Anda di halaman 1dari 110

BAB I

PENGANTAR MENGENAI PEMBANGUNAN

Beberapa orang di Utara menggambarkan konsepsi kemiskinan di Dunia


Ketiga beratus-ratus dari berjuta-juta orang di negara-negara yang lebih
miskin tersibukkan dengan kebutuhan survival (sekadar untuk mempertahankan
hidup) atau kebutuhan mendasar saja.. kegelisahan yang terus menerus
menyelimuti mereka adalah kondisi miskin banjir, kekeringan atau penyakit
yang mempengaruhi manusia atau ternak dapat merusak mata pencaharian ..
kombinasi malnitrisi (kekuarangab gizi), buta huruf, penyakit, angka kelahiran
yang tinggi, pengangguran dan pendapatan rendah sungguh menyulitkan
mereka untuk bisa keluar dari kemiskinan; sementara banyak kelompok lain
semakin vokal, orang miskin dan buta huruf biasanya diam atau membisu
(Brandt Commission, 1980, hal 49).

Kemajuan teknologi dalam bidang transportasi, media, komunikasi dan sistem


perdagangan, bersatunya sentimen perhatian dan tanggung jawab menyebabkan
mereka yang hidup di perekonomian maju negara Utara semakin menyadari
perbedaan-perbedaan antara

kondisi

hidup

mereka

dan

kondisi

hidup

yang

berhubungan dengan bangsa-bangsa Selatan. Citra masalah dan kemiskinan penduduk


negara-negara miskin telah menjadi begian dari pengalaman keseharian orang Utara
melalui televisi, surat kabar, pendidikan, dan kegiatan organisasi voluntar (sukarela)
yang menghasilkan banyak dukungan bagi program-program mereka untuk membantu
kaum miskin. Hal senada, di negara-negara Selatan, citra kemakmuran hidup di
negara-negara industri (maju) juga tertanam kuat di benak mereka dalam kehidupan
sehari-harinya.
Membaiknya kesadaran masyarakat mengenai perbedaan (disparitas) kondisi
hidup di banyak belahan dunia terjadi di saat hubungan ekonomi, sosial, dan budaya
diantara negara jaya dan miskin menjadi lebih jelas, berkembang kesadaran bahwa
kondisi di negara-negara kaya tidak saja berbeda dengan kondisi di negara miskin
tetapi kedua kondisi ini tak mungkin bisa dihubungkan, warga negara dari bangsa-

bangsa maju memakai kemeja yang dibuat di Bangladesh, minum kopi dari Kenya,
makan burger yang diproduksi dari daging sapi Brazil, makan malam di restoran yang
dikelola oleh pengungsi Vietnam, membeli radio yang dirakit di Taiwan, berlibur di
Gambia atau Indonesia, mempunyai pekerjaan yang bergantung pada penjualan alatalat militer ke India, mengoperasikan (membuka) rekening pribadi dengan bank-bank
yang secara finansial terancam oleh default (kegagalan membayar) pinjaman yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa Dunia Ketiga dan menonton pertunjukan musik rakyat
untuk membantu memberi makan bagi orang miskin Afrika. Mereka di negara-negara
lebih miskin bekerja dengan peralatan yang diimpor dari negara industri kaya, minum
Coca Cola atau Guinness (Bir), menonton Dallas di televisi, bergantung pada harga
tanaman pagan yang mereka tumbuhkan di London dan New York (mungkin orang
miskin bertanam di negara maju), menerima beasiswa untuk belajar di Manchester atau
Canberra, mengambil komuni dari pendeta Irlandia dan mengalami penurunan tingkat
penyediaan layanan masyarakat ketika pemerintah mereka berusaha keras untuk
memenuhi kondisi paket bantuan asing.
Bagi banyak orang di Utara, citra rakyat telah menimbulkan masalah yang
dihadapi

oleh

negara-negara

lebih

miskinkemiskinan,

kesakitan,

kelaparan,

pertumbuhan penduduk, kekeringan, hutang dan instabilitas politik. Dunia Ketiga


bukanlah tempat kekacauan besar karena kemiskinan, eksploitasi dan degradasi
belaka. Terdapat keragaman karakteristik dan masalah yang luar biasa di antara
negara berkembang (coba bandingkan Brazil dengan Bhutan), dan didalam negara
berkembang (bedakan gaya hidup dan persoalan pengembala Fulani dengan gaya
hidup pengusaha wanita Nigeria yang sukses). Walaupun ada keragaman ini, jeritan
untuk menyelesaikan masalah Dunia Ketiga telah muncul baik di negara kaya maupun
negara miskin dan dari birokrat perkotaan hingga pekerja pertanian, yaitu:
pembangunan.

ISTILAH DAN DEFINISI


Pembangunan
Pembangunan adalah tujuan utama dari banyak pemerintahan. Birokrasi negara
diorientasikan untuk mencapai tujuan pembangunan. Banyak lembaga multilateral

menghabiskan banyak sekali uang untuk mencapai tujuan pembangunan. Banyak


Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) didirikan untuk membantu tercapainya tujuan
tersebut. Berjuta-juta orang menunggu terealisasinya tujuan tadi. Banyak orang
mengkhawatirkan akibat buruknya. Banyak kebijakan pembangunan dirumuskan dan
rencana pembangunan dibuat. Terdapat banyak program pembangunan dan proyek
pembangunan. Pembangunan industri, pembangunan pedesaan, pembangunan
perkotaan, pembangunan lembaga, pembangunan sosial dan berbagai pembangunan
lainnya merupakan buktinya. Ada negara (sedang) berkembang, negara kurang maju,
negara paling tidak maju dan negara terbelakang. Banyak sarjana menulis tentang
pembangunan, memberikan kuliah tentang pembangunan dan memberi nasehat
pemerintah tentang pembangunan. Buku ini berfokus pada pembangunan semacam ini.
Sejumlah besar tenaga dan sumber daya diabdikan untuk pembangunan. Tetapi apa
pembangunan itu? Apakah pembangunan mempunyai makna yang berbeda bagi
banyak orang yang berbeda? Sialnya, pembangunan merupakan kosep yang paling
fundamental dan sukar ditangkap maknanya. Welch mengatakan Orang gila
menangkap semua istilah. Tetapi Seer menyarankan agar kita menyingkirkan jaring
fantasi yang telah kita tenun mengenai pembangunan dan mencari makna
pembangunan yang lebih tepat. Hal demikian sungguh sulit dilakukan.
Sejak Perang Dunia II, pembangunan bersinonim dengan perubahan ekonomi,
sosial dan politik di negara-negara Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Caribia dan Pasifik
Selatan (lihat gambar 1.1 untuk klasifikasi dan distribusi geografi negara-negara
berkembang). Pertama, definisi pembangunan berfokus pada pertumbuhan ekonomi
dan replika tatanan ekonomi, sosial dan politik yang dijumpai di begara industri Barat.
Telah menjadi bukti kalau negara-negara berkembang tidak melakukan modernisasi
ketika memikirkan kembali makna pembangunan. Para ilmuwan sosial mendefinisikan
kembali pembangunan dalam artian perkembangan ke arah tujuan kesejahteraan yang
kompleks. Misalnya, Seer (1977, hal 2) melihat pembangunan sebagai realisasi
kemampuan potensial manusia yang tersatukan pada tiga tujuan spesifikmenjamin
tersedianya kebutuhan dasar, penciptaan lapangan kerja (pemekerjaan) secara penuh
dan mengurangi ketidakadilan. Definisi pembangunan dalam arti pengejaran berbagai
kebutuhan dasar telah mendominasi literatur akademik dan literatur pemerintah pada

tahun 1980-an (Streeten dkk, 1981). Pada mulanya, definisi demikian didasarkan pada
tersedianya kebutuhan minimum untuk kesejahteraan fisiologi (makanan, tempat
tinggal, pakaian) dan pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, air bersih). Selanjutnya,
definisi tersebut diperluas untuk mencakup akses pada kesempatan pekerjaan, jaminan
pribadi dan hak-hak sipil.
Variasi diantara spesifikasi paket kebutuhan dasar berfungsi untuk menyoroti
fakta kalau definisi pembangunan dan tujuan pembangunan tertanamkan dalam nilainilai personal dari mereka yang terlibatkan dalam aktivitas dan akhir-akhir ini hal
demikian menyebabkan pemikiran tentang siapa yang seharusnya menentukan
pembangunan

daripada

biasanya.

Sebuah

argumen

kuat

menyatakan

kalau

pembangunan harus didefinisikan oleh mereka yang kehidupannya harus diperbaiki


(misalnya, kelompok miskin), daripada oleh ahli teknik atau politisil dan harus
memasukkan (mencakup) pengenalan kebutuhan secara eksplisit untuk pemberdayaan
orang miskin. Misalnya:
Pembangunan pedesaan merupakan sebuah strategi untuk memungkinkan
sekelompok orang, wanita dan pria desa yang miskin, untuk mendapatkan apa
yang mereka inginkan dan perlukan bagi dirinya sendiri dan untuk anak-anaknya.
Pembangunan pedesaan membantu orang-orang termiskin diantara mereka
yang mencari matapencaharian di daerah pedesaan untuk lebih banyak
menuntut dan mengontrol manfaat pembangunan (Chambers, 1983 hal 147).
Namun, definisi tersebut sering melahirkan sedikit kemiripan pada persepsi
definisi dalam kekuasaan dan praktek pembangunan. Gagasan pembangunan berasal
dari gagasan kemajuan abad ke-19 tetapi tidak seperti pendahulu evolusionernya,
pembangunan menekankan pada tindakan sadar untuk menghasilkan transformasi
yang diinginkan di masyarakat. Kebijakan pembangunan, rencana dan program
dirancang untuk menghentikan permainan sosial yang bebas, kekuatan ekonomi dan
politik. Pembangunan kemudian diinduksi atau ditimbulkan. Ini merupakan tugas maha
berat yang dilihat pemerintah sebagai kemampuan untuk mengorganisir dan
mengkoordinasikan tugas itu (pembangunan). Pembangunan kemudian menjadi
tanggungjawab pemerintah. Pembangunan ekonomi yang direncanakan secara sentral
dan modernisasi Uni Soviet telah memberikan sebuah model baik untuk negara

komunis maupun untuk kapitalis. Agar bisa mendukung tuntutan mereka untuk
menentukan dan memimpin proses pembangunan, pemerintah telah mempromosikan
ideologi developmentalism (pembangunanisme). Kesenjangan antara retorika yang
berkaitan dengan ideologi tersebut dan realitas kondisi aktual tak berarti apa-apa untuk
menangani (menentang) produksi dan perkembangan ideologi. Namun, penduduk
mungkin lebih sinis mengenai pembangunananisme daripada tahun-tahun sebelumnya.
Semakin disadari dengan baik kalau pembangunanisme merupakan ideologi kaum elit
karena pemerintah menerapkan tujuan pembangunan dan bertekad mencapai tujuan itu
demi yang diatur (rakyat). Rakyat jarang menyusun tujuan-tujuan untuk dicapai
pemerintah.
Jadi, kesimpulan apa yang dapat dicapai tentang makna pembangunan? Bagi
kebanyak penulis, pembangunan otentik dipahami sebagai yang memperhatikan
perbaikan kondisi keberadaan mayoritas penduduk dan khususnya kaum termiskin. Hal
demikian menjadi proses yang bermanfaat yang tidak saja melahirkan gagasan
perbaikan ekonomi, tetapi juga melahirkan martabat manusia, keamanan, keadilan dan
persamaan yang lebih baik (Brandt Commission, 1980 hal 48) . Upaya yang lebih tepat
dari ini , dalam artian manentukan dan memprioritaskan kondisi-kondisi yang di perbaiki
dan menunjukan sarana pencapaian, harus dilihat sebagai pengutamaan personal yang
mencerminkan nilai-nilai andividual, dan tak mungkin untuk memenuhi persetujuan
umum (maksudnya mendapatkan persetujuan semua pihak ). Pengetahuan bahwa
pembangunan mempunyai banyak makna dan aplikasi adalah penting tetapi hal ini
tidak menjadikan subjek ini mudah dipelajarai. Di bab 3 kami akan menyelidiki makna
dan penggunaan pembangunan bila melihat cara bagaimana banyak ahli teori
menggunakannya.
Dunia Ketiga
Istilah Dunia Ketiga sekarang banyak digunakan sebagai sinonim untuk negaranegara berkembang. Ini banyak ditulis dalam judul jurnal dan berbagai buku akademik,
media massa sering menggunakan istilah Dunia Ketiga, bahwa Kamus Inggris Oxford
menerima istilah itu. Meskipun ketepatannya jelas, terjadi kebingungan mengenai
makna ungkapan ini. Secara khusus, apakah istilah Dunia Ketiga menunjuk pada tipe

sistem politik yang berbeda atau menunjuk pada tingkat produksi ekonomi yang
berbeda, atau menunjuk keduanya? Ketika istilah Dunia Ketiga pertama digulirkan di
Perancis tahun 1950-an, aspek-aspek politik ditekankan. Perlu adanya kekuatan ketiga
antara blok kekuatan perang dingin yang saling berlawanan dari barat dan timur .
Kekuasaan ketiga yang dimaksud adalah Dunia Ketiga dari bangsa-bangsa yang
berkomitmen, bangsa non-nuklir dan non aliansi, terutama tersusun dari bangsabangsa yang baru merdeka seperti Nigeria, Ghana, India dan Indonesia. Dengan
berkurangnya tekanan perang Dingin dan perkembangan negara kedaulatan baru dan
merdeka, istilah ini menjadi lebih terkait erat dengan pengabaian, eksploitasi dan
potensi revolusioner (Wolf philips,1987,1313). Dunia pertama menunjuk pada ekonomi
pasar yang maju (misalnya, Amerika Serikat dan Perancis ), Dunia kedua menunjuk
pada perekonomian yang direncanakan secara sentral (misalnya , Uni Soviet dan
Hongaria ) dan Dunia ketiga menunjuk pada semua negara lain (diluar dunia pertama
dan kedua). Apakah perekonomian miskin yang direncanakan secara sentral -- China,
Vietnam, Cuba, Etiopiamasuk golongan dunia kedua atau dunia ketiga atau tidak
merupakan sumber kebingungan. Worsely (1984, hal 311) telah menunjukkan bahwa
meskipun isu demikian mungkin murni persoalan akademik, label dan penggunaan
istilah itu jelas mempengaruhi banyak peristiwa. Dalam buku ini kami menggunakan
istilah Dunia Ketiga sebagai stenografi untuk menunjuk pada semua negara
berpendapatan rendah dan menengah, apapun sistem politiknya. Pembaca harus sadar
bahwa ada suatu bahaya dalam menggunakan istilah ini, bahaya itu kebanyakan
menciptakan citra bangsa Dunia Ketiga sebagai kelompok yang homogen dengan
kondisi dan masalah yang sama. Meskipun negara Dunia Ketiga dapat dipandang
sebagai yang menunjukkan ciri-ciri umum seperti tingkat pertumbuhan penduduk yang
relatif tinggi dan kebanyakan proporsi penduduk mereka mempunyai pendapatan
rendah, tetapi Dunia Ketiga juga mempunyai keragaman ekonomi, politik dan sosial
yang eksis diantara dan didalam negara Dunia Ketiga. Sebuah kritik pedas (Naipaul,
1985) menekankan keragaman ini untuk menunjukkan konsep Dunia Ketiga sebagai
mitos [yang] meskipun kesederhanaan bawaannya terlalu sulit untuk diterapkan.
Yang lainnya mengomentari ketidakteraturan mengenai istilah itu (CARTW, 1979, hal
196). Yang lainnya lagi menyarankan kalau persoalan keragaman dapat diselesaikan

dengan membagi lagi bangsa-bangsa yang terdiri atas Dunia Ketiga kedalam lebih dari
satu kategori. Misalnya, Wolf-Philip (1987, hal 1320) usul untuk membatasi Dunia
Ketiga pada negara-negara berkembang dan mengklasifikasikan negara-negara
paling tidak maju sebagai Dunia Keempat.
Utara-utara
Istilah

