Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH VIKTIMOLOGI

PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERSPEKTIF


VIKTIMOLOGI

Dosen Pengampu :

Riska Andi Fitriono, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

1. Nur Endah Azizah (E0019327)


2. Zidna Iman Kamila (E0019456)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib
dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber
penunjang hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan
peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Lingkungan hidup merupakan, ruang atau tempat
yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya 1. Manusia dan makhluk hidup
lainnya tentu tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi, dan
membutuhkan satu sama lainnya. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling
ketergantungan secara teratur merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya
mengandung esensi penting, dimana lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak
dapat dibicarakan secara terpisah2. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan
anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada semua makhluk hidup yang
ada di dunia ini, oleh sebab itu hak untuk menikmati lingkungan yang sehat merupakan
hak bagi setiap manusia beserta seluruh makhluk hidup di sekitarnya tanpa terkecuali.
Agar dapat menikmati lingkungan hidup yang bersih dan menyenangkan tentu menjadi
tugas bagi semua orang untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Indonesia sebagai negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan guna


mencapai tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat tidak terlepas dari banyak
permasalahan terutama salah satunya adalah permasalahan-permasalahan lingkungan,
baik itu berupa pencemaran limbah air, sampah, pengalihan fungsi hutan dan juga
pencemaran udara. Pembangunan tentu saja telah membawa kemajuan yang besar dalam
meningkatkan kualitas fisik dan non fisik manusia serta meningkatkan kualitas
lingkungan alam. Akan tetapi, pembangunan juga menghasilkan produk sampingan

1
Sonjaya, T., Heryanto, B., Mulyana, A., & Aridhayandi, M.R. (2020). Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya
Penegakan Hukum Lingkungan berdasarkan Prinsip Pembangunan. Lambung Mangkurat Law Journal, 5(2), 203-
214, hlm. 204.
2
Muhammad Amin Hamid. (2016). Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup dalam Menanggulangi Kerugian
Negara. Legal Pluralism, 6(1), hlm. 88-89.
seperti limbah sampah dan buangan baik yang berwujud padat, cair, maupun gas yang
lambat laun akan merusak kelestarian alam karena menurunnya fungsi lingkungan hidup
dan dapat mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dewasa ini
kerusakan lingkungan hidup khususnya di Indonesia bisa dikatakan semakin
memprihatinkan. Kerusakan-kerusakan tersebut diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas
manusia yang mengeksploitasi alam secara berlebihan seperti penebangan pohon secara
liar, pencemaran air, udara, dan tanah oleh limbah dan lain sebagainya. Jika kemudian hal
tersebut dibiarkan maka seiring berjalannya waktu akan menimbulkan dampak yang
besar dan berbahaya tidak hanya bagi kehidupan sekarang tapi juga berlanjut bagi
kehidupan di masa yang akan datang.

Kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan di Indonesia masih


sangat kurang, yang dimana masyarakat Indonesia belum bisa sepenuhnya menaati
peraturan yang ada3. Pada pengelolaan lingkungan sendiri sebenarnya pemerintah telah
menciptakan kebijakan dan hukum yang mengatur mengenai lingkungan hidup dalam
ketetapan konstitusional dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang kemudian menjadi
acuan atau dasar mengenai perlindungan terhadap lingkungan hidup di Indonesia.
Dimulai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH) yang kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), hingga ke
peraturan daerah masing-masing provinsi maupun kabupaten kota. Lalu kemudian ada
juga pengelompokan hukum yang membagi ke dalam bidang bentuk hukum, yaitu hukum
lingkungan administartif, hukum lingkungan keperdataan dan hukum lingkungan
kepidanaan. Dalam makalah ini yang akan menjadi titik pembahasannya adalah lebih
kepada bidang kepidanaan yaitu mengenai penegakan hukum pidana lingkungan hidup
dalam perspektif viktimologi.

