Anda di halaman 1dari 12

BAB 7

PERSYARATAN PENATAAN LINGKUNGAN


Oleh Dimas Arif Pratama

1.1 Pendahuluan
Manusia sangat berperan dalam menjadikan lingkungan yang bersih, nyaman, indah,
dan rindang. Satu faktor yang paling utama adalah bersih. Bersih erat kaitannya dengan
sehat. Salah satu indikator bersih adalah sehat. Individu yang bersih adalah individu yang
tidak memiliki kotoran yang menempel pada dirinya sehingga relatif tidak ada kuman
penyakit yang bersarang. Lingkungan yang bersih adalah lingkungan yang tidak ada kotoran
(sampah) berserakan, yang memiliki kondisi udara banyak mengandung kadar oksigen yang
tinggi.
Menciptakan keadaan nyaman bagi penghuninya. Menjaga kebersihan artinya menjaga
keadaan diri, lingkungan bebas dari penyakit. Lingkungan yang bersih menandakan sikap
para penghuninya yang taat dan patuh terhadap tatanan yang berlaku di masyarakat. Indah
berhubungan dengan estetika. Indah merupakan sesuatu yang sangat menarik yang
menimbulkan rasa enak atau nikmat hati. Nilai kebersihan dan keindahan menopang
kehidupan masyarakat dalam bersikap.
Menjaga kebersihan dan keindahan merupakan upaya untuk menjaga kelestarian
lingkungan. Membudayakan hidup bersih dan keindahan harus menjadi sikap dan tingkah
laku dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap dan sifat menjaga kebersihan merupakan
langkah awal menuju kesuksesan. Sebab dengan suasana bersih dan indah, akan menambah
pikiran jernih dan tenang dalam bertindak.
Dengan menjaga kebersihan berarti menjaga kebersihan lingkungan di sekitar kita,
bersih di sekolah, di kantin, di jalan, di rumah, di pasar, dan di mana pun. Tidak ada sampah-
sampah yang berserakan yang mempengaruhi keindahan.
Kerusakan lingkungan di Indonesia tambah hari semakin memprihatinkan. Seperti
halnya laju kerusakan hutan yang mencapai 2,8 juta hektar per tahun. Kerusakan hutan dan
lahan menyebabkan terjadinya banjir di mana-mana saat musim hujan tiba.
Bencana banjir menimbulkan korban jiwa dan dampak lain yaitu menyebarnya banyak
penyakit bukan hanya di kalangan masyarakat desa tapi juga masyarakat perkotaan.
Kerusakan lingkungan ini antara lain disebabkan terjadinya alih fungsi lahan baik pada
kawasan hutan, pedesaan maupun perkotaan. Kawasan hutan banyak ditebang, diserobot
dan dirambah. Keadaan serperti ini bahkan berlanjut terus setiap tahun, dapat dibayangkan
betapa akan merosotnya kondisi lingkungan.
Memang banyak hal yang menyebabkan semakin maraknya kerusakan dan
pencemaran lingkungan. Akhir-akhir ini menggejala bahwa kerusakan lingkungan banyak
dipicu pembangunan yang tidak terkendali dan kurang memperhatikan dampaknya terhadap
lingkungan. Kesadaran masyarakat untuk berperan aktif menjaga dan melestarikan
lingkungan tampaknya juga masih rendah, terbukti dari banyaknya masalah lingkungan yang
timbul akibat ulah masyarakat, seperti pembalakan hutan, pemanfaatan kawasan lindung,
dan sebagainya.
Saat sekarang ini tengah meningkat kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan
baik untuk keperluan produksi pertanian maupun untuk keperluan lainnya memerlukan
kebijakan pemanfaatan yang paling tepat, mengingat keterbatasan sumber daya lahan.
Pendekatan tata ruang merupakan salah satu perangkat pengelolaan lingkungan hidup
berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya lahan. Dalam perkembangannya, disadari bahwa
penataan ruang merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang utama, karena
merupakan penepis pertama terhadap kegiatan pembangunan dan aktivitas manusia lainnya
yang dapat berdampak terhadap lingkungan hidup.
Penataan ruang telah mendapatkan dasar hukumnya sejak 15 tahun yang lalu dengan
ditetapkannya undang-undang nomor 24 tahun 1992 yang telah diperbaharui dengan
undang-undang nomor: 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebutkan
UUPR). Tujuan umum penataan ruang terkandung di dalam konsideran UUPR, yaitu bahwa
pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara,
perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber
daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata
