Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib
dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber
penunjang hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan
peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Lingkungan hidup merupakan, ruang atau tempat
yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya 1. Manusia dan makhluk hidup
lainnya tentu tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi, dan
membutuhkan satu sama lainnya. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling
ketergantungan secara teratur merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya
mengandung esensi penting, dimana lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak
dapat dibicarakan secara terpisah2. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan
anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada semua makhluk hidup yang
ada di dunia ini, oleh sebab itu hak untuk menikmati lingkungan yang sehat merupakan
hak bagi setiap manusia beserta seluruh makhluk hidup di sekitarnya tanpa terkecuali.
Agar dapat menikmati lingkungan hidup yang bersih dan menyenangkan tentu menjadi
tugas bagi semua orang untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.
1
Sonjaya, T., Heryanto, B., Mulyana, A., & Aridhayandi, M.R. (2020). Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya
Penegakan Hukum Lingkungan berdasarkan Prinsip Pembangunan. Lambung Mangkurat Law Journal, 5(2), 203-
214, hlm. 204.
2
Muhammad Amin Hamid. (2016). Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup dalam Menanggulangi Kerugian
Negara. Legal Pluralism, 6(1), hlm. 88-89.
seperti limbah sampah dan buangan baik yang berwujud padat, cair, maupun gas yang
lambat laun akan merusak kelestarian alam karena menurunnya fungsi lingkungan hidup
dan dapat mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dewasa ini
kerusakan lingkungan hidup khususnya di Indonesia bisa dikatakan semakin
memprihatinkan. Kerusakan-kerusakan tersebut diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas
manusia yang mengeksploitasi alam secara berlebihan seperti penebangan pohon secara
liar, pencemaran air, udara, dan tanah oleh limbah dan lain sebagainya. Jika kemudian hal
tersebut dibiarkan maka seiring berjalannya waktu akan menimbulkan dampak yang
besar dan berbahaya tidak hanya bagi kehidupan sekarang tapi juga berlanjut bagi
kehidupan di masa yang akan datang.
3
Havinanda, F. (2020). Politik Hukum dalam Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Lingkungan dan Dampaknya
terhadap Penegakan Hukum Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Jurnal Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi dan
Informasi Hukum dan Masyarakat, 1(1), 106-121, hlm. 109.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana regulasi yang mengatur tentang tindak pidana lingkungan hidup?
2. Apa contoh kasus tindak pidana lingkungan hidup dan penyelesaiannya?
3. Bagaimana penegakan hukum lingkungan hidup menurut perspektif viktimologi?
BAB II
PEMBAHASAN
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 ini terdiri dari 17 BAB dan 127 Pasal
yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Perbedaan mendasar antara Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya
disingkat UUPLH) dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat
dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam
setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau
kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan
pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Beberapa
point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:
Selanjutnya, pengaturan tentang sanksi pidana tidak jauh berbeda bagaimana bentuk-
bentuk tindak pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup dibandingkan dengan undang-undang
Nomor 23 tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap tindak pidana dibagi
dalam dalam delik materil maupun delik materil. Hanya saja dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 pengaturan pasal lebih banyak pasal sanksi pidananya bila
dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang
menguraikan masalah sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan
(Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun
2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan Pasal 115). Jika diamati dan dibadingkan
pengaturan Pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam
UUPPLH lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku
mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan
penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana. Atau dengan kata
lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci dalam beberapa pasal.
4
https://www.profauna.net/id/content/uu-no-32-tahun-2009-tentang-perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-
hidup diakses pada Sabtu, 4 Juni 2022
Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil
dan delik materil. Menurut Sukanda Husin (2009: 122) delik materil dan delik formil
dapat didefensikan sebagai berikut:
Delik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian
pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.
Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-
aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak
diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi
cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.
Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang
disesuaikan dengan beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan
terjadinya pencemaran lingkungan yaitu:
Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara kesatua republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana dengan penjara
paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun dan denda paling sedikit Rp
4.000.000.000 dan paling banyak Rp. 12.000.000.000.
Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan republik
Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat 1 huruf d dipidana dengan penjara paling
singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp
5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.
Pasal 107
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69
ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama
tiga belas tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp.
10.000.000.000.