3
Havinanda, F. (2020). Politik Hukum dalam Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Lingkungan dan Dampaknya
terhadap Penegakan Hukum Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Jurnal Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi dan
Informasi Hukum dan Masyarakat, 1(1), 106-121, hlm. 109.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana regulasi yang mengatur tentang tindak pidana lingkungan hidup?
2. Apa contoh kasus tindak pidana lingkungan hidup dan penyelesaiannya?
3. Bagaimana penegakan hukum lingkungan hidup menurut perspektif viktimologi?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Regulasi Tentang Lingkungan Hidup

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 ini terdiri dari 17 BAB dan 127 Pasal
yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Perbedaan mendasar antara Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya
disingkat UUPLH) dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat
dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam
setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau
kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan
pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Beberapa
point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:

1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;


2. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
4. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup,
Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
5. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
6. Kepastian dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
7. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
8. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
9. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih
efektif dan responsif;
10. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil lingkungan hidup.

Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat


luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang dimaksud
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam undang-undang tersebut
meliputi:

1. Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan


wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup)
2. Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alam yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi
dalam Undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH
maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
3. Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
4. Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS
(Kajian Lingkungan Hidup Strategis), tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), UKL-UPL (Upaya
Kelola Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan), perizinan, instrumen ekonomi
lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran
berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan
instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/ atau perkembangan ilmu pengetahuan.
5. Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya
alam, pencadangan sumber daya alam, dan/ atau pelestarian fungsi atmosfer.
6. Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi:
 Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku
mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL
atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak,
pengelola limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) tanpa izin, melakukan dumping
tanpa izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,
 Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik
pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.4

Selanjutnya, pengaturan tentang sanksi pidana tidak jauh berbeda bagaimana bentuk-
bentuk tindak pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup dibandingkan dengan undang-undang
Nomor 23 tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap tindak pidana dibagi
dalam dalam delik materil maupun delik materil. Hanya saja dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 pengaturan pasal lebih banyak pasal sanksi pidananya bila
dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang
menguraikan masalah sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan
(Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun
2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan Pasal 115). Jika diamati dan dibadingkan
pengaturan Pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam
UUPPLH lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku
mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan
penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana. Atau dengan kata
lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci dalam beberapa pasal.

4
https://www.profauna.net/id/content/uu-no-32-tahun-2009-tentang-perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-
hidup diakses pada Sabtu, 4 Juni 2022
Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil
dan delik materil. Menurut Sukanda Husin (2009: 122) delik materil dan delik formil
dapat didefensikan sebagai berikut:

 Delik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian
pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.
 Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-
aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak
diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi
cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.

Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang
disesuaikan dengan beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan
terjadinya pencemaran lingkungan yaitu:

Pasal 105

Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara kesatua republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana dengan penjara
paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun dan denda paling sedikit Rp
4.000.000.000 dan paling banyak Rp. 12.000.000.000.

Pasal 106

Setiap orang yang memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan republik
Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat 1 huruf d dipidana dengan penjara paling
singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp
5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.

Pasal 107

Setiap orag yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan


kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 69
ayat 1 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama
lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp.
15.000.000.000.

Pasal 108

Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69
ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama
tiga belas tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp.
10.000.000.000.

Sementara, yang termasuk dalam delik formil, sebagai tindak pidana yang harus
didasarkan pada persyaratan administratif dari perusahaan atau individu itu bertindak dan
patut diduga melakukan tindak pidana terhadap lingkungan juga dapat dilihat dalam
beberapa pasal seperti:

Pasal 98

Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya


baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling
lama sepuluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 dan paling banyak
Rp.10.000.000.000.

Pasal 102

Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud
Pasal 59 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling
lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp.
3.000.000.000.5

Hal yang membedakan dengan UUPLH dan UUPPLH adalah pada sanksi pidana
dendanya yang bukan lagi dalam hitungan jutaan rupiah tetapi dinaikkan menjadi standar
miliaran rupiah. Dalam undang-undang yang baru tersebut, juga diatur masalah
pertanggujawaban pidana bagi korporasi, yang selanjutnya dapat dikenakan kepada yang

5
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
memerintah sehingga terwujud tindak pidana pencemaran lingkungan, tanpa
memerhatikan terjadinya tindak pidana itu secara bersama-sama.

