Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

TATA GUNA LAHAN


Pengembangan dan Proses Pengembangan Lahan

Disusun Oleh:

Muh. Piqri P. Pamuja


D0323538
Perencanaan Wilayah dan Kota

Fakultas Teknik
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
Universitas Sulawesi Barat
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan kemanfaatan, mutu dan penggunaan suatu bidang lahan untuk kepentingan

penempatan suatu kegiatan fungsional sehingga dapat memenuhi kebutuhan kehidupan

dan kegiatan kegiatan usaha secara optimal optimal dari segi ekonomi ekonomi, sosial,

fisik, dan aspek legalnya

Berbagai tantangan yang dihadapi wilayah perdesaan di negara berkembang saat ini

antara lain adalah mewujudkan ketahanan pangan, mitigasi dan adaptasi terhadap

perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati sementara pada saat yang sama juga

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melindungì orangorang dari bencana alam,

mencegah, dan menyelesaikan konflik lahan serta pembangunan lingkungan. Perencanaan

penggunaan lahan merupakan salah satu alat yang dapat membantu, karena berfokus pada

pengalokasian lahan di masa depan dan penggunaan sumberdaya oleh semua pemangku

kepentingan. Semua aktivitas manusia membutuhkan tempat untuk direalisasikan.

Sementara permintaan terhadap lahan meningkat namun ketersediaannya tetap. Oleh

karena itu, lahan menjadi semakin langka. Hasilnya adalah meningkatnya jumlah konflik

lahan dan tingkat kekerasan dari konflik ini. Jika pada tahap awal konsensus tentang

penggunaan lahan dapat disepakati oleh semua pihak yang bertikai dan dìsetujui oleh

lembaga resmi yang bertanggung jawab dan mengikat secara hukum, maka konflik dapat

dihindari atau diselesaikan.

Pada saat ini, penìngkatan pertumbuhan penduduk yang terus-menerus, perubahan

iklim, erosi dan penggurunan serta peningkatan urbanisasi memberikan tekanan pada

lahan yang subur dan sumberdaya alam lainnya. Pada saat yang sama persaingan untuk

mendapatkan daerah pertanian yang terbatas ketersediaannya semakin meningkat, karena

peningkatan permintaan pangan, pakan ternak, bahan baku dan biomassa untuk keperluan
industri serta energi di pasar nasional dan internasional. Meningkatnya penjualan lahan

dan sewa lahan di negara-negara berkembang menggambarkan bahwa persaingan global

untuk sumberdaya lahan yang langka telah rnemperoleh dimensi baru. Negaranegara maju

dan investor swasta dari negara maju dan negara industri mulai menguasai lahan pertanian

yang luas (umumnya dengan akses ke sumberdaya air yang cukup) di negara-negara

berkembang melalui pembelian atau sewa jangka panjang untuk areal budidaya tanaman

pangan, tanaman industri, agrofuel atau tanaman perkebunan untuk diekspor. Secara

umum, investasi besar dalam industri, pertambangan, agro-industri, perumahan dan lain-

lain demi meningkatkan GDPs menciptakan tekanan ke penggunaan lahan pedesaan

sehingga mengarah ke konversi penggunaan lahan tradisional yang tidak dapat balik

(irreversible).

B. Rumusan masalah

a. Bagaimana Pengembangan lahan ?

b. Bagaimana Proses Pengembangan Lahan

C. Tujuan

a. Untuk Mengetahui Pengembangan Lahan

b. Untuk Mengetahui Proses Pengembangan Lahan

D. Manfaat

Dengan adanya makalah ini dibuat semoga bermanfaat bagi fakultas tehnik dan bagi

teman-teman yang lainnya


BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengembangan Lahan

Lahan adalah keseluruhan lingkungan yang menyediakan kesempatan bagi manusia

menjalani kehidupannya (Rahayu, 2007). Lahan adalah tanah yang sudah ada

peruntukkannnya dan umumnya ada pemiliknya, baik perorangan atau lembaga (Budiono,

2008). Berdasarkan pada dua pengertian tersebut, maka dapat diartikan bahwa lahan

merupakan bagian dari ruang merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia sebagai

ruang maupun sumber daya, karena sebagian besar kehidupan manusia tergantung pada

lahan yang dapat dipakai sebagai sumber penghidupan, yaitu dengan mencari nafkah

melalui usaha tertentu selain sebagai pemukiman.

Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari pengaruh aktivitas manusia terhadap

sebagian fisik permukaan bumi. Faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan

adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk, sedangakan luas lahannya tetap.

Pertambahan penduduk dan perkembangan tuntutan hidup akan menyebabkan kebutuhan

ruang sebagai wadah semakin meningkat. Perubahan fungsi lahan ini merupakan suatu

transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan/fungsi kepada

penggunanaan lainnya dikarenakan adanya faktor internal maupun eksternal. Menurut

Bintarto (1983), mengungkapkan bahwa telah terjadi gerakan penduduk yang terbalik

yaitu dari kota ke daerah pinggiran kota yang sudah termasuk wilayah desa. Daerah

pinggiran kota sebagai daerah yang memiiliki ruang relatif masih luas memiliki daya tarik

bagi penduduk dalam memperoleh tempat tinggal.

Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan

aktivitasnya, semakin meningkatnya jumlah penduduk di suatu tempat akan berdampak

pada makin meningkatnya perubahan penggunaan lahan. Selain itu, dengan adanya
pertumbuhan dan aktivitas penduduk yang tinggi akan mengalami perubahan penggunaan

lahan yang cepat pula, sehingga diperlukan perencanaan tataguna lahan yang sesuai

dengan peruntukan wilayah tersebut. 1 2 Perencanaan tataguna lahan pada hakekatnya

adalah pemanfaatan lahan yang ditujukan untuk suatu peruntukan tertentu, permasalahan

yang mungkin timbul dalam menetapkan peruntukan suatu lahan adalah faktor kesesuaian

lahannya.