Sementara, yang termasuk dalam delik formil, sebagai tindak pidana yang harus
didasarkan pada persyaratan administratif dari perusahaan atau individu itu bertindak dan
patut diduga melakukan tindak pidana terhadap lingkungan juga dapat dilihat dalam
beberapa pasal seperti:
Pasal 98
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud
Pasal 59 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling
lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp.
3.000.000.000.5
Hal yang membedakan dengan UUPLH dan UUPPLH adalah pada sanksi pidana
dendanya yang bukan lagi dalam hitungan jutaan rupiah tetapi dinaikkan menjadi standar
miliaran rupiah. Dalam undang-undang yang baru tersebut, juga diatur masalah
pertanggujawaban pidana bagi korporasi, yang selanjutnya dapat dikenakan kepada yang
5
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
memerintah sehingga terwujud tindak pidana pencemaran lingkungan, tanpa
memerhatikan terjadinya tindak pidana itu secara bersama-sama.
PT. Rayon Utama Makmur (RUM) merupakan anak perusahaan PT Sri Rejeki Isman
Tbk (Sritex) yang berlokasi di Plesan, Nguter, Sukoharjo, sekitar 15 km dari Kota
Surakarta. Serat rayon (kapas sintetik) ini untuk memasok kebutuhan lini bisnis utama
Sritex yaitu garmen. Sebagai sebuah perusahaan yang memasok serat rayon, PT. RUM
Sukoharjo ternyata menghasilkan limbah industri berupa polusi udara yang cukup
meresahkan masyarakat Kabupaten Sukoharjo. Masyarakat beranggapan bahwa PT RUM
memiliki Karbon Disulfida Plant atau tempat produksi Karbon Disulfida yang sangat
berbahaya bagi lingkungan Sukoharjo.
Karena selama ini lembaga pengadilan dalam menangani sengketa lingkungan lebih
bertumpu pada ketentuan hukum formal dan kurang mempunyai kemampuan untuk
melakukan terobosan hukum dalam menterjemahkan fakta pencemaran lingkungan,
dengan mengontruksikannya menjadi fakta hukum. Kendala terbesar yang dialami aparat
penegak hukum adalah dalam proses pembuktian untuk menyakinkan hakim terhadap
perbuatan pencemaran lingkungan. Menurut penulis penyelesaiaan untuk permasalahan
tersebut baiknya melalui proses mediasi. Penyelesaian melalui mediasi merupakan cara
penyelesaian sengketa, dimana para pihak yang bersengketa melakukan musyawarah
guna mencari pemecahan dengan difasilitasi oleh mediator. Para pihak yang bersengketa
terdiri dari perwakilan atau penanggung jawab terkait persoalan limbah PT. Rayon Utama
Makmur (RUM) serta perwakilan dari pihak masyarakat terkait kerugian yang di derita,
dalam hal ini pihak yang berperan sebagai mediator bersifat tidak memihak.8
Kebijakan perlindungan korban pada hakikatnya merupakan bagian yang integral dari
kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan yaitu dalam rangka mencapai
kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, menurut Sahetapy, keterlibatan negara dan
masyarakat umum dalam menanggulangi beban penderitaan korban bukan hanya karena
negaralah yang memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai dengan
7
Absori, “Penegakan Hukum Lingkungan Pada Era Reformasi”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8, No.2 (September,2005)
hal. 225.
8
Ratih Fauziah W. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus PT. Rayon Utama Makmur (RUM) di
Kabupaten Sukoharjo). 2018.
dasar pemikiran bahwa negara berkewajiban untuk memelihara keselamatan dan
meningkatkan kesejahteraan warganya. Terjadinya korban kejahatan dapat dianggap
gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warganya. Di
Indonesia, masalah korban kejahatan kurang mendapat perhatian baik dalam perundang-
undangan pidana materiil maupun formil. Dalam KUHP hanya terdapat satu pasal yang
menentukan adanya ganti rugi kepada korban kejahatan dengan persyaratan khusus yaitu
pada Pasal 14C ayat (1) KUHP tentang pidana bersyarat, sedangkan dalam KUHAP,
meskipun terdapat banyak pasal yang mengatur tentang ganti kerugian, tetapi lebih
banyak ganti kerugian diberikan kepada pihak-pihak yang mengalami kerugian karena
adanya kesalahan proses peradilan pidana baik karena kekeliruan dalam penangkapan dan
penahanan atau tindakan-tindakan hukum lainnya. Kedua pengaturan perundang-
undangan di atas jelas kurang efektif dalam memberikan perlindungan terhadap korban
kejahatan. Pemberian ganti rugi dengan syarat-syarat khusus yang terdapat dalam pidana
bersyarat hanya dapat diberikan apabila terdakwa dikenakan dalam pidana bersyarat
sehingga di luar pidana tersebut tidak memungkinakan adanya pemberian ganti rugi
kepada korban kejahatan. Senada dengan pengaturan dalam KUHAP yang hanya
memberikan hak kepada korban kejahatan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian
melalui penggabungan perkara. Mekanisme seperti demikian kurang memberikan
perlindungan kepada korban kejahatan karena korban harus berupaya sendiri untuk
mendapatkan hak-haknya sebagai korban kejahatan. Berarti bahwa, tanpa adanya
pengajuan gugatan, maka sudah tentu korban tidak akan memperoleh ganti rugi atas
penderitaan yang dialaminya.
