Anda di halaman 1dari 32

Dok Teknis 05

PENDEKATAN DAN METODOLOGI


5.1 PENDEKATAN PEKERJAAN
5.2.4 Pendekatan Mix Scanning Planning
Penyusunan Master Plan Pasar Daerah Patrol Kabupaten Indramayu ini digunakan
pendekatan Mixed Scanning Planning Approach (MSPA) dan berkelanjutan. MSPA adalah
sistem perencanaan kewilayahan yang mempertimbangkan bahwa wilayah makro tetap
menjadi bagian dari sistem wilayah yang lebih mikro, walaupun tidak secara menyeluruh,
dan sebaliknya. Pendekatan ini dapat memberikan pemahaman keruangan secara lebih
lengkap, karena mempertimbangkan keseluruhan sistem yang mempengaruhi, baik
sistem eksternal maupun internal.
Secara teori, pendekatan MSPA merupakan kombinasi antara pendekatan rasional
menyeluruh dengan pendekatan terpilah (incremental), yaitu menyederhanakan pende-
katan menyeluruh dalam lingkup wawasan secara sekilas dan memperdalam tinjauan atas
unsur yang strategis terhadap permasalahan menyeluruh. Ciri utama pendekatan
perencanaan ini adalah:
 Perencanaan mengacu pada garis kebijakan umum yang ditentukan pada tingkat
tinggi (atas);
 Perencanaan dilatarbelakangi oleh suatu wawasan menyeluruh serta memfokuskan
pendalaman penelaahan pada unsur-unsur yang diutamakan;
 Dinilai sebagai penghematan waktu dan dalam dalam lingkup penelaahan, analisis,
serta proses teknis penyusunan rencana karena terdapat penyederhanaan dalam
penelaahan dan analisis makro.
 Untuk menunjang dan analisis sekilas, maka proses pemantauan, pengumpulan
pendapat, komunikasi, dan konsultasi dengan masyarakat yang berkepentingan dan
pemerintah dilakukan secara menerus mulai dari perumusan sasaran dan tujuan
rencana pembangunan.
Dengan pendekatan Mixed Scanning Planning Approach, maka secara lebih substantif,
pendekatan dalam pekerjaan ini dapat dibagi atas:
 Pendekatan eksternal, yang berarti bahwa dalam penataan ruang dipertimbangkan
faktor-faktor determinan yang dianggap mempengaruhi dalam penentuan arah
pengembangan, seperti kebijakan-kebijakan yang mengikat atau harus diacu, kondisi
dinamika global, dan lain-lain. Dari pendekatan ini nantinya akan teridentifikasi
gambaran tentang peluang yang tercipta dan tantangan yang harus dijawab dalam
penataan ruang suatu wilayah atau daerah.
 Pendekatan internal, yang berarti bahwa dalam penataan ruang dipertimbangkan
faktor-faktor lingkungan strategis yang berpengaruh, seperti kondisi fisik dan
lingkungan, kependudukan, perekonomian, kelembagaan, dll. Pendekatan ini terkait
dengan potensi yang dimiliki dan permasalahan yang akan dihadapi dalam penataan
ruang suatu wilayah.

5.2.5 Pendekatan Sustainability Development


Pendekatan keberlanjutan (sustainability). Kata sustainability sangat penting dalam
sebuah kerangka pengembangan dan pembangunan. Kata tersebut merujuk pada
”abilility of something to be sustained”. Pendekatan sustainability development saat ini
umum digunakan dalam hal-hal yang terkait dengan kebijakan lingkungan atau etika
bisnis, terutama sejak dipublikasikannya istilah ini dalam dokumen Bruntland Report oleh
World Commission on Environt-ment and Development (WCED), tahun 1987. Dalam
dokumen tersebut, sustainability development diartikan sebagai: ”development that
meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to
meet their own needs. In a way that "promote[s] harmony among human beings and
between humanity and nature". Dalam ekonomi, pengembangan seperti ini
mempertahankan atau meningkatkan modal saat ini untuk menghasilkan pendapatan dan
kualitas hidup yang lebih baik. Modal yang dimaksud disini tidak hanya berupa modal fisik
yang bersifat privat, namun juga dapat berupa infrastruktur publik, sumberdaya alam
(SDA), dan sumberdaya manusia (SDM).
Di Indonesia, pembangunan berkelanjutan ini muncul dari pemikiran untuk menanggapi
tantangan global di bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan, melalui pengembangan
ketiga komponen tersebut secara sinergi. Konsep ini memperhatikan kualitas
pertumbuhan, bukan hanya kuantitasnya saja. Dengan demikian, secara singkat
pembangunan berkelanjutan ini dapat diartikan sebagai upaya menumbuhkan
perekonomian dan pembangunan sosial tanpa mengganggu kelangsungan lingkungan
hidup yang sangat penting artinya bagi generasi saat ini dan masa mendatang. Oleh
karena itu, pembangunan keberlanjutan menempatkan 3 pilar utama yang satu sama
lainnya saling terkait dan mendukung, yaitu: 1) pertumbuhan ekonomi, 2) pemerataan
sosial, dan 3) pelestarian lingkungan hidup.
Dengan didasari oleh pendekatan eksternal, internal, dan sustainability, maka diharapkan
penataan ruang yang akan dilakukan merupakan:
1. Penataan ruang yang berdaya guna dan berhasil guna, artinya penataan ruang yang
mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan fungsi ruang.
2. Penataan ruang yang terpadu, artinya penataan ruang yang dianalisis dan
dirumuskan menjadi satu kesatuan dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang yang
dilaksanakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.
3. Penataan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang, artinya penataan ruang yang
dapat menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan struktur
dan pola ruang bagi persebaran penduduk antar wilayah, pertumbuhan dan per-
kembangan antarsektor, antardaerah, dan antara sektor dengan daerah.
4. Penataan ruang yang berkelanjutan, artinya penataan ruang yang menjamin keles-
tarian kemampuan daya dukung sumberdaya alam.

5.2.6 Pendekatan Pasar Komoditi


Pendekatan sektor (makro ekonomi) menjadi salah satu faktor utama dalam Penyusunan
Master Plan Pasar Daerah Patrol Kabupaten Indramayu ini, dikarenakan aspek pertama
yang perlu dipertimbangkan adalah sektor ekonomi apa yang akan menjadi pengungkit
(leverage) di daerah untuk memberdayakan masyarakat menengah kebawah,
memberikan multiplier effect yang tinggi, meningkatkan daya saing daerah. Terdapat
berbagai pendekatan yaitu bottom Up pengembangan pasar didasarkan kepada
keunggulan/kekhasan/keunikan yang dimiiliki oleh daerah yang didasarkan kepada
perekonomian daerah. Pendekatan awal dengan melihat keunggulan sektor yang dhitung
melalui nilai LQ dan Shiftshare untuk menentukan sektor mana yang mempunyai nilai LQ
lebih dari 1 yang artinya memberikan kontribusi besar daerah terhadap keunggulan di
tingkat provinsi, kemudian diturunkan menjadi komoditas-komoditas unggulan dari
sektor prioritas berdasarkan LQ Sektor.
Khusus dalam pendekatan pasar komoditas unggulan akan lebih banyak dipengaruhi oleh
kemampuan sumber daya lokal dalam pelaksanaan, faktor sosial budaya masyakat juga
ikut menentukan kemajuan pasar. Eksistensi pasar saat ini yang ada didaerah perlu
diperhatikan, mana saja pasar yang masih berjalan, dan berpotensi untuk terus
dikembangkan. Selain pendekatan makro ekonomi dalam pengembangan pasar, perlu
diperhatikan juga pendekatan mikro ekonomi meliputi supply demand komoditas,
pengendalian harga, mekanisme pasar saat ini, banyak pasar yang tidak berkembang
karena kekurangan dana operasional, dana investasi yang minim, kepercayaan lembaga
pembiayaan belum tinggi, masih ketergantungan kepada ijn, bandar dalam
perdagangannya.
5.2.7 Pendekatan Teori Perancangan Kota
Arsitektur kota tidak terjadi secara alamiah karena bersifat artefak (buatan manusia) dan
sebuah artefak yang baik perlu diciptakan lebih dahulu secara baik. Begitu juga dengan
kota : sebuah kota yang baik harus dibangun dengan baik sehingga harus dipikirkan dan
dirancang dengan baik lebih dahulu. Istilah “perancangan kota” atau ‘urban design’ sering
memiliki pendekatan yang berbeda karena mempunyai bermacamarti (bersifat ambigu)
dan kompleks.
Dari berbagai teori perancangan kota yang ada selama ini secara garis besar difokuskan
dalam tiga bidang/aspek, yaitu arsitektur kota (perancangan kota), sejarah kota
(pemahaman latar belakang kota) dan ekologi kota (pemahaman masa depan kota).
Roger Trancik (1986:246) sebagai tokoh perancangan kota mengemukan tiga kelompok
pokok teori perancangan kota yang dapat menjelaskan kota secara ruang dan waktu, baik
secara historis maupun modern. Adapun ketiga kelompok teori ini adalah :
1. Teori figure/ground, yang mengidentifikasikan tata ruang kota (urban fabric) melalui
hubungan yang dibentuk oleh massa bangunan (building mass) dan ruang terbuka
(open space).
2. Teori Linkage, yang menegaskan hubungan dan gerakan dinamis dari sebuah tata
ruang kota.
3. Teori Place, memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tempat-tempat terbuka
di perkotaan yang memiliki kepentingan untuk sejarah, budaya dan sosialisasinya.