Perubahan penggunaan lahan tersebut salah satunya terjadi karena adanya pertumbuhan

penduduk. Pertambahan penduduk baik yang berasal dari penghuni itu sendiri maupun

arus penduduk yang masuk dari luar kota mengakibatkan bertambahnya perumahan-

perumahan yang berarti berkurangnya lahan kosong di dalam kota. Semakin anak kota

menjadi besar semakin banyak pula diperlukan gedung-gedung sekolah, toko, warung

makan dan restaurant bertambah terus sehingga semakin mempercepat habisnya lahan

kosong di dalam kota.

Perencanaan penggunaan lahan telah terbukti dapat membantu menemukan

keseimbangan antara kepentingan semua pemangku kepentingan. Beberapa contoh

penggunaan lahan yang menyebabkan persaingan dan konflik antara lain adalah: 1.

Penggunaan lahan pertanian dibandingkan dengan industri, penggunaan komersial dan

perumahan; 2. Perlindungan lingkungan terhadap produksi pertanian; 3. Pertambangan

dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya; 4. Budidaya tanaman agro fuel terhadap

produksi pangan; 5. Produksi bahan baku untuk produksi industri dan pembangunan

ekonomi misalnya perkebunan karet sebagai prasyarat untuk industri otomotif versus

perlindungan alam dan keberkelanjutan ekologis (misalnya pencegahan deforestasi untuk

mengurangi emisi REDD); 6. Intensifikasi pertanian tanaman pangan untuk ekspor

dibandingkan pertanian subsisten dan penggunaan lahan yang luas untuk menjamin

keamanan pangan (sering menentang hak atas lahan secara formal yang ditentukan oleh
negara dan informal lokal melegitimasi hak ulayat termasuk akses terhadap air, hutan dan

sumberdaya lainnya); 7. Perluasan daerah pemukiman, pertanian dan infrastruktur di

daerah beresiko terhadap pencegahan bencana (konstruksi baru sering meningkatkan

resiko, misalnya dengan penimbunan yang memblokir daerah aliran air atau daerah banjir);

8. Persaingan antara pemukim lama dan pendatang baru yang harus meninggalkan daerah

asalnya akibat kerusuhan, perubahan iklim atau bencana alam.

Perencanaan pembangunan suatu bangsa pada umumnya membutuhkan data statistik

yang cukup memadai tentang berbagai sendi kehidupan, mencakup segala aspek penting

dari sumberdaya alam dan kehidupan sosial ekonominya, sehingga dapat membantu dalam

pengambilan keputusan, baik oleh pemerintah maupun perusahaan perorangan. Hal ini

juga berlaku dalam kaitannya dengan lahan. Sejak Perang Dunia II, data lahan telah

dianggap sebagai data penting dalam perencanaan kota, perencanaan jalan raya,

perencanaan jaringan transportasi dan perencanaan pengembangan wilayah pada

umumnya. Setiap rencana kota dan wilayah yang menyeluruh mengikutsertakan data

tentang penggunaan lahan sekarang dan proyeksi penggunaan lahan pada masa

mendatang.

Manfaat data atau peta penggunaan lahan tergantung dari lembaga atau badan yang

memesan dan menggunakannya. Pada umumnya badan-badan pemerintah dan perusahaan

perkebunanlah yang paling umum melakukan survei penggunaan lahan dan yang

menggunakannya. Menurut McIntyre (1972) pemerintah dalam menaruh perhatian pada

penggunaan lahan, mempunyai dua tujuan utama. Pertama, untuk dapat memperoleh

penilaian terinci sumberdaya lahan sebagai dasar pengambilan keputusan-keputusan atau

kebijakan yang menyangkut sumberdaya tersebut. Kedua, untuk presentasi ringkasan

keterangan tentang sumberdaya lahan wilayah bagi keperluan pendidikan secara luas,

misalnya dalam bentuk atlas atau peta nasional atau provinsi dalam skala kecil.
Penggunaan lahan perkotaan dapat dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu:

penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian (Sitorus 2004a).

Penggunaan lahan non-pertanian dapat dibedakan kedalam penggunaan lahan kota atau

desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya. Penggunaan lahan

pertanian dibedakan dalam garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan

atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di

atas lahan tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, padang rumput,

hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya (Arsyad 2010).

Barlowe (1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan

lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi

(kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti

keadaan biologi, tanah, air, iklim, tumbuh tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor

pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor

institusi (kelembagaan) dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik dan keadaan

sosial ekonomi. Selain itu, menurut Barlowe (1986) pertambahan jumlah penduduk

menuntut pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh

sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya

pertambahan penduduk, demikian juga permintaan terhadap hasil non-pertanian.

Pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan material, cenderung menyebabkan

persaingan dan konflik diantara pengguna lahan. Adanya persaingan tidak jarang

menimbulkan pelanggaran batas-batas penggunaan lahan, khususnya lahan pertanian yang

digunakan untuk usaha non-pertanian. Pertambahan penduduk yang pesat dan peningkatan

kesejahteraan penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman,

pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan

lahan yang sering kurang mengikuti kaidah konservasi alam (Arifin 2002). Perubahan atau
perkembangan pola penggunaan lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor

alami dan faktor manusia. Faktor alami antara lain: tanah, air, iklim, pola musiman,

landform, erosi dan kemiringan lereng. Faktor manusia berpengaruh lebih dominan

dibandingkan faktor alami dan dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi dan pengaruh

dari luar, seperti kebijakan nasional dan internasional.

