan penafsiran cermat seseorang tentang suatu
ruang. Untuk itu sifat khas visual dari setiap lokasi yang memiliki potensi view baik harus
selalu dibangun untuk mendapatkan suatu citra yang baik dan mengesankan sehingga
akan selalu melekat dalam setiap pikiran semua orang.
D. Pola Sirkulasi
Berdasarkan kondisi topografi tapak yang relatif landai dan bergelombang pada sebagian
kecil tapak, tipologi yang diterapkan untuk pola sirkulasi tidak menjadi kendala. Pola
sirkulasi yang diarahkan pada tapak kawasan Pasar Daerah Patrol merupakan gabungan
dari pola linier dan sistem grid. Penerapan sistem linier dan grid ini diselaraskan dengan
pola tapak yang direncanakan berbentuk kubus dimana dipisahkan secara simetris oleh
jaringan jalan sehingga penempatan masa bangunan terlihat konsentris, sehingga
diharapkan setiap instansi pemerintah dapat menjalin komunikasi, koordinasi,
transformasi dan kerjasama dalam memikul tanggungjawab secara bersama. Selain itu
penerapan sistem linier dan grid ini memiliki tingkat efisiensi ruang yang baik dan biaya
yang lebih rendah dibandingkan dengan sistem sirkulasi lainnya.
Pola sirkulasi lokal di kawasan fungsional perumahan, disesuaikan dengan karakteristik
tapak dan tipe perumahan, yaitu kombinasi dari pola loop, kurva linier dan culdesac.
E. Drainase
Berdasarkan kondisi topografinya, disain saluran drainase di kawasan perencanaan akan
dirancang untuk mampu menampung limpasan air hujan berdasarkan kondisi kekuatan
batas pembangunan tapak di masa mendatang maupun daerah drainase di luar tapak.
Drainase tapak akan diarahkan ke suatu penampungan permukaan atau bawah
permukaan permanen yang memadai untuk menampung limpasan dari tapak untuk saat
ini maupun perkiraan di masa mendatang, dan menghindari limpasan ke daerah aliran
sungai di luar tapak kecuali apabila air tersebut dibutuhkan untuk irigasi.
Prinsip-prinsip Penataan
Prinsip-prinsip penataan Struktur Peruntukan Lahan:
(1) Secara Fungsional meliputi penataan:
(a) Keragaman tata guna yang seimbang, saling menunjang (compatible) dan
terintegrasi
Penetapan kaitan secara fungsional antarberbagai jenis peruntukan untuk
mendukung prinsip keragarnan yang seirnbang dan saling menguntungkan
namun tidak memberikan dampak penting terhadap fungsi utama
lingkungan;
Penetapan besaran komponen tata bangunan yang dapat mengadaptasi
dan mengadopsi kebutuhan keragarnan fungsi/peruntukan dalarn
blok/kaveling/ bangunannya;
Penetapan peruntukan mengantisipasi aktivitas interaksi sosial yang
direncanakan, dengan tetap mengacu pada rencana tata ruang wilayah;
Penetapan kualitas ruang yang menyediakan lingkungan yang aman,
nyarnan, sehat dan menarik, berwawasan ekologis, serta tanggap terhadap
tuntutan ekonorni dan sosial.
(b) Pola distribusi jenis peruntulkan yang mendorong terciptanya interaksi
aktivitas
Penyebaran distribusi jenis peruntukan lahan mikro yang diatur secara
keruangan untuk membentuk ruang-i~ang kota yang hidup, layak huni,
serta mendptakan kualitas taraf hidup;
Pembentukan kualitas lingkungan yang optimal, terutarna dengan adanya
interaksi antara aktivitas pejalan kaki di muka bangunan dan aktivitas di
lantai dasar bangunan.
(c) Pengaturan pengelolaan area peruntukkan
Penetapan distribusi persentase jenis peruntukan lahan mikro yang akan
dikelola dan dikendalikan oleh pernerintah daerah, di antaranya Ruang
Terbuka Hijau, Daerah Milik Jalan (Damija), dan fasilitas umum.
(d) Pengaturan kepadatan pengembangan kawasan dengan pertimbangan
Daya dukung dan karakter kawasan tersebut;
Variasi/pencampuran peruntukan.
(2) Secara Fisik, meliputi:
(a) Estetika, karakter, dan citra kawasan
Penetapan pengendalian peruntukan yang mendukung karakter khas
kawasan yang telah ada atau pun yang ingin dibentuk;
Penetapan pengaruh ideologi, nilai-nilai sosial budaya setempat, misalnya
bangunan masjid dengan peruntukkan fasilitas umum diorientasikan pada
pusat lingkungan/kawasan.
(b) Skala ruang yang manusiawi dan berorientasi, pada pejalan kaki serta aktivitas
yang diwadahi
Penciptaan keseimbangan tata guna lahan yang berorientasi pada pernakai
bangunan dan ramah pejalan kaki;
Penetapan alokasi untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial yang
ditempatkan sebagai pusat lingkungan yang dapat dijangkau pejalan kaki;
Penetapan peruntukkan lahan yang tidak saja melibatkan pertimbangan
fisik, tetapi juga sosial budaya dan perilaku pemakai/aktivitas lingkungan
yang dikehendaki.
(3) Dari sisi Lingkungan, meliputi:
(a) Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar
Penciptaan karakter lingkungan yang tanggap dan integral dengan karakter
peruntukan eksisting lingkungan sekitar;
(b) Keseimbangan peruntukan lahan dengan daya dukung lingkungan
Penetapan peruntukan lahan yang mempertimbangkan daya dukung
lingkungan, namun tetap dapat memperbat karakter kawasan tersebut;
Pengaturan peruntukan fahan secara ketat dan detail pada kawasan khusus
konservasi hijau.
(c) Kelestarian ekologis kawasan
Penetapan peruntukan lahan yang tanggap terhadap topografi dan
kepentingan kelestarian lingkungan dengan meminimalkan penyebaran area
terbangun dan perkerasan serta beradaptasi dengan tatanan kontur yang ada.
B. Intensitas Pemanfaatan Lahan
Intensitas Pemanfaatan Lahan adalah tingkat alokasi dan distribusi luas lantai
maksimum bangunan terhadap lahan/tapak peruntukannya.
Intensitas Pemanfaatan lahan dimaksudkan untuk:
(1) Mencapai efisiensi dan efektivitas pemanfaatan lahan secara adil.
(2) (Mendapatkan distribusi kepadatan kawasan yang selaras pada batas daerah
yang direncanakan berdasarkan ketentuan dalam rencana tata ruang wilayah
yang terkait.
(3) Mendapatkan distribusi berbagai elemen intensitas lahan, pemanfaatan lahan
(Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Daerah Hijau,
dan Koefisien Tapak Besmen) yang dapat mendukung berbagai karakter khas dari
berbagai sub area yang direncanakan.
(4) Merangsang pertumbuhan kota dan berdampak langsung pada perekonornian
kawasan.
(5) Mencapai keseimbangan, kaitan dan keterpaduan dari berbagai elemen
intensitas pemanfaatan lahan dalam hal pencapaian kinerja fungsi, estetis dan
sosial, antara kawasan perencanaan dan lahan di luarnya.