Dari ketiga teori yang digabungkan maka didapat suatu definisi bahwa pola massa dan
tata ruang perkotaan memiliki struktur yang jelas jika hubungan antar solid (massa) dan
void (ruang terbuka) dapat terbaca dengan jelas.
Sebuah kota akan memiliki banyak kawasan. Beberapa kawasan mempunyai bentuk dan
ciri khas yang mirip, namun ada juga beberapa kawasan yang memiliki bentuk dan ciri
khas berbeda. Kota adalah sesuatu yang bersifat kompleks, maka perkembangan kota
sering mempunyai kecenderungan membuat orang merasa tersesat dalam gerakan di
daerah kota yang belum mereka kenal. Hal ini sering terjadi di daerah yang tidak
mempunyai linkage (hubungan) satu sama lain. Selain itu tidak jarang dengan adanya
perbedaan bentuk dan ciri di setiap kawasan tersebut bahkan menimbulkan kesan ‘berdiri
sendiri dan terpisah’ dari kotanya, sehingga perlu dibuat
suatu jaringan (linkage) antar kawasan tersebut yang
memberikan kesan kompak satu sama lain.
Salah satu cara membuat linkage tersebut adalah dengan
cara pendekatan linkage visual atau seni berhubungan
secara arsitektural. Edmund Bacon (1978:336)
merumuskan linkage visual terjadi akibat adanya dua
atau lebih fragmen kota yang dihubungkan menjadi satu
kesatuan secara visual. Adapun elemen linkage visual ini
terdiri atas garis, koridor, sisi (edge), sumbu dan irama.
Gordon Cullen merumuskan seni berhubungan secara
arsitektural ini sebagai sesuatu yang “tujuannya adalah
memakai semua elemen yang cocok untuk menciptakan
sebuah lingkungan : bangunan, pohon, sungai, lalulintas, papan iklan, dll, dalam
menyatukan elemen yang satu dengan elemen yang lain dengan cara yang menyebabkan
sebuah peristiwa menarik”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penghubung bagian-bagian kota satu dengan
lain memang merupakan kriteria penting sehingga kawasan-kawasan kota dapat dipahami
sebagai suatu hierarki yang lebih besar.

5.2.8 Pengertian Citra Kawasan


Dari konteks kota yang lebih besar, teori perancangan kota tersebut kemudian dijabarkan
kedalam teori lain yang dapat menjelaskan lebih detail mengenai wilayah kota atau
kawasan. Sebelum memahami suatu masalah perancangan kota (Urban Design) ada
baiknya untuk memahami penjelasan tentang bagaimana manusia mengerti dan menilai
suatu lingkungan kota. Adapun penjelasan tentang bagaimana manusia mengerti dan
menilai lingkungan kota seperti ini bisa dilakukan dengan pendekatan konstruktivisme.
Menurut Sarlito Wirawan, dalam Buku Psikologi Lingkungan, makna sebuah kota bisa
dimengerti oleh manusia adalah bermula dari adanya rangsang dari luar diri individu
(stimulus), individu menjadi sadar akan adanya stimuli ini melalui penginderaan yang
peka dan dikoordinasikan didalam otak, sehingga manusia bisa mengenali dan menilai
objek-objek tersebut dan keadaan ini kemudian dinamakan persepsi.
Secara khusus Roger Downs & David Stea (1973) mendefinisikan peta mental sebagai
“suatu proses yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan, mengorganisasikan/
menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali informasi tentang
lokasi relatif dan tanda-tanda tentang lingkungan geografis kita”.
Seorang pengamat perkotaan, Kevin Lynch (1960) mengemukakan tentang bagaimana
cara mengukur peta mental suatu lingkungan melalui beberapa unsur kota seperti :
a) Tanda-tanda yang mencolok (Landmark) (Gambar 2.3)
b) Titik temu antar jalur (Node)
c) Wilayah-wilayah yang homogen yang berbeda dari wilayah-wilayah lainnya (District)
d) Jalur-jalur jalan (Path)
e) Batas-batas wilayah (Edge)
Menurut Lynch makin nyata unsur-unsur itu di dalam suatu lingkungan, misalnya
lingkungan kota, makin mudah orang menyusun peta mental didalam ingatannya. Artinya
orang akan lebih cepat mengenal suatu lingkungan geografis yang ada. Fungsi peta
mental selain untuk mengatasi lokasi dan jarak, juga bisa untuk tujuan komunikasi,
bahkan untuk menunjukkan suatu identitas. Contohnya orang-orang dari luar Jakarta
yang pernah datang ke Jakarta akan senang sekali kalau bisa saling bercerita tentang
Dunia Fantasi atau Tugu Monas.
Untuk memahami persepsi dan sikap orang terhadap lingkungan, diperlukan suatu usaha
untuk memberikan makna tertentu pada sebuah tempat. Dalam hal ini manusia
memerlukan suatu sistem place (makna suatu tempat) yang cukup berarti dan stabil
untuk mengembangkan kehidupan dan budayanya. Kebutuhan itu timbul karena adanya
kesadaran orang terhadap suatu tempat yang lebih luas daripada sekedar masalah fisik
suatu lingkungan “sebuah place adalah sebuah space yang memiliki suatu ciri khas
tersendiri”.(Christian Norberg-Schulz).
Camillo Sitte menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kehidupan
masyarakat perkotaan dan rupa estetika perkotaan. Bentuk kota dan estetikanya tidak
hanya merupakan ungkapan dari budaya perkotaan saja, melainkan juga berfungsi
sebagai landasan yang kuat untuk mempengaruhi budaya perkotaan kearah yang baik
atau sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan suatu perancangan perkotaan yang
memperhatikan arti place yang artistik secara fisik.
Citra kota (Image of the City) merupakan gambaran mental dari sebuah kota sesuai
dengan pandangan rata-rata masyarakatnya. Perbedaan pandangan pada setiap orang
terhadap kotanya adalah berasal dari perbedaan kuat/lemahnya gambaran mental yang
dimiliki orang tersebut terhadap kawasannya daripada tempat lain. Perbedaan-
perbedaan itu berdasarkan pada kemampuan orang memahami gambaran perkotaan,
kemampuan orang membaca pola perkotaan atau hubungan antar objek dan perbedaan
dalam pengalaman merasakan ruang kota.
Demikian pula dengan gambaran tentang citra kawasan yang tercipta karena adanya
pengaruh visual/arsitektural dari elemen-elemen pembentuk karakter ruang. Seperti
teori yang dikembangkan oleh Shirvani (1985) mengenai 8 elemen rancang kota
sebenarnya lebih mengutamakan aspek visual (arsitektur) dibandingkan aspek historis
dan ekologi. Adapun kedelapan elemen rancang kota yang dikemukakan oleh Shirvani
yang adalah : 1) tata guna lahan; 2) bentuk dan massa bangunan; 3) sirkulasi dan parkir;
4) ruang terbuka; 5) ruang pejalan kaki; 6) simbol dan tanda; 7) penunjang aktifitas
(activitiy support), dan 8) preservasi.

5.2.9 Komponen/Elemen Citra Kawasan


Sesuai dengan pendekatan konstruktivisme tentang persepsi manusia dalam menilai
obyek, maka agar suatu obyek dapat diingat (imeageability), maka obyek tersebut harus
memiliki kualitas yang dapat menggugah ingatan manusia yang mengamatinya, baik
dalam bentuk, warna dan tatanan yang sangat kuat.
Berikut ini adalah beberapa komponen/elemen fisik pembentuk citra kawasan yang
menjadi acuan konsep perancangan dalam penyusunan land use dan site plan Master
Plan Pasar Daerah Patrol Kabupaten Indramayu ini.

5.2.9.1 Tata Guna Lahan


Peraturan tata guna lahan (land use) adalah salah satu elemen kunci dalam perancangan
kota (Shirvani, 1985:8). Peraturan ini menetapkan rencana dasar penggunaan lahan
secara dua dimensi. Rencana tata guna lahan dibuat berdasarkan pada kondisi spesifik
lahan. Tata guna lahan secara langsung mempunyai dampak terhadap sirkulasi dan
intensitas dari kegiatan/fungsi dalam suatu kawasan. Pertimbangan tata guna lahan
meliputi : jenis kegiatan yang diwadahi, luas guna lahan dan pola guna lahan.
Pengelompokan kegiatan berdasarkan fungsinya akan memberikan citra tersendiri bagi
kawasan tersebut, misalnya kawasan perkantoran, perdagangan, pergudangan,
perumahan, jasa, industri, peribadatan, dan rekreasi.

5.2.9.2 Intensitas Pemanfaatan Lahan


Intensitas pemanfaatan lahan merupakan luas lantai maksimal yang dapat dibangun
diatas sebidang tanah maka akan diperoleh gambaran mengenai skala pembangunan
pada Master Plan Pasar Daerah Patrol Kabupaten Indramayu ini.
Sasaran dari intensitas pemanfaatan lahan adalah guna mendapatkan intensitas
pemanfaatan lahan dalam kawasan perkantoran ini secara merata dan seimbang sesuai
dengan jenis peruntukannya.
1. Intensitas Pemanfaatan Lahan
Pengertian intensitas pemanfaatan lahan adalah suatu perbandingan jumlah seluruh
lantai bangunan terhadap luas tanah perpetakan/ kawasan perencanaan yang sesuai
dengan rencana kota. Intensitas pemanfaatan lahan berhubungan dengan
peruntukkan lahan pada blok dalam kawasan, terutama menyangkut besaran ruang
yang ditempati oleh peruntukan yang telah ditetapkan.
2. Daerah Perencanaan
Daerah perencanaan adalah sebidang tanah yang telah ditetapkan batas-batasnya
sesuai dengan rencana peruntukannya. Kawasan perencanaan pada dasarnya untuk
menjamin intensitas pemanfaatan lahan rata-rata pada kawasan pembangunan, sesuai
dengan batas intensitas yang telah ditetapkan.
3. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
Adalah angka perbandingan jumlah luas lantai dasar tiap bangunan terhadap luas
tanah perpetakan. KDB ini dimaksudkan untuk menyediakan lahan terbuka yang cukup
bagi setiap persil. Dengan demikian aspek lingkungan seperti resapan air dan ruang
terbuka hijau tatap dapat terpenuhi kebutuhannya. KDB juga mempengaruhi
terciptanya ruang diantara bangunan.
4. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan Ketinggian Bangunan
Adalah perbandingan jumlah luas lantai bangunan terhadap luas tanah perpetakan.
Penentuan intensitas bangunan di setiap kawasan didasari oleh daya dukung
lingkungan (seperti: prasarana dan sarana) dan daya tampung lingkungan, terutama
dipengaruhi oleh tingkat aksesibilitas sistem jaringan transportasi. Potensi kawasan,
sumber daya setempat, perkembangan teknologi dan tujuan perancangan
kota/kawasan juga mempengaruhi intensitas bangunan di tiap kawasan.
Faktor KLB juga menentukan ketinggian bangunan disuatu ruas jalan maupun dalam
kawasan. Dalam konteks kota ketinggian bangunan akan membentuk garis langit
(skyline) kota. Garis langit tidak sekedar berupa susunan berbagai macam bangunan,
tetapi bahkan dapat memberikan makna tertentu (citra) bagi suatu kawasan atau kota
(Tony Suharto, 1992:60). Garis langit ini akan berbentuk kerucut piramida dengan
puncaknya di pusat kota. Hal ini berkaitan dengan harga tanah yang tinggi akan
membuat KLB semakin tinggi.
5. Insentif dan Disinsentif
Insentif pembangunan (development incentives) bertujuan untuk memberikan
keuntungan bersama bagi pemilik lahan, pemerintah daerah dan masyarakat pada
umumnya. Pada kawasan tertentu yang akan dibangun dan dikembangkan oleh
pengembang swasta (developer), dapat diterapkan beberapa sistem insentif
pembangunan ini, diantaranya :
a) Sistem Insentif Bonus (Bonus Incentives), yang memberikan tambahgan luas diatas
ambang luas lantai bangunan yang ditetapkan. Sistem insentif bonus ini terbagi
atas:
 Insentif Luas bangunan ( Floor Area Incentives ).
 Insentif Langsung ( Direct Insentives ), yang memberikan tambahan luas lantai
bangunan maksimal bagi pengembang yang menyediakan.
b) Hak Pengalihan Intensitas Pembangunan (Transfer of Development Right).