B. Proses Pengembangan lahan

Perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan

(status), potensi, dan pembatas-pembatas dari suatu daerah tertentu dan sumberdayanya,

yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh perhatian

terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan-kebutuhan mereka, keinginan dan

aspirasinya untuk masa mendatang (Soil Conservation Society of America 1982, hal. 88–

89). Perencanaan penggunaan lahan akan menghasilkan rencana penggunaan lahan.

Rencana penggunaan lahan (landuse plan) merupakan informasi komposit yang

terkoordinasi, ide, kebijakan (policy), program, dan aktivitas yang dihubungkan dengan

penggunaan lahan sekarang dan potensi penggunaan lahan dalam suatu daerah, dan sering

merupakan unsur penentu/ kunci dalam rencana keseluruhan (comprehensive plan) daerah

yang sedang dikembangkan untuk penggunaan bagi keperluan umum dan keperluan

perseorangan seperti perumahan, industri, perdagangan, rekreasi dan aktivitas pertanian.

Pengertian yang sifatnya lebih praktis operasional dikemukakan oleh Sandy (1984b)

yang mengatakan bahwa perencanaan penggunaan lahan (landuse planning) merupakan

usaha untuk menata letak proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakarsai oleh

pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan

daftar skala prioritas sedemikian rupa sehingga disatu pihak dapat tercapai tertib

penggunaan lahan, sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang

berlaku. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa cakupan perencanaan penggunaan
lahan sangatlah luas. Akan tetapi dalam uraian berikut ini ruang lingkupnya akan lebih

dibatasi dan penekanan dilakukan pada sebagian saja dari berbagai penggunaan lahan bagi

pembangunan pertanian secara luas yang didasarkan atas penilaian faktor-faktor fisik

lingkungan. Hal ini bukanlah berarti bahwa faktor sosial, ekonomi dan politik tidak

penting, tetapi semata-mata didasarkan atas konteks dan keperluan penulisan buku ini.

Perencanaan penggunaan lahan dalam konteks kerjasama pembangunan merupakan

proses yang berulang-ulang, didasarkan pada dialog antara semua pemangku kepentingan

yang bertujuan untuk menentukan penggunaan lahan yang berkelanjutan di daerah

pedesaan. Hal ini juga menyiratkan inisiasi dan pemantauan langkah-langkah untuk

mewujudkan pemanfaatan lahan yang disepakati (GTZ 1995).

Tujuan Perencanaan penggunaan lahan adalah menciptakan prakondisi yang diperlukan

untuk mencapai jenis penggunaan lahan yang ramah lingkungari, berkeadilan sosial seperti

yang diinginkan dan ekonomis. Hal demikian mengaktifkan proses sosial pengambilan

keputusan dan membangun konsensus mengenai pemanfaatan dan perlindungan pribadi,

komunal atau area publik (GTZ 1995).

Definisi oleh FAO dan UNEP yang telah dipublikasikan pada tahun 1999 menunjukkan

konsensus saat ini di antara organisasi-organisasi internasional dalam hal perencanaan

penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan adalah prosedur yang sistematis dan

berulang-ulang yang dilakukan dalam rangka menciptakan lingkungan yang

memungkinkan untuk pembangunan berkelanjutan dari sumberdaya lahan untuk

memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dalam hal ini menilai kondisi fisik, sosio-

ekonomi, kelembagaan dan hukum dan kendala sehubungan dengan penggunaan optimal

dan berkelanjutan dari sumberdaya lahan dan memberdayakan masyarakat untuk mambuat

keputusan tentang bagaimana mengalokasikan sumberdaya lahan tersebut (FAO/ UNEP

1999).
Perbedaan diantaranya kedua definisi terletak lebih pada fokus partisipasi di satu sisi

oleh GTZ lebih menekankan pada penilaian sistematis disisi lain oleh FAO dan UNEP.

Berdasarkan definisi dan tujuan yang disajikan di atas, perencanaan penggunaan lahan

perlu didasarkan pada prinsip-prinsip berikut (GTZ 1995) :

1. Perencanaan penggunaan lahan bertujuan untuk keberlanjutan dan

menyeimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan;

2. Hasil perencanaan penggunaan lahan dalam rencana penggunaan lahan yang

mengikat secara hukum dan atau mengikat secara hukum aturan penggunaan lahan.

Pengakuan formal dari rencana penggunaan lahan atau aturan penggunaan lahan

sangat penting untuk pelaksanaannya. Jika tidak, pemain kunci seperti

Kementerian sektor atau investor swasta tidak menghormati dan tidak

mempertimbangkannya dalam berbagai kegiatannya.

3. Perencanaan penggunaan lahan diintegrasikan ke dalam lembaga - lembaga negara

yang memiliki mandat resmi untuk perencanaan antar sektor. Hal ini dapat

diwujudkan dengan cara yang berbeda. Perencanaan dapat dimulai dan difasilitasi

oleh badan administratif lokal. Perencanaan juga dapat dilakukan oleh pemimpin

lokal atau tradisional dan kemudian diformalkan melalui penandatanganan oleh

petugas regional/ kabupaten/ kota atau provinsi atau nasional. Petugas dari tingkat

yang lebih tinggi ini perlu terlibat dari sejak tahap awal;

4. Perencanaan penggunaan lahan adalah dialog. Bagian utama dari setiap

perencanaan penggunaan lahan adalah inisialisasi dan proses komunikasi yang

memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk mengekspresikan

kepentingan mereka dan memungkinkan mereka untuk menyetujui penggunaan

lahan di masa depan yang mempertimbangkan semua stakeholders dengan cara

yang adil dan memadai;


5. Perencanaan penggunaan lahan selain aspek hasil rencana juga termasuk semua

proses sehingga, mengharuskan semua kelompok pemangku kepentingan

terwakili: pengguna lokal langsung dan tidak langsung, otoritas publik, investor

swasta, LSM dan Ormas tergantung pada tingkat di mana perencanaan penggunaan

lahan dilakukan. Partisipasi pemangku kepentingan dapat langsung atau tidak

langsung;

6. Perencanaan penggunaan lahan didasarkan pada diferensiasi pemangku

kepentingan dan sensitivitas gender. Untuk mengidentifikasi semua pihak terkait,

analisis gender dibedakan dari semua aktor dan dilakukan di awal;

7. Perencanaan penggunaan lahan mempromosikan keterlibatan masyarakat.

Masyarakat harus secara aktif berpartisipasi dalam perencanaan penggunaan lahan.