ruang dalam suatu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian
kemampuan lingkungan hidup.
Secara eksplisit, pernyataan tersebut menegaskan pentingnya penataan ruang di dalam
pemeliharaan lingkungan hidup. Dengan perkataan lain, penataan ruang merupakan salah
satu instrumen pengelolaan lingkungan hidup, guna mencegah terjadinya kerusakan
lingkungan akibat pemanfaatan sumber daya secara tidak terencana dan terakoordinasi.
Penataan ruanglah yang seharusnya menjadi landasan bagi pelaksanaan pembangunan yang
terkoordinasi dan berwawasan lingkungan.
Penataan ruang juga dapat menjamin keterpaduan dan diakomodasikannya semua
kepentingan masyarakat.
Di dalam penjelasan UUPR, disebutkan bahwa penataan ruang dapat menjamin seluruh
kepentingan, yakni kepentingan pemerintah dan masyarakat secara adil. Yang dimaksud
dengan terpadu adalah bahwa penataan ruang dianalisa dan dirumuskan menjadi satu
kesatuan dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat. Keterpaduan dalam penataan ruang dapat terwujud dari dimasukkannya
pertimbangan aspek waktu, modal, optimasi, daya dukung lingkungan, daya tampung
lingkungan dan geopolitik.
Sebagai suatu perangkat, apabila dilaksanakan secara menyeluruh dan konsekuen,
penataan ruang dapat menjadi alat yang efektif untuk mencegah kerusakan lingkungan dan
berbagai bencana lingkungan seperti banjir dan longsor. Pemanfaatan ruang yang sesuai
dengan rencana tata ruang dan mengindahkan kondisi lingkungan dapat menghindari
permasalahan lingkungan di masa mendatang. Meskipun demikian, penataan terhadap
rencana tata ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang seringkali masih rendah. Sebagai
contoh adalah pada kasus Bandung Utara yang sebenarnya merupakan kawasan lindung,
tetapi pada saat ini hampir 70% dari luas 38.548 hektar telah menjadi permukiman. Dampak
dari pembangunan ini adalah berkurangnya resapan air dan terjadi banjir di Bandung Selatan.
Demikian juga dengan bencana banjir dan longsor yang terjadi di Jember. Peristiwa ini
sebagaimana diketahui adalah dampak dari kerusakan hutan di Pegunungan Argopuro, yang
terletak di bagian utara Jember, yang telah gundul. Peristiwa ini merupakan kesalahan dari
penataan ruang wilayah di Jawa Timur. Pegunungan Argopuro sebagai kawasan lindung
yang merupakan daerah resapan air, beralih menjadi perkebunan Kakau dan Kopi, menjadi
hutan produksi kemudian terjadi penebangan yang berakibat penggundulan.
Berkaitan dengan masalah sumber daya lahan dan penataan ruang, setidaknya ada dua
sasaran yang bisa dilakukan guna mencapai strategi perbaikan kualitas fungsi lingkungan,
yakni; pertama, penurunan laju kerusakan lingkungan (sumber daya air, hutan dan lahan,
keanekaragaman hayati, energi, atmosfer, serta ekosistem pesisir dan laut. Kedua,
terintegrasinya dan diterapkannya pertimbangan pelestarian fungsi lingkungan dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pengawasan pemanfaatan ruang dan
lingkungan.
Di samping itu, untuk dapat menjawab tantangan di atas, perlu adaya upaya
pemberdayaan masyarakat agar mempunyai kesadaran pada pelestarian lingkungan hidup,
di samping informasi yang cukup tentang masalah yang dihadapi, serta keberdayaan dalam
proses pengambilan keputusan demi kepentingan orang banyak.
Peran serta masyarakat yang tinggilah yang dapat menjamin dinamisme dalam
pengelolaan lingkungan hidup, sehingga mampu menjawab tantangan yang ada.
Hal yang penting untuk membuat perencanaan tata ruang kota adalah tentang
memberikan izin mendirikan bangunan, karena perizinan merupakan hal utama untuk
menginstruksikan perencanaan kota yang mempunyai visi terhadap lingkungan menjadi
lebih berfungsi untuk mendorong penciptaan tata ruang kota yang memiliki visi lingkungan,
partisipasi masyarakat dalam hal pengawasan dan instansi terkait sangat diperlukan
(Widyawati, 2013).
Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin lingkungan
memiliki arti penting untuk mengevaluasi pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh suatu
perusahaan. Persyaratan-persyaratan sebagaimana disertakan dalam dokumen perizinan
menjadi arahan yang harus dipatuhi bagi pemegang izin.