5.2.9.3 Sistem Penghubung


Sistem penghubung merupakan salah satu elemen penting dalam penataan lingkungan
kota. Sistem ini dapat membentuk, mengarahkan dan mengontrol pola aktivitas suatu
kota, serta dapat menjadi prinsip struktur tersendiri, mengartikan karakter bentuk kota
sebagai suatu kawasan yang jelas.
Sasaran dari pengolahan sistem penghubung adalah untuk meningkatkan kemampuan
lahan (land capability) melalui perbaikan tingkat pencapaian dari dan ke dalam kawasan.
1. Sirkulasi Kendaraan
Untuk menata lingkungan pada suatu kawasan perencanaan perlu dikembangkan
suatu sistem penghubung yang akan menghubungkan antar bagian dari kawasan
tersebut dengan kawasan lain yang berdampingan dengannya. Penataan ini
merupakan awal dari usaha perwujudan dari struktur kota/kawasan yang diinginkan.
Menurut Untermann (1976:34), penataan jalur sirkulasi kendaraan atau jalan memiliki
tiga prinsip yaitu :
a) Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka visual yang positif, tidak tertutupi oleh
massa bangunan dan vegetasi serta dapat meningkatkan kualitas lingkungan
disekitarnya.
b) Jalan dapat memberikan orientasi bagi pengemudi yang melintasinya maupun
menjadi pusat orientasi bagi lingkunganya.
c) Jalan harus dapat memberikan kenyamanan dan keamanan berkendaraaan.
Penataan pola sirkulasi yang jelas akan memudahkan berkendaraan dan mencegah
terjadinya konflik sirkulasi.
2. Sirkulasi Pejalan Kaki
Pedestrian atau ruang pejalan kaki (pedestrian ways) biasanya berbentuk suatu
koridor, berada diantara bangunan atau didalam taman. Dengan adanya sistem
pedestrian ini secara tidak langsung akan menurunkan ketergantungan akan
kendaraan serta, meningkatkan kualitas lingkungan, menerapkan skala manusia dan
secara tidak langsung dapat maningkatkan kualitas udara bersih.
Di dalam sistem pedestrian secara keseluruhan, jalur pedestrian (pejalan kaki)
sepanjang jalan akan diidentifikasikan dan dibedakan berdasarkan fungsi yang akan
ditentukan untuk jalur tersebut, misalnya jalur pedestrian utama, internal dan
penghubung dalam kawasan.
a) Jalur Pedestrian Utama
Ditentukan berdasarkan tingkat pemakaian pedestrian, seperti di pusat-pusat
kegiatan utama. Berada di jalan yang lebar dan memungkinkan untuk dilebarkan
bagi jalur pedestrian. Biasanya terletak disepanjang jalur utama kendaraan diantara
fungsi-fungsi kapling yang telah ditentukan.
b) Jalur Pedestrian Internal
Ditentukan berdasarkan tingkat pelayanan dan hierarki jalan dan dititik beratkan
pada jalur-jalur pedestrian didalam kapling. Tingkat kualitas pada jalur ini biasanya
tidak setinggi jalur utama pedestrian.
c) Jalur Pedestrian Penghubung
Merupakan jalur lingkungan yang akan menjadi penghubung antar jalur pedestrian
internal yang berada didalam kapling. Berfungsi untuk memudahkan pejalan kaki
bergerak dari kapling satu ke kapling lainnya serta untuk menghindari
terkonsentrasinya pergerakan pejalan kaki hanya pada jalur pedestrian internal
maupun utama.
3. Sistem Parkir
Baker dan Fuaro (1957:42) mengartikan parkir sebagai sarana yang disediakan bagi
kendaraan untuk berhenti, sehingga dapat ditinggalkan oleh pengemudinya dalam
jangka waktu tertentu.
Menurut Untermann parkir dibagi kedalam dua jenis, yaitu :
a) Off street parking, keuntungannya adalah tidak menggunakan badan jalan dan
tidak menimbulkan kemacetan, sedang kerugiannya adalah jarak pencapaian ke
tujuan menjadi bertambah jauh.
b) On street parking, keuntungannya adalah mempermudah jarak pencapaian ke
tujuan, sedangkan kerugiannya adalah memperkecil kapasitas jalan dan dapat
menyebabkan kemacetan.
Pemilihan dan penentuan jenis parkir di suatu kawasan sangat tergantung pada
kebutuhan dan jumlah pengguna parkir, perbandingan dimensi (kapasitas) jalan dan
volume kendaraaan yang melaluinya, serta harus mempertimbangkan kondisi dan
suasan lingkungan. Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam merancang tempat
parkir adalah : pola ruang parkir, lokasi parkir, kapasitas parkir, serta perlengkapan
parkir seperti rambu parkir, agar pembatas, penerangan dan peneduh.
Parkir mempengaruhi kualitas lingkungan kawasan dan memiliki dampak visual yang
nyata. Dalam pentaan lahan parkir harus memperhatikan jenis kendaraan yang akan
ditampung. Hal ini untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, kenyamanan
pengendara, ketepatan pemilihan material perkerasan dan kemudahan pengelolaan.
Sarana parkir sebaiknya tidak mengganggu kesinambungan, kenyamanan dan
keamanan jalur pejalan kaki. Selain itu, jalur pejalan kaki tidak boleh diambil alih oleh
sarana parkir.

5.2.9.4 Ruang Terbuka dan Tata Hijau


Ruang terbuka (open space) mempunyai arti yang berbeda-beda, termasuk didalamnya
semua jenis lansekap perkerasan (jalan, trotoar dan sebagainya), taman, dan ruang
rekrasi didalam kota. Juga termasuk perlengkapan suatu ruang terbuka hijau seperti
pohon, bangku, lampu penerangan, tempat sampah, patung (sclupture), dan lain-lain.
Sasaran dari penataan ruang terbuka dan tata hijau adalah untuk meningkatkan kualitas
lingkungan hidup di kawasan perencanaan dengan menyediakan lingkungan yang aman,
sehat, menarik dan berwawasan ekologis melalui penciptaan ruang terbuka dan tata
hijau. Prinsip perencanaan ruang terbuka bukan tergantung luasnya tetapi bagaimana
cara ruang terbuka tersebut terangkai dalam hubungan secara keseluruhan dalam suatu
tempat.
Menurut Roger Tancik, pembagian ruang terbuka dibagi menjadi hard pace dan soft
space. Hard space adalah ruang terbuka yang terbentuk karena adanya pembatas dinding
arsitektural dan biasanya berupa tempat bersama untuk aktivitas sosial, contohnya plaza,
alun-alun dan lain-lain. Sedangkan soft space biasanya didominasi oleh pembatas yang
ada di lingkungan alam, dan settingnya berbentuk taman, kebun umum atau jalur hijau.
Biasanya soft space ini sifatnya lebih rekreatif.
Ruang terbuka juga dapat dibedakan atas jenisnya yaitu : 1) taman kota, 2) lapangan olah
raga terbuka, 3) hutan kota, 4) jalur hijau jalan, 5) sempadan sungai, 6) pemakaman. 7)
pekarangan, dan 8) ruang terbuka hijau produktif. Sedangkan menurut sifatnya ruang
terbuka dibagi atas :
1. Ruang Terbuka Umum
Ruang terbuka umum ini sebaiknya memiliki kualitas visual yang baik dan menarik
sehingga sekaligus dapat meningkatkan kualitas jalur pejalan kaki (pedestrian)
disekitarnya. Ruang terbuka umum ini bisasanya berkaitan dengan fasilitas kegiatan
umum dan berfungsi sebagai simpul daerah tersebut.
2. Ruang Terbuka Pribadi yang Terbuka bagi Umum
Jalur pedestrian yang berada didalam dan diluar kapling, terutama yang terbentuk oleh
massa bangunan, merupakan ruang terbuka pribadi (private) yang terbuka untuk
umum. Ruang-ruang ini sebetulnya dimiliki secara pribadi oleh bangunan didekatnya
namun dapat dinikmati oleh umum terbatas sebagai jalur sirkualsi saja.
3. Ruang Terbuka Pribadi
Ruang terbuka pribadi merupakan ruang terbuka yang memiliki pencapaian terbatas.
Halaman-halaman belakang persil biasanya merupakan ruang dengan kategori ini.
4. Tata Hijau
Pola tata hijau dan iklim mikro merupakan unsur penting dalam perencanaan ruang
terbuka di lingkungan tropis. Selain dapat memberikan kesatuan antar blok, tata hijau
juga dapat menjadi unsur pengarah ataupun pelindung terhadap iklim yang ada.