B. Contoh Kasus dan Penyelesaiannya


1. Deskripsi Kasus Sengketa Limbah Industri pada PT. Rayon Utama Makmur
(RUM) Sukoharjo

PT. Rayon Utama Makmur (RUM) merupakan anak perusahaan PT Sri Rejeki Isman
Tbk (Sritex) yang berlokasi di Plesan, Nguter, Sukoharjo, sekitar 15 km dari Kota
Surakarta. Serat rayon (kapas sintetik) ini untuk memasok kebutuhan lini bisnis utama
Sritex yaitu garmen. Sebagai sebuah perusahaan yang memasok serat rayon, PT. RUM
Sukoharjo ternyata menghasilkan limbah industri berupa polusi udara yang cukup
meresahkan masyarakat Kabupaten Sukoharjo. Masyarakat beranggapan bahwa PT RUM
memiliki Karbon Disulfida Plant atau tempat produksi Karbon Disulfida yang sangat
berbahaya bagi lingkungan Sukoharjo.

Berdasarkan hal itu, berbagai aksi demonstrasi dilakukan masyarakat menuntut


penutupan PT. Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjo dan dampaknya sejak tanggal
23 Februari 2018 PT. Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjo resmi ditutup ijin
operasional oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo. Tim Independent
Muhammadiyah merilis hasil analisis sample Limbah Cair PT Rayon Utama Makmur
(RUM). Berdasarkan hasil analisis tersebut, untuk parameter Total Dissolved Solid
(TDS) dan Chemical Oxygen Demand (COD) PT RUM diketahui tidak memenuhi
ambang baku mutu limbah cair, sedangkan parameter pH sampel limbah cair dinyatakan
memenuhi baku mutu limbah cair. Sementara, proses absorpsi di sekitar chimney
(cerobong) belum maksimal sehingga masih banyak gas H2S yang terbuang ke udara. PT.
Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjo sebagai perusahaan yang mempunyai
permasalahan dengan pengelolaan limbah industri telah melakukan berbagai upaya untuk
menghilangkan bau limbah yang selama ini meresahkan masyarakat, namun belum sesuai
yang diinginkan masyarakat, pihak perusahaan masih menerima banyak keluhan dari
masyarakat terkait bau limbah, sehingga dilakukan penutupan ijin operasional oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo.
Penutupan PT. Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjo tentunya bukan menjadi
solusi yang memberikan kepuasan kepada semua pihak. Bagi masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada PT. Rayon Utama Makmur (RUM) serta investor ini
menjadi sebuah kerugian yang cukup besar, karena tidak sedikit biaya yang sudah
dikeluarkan untuk pendirian PT. Rayon Utama Makmur (RUM). Oleh karena itu,
dibutuhkan sebuah solusi praktis yang dapat memberikan solusi bagi kebaikan bersama
baik dari pihak PT. Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjo dan masyarakat sekitar.

2. Penyelesaian Sengketa Limbah Industri melalui Mediasi di PT. Rayon Utama


Makmur (RUM) Sukoharjo

Penyelesaian sengketa hukum lingkungan, menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya disebut UUPPLH, dapat
dilakukan melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara
sukarela para pihak yang bersengketa (pasal 84 ayat 1). Melalui pengadilan, dapat
dilakukan dengan jalur administratif, perdata maupun pidana. Sedangkan di luar
pengadilan, 1 dapat dilakukan dengan negosiasi, mediasi, konsiliasi maupun arbitrase.
Sengketa lingkungan hidup, menurut pasal 1 angka 19 UUPLH, adalah perselisihan
antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam Pasal 84 ayat 1 UUPPLH,
disebutkan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang
bersengketa.