7.2 Perizinan
Izin merupakan instrumen hukum administrasi yang dapat digunakan oleh pejabat
pemerintah yang berwenang untuk mengatur cara-cara pengusaha menjalankan usahanya.
Dasar hukum keberadaan izin lingkungan hidup di Indonesia adalah Undang-undang Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
khususnya pasal 36, pasal 37, pasal 38, dan pasal 39, pasal 40. Selanjutnya pengaturan izin
lingkungan hidup dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pelaksanaan yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, selanjutnya disingkat
PP No.27 Tahun 2012.
Izin merupakan pengaturan hukum tingkat individual atau norma hukum subjektif
karena sudah dikaitkan dengan subjek hukum tertentu. Perizinan memiliki fungsi preventif
dalam arti instrumen untuk pencegahan terjadinya masalah-masalah yang merupakan akibat
dari kegiatan usaha (Rahmadi, 2021).
Dalam sistem hukum Indonesia sebelum berlakunya UUPPLH 2009 terdapat berbagai
jenis izin yang dapat dikategorikan sebagai perizinan di bidang pengelolaan lingkungan atas
dasar kriteria bahwa izin-izin tersebut dimaksudkan atau berfungsi untuk pencegahan
pencemaran atau gangguan lingkungan, pencegahan perusakan lingkungan akibat
pengambilan sumber daya alam dan penataan ruang. Izin-izin tersebut adalah izin Hinder
Ordonansi, izin usaha, izin pembuangan air limbah dan izin Dumping, izin pengoperasian
instalasi pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), izin lokasi, izin mendirikan
bangunan.
Secara akademik, konsep izin lingkungan terpadu dapat dilihat dari dua aspek ; pertama,
terkait dengan pemberian kewenangan penerbitan izin kepada satu institusi saja sehingga
tidak lagi terbagi atas dua atau lebih institusi seperti keadaan saat ini. Aspek kedua, terkait
dengan pertanyaan terhadap jenis kegiatan usaha apa saja izin lingkungan itu diberlakukan,
apakah diberlakukan atas kegiatan-kegiatan usaha yang dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan hidup saja (brown issues) atau juga terhadap kegiatan-kegiatan usaha yang dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup (green issues).
Dari perspektif penegakan hukum administrasi, penyatuan kewenangan pemberi izin
lingkungan kepada satu institusi saja akan berpengaruh positif karena akan lebih menjamin
konsistensi dalam penegakan hukum guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan atau
kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan. Selain itu, penyatuan kewenangan juga akan
membuat biaya pembuatan izin lebih terjangkau. Akan tetapi, gagasan penyatuan
kewenangan hanya kepada satu institusi saja tidak terwujud. Karena, faktanya pada pasal 36
ayat (4) UUPPLH menyatakan: “izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri lingkungan hidup,
Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari penataan
ruang, penegasan tata ruang sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup terdapat dsalam pasal 14 huruf b UUPPLH. Ketentuan ini dijabarkan lebih
lanjut dalam pasal 19 UUPPLH yang menentukan sebagai berikut ;
1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib di dasarkan pada Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Ketentuan diatas menunjukan adanya keterpaduan pengelolaan lingkungan dan
penataan ruang. Sebagai instrumen perencanaan, tegrasikan dalam pengelolaan lingkungan
sejak perencanaan.
Keterpaduan pengaturan pengelolaan lingkungan dengan penataan ruang bukanlah hal
yang sama sekali baru (Akib, 2014). Sejak UUPPLH Tahun 1997 sudah ada ketentuan yang
mengharuskan pengintegrasian penataan ruang dengan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal
9 ayat (3) UUPPLH Tahun 1997 menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup wajib
dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang. Selanjutnya dalam pasal 19 ayat (1) huruf a
ditegaskan bahwa dalam menerbitkan izin usaha wajib diperhatikan rencana tata ruang.
Perbedaannya bahwa dalam UUPPLH Tahun 1997 belum mengenal instrument KLHS.
Keterkaitan aspek tata ruang dengan pengelolaan lingkungan hidup semakin tegas
diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan. Dalam PP tersebut dengan
tegas ditentukan bahwa dalam penetapan lokasi rencana usaha harus sesuai dengan rencana
tata ruang. Jika tidak maka dokumen lingkungan dan perizinan tidak akan dinilai dan
diterbitkan.