5.2.9.5 Tata Bangunan


Sasaran tata bangunan adalah : menetapkan bentuk, besaran dan massa bangunan yang
dapat menciptakan serta mendefinisikan ruang luar yang akomondatif terhadap berbagai
bentuk kegiatan yang mengambil tempat dalam kawasan. Salah satu tujuan dari tata
bangunan ini adalah menentukan GSB (garis sempadan bangunan/ streetline setback)
yang mengatur keteraturan posisi bangunan terhadap jalan didepannya. Hal ini berkaitan
pula dengan usaha untuk melindungi pandangan luas para pengendara dijalan sewaktu
mereka melewati kelompok-kelompok bangunan. Penataan bangunan juga berkaitan
dengan perumusan kembali penggunaan lahan di suatu kawasan dengan
mempertimbangkan prospek pengembangannya
Selain itu masalah tata bangunan dalam RTBL juga sering membahas langgam atau gaya
arsitektur di berbagai kawasan. langgam dapat diartikan sebagai suatu kumpulan
karakteristik bangunan struktur, kesatuan dan ekspresi yang digabungkan didalam bentuk
yang dapat mengingatkan kita pada suatu periode tertentu ataupun ciri khas wilayah
tertentu. Lanngam arsitektur ini akan mencerminkan ekspresi masyarakat didalamnya
sehingga dapt dijadikan identitas kawasan.

5.2.9.6 Penanda dan Wajah Jalan


Sasaran dari elemen penanda (signage) adalah untuk menciptakan lingkungan yang
informatif sehingga memudahkan pengunjung kawasa untuk berorientasi dan
bersirkulasi.
Wajah jalan merupakan unsur yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter
lingkungan. Masing-masing blok dalam kawasan dapat memiliki wajah jalan yang berbeda
dan hal ini dimaksudkan untuk menguatkan karakter masing-masing blok tersebut. Salah
satu aspek wajah jalan adalah sistem penanda (signage system), pedestrian, perabot
jalan, penampang jalan dan bangunan, garis sempadan bangunan, letak dan bentuk
massa bangunan serta pola tata hijau disekitarnya. Pedestrian merupakan bagian dari
sistem penghubung, ruang publik dan sebagai unsur pembentuk karakter kawasan. Jenis-
jenis penanda dan wajah jalan diantaranya adalah :
1. Sistem Penanda Terpadu (built-in signage system)
Sistem penanda terpadu merujuk pada citra, karakter dan tata bangunan yang ada di
suatu kawasan., salah satu contohnya adalah bangunan sebagai tengaran (landmark)
atau focal point kawasan yang berfungsi sebagai pusat orientasi kawasan. termasuk
didalamnya adalah bangunan pintu gerbang.
2. Sistem Penanda Arah (directional system)
Merupakan tata informasi yang berfungsi sebagai pengarah sekaligus dapat
menjelaskan identitas obyek di suatu kawasan. termasuk didalamnya adalah rambu-
rambu lalulintas, rambu berupa tulisan atau grafis, serta petunjuk arah.
3. Papan Nama (organized billboard)
Papan nama harus dapat membantu menciptakan ‘sense of place’ yang positif dan
teratur sehingga dapat meningkatkan kualitas visual lingkungan kawasan.
4. Perabot Jalan (street furniture)
Tujuan dari pemasangan perabot jalan ini adalah untuk meningkatkan kualitas ruang
umum, untuk memberikan kenyamanan para pejalan kaki serta untuk mengoptimalkan
fasilitas umum di suatu kawasan/kota. Perabot jalan yang biasa tersedia di jalan
maupun taman adalah berupa kotak telepon umum, toilet umum, lampu jalan, tempat
sampah, hydrant box, patung (sculpture), jam, bangku dan lain-lain. Keunikan dari
setiap elemen perabot jalan ini dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan secara
tidak langsung dapat meningkatkan citra kawasan yang berkarakter.
Saat ini bermacam-macam perabotan jalan ditawarkan secara umum dengan berbagai
bentuk dan harga, namun yang hal terpenting dari semua itu adalah sikap mental dan
karakter para pemakai jalan, baik pejalan kaki maupun para pengguna kendaraan.
5. Kegiatan Pendukung (support activities)
Penunjang kegiatan (support activities) adalah semua hal yang menyangkut kegiatan
dan penggunaan ruang-ruang umum yang menunjang kehidupan atau-fungsi-fungsi
utama kota (Shirvani, 1985:37) kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang umum tersebut
harus saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Ruang-ruang umum yang
dimaksud adalah ruang atau bangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum,
seperti plaza-plaza, tempat duduk dan ruang bagi sektor informal. Beragamnya bentuk
penunjang aktifitas ini akan memberikan citra tersendiri bagi kehidupan di suatu
kawasan.

5.2.10 Prasarana Dasar & Utilitas


Penyediaan prasarana dasar seperti air bersih, saluran air kotor, limbah padat, listrik,
telepon dan utilitas lainnya dalam kawasan yang akan dibangun harus terpadu dan
sebaiknya tertanam didalam tanah, khususnya di bawah ROW atas Daerah Milik Jalan
(DMJ). Sempadan pagar dan bangunan yang memadai disepanjang jalan perlu disediakan
untuk keperluan tersebut.
Penyediaan air bersih dan pengolahan limbah untuk jangka panjang merupakan aspek
terkait dengan pembangunan kawasan dan sangat erat hubungannya dengan
kemampuan kawasan pembangunan terpadu dalam memenuhi kebutuhan pelayanan di
masa mendatang.
Pengolahan limbah padat merupakan masalah penting. Perencanaan yang baik disertai
pengambilan keputusan yang dini memungkinkan optimalisasi dalam penentuan sistem
terbaik dalam pembangunan kawasan terpadu.
Penyediaan listrik, telepon dan utilitas lainnya harus dipertimbangkan dengan baik,
khususnya dalam masalah penempatan utilitas. Penyediaan utilitas ini juga harus
memperhatikan adanya kemungkinan perluasan/perkembangan kawasan sehingga
penempatan utilitas tersebut tidak terganggu.

5.2 METODOLOGI PEKERJAAN


5.2.1 Metode Pengumpulan data
Pelaksanaan survey dan pengumpulan data dapat diperoleh dari berbagai sumber yang
diharapkan untuk memperkaya masukan akademis maupun komparasi di luar yang telah
dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yakni survey sekunder dan
survey primer. Adapun metoda pelaksanaan survey tersebut dijelaskan sebagai berikut
1. Survey Sekunder
Survei sekunder atau telaah dokumen, dimana teknik ini berupa perekaman atau
pencatatan data sekunder dari instansi/lembaga terkait dan media masa. Survei ini
dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi yang telah terdokumentasikan
dalam buku, laporan dan statistik yang umumnya terdapat di instansi terkait yang
relevansi dengan kegiatan pekerjaan, baik berupa kajian, dokumen perencanaan,
studi-studi serta kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang digunakan
sebagai acuan pemerintah setempat. Disela-sela survei, dilakukan diskusi yang
melibatkan aparat pemerintah daerah yang terkait dengan pengembangan daerah
untuk saling tukar informasi dan pengetahuan tentang kondisi aktual. Pada survei
sekunder dilakukan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari literatur-
literatur dan instansi terkait, yang meliputi data dari BPS, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Dinas Perhubungan, BAPPEDA, Dinas PU Bina Marga, Dinas PU Cipta
Karya, Dinas Tata Ruang dan Permukiman, Kantor Desa dan Kantor Kecamatan.
Tabel V.1 Kebutuhan Data Sekunder Dari Instansi Terkait di Kabupaten Indramayu
N
Instansi Kebutuhan data Bentuk Data Ket.
o
1 DISKOPERINDAG Data Pasar Dokumen dan Peta Arahan Lokasi
Luas Pasar Pasar Komoditi
Jenis Pasar
Peta Lokasi Pasar
Rencana jumlah user di tiap pasar
dalam klasifikasi unit usaha
Pendapatan total per pasar dan
biaya/subsidi/operasi cost masing-
masing pasar
Tarif/sewa atau beli: kios, toko, los,
lapak dibeberapa pasar
Jumlah fasilitas, kondisi fasilitas,
dan infrastruktur pasar yang
sekarang
2 BAPPEDA RTRW Kabupaten Indramayu Arahan Tata Ruang
3 DISTARCIP RDTRK Dok dan Peta (GIS) Pada calaon Lokasi
Pasar Komoditi
4 BPS Jumlah Penduduk Dokumen
PDRB sub Sektor
Per kapita
Sebaran Pasar
5 DISHUB Jumlah Angkutan yang melewati Dokumen dan Peta
pasar
Volume traffic ruas jalan utama
pasar
6 Bina Marga (PU) Data Jaringan Jalan (sekitar Pasar) Dokumen dan Peta
7 UPTD Pasar Luas Pasar Dokumen dan Peta
Rencana Perluasan Pasar
Jumlah toko, kios, los, lapak
Jumlah tenant yang memiliki kios
Jumlah tenant sewa
Jumlah omset/ per bulan
Harga tarif sewa/beli resmi
Harga tariff sewa/beli tangan
kedua
Biaya operasi maintenance per
bulan
Struktur Organisasi UPTD Pasar
2. Survey Primer
Survey Primer (pengamatan langsung) merupakan instrumen pengumpulan data
dengan jalan mengamati, mengukur kejadian yang sedang berlangsung, sehingga
diperoleh data aktual dan faktual. Pengamatan dilakukan secara sistematik dan
tercatat terhadap objek-objek yang sedang diobservasi. Pada kegiatan ini, jenis
observasi yang dilakukan adalah jenis observasi langsung dan wawancara. Survey
lokasi lebih difokuskan di wilayah kajian yang terkait dengan Penyusunan Master Plan
Pasar Daerah Patrol Kabupaten Indramayu.
Tabel V.2 Data Primer Kondisi Pasar Patrol Kabupaten Indramayu
N Uairan
Indikator Variabel Sub Indikator Variabel Kode Foto
o Kondisi
1 Teknis Luas lahan
Keberadaan Terminal
Kondisi Topografi
Kondisi rawan bencana
2 Sosial Ekonomi Dekat dengan permukiman penduduk
Sikap masyarakat terhadap pembangunan pasar
3 Sarana dan Adanya jaringan jalan menuju lokasi pasar
Prasarana Jumlah angkutan yang melewati pasar
Trasnsportasi
4 Sarana dan Kondisi jaringan air bersih
Prasarana dalam Kondisi jaringan jalan didalam pasar
Pasar Kondisi jaringan Listrik
Kondisi jaringan Telepon/HP
keamanan kebakaran
Kondisi jaringan air limbah diluar mau pun di dalam
pasar
Kondisi jaringan drainase diluar mau pun di dalam
pasar
5 Kondisi fasilitas Kondisi toilet
penunjang Kondisi mushola
Kondisi Security (Keamanan)
Kondisi parkir dan bongkar muat
Kondisi gudang
Kondisi tempat sampah
6 Tata Letak Pasar Tata letak kios berdasarkan komoditi
Selain data-data primer kondisi pasar komoditi yang terdapat pada diatas, adapun from
wawancara kepada stakeholder pasar komoditi meliputi Dinas Koperasi, Perindustrian,
Dan Perdagangan Kabupaten Indramayu, UPTD Pasar Komoditi, dan pelaku pasar
(penjual). Untuk lebih jelasnya mengenai from wawancara dapat dilihat pada lampiran.