Utara-utara

menjadi

klasifikasi

yang

terkenal

karena

istilah

ini

dipopulerkan dalam laporan Komisi Independen mengenai Persoalan Pembangunan


Internasional (biasanya menunjuk pada Komisi Brandt 1980). Ungkapan ini dipilih oleh
Komisi itu untuk menekankan pembagian ekonomi antara Utara (negara kaya) dan
Selatan (negara miskin) dan untuk menyoroti keinginan dialog Utara-Selatan yang
tertanamkan dalam perhatian umum untuk masalah global dan dibebaskan dari
komplikasi kepentingan politik Timur-Barat. Meskipun pembagian ini tidak akurat dalam
istilah perpetaan (karena mayoritas penduduk negara-negara yang lebih miskin hidup di
Belahan Utara dan lokasi Australia dan New Zealand terletak di Belahan Selatan),
maka adalah penting untuk mengusulkan pengelompokan berdasarkan geopolitik.
Komisi tadi menganggap berbagai bangsa Selatan sebagai yang mempunyai
kesadaran yang sangat tinggi tentang konsidi sulit umumbergantung pada Utara,
menjadi tidak sebanfing dengan Utara dan sering menjadi bekas jajahan Utara.
Kesadaran diri ini jelas menyebabkan solidaritas Selatan dalam negosiasi global
dengan Utara. Sebagaimana dengan bayak tulisan tentang pembangunan , adalah
perlu untuk membedakan antara desirability (sifat yang diinginkan) dan feasibility
(kemungkinan). Tingkat solidaritas Selatan yang tinggi sering bersifat ilusi (dibuat-buat),
sementara dialog yang digambarkan antara Utara dan Selatan harus berlangsung/
perubahan, kemajuan dan pembangunan telah menjadi tema tetap dari banyak ilmu
sosial sejak abad lampau. Hingga Perang Dunia II, fokus geografi dari karya tersebut
adalah Eropa dan Amerika Serikat. Banyak sekali studi teori dan empirik membahas
industrialisasi dan timbulnya manusia modern di Eropa Utara. Amerika Serikat sedang
dianalisa dengan seksama karena perekonomian dan kekuatannya tumbuh cukup tinggi
yang belum terjadi sebelumnya. Bangunan fondasi yang diletakkan oleh bapak ilmu
sosial modernMark, Weber dan Durkeimpara penulis mengidentifikasi dan

menganalisa

proses modernisasi yang berlangsung di wilayah geografi ini. Ini

mempunyai reaksi penting untuk karya selanjutnya mengenai pembangunan di Dunia


Ketiga, karena konsep teori utama yang digunakan dalam studi pembangunan dalam
periode paska-perang berakar dari karya Marx, Weber, dan Durkeim. Untuk mensifati
sesuatu secara agak kasar, seseorang bisa menyatakan kalau pemikiran mengenai
negara-negara berkembang dalam dekade akhir-akhir ini merupakan reinterpretasi dari
elemen-elemen teori terdahulu tentang perubahan ekonomi dan sosial di Eropa. Ini
akan terlihat jika kita meneliti teori-teori pembangunan di Bab 3.
Sebelum Perang Dunia II, satu-satunya kelompok ilmuwan sosial yang
mendemonstrasikan kepentingan secara berkesinambungan di negara-negara yang
sekarang diacukan sebagai Dunia Ketiga adalah antropolog sosial. Banyak dari karya
akademik ini menguji teori-teori primitif dari persprektif evolusi sosial, tetapi paradigma
itu digantikan oleh pendekatan fungsionalis dalam dekade awal abad ini. Kerangka
kerja fungsionalis (functionalist) tidak langsung berhubungan dengan subjek perubahan.
Tetapi, mereka berusaha menganalisa masyarakat non-Eropa dalam istilahnya sendiri
sebagai formasi sosial dan budaya yang hidup dan konsisten secara internal yang
memungkinkan

anggota

mereka

memenuhi

kebutuhan

fisik

dan

spiritualnya.

Kebanyakan antropolog sosial yang bekerja selama era ini berusaha dengan giat untuk
mempelajari apa yang oleh Margaret Mead diistilahkan dengan untouched sosieties
(masyarakat yang tak tersentuh); yaitu, kelompok-kelompok yang belum dimodifikasi
oleh kontak dengan dunia Barat dan gangguan misionaris, pengusaha perkebunan,
penyelidik (tambang emas misalnya) dan pengatur kolonial. Ini tidak selalu mungkin dan
banyak antropolog sosial mempelajari masyarakat yang telah tersentuh. Mereka sering
menerima reputasi karena menjadi troubelmaker (pengacau) dan kaum merah dari
orang-orang Eropa dan warga sipil sementara di tahun akhir-akhir ini mereka dituduh
sebagai pemaaf terjadinya kolonialisme dan sebagai alat imperilisme.
Situasi berubah dengan dramatis setelah tahun 1945 ketika era kolonial telah
berhenti dan banyak negara merdeka baru. Ketika kelompok pengatur (penguasa)
kolonial kembali ke Eropa mereka (antropolog sosial) digeser oleh musuh baru
sarjana Barat, diserang oleh peneliti yang menganalisa apa yang sedang terjadi di
bangsa-bangsa baru ini, dan umumnya dipekerjakan di berbagai universitas dan

lembaga pendidikan yang didirikan setelah kemerdekaan. Banyak sosiolog mulai


melihat struktur kelas yang muncul, sistem nilai yang merubah dan pengaruh faktor
sosial dan budaya terhadap pembangunan ekonomi. Ilmuwan politik, yang menemukan
sedikit kepentingan dalam administrasi kolonial, membawa kepentingan yang kuat
dalam struktur politik, proses, partai, dan politisi dari negara-negara baru ini. Antropolog
sosial terus menekankan studi pada kelompok yang lebih terpencil, meskipun banyak
antropolog sosial mulai mengamati perubahan yang diinduksi di masyarakat pedesaan
dan mulai melaporkan dan menganalisa konsekuansi sosial dari strategi pembangunan.
Namun, diantara ilmuwan sosial, ilmu ekonomi mengambil (dan telah
memperoleh) posisi yang dominan sehubungan dengan pengaruhnya pada praktek
pembangunan. Kemerdekaan di Asia dan Afrika terkait erat dengan perencanaan
ekonomi nasional yang komprehensif dan persiapan rencana lima tahun (Pelita) yang
dimaksudkan untuk mengarahkan sumber daya yang langka ke sektor-sektor yang
diyakini menjadi prioritas tertinggi jika pertumbuhan ekonomi yang cepat ingin dicapai.
Banyak lembaga pasar di negara baru ini berkembang sangat buruk sehingga lembaga
pasar itu tidak dapat menjadi mekanisme yang efisien untuk alokasi sumber daya. Pada
tahun-tahun yang efisien untuk alokasi sumber daya. Pada tahun-tahun awal, ada
optimisme

mengenai

kemampuan

perencanaan

ekonomi

untuk

mendukung

pertumbuhan ekonomi yang cepat, untuk memodernisasikan lembaga ekonomi, sosial


dan politik dan memperbaiki standar hidup. Rencana-rencana ini memerlukan
penciptaan atau perluasan departemen keuangan dan perencanaan, yang sering
disetafi oleh ekonom asing sementara ekonomi pribumi sedang dilatih. Kembali di
Eropa dan Amerika Serikat, banyak ekonomi pembangunan teori menasehatkan
beberapa model untuk memahami dan meramalkan pertumbuhan ekonomi (ini
termasuk Lewis Model, Harrod-Domar Model, Rostows Stage Theory, Model Big Push
[Dorongan Besar] milik Rodan-Rodenstein, karya Scitovsky mengenai eksternalitas,
dan banyak model lain). Kawan-kawan mereka di lapangan dan di lembaga
pembangunan internasional menggunakan konsep yang sering berkonflik ini untuk
menentukan prioritas sektoral, merekomendasikan kebijakan ekonomi makro dengan
tepat dan menilai dan memilih proyek pembangunan sektor publik yang akan
membantu mencapai tingkat pertumbuhan yang diproyeksikan. Meskipun banyak

perhatian dari dalam disiplin tentang ketepatan model teoritis, khususnya tentang batasbatas pada perencanaan, dan diluar disiplin dari ilmuwan politik, sosiolog dan
antropolog sosial (Hill, 1987; Robertson, 1984; Hall dan Midgley, 1988), ilmu ekonomi
tetap menjadi disiplin yang paling berpengaruh. Namun demikian, tongkat komando
telah lolos dari ekonom pembangunan intervensionis tahun 1960 dan 1970-an ke
penganut ortodoks liberalissasi, deregulasi baru dan berputar kembali ke negara.
Dalam teks ini, kami membuat referensi pada karya dan sumbangan para ekonom
karena mereka ini telah mendominasi aspek-aspek teori dan praktek pembangunan.
Namun, perhatian utama kami adalah ilmu sosial nonekonomi dan sumbangan ilmu
sosial pada pemahaman dan praktek pembangunan.
Meskipun banyak menghabiskan waktu dan upaya dalam studi pembangunan,
sosiologi (dan sebagian besar ilmu sosial nonekonomi) mempunyai dampak minimal
pada praktek pembangunan. Beberapa faktor menjelaskan paradoks ini (Hall dan
Midgley, 1988). Banyak sosiolog mewariskan pukulan hebat dalam rekayasa sosial.
Mereka menyatakan kalau integritas profesional mereka dalam kondisi membahayakan
dan mereka hanya akan dimanfaatkan untuk menghapus suatu kebiasaan demi
lembaga, elit dan golongan yang kuat. Banyak sarjana berpendapat kalau peranan
praktis sosiologi adalah untuk menyebarkan temuan-temuannya dengan cara umum
kepada pembuat kebijakan dan perencana, yang kemudian tercerahkan dan
menjelaskan urusan yang akan dilakukannya. Meskipun ada justifikasi atas pandangan
ini, ada kesempatan dan asumsi kalau apa yang dihasilkan sosiolog adalah penting
bagi praktek pembangunan. Ini sering tidak benar. Kegamangan dan keabstrakan
banyak mensifati output sosiologi dan sangat membatasi relevansi praktisnya. Bahkan
sosiolog yang mempunyai keahlian yang bergunapun tidak memperhatikan lembaga
bantuan (aid agencies) dan departemen pemerintahan dimana sebenarnya mereka
punya kemampuan teknis yang bisa disumbangkannya. Tetapi pelatihan sosiologi leveltersier baik di dunia maju maupun di dunia berkembang tidak menyebabkan para
lulusan mampu memberikan sumbangan secara signifikan dan berpengaruh pada
pembangunan. Peremehan untuk persoalan praktis menyebabkan sosiolog tanpa
badan teori normatif yang mereka bisa terapkan dan tanpa gagasan tugas praktis yang
jelas.

Posisi periferi (pinggiran) sosiologi tidak seluruhnya ditimbulkan sendiri. Banyak


sosiolog telah dikeluarkan dari pembuatan kebijakan dan perencanaan karena mereka
diduga mempunyai edeologi sayap-kiri. Meskipun dugaan ini keliru, banyak sosiolog
dan antropolog lebih mungkin mengungkapkan kritik dan ketidaksepakatan pendapat
pada pembangunan daripada perwakilan disiplin lainnya. Ekonom, ahli pertanian, ahli
teknik dan banyak personil teknik lain yang mendiami kantor-kantor perencanaan
bersikap skeptis (ragu-ragu) dan kurang sekali memanipulasi parameter pembangunan
sosial. Bahkan sosiolog bisa dipandang sebagai halangan bagi implementasi
pembangunan, dan ketika personil proyek harus dikorbankan karena kendala
keuangan, sosiolog dipandang sebagai orang yang paling terbuang. Akhirnya
hambatan-hambatan institusional dilihat menghambat kemajuan sosiolog dalam dunia
pembangunan. Misalnya, lembaga bantuan kurang mempunyai mekanisme yang
memadai untuk merekrut sosiolog atau sosiolog dianggap sebagai ancaman bagi
keseimbangan kekuasaan diantara departemen.
Meskipun ada kecacatan dan masalah ini, sedang tumbuh badan pendapat kalau
salah satu tugas pokok dari sosiologi pembangunan seharusnya dilibatkan dalam
praktek pembangunan. Seorang sosiolog Bank Dunia menyatakan hal berikut:
Sosiologi dan antropologi terutama diupayakan untuk menjelaskan dan
menggambarkan struktur sosial lampau atau struktur sosial yang ada sekarang,
daripada melihat perubahan mendatang dan perubahan proyek.. [mereka] harus
menhadapi berbagai tantangan kegiatan pembangunan, menyingsingkan lengan
baju dan terlibatkan dalam keduniaan, menerjemahkan rencana-rencana menjadi
realitas dalam pola sosiologis. Mereka perlu mengkaitkan pengumpulan data,
penelitian berorientasi-tindakan, analisa sosial, dan rancangan untuk tindakan
dan evaluasi sosial kedalam suatu kontinum (rangkaian kesatuan), dan
kemudian menggambarkan sumbangan sosiologi pada pernyataan yang luar
biasa (Cernea, 1985, hal 9-10).
Hal dan Midgley (1988, hal 5) menggemahkan sentimen ini dan berpendapat
kalau para sosiolog mempunyai sumbangan praktis yang penting bagi pembangunan.
Ada dukungan yang sama-sama persuasif yang mempromosikan jalur yang sama
diantara antropolog (Grillo dan Rew, 1985). Chambers (1983) mengajukan pertanyaan

apakah sosiolog (dan ilmuwan sosial nonekonomi lainnya) mempunyai hak untuk
mengkritik rencana dan kebijakan pembangunan jika mereka tidak dilibatkan secara
praktek dalam perumusan rencana dan kebijakan itu. Dia membedakan akademikus
negatif ini dengan para praktisi positif. Tetapi sosiolog sah-sah saja untuk bertanya
apakah apa yang mereka lakukan harus (selalu) bermanfaat. Jawaban atas pertanyaan
ini jelas tidak, dan siapa yang menentukan apa yang bermanfaat tadi? Namun, jika
seorang sosiolog memilih untuk tidak terlibatkan, maka dia harus siap memainkan
peranan memberikan kritik pada pembangunan secara tidak efektif meskipun peranan
ini permanen. Masalah tidak berhenti disini bahkan ketika ilmuwan sosial memilih untuk
terlibatkan. Terjadi ketidaksepakatan mengenai apa yang seharusnya dikerjakan dan
bagaimana sesuatu ini harus dikerjakan. Senantiasa timbul dilema etika. Juga, adalah
mungkin untuk memperkerjakan sosiolog dalam merumuskan sebuah rencana tindakan
bila mereka mempunyai aturan (untuk diterapkan) (Cernea, 1985, hal 8). Namun
demikian banyak kemajuan telah dibuat dan subjek ini ada di bab 3.