Hasil perencanaan dan pelaksanaan langkah-langkah hanya dapat berkelanjutan

apabila rencana yang dibuat merupakan hasil dari perencanaan bersama dengan

masyarakat dan bukan berasal dari perencanaan top down. Oleh karena itu,

perencanaan bukan hanya masalah bagi para ahli, tetapi harus dilakukan bersama-

sama dengan mereka yang terkena dampak atau pengaruh rencana tersebut;

8. Perencanaan penggunaan lahan yang realistis dan berorientasi dengan kondisi

setempat. Isi dari suatu perencanaan penggunaan lahan harus disesuaikan dengan

kondisi setempat. Metode yang digunakan juga harus sesuai dengan aspek teknis,

kapasitas ekonomi dan organìsasi masyarakat setempat serta proses administrasi;

9. Perencanaan penggunaan lahan didasarkan pada kejelasan metodologi untuk

menghindari pengumpulan data yang tidak perlu sehingga menghasilkan tumpukan

data yang tidak berguna;


10. Perencanaan penggunaan lahan dalam hal metodologi dan isi berbeda misalnya

dalam skala, spesifikasi, bentuk partisipasi (langsung dan tidak langsung), dan

teknologi di tingkat desa, tingkat kabupaten/ kota dan provinsi;

11. Perencanaan penggunaan lahan perlu mempertimbangkan pengetahuan lokal (local

wisdom). Masyarakat pedesaan sering memiliki pengetahuan asli kompleks

lingkungan alam mereka. Mereka dapat memberikan kontribusi informasi yang

berharga, karena itu mereka harus dimobilisasi selama perencanaan penggunaan

lahan;

12. Perencanaan penggunaan lahan memperhitungkan strategi yang digunakan secara

tradisional untuk memecahkan masalah dan konflik. Masyarakat perdesaan

tradisional memiliki cara sendiri untuk rnendekati masalah dan menyelesaikan

konflik menyangkut penggunaan lahan. Dalam proses perencanaan penggunaan

lahan, mekanisme tersebut harus diakui,dipahami dan diperhitungkan;

13. Perencanaan penggunaan lahan mengikuti ide subsidiaritas, yaitu semua fungsi

dari perencanaan sampai pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pemantauan

ditugaskan ke tingkat terendah dari pemerintah (desa, kecamatan, kabupaten/kota).

Demikian juga agar pemerintah tanggap terhadap kebutuhan warga dan

memastikan kontrol yang efektif dari bawah dapat berlangsung dengan baik;

14. Perencanaan penggunaan lahan mengintegrasikan aspek bottom-up dengan aspek

top-down (integrasi vertikal). Perencanaan penggunaan lahan perlu untuk

menggabungkan kebutuhan dan kepentingan lokal (desa, kecamatan,

kabupaten/kota) dengan ketentuan yang dibuat pada tingkatan yang lebih tinggi.

Hal ini hanya dapat dicapai secara berkelanjutan apabila para pemangku

kepentingan dari semua tingkatan berpartisipasi dalam proses dan langsung

berbicara dan mendengarkan satu sama lain;


15. Perencanaan penggunaan lahan didasarkan pada kerjasama antar disiplin dan

membutuhkan koordinasi lintas sektor (integrasi horizontal). Fungsi beragam dan

(potensial) menggunakan lahan membuat perlu untuk menerapkan pendekatan

interdisipliner yang melibatkan semua sektor yang memiliki kepentingan di daerah

tersebut. Hal ini biasanya membutuhkan proses yang lebih panjang dalam

membangun institusi dan meningkatkan kerjasama antara kementerian sektor dan

instansi yang berbeda;

16. Perencanaan penggunaan lahan adalah proses menuju peningkatan kapasitas

stakeholders. Metode partisipatif digunakan dalam setiap tahapan perencanaan

penggunaan lahan mempromosikan kemampuan teknis dan organisasi dari semua

peserta. Dengan demikian meningkatkan kapasitas mereka untuk merencanakan

dan bertindak. Dalam jangka menengah hal ini menyebabkan peningkatan

kapasitas kelompok-kelompok lokal atau pemerintahan setempat (seperti

kota/kabupaten dan provinsi) untuk menentukan nasib sendiri;

17. Perencanaan penggunaan lahan membutuhkan transparansi. Jika tidak ada

transparansi dalam pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan di masa

depan, maka hal ini akan beresiko tinggi bahwa ada kemungkinan beberapa orang

akan kehilangan hak-hak mereka dan atau bahwa penggunaan lahan di masa depan

tidak akan berkelanjutan;

18. Perencanaan penggunaan lahan berorientasi pada masa depan (visioner).

Perencanaan penggunaan lahan tidak hanya tentang pemetaan penggunaan lahan

atau tutupan lahan saat ini. Perencanaan penggunaan lahan menentukan bagaimana

lahan akan digunakan dimasa depan. Hal ini ada kemungkinan berbeda dari

pemanfaatan lahan saat ini;


19. Perencanaan penggunaan lahan merupakan proses berulang-ulang (iterasi).

Perencanaan penggunaan lahan lebih dari penyusunan dokumen perencanaan.