5.2.2 Metode Analisis


Metode analisis dalam kajian Penyusunan Master Plan Pasar Daerah Patrol Kabupaten
Indramayu, meliputi:

5.2.2.1 Analisis Tapak


A. Topografi
Untuk menghindari biaya konstruksi yang mahal dan mendayagunakan bentuk
permukaan lahan, maka suatu rencana harus ditelaah dalam kaitannya dengan topografi.
Untuk tapak datar, topografi tidak menentukan perencanaan tapak. Namun
pengelompokan bangunan harus ditelaah agar tercipta suatu sistem drainase yang
memuaskan.
Untuk tapak tak teratur, diupayakan penyesuaian rencana tapak terhadap topografinya.
Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan biaya pembangunan awal dan
pemeliharaan yang ekonomis, terutama untuk saluran air kotor dan drainase.
Penggunaan keragaman topografi akan dilakukan secara cermat agar dapat memberi ciri
mandiri yang kuat pada tapak.
Topografi tapak yang tak teratur dapat menyebabkan biaya pembangunan yang tinggi.
Pada tapak yang landaipun kebiasaan meletakan bangunan sejajar kontur akan banyak
mengurangi biaya konstruksi, pelandaian dan urugan yang tinggi.
Pada tapak tak teratur akan diarahkan penempatan trotoar dan jalan dengan bangunan
untuk mengurangi biaya kupasan dan urugan pada tahapan selanjutnya. Pembuatan jalan
dan trotoar akan diarahkan sejajar dengan kontur agar menghindari biaya pelandaian
yang tinggi, selain untuk menciptakan kenyamanan dan keserasian tapak.
Pada tapak yang tak teratur, alternatif yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Bangunan ditempatkan pada bagian tanah hampir datar yang diperoleh dengan
menggali lereng. Jalan diarahkan sejajar bangunan dan cukup sejajar atau hampir
tegak lurus kontur sejauh kemiringan maksimum untuk jalan.
2. Meletakkan bangunan dalam rangkaian undak, mengikuti jalan yang berlawanan
dengan kontur.

B. Orientasi Terhadap Matahari


Orientasi terhadap matahari selalu berguna untuk dipertimbangkan untuk mendapatkan
efek penyinaran dan pencahayaan (shining and lighting). Letak lintang terutama
menentukan yang pertama, sedangkan yang kedua oleh keadaan setempat.
Orientasi kawasan perencanaan terhadap matahari adalah sudut bangunan dari garis
Timur menuju ke Barat. Bukaan kearah Barat dan Timur dapat berakibat tambahan panas
yang cukup berarti pada bangunan.
Dinding yang menghadap ke arah Timur dari arah Barat cenderung akan menerima radiasi
langsung maksimum pada saat matahari terbit atau selama pagi hari. Sedangkan dinding
yang menghadap ke arah Barat dari arah Timur cenderung menerima radiasi langsung
maksimum selama sore hari.
Pengendalian panas untuk perlindungan terhadap sinar matahari (sun shading) dari arah
Barat atau Timur dapat diredam dengan penataan lansekap. Karena vegetasi tapak dan
bentuk permukaan tanah dapat mempengaruhi lingkungan termal langsung dari suatu
bangunan.
Berdasarkan orientasi terhadap matahari, langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
memanfaatkan tapak di kawasan perencanaan adalah :
1. Arah sinar matahari yang melintasi tapak harus dapat mangarahkan perletakan
massa bangunan di dalam kawasan;
2. Perletakan massa bangunan dapat memberikan cahaya matahari langsung seoptimal
mungkin kedalam ruang-ruang interior di dalam bangunan;
3. Konsep bukaan pada massa-massa bangunan harus memperhatikan posisi sinar
matahari agar sirkulasi cahaya dapat masuk sepanjang hari;
4. Memanfaatkan bagian bawah lereng ke arah tiupan angin untuk penyejukan alami
musim panas. Untuk menyebabkan penerobosan tiupan angin ketika musim panas,
maka bukaan akan ditempatkan sedemikian rupa sehingga menerima udara ventilasi
pada sisi arah datang angin ke bangunan, sedangkan bukaan keluar dipasang pada
lawan sisinya. Sebagai faktor yang berkaitan untuk memudahkan aksi pendingan
internal alami selama masa panas, maka penghalangan angin yang sejuk sepoi harus
dibuat sekecil mungkin. Biasanya ini berarti bahwa penyekatan yang rapat pada tapak
harus dibatasi pada bukaan-bukaan Barat dan Timur;
5. Memanfaatkan pohon berdaun lebat untuk perlindungan terhadap sinar matahari;
6. Meletakkan pohon peneduh disisi Barat dan Timur bangunan yang rendah.
Pertimbangan ini berlaku untuk meletakkan daerah ruang duduk terbuka;
7. Perkerasan langsung didekat bangunan harus sesedikit mungkin. Apabila
memungkinkan, maka vegetasi harus digunakan untuk meyerap dan bukan
memantulkan energi matahari;
8. Trotoar harus dilindungi dari matahari ketika musim panas.

C. Struktur Keruangan
Struktur keruangan (spasial) pada umumnya merupakan hasil sifat khas topografi,
pemasaan vegetasi dan gabungan sifat khas topografi dan pemasaan vegetasi. Ketiga
unsur ini menentukan ukuran dan terutama kualitas ruang, maka biasanya unsur-unsur
tersebut dianggap sebagai penentu keruangan.
Aspek lain yang tidak kalah penting dalam struktur keruangan adalah dalam hal
menentukan dan mengembangkan lokasi tapak yang dapat mendukung berbagai fungsi
tata guna lahan. Pengetahuan terhadap spatial enclosure akan membekali perancang
untuk menempatkan kegiatan-kegiatan yang secara spesifik tidak menarik, seperti daerah
servis, ke lokasi yang tidak menarik dan tertutup.
Vegetasi alami yang terdapat di kawasan perencanaan telah membentuk struktur
keruangan. Struktur keruangan yang terbentuk dari lansekap tersebut menjadi sangat
penting terutama untuk menetapkan fungsi yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
visual seperti jalan, jalan setapak untuk lintas alam, dll.
Adapun sifat khas keruangan pada umumya tergantung pada tiga hal, yaitu : besaran
ruang, tingkat ketertutupan (degree of enclosure) visual dan sifat khas visual.
Besaran ruang penting untuk menentukan dampak visual secara menyeluruh. Demikian
juga potensinya untuk menyerap fungsi tertentu. Besaran ruang tersebut dapat
dievaluasi menurut luas dan hubungan antar luas suatu ruang dengan semua ruang yang
ada dalam satu site.
Tingkat ketetutupan visual (degree of enclosure) merupakan faktor spasial penting,
terutama untuk menempatkan fungsi yang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan hubungan
sirkulasi (jalan raya maupun jalan setapak), pemandangan (view atau vista). Walaupun
pengertian ruang disini mengesankan ketertutupan namun struktur keruangan tersebut
dapat membangkitkan citra (image) suatu site.
Sifat khas visual berhubungan erat dengan penafsiran cermat seseorang tentang suatu
ruang. Untuk itu sifat khas visual dari setiap lokasi yang memiliki potensi view baik harus
selalu dibangun untuk mendapatkan suatu citra yang baik dan mengesankan sehingga
akan selalu melekat dalam setiap pikiran semua orang.

D. Pola Sirkulasi
Berdasarkan kondisi topografi tapak yang relatif landai dan bergelombang pada sebagian
kecil tapak, tipologi yang diterapkan untuk pola sirkulasi tidak menjadi kendala. Pola
sirkulasi yang diarahkan pada tapak kawasan Pasar Daerah Patrol merupakan gabungan
dari pola linier dan sistem grid. Penerapan sistem linier dan grid ini diselaraskan dengan
pola tapak yang direncanakan berbentuk kubus dimana dipisahkan secara simetris oleh
jaringan jalan sehingga penempatan masa bangunan terlihat konsentris, sehingga
diharapkan setiap instansi pemerintah dapat menjalin komunikasi, koordinasi,
transformasi dan kerjasama dalam memikul tanggungjawab secara bersama. Selain itu
penerapan sistem linier dan grid ini memiliki tingkat efisiensi ruang yang baik dan biaya
yang lebih rendah dibandingkan dengan sistem sirkulasi lainnya.
Pola sirkulasi lokal di kawasan fungsional perumahan, disesuaikan dengan karakteristik
tapak dan tipe perumahan, yaitu kombinasi dari pola loop, kurva linier dan culdesac.

E. Drainase
Berdasarkan kondisi topografinya, disain saluran drainase di kawasan perencanaan akan
dirancang untuk mampu menampung limpasan air hujan berdasarkan kondisi kekuatan
batas pembangunan tapak di masa mendatang maupun daerah drainase di luar tapak.
Drainase tapak akan diarahkan ke suatu penampungan permukaan atau bawah
permukaan permanen yang memadai untuk menampung limpasan dari tapak untuk saat
ini maupun perkiraan di masa mendatang, dan menghindari limpasan ke daerah aliran
sungai di luar tapak kecuali apabila air tersebut dibutuhkan untuk irigasi.