BAB 2

KEHIDUPAN DI DUNIA KETIGA: STATISTIK PEMBANGUNAN DAN SEJARAH


PRIBADI

Sebelum menguji beberapa perspektif teori tentang pembangunan, adalah perlu


menjamin kalau pembaca punya pengetahuan bukti tentang kondisi kehidupan di
negara-negara berkembang, bagaimana kondisi ini berbeda diantara bangsa dan
kelompok sosial dan bagaimana kondisi ini bila dibandingkan dengan kondisi kehidupan
di negara-negara maju.
Sebagaimana kita catat di bab pertama, pembangunan sukar dimengerti,
merupakan konsep yang abstrak dan

multisegi

dan

tidak

mudah

menerima

pengukuran langsung. Dalam praktek, hanya mungkin untuk mengemukakan beberapa


indikator tingkat pembangunan suatu bangsa, daerah atau sekelompok orang yang
menggunakan statistik seperti pendapatan perkapita, standar kesehatan, harapan
hidup, melek-huruf, malnutrisi atau indeks-indeks yang memasukkan beberapa ukuran
pengganti/wakil. Semua gambaran ini merupakan indikator kasaran, bukan merupakan
ukuran yang akurat dari tingkat pembangunan. Tujuan dari indikator ini bukan untuk
menunjukkan kalau sebuah bangsa, daerah atau kelompok lebih atau kurang maju dari
negara lainnya. Tetapi, indikator ini menyediakan gagasan kasar tentang perbedaan
dan kesamaan kondisi kehidupan unit-unit yang sedang diperbandingkan.
Hati-hati dalam menginterprestasikan statistik pembangunan adalah sangat
penting karena adanya sifat ganda dari statistik itu. Harus juga disadari kalau banyak
statistik, dan khususnya statistik yang berhubungan dengan

daerah pedesaan dari

negara-negara yang lebih miskin, mempunyai validitas yang terbatas. Bank Dunia
(1987, hal 197) dalam Laporan Pembangunan Dunia tahunan-nya, menasehatkan kalau
banyak statistik yang dipublikasikannya peka terhadap kesalahan [dan] statistik
seharusnya diuraikan sebagai yang mengindikasikan trens dan mensifati perbedaan
utama diantara banyak perekonomiam, daripada mengambil statistik sebagai indikator
kuantitatif mengenai perbedaan-perbedaan itu secara tepat. Bahkan yang paling
penting dari semua statistik, penduduk yaitu jumlah orang yang hidup di wilayah

tertentu, tidak bisa diandalkan untuk negara-negara berkembang (Hardiman dan


Midgley, 1982, hal 63), dimana registrasi kelahiran dan kematian merupakan
kemewahan adminstrasi yang tidak dapat diupayakan dan sensus mungkin tidak ada
(Etopia), ketinggalan jaman (Mesir), atau dihindari (Nigeria). Perkiraan penduduk China
bervariasi (berselisih dari kondisi yang sebenarnya) sebesar 164 juta pada tahun 1700an (Kirk, 1979). Jelasnya, statistik pembangunan harus diperlakukan dengan hati-hati
dan asumsi bahwa statistik itu tidak akurat harus dikaji dengan seksama. Pada karya
sekarang ini, antropolog ekonomi Polly Hill (1987, hal 30-50) menuduh mayoritas
ekonom pembangunan yang menggunakan statistik yang mereka ketahui, atau yang
seharusnya mereka ketahui, kualitasnya sangat buruk dan tidak cocok untuk analisa
kuantitatif yang canggih. Dia mencatat dua belas atas terjadinya kondisi masalah ini
dan dengan sinis mempostulatkan bahwa jika kecanggihan pengolahan data
membaik, maka mutu produk akhir statistik akan menurun. Robert Chambers (1983,
hal 51-55) telah melaporkan dan menyediakan contoh patologi survai pedesaan.
Banyak sosiolog dan antropolog yang bekerja di tingkat desa di negara-negara
berkembang akan memperkuat komentar kritis tentang statistik resmi ini. Duly
mengingatkan, mari kita menguji beberapa informasi yang tersedia.
PRODUK NASIONAL BRUTO (GNP) PER KAPITA
Statistik yang paling sering dikutip dalam studi pembangunan adalah gross
national product (GNP) per kapita. GNP ini dihitung dengan memperkirakan nilai uang
dari semua barang dan jasa yang dihasilkan di sebuah negara dalam satu tahun,
ditambah pendapatan faktor bersih (dari tenaga kerja dan modal) dari luar, dan dibagi
dengan perkiraan penduduk pertengahan tahun, meskipun untuk alasan teknis, GNP
sering didasarkan pada periode tiga-tahunan (informasi detail bagaimana perhitungan
ini dilakukan tersedia di balik Laporan Bank Dunia). Statistik ini merupakan salah satu
dari banyak alat yang paling sering digunakan dalam ilmu sosial dan tidak saja
digunakan oleh ekonom tetapi juga oleh sebagian besar ilmuwan sosial sebagai sarana
kasar untuk membandingkan tingkat pembangunan. Namun demikian, ada masalah
dalam

penggunaan

GNP

per

kapita

sebagai

indikator

pembangunan

atau

kesejahteraan, khususnya jika GNP per kapita digunakan untuk perbandingan dalam

jangka lama (Abromovitz, 1959) dan untuk mempertimbangkan banyak negara


(Kuznets, 1953). Maka perlu mempertimbangkan kelemahan dan kekurangan yang
terkait dengan perhitungan dan pemakaian GNP per kapita karena, meskipun banyak
kecaman atas pemakaian GNP per kapita, GNP per kapita tetap menjadi statistik
pembangunan yang paling banyak dikutip dan digunakan dalam volume ini:
1. Terlepas dari masalah umum yang terkait dengan pengumpulan data, perkiraan
GNP untuk negara berkembang sulit dilakukan terutama karena kepentingan
kegiatan ekonomi, produk-produk yang digunakan untuk nafkah hidup, atau
pertukaran melalui transaksi no-uang. Penilaian/penaksiran produksi pertanian
untuk nafkah hidup tetap sebagai seni sebagaimana ilmu pengetahuan, dengan
sedikit pengetahuan mengenai volume fisik produksi di banyak negara, apalagi nilai
finansialnya. Bahkan di negara-negara berkembang yang lebih mengkota, data yang
tersedia tentang produksi barang-barang dan jasa di sektor informal perkotaan
besar sangat terbatas, dan asumsi dibuat bila menempatkan nilai-nilai pada produk
informal.
2. Sehingga perbandingan dapat dibuat, GNP per kapita biasanya diubah dari mata
uang setempat menjadi satuan umum, yang paling sering dalam bentuk dolar US. Ini
memerlukan pembuatan sejumlah asumsi tentang kurs. Variasi dalam asumsiasumsi ini dapat menyebabkan perbedaan yang signifikan dalam hal angka final
yang bisa dihitung.
3. GNP per kapita menghasilkan rata-rata nilai produksi (dan pendapatan) untuk setiap
orang, tetapi GNP per kapita tidak menyediakan indikasi (adanya) distribusi
pendapatan diantara penduduk. Misalnya, sebuah negara seperti Meksiko
mempunyai GNP per kapita relatif tinggi yaitu US$ 1830 pada tahun 1987. Namun
sekitar 58 persen dari pendapatan nasional ada pada mereka yang terkaya, sekitar
20 persen dari jumlah penduduk, sementara orang termiskin atau sekitar 20 persen
dari jumlah penduduk hanya menerima sekitar 3 persen pendapatan nasional. Disini
terjadi bahaya karena angka rata-rata menkaburkan atau menyamarkan realitas
yang sebenarnya, yaitu penduduk Meksiko mempunyai pendapatan per kapita
hanya sebesar US$ 300 atau US$ 400 per tahun.

4. GNP per kapita bukan merupakan indikator yang akurat mengenai level umum
kesejahteraan dalam artian faktor-faktor seperti malnutrisi dan status kesehatan,
pemekerjaan, keamanan personal dan melek-huruf. Memang, dengan adanya sifat
perhitungan GNP per kapita tersebut, bisa dipahami kalau sebuah negara dengan
ekonomi yang stagnan dan penduduk yang menurun karena kelaparan, kesakitan
dan perpindahan-keluar para pengungsi dapat mencatat kenaikan dalam GNP per
kapita tahunannya karena harapan hidup yang semakin menurun.

INDIKATOR KOMPOSIT (GABUNGAN)


Kekurangan GNP per kapita sebagai sarana untuk memperkirakan kemajuan ke
arah tercapainya tujuan pembangunan telah lama diketahui. Konsekuensinya, telah
dilakukan banyak penelitian untuk merancang kriteria alternatif, indikator sosial, oleh
banyak badan seperti Lembaga Penelitian Amerika Serikat untuk Pembangunan Sosial
(UNRISD) dan Bank Dunia. Sejumlah indikator gabungan telah diusulkan termasuk
indeks kesejahteraan milik Drewnowski, indeks pembangunan milik Mc Granahan dan
physical quality of life index (PQLI: kualitas indeks kehidupan fisik) milik Morris.
Morris, yang indeksnya diusulkan adalah indeks yang paling sederhana dari dua
indeks lainnya, mencari indikator kinerja sosio-ekonomi yang tidak mencerminkan nilainilai masyarakat spesifik, (tetapi) menderminkan penyebaran hasil-hasil sosial dan
dapat dihitung dan dipahami dengan mudah. Satu-satunya indikator yang memenuhi
kriteria ini adalah mortalitas bayi, harapan hidup dan tingkat melek-hurup dasar (Morris,
1979). Morris membuat skala pada seriap indikator ini, menggabungkannya dalam
bentuk aritmetik sederhana dan menghitung skor PQLI untuk 150 negara. Korelasi
antara GNP per kapita dan PQLI untuk negara-negara ini melahirkan hasil yang
menarik, dengan deviasi dari linearitas pada ujung atas dan bawah rentang GNP per
kapita. Produsen minyak yang berpendapatan tinggi mempunyai PQLI relatif rendah,
sementara beberapa negara dengan pendapatan per kapita tendahSri Langka, Cuba,
Guyana dan Korea Selatanmempunyai PQLI yang tinggi. Termuan ini menyediakan
indikasi yang jelas mengenai bahaya memperlakukan GNP per kapita sebagai indikator
tingkat pembangunan suatu bangsa. Namun demikian, PQLI belum diterima secara
umum dan dikritik karena kesempitan indikator-indikator yang digunakan untuk

menghitung indeks dan meragukan dasar pemikiran untuk memperlakukan masingmasing indikator sebagai yang sama-sama penting. Pencarian kriteria untuk
pembangunan sekarang kehilangan momentumnya, meskipun US Population Crisis
Committee sekarang sibuk mempromosikan international human suffering index (indeks
penderiaan manusia internasional), yang dikompilasi dengan menambahkan 10 ukuran
kesejahteraan manusia untuk menciptakan angka tunggal yang dimaksudkan untuk
mengukur perbedaan kondisi hidup diantara banyak negara (Camp dan Speidel, 1987).
Kebanyakan mahasiswa yang mempelajari pembangunan menginginkan sesuatu yang
lebih bisa diandalkan dan lebih tepat daripada GNP per kapita, tetapi dalam ketiadaan
persetujuan umum tentang sifat ukuran alternatif, mereka terus mengandalkan GNP per
kapita.

DATA LATAR BELAKANG TENTANG PEMBANGUNAN


Pembaca mempunyai pemahaman umum tentang kondisi sosial dan ekonomi di
Dunia Ketiga dan perbedaan antara negara berkembang dan negara maju. Para
pembaca yang ingin mengenalkan diri mereka sendiri dengan informasi dasar
sebaiknya mempelajari Tabel 2.1. Ulasan singkat tentang ciri-ciri tabel dan indikatornya
yang paling menonjol disajikan di bawah ini.
GNP per kapita
Meskipun negara berkembang sering diacuhkan pada bangsa yang lebih miskin,
terdapat rentang yang luas dalam GNP per kapita dari US $ 130 (Etiopia) hingga US $
3230 (Venezuela) dan US $ 7940 (jika, pada tahun 1987, orang-orang menganggap
Singapura sebagai negara berkembang). Dalam klasifikasi Bank Dunia yang digunakan
secara luas, negara-negara diperingkat sebagai berpendapatan-rendah (GNP per
kapita kurang dari US $ 480 pada tahun 1987), berpendapatan menengah-kebawah
(US $ 480 US $ 2000) berpendapatan menengah atas (US $ 2000 US $ 6000),
eksportir minyak berpendapatan tinggi dan ekonomi pasar industri. Perlu diperhatikan
kalau GNP per kapita tidak memberikan indikasi bagaimana pendapatan didistribusikan.
Bukti yang ada menunjukkan bahwa di banyak negara berkembang distribusi
pendapatan sangat tidak merata, dimana pendapatan banyak terakumulasi pada di

kaya. Namun demikian, data seperti ini bersifat sporadis, sering usang dan sebaiknya
diperlakukan dengan hati-hati.
Kemiskinan

Tak satupun publikasi statistik pembangunan menyediakan perkiraan jumlah


orang yang hidup dalam kemiskinan mutlak secara reguler di berbagai negara. Ini
sebagian disebabkan oleh kesulitan teknis dalam mendefinisikan kemiskinan tetapi juga
disebabkan oleh kurangnnya data yang bisa diandalkan. Laporan Pembangunan Dunia
oleh Bank Dunia tahun 1978 mengungkapkan bahwa pada tahun 1970 sekitar 770 juta
orang di negara berkembang hidup dalam kemiskinan mutlak. Fields (1981), yang
menggunakan informasi pemerintah AS, menunjukkan angka sekitar 800 juta (dalam
kemiskinan mutlak). Meski ada persoalan perkiraan ini, terdapat bukti kalau sejumlah
besar penduduk dunia hidup dalam kondisi kemiskinan yang hina dina.
Angka pertumbuhan penduduk
Di hampir semua kasus, negara-negara berkembang mempunyai angka
pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi daripada negara industri. Ini berkisar dari
angka relatif rendah China 1,2 persen per tahun hingga angka luar biasa Kenya sekitar
4,1 per tahun (yang menunjukkan kalai penduduknya dapat berlipat ganda dalam 17
tahun kedepan). Meskipun bangsa terbesar dunia, China dan India, telah merendahkan
angka pertumbuhan penduduknya dalam dua dekade terakhir, banyak negara lain,
khususnya negara di sub-Saharian Africa, menunjukkan angka pertumbuhan penduduk
yang pesat.