7.3 Pengawasan
Lingkungan hidup merupakan aspek yang sangat penting dalam keberlanjutan dan
kualitas kehidupan manusia. Di Indonesia, penataan lingkungan hidup telah menjadi fokus
utama pemerintah dan masyarakat untuk menjaga kelestarian alam dan mengurangi dampak
negatif aktivitas manusia. Namun, upaya penataan lingkungan hidup ini membutuhkan
pengawasan yang efektif guna memastikan implementasi kebijakan dan aturan yang telah
ditetapkan.
Lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan adalah hak setiap individu. Penataan
lingkungan hidup di Indonesia bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem,
meminimalkan dampak negatif aktivitas manusia, serta melindungi keanekaragaman hayati.
Pengawasan merupakan salah satu elemen penting dalam upaya penataan lingkungan hidup
agar dapat memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan standar yang telah ditetapkan.
Pengawasan terhadap penataan lingkungan hidup di Indonesia melibatkan berbagai
institusi yang memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing. Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) merupakan institusi utama yang bertanggung jawab dalam
merumuskan kebijakan, mengawasi implementasi, dan memberikan sanksi terkait
pelanggaran lingkungan hidup. Selain itu, Badan Pengawas Lingkungan Hidup (BPLH) di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga memiliki peran penting dalam melakukan
pengawasan di tingkat regional.
Pengawasan terhadap penataan lingkungan hidup didasarkan pada berbagai peraturan
yang telah ditetapkan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi landasan utama dalam
pengawasan ini. Selain itu, terdapat juga peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah yang mengatur tata cara pengawasan dan sanksi
bagi pelanggar lingkungan hidup.
Meskipun upaya pengawasan terhadap penataan lingkungan hidup dilakukan, masih
terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Beberapa tantangan tersebut meliputi
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup, kekurangan sumber
daya manusia dan keuangan untuk pengawasan, serta rendahnya kesadaran dari manusia
sendiri.
Pembangunan wilayah merupakan suatu perwujudan dalam menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat, akan tetapi pertumbuhan ekonomi
seakan menjadi tujuan utama denganmengindahkan dampak dan keberlanjutan lingkungan.
Pada akhir Tahun 80-an kondisi dimana lingkungan belum menjadi prioritas dibandingkan
dengan pertumbuhan ekonomi dan sosial, perubahan mulai terjadi pada Tahun 1987 dengan
munculnya konsep pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam laporan Brundtland.
Pengertian Konsep pembangunan berkelanjutanyaitu pembangunan yang dapat memenuhi
generasi sekarang tanpa mengurangi generasi akan datang. Pandangan serupa tentang
pembangunan berkelanjutan adalah kegiatan yang dapat memenuhi akan generasi sekarang
tanpa mengurangi akan generasi mendatang adalah definisi dari pembangunan berkelanjutan
(Keeble, 1988).
Agar terjamin pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam undang - undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingungan Hidup dalam upaya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan, maka diperlukan upaya pengendalian yang bijak dalam pemanfaatan dan/atau
eksploitasi sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah atau negara, baik itu berupa
sumber daya alam tambang, pariwisata, serta kegiatan-kegiatan lain yang berpotensi
menghasilkan pencemaran lingkungan. Pasal 68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijelaskan bahwa setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan
hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan.
Pengawasan yang berkesinambungan dibidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan menjadi sangat penting sebagai suatu upaya strategis dalam pelaksanaan
pencegahan dan pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
tersebut.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat,
energi dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang ditetapkan sedangkan kerusakan lingkungan
hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia
dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.
Pengawasan lingkungan hidup merupakan salah satu instrumen penegakan hukum dan
merupakan amanat UUPPLH dimana Menteri, Gubernur, Bupati / Walikota mengangkat dan
menetapkan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) yang merupakan jabatan fungsional.
Adapun aspek-aspek yang diawasi antara lain;
1. Ketaatan terhadap izin lingkungan
2. Ketaatan terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
meliputi izin pembuangan air limbah, izin pengelolaan limbah B3
3. Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Sesuai dengan pasal 71 UUPPLH Tahun 2009 bahwa yang bertindak mengawasi
adalah :
1) Menteri, Gubernur, atau Bupati / Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2) Menteri, Gubernur, atau Bupati / Walikota dapat mendelegasikan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat atau instansi
teknis yang bertanggung jawab dibidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.