5.2.3 Penyusunan Konsep Penataan Kawasan


Konsep dasar perancangan kawasan, yang merupakan hasil tahapan analisis program
bangunan dan lingkungan, memuat gambaran dasar penataan pada lahan perencanaan
yang selanjutnya dengan penjabaran gagasan desain secara lebih detail dari masing-
masing elemen desain.
5.2.3.1 Komponen Dasar Perancangan
a) Visi Pembangunan, yaitu gambaran spesifik karakter lingkungan di masa
mendatang yang akan dicapai sebagai hasil akhir penataan suatu kawasan
yang direncanakan, disesuaikan dengan seluruh kebijakan dan rencana tata
ruang yang berlaku pada daerah tersebut.
b) Konsep Perancangan Struktur Tata Bangunan dan Lingkungan, yaitu suatu
gagasan perancangan dasar pada skala makro, dari intervensi desain struktur
tata bangunan dan lingkungan yang hendak dicapai pada kawasan
perencanaan, terkait dengan struktur keruangan yang berintegrasi dengan
kawasan sekitarnya secara luas, dan dengan mengintegrasikan seluruh
komponen perancangan kawasan yang ada.
c) Konsep komponen perancangan kawasan, yaitu suatu gagasan perancangan
dasar yang dapat merumuskan komponen – komponen perancangan kawasan
(peruntukan, intensitas, dll)
d) Blok-blok Pengembangan Kawasan dan Program Penanganannya, yaitu
pembagian suatu kawasan perencanaan menjadi blok-blok pengembangan
yang lebih kecil sehingga strategi dan program pengembangannya dapat lebih
terarah dan terinci.

5.2.3.2 Kriteria Penyusunan Komponen Dasar Perancangan


a. Kriteria Penetapan Isi dari Visi Pembangunan:
 Spesifikasi mengacu pada konteks setempat;
 Memiliki spirit untuk membentuk /memperkuat karakter dan identitas suatu
tempat
 Memperkuat/memperjelas struktur ruang lingkungan/kawasan dalam konteks
makro
 Realistis dan rasional; penetapan visi yang memungkinkan dicapai pada kurun
waktu penataan dan secara rasional memungkinkan untuk dicapai berdasarkan
konteks dan potensi yang ada;
 Kinerja dan sasaran terukur;
 Mempertimbangkan berbagai sumber daya dukung lingkungan;
 Memperhatikan kepentingan masyarakat pengguna/masyarakat lokasl.
b. Kriteria penyusunan Konsep Perancangan Struktur Tata Bangunan dan Lingkungan
 Merupakan perwujudan realistis dan visi pembangunan
 Merupakan sintesa dari identifikasi permasalahan, potensi dan prospek kawasan
perencanaan yang dilakukan pada tahapan analisis
 Membentuk/memperkuat karakter dan identitas suatu tempat
 Memperhatikan keterkaitan makro dengan struktur ruang kota, dan keterkaitan
mikro dengan lingkungan eksisting sekitarnya.
 Mengintegrasikan seluruh elemen rancang lingkungan
c. Kriteria Penyusunan Konsep Komponen Perancangan Kawasan
Secara sistematis, konsep harus mencakup gagasan yang komprehensif terhadap
komponen-komponen perancangan kawasan, yang meliputi kriteria:
 Struktur peruntukan lahan
 Intensitas pemanfaatan lahan
 Tata bangunan
 Sistem sirkulasi dan jalur penghubung
 Sistem ruang terbuka dan tata hijau
 Tata kualitas lingkungan
 Sistem prasarana dan utilitas lingkungan
 Pelestarian bangunan dan lingkungan
d. Kriteria Penetapan Blok-blok Pengembangan Kawasan dan Program
PenangananPenetapan ataupun pembagian blok pengembangan dapat didasarkan
pada:
1) Secara fungsional
 Kesamaan fungsi, karakter eksisting atau pun karakter yang ingin diciptakan;
 Kesamaan dan potensi pengembangan
 Kebutuhan pemilahan dan organisasi pekerjaan serta strategi
pengembangannya.
2) Secara Fisik:
 Morfologi blok;
 Pola/pattern blok;
 Kemudahan implementasi dan prioritas strategi
3) Lingkungan (daya dukung dan kelestarian ekologi lingkungan);
 Keseimbangan dengan daya dukung lingkungan, dan perwujudan sistem
ekologis yang berkelanjutan
 Peningkatan kualitas kehidupan ruang publik melalui penyediaan lingkungan
yang aman, nyaman, sehat dan menarik serta berwawasan ekologis
4) Pemangku Kepentingan
Tercapainya keseimbangan berbagai kepentingan yang ada antar pelaku

5.2.3.3 Komponen Rancangan


A. Struktur Peruntukan Lahan
Struktur peruntukan lahan merupakan komponen rancang kawasan yang berperan
penting dalam alokasi penggunaan dan penguasaan lahan/tata guna lahan yang telah
ditetapkan dalam kawasan perencanaan tertentu berdasarkan ketentuan dalam
rencana tata ruang wilayah.
Struktur peruntukkan lahan dimaksudkan untuk:
1) Meningkatkan keseimbangan kualitas kehidupan lingkungan dengan membentuk
ruang-ruang kota/lingkungan yang hidup secara fisik (vibrant) dan ekonomi
(viable), layak huni dan seimbang, serta meningkatkan kualitas hidup pengguna
dan kualitas lingkungan.
2) Mengoptimalkan alokasi penggunaan dan penguasaan lahan baik secara makro
maupun mikro.
3) Mengalokasikan fungsi/kegiatan pendukung bagi jenis peruntukan yang ada.
4) Menciptakan integrasi aktivitas ruang sosial (socio-spatial integration)
antarpenggunanya.
5) Menciptakan keragaman lingkungan (diversity) dan keseimbangan yang akan
mendorong terciptanya kegiatan-kegiatan yang berbeda namun produkrif.
6) Mengoptimalkan prediksi/projeksi kepadatan lingkungan dan interaksi sosial
yang direncanakan.

Komponen Penataan meliputi:


1. Peruntukan Lahan Makro, yaitu rencana alokasi penggunaan dan pemanfaatan
lahan pada suatu wilayah tertentu yang juga disebut dengan tata guna lahan.
Peruntukan ini bersifat mutlak karena telah diatur pada ketentuan dalam rencana
tata ruang wilayah.
2. Peruntukan Lahan Mikro, yaitu peruntukan lahan yang ditetapkan pada skala-
keruangan yang lebih rinci (termasuk secara vertikal) berdasarkan prinsip
keragaman yang seimbang dan saling menentukan. Hal-hal yang diatur adalah:
a. Peruntukan lantai dasar, lantai atas, maupun lantai besmen;
b. Peruntukan lahan tertentu, misalnya berkaitan dengan konteks lahan
perkotaan-perdesaan, konteks bentang alam/lingkungan konservasi, atau pun
konteks ternatikal pengaturan pada spot ruang bertema tertentu. Dalarn
penetapan peruntukan lahan mikro ini mash terbuka kemungkinan untuk
melibatkan berbagai masukan desain hasil interaksi berbagai pihak seperti
perancang/penata kota, pihak pernilik lahan, atau pun pihak
pemakai/penggun/lmasyarakat untuk melahirkan suatu lingkungan dengan.
ruang-ruang yang berkarakter tertentu sesuai dengan konsep struktur
perancangan kawasan. Penetapan ini tidak berarti memperbaiki alokasi tata
guna lahan pada aturan rencana tata ruang wilayah yang ada, namun berupa
tata guna yang diterapkan dengan skala keruangan yang lebih rinci, misalnya
secara vertikal per lantai.

Prinsip-prinsip Penataan
Prinsip-prinsip penataan Struktur Peruntukan Lahan:
(1) Secara Fungsional meliputi penataan:
(a) Keragaman tata guna yang seimbang, saling menunjang (compatible) dan
terintegrasi
 Penetapan kaitan secara fungsional antarberbagai jenis peruntukan untuk
mendukung prinsip keragarnan yang seirnbang dan saling menguntungkan
namun tidak memberikan dampak penting terhadap fungsi utama
lingkungan;
 Penetapan besaran komponen tata bangunan yang dapat mengadaptasi
dan mengadopsi kebutuhan keragarnan fungsi/peruntukan dalarn
blok/kaveling/ bangunannya;
 Penetapan peruntukan mengantisipasi aktivitas interaksi sosial yang
direncanakan, dengan tetap mengacu pada rencana tata ruang wilayah;
 Penetapan kualitas ruang yang menyediakan lingkungan yang aman,
nyarnan, sehat dan menarik, berwawasan ekologis, serta tanggap terhadap
tuntutan ekonorni dan sosial.
(b) Pola distribusi jenis peruntulkan yang mendorong terciptanya interaksi
aktivitas
 Penyebaran distribusi jenis peruntukan lahan mikro yang diatur secara
keruangan untuk membentuk ruang-i~ang kota yang hidup, layak huni,
serta mendptakan kualitas taraf hidup;
 Pembentukan kualitas lingkungan yang optimal, terutarna dengan adanya
interaksi antara aktivitas pejalan kaki di muka bangunan dan aktivitas di
lantai dasar bangunan.
(c) Pengaturan pengelolaan area peruntukkan
Penetapan distribusi persentase jenis peruntukan lahan mikro yang akan
dikelola dan dikendalikan oleh pernerintah daerah, di antaranya Ruang
Terbuka Hijau, Daerah Milik Jalan (Damija), dan fasilitas umum.
(d) Pengaturan kepadatan pengembangan kawasan dengan pertimbangan
 Daya dukung dan karakter kawasan tersebut;
 Variasi/pencampuran peruntukan.
(2) Secara Fisik, meliputi:
(a) Estetika, karakter, dan citra kawasan
 Penetapan pengendalian peruntukan yang mendukung karakter khas
kawasan yang telah ada atau pun yang ingin dibentuk;
 Penetapan pengaruh ideologi, nilai-nilai sosial budaya setempat, misalnya
bangunan masjid dengan peruntukkan fasilitas umum diorientasikan pada
pusat lingkungan/kawasan.
(b) Skala ruang yang manusiawi dan berorientasi, pada pejalan kaki serta aktivitas
yang diwadahi
 Penciptaan keseimbangan tata guna lahan yang berorientasi pada pernakai
bangunan dan ramah pejalan kaki;
 Penetapan alokasi untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial yang
ditempatkan sebagai pusat lingkungan yang dapat dijangkau pejalan kaki;
 Penetapan peruntukkan lahan yang tidak saja melibatkan pertimbangan
fisik, tetapi juga sosial budaya dan perilaku pemakai/aktivitas lingkungan
yang dikehendaki.
(3) Dari sisi Lingkungan, meliputi:
(a) Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar
Penciptaan karakter lingkungan yang tanggap dan integral dengan karakter
peruntukan eksisting lingkungan sekitar;
(b) Keseimbangan peruntukan lahan dengan daya dukung lingkungan
 Penetapan peruntukan lahan yang mempertimbangkan daya dukung
lingkungan, namun tetap dapat memperbat karakter kawasan tersebut;
 Pengaturan peruntukan fahan secara ketat dan detail pada kawasan khusus
konservasi hijau.
(c) Kelestarian ekologis kawasan
Penetapan peruntukan lahan yang tanggap terhadap topografi dan
kepentingan kelestarian lingkungan dengan meminimalkan penyebaran area
terbangun dan perkerasan serta beradaptasi dengan tatanan kontur yang ada.
B. Intensitas Pemanfaatan Lahan
Intensitas Pemanfaatan Lahan adalah tingkat alokasi dan distribusi luas lantai
maksimum bangunan terhadap lahan/tapak peruntukannya.
Intensitas Pemanfaatan lahan dimaksudkan untuk:
(1) Mencapai efisiensi dan efektivitas pemanfaatan lahan secara adil.
(2) (Mendapatkan distribusi kepadatan kawasan yang selaras pada batas daerah
yang direncanakan berdasarkan ketentuan dalam rencana tata ruang wilayah
yang terkait.
(3) Mendapatkan distribusi berbagai elemen intensitas lahan, pemanfaatan lahan
(Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Daerah Hijau,
dan Koefisien Tapak Besmen) yang dapat mendukung berbagai karakter khas dari
berbagai sub area yang direncanakan.
(4) Merangsang pertumbuhan kota dan berdampak langsung pada perekonornian
kawasan.
(5) Mencapai keseimbangan, kaitan dan keterpaduan dari berbagai elemen
intensitas pemanfaatan lahan dalam hal pencapaian kinerja fungsi, estetis dan
sosial, antara kawasan perencanaan dan lahan di luarnya.