Fertilasi (Kesuburan)
Total angka fertilitas, yang merupakan jumlah anak rata-rata yang akan
dilahirkan per wanita yang hidup pada akhir tahun-tahun kemampuan beranak jika
angka fertilitas usia spesifik yang ada terus berlangsung, relatif tinggi di kebanyakan
negara berkembang. Untuk tahun 1987, angka fertilitas berkisar dari 2,4 kelahiran hidup
wanita di China hingga 8.0 kelahiran hidup per wanita Rwanda. Perubahan lintasnasional dalam pola fertilitas pada dekade akhir-akhir ini semakin kompleks, dan

fertilitas jelas merupakan sebuah variabel yang dipengaruhi oleh jaring faktor sosial,
budaya dan ekonomi yang kompleks.

Harapan Hidup (Life expectancy)


Harapan hidup saat kelahiran adalah lebih rendah di hampir semua negara
berkembang daripada di negara maju. Namun, ada variasi luas diantara banyak negara.
Pada level pendapatan per kapita yang sangat mirip, negara-negara lebih miskin seperti
Sierra Leone dan Sri Lanka mempunyai harapan hidup 40 tahun dan 70 tahun berturutturut.
Struktur kegiatan ekonomi
Bagi kebanyakan negara berkembang, pertanian mempunyai peranan ekonomi
yang lebih penting, dalam artian sumbangannya pada GDP (gross domestik product),
daripada di negara maju. Ini benar terutama di negara-negara berpendapatan rendah
dimana pertanian mendominasi ekonomi. Pada tahun 1987, hampir 57% GDP Nepal
diwakili oleh kegiatan pertanian dan hanya 14 persen diwakili oleh kegiatan industri.
Secara umum, sektor industri dan sektor manufaktur berkembang lebih baik di negara
berpendapatan menengah. Misalnya, tahun 1987,38 persen GDP Brazil berasal dari
industri dan hanya 11 persen berasal dari pertanian.

Urbanisasi
Definisi mengenai apa pusat perkotaan atau bukan perkotaan itu sangat
bervariasi dari negara ke negara. Namun urbanisasi terjadi pada tingkat yang lebih
rendah di negara-negara berpendapatan rendah dari pada di negara berpendapatan
menengah, dan terjadi paling tinggi di negara-negara maju. Ada perbedaan yang
mencolok antara negara Afrika dan Asia, dimana mayoritas penduduknya adalah
penghuni pedesaan dan Amerika Latin, dimana mayoritas rakyatnya biasanya hidup di
daerah perkotaan. Di hampir semua negara berkembang, angka pertumbuhan tahunan
penduduk kota melebihi angka pertumbuhan polulasi desa.
MODERNISASI

Pada tahun 1950-an dan 1960-an pemikiran dan tindakan pada pembangunan
didominasi dengan pendekatan modernisasi. Para ekonom dalam barisan depan, yang
mempromosikan model sederhana pembangunan yang menekankan pada persoalan
bagaimana menjamin pertimbuhan ekonomi dengan cepat dan pembentukan modal.
Model mereka berasal dari pengalaman negara-negara Barat dan segera dijumpai
kekurangannya bila dibandingkan dengan perbedaan dan kekomplekan Dunia Ketiga.
Ini memerlukan kerja sama interdisipliner dengan sosiolog, ilmuwan politik, admistrator
publik dan ilmuwan sosial lain, dan para digma modernisasi menjadi hak milik
intelektual dari semua ilmu sosial. Namun, hak milik ini kepunyaan bangsa Amerika.
Amerika Serikat menerima kepemimpinan dunia bebas dan disibukkan dalam perang
dingin dengan kekuatan-kekuatan jahat. Setelah kematian Hitler, kejahatan ini diwakili
oleh komunisme. Adalah sangat penting untuk menyelamatkan dunia dari kekuatan
buruk kegelapan komunis dan menjamin bahwa dunia akan tetap diatur sesuai dengan
kepentingan politik dan ekonomi terbaik Amerika Serikat. Bantuan akademikus
diperlukan untuk memahami apa yang sedang terjadi di Dunia Ketiga dan untuk
menunjukkan bagaimana negara-negara ini dapat dibujuk, dipikat agat tetap dalam
kamp dunia bebas kapitalis. Ketidakstabilan gerakan nasionalis dan revolusioner dalam
konteks dekolonisasi memberikan urgensi yang lebih besar dan sumber daya yang
lebih besar pada tugas akademikus. Di lingkungan ini, dimana spesifikasi tugas
akademikus ditentukan oleh elit politik, militer, administratif dan elit bisnis di Amerika
Serikat, maka tidaklah mengejutkan

kalau teori modernisasi dimulai dengan dan

memelihara kerangka kerja konservatif, kerangka kerja ideologi pro-kapitalis.


Bagi Wilbert Moore (1963, hal 93), modernisas adalah transformasi total:
masyarakat tradisional atau masyarakat pra-modern ke dalam tipe teknologi dan
organisasi sosial terkait yang mensifati bangsa maju , sejahtera secara ekonomi , dan
relatif stabil secara politik dan bangsa yang dimaksud di sini adalah dunia Barat. Para
penguasa politik yang efektif harus memutuskan prioritas kebijakan dari penilaian
berbagai masalah pembangunan mereka yang membutuhkan solusi. Definisi yang
sedikit berbeda diberikan oleh Cyril Black (1967, hal 7), yang melihat modernisasi
sebagai proses yang dengan proses itu lembaga-lembaga yang berkembang secara
historis

beradaptasi

pada

fungsi-fungsi

yang

berubah

dengan

cepat

yang

menggambarkan peningkatan pengetahuan manusia yang belum pernah terjadi


sebelumnya, yang memungkinkan manusia mengendalikan lingkungannya, yang
menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan. Meskipun terjadi kebingungan dan
ketidaksepakatan mengenai makna modernisasi (Smith, 1973, hal 61-62), dua definisi
diatas cukup representatif dan menjanjikan kita untuk membuat beberapa generalisasi
umum. Pertama, dunia dikatakan tersusun dari dunia tradisional dan dunia modern.
Setiap komponen dikotomi ini dilihat memiliki kualitas yang berbeda tertentu, misalnya
struktur ekonomi yang berbeda, nilai-nilai dan organisasi keluarga. Kedua, transisi dari
satu periode sejarah ke periode sejarah lainnya dipermudah oleh proses modernisasi.
Ketiga, proses ini dikendalikan oleh para elit nasional melalui pembuat kebijakan. Para
elit merekayasa perubahan yang diperlukan untuk mencapai modernitas. Akhirnya,
paradigma modernisasi ini merupakan perayaan peradaban Barat, suatu proklamasi
kepercayaan-diri pencapaian ernosentrik (Tipps, 1073, hal 206). Barat dilihat sebagai
yang lebih unggul (superior) daripada Dunia Ketiga dalam semua aspek sosial, politik
dan ekomomi. Revolusi ilmu pengetahuan yang telah menjanjikan Barat menguasai
lingkungan harus diadopsi oleh bangsa-bangsa kurang maju jika bangsa kurang maju
ini ingin mencapai status

bergengsi sebagai yang modern. Modernisasi kemudian

menjadi bersinonim dengan Westernisasi (Baratisasi). Tuntutan atas kenetralan nilai


dalam teori modernisasi kemudian sirna dalam asumsi-asumsi implisit yaitu, bangsa
kurang maju harus mencari inspirasi dari masyarakat Barat (secara kasarnya, harus
meniru masyarakat Barat).
Pandangan masyarakat yang dikotomi baik sebagai tradisional maupun modern
tidaklah baru bagi ilmu pengetahuan sosial. Perspektif demikian sedang dipromosikan
dengan gencar di abad ke-19. Maine (?) membedakan antara masyarakat atau usia
yang terutama mengandalkan ascribed status dan tradisi dan masyarakat atau usia
yang terutama mengandalkan pada kontrak dan achieved status. Yang lebih penting
untuk generasi sosiolog yang kemudian adalah karya Durkheim. Dia menggolongkan
masyarakat menurut konsep-konsep yang bertentangan, yaitu, konsep solidaritas
mekanik dan solidaritas organik.
BEBERAPA STUDI KASUS

Memperhatikan tipe data yang dipresentasikan dalam Tabel 2.1 membantu


memberikan mahasiswa (yang mempelajari) pembangunan suatu pemahaman tentang
kondisi ekonomi dan sosial yang prevalen di negara berkembang secara lebih utuh.
Tetapi, ada bahaya sehubungan dengan rata-rata statistik dan agregat yang
melemahkan tantangan pembangunan dan menyebabkan pembaca jauh dari perlunya
untuk mengetahui kalau pembangunan itu memperbaiki standar hidup dan memperbaiki
kesempatan hidup bagi pria, wanita individual dan anak-anak. Anda mungkin
berkepentingan dengan statistik tentang

kemiskinan, kematian bayi dan gizi, tetapi

kegelisahan (maksud: kemiskinan, kematian bayi, dan lain-lain) ini bukan merupakan
contoh yang reprensentatif dari kondisi individu dan keluarga di negara berkembang. Di
bagian ini beberapa penjelasan singkat dipresentasikan dalam bentuk studi

kasus

untuk membantu memperdalam pemahaman pembaca tentang seperti apa kehidupan


orang miskin itu. Penjelasan ini bersifat personal, disarikan dari sumber-sumber yang
teruji. Studi kasus ini dipilih secara subjektif dan menunjukkan informasi kualitatif.
Namun, studi kasus ini mempunyai kontribusi vital bagi apresiasi pembaca tentang
berbagai persoalan pembangunan dan kebijakan. Meskipun konseptualisasi dan
abstraksi adalah esensial untuk memahami proses pembangunan, adalah sama
pentingnya untuk mengkaitkan teori-teori yang bagus dengan fakta-fakta yang buruk.

Studi kasus 1 : Siapa yang bekerja, yang makan di desa Bangladesh?


Petani bagi-hasil (sharecropper) mengolah sekitar perempat dari tanah pertanian
Bangladesh; pekerja upahan bahkan mengolah lahan pertanian dalam persentase yang
lebih besar. Bertani bagi-hasil paling banyak di bagian barat-laut, tempat desa Katni.
Misalnya, Nafis, seorang tuan tanah yang bersama adik lelakinya mempunyai 60 are
tanah di sekitar desa Katni, mengolah sekitar tiga-perempat lahan pertanian dengan
sarana petani bagi-hasil dan perempat lagi dengan pekerja sewa. Pemilik tanah dan
petani bagi-hasil umumnya membagi hasil panen secara sama rata (fifty-fifty), tetapi di
beberapa distrik pemilik benih dan pupuk biasanya dipotong sebelum pembagian hasil
panen, tetapi studi AID melaporkan kalau di kebanyakan kasus petani bagi hasil
menanggung biaya ini sendiri.

Para petani miskin umumnya lebih suka bertani bagi-hasil sebagai alternatif
pekerja upahan. Reward bertani bagi-hasil amat kecil, tetapi reward pekerja upahan
bahkan lebih kecil. Kamal petani kaya memperkirakan kalau pekerja sewa hanya
membebani dia biaya sebesar perempat hingga pertiga dari hasil panennya, sementara
petani bagi-hasil menanggung biaya separuhnya. Upah standar untuk pekerja pria di
desa Katni sekitar 33 US sen per hari; pekerja wanita yang mengolah hasil panen
bahkan menerima upah lebih kecil dari upah pekerja pria. Bertani bagi-hasil tidak saja
mempunyai upah lebih baik daripada pekerja upahan, tetapi juga menawarkan jaminan
yang lebih besar. Petani bagi-hasil disewa oleh musim (karena kalau tidak musimnya
dia tidak bisa bercocok tanam). Meskipun dia tidak memiliki klaim tetap pada lahan,
setidaknya, dia tidak menghadapi ketidakpastian seperti yang dialami oleh pekerja
upahan, yang keadaan buruknya dinyatakan oleh Dalim: Saya tidak dapat memastikan
dimana besuk saya akan bekerja.
Namun, bertani bagi-hasil juga mempunyai kelemahan. Petani bagi-hasil
membutuhkan sapi dan bajak, dan dia mengeluarkan banyak biaya jika dia harus
menyewanya. Dia tidak dapat memperoleh reward dari kerjanya hingga panen, dan
sebelum panen dia harus meminjam uang untuk memberi makan keluarganya. Jika
panennya dirusak oleh banjir, kekeringan atau hama, maka pendapatan petani bagihasil bahkan lebih kecil daripada pekerja upahan. Biaya dan resiko bertani bagi-hasil,
dan tertundanya rewards, menyebabkan keluarga yang tak bertanah di desa Karni tidak
mampu bertani bagi-hasil lagi. Alternatifnya, mereka mencari nafkah hidup sebagai
pekerja upahan (buruh tani).
Di desa Katni, bekerja satu hari menerima dua pon beras, satu taka (16 taka = $
1 US) dan makan pagi. Seorang pekerja bernama Dalim menjelaskan : Dulu dengan
satu taka saya bisa membeli dua atau lebih pon beras, dengan sedikit minyak, lombok
dan garam. Tetapi sekarang satu taka tidak dapat digunakan untuk membeli satu pon
beras. Majikan-majikan yang dulunya memberi pekerja sayur-mayur gratis bila mereka
pulang ke rumah di sore hari, tetapi sekarang majikan tersebut tidak bergitu bermurah
hati lagi.
Pada puncak kegiatan pertanian- - penyiangan pada musim semi, penenam padi
musim hujan, dan panen padi dan goni - - upah untuk pekerja yang disewa kadang