Sesuai dengan UUPPLH definisi pengawasan lingkungan hidup adalah kegiatan yang
dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung oleh pejabat pengawas lingkungan
hidup untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

7.4 Audit Lingkungan


Secara konseptual audit lingkungan telah dikenal sejak tahun 1970, tepatnya sejak
beberapa badan usaha di Amerika Serikat secara sukarela menerapkan audit lingkungan
sebagai bagian dari manajemen usaha mereka meskipun dengan penamaan atau sebutan
yang berbeda-beda, misalnya “Environment Review”, “Survey Asessment”, dan “Quality
Control” (Elkington, 1988).

Oleh sebab itu Amerika dapat dikatakan sebagai pioner dalam penerapan audit
lingkungan. Timbulnya inisiatif badan-badan usaha Amerika untuk menerapkan audit
lingkungan disebabkan oleh :
1. Dalam dasawarsa 60 dan 70-an telah diundang sejumlah peraturan perundang-
undangan lingkungan, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi badan-badan
usaha tentang apakah mereka telah mampu mematuhi sejumlah besar ketentuan
peraturan perundang-undangan, persyaratan-persyaratan lingkungan dan baku
mutu lingkungan.
2. Masyarakat semakin menuntut atau meminta jaminan dari pihak pimpinan
badan-badan usaha bahwa kegiatan usaha mereka menaati berbagai ketentuan
dan persyaratan lingkungan dan bahwa tersedia sarana efektif yang terpasang
untuk pengolahan risiko lingkungan.
3. Jika pada masa sebelumnya pihak atau unsur pengurus badan-badan usaha
terhindar dari berbagai tindakan hukum, maka pada perkembangan kemudian
mereka telah menjadikan sasaran penuntutan pidana maupun gugatan perdata
atas tanggung jawab mereka di bidang perlindungan lingkungan (Obbagy, 1988).

Dari pengalaman Amerika Serikat ini tampak bahwa latar belakang pendayagunaan
audit lingkungan didorong oleh semakin meningkatnya pelaksanaan dan upaya penegakan
hukum lingkungan, sehingga badan-badan usaha sendiri merasa perlu untuk memastikan
apakah mereka sudah atau belum menaati ketentuan dan persyaratan lingkungan. Dengan
adanya kepastian informasi tentang kinerja pengelolaan lingkungan badan usaha, maka pada
gilirannya unsur pengurus diharapkan dapat terhindar dari kemungkinan tuntutan hukum.