Pilihan sukarela tersebut hanya berlaku untuk perbuatan melanggar hukum


(onrechtmatige daad) yang bersifat keperdataan. Untuk tindak pidana lingkungan hidup
tidak ada pilihan lain, selain harus melalui pengadilan. Permasalah PT. Rayon Utama
Makmur tidak hanya terjadi di tingkat civitas akademika, bahkan hingga di masyarakat
umum yang senantiasa melakukan komunikasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Sukoharjo melalui demonstrasi yang dilakukan di DPRD Kabupaten Sukoharjo. Dalam
menghadapi persoalan berupa sengketa, masyarakat sebenarnya memiliki suatu kekuatan
yang bersifat otonom6 . Oleh karena itu, Beberapa gelombang demonstrasi dilakukan
6
Absori, “Advokasi Masyarakat Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Jaten, Kabupaten Karanganyar”,
WARTA ,Volume 10 No.1 (Maret,2007), hal.72.
oleh masyarakat Kabupaten Sukoharjo yang menuntut untuk ditutupnya ijin operasional
PT. Rayon Utama Makmur (RUM) Sukoharjo, hingga pada titik akhir yang tidak bisa
memberikan solusi untuk kebaikan bersama sehingga pada hari Jum’at, 23 Februari 2018
Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo resmi menutup ijin operasional PT. Rayon
Utama Makmur (RUM) Sukoharjo. Dari segi Instrumen hukum, sekalipun Undang-
Undang lingkungan, telah mencantumkan ketentuan ganti rugi yang begitu besar, dan
sanksi hukuman yang begitu berat, namun ketentuan tersebut ternyata dalam praktek
belum menjamin para pencemar lingkungan dapat dijerat dengan hukuman yang
memadai.7

Karena selama ini lembaga pengadilan dalam menangani sengketa lingkungan lebih
bertumpu pada ketentuan hukum formal dan kurang mempunyai kemampuan untuk
melakukan terobosan hukum dalam menterjemahkan fakta pencemaran lingkungan,
dengan mengontruksikannya menjadi fakta hukum. Kendala terbesar yang dialami aparat
penegak hukum adalah dalam proses pembuktian untuk menyakinkan hakim terhadap
perbuatan pencemaran lingkungan. Menurut penulis penyelesaiaan untuk permasalahan
tersebut baiknya melalui proses mediasi. Penyelesaian melalui mediasi merupakan cara
penyelesaian sengketa, dimana para pihak yang bersengketa melakukan musyawarah
guna mencari pemecahan dengan difasilitasi oleh mediator. Para pihak yang bersengketa
terdiri dari perwakilan atau penanggung jawab terkait persoalan limbah PT. Rayon Utama
Makmur (RUM) serta perwakilan dari pihak masyarakat terkait kerugian yang di derita,
dalam hal ini pihak yang berperan sebagai mediator bersifat tidak memihak.8

C. Penegakan hukum lingkungan hidup menurut perspektif viktimologi

Kebijakan perlindungan korban pada hakikatnya merupakan bagian yang integral dari
kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan yaitu dalam rangka mencapai
kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, menurut Sahetapy, keterlibatan negara dan
masyarakat umum dalam menanggulangi beban penderitaan korban bukan hanya karena
negaralah yang memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai dengan

7
Absori, “Penegakan Hukum Lingkungan Pada Era Reformasi”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8, No.2 (September,2005)
hal. 225.
8
Ratih Fauziah W. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus PT. Rayon Utama Makmur (RUM) di
Kabupaten Sukoharjo). 2018.
dasar pemikiran bahwa negara berkewajiban untuk memelihara keselamatan dan
meningkatkan kesejahteraan warganya. Terjadinya korban kejahatan dapat dianggap
gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warganya. Di
Indonesia, masalah korban kejahatan kurang mendapat perhatian baik dalam perundang-
undangan pidana materiil maupun formil. Dalam KUHP hanya terdapat satu pasal yang
menentukan adanya ganti rugi kepada korban kejahatan dengan persyaratan khusus yaitu
pada Pasal 14C ayat (1) KUHP tentang pidana bersyarat, sedangkan dalam KUHAP,
meskipun terdapat banyak pasal yang mengatur tentang ganti kerugian, tetapi lebih
banyak ganti kerugian diberikan kepada pihak-pihak yang mengalami kerugian karena
adanya kesalahan proses peradilan pidana baik karena kekeliruan dalam penangkapan dan
penahanan atau tindakan-tindakan hukum lainnya. Kedua pengaturan perundang-
undangan di atas jelas kurang efektif dalam memberikan perlindungan terhadap korban
kejahatan. Pemberian ganti rugi dengan syarat-syarat khusus yang terdapat dalam pidana
bersyarat hanya dapat diberikan apabila terdakwa dikenakan dalam pidana bersyarat
sehingga di luar pidana tersebut tidak memungkinakan adanya pemberian ganti rugi
kepada korban kejahatan. Senada dengan pengaturan dalam KUHAP yang hanya
memberikan hak kepada korban kejahatan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian
melalui penggabungan perkara. Mekanisme seperti demikian kurang memberikan
perlindungan kepada korban kejahatan karena korban harus berupaya sendiri untuk
mendapatkan hak-haknya sebagai korban kejahatan. Berarti bahwa, tanpa adanya
pengajuan gugatan, maka sudah tentu korban tidak akan memperoleh ganti rugi atas
penderitaan yang dialaminya.