sedikit naik. Seorang pria muda yang kuat seperti Dalim akan sering bekerja pada basis
kontrak, misalnya bersepat untuk memanen satu are lahan padi untuk upah yang
ditentukan. Namun, selama musim sepi alias tak banyak kegiatan, banyak pekerja tak
bertanah menjadi pengangguran. Banyak pekerja upahan tadi berjualan kecil-kecilan,
membeli sayur-mayur di desa dan menjualnya di pasar-pasar setempat atau di bazar
Lalganj. Pada musin dingin yang kering, para pemuda kadang bekerja sebagai tukang
bata atau bekerja di kontraktor di Lalganj, tetapi kami sering mendengar keluhan, Tidak
bekerja, tidak ada nasi.
Hari ini saya telah keliling di tiga desa untuk mencari pekerjaan, kata Ameerul,
pekerja tak bertanah, bercerita kepada kami suatu pagi. Saya tidak mendapatkan apaapa. Tidak ada pekerjaan berarti tidak ada nasi alias tidak makan. Kemarin saya tidak
mendapatkan pekerjaan, dan saya tidak makan apa-apa sama sekali seharian.
Akhirnya, saat sore hari saya mengambil tiga batang bambu, membelah dan
memotongnya dan saya jual di kota sebagai kayu bakar. Dengan uang hasil menjual
bambu ini, saya membeli tiga pon tepung gandum. Saya tinggal mempunyai setengah
taka, saya belikan teh dan sedikit beras. Tadi malam saya makan olahan tepung. Saya
mempunyai enam anggota keluarga yang harus diberi makan. Bahkan ketika saya
mendapatkan pekerjaan, saya hanya menerima dua pon beras dan satu taka. Dua pon
beras tidak akan mengenyangkan dua orangapalagi untuk enam orang. Dan apa
yang anda bisa beli dengan satu taka? Sekarang. Setiap hari saya bertanya dalam hati
: bagaimana saya akan hidup? Bagaimana menghidupi anak-anak saya?
Studi kasus ini diambil dari artikel yang lebih panjang: James Boyce dan Besty
Hartmann (1981) berjudul Siapa yang bekerja, siapa makan?, Bulletin of Concerned
Asian Scholars, vol 13, no 4 hal 18-27.
Studi kasus 2: Keluarga Meksiko yang bertahan hidupbersama
Beban hutang asing sebesar $104 telah memukul hebat pembangunan Meksiko
hingga dalam kondisi serius, yang memaksa bangsa Meksiko semakin mengandalkan
unit ekonomi yang paling dasar: keluarga. Dengan upah nyata yang ditentukan kembali
pada level tahun 1960-an, keluarga bekerja dengan menggabungkan sumber daya
yang semakin berkurang, menuangkan lebih banyak air dalam sup, seperti peribahasa

orang Meksiko. Dengan ekonomi tanpa pertumbuhan selama enam tahun lampau dan
berkembang resesi tajam, keluarga berfungsi sebagai ayunan (buaian) si kecil, kegiatan
mencari nafkah hidup yang menggantikan perkebunan dan pabrik.
Sebuah studi baru-baru ini terhadap 95 keluarga kelas pekerja perkotaan
menunjukkan bagaimana keluarga bersatu menghadapi pukulan krisis. Ukuran rata-rata
rumah tangga dalam studi ini tumbuh 10 persen lebih ketika mereka memasukkan
saudara sepupu, paman dan saudara ipar yang mendapatkan upah lebih besar. Pada
saat yang sama, jumlah wanita dewasa dan pria muda yang masuk dalam angkatan
kerja baik sebesar 2,5 persen.
Inilah bagaimana dua keluarga kelas-pekerja, satu dari luar kota dan satunya
dari dalam kota, menghadapi masa-masa sulit.

Keluarga Avinas. Seolah-olah krisis ekonomi mengembalikan waktu kebelakang


beberapa tahun di masyarakat pertanian kecil Meksiko pusat Barrio de Guadalupe de
Mezqyitillo. Sandal jepit tradisional hadir kembali, menggantikan sepatu buatan pabrik
yang lebih mahal. Kereta keledai muncul lebih sering di jalan aspal. Banyak hewan
yang kurus. Krisis memaksa kita kembali pada cara hidup lama bila kita bergantung
pada tanah dan keluarga, kata Manuel Avina, seorang kepala keluarga berusia 76
tahun, dari klan besar yang hidup disini. Tuan Avina tidak pernah mendapatkan uang
dari perkebunan lagi. Sekarang dia dan keluarganya hampir tidak mendapatkan nafkah
hidup. Dengan sedikit uang yang ditanamkan pada lahan pertanian, hasil panen yang
didapatkan tidak cukup untuk dia, istrinya dan ketiga cucunya. Cucu-cucu itu
ditinggalkan kepadanya oleh seorang anak lelakinya yang beremigrasi ke Amerika
Serikat. Tuan Avina memuat sedikit kelebihaan panennya ke sebuah kereta dan
berusaha menjualnya secara tunai ke kota terdekat, tetapi dia terpaksa menukarkan
hasil panen tadi untuk bahan pokok lainnya (jadi, tidak memperoleh uang tunai karena
barangnya ditukar secara barter dengan kebutuhan pokok tadi).
Tuan Avina bersyukur karena dia hidup dekat banyak keluarga yang
membantunya10 anak, 70 cucu dan banyak kerabat lainnya. Jika dia butuh bahan
makanan, dia tinggal pergi ke kios yang dimiliki oleh salah satu anak lelakinya, yang
sering tidak mau menerima pembayarannya. Bila hewannya sakit, dia membawa hewan

itu ke cucu lelakinya untuk dirawat, yang tidak mau menarik ongkos dari sang kakek
sejak terjadi krisis. Sekarang dia tidak mampu membeli baju baru, tetapi saudara
sepupunya membuat baju untuknya. Bahkan seorang anak laki-lakinya yang
meninggalkan Meksiko ke Amerika Serikat berkontribusi pada kesejahteraan ayahnya.
Ketika Tuan Avina tidak memiliki uang untuk memperbaiki rumah kayunya yang mau
roboh, anak laki-laki emigrannya tadi kembali ke desa dan menggunakan uang dan
ketrampilan yang diperolehnya ketika bekerja di industri konstruksi Amerika Serikat
untuk membangun rumah tembok baru untuk ayahnya.
Anak-anak Tuan Avina juga saling membantu. Tahun lalu, ketika penen jagung
Antonio Avina gagal dan tidak mempunyai pekerjaan di kota, saudara lelakinya
menyokong keluarganya selama beberapa bulan. Jika tidak turun hujan di lahan saya,
hujan itu akan turun di lahan saudara saya, kata Antonio Avina. Jika ada sesuatu untuk
satu orang, maka ada sesuatu untuk semuanya.
Keluarga Ravelos
Keluarga Armando Ravelo harus berjuang menghadapi bencana alam dan
bencana ekonomi. Resesi yang begitu parah menyebabkan Tuan Ravelo kehilangan
pekerjaan sebagai juru masak di restoran Mexico City tahun 1985. Sejenak setelah itu,
gempa bumi yang paling hebat dalam sejarah akhir-akhir ini merusak

gedung

apartemen keluarganya. Tuan Ravelo, istri dan ketiga anaknya berjejal-jejal dalam
sebuah tempat tinggal darurat dengan menantu laki-laki dan tujuh cucunya, yang juga
kehilangan rumahnya. Untuk berjuang menyokong rumah tangga yang membesar ini,
Tuan Ravelp dan istrinya mendapat pekerjaan sebagai pelayan. Paman menyusun
pekerjaan untuk seorang anak laki-laki di tempat pembuatan bir, dan seorang anak lakilaki lagi melemparkan apa saja yang dia terima di pabrik. Para cucu menyelamatkan
dan menjual apa saja yang dapat dijual dari puing-puing gedung disekitar mereka.
Ketiga keluarga Ravelo akhirnua tertampung di kompleks apartemen baru satu
tahun kemudian, cucu dan menantu laki-lakinya tetap tinggal bersama keluarga
(Ravelo). Penambahan seorang pekerja baru hampir tidak cukup untuk memberi makan
anggota keluarga baru. Tuan Ravelo khawatir kalau dia akan terusir ke halanan lagi.
Sehingga tahun lalu, Tuan Ravelo dan istrinya keluar dari pekerjaan pelayannya dan

berspekulasi kalau kontak keluarga ekstensifnya dapat menerima mereka sebagai


penjual keliling di pasar gelap yang tumbuh subur di Mexico. Uang sekarang mudah
didapat jika anda mengetahui orang yang tepat, katanya.
Kontak terbaik Ravelo adalah dengan anggota dari keluarganya. Kemenakan
laki-lakinya yang tinggal di perbatasan Amerika Serikat mengirimi dia produk elektronik
selundupan. Saudara ipar dari Mexico selatan mengirimkan pakaian dari negara
Amerika Latinnya. Jaringan saudara sepupu, paman dan kemenakan di ibu kota
mensuplai dia segala sesuatu dari sarung tinju buatan Amerika hingga pisau elektrik
buatan Jepang. Dengan berjuang keras mendapatkan barang-barang, keluarga Ravelo
telah mampu menyokong rumah tangga besarnya. Tuan Ravelo menjual dari pintu ke
pintu selama seminggu dan mengelola stan di pinggir pasar pada akhir pekan. Setelah
membereskan shift pabriknya, dua anak laki-lakinua bekerja menjual radio selundupan
di parkir mobil pabrik.
Studi kasus 3: hidup di sugar hacienda di Negros Occidental, Pilipina
Bagi satu juta dari 1.8 juta orang Negros Occidental, sugar hacienda
(perkebunan

tebu yang berlahan luas dengan suatu rumah) merupakan sistem

dukungan hidup yang total. Meskipun perkebunan tebu mempunyai banyak bentuk dan
ukuran, kebanyakan lahan tebu daerah (provinsi), sekitar 70 persen, diduduki oleh
perkebunan yang lebih besar atau sekitar 50 hektar lebih. Dan ada keseragaman tata
letak dan kehidupan hacienda. Hacienda Esperanxa adalah contohnya. Terletak dipusat
1.000 hektar yang sebagian besat ditanami tebu, kompleks hacienda adalah
masyarakat yang mandiri dengan sekolahan sendiri, toko, kapel, klinik, perumahan dan
administrasi rumah-rumah kayu kecil. 858 warga hacienda hidup dalam dua kelompok
rumah-rumah kayu kecil, kelompok yang lebih besar dipisahkan dari kompleks
administratif hanya oleh lebar ladang tebu yang sempit. Meskipun gubuk yang reot ini
hanya menawarkan 25 meter persegi ruang lantai untuk keluarga dengan 10 anggota,
air, listrik dan pendidikan dasar semuanya gratis, ini merupakan kebaikan hacienda.
Peralatan terdiri atas tikar tidur, peralatan masak yang telah terpakai, piring dan garpu,
dan diantaranya yang lebih beruntung, mendapatkan lemari pakaian. Sebagian besar
pekerja hanya memiliki pakaian yang dipakai saja dan mempunyai 4 hingga 10 anak

yang kekurangan gizi. Jerry de la Cruz, misalnya, anak tertua dari enam anak yang
selama tahun-tahun itu masih bergantung pada upah ayahnya sebagai sopir traktor
yang hanya mempunyai upah P21 atau sekitar $ 2.30 per hari. Seperti semua pekerja,
mereka bertahan hidup dengan terus berhutang dari hacienda. Ketika manajer
hacienda memotong kredit keluarga dua tahun lalu, sebelum kematiannya, tiga anaknya
termasuk Jerry putus sekolah.
Dulu, sekumpulan gudang peralatan yang berlapis besi, pintu gerbang besi tuang
yang dibuka oleh penjaga senjata, dan disepanjang bawah gudang itu ada halaman
berumput, muncul Big House kolonial Spanyol, dengan tempat tinggal manajer diatas
dan pegawai dibawah. Bagi

manajer atau anak-anaknya. Pekerjaan dapat menjadi

batu loncatan untuk berkarir secara prospektif di Manila. Aurira Pijuan, anak perempuan
dari

manajer hacienda selama tahun 1960-an, muncul dalam headlines dengan

terpilihnya dia sebagai International Miss dan menjadi bintang muda bioskop dan
mantan istri dari pria yang berani menikah anak perempuan tertua Presiden Marcos.
Dua belas staff domestik Big House sedang menunggu di meja makan malam
panjangnya yang berfungsi sebagai tempat rapat bagi para eksekutuf perusahaan dan
raja gula yang berkunjung disana. Minggu pertama saya kembali pada tahun 1981
bertepatan dengan makan siang bersama 50 orang untuk menyambut kunjungan Uskup
dari Bacolod. Duduk berhadapan dengan manajer muda, saya memperhatikan
percakapan mejanya diganggu beberapa kali oleh para pekerja hacienda yang
berpakaian compang-camping yang menyodorkan kertas didepannya dan berkomatkomit di telinganya. Apakah makan siang, makan malam atau konferensi perusahaan,
para pekerja tadi datang meminjam uang untuk upah bulan depan atau upah tahun
depannya untuk setiap kebutuhan yang terduga - - seperti mengobatkan anaknya ke
dokter, pemakaman ibu, baptis bayi, SPP sekolah tinggi saudara perempuannya. Ritual
macam ini selalu sama. Setiap orang naik ke tangga besar menuju ruang makan
malam,

pria-pria dewasa ini akan membungkukkan badannya setinggi badan anak

muda dan berjalan menyeret kakinya ke arah manajer. Tolong Tuan, ini anak kedua
saya. Sudah dua hari terserang demam. Saya tidak akan mengganggu Anda. Tetapi
anda Dengan

melirik kertas tetapi tanpa membuat kontak mata, manajer

membubuhkan tanda tangan diatas debt voucher. Berjalan terseok-seok kebelakang

dalam sikap tubuh yang sama, pekerja tadi berkomat-komit, Terima kasih Tuan terima
kasih banyak, kami tidak akan melupakan ini sementara manajer terus melanjutkan
percakapan meja makan malamnya. Sebagian besar pekerja menanggung hutang yang
sebanding dengan tiga atau bahkan enam bulan upahnya, dan melunasi hutang itu
tidaklah mungkin bagi mereka karena 90 persen pendapatan keluarga hanya untuk
kebutuhan makan. Memang, mereka dilahirkan untuk berhutang, hidup penuh hutang,
mati penuh hutang, kata manajer hacienda.