Hingga saat ini penerapan audit lingkungan di Amerika Serikat masih bersifat sukarela
atau dianjurkan dan bukan sebagai suatu kewajiban hukum. Keadaan ini tidak terlepas dari
latar belakang lahirnya audit lingkungan itu sendiri, yakni berawal dari inisiatif badan-badan
usaha. Sejauh ini kebijaksanaan Environmental Protection Agency (EPA) hanya mengesahkan
praktik audit lingkungan dan mengeluarkan pedoman tentang bagaimana sebaiknya audit
lingkungan dilakukan oleh badan-badan usaha. Pedoman itu dituang kan dalam Policy
Statement Nomor 51 Fed. Reg. 25005 (July 9, 1986). Demikian pula sikap International
Chamber of Commerce (ICC) tetap menginginkan agar penerapan audit lingkungan bersifat
sukarela atau tidak diwajibkan.

Di Indonesia penerapan audit lingkungan mula-mula diatur dalam Keputusan Menteri


Negara Lingkungan Hidup No: Kep-42/MenLH/11/94 tentang Pedoman umum pelaksanaan
audit lingkungan (Kepmen LH No.42/11/94). Berdasarkan kepmen tersebut pemberlakuan
audit lingkungan secara sukarela, definisinya sebagai berikut :
“Suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi,
periodik dan objektif tentang bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem manajemen dan
peralatan dengan tujuan memfasilitasi control manajemen terhadap pelaksanaan upaya
pengelolaan lingkungan dan pengkajian pentaatan terhadap peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan lingkungan.”
Definisi tersebut serupa dengan definisi-definisi yang terdapat dalam Policy Statement
dari EPA dan Position Paper dari ICC. Dari definisi-definisi itu tampak bahwa fungsi utama
audit lingkungan adalah sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan atau kepatuhan
suatu badan usaha terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan atau pada
khusunya persyaratan-persyaratan lingkungan sebagaimana ditetapkan dalam perizinan
lingkungan dan baku mutu lingkungan.

UUPPLH juga mengatur tentang audit lingkungan yang ditemukan dalam pasal 48
hingga pasal 51. Pada dasarnya tidak ada perbedaan prinsipil antara pengaturan audit
lingkungan dalam UU lingkungan hidup tahun 1997 dan dalam UUPPLH. Kedua Undang-
undang itu menentukan bahwa penerapan audit lingkungan pada dasarnya sukarela, tetapi
dalam keadaan tertentu, yaitu kegiatan yang tidak taat terhadap peraturan perundang-
undangan lingkungan dapat diwajibkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup untuk
melaksanakan audit lingkungan, Menteri dapat menugasi pihak ketiga untuk melaksanakan
audit lingkungan atas beban biaya kegiatan usaha yang bersangkutan. Namun UUPPLH
menambahkan beberapa ketentuan baru, yaitu :
1. Audit diwajibkan atas kegiatan yang berisiko tinggi terhadap lingkungan selain
atas kegiatan yang tidak taat terhadap peraturan perundang-undangan
lingkungan
2. Soal sertifikasi bagi auditor lingkungan hidup
3. Kriteria untuk memperoleh sertufikasi auditor lingkungan

Indonesia berdasarkan Kepmen LH No. 42/11/94 justru mengakui kewenangan


penanggung jawab kegiatan atau badan usaha sebagai pihak yang menentukan, apakah
sebagian atau seluruh laporan audit lingkungan bersifat terbuka untuk pemerintah,
masyarakat umum atau organisasi lainnya. Akan tetapi Kepmen LH tersebut juga mengakui
hak pemerintah untuk meminta suatu informasi khusus sebagai dasar penentuan peringkat
kinerja suatu badan usaha. Jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 5 ayat (2) dan pasal 6 ayat
(2) UUPPLH, yaitu tentang hak dan kewajiban atas informasi lingkungan, maka informasi
tentang audit lingkungan dapat terbuka untuk masyarakat. Selain itu menurut ketentuan
pasal 29 ayat (5) Menteri di bidang pengelolaan lingkungan mengumumkan hasil audit
lingkungan bagi kegiatan usaha yang diperintahkannya untuk melaksanakan audit
lingkungan.

Mengenai kemandirian auditor, beberapa pihak berpendapat bahwa agar auditor dapat
bersifat objektif harus dikerjakan oleh tenaga-tenaga luar atau para konsultan. Pendapat lain
adalah bahwa audit lingkungan dapat saja dikerjakan oleh karyawan dari badan usaha yang
bersangkutan asal mereka buka karyawan yang bertanggung jawab atas kegiatan produksi
dan mereka memiliki kemampuan atau kecakapan sebagai auditor lingkungan (Friedmann,
1993).