Iterasi dilakukan meliputi baik prinsip maupun metode. Perkembangan baru dan

temuan secara khusus diamati dan dimasukkan ke dalam proses perencanaan. Hal

ini dapat menyebabkan revisi keputusan dan pengulangan Iangkah-langkah yang

telah diambil;

20. Perencanaan penggunaan lahan berorientasi pada implementasi. Perencanaan

penggunaan lahan perlu mempertimbangkan bagaimana keputusan dinegosiasikan

dan solusi yang diidentifikasi adalah untuk dilaksanakan, atau tidak berakhir hanya

dengan rencana penggunaan lahan. Pelaksanaan atau implementasi rencana

berperan penting dalam membangun kepercayaan penduduk desa terhadap proses

perencanaan dan terhadap hasil perencanaaan;

21. Perencanaan penggunaan lahan terkait dengan perencanaan keuangan. Hal ini

sangat penting untuk diimplementasi. Perencanaan penggunaan lahan perlu

menyadari alokasi anggaran sektor dan siklus perencanaan keuangan sektor di

berbagai departemen atau kementerian (termasuk jadwal waktu mereka).

22. Perencanaan penggunaan lahan berkaitan dengan ruang dan tempat (orientasi

spasial). Di sebagian besar negara banyak bentuk perencanaan dan cukup banyak

rencana yang ada. Banyak rencana pembangunan, misalnya, menyatakan apa yang

harus dikembangkan (terutama dalam hal infrastruktur), tetapi tidak menunjukkan

di mana akan dilakukan. Perencanaan penggunaan lahan perlu fokus pada apa yang

direncanakan dan dimana atau hubungan spasialnya. Orientasi spasial perencanaan

memastikan distribusi optimum investasi dan penggunaan yang paling memadai

dari setiap tempat dan menghindari terjadinya konflik penggunaan lahan.


Fungsi dan Ruang Lingkup

Fungsi utama dari perencanaan penggunaan lahan adalah untuk memberikan petunjuk

atau pengarahan dalam proses pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan sehingga

sumberdaya lahan dan lingkungan tersebut ditempatkan pada penggunaan yang paling

menguntungkan/efisien bagi manusia, dan dalam waktu yang bersamaan juga

mengkonservasikannya untuk penggunaan pada masa mendatang (Dent 1978; Jones dan

Davies 1978). Untuk dapat mengerjakan hal ini, perencana harus dalam kedudukan

membandingkan beberapa macam penggunaan lahan yang berbeda untuk masing-masing tipe

lahan dalam kaitan dengan pengaruhnya pada lahan dan keuntungan-keuntungan kepada

pemakai lahan sebagai hasil dari implementasinya. Survei dan evaluasi lahan yang menyeluruh

diperlukan untuk memberikan informasi ini sehingga sekaligus merupakan hal utama yang

diperlukan dalam proses perencanaan penggunaan lahan.

Perencanaan penggunaan lahan (landuse planning) merupakan hal yang penting dalam

pemanfaatan sumberdaya lahan masa kini, dan terutama pada masa yang akan datang.

Pertambahan penduduk disertai dengan perkembangan kota dan desa menyebabkan seluruh

penggunaan lahan dan tanah menjadi lebih bersaing secara ketat. Lahan pertanian yang subur

akan mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar dari pertumbuhan perkotaan dan

perluasan fasilitas atau sarana-prasarana untuk keperluan umum seperti perumahan, jalan raya,

pasar, pertokoan dan lapangan terbang.

Perencanaan itu sendiri dalam arti luas adalah merupakan proses yang dilakukan secara

sadar dan sistematis dari sejumlah kegiatan dalam memilih dan mengembangkan tindakan yang

paling baik untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kaitan dengan pengertian ini Katz dalam

Tjokroamidjojo (1979) mengemukakan lima alasan perlunya melakukan perencanaan yaitu:

(1) Dengan adanya perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan kegiatan, adanya

pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada pencapaian tujuan


pembangunan; (2) Dengan perencanaan maka dilakukan suatu peramalan (forecasting)

terhadap berbagai hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui. Peramalan dilakukan

mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek perkembangan, tetapi juga mengenai

hambatan-hambatan dan resiko-resiko yang mungkin dihadapi. Perencanaan mengusahakan

supaya ketidakpastian dapat dibatasi sesedikit mungkin; (3) Perencanaan memberikan

kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang cara yang terbaik atau kesempatan untuk

memilih kombinasi cara yang terbaik; (4) Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala

prioritas. Memilih urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan

usahanya; dan (5) Dengan adanya rencana maka akan ada suatu alat pengukur atau patokan

dalam melakukan pengawasan dan evaluasi.

Perencanaan adakalanya dilakukan berdasarkan alasan supaya pelaksanaan kegiatan

tertentu dapat lebih beraturan serta supaya pemanfaatan rencana yang disusun (misalnya

rencana penggunaan lahan, tata ruang, dan sebagainya) dapat berfungsi sepenuhnya dalam

upaya untuk mencapai keseimbangan lingkungan atau ekologis.

Secara garis besar dikenal lima urutan tahapan yang umum dilakukan dalam setiap

perencanaan: (1) pengumpulan data atau fakta yang diperlukan; (2) penganalisisan fakta; (3)

penyusunan keputusan; (4) pelaksanaan keputusan; (5) penilaian hasil. Kelima tahapan umum

ini juga merupakan tahapan utama dalam kegiatan perencanaan penggunaan lahan.

Esensi/intisari dari suatu perencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan

penggunaan lahan lingkungan hidup manusia mulai dari skala besar (lingkungan pekarangan)

sampai dengan skala kecil (wilayah nasional dan dunia). Tujuannya adalah penggunaan

sumberdaya lahan secara intensif dan efisien secara berkesinambungan. Inti dasar landasannya

adalah kaidah-kaidah fisik lahan dan kaidah-kaidah perilaku (behavioural) yang menerangkan

pola kegiatan manusia beserta motivasinya (sosial-ekonomi-budaya-politik).