Studi kasus 4: wanita Bissa dari Burkina Faso


Istri. Nama saya Zenabou Bambara, saya berusia 28 tahun dan mempunyai
empat anak. Suami saya bernama Adama Mone dan istri suami saya yang lain
bernama Mariam. Mariam tadi malam melahirkan ada bayi baru dalam rumah tangga
kami. Hingga kemarin dia bekerja dengan saya di sawah, tetapi sekarang dia istirahat
selama enam hari hingga upacara penamaan anaknya pada saat itu yang banyak dia
lakukan adalah mengambil air dan memasak.
Ini berarti menyebabkan saya lebih banyak bekerja di sawah (karena Mariam
melahirkan bayi). Ini adalah hari ketiga kami menanam tetapi tiada turun hujan. Saya
lelah dan punggung saya terasa sakit. Tetapi pekerjaan saya sia-sia. Lihat bumi. Lihat
betapa keringnya bumi ini? Millet (sejenis padi) seharusnya setinggi kaki, tetapi tanah
kering ini hanya menghasilkan debu.
Pekerjaan wanita di sawah adalah penting. Tetapi pekerjaan bujan di sawah
saja. Di pagi hari saya harus bangun dan menyiapkan makanan, dan jika saya tidak
punyai tepung saya menggiling beras. Setelah itu, saya berjalan menuju sawah yang
jaraknya sekitar 14 km dari rumah dan di sana telah ada suami saya yang berangkat
duluan dengan sepeda pancal. Saya bekerja di sawah dengan suami hingga jam 2
siang, dan kemudian saya mengambil kayu bakar untuk dibawa pulang. Kadang saya
menjual kayu ini kepada orang lain dan menerima sedikit uang untuk saya sendiri
kemudian saya membeli sesuatu. Sore harinya saya harus bolak-balik ke sumur untuk
mengisi tandon di kompleks saya.
Pekerjaan ini memang pekerjaan wanita, dan karena hal semacam ini wanita
lebih banyak bekerja daripada pria, sehingga wanita benar-benar lelah. Saya sungguh

akan sangat senang jika suami saya membantu saya, tetapi dia tidak akan membantu
saya karena dia adalah orang yang memegang kekuasaan (dalam rumah tangga). Pria
tidak dapat membantu wanita karena pekerjaan tadi bukan pekerjaan pria. Pria dapat
menuntut apa saja dari istrinya tetapi istri tidak bisa minta apa saja dari kepadanya.
Seorang pria hanya memikirkan lahan keluarga. Tetapi saya juga mempunyai
sawah sendiri untuk ditanami, yang paling penting dari semua pekerjaan saya lainnya
saya harus mengatur diri saya sendiri untuk menemukan waktu yang cukup untuk
mengolah lahan saya sendiri, karena pentingnya makna makanan bagi kehidupan kami.
Setelah panen tahun lalu, suami saya memberi saya dan istri satunya lagi millet
(sejenis padi) untuk disimpan dalam gubuk sebagai simpanan darurat. Tetapi kami telah
menggunakan simpanan bahan makanan itu hingga habis dan harus mengandalkan
pada apa yang dia berikan pada kami setiap hari. Kalau hujan kami dapat memetik
daun untuk membuat saus kental dan menanam millet.
Suami. Saya adalah satu-satunya yang memberikan perintah sehubungan
dengan pekerjaan dan makanan kami. Dengan calabash (sejenis buah yang kulit
luarnya dibuat sebagai wadah) saya menakar millet untuk kedua istri saya terserah
mereka mau dimasak apa.
Sebenarnya memang benar wanita lebih banyak bekerja daripada pria. Wanita
bekerja dengan kita di sawah. Kemudian dia harus kembali ke rumah untuk mengambil
air dan kayu bakar, menggiling millet untuk dijadikan tepung dan membuat bubur millet
dan kuah. Dia juga harus memandikan anak-anak. Saya melihat sendiri kalau dia cukup
lelah, kalau dia bekerja terlalu keras. Tetapi tradisi dan kebiasaan mencegah saya dari
membantunya. Pekerjaan tersebut memang pekerjaan wanita. Saya tidak tahu
mengapa saya harus membantunya.
Studi kasus 5: buruh di Sri Langka
Emmanuel, berusia 55 tahun, menyokong istrinya dan lima anak-anaknya
dengan memilah-milah ikan. Bila perahu datang dia membantu nelayan untuk
melepaskan ikan-ikan dari jaringan. Untuk pekerjaan ini, dia diberi sebungkus ikan yang
jika dijual dia menerima uang Rs. 10 15 per hari. Pekerjaan semacam ini tidak selalu
ada setiap hari, dan semua pendapatan dihabiskan untuk konsumsi setiap hari. Rumah

tempat mereka tinggal hanya separuh terbuat dari batu bata dan semen (biasanya
separuh bawah semen dan separuh atas kayu biasa) dengan atap terbuat dari cadjan.
Pembuatan rumah ini didanai dengan menjual sebagian kecil tanah warisan dengan
harga Rs. 10.000. Luas tanah yang dijual tidak diketahui. Ketika uang ini dibelanjakan,
tak ada uang lagi untuk menyelesaikan pekerjaan (membuat rumah tadi). Dinding
hanya dibangun tiga-perempat dan jendela dan pintunya tidak dipasang (karena belum
ada biaya). 10 perch (1 perch = 5 meter) tanah tempat mereka tinggal akan diserahkan
secara sah kepadanya.
Tidak ada barang perabot atau barang konsumsi yang tahan lama disana.
Beberapa peralatan masak ditumpuk di kotak tua. Ketika kamu berkunjung ke rumah
keluarga itu, istri Emanuel berusia 42 tahun ada di rumah sakit, melahirkan anak
termudanya dua hari lalu. Anak perempuan tertua berusia 17 tahun. Anak-anaknya
tidak ada yang bersekolah meskipun kadang anak kecilnya sekolah di taman kanakkanak secara gratis yang diorganisir oleh lembaga sukarela Sarvodaya Sharamadana.
Satu-satunya bantuan yang diterima oleh keluarga ini adalah Rs.110 berupa
kupon makanan. Enam pohon kelapa di halaman hanya menghasilkan kelapa cukup
untuk konsumsi setiap hari. Karena rumah ini terletak di pinggir pantai, tidak pekerjaan
lain yang bisa dilakukan. Meskipun ada hanyak babi yang dipelihara di daerah ini,
keluarga ini tidak memelihara babi.
Keluarga ini tidak mempunyai hutan mungkin ini disebabkan karena pendapatan
sekarang yang diperoleh tidak cukup untuk melunasi hutang (jika dia berhutang) dan
kurangnya harta yang dapat dijadikan jaminan (sehingga dia tidak berani berhutang).

BAB III

PENDEKATAN-PENDEKATAN TERHADAP PEMBANGUNAN

Konsep tentang pembangunan pada dasarnya berkaitan dengan perubahan


sosial dan kemajuan manusia dalam kelompok negara-negara, yang dulunya adalah
negara jajahan, yang kemudian dinamai keliru seperti negara Dunia Ketiga atau
negara-negara Selatan. Sejak perang Dunia Kedua penjelasan tentang pembangunan
dikaitkan dengan perkembangan industri secara besar-besaran.. Sebelumnya, para
mahasiswa yang mempelajari perubahan sosial dan ilmuwan sosial secara umum
memusatkan perhatian mereka terhadap daerah Barat yang dinamis, sebagaimana
yang dilakukan para Bapak ilmu-ilmu sosial seperti Durkheim, Marx dan Weber.
Masyarakat-masyarakat non Barat dianggap sebagai wilayah-wilayah akademik bagi
para antropolog sosial. Namun jumlah mereka sedikit dan tugas-tugas pribadi mereka
dalam mempelajari dunia yang tak tersentuh, eksotok dan primitif, melibatkan perspektif
para fungsionalis yang tidak memberikan perhatian yang cukup besat pada perubahan
sosial. Tidak ada program penelitian atau paradigma yang mengidentifikasi negaranegara berkembang sebagai subyek utama bagi penjelasan ilmiah. Dunia Ketiga belum
ditemukan . Ini juga disebabkan oleh iklim politik di tahun-tahun pasca perang yang
terus

berubah

secara

radikal.

Negara-negara

jajahan

berhasil

memperoleh

kemerdekaannya sedangkan negara kapitalis Barat dan komunis Timur mulai terlibat
dalam perang dingin. Sebagian dari perang ini bermaksud memperoleh sekutu dari
negara-negara sedang berkembang. Sementara itu PBB telah berdiri dan secara luas
telah mengembangkan bidang-bidang kajiannya-kesenjangan kondisi sosial ekonomi
antara negara maju dan negara terbelakang. Karena itu para ilmuwan sosial
mengalokasikan

tugas

mencari

penjelasan

rentang

penyebab

terjadinya

keterbelakangan dan mencari jalan untuk memperbaikinya. Suatu konsesus teoritis


yang luas pada tahun 1950-an perlahan-lahan mulai muncul ketika realitas Dunia
Ketiga gagal menyesuaikan diri dengan harapan Dunia Pertama. Muncul teori baru
yang radikal, dengan teori-teori individu yang sangat berbeda antara satu dengan
lainnya. Mereka memiliki nilai-nilai yang sama, meyakini obyek-obyek suci yang sama

dan melakukan tugas-tugas ekonomi yang sama pula. Masyarakat tradisional tetap
bersatu karena anggota-anggota individunya masih belum dapat dibedakan. Solidaritas
mekanis seperti ini mulai muncul dan suatu kelompok yang relatif terdiri dari individuindividu, yang oleh Durkheim disebut dengansegmen. Misalnya, suatu komunitas
petani sederhana dapat dianggap sebagai satu segmen. Beberapa atau sedikit lebih
banyak segmen sama namun tidak saling berkaitan disebut dengan masyarakat
segmental. Suatu negara yang terdiri dari kaum petani yang tidak saling berbeda
namun menyebar di berbagai desa dan umumnya mengabdikan diri pada produksi
subsistensi

dikualifikasikan

sebagai

masyarakat

terbagi

(segmented

society).

Kepadatan interaksi sosial yang semakin berkembang mematikan perkembanan


solidaritas mekanis. Pembagian kerja menjadi lebih spesifik dan kompleks. Persetujuan
akan kepercayaan dan ide-ide moral mulai berkurang sedangkan perbedaan semakin
berkembang. Konsensus solidaritas mekanis telah hilang namun konsensus yang
diformulasikan kembali telah muncul dari solidaritas organik pada orde atau tatanan
baru. Unit-unit dari masyarakat baru dan modern saling berketergantungan. Masyarakat
menyadari kebutuhan akan saling ketergantungan ini dan mengakui bahwa suatu
diferendiasi (perbedaan) tingkat tinggi diperlukan untuk diferensiasi yang kian marak
bersamaan dengan suatu reintegrasi dari unit-unit baru, banyak muncul dalam tulisan
tentang pemikiran-pemikiran modern. Smelser, Hoselitz, dan Parsons merupakan
eksponen terkemuka dalam argumen-argumen ini. Meskipun dikritik oleh Durkheim,
Tonnies juga memanfaatkan model dikotomi yang agak dipaksa untuk menjelaskan
pembangunan masyarakat Eropa, atau untuk menganalisa masyarakat manapun di
masa lalu atau sekarang. Tonnies mengemukakan dua tipe organisasi sosial,
Gemeinschaft atau komunitas dan Gesellschaft, yang secara umum diterjemahkan
sebagai masyarakat (society). Gesellschaft dianggap sebagai suatu hubungan manusia
yang dicirikan oleh suatu individualisme tingkat tinggi, impersonalitas, dan terbentuknya
atas kemauan atau kepentingan belaka. Bentuk hukum, organisasi dan politik nonkomunal, menurut Tonnie, telah banyak menggantikan bentuk yang ada dalam
komunitas Eropa. Tipologi dikotomi yang dikemukakan Tonnies jelas mempengaruhi
Weber dalam pandangannya tentang perubahan dari tradisional menuju wewenang
rasional. Keseluruhan proses sejarah dari rasionalisasi seperti yang dijelaskan Weber

berkaitan dengan transisi yang dikemukakan Tonnies dari Gemeinschaft menuju


Gesellschaft. Tipe ideal dikotomi Weberian tentang komunal dan hubungan sosial
asosiatif sangat menyerupai perbedaan yang diungkapkan Tonnies.
Dikotomi Gemeinschaft/Gesellschaft sangat penting dalam teori perubahan
budaya atau akulturasi yang diminati para antropolog sosial pada tahun 1940-an dan
kemudian dimasukkan ke dalam paradigma sosiologis dari modernisasi. Tokoh yang
paling terkenal dalam debat perubahan budaya adalah Robert Redfield yang
dirumuskan suatu kontinuum (rangkaian kesatuan) dari folk (desa) menjadi urban
(kota) tempat komunitas dipetakan. Masyarakat desa tergolong kecil, terisolasi, buta
huruf, dan homogen, dengan solidaritas kelompok yang sangat kuat. Masyarakat urban
atau kota adalah antitesisnya dan tergolong besar, tidak terisolasi, berpendidikan,
heterogen, dan kurang memiliki rasa solidaritas kelompok. Perubahan dari desa ke kota
sebagian besar terjadi melalui kontak dengan pengaruh-pengaruh dan agen-agen yang
datang dari masyarakat kota. Akulturasi ini mengakibatkan menghilangnya tipe
komunitas desa yang ideal.
Warisan dari para pemikir diatas jelas terwujud dalam dikotomi tradisional/
modern yang banyak mempengaruhi teori modernisasi. Ketentuan dari dikotomi yang
muncul belakangan ini tentu saja telah diambil dari karya-karya terdahulu dan dibentuk
kembali dan disesuaikan dengan tujuan pribadi dan waktu. Suatu perbedaan luar biasa
antara para pakar modernisasi dan para pendahulunya terletak pada penilaian moral
terhadap modernitas. Seperti yang kita lihat, paradigma modernisasi bersuka cita akan
lahirnya modernitas dan menganggap masyarakat barat sebagai masyarakat termaju
dengan bentuk eksistensi sosial, politik dan ekonomi yang paling didambakan.
Sedangkan para leluhurnya dianggap kurang antusiatik. Durkheim menunjukkan bukti
anomie dalam transformasi dari solidaritas mekanik menuju solidaritas organik dan
menunjukkan bahwa telah muncul permasalahan sosial dan kesusahan manusia.
Tonnies menunjukkan suatu nostalgia tertentu bagi bentuk komunal dari organisasi
sedangkan Weber pesimis akan masa depan kekuatan politik Barat.
Pandangan dikotomi tentang masyarakat secara jelas berjalan bersamaan
dengan perspektif evolusioner tentang perkembangan masyarakat. Pada abad 19
doktrin evolusionisme telah menjadi pengantar bagi hampir semua pemikiran sosial,