Terdapat dua kendala struktural yang paling utama yang mengakibatkan tidak
berfungsinya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, yaitu masih dominannya
pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang mempertentangkan antara
pembangunan dan lingkungan dan belum sepenuhnya tercipta good governance yang
memustahilkan penegakan hukum lingkungan yang efektif. Dilihat dari fase penegakan
hukum, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu : faktor hukumnya sendiri,
yakni pihak-pihak yang akan dibatasi pada undang-undangnya saja, faktor penegak
hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, faktor sarana
atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, yakni lingkungan
dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan faktor kebudayaan, yakni sebagai
hasil kerja, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Dalam permasalahan lingkungan hidup yang salah satunya misalnya adalah pencemaran,
diperlukan upaya penegakan hukum lingkungan khususnya penegakan hukum pidana
yang secara terpadu dari semua pihak pihak aparat penegak hukum maupun masyarakat.
Penegak hukum haruslah konsisten dalam menindak para pengusaha yang terbukti
melakukan tindak pidana lingkungan hidup yang mengakibatkan kerusakan ataupun
pencemaran lingkungan. Hal yang prinsip dalam penegakan hukum lingkungan ini adalah
harus adanya persamaan prinsip dan persepsi tentang lingkungan hidup, terutama dalam
tindak pidana mengenai pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yanag esensinya
adalah sama-sama berpandangan bahwa penegakan hukum tersebut dilakukan untuk
menekan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang akan menghambat jalannya
pembangunan dan akan merugikan masyarakat. Untuk meningkatkan pelaksanaan sistem
peradilan pidana terpadu, diperlukan profesionalisme dan kerjasama yang baik antara
polisi, jaksa dan pengadilan serta masyarakat.

Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyebutkan bahwa “barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melaukan
perbuatan yang mengaibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima
ratus juta rupiah”. Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa kejahatan
lingkungan tidak menganut sistem delik aduan yang berati bahwa dala perkara pidana
lingkungan, laporan tentang dugaan adanya pencemaran dan perusakan lingkungan dapat
dilakukan oleh penderita atau anggota masyarakat atau aparat penegak hukum dan
laporan tersebut dapat langsung diteruskan ke Pengadilan Negeri sebagaimana telah
ditentukan dan diatur di dalam KUHAP. Pengaturan hukum pidana mengenai korban
kejahatan secara mendasar dikenal dua model yaitu :

1. Procedural Rights Model, yaitu model perlindungan korban kejahatan yang


menekankan pada dimungkinkannya si korban untuk memainkan peranan aktif di dalam
kejahatan yang mana dalam hal ini diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau
membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan atau didengar di setiap tingkatan sidang
pengadilan yang mana kepentingan terkait di dalamnya termsuk hak untuk diminta
konsultasi oleh lembaga permasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada
akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau mengajukan gugatan secara perdata.
Pendekatan semacam ini melihat si korban sebagai seorang subyek yang harus menuntut
dan mengejar kepentingannya.

2. Services Model, yaitu model perlindungan korban yang penekanannya diletakkan


pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang
dapat digunakan oleh polisi. Misalnya dalam pemberian kompensasi sebagai sanksi
pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana
dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran untuk dilayani
dalam kerangka kegiatan polisi dan para pemegak hukum yang lain.