Dalam kaitan dengan keperluan yang lebih operasional, Sandy (1984b) mengemukakan

tiga tujuan perencanaan penggunaan lahan: (1) mencegah penggunaan lahan yang salah tempat,

atau ingin menuju ke penggunaan lahan yang optimal; (2) mencegah adanya salah urus,

sehingga lahan rusak, atau menuju ke penggunaan lahan yang berkesinambungan; dan (3)

mencegah adanya tuna kendali atau menuju ke arah penggunaan lahan yang senantiasa

diserasikan oleh adanya kendali.

Dalam upaya untuk menyederhanakan hubungan yang kompleks yang terlibat dalam

pengembangan penggunaan lahan melalui perencanaan, suatu model yang sifatnya menyeluruh

(comprehensive model) telah diperkenalkan oleh Vink (1975). Model ini meliputi berbagai

geometri (sub-model) yaitu merupakan sub-sistem yang berbeda dari seluruh sistem

pengembangan penggunaan lahan. Hubungan secara skematis dari lima geometri (sub-model)

dalam penggunaan lahan yang dikemukakan Vink tersebut yaitu Geometri sumberdaya lahan,

Geometri kebutuhan manusia, Geometri degradasi lahan, Geometri Sumberdaya bukan-lahan,

dan Geometri Penggunaan Lahan seperti tertera pada Gambar 10.

Geometri sumberdaya lahan meliputi seluruh komponen sumberdaya lahan beserta

hubungan-hubungannya (interrelation-ships) dan perubahanperubahannya yang disebabkan

aktivitas manusia.

Geometri kebutuhan manusia meliputi seluruh kebutuhan manusia yang diharapkan

diperoleh dari lahan dalam sistem penggunaan lahan pedesaan. Kebutuhan manusia dapat

digolongkan dalam berbagai tingkatan menurut prioritasnya. Wiener (1972) mengidentifikasi

empat tingkat kebutuhan manusia sebagai berikut:

Tingkat 1: Metabolisme tubuh dan fikiran dari perorangan

Tingkat 2: Habitat fisik perorangan dan keluarga terdekatnya, tempat tinggal.

Tingkat 3: Habitat komunal: merupakan pelayanan penting yang diberikan di dalam kerangka

masyarakat (community framework)


Tingkat 4: Lingkungan yang lebih luas, seperti umumnya dipertimbangkan pada negara-negara

maju.

Apabila tingkat 1, 2, dan 3 dari kebutuhan manusia tersebut yang akan dipenuhi, maka

penggunaan lahan lebih merupakan aktivitas ekonomik untuk masyarakat secara keseluruhan

dengan tujuan perencanaan pengembangan (development planning) diarahkan untuk mencapai

produksi yang lebih tinggi. Apabila tingkat 1 dan 2 yang dominan, maka penekanannya adalah

pada produksi kotor (gross production) yang lebih tinggi dari makanan dan kebutuhan pokok

lainnya seperti pakaian, perumahan, bahan bakar, dan sebagainya. Dalam kasus yang demikian

geometri degradasi lahan, tergantung dari sifat atau keadaan sumberdaya lahan dan cara

menggunakannya, hanya dipertimbangkan apabila kelanggengan produksi untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan tersebut terancam.

Hubungan antara Lima Geometri dalam Penggunaan Lahan (Vink 1975)

Geometri sumberdaya bukan-lahan meliputi sumberdaya sosial, kelembagaan dan

finansial yang tersedia yang diperlukan untuk penggunaan lahan dan untuk pengembangannya.

Geometri penggunaan lahan ditempatkan ditengah atau di pusat tekanan yang

disebabkan keempat geometri lainnya. Posisi atau keadaan sekarang juga merupakan hasil
sebagai refleksi dari keadaan terdahulu (sebelumnya) yang dihasilkan dari hubungan-hubungan

terdahulu diantara berbagai geometri tersebut.

Berbagai pertimbangan dalam perencanaan penggunaan lahan umumnya berbeda-beda

menurut keadaan suatu daerah atau Wilayah/ Negara dan tujuan perencanaan itu sendiri. Di

Inggris misalnya, dikenal empat prinsip pokok dalam perencanaan penggunaan lahan (Willats

1951) :

Pertama, menghindari pengrusakan lahan-lahan pertanian yang baik. Pemerintah

memutuskan agar lahan-lahan yang baik tidak digunakan untuk kegiatan bukan-pertanian,

apabila masih tersedia lahan-lahan yang kurang baik. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari

perencanaan penggunaan lahan adalah untuk menjamin agar lahan-lahan pertanian sejauh

mungkin dapat dipelihara dan dilindungi. Hal ini bermula dari banyaknya areal lahan pertanian

yang baik yang dialihgunakan untuk keperluan bukan-pertanian, misalnya dialihgunakan untuk

keperluan bukan-pertanian seperti pembangunan lapangan terbang internasional di Heathrow,

London.

Kedua, pembangunan fisik kota (town) harus cukup dikontrol. Dalam hal ini perencana

dibutuhkan untuk mempersiapkan garis besar rencana untuk dapat memenuhi kebutuhan dari

daerahnya untuk tidak lebih jauh dari masa mendatang yang dapat diketahui lebih dahulu

(foreseeable future). Dengan suatu tingkat kerapatan penduduk baku tertentu, dapat dengan

jelas diketahui bahwa kunci terhadap kebutuhan lahan perkotaan tergantung dari jumlah

penduduk masa mendatang. Dalam memilih areal untuk tujuan pengembangan, perencana

dapat dibantu dengan konsep pagar kota (urban fence) yang dikeluarkan oleh Bagian

Perencanaan Departemen Pertanian. Pagar (fence) merupakan areal di sekitar kota termasuk

areal-areal lahan yang belum diusahakan atau sangat sedikit digunakan untuk kegiatan

pertanian dan oleh Departemen Pertanian telah dinyatakan tidak diminati untuk pertanian

kecuali sebagai kebun.