filsafat dan sejarah. Gagasan fundamentalnya adalah bahwa masyarakat seperti


organisme dapat tumbuh dan berkembang dan menurun. Pakar abad 19 yang berbeda
menekankan faktor yang berbeda dalam skema evolusinya. Jadi tahap perkembangan
masyarakat yang mereka kemukakan berbeda dari satu penulis dengan yang lainnya,
berdasarkan kriteria klasifikasi yang digunakan. Namun semua skema evolusi dapat
dikemukakan sebagai suatu rangkaian tahap berlainan yang tipikal-ideal. Semua teori
evolusi klasik menekankan pada penggambaran tahapan ini untuk sejarah masyarakat
barat. Karena tidak ada yang tertarik akan dunia ketiga. Namun hal ini merupakan tugas
khusus yang dilakukan oleh pakar modernisasi, eksponen neo-evolusionisme.
Persoalan mereka adalah menjelaskan dan meramalkan bagaimana negara-negara
Dunia Ketiga ini akan meniru transisi yang telah dialami Dibarat. Tahapan alat
pembangunan diusulkan oleh para pakar evolusionisme dan diterapkan pada situasi
baru.
Rangkaian tahap modernisasi yang paling berpengaruh dan terkenal diusulkan
Walt Rostow. Ia melihat pertumbuhan ekonomi yang berkembang sendiri sebagai
perekonomian khusus pada masyarakat modern Barat. Pencapaian kekhususan
tersebut merupakan tujuan dari modernisasi. Namun masyarakat harus melalui lima
tahap untuk mencapainya : masyarakat tradisional, prakondisi untuk lepas landas,
dorongan mencapai kedewasaan, dan era konsumsi massa tinggi. Pada tahap pertama
hambatan teknologi akan membatasi produksi. Banyak hambatan ini beralih pada tahap
kedua ketika gagasan ilmiah rasional, infrastruktur dan suatu orientasi pada bisnis
dianggap penting. Perubahan ini tidak berhasil secara endogen, sebagaimana yang
terjadi di Eropa Barat, namun perubahan ini berasal dari luar yang menyentak
masyarakat tradisional untuk berubah. Selama tahap lepas landas singkat (paling buruk
beberapa dekade), perolehan investasi bersih dan tabungan pada pendapatan nasional
akan meningkat dari 5 persen sampai 10 persen atau lebih. Hal ini diterapkan pada
Britania Raya 1783-1802, Jepang 1878-1900 atau bahkan di India pasca 1950. Suatu
proses industrialisasi dapat dicermati namun teknologi modern menyebar melalui
perekonomian secara keseluruhan. Perekonomian yang dewasa kini telah tercapai dan
sumber daya-sumber dayanya dapat digunakan untuk konsumsi masa tinggi, namun
kemungkinan skenario lain termasuk keadaan kesejahteraan dan pencapaian

kekuasaan eksternal. Model pertumbuhan lima tahap Rostow telah menarik banyak
minat selama bertahun-tahun. Salah satu daya tariknya adalah kesederhanaan namun
merupakan gambaran yang mengembangkan lepas landasnya negara berkembang
menuju pertumbuhan dengan pertahanan sendiri (self-sustaining growth). Faktor
lainnya adalah sub-judul buku, manifesto non-komunis. Hal ini secara alami menarik
bagi tanggung jawab para elit Amerika untuk merancang kebijakan dan umumnya juga
bagi kesadaran politik konservatif

Barat. Hal

ini juga menimbulkan pertentangan

dengan kaum Marxis dan beberapa tahun kemudian dengan para akademik liberal.
Namun , gagasan ini memberikan dukungan terhadap pandangan bahwa untuk
pertama kali dalam sejarah, suatu pola universal tentang modernitas muncul dari
lembaga-lembaga dan nilai-nilai tradisional yang sangat beragam.
Modernisasi telah merombak model unilineal para evolusionis lama dengan
mengakui bahwa ada beragam jalan menuju perkembangan. Walaupun tujuan
utamanya mungkin sama, namun titik tolak dan cara pencapaian menuju satu tujuan
bisa berbeda. Pengetahuan tentang sejarah yang lebih banyak keragaman empiris
yang demikian nampak dari negara-negara berkembang ini memperkuat dan
mempertegas tuntutan akan gagasan ini. Karena itu, Steward mengusulkan teori
evolusi multilinier dimana masyarakat yang sama dapat bergerak dalam arah yang
berbeda. Sahlin dan Service membedakan evolusi umum dan khusus. Dua tingkat
yang berbeda dari perkembangan adaptif ini adalah tingkat masyarakat atau budaya
khusus, dan tingkat peradaban atau budaya umum. jadi terobosan evolusi umum dapat
diketahui sedangkan beragam sejarah dari masyarakat khusus juga dapat dimasukkan
dalam teori ini. Penulis lain lebih melihat pada klasifikasi tipologi yang kompleks untuk
paradigma neo-evolusi mereka. Parson, misalnya, memberikan lima kategori tipologi :
masyarakat primitif (Aborigin Australia), masyarakat kuno (Kerajaan Mesotamia dan
Mesir Kuno), kekaisaran pertengahan sejarah (China, India, Kekaisaran Islam dan
Kekaisaran Romawi), masyarakat persemaian (Israel dan Yunani) dan masyarakat
modern (Amerika Serikat, Uni Sovyet, Eropa dan Jepang). Masyarakat pada masingmasing tahap memiliki tingkat perbedaan sosial yang sama dan telah mengalami atau
mengimpor solusi integratif yag seimbang.

Jelas dari pembahasan ini bahwa walaupun ada pandangan yang sama dalam
perspektif masyarakat modernisasi ternyata tidak terdapat struktur yang monolitik.
Terdapat variasi yang diciptakan oleh perbedaan akan penekanan, spesifikasi dan
kepentingan. Dalam keseluruhan bagian tentang pendekatan modernisasi ini kita akan
melihat beberapa variasi ini.
Suatu model pendekatan modernisasi yang populer dan tetap bertahan adalah
perekonomian ganda (dual economy). Dasar model ini terletak pada penilaian bahwa
banyak negara berkembang dicirikan oleh dua sektor perekonomian. Perbedaan
menyolok antara pertanian teknologi rendah di daerah pedesaan dan industri modern
dan infrastruktur di daerah perkotaan tidak dapat diabaikan. Lewis mengusulkan suatu
model makro yang terdiri dari sektor industri dan pertanian. Ia menilai bahwa pertanian
merupakan cadangan kerja bagi industri. Pengangguran terselubung pada sektor
pertanian dapat memungkinkan transfer sumber pekerjaan bagi sektor industri yang
dinamis tanpa mempengaruhi hasil pertanian. Lambert mengusulkan bahwa di Amerika
Latin suatu struktur ganda di dominasi di Brazil, Mexiko, Columbia, Venezuela dan Chili.
Populasi negara-negara ini dibagi antara bentuk organisasi sosial kuno dan maju
secara kasar setara dengan kategori desa dan kota. Bentuk kuno akan cepat
tenggelam dibalik perkembangan modernisasi dan sektor-sektor yang maju akan
menjadi pemenangnya. Contoh terakhir tentang sektor ganda dikemukakan Boeke,
seorang mantan administrator penjajah Belanda. Walaupun ditulis pada awal abad ini,
namun terjemahannya ke dalam bahasa Inggris muncul bersamaan dengan lahirnya
teori modernisasi. Tesisnya dirangkum rapuih dalam bentuk tulisan kliping : East is
East and West is West, and never the twain shall meet (Timur adalah timur Barat
adalah barat, dan keduanya tidak akan bertemu).
Suatu sistem sosial pedesaan prekapitalis berbeda dengan kapitalis impor.
Keduanya terlibat dalam pertikaian spiritual yang diekspresikan dalam kehidupan
ekonomi, sosial dan politik. Selain itu, teori ekonomi Barat sepenuhnya tidak sesuai
untuk menganalisa pertanian subsistensi pedesaan. Dalam menggunakan keyakinan
para kaum modernis akan model dikotomi, Boeke memiliki pandangan pesimistis akan
masa depan yang berbeda dengan kerabatnya. Perubahan dalam perekonomian desa
akan mengakibatkan kemunduran bagi masyarakat desa. Walau interprestasi ini

nampaknya mendukung kebijakan penjajahan tertentu yang bertujuan membuat orang


desa tetap pada tempatnya, namun ia berbeda dengan pandangan optimistis kaum
pemikiran modernisasi pada umumnya. Dalam menanggapi optimisme terhadap hasil
pembangunan ini nampaknya cukup mengejutkan namun mencerminkan kepercayaan
diri para pakar modernisasi yang naif tentang keakuratan metode dan kemanjuran
resepnya.
Perhatian utama para sosiolog modernisasi terletak pada studi tentang
perubahan nilai. Dalam bentuknya yang paling sederhana penulis berpendapat bahwa
perubahan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern memerlukan
transformasi nilai yang sejalan. Talcott Parsons memulai hal ini dengan variabel
polanya. Ini merupakan alternatif atau konflik orientasi nilai yang ditemukan dalam
ekspektasi peran manusia : orientasi diri/ orientasi kolektivitas, partikularisme/
universalisme

(khusus/umum),

penyebaran

fungsional/

spesifisitas

fungsional.

Kombinasi yang berbeda dari variabel pola menimbulkan hubungan peran yang
berbeda dan struktur sosial yang berbeda. Bagian pertama dari masing-masing
pasangan diatas berindikasi tradisional sedangkan bagian keduanya berkaitan dengan
modernitas. Hoselitz menerapkan variabel pola Parsons terhadap proses pembangunan
dan menemukan bahwa negar-negara maju memiliki ciri universalisme, orientasi
keberhasilan dan spesifisitas fungsional. Negara-negara terbelakang menunjukkan
variabel yang berlawanan. Jadi, Hoselitz bisa menyatakan bahwa transisi dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern pada dasarnya merupakan
persoalan perubahan variabel pola. Kaitan antara modernitas dengan nilai-nilai modern
dengan tegas diangkat dalam studi Lerner yang terkenal tentang Timur Tengah. Ia
melihat suatu tranformasi karakterologis melalui mobilitas jiwa, atau dengan kata
lain, suatu perubahan dalam kepribadian dan nilai-nilai dari tradisional menuju modern.
Mc Clelland melihat kunci untuk menjadi modern dalam transfer virus mental n Ach
(kebutuhan akan keberhasilan). Secara khusus hal ini akan merangsang terciptanya
kapitalisme, kemudian modern, dan untuk memastikan bahwa para petualang dari
Dunia Ketiga tidak terlalu tamak maka diusulkan pula suatu rasa tanggung jawab
umum. moore merangkum banyak pemikiran dalam pernyataannya bahwa perubahan
nilai secara besar-besaran merupakan kondisi fundamental terbaik untuk trasformasi

ekonomi. Seperti yang lainnya, ia mengemukakan pentingnya nilai modern dalam


kinerja pribadi, otonomi pribadi dalam pengambilan keputusan, kepercayaan akan
mobilitas sosial, keyakinan akan kemampuan ilmu modern untuk membentuk dunia dan
mendukung cara partisipasi politik yang ditemukan dalam demokrasi Barat. Agar
menghasilkan modernisasi, perubahan sikap ini harus sejalan dengan perubahan
institusional.
Sejak tahun 1960-an semakin jelas bahwa, dalam berbagai hal, modernisasi
bukanlah jalan mulus sepanjang jalan dari tradisi menuju modernitas. Ada hambatan
dan rintangan, pemberontakan dan protes sosial sepanjang jalan ini. Dalam istilah
sosiologi hal ini digambarkan sebagai persoalan integrasi struktur modernitas yang baru
dan berbeda. Menurut Smelser, gangguan ini muncul karena perbedaan berjalan lebih
cepat

dari

integrasi.

Demikian

pula,

kekuatan

tradisi

tetap

bertahan

pada

kedudukannya. Disini terjadi tarik tambang tiga arah. Ilmuwan politik beralih ke
kecemasan debat untuk mencegah disentegrasi atau pengurangan kontrol oleh institusi
politik formal. Institusi demokrasi Barat yang dicangkokkan tidak perlu berkembang dan
dalam beberapa hal perlu mengalami suatu kematian awal. Perang saudara Kongo
1960 dan perang saudara di Nigeria beberapa tahun kemudian secara kejam dan grafis
menunjukkan beberapa besar gangguan modernisasi. Karena itu, Huntingdon
menyatakan bahwa institusi politik negara-negara berkembang, baik tradisional maupun
modern, sering terbukti terlalu tidak fleksibel atau terlalu lemah untuk menahan
besarnya tekanan bagi partisipasi politik, sehingga menimbulkan suatu kehancuran
atau kemandegan politik. Masalah ini dapat diatasi. Peningkatan tatanan politik harus
menjadi tujuan utama dalam modernisasi politik. Bukan bentuk pemerintahan (yakni
bukan demokrasi Barat yang ideal) yang menjadi pembeda politis utama antara
bangsa-bangsa namun tingkatan pemerintahannya (yakni kemempuan mengelola
tatanan politik dan kemudian meningkatkan dan mengontrol proses modernisasi).
Dalam rumusan ini, perbedaan antara negara demokrasi dan negara komunis lebih
sedikit dari perbedaan keduanya dengan banyak negara dunia ketiga lainnya, yang
pemerintahnya memang tidak memerintah. Pendekatan ini menghasilkan suatu
pembenaran analistis bagi dukungan Amerika akan rezim otoriter, dimana rezim ini
memeiliki tingkat pemerintahan yang kuat. Terjadi kegagalan untuk membentuk

solidaritas organik. Mobilitas sosial atau perbedaan telah terjadi namun antisipasi
reintegrasi

bagi

beragam

kelompok

baru

tidak

terjadi

sebagaimana

yang

diantisipasikan. Kaum elit yang menjadi tempat ketergantungan utama gagal melakukan
peran yang dianjurkan. Kebijakan yang dikeluarkan mengahadapi kebimbangan antara
upaya mengontrol semua posisi kekuasaan dan memenuhi tuntutan berbagai
kelompok.
Karya Eisenstadt adalah obituari yang sesuai bagi paradigma modernisasi.
Transformasi seketika dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern tidak
terjadi. Banyak terjadi peningkatan kemiskinan, hutang, tekanan politik dan stagnasi
ekonomi, yang kesemuanya tidak diharapkan terjadi. Teori-teori yang lebih radikal telah
maju dan paham modernisasi masih harus banyak dikritik. Para pakar teori radikal
menggunakan pola kompetisi untuk memahami negara terbelakang di Dunia Ketiga,
namun semuanya berhutang pada Karl Marx. Melalui karya Marxlah banyak masukan
telah

diperoleh.

Namun,

studi

pembangunan

dari

neo-Marxis

modern

tidak

mereproduksi pandangan Marxian klasik.