Tentang kemandirian dan objektifitas auditor lingkungan, Kepmen LH No.42/11/94


mengambil sikap bahwa kemandirian auditor dapat terwujud jika dilaksanakan oleh orang
diluar badan usaha atau kegiatan yang di audit. “Policy Statement” EPA mengakui bahwa
audit lingkungan dapat dikerjakan oleh tenaga interen audit mandiri (independent internal
auditors) maupun oleh orang-orang diluar badan usaha.

Perkembangan di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa adalah munculnya upaya


sertifikasi (cerfication) dan pembakuan audit lingkungan (auditing standars). Di Indonesia
saat ini perkembangan semacam ini belum terlihat, terutama karena praktik audit lingkungan
masih baru pada tahap pengenalan kepada dunia usaha.

Setidaknya ada lima persyaratan yang memungkinkan audit lingkungan sebagai piranti
manajemen lingkungan internal pada sebuah badan usaha dapat berfungsi secara efektif,
antara lain :
1. Dukungan dari unsur pimpinan badan usaha bagi pelaksanaan audit
lingkungan. Selain itu, adanya komitmen unsur pimpinan untuk
menindaklanjuti setiap hasil temuan dari tim audit. Tindak lanjut ini
berupalangkah-langkah perbaikan terhadap praktik manajemen yang telah
berjalan yang dinilai belum menjamin terwujudnya manajemen yang
berwawasan lingkungan.
2. Kedudukan organisasi auditor harus menjamin terlaksananya penelusuran dan
pengamatan terhadap praktik manajemen yang berjalan. Kemandirian auditor
dapat melakukan pengujian-pengujian secara objektif dan bebas dari hambatan-
hambatan internal.
3. Kecakapan auditor lingkungan, yakni mereka harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan untuk mencapai sasaran audit lingkungan. Para auditor harus
terus-menerus meningkatkan kecakapannya melalui pendidikan serta pelatihan.
4. Sasaran dan ruang lingkup dari audit lingkungan harus jelas, setidaknya sasaran
yang harus dicapai adalah menilai kepatuhan atau ketaastan terhadap
persyaratan-persyaratan lingkungan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang, tata laksana manajemen, program-program latihan personalia untuk
tercapainya ketaatan yang berkesinambungan. Akan tetapi, sasaran audit
lingkungan mungkin juga lebih dari sekedar upaya penaatan terhadap
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.
5. Berkaitan dengan metode dan proses pengumpulan, penyusunan laporan yang
lugas dan jelas tentang temuan-temuan audit, tindakan korektif dan jadwal
implementasinya.

7.5 Analisis Risiko Lingkungan

Dalam UUPPLH analisis risiko lingkungan diatur hanya dalam pasal 47. Analisis risiko
lingkungan merupakan instrument yang sebelumnya tidak diatur dalam UULH 1982 dan
UULH 1997. Pasal 47 ayat (1) UUPPLH menyatakan :
“Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan dan/atau
kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup”.

Selanjutnya pasal 47 ayat (2) menyatakan analisis risiko lingkungan hidup meliputi ; (a)
pengkajian risiko, pengelolaan risiko dan komunikasi risiko. Jika dilihat dari pengertiannya,
analisis risiko lingkungan fungsinya sangat mendekati fungsi dari amdal. Jika pada dasarnya
amdal adalah kajian terhadap dampak yang mungkin terjadi akibat berlangsungnya sebuah
kegiatan, analisis risiko juga kajian terhadap peristiwa yang mungkin terjadi akibat suatu
kegiatan. Oleh sebab itu, apa perbedaan pokok antara keduanya tampaknya baru dapat
diidentifikasi secara jelas jika peraturan pemerintah pelaksanaan pasal 47 UUPPLH ini
diterbitkan.
Bidang yang saat ini telah menggunakan analisis risiko lingkungan adalah pelepasan
dan peredaran produk rekayasa genetik. Pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik
menimbulkan risiko terhadap keamanan lingkungan yang telah diatur dalam PP Nomor 21
Tahun 2005.