Terdapat dua kendala struktural yang paling utama yang mengakibatkan tidak
berfungsinya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, yaitu masih dominannya
pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang mempertentangkan antara
pembangunan dan lingkungan dan belum sepenuhnya tercipta good governance yang
memustahilkan penegakan hukum lingkungan yang efektif. Dilihat dari fase penegakan
hukum, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu : faktor hukumnya sendiri,
yakni pihak-pihak yang akan dibatasi pada undang-undangnya saja, faktor penegak
hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, faktor sarana
atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, yakni lingkungan
dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan faktor kebudayaan, yakni sebagai
hasil kerja, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Dalam permasalahan lingkungan hidup yang salah satunya misalnya adalah pencemaran,
diperlukan upaya penegakan hukum lingkungan khususnya penegakan hukum pidana
yang secara terpadu dari semua pihak pihak aparat penegak hukum maupun masyarakat.
Penegak hukum haruslah konsisten dalam menindak para pengusaha yang terbukti
melakukan tindak pidana lingkungan hidup yang mengakibatkan kerusakan ataupun
pencemaran lingkungan. Hal yang prinsip dalam penegakan hukum lingkungan ini adalah
harus adanya persamaan prinsip dan persepsi tentang lingkungan hidup, terutama dalam
tindak pidana mengenai pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yanag esensinya
adalah sama-sama berpandangan bahwa penegakan hukum tersebut dilakukan untuk
menekan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang akan menghambat jalannya
pembangunan dan akan merugikan masyarakat. Untuk meningkatkan pelaksanaan sistem
peradilan pidana terpadu, diperlukan profesionalisme dan kerjasama yang baik antara
polisi, jaksa dan pengadilan serta masyarakat.
Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyebutkan bahwa “barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melaukan
perbuatan yang mengaibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak lima
ratus juta rupiah”. Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa kejahatan
lingkungan tidak menganut sistem delik aduan yang berati bahwa dala perkara pidana
lingkungan, laporan tentang dugaan adanya pencemaran dan perusakan lingkungan dapat
dilakukan oleh penderita atau anggota masyarakat atau aparat penegak hukum dan
laporan tersebut dapat langsung diteruskan ke Pengadilan Negeri sebagaimana telah
ditentukan dan diatur di dalam KUHAP. Pengaturan hukum pidana mengenai korban
kejahatan secara mendasar dikenal dua model yaitu :
Sonjaya, T., Heryanto, B., Mulyana, A., & Aridhayandi, M.R. (2020). Kebijakan Hukum Pidana
dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan berdasarkan Prinsip Pembangunan.
Lambung Mangkurat Law Journal, 5(2), 203-214, hlm. 204.
Muhammad Amin Hamid. (2016). Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup dalam
Menanggulangi Kerugian Negara. Legal Pluralism, 6(1), hlm. 88-89.
Havinanda, F. (2020). Politik Hukum dalam Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Lingkungan
dan Dampaknya terhadap Penegakan Hukum Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Jurnal
Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat, 1(1), 106-
121, hlm. 109.
Ratih Fauziah W. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Studi Kasus PT. Rayon Utama
Makmur (RUM) di Kabupaten Sukoharjo). 2018
Absori, “Penegakan Hukum Lingkungan Pada Era Reformasi”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol.8, No.2
(September,2005) hal. 225.
https://www.profauna.net/id/content/uu-no-32-tahun-2009-tentang-perlindungan-dan-
pengelolaan-lingkungan-hidup diakses pada Sabtu, 4 Juni 2022