Ketiga, ukuran permukiman (sizes of settlements) harus mempertimbangkan berbagai

faktor, termasuk kebutuhan untuk menghindari menyatunya inti kota (urban nuclei) dan untuk

memelihara/melindungi sabuk keliling (peripheral belts) daerah-daerah pertanian terbuka. Hal

ini seharusnya memberikan sumbangan terhadap terpeliharanya kontak atau hubungan antara

kota dan pedusunan / pedesaan serta membantu menghindari jarak perjalanan harian penduduk

yang terlalu jauh ke- dan dari tempat pekerjaan. Dalam menentukan ukuran permukiman,

diinginkan agar disatu pihak dihindari ukuran yang terlalu besar yang cenderung akan

mengurangi rasa kesatuan dan kesadaran bermasyarakat penduduk dan dipihak lain untuk

menjamin persyaratan keseimbangan yang baik antara pekerjaan dan pelayanan (service).

Keempat, adanya kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi untuk suatu pedusunan

(country town) terdiri dari pusat-pusat perdagangan, sosial, budaya dan fasilitas pendidikan

yang cukup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam konsep pengembangan

wilayah pedesaan menggunakan konsep Agropolitan (Friedmann dan Douglass 1978).

Perencanaan Penggunaan Lahan dan Pembangunan

Ada dua pendekatan untuk perencanaan penggunaan lahan yang diketahui. Pendekatan

yang pertama dan secara luas diterapkan adalah pendekatan konvensional. Hal ini juga disebut

sebagai cetak biru atau pendekatan institusional. Proses perencanaan mengejar prosedur

sistematìs klasik, survei teknis atas dasar rencana yang dirancang secara terpusat oleh lembaga-

lembaga pemerintah dan dikerjakan secara rinci oleh staf professional untuk memenuhi tujuan

yang diputuskan terpusat. Pendekatan yang dilakukan cenderung kaku, top down dan

pendekatan yang dilakukan oleh pakar. Orang-orang sebagai pengguna dan pengelola lahan

tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi dan menyampaikan pendapat mereka. Mereka hanya

dijadikan responden dalam survei sosial ekonomi singkat melalui pengisian kuesioner dan

tidak memainkan peran besar dalam proses perencanaan penggunaan lahan. Kurangnya
konsultasi telah menyebabkan pengucilan masyarakat lokal dan pengetahuan mereka tentang

perencanaan yang akan dilakukan. Hal ini menyebabkan perencanaan yang dihasilkan tidak

sesuai dengan kondisi masyarakat lokal sehingga rencana yang dibuat sering tidak dapat

dilaksanakan.

Pengakuan kelemahan dan pendekatan top-down konvensional telah menyebabkan

pengembangan pendekatan kedua yaitu perencanaan penggunaan lahan partisipatif sebagai

pendekatan alternatif. Perencanaan penggunaan lahan partisipatif adalah berpusat pada orang,

pendekatan bottom-up yang melibatkan stakeholders dan mengakui perbedaan yang ada dari

satu tempat ke tempat lain sehubungan dengan kondisi sosial budaya, ekonomi, teknologi dan

kondisi lingkungan.

Tipe Perencanaan Penggunaan Lahan

Perencanan penggunaan lahan bersifat fleksibel dan adaptif dalam arti bahwa metode yang

digunakan dapat dimodifikasi agar sesuai dengan keadaan tertentu. Hal ini berarti bahwa tidak ada

pendekatan blueprint yang mendefinisikan langkahIangkah, prosedur dan alat-alat yang diterapkan.

Perencanaan penggunaan lahan perlu dirancang sesuai dengan kebutuhan, tuntutan, kapasitas serta

aturan dan struktur kelembagaan setempat dan mengikuti prinsip-prinsip seperti yang dikemukakan

terdahulu. Perencanaan penggunaan lahan harus bisa mengambil bentuk yang berbeda. Hal ini misalnya

dengan menghasilkan rencana penggunaan lahan yang sangat rinci, dalam perjanjian lokal tentang hak

penggunaan lahan (konvensi lokal) atau sketsa sederhana yang mendokumentasikan beberapa

fiturspasial dan rencana pembangunan daerah. Ada situasi di mana setìdaknya dimasukkan beberapa

aspek spasial ke dalam pendekatan perencanaan pembangunan yang merupakan langkah besar ke

depan. Bentuk-bentuk utama dari perencanaan penggunaan lahan diuraikan berikut ini.

lntegrasi Partisipatif Perencanaan Penggunaan Lahan

Integrasi partisipatif perencanaan penggunaan lahan secara umum bertujuan untuk

memperkenalkan atau meningkatkan pendekatan perencanaan tata ruang lengkap pada tingkat
lokal. Bekerjasama dengan lembaga yang ada, seluruh pendekatan darí persiapan, perencanaan

dan evaluasi dirancang, diuji, terlembaga dan dilakukan secara partisipatif.

Pengintegrasian Penataan Ruang dalam Perencanaan Pembangunan yang ada

Ada situasi di mana lembaga-lembaga lokal tidak memiliki kapasitas untuk

memperkenalkan perencanaan penggunaan lahan yang kompleks. Dalam hal ini, alternatif

adalah hanya mencakup beberapa aspek spasial ke dalam kegiatan perencanaan pembangunan.