Analisis risiko lingkungan di Indonesia melibatkan identifikasi, penilaian, dan


penanganan potensi risiko yang timbul akibat aktivitas manusia dan faktor alamiah yang
dapat mempengaruhi lingkungan. Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam analisis
risiko lingkungan di Indonesia meliputi:
1. Perubahan iklim
Perubahan iklim global menjadi salah satu risiko lingkungan terbesar di
Indonesia. Peningkatan suhu global dapat menyebabkan kenaikan permukaan air
laut, pola cuaca ekstrem, dan perubahan musim hujan, yang berdampak negatif
pada kehidupan manusia, sumber daya alam, dan ekosistem.
2. Deforestasi dan kerusakan hutan
Indonesia memiliki hutan tropis yang sangat penting secara global, namun
deforestasi dan kerusakan hutan terus terjadi. Kegiatan illegal logging,
perambahan hutan untuk perkebunan, dan kebakaran hutan mengancam
keberlanjutan ekosistem hutan dan menyebabkan hilangnya habitat bagi flora
dan fauna.
3. Kerusakan ekosistem laut
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya laut
yang besar. Namun, kerusakan terumbu karang, overfishing, polusi laut, dan
pemanasan global berdampak negatif pada keanekaragaman hayati laut,
ekosistem pesisir, dan mata pencaharian masyarakat pesisir.
4. Polusi udara
Peningkatan jumlah kendaraan bermotor, industri, dan pembakaran sampah
menjadi penyebab utama polusi udara di perkotaan. Tingginya konsentrasi
partikel berbahaya dan gas polutan seperti PM2,5, NOx, dan SOx berdampak
negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan.
5. Limbah dan polusi air
Pertumbuhan industri dan urbanisasi di Indonesia menyebabkan peningkatan
produksi limbah dan polusi air. Limbah industri yang tidak diolah dengan baik
dan pembuangan sampah domestik yang tidak sesuai dapat mengkontaminasi
sumber air, mempengaruhi kualitas air minum, dan merusak ekosistem perairan.
6. Bencana alam
Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik, sehingga rentan terhadap berbagai
bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah
longsor. Bencana-bencana ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, korban
jiwa, dan kerugian ekonomi yang signifikan.

DAFTAR PUSTAKA
(n.d.).

Akib, M. (2014). Hukum Lingkungan : Perspektif Global Dan Nasional. Jakarta: Rajawali Pers.

Elkington, J. (1988). The Environmental Audit : Holy Grail or Essential Management Tool. UNEP Industry And
Environment, 1.

Friedmann. (1993). Practical Guide Environmental Management. Washington DC: Environmental Law Institute.

Keeble. (1988). Our Common Future : Madicine And War. The Brundtland Report, 17-25.

Obbagy, G. H. (1988). Environmental Auditing : A Global Perspective Transition To The 1990s. UNEP Industry And
Environment, 11.

Rahmadi, T. (2021). Hukum Lingkungan Di Indonesia. Depok: Raja Grafindo.

Widyawati, A. (2013). Implementasi Perda no.13 Tahun 2004 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK),
Kotamadya Daerah Tingkat II Kotamadya Semarang BWK VIII (Kecamatan Gunung Pati). Jurnal Dinamika
Hukum, 42-43.
BIODATA PENULIS

Dimas Arif Pratama


Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Penulis lahir di DKI Jakarta pada tanggal 17 April tahun 1991. Setelah lulus dari Sekolah
Dasar Negeri Utan Kayu Utara 11 Pagi pada tahun 2004, kemudian melanjutkan studi di
Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Jakarta dan lulus pada tahun 2007, kemudian
melanjutkan studi di Sekolah Menengah Atas Al Azhar Kota Banjar Jawa Barat jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial dan lulus pada tahun 2010. Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas
penulis kembali ke Jakarta untuk bekerja, hingga pada tahun 2021 memutuskan untuk
melanjutkan studi S1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera
Barat.

Anda mungkin juga menyukai