Komponen Penataan Intensitas Penataan Lahan, meliputi:


(1) Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yaitu angka persentase perbandingan antara
luas seluruh lantai dasar bangunan gedung yang dapat dibangun dan luas lahan/
tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.
(2) Koefisien Lantai Bangunan (KLB), yaitu angka persentase perbandingan antara
jurnlah seluruh luas lantai seluruh bangunan yang dapat dibangun dan luas
lahan/ tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.
(3) Koefisien Daerah Hijau (KDH), yaitu angka persentase perbandingan antara luas
seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi
pertamananj penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang
dikuasai.
(4) Koelfisien Tapak Besmen (M), yaitu angka persentase perbandingan antara Was
tapak besmen dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai.
(5) Sistem Insentif-Disinsentif Pengembangan, terdiri atas:
(a) Insentif Luas Bangunan, yaitu insentif yang terkait dengan KLB dan diberikan
apabila bangunan gedung terbangun memenuhi persyaratan peruntukan
lantai dasar yang dianjurkan. Luas lantai bangunan yang diternpati oleh fungsi
tersebut dipertimbangkan untuk tidak diperhitungkan dalam KLB.
(b) Insentif Langsung, yaitu insentif yang memungkinkan penarnbahan luas lantai
maksimum bagi bangunan gedung yang menyediakan fasilitas urnurn berupa
surnbangan positif bagi lingkungan permukiman terpadu; termasuk di
antaranya jalur pejalan kaki, ruang terbuka urnurn, dan fasilitas urnurn.
(6) Sistem Pengalihan Nilai Koefisien Lantai Bangunan (TDR=Transfer of Development
Right), yaitu hak pemilik bangunan/pengembang yang dapat dialihkan kepada
pihak atau lahan lain, yang dihitung berdasarkan pengalihan nilai KLB, yaitu selish
antara KLB aturan dan KLB terbangun.
Maksimum KLB yang dapat dialihkan pada umumnya sebesar 10% dari nilai KLB
yang ditetapkan. Pengalihan nilai KLB hanya dimungkinkan bila terletak dalarn
satu daerah perencanaan yang sama dan terpadu, serta yang bersangkutan telah
memanfaatkan minimal 60% KLB-nya dari KLB yang sudah ditetapkan pada
daerah perencanaan.
C. Tata Bangunan
Tata Bangunan adalah produk dari penyelenggaraan bangunan gedung beserta
lingkungannya sebagai wujud pemanfaatan ruang, meliputi berbagai aspek termasuk
pembentukan citra/karakter fisik lingkungan, besaran, dan konfigurasi dari elemen-
elemen: blok, kaveling/petak lahan, bangunan, serta ketinggian dan elevasi lantai
bangunan, yang dapat menciptakan dan mendefinisikan berbagai kualitas ruang kota
yang akomodatif terhadap keragaman kegiatan yang ada, terutama yang beflangsung
dalam ruang-ruang publik.
Tata Bangunan juga merupakan sistem perencanaan sebagai bagian dari
penyelenggaraan bangunan gedung beserta lingkungannya, termasuk sarana dan
prasarananya pada suatu lingkungan binaan baik di perkotaan maupun di perdesaan
sesuai dengan peruntukan tokasi yang diatur dengan aturan tata ruang yang berlaku
dalam RTRW Kabupaten/Kota, dan rencana rincinya.
Komponen Penataan Tata Bangunan, meliputi:
(1) Pengaturan Blok Lingkungan, yaitu perencanaan pembagian lahan dalam kawasan
menjadi blok dan jalan, di mana blok terdiri atas petak lahan/kaveling dengan
konfigurasi tertentu. Pengaturan ini terdiri atas:
(a) Bentuk dan Ukuran Blok;
(b) Pengelompokan dan Konfigurasi Blok;
(c) Ruang terbuka dan tata hijau.
(2) Pengaturan Kaveling/Petak Lahan, yaitu perencanaan pembagian lahan dalam blok
menjadi sejurnlah kaveling/ petak lahan dengan ukuran, bentuk, pengelompokan
dan konfigurasi tertentu. Pengaturan ini terditi atas:
(a) Bentuk dan Ukuran Kaveling;
(b) Pengelompokan dan Konfigurasi Kaveling;
(c) Ruang terbuka dan tata hijau.
(3) Pengaturan Bangunan, yaitu perencanaan pengaturan massa bangunan dalam
blok/kaveling. Pengaturan ini terdiri atas:
(a) Pengelompokan Bangunan;
(b) Letak dan Orientasi Bangunan;
(c) Sosok Massa Bangunan;
(d) Ekspresi Arsitektur Bangunan.
(4) Pengaturan Ketinggian dan Elevasi Lantai Bangunan, yaitu perencanaan
pengaturan ketinggian dan elevasi bangunan balk pada skala bangunan tunggal
maupun kelompok bangunan pada lingkungan yang lebih makro (blok/kawasan).
Pengaturan ini terdiri atas:
(a) Ketinggian Bangunan;
(b) Komposisi Garis Langit Bangunan; (c) Ketinggian Lantai Bangunan.
D. Sistem Sirkulasi dan Jalur Penghubung
Sistem sirkulasi dan jalur penghubung terdiri dari jaringan jalan dan pergerakan,
sirkulasi kendaraan umum, sirkulasi kendaraan pribadi, sirkulasi kendaraan informal
setempat dan sepeda, sirkulasi pejalan kaki (termasuk masyarakat penyandang cacat
dan lanjut usia), sistem dan sarana transit, sistem parkir, perencanaart jalur pelayanan
lingkungan, dan sistem jaringan penghubung.
Komponen Penataan Sistem Sirkulasi jalur Penghubung, meliputi:
(1) Sistem jaringan jalan dan pergerakan, yaitu rancangan sistem pergerakan yang
terkait, antara jenisjenis hirarki/kelas jalan yang tersebar pada kawasan
perencanaan Jalan arteri, kolektor dan jalan lingkungan/ lokal) dan jenis
pergerakan yang melaluinya, baik masuk dan keluar kawasan, maupun masuk dan
keluar kaveling.
(2) Sistem sirkulasi kendaraan umum, yaitu rancangan sistem arus pergerakan
kendaraan umurn formal, yang dipetakan pada hirarki/kelas jalan yang adapada
kawasan perencanaan.
(3) Sistem sirkulasi kendaraan pribadi, yaitu rancangan sistem arus pergerakan bagi
kendaraan pribadi sesuai dengan hirarki/kelas jalan pada kawasan perencanaan.
(4) Sistem sirkulasi kendaraan umurn informal setempat, yaitu rancangan sistem arus
pergerakan bagi kendaraan umum dad sektor informal, seperti ojek, becak,
andong, dan sejenisnya, yang dipetakan pada hirarki/kelas jalan yang ada pada
kawasan perencanaan.
(5) Sistem pergerakan transit, yaitu rancangan sistem perpindahan arus pergerakan
dari dua atau lebih moda transportasi yang berbeda, yang dipetakan pada hirarkil
kelas jalan yang ada pada kawasan perencanaan.
(6) Sistem parkir, yaitu rancangan sistem gerakan arus masuk dan keluar kaveling atau
grup kaveling untuk parkir kendaraan di dalam internal kaveling.
(7) Sistem perencanaan jalur servis/pelayanan lingkungan, yaitu rancangan sistern
arus pergerakan dari kendaraan servis (seperti pengangkut sampah, pengangkut
barang, dan kendaraan pemadarn kebakaran) dari suatu kaveling atau blok
lingkungan tertentu, yang dipetakan pada hirarkilkelas jalan yang ada pada
kawasan perencanaan.
(8) Sistem sirkulasi pejalan kaki dan sepeda, yaitu rancangan sistern arus pejalan kaki
(termasuk penyandang cacat dan lanjut usia) dan pernakai sepeda, yang khusus
disediakan pada kawasan perencanaan.
(9) Sistem jaringan jalur penghubung terpadu (pedestrian linkage), yaitu rancangan
sistern jaringan berbagai jalur penghubung yang memungkinkan menernbus
beberapa bangunan atau pun beberapa kaveling tertentu dan dimanfaatkan bagi
kepentingan jalur publik.
Jalur penghubung terpadu ini dibutuhkan terutama pada daerah dengan intensitas
kegiatan tinggi dan beragarn, seperti pada area korriersial lingkungan permukiman
atau area fungsi campuran (mixed-used). Jalur penghubung terpadu harus dapat
memberikan kernudahan aksesibilitas bagi pejalan kaki.
E. Sistem Ruang Terbuka dan Tata Hijau
Sistem Ruang Terbuka dan Tata Hijau merupakan kornponen rancang kawasan, yang
tidak sekadar terbentuk sebagai elemen tambahan atau pun elemen sisa setelah
proses rancang arsitektural diselesaikan, melainkan juga diciptakan sebagai bagian
integral dari suatu lingkungan yang lebih luas.
Penataan sistem ruang terbuka diatur melalui pendekatan desain tata hijau yang
membentuk karakter lingkungan serta memiliki peran penting baik secara ekologis,
rekreatif dan estetis bagi lingkungan sekitarnya, dan memiliki karakter terbuka
sehingga mudah diakses sebesar-besarnya oleh publik.