Jika selama ini perwakilan lokal hanya menyiapkan daftar kebutuhan bagi pemerintah dan

lembaga donor (kalau ada), pada saat ini mereka bisa memetakan sesuai dengan keinginan

mereka benar-benar ingin perkembangan seperti ini (terutama infrastruktur). Jika hal ini

dilakukan secara partisipatif dan melibatkan diskusi pada infrastruktur yang sudah ada, dan

yang akan dibangun, hal ini merupakan peningkatan yang signifikan dalam proses

perencanaan. Sebagai contoh adalah perencanaan tata ruang dengan mempertimbangkan

tempat-tempat penting baru-baru ini diperkenalkan dalam perencanaan pembangunan komunal

di Merauke, Papua (Wattimena 2013)

Integrasi Perencanaan Tata Ruang dalam Perencanaan Pembangunan di Mali.

The Programme d’Appui aux collectivités Territoriales (PACT) di Mali mendukung

proses desentralisasi terhadap perubahan fungsi kualifikasi kota dan perdesaan oleh perwakilan

lembaga lokal dan masyarakat sipil. Program ini membantu kota yang dipilih untuk rnembuat

sebuah sistem perencanaan pembangunan sosio-ekonorni lokal yang transparan dan partisipatíf

sesuai dengan persyaratan nasional. Sejauh ini, aspek spasial telah ditinggalkan dalam

perencanaan pembangunan di Mali. Baru-baru ini, PACT mulai memperkenalkan dimensi

spasial dalam perencanaan pembangunan sosio-ekonomi lokal. Beberapa peta tematik kota

disusun menunjukkan lokasi infrastruktur teknis dan sosial di kota. Berdasarkan peta ini, satu

peta kota sangat sederhana disiapkan menunjukkan semua desa disimbolkan dengan salib

sederhana dan disertai dengan simbolsimbol yang mewakili infrastruktur yang ada dalam kota
berdasarkan citra satelit yang tersedia dalam bentuk digital. Dalam kasus lain perencanaan

disiapkan dengan tangan berikut sketsa peta. Peta ini sekarang digunakan dalam proses

perencanaan selama diskusi tentang investasi yang diperlukan.

Perencanaan Penggunaan Lahan Dalam Kerjasama Pembangunan

Dalam konteks kerjasama pembangunan, perencanaan penggunaan lahan biasanya

terhubung dengan prinsip-prinsip kerjasama pembangunan. Hal ini dapat digambarkan melalui

prinsip-prinsip yang tercantum dalam perjanjian kerjasama.

Kepemilikan dalam konteks perencanaan penggunaan lahan mengacu pada fakta

bahwa kecuali dari tingkat pertanian individu, perencanaan teritorial selalu merupakan tugas

negara yang berdaulat . Hal ini harus mengikuti aturan dan peraturan negara pada tingkat

administratif yang berbeda. Selain itu hal yang juga penting adalah melibatkan para pemangku

kepentingan wilayah (penduduk pedesaan,perusahaan swasta, LSM dll). Perencanaan

penggunaan lahan bukan hanya tugas para ahli atas nama pemerintah tetapi merupakan hasil

dari negosiasi antara berbagai pemangku kepentingan yang berbeda.

Keselarasan dalam konteks perencanaan penggunaan lahan menandakan bahwa

lembaga donor (penyandang dana) tidak akan menghasilkan rencana penggunaan lahan untuk

mereka sendiri, tetapi harus selalu selaras atau sejalan dengan sistem perencanaan nasional.

Harmonisasi dalam konteks perencanaan penggunaan lahan berlaku untuk fakta bahwa

penggunaan lahan yang berbeda dan rencana yang didanai oleh lembaga donor yang berbeda

harus diselaraskan secara harmonis dalam perencanaan penggunaan lahan.

Mengelola hasil dalam konteks perencanaan penggunaan lahan menandakan bahwa

rencana harus selalu berorientasi pada implementasi. Hal ini berarti tidak ada gunanya

menghasilkan dokumen perencanaan yang tidak akan diterapkan setelah itu. Mengelola hasil

juga berarti mempertimbangkan manfaat jangka pendek dan jangka panjang perencanaan

penggunaan lahan.
BAB III

A. Kesimpulan

Dibeberapa wilayah dapat terjadi negara mempertimbangkan lahan sebagai lahan

negara dan mengalokasikannya dalam bentuk sewa atau konsesi kepada investor swasta,

sementara masyarakat setempat menganggap lahan yang sama sebagai hutan masyarakat

yang semua penduduk dapat menggunakannya untuk mengumpulkan kayu bakar, tanaman

obat-obatan, produk non-kayu dan lain-lain (semua yang diperlukan untuk kelangsungan

hidup mereka). Sistem kepemilikan menurut hukum adat dianggap tidak resmi, hanya

karena tidak mencerminkan undang-undang yang formal sehingga sering membuatnya

tidak sah. Sebaliknya, adat dan sistem penguasaan lahan informal lainnya sering tidak

mengindahkan legitimasi yang lebih tinggi atau sistem formal. Hal ini dalam kenyataannya

diberbagai wilayah cenderung akan berubah karena meningkatnya penyalahgunaan

wewenang oleh kepala adat. Secara tradisional dan menurut aturan, adat bertanggung

jawab atas hak alokasi lahan kepada anggota kelompok saja. Sementara itu, banyak dari

mereka sekarang menganggap mereka adalah permilik penuh lahan dengan hak untuk

menjualnya kepada orang asing. Bagi perempuan dan petani miskin, sistem kepemilikan

lahan secara hukum adat menjadi semakin tidak dapat diandalkan. Hal ini berlaku terutama

di daerahdaerah di mana nilai lahan tinggi dan/atau terjadi peningkatan nilai lahan seperti

pada lahan yang subur dan lahan di daerah pinggiran kota.

Anda mungkin juga menyukai