Stephen Schfer mengemukakan adanya lima sitem pemberian restitusi kepada


korban kejahatan, yaitu ganti rugi yang bersifat keperdataan (sistem ini memisahkan
tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana), kompensasi yang bersifat keperdataan
(diberikan melalui proses pidana), restitusi yang bersifat perdata bercampur dengan sifat
pidana (diberikan melalui proses pidana namun tida diragukan sifat pidananya dan salah
satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah denda kompensasi), kompensasi yang
bersifat perdata (diberikan melalui proses pidana dan disokong oleh sumber-sumber
penghasilan negara dan dalam hal ini, kompensasi tidak mempunyai aspek pidana
apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi tetap meerupakan lembaga
keperdataan murni, tetapi negara yang memenuhi/menanggung kewajiban ganti rugi yang
dibebankan pengadilan pada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan bahwa negara telah
gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya
kejahatan), dan kompensasi yang bersifat netral (diberikan melalui prosdur khusus.
Sistem ini diterapkan apabila korban memerlukan ganti rugi sedangkan pelaku dalam
keadaan bangkrut dan tidak dapat memenuhu tuntutan korban). Dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia khususnya dalam hal perlindungan korban, maka perlu
dikembangkan sistem restitusi seperti yang sudah tertera diatas. Hal ini sangat penting
karena negara merupakan penjamin utama hak-hak dasar warga negaranya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 ini terdiri dari 17 BAB dan 127 Pasal
yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Perbedaan mendasar antara
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(selanjutnya disingkat UUPLH) dengan Undang-Undang ini adalah adanya
penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan
instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup serta
penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.
2. Dari segi Instrumen hukum, sekalipun Undang-Undang lingkungan, telah
mencantumkan ketentuan ganti rugi yang begitu besar, dan sanksi hukuman yang
begitu berat, namun ketentuan tersebut ternyata dalam praktek belum menjamin
para pencemar lingkungan dapat dijerat dengan hukuman yang memadai. Karena
selama ini lembaga pengadilan dalam menangani sengketa lingkungan lebih
bertumpu pada ketentuan hukum formal dan kurang mempunyai kemampuan
untuk melakukan terobosan hukum dalam menterjemahkan fakta pencemaran
lingkungan, dengan mengontruksikannya menjadi fakta hukum. Kendala terbesar
yang dialami aparat penegak hukum adalah dalam proses pembuktian untuk
menyakinkan hakim terhadap perbuatan pencemaran lingkungan.
3. Keterlibatan negara dan masyarakat umum dalam menanggulangi beban
penderitaan korban bukan hanya karena negaralah yang memiliki fasilitas-fasilitas
pelayanan umum, tetapi juga disertai dengan dasar pemikiran bahwa negara
berkewajiban untuk memelihara keselamatan dan meningkatkan kesejahteraan
warganya. Terjadinya korban kejahatan dapat dianggap gagalnya negara dalam
memberikan perlindungan yang baik kepada warganya. Dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia khususnya dalam hal perlindungan korban, maka perlu
dikembangkan sistem restitusi seperti yang sudah tertera diatas. Hal ini sangat
penting karena negara merupakan penjamin utama hak-hak dasar warga
negaranya.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sonjaya, T., Heryanto, B., Mulyana, A., & Aridhayandi, M.R. (2020). Kebijakan Hukum Pidana
dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan berdasarkan Prinsip Pembangunan.
Lambung Mangkurat Law Journal, 5(2), 203-214, hlm. 204.
Muhammad Amin Hamid. (2016). Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup dalam
Menanggulangi Kerugian Negara. Legal Pluralism, 6(1), hlm. 88-89.

Havinanda, F. (2020). Politik Hukum dalam Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Lingkungan
dan Dampaknya terhadap Penegakan Hukum Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Jurnal
Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat, 1(1), 106-
121, hlm. 109.

Ratih Fauziah W. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus PT. Rayon Utama
Makmur (RUM) di Kabupaten Sukoharjo). 2018

Absori, “Advokasi Masyarakat Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Jaten,


Kabupaten Karanganyar”, WARTA ,Volume 10 No.1 (Maret,2007), hal.72.

Absori, “Penegakan Hukum Lingkungan Pada Era Reformasi”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8, No.2
(September,2005) hal. 225.

https://www.profauna.net/id/content/uu-no-32-tahun-2009-tentang-perlindungan-dan-
pengelolaan-lingkungan-hidup diakses pada Sabtu, 4 Juni 2022

Anda mungkin juga menyukai