Komponen Penataan Sistem Ruang Terbuka dan Tata Hijau


(1) Sistem Ruang Terbuka Umum (kepemilikan publik aksesibilitas publik), yaitu ruang
yang karakter fisiknya terbuka, bebas dan mudah diakses publik karena bukan
milik pihak tertentu.
(2) Sistem Ruang Terbuka Pribadi (kepemilikan pribadi aksesibilitas pribadi), yaitu
ruang yang karakter fisiknya terbuka tapi terbatas, yang hanya dapat diakses oleh
pemilik, pengguna atau pihak tertentu.
(3) Sistem Ruang Terbuka Privat yang dapat diakses oleh umum (kepemilikan pribadi-
aksesibilitas publik), yaitu ruang yang karakter fisiknya terbuka, serta bebas dan
mudah diakses oleh publik meskipun milik pihak tertentu, karena telah
didedikasikan untuk kepentingan public sebagai hasil kesepakatan antara pemilik
dan pihak pengelola/pemerintah daerah setempat, di mana pihak pemilik
mengizinkan tahannya digunakan untuk kepentingan publik, dengan mendapatkan
kompensasi berupa insentif/disinsentif tertentu, tanpa mengubah status
kepemilikannya.
(4) Sistern Pepohonan dan Tata Hijau, yaitu pola penanaman pohon yang disebar pada
ruang terbuka publik.
(5) Bentang Alam, yaitu ruang yang karakter fisiknya terbuka dan terkait dengan area
yang dipergunakan sebesarbesarnya untuk kepentingan publik, dan
pemanfaatannya sebagai bagian dari alam yang dilindungi.
Pengaturan ini untuk kawasan:
(a) Pantai dan laut, sebagai batas yang melingkupi tepian kawasan, menentukan
atmosfir dari suasana kehidupan kawasan, serta dasar penciptam pola tata
ruang;
(b) Sungai, sebagai pembentuk koridor ruang terbuka;
(c) Lereng dan perbukitan, sebagai potensi pemandangan luas,
(d) Puncak bukit, sebagai titik penentu arah orientasi visual, serta memberikan
kemudahan dalam menentukan arah (tengaran alam).
(6) Area Jalur Hijau, yaitu salah satu ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai area
preservasi dan tidak dapat dibangun. Pengaturan ini untuk kawasan:
(a) Sepanjang sisi dalam Daerah Milik Jalan (Damija);
(b) Sepanjang bantaran sungai;
(c) Sepanjang sisi kiri kanan jalur kereta;
(d) Sepanjang area di bawah jaringan fistrik tegangan tinggi;
(e) Jalur hijau yang diperuntukkan sebagai jalur taman kota atau hutan kota, yang
merupakan pembatas atau pemisah suatu wilayah.

F. Tata Kualitas Lingkungan


Penataan Kualitas Lingkungan merujuk pada upaya rekayasa elemen-elemen kawasan
yang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu kawasan atau subarea dengan sistem
lingkungan yang informatif, berkarakter khas, dan memiliki orientasi tertentu.
Komponen Penataan Tata Kualitas Lingkungan
(1) Konsep Identitas Lingkungan, yaitu perancangan karakter (Jati diri) suatu
lingkungan yang dapat diwujudkan melalui pengaturan dan perancangan elemen
fisik dan nonfisik lingkungan atau subarea tertentu.
Pengaturan ini terdiri atas:
(a) Tata karakter bangunan/lingkungan (built-in signage and directional system),
yaitu pengolahan elemen-eleman fisik bangunan/lingkungan untuk
mengarahkan atau memberi tanda pengenal suatu lingkungan/bangunan,
sehingga pengguna dapat mengenali karakter lingkungan. yang dikunjungi
atau dilaluinya sehingga memudahkan pengguna kawasan untuk berorientasi
dan bersirkulasi.
(b) Tata penanda identitas bangunan, yaitu pengolahan elemen-eleman fisik
bangunan/lingkungan untuk mempertegas identitas atau penamaan suatu
bangunan sehingga pengguna dapat mengenali bangunan yang menjadi
tujuannya.
(c) Tata kegiatan pendukung secara formal dan informal (suppotting activities),
yaitu pengolahan secara terintegrasi seluruh aktivitas informal sebagai
pendukung dari aktivitas formal yang diwadahi dalam ruang/bangunan,
untuk menghidupkan interaksi sosial dari para pemakainya.
(2) Konsep Orientasi Lingkungan, yaitu' perancangan elemen fisik dan nonfisik guna
membentuk lingkungan yang informatif sehingga memudahkan pemakai untuk
berorientasi dan bersirkulasi.
Pengaturan ini terdiri atas:
(a) Sistern tata informasi (directory signage system), yaitu pengolahan elemen fisik
di lingkungan untuk menjelaskan berbagai informasi/petunjuk mengenai
tempat tersebut, sehingga memudahkan pemakai mengenali lokasi dirinya
terhadap lingkungannya.
(b) Sistern tata rambu pengarah (directional signage system), yaitu pengolahan
elemen fisik di lingkungan untuk mengarahkan pemakai bersirkulasi dan
berorientasi baik menuju maupun dari bangunan atau pun area tujuannya.
(3) Wajah Jalan, yaitu perancangan elemen fisik dan nonfisik guna membentuk
lingkungan berskala manusia pemakainya, pada suatu ruang publik berupa ruas
jalan yang akan memperbat karakter suatu blok perancangan yang lebih besar.
Pengaturan ini terdiri atas:
(a) Wajah penampang jalan dan bangunan;
(b) Perabot jalan (street fumiture);
(c) Jalur dan ruang bagi pejalan kaki (pedestrian);
(d) Tata hijau pada penampang jalan;
(e) Elemen tata informasi dan rambu pengarah pada penampang jalan;
(f) Elemen papan reklame kornersial pada penampang jalan.

G. Sistem Prasarana dan Utilitas Lingkungan


Sistem prasarana dan utilitas fingkungan adalah kelengkapan dasar fisik suatu
lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi
dan berfungsi sebagaimana semestinya.
Sistem prasarana dan utilitas lingkungan mencakup jaringan air bersih dan air limbah,
jaringan drainase, jaringan persampahan, jaringan gas dan listrik, serta jaringan
telepon, sistem jaringan pengamanan kebakaran, dan sistem jaringan jalur
penyelamatan atau evakuasi.
Komponen Penataan Sistem Prasarana dan Utilitas Lingkungan, meliputi ;
(1) Sistem jaringan air bersih, yaitu sistem jaringan dan distribusi pelayanan
penyediaan air bagi penduduk suatu lingkungan, yang memenuhi persyaratan bagi
operasionalisasi bangunan atau lingkungan, dan terintegrasi dengan jaringan air
bersih secara makro dari wilayah regional yang lebih luas.
(2) Sistem jaringan air limbah dan air kotor, yaitu sistem jaringan dan distribusi
pelayanan pembuangan/pengolahan air buangan rumah tangga, lingkungan
komersial, perkantoran, dan bangunan umum lainnya, yang berasal dari manusia,
binatang atau tumbuh-tumbuhan, untuk diolah dan kemudian dibuang dengan
cara-cara sedemikian rupa sehingga aman bagi lingkungan, termasuk di dalamnya
buangan industri dan buangan kimia.
(3) Sistem jaringan drainase, yaitu sistem jaringan dan distribusi drainase suatu
lingkungan yang berfungsi sebagai pematus bagi lingkungan, yang terintegrasi
dengan sistem jaringan drainase makro dari wilayah regional yang lebih luas.
(4) Sistem jaringlan persampahan, yaitu sistem jaringan dan distribusi pelayanan
pembuangan/pengolahan sampah rumah tangga, lingkungan kornersial,
perkantoran dan bangunan umum iainnya, yang terintegrasi dengan sistem
jaringan pembuangan sampah makro dari wilayah regional yang lebih luas.
(5) Sistem jaringan listrik, yaitu sistem jaringan dan distribusi pelayanan penyediaan
daya listrik dan jaringan sambungan listrik bagi penduduk suatu lingkungan, yang
memenuffi persyaratan baqi operasionalisasi bangunan atau lingkungan, dan
terintegrasi dengan jaringan instalasi listrik makro dari wilayah regional yang lebih
luas.
(6) Sistem jaringan telepon, yaitu sistem jaringan dan distribusi pelayanan penyediaan
kebutuhan sambungan dan jaringan telepon bagi penduduk suatu lingkungan yang
memenuhi persyaratan bagi operasionalisasi bangunan atau lingkungan, yang
terintegrasi dengan jaringan instalasi listrik makro dari wilayah regional yang lebih
luas.
(7) Sistem jaringan pengamanan kebakaran, yaitu sistem jaringan pengamanan
lingkungan/kawasan untuk memperingatkan penduduk terhadap keadaan darurat,
penyediaan tempat penyelamatan, membafasi penyebaran kebakaran, dan/atau
pemadaman kebakaran.
(8) Sistem jaringan jalur penyelamatan atau evakuasi, yaitu jalur perjalanan yang
menerus (termasuk jalan ke luar, koridor/ selasar umum dan sejenis) dari setiap
bagian bangunan gedung termasuk di dalam unit hunian tunggal ke tempat aman,
yang disediakan bagi suatu lingkungan/ kawasan sebagai tempat penyelamatan
atau evakuasi.

Anda mungkin juga menyukai