KARL MARX PANDANGAN KLASIK
Seperti Durkheim dan Weber, Marx juga bergelut dalam kontruksi teori besar
tentang pembangunan masyarakat, kontribusi khususnya yang bertahan dalam ilmu
sosial yang berfokus pada ilmu ekonomi ia berpendapat kebanyakan perubahan adalah
historis ( misalnya tranformasi feudalisme menuju kapitalisme) disebabkan oleh konflik
yang ditimbulkan dalam cara produksi yang terdiri dari kekuatan produksi ( bahan
mentah, peralatan, mesin dan teknik) dan hubungan produksi ( hubungan antara orang
dalam proses produksi ekonomi, distribusi dan pertukaran).
Bila kekuatan produksi dikembangkan maka hubungan produksi dapat diubah.
Perubahan ini dicapai melalui perjuangan antar kelas sosial. Beberapa kelas akan
berjuang mempertahankan status quo bila mereka diuntungkan oleh tatanan sosial
tersebut namun pihak lain akan berusaha membentuk kembali hubungan produksi
untuk menyetarakan mereka dengan kekuatan produksi sehingga terjadi perkembangan
lanjutan. Jadi, cara produksi lama dibuang, dan digantikan cara produksi yang lebih
tinggi. Di Eropa, feodalisme membuka jalan bagi kapitalisme, dan Marx meramalkan
bahwa hanya persoalan waktu saja bagi kaum proletariat untuk menang atas kaum

borjuis dan sosialisme menghasilkan komunisme, tahap tertinggi dari evolusi


masyarakat.
Marx menulis di akhir abad 19 dan berkonsentrasi pada teori kapitalisme dan
pembangunan kapitalis. Meskipun Eropa menjadi daya tarik utamanya namun ia sadar
akan masyarakat prakapitalis non-Eropa. Hal ini tidak terjadi sebaliknya. Hal ini
merupakan akhir bagi kolonialisme Eropa dan kejatuhan terakhir bagi kepemilikan
penjajahan. Jadi melalui karya Marx dapat dilihat berbagai pengamatan tentang
kolonialisme dan penetrasi kapitalis terhadap masyarakat prakapitalis. Banyak
pemikirannya lebih mendekati pemikiran para pakar evolusi abad 19 serta pewarisnya
dalam paham modernisasi dibandingkan dengan para neo-Marxis di beberapa tahun
terakhir.
Sementara mendalami berbagai cara produksi prakapitalis di seluruh dunia, Marx
mempertahankan suatu pandangan sejarah yang agak unilinear. Semua masyarakat
akhirnya akan menjadi kapitalis. Marx berpendapat bahwa negara yang lebih maju
secara industri hanya akan menunjukkan citra masa depannya yang kurang maju.
Namun, cara produksi prakapitalis dinegara terbelakang pada hakekatnya tergolong
statis, dan demikian miskin peralatan untuk bisa menimbulkan transisi menuju
kapitalisme secara internal. Surplus ekonomi diambil oleh negara dan bukan oleh
pemilik tanah perorangan. Kontrol produsen terhadap cara subsistensi mereka
memungkinkan cara produksi Asiatik tidak berubah dan bergerak menuju cara produksi
yang lebih tinggi. Marx mengenalkan kekuasaan negara sebagai cara mengatasi kedua
hal tadi serta cara produksi prakapitalis yang lebih statis lainnya. Secara garis besar
nampaknya ini berarti kolonialisme oleh negara yang memiliki cara produksi yang lebih
baik.
Kolonialisme bagi Marx adalah kejahatan. Ia bisa menjadi brutal dan abadi,
namun

tanpa

kolonialisme

bagaimana

masyarakat

prakapitalis

statis

dapat

mengembangkan kekuatan dan hubungan produksi yang penting yang bisa


menciptakan kapitalisme dan kemudian sosialisme? Kurangnya dinamika membuat
masyarakat prakapitalis harus dibangunkan oleh kapitalisme disertai serangan kaum
kapitalisnya. Namun modal dagang hanya menghancurkan dan bersifat eksploitasi.
Perdagangan dan penjarahan yang menjadi ciri kapitalisme dagang hanya sedikit

membantu perkembangan kekuatan produksi. Namun modal industri, saat ia hancurkan


tatanan yang telah ada, juga mentransformasikan tatanan tersebut. Ini yang dibutuhkan
Dunia Ketiga dan nampaknya bukan soal bagi Marx bagaimana campur tangan
penjajah terlibat. Karena itu, dengan referensi pada China dan perdagangan opium,
marx berpendapat bahwa, nampaknya seolah-olah sejarah terlebih dahulu membuat
semua orang ini mabuk sebelum ia mengangkat mereka dari kebodohan turunan. Marx
sering memperlakukan masyarakat prakapitalis dengan ketidak setujuan. Sering ia
hanya sedikit bahkan tidak mengetahui tentang mereka. Bahkan cara produksi
Asiatiknya hanya menekankan khusus pada India dan bahkan ketika cara ini tidak
dirumuskan dengan baik. Antusiasme Marx pada India adalah untuk faktor-faktor
modernisasi dan integrasi yang ditimbulkan oleh aturan Inggris sistem jalur kereta api,
telegram listrik, tentara pribumi yang dilatih oleh sersan Inggris, pers bebas, pemilikan
tanah pribadi, dan kelas yang dikaruniai ilmu eropa dan syarat kualifikasi untuk bekerja
di pemerintahan. Semua ini merupakan persyaratan bagi berkembangnya kapitalisme
industri yang berkembang sedemikian pesat di India. Antusiasme pada pembangunan
seperti ini juga dimiliki oleh kaum evolusionis abad 19 dan oleh kaum modernis pada
tahun 1950-an dan 1960-an. Perubahan tradisi menjadi modernisasi nampaknya serupa
dengan perubahan prakapitalis menjadi kapitalis.
Selain itu, upaya kaum borjuis untuk menciptakan dunia dengan citranya sendiri
dapat dianggap mengalami kemajuan. Perhatikan persetujuan Marx terhadap perang
Mexico-Amerika di 1847 sebagai langkah maju bagi Mexico dan demi kepentingan
negara maka Mexico harus dibawah pengawasan Amerika. Selain itu orang Mexico
adalah gudang sifat buruk keturunan Spanyol. Namun bagi Mark modernitas ini hanya
bersifat progresi karena ia menimbulkan sosialisme. Pandangan historis unilinear
terhadap teori Borjuis akan berhenti pada kapitalisme, karena ia yakin bahwa
kapitalisme adalah tahap pembangunan tertinggi.
Para Neo-Marxis ditahun belakangan ini banyak dipengaruhi oleh gagasan yang
diungkapkan oleh Marx tetapi jarang oleh pernyataan terbukanya tentang kolonialisme.
Meskipun ada banyak variasi, kebanyakan kaum neo-Marxis menggunakan contoh
yang hampir merupakan antitesis bagi pandangan Eurosentris dogmatis Marx. Mereka
menekankan

pada

hubungan

eksternal

negara-negara

Dunia

Ketiga

dengan

kapitalisme industri dan telah menyimpulkan bahwa telah terjadi eksploitasi dan
pengangguran. Selain itu, sejak kematian marx, sejarah telah menunjukkan
ketidakcocokan dari model unilinear. Misalnya, banyaknya variasi dalam revolusi
sosialis.
Kadang-kadang ada versi kontemporer bagi tema Marxian klasik. Bil Warren
telah menjadi penulis modern yang paling berpengaruh dalam hal ini. Ia membuat
berbagai peningkatan dalam kesejahteraan sosial dan material selama kolonialisme.
Contoh beberapa keuntungannya adalah kesehatan yang lebih baik, kehidupan yang
lebih lama, pendidikan dan semakin banyaknya barang konsumsi. Warren menghapus
reformulasi neo-Marxisme dan mengklaim bahwa mereka telah menciptakan suatu ilusi
keterbelakangan. Penekanan terhadap ketergantungan telah mengaburkan kemajuan
ekonomi yang diperoleh selama kemerdekaan politis. Dunia Ketiga telah secara luas
mengembangkan cara yang diramalkan Marx. Misalnya, catatan pasca perang di
Negara Dunia Ketiga berdasarkan ukuran standard pertumbuhan dalam GNP perkapita,
oleh Warren dinilai sebagai cukup beralasan, bahkan mungkin mencapai keberhasilan
luar biasa bila dibandingkan dengan keberhasilan pra perang maupun dengan periode
pertumbuhan masa lalu manapun di perekonomian pasar maju yang dapat dijadikan
sebagai pembanding yang relevan. Informasi statistik lain yang menunjukkan hal ini
sebagai pertumbuhan dalam hasil industri serta integrasi populasi yang lebih utuh ke
dalam pasar kapitalis dianggap menunjukkan bahwa kemajuan telah dicapai dalam
pembangunan kekuatan produksi. Jadi, kelas pekerja masih memainkan peran yang
ditakdirkan. Agenda politiknya jelas. Tiupkan semangat neo-Marxis dan Nasionalisme,
doronglah pembangunan kekuatan produksi yang pesat dan ciptakan kelas pekerja
yang semakin berkembang dan sadar sepenuhnya akan peran revolusionernya.
NEO MARXISME : KETERGANTUNGAN
Sejak lahir 1960-an perkembangan sosiologi berada dalam keadaan krisis. Baik
paham modernisasi maupun Marxisme klasik tidak dapat memberikan penjelasan
memadai tentang apa yang terjadi di Dunia Ketiga dan bagaimana kemajuan dapat
dicapai. Suatu paradigma baru sangat diperlukan. Paradigma ini ditemukan dalam

pendekatan ketergantungan neo-Marxis dan dipopulerkan, paling tidak di negaranegara berbahasa Inggris, dalam karya Andre Gundar Frank.
Namun pemikiran ini sebenarnya sebenarnya berasal dari Amerika Latin. Sampai
1929 bangsa-bangsa Amerika Latin menjalankan strategi pembangunan konvensional
yang diekspor dari luar. Depresi ekonomi 1930-an secara drastis telah mengurangi
permintaan Amerika terhadap barang-barang Amerika Latin dan membuat negaranegara ini harus bergantung pada perdagangan luar sebagai mesin pertumbuhan. Jadi,
negara ini mulai merancang strategi pembangunan ke dalam sehingga membuat
mereka tidak mudah diserang perdagangan dunia. Namun tidak sampai setelah Perang
Dunia Kedua, dibentuklah suatu dukungan ideologis yang jelas terhadap cara
pembangunan kedalam. Dukungan serta program yang diusulkan berasal dari kantor
Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin (ECLA) yang dibentuk di Chili pada tahun
1948. Meski dinilai radikal dalam konteks badan internasional, namun sesuai dengan
gaya analisa PBB serta kelunakannya, dukungan ini oleh birokrat internasional tidak
dianggap bernuansa politis. ECLA percaya bahwa kebijakan ekonomi konvensional
yang dicetuskan dari negara kapitalis maju tidak sesuai dengan Amerika Latin.
Perekonomian ini gagal menghasilkan pembangunan ekonomi yang terantisipasi. ECLA
menggunakan struktur ekonomi di luar Amerika Latin untuk menjelaskan kelanggengan
pengangguran di benua ini. Sistem perdagangan bebas internasional segera dianggap
sebagai penjahat bagi perekonomian Amerika Latin. Bentuk perdagangan dan istilah
elastisitas pendapatan dari permintaan akan ekspor barang pokok mengalami
penurunan

sementara

elastisitas

pendapatan

Amerika

Latin

dari

permintaan

perekonomian negara maju meningkat. Hal ini meninbulkan suatu keseimbangan


(balans) krisis pembayaran bagi perekonomian Amerika Latin. Selain itu, saat
pencapaian produktivitas di negara maju (pusat) menghasilkan upah yang tinggi dan
meningkatkan harga faktor lain, situasi di Amerika Latin (pinggiran) adalah sebaliknya.
Perolehan produktivitas disana menurun hanya dalam harga komoditas dan upah tetap.
Solusi

masalah ini adalah dengan industrialisasi, khususnya yang bertujuan

menggantikan impor dengan produksi domestik. Proteksi tarif tinggi sangat penting
dalam tahap-tahap awal. Negara perlu memainkan peran yang lebih besar dalam
meningkatkan pembangunan ekonomi dibandingkan peran negara sebelumnya.

Akhirnya, pembentukan pasar bersama Amerika Latin akan membantu perkembangan


industrialisasi.
Saat model pembangunan ini (industrialisasi pengganti import) terbukti gagal,
analisa ECLA akan pembangunan Amerika Latin telah menghasilkan dua pengamat
penting. Pertama, bahwa dunia dapat dibagi dalam bangsa industri maju inti dan
bangsa terbelakang pinggiran. Kedua, inti dan pinggiran berkaitan erat secara ekonomi,
khususnya dalam perdagangan dan investasi. Namun hubungan ini mencegah
pembangunan sesungguhnya di negara pinggiran karena mereka dirancang untuk
bekerja

hanya

demi

keuntungan

negara

dan

pusat.

Strategi

pembangunan

industrialisasi pengganti impor yang sifatnya kedalam dilihat sebagai jalan untuk
menembus hubungan ketergantungan yang tidak setara ini. Karena dengan ini maka
pembangunan sesungguhnya dapat terjadi.
Pandangan ECLA ini diambil alih ilmuwan sosial Amerika Latin lain yang
memperbarui, modifikasi dan meradikalkannya. Namun semuanya menggunakan
pandangan bahwa keterbelakangan Amerika Latin dan negara pinggiran lain hanya
dapat dipahami dalam konteks sistem kapitalis dunia. Berbeda dengan Marx, pakar
teori ketergantungan percaya bahwa hubungan yang mengikat pusat dan pinggiran
bertentangan dengan jalannya pembangunan, bertentangan dengan penciptaan
kapitalisme industri maju. Hubungan ini hanya mengabadikan pengangguran di negara
pinggiran. Walau definisinya sedikit bervariasi namun dos Santos berhasil memasukkan
dua perspektif utama paradigma ini dalam rumusan tentang gagasan ketergantungan :
Suatu situasi dimana kelompok negara tertentu memiliki perekonomian yang
dikondisikan oleh pembangunan dan ekspansi perekonomian yang lain, tempat mereka
bergantungKetergantungan
menentukannya

kembali

mengkondisikan

sebagai

suatu

struktur

fungsi

internal

kemungkinan

tertentu

yang

struktural

dari

perekonomian nasional yang nyata. (dos santos seperti dikutip dalam Roxborough,
1979, hal 66).
Dengan demikian, terdapat ketergantungan dalam suatu hubungan internasional
antara kondisi ekonomi yang kuat dan yang lemah. Tetapi ada juga ketergantungan
dalam struktur yang berbeda antara negara-negara maju. Aliran ketergantungan
tidaklah monolitik, sebagaimana jelas ditunjukkan dalam buku Blomstrom dan Hettne

(1984). Obrein (1975, hal 13) menyatakan bahwa tiap penulis menekankan aspek
yang berbeda tentang bagaimana dan mengapa ekonomi internasional serta
perubahan-perubahannya, perubahan-perubahan kondisi, di Amerika Latin, namun
seorang

penulis,

pengaruhnya

Andre

sangat

Gunder
kuat

Frank telah

kepada

aliran

mencapai

kemashurannya

ketergantungan

dengan

dan
versi

ketergantungannya, yaitu satu versi yang terkristalisasi atau tersintesakan dari


pemikiran ECLA dan Marxisme. (Booth, 1975).
Posisi Frank yaitu, kapitalismelah, nasional maupun dunia, yang masih
menimbulkan keterbelakangan pada saat ini. (Frank, 1971, hal 11). Ia tidak
merumuskan kapitalisme tetapi menggambarkannya dalam hal sistem pertukaran global
yang bersifat monopolistik maupun ekspoitatif. Dengan demikian kapitalisme telah
bertanggung jawab atas perkembangan keterbelakangan sejak abad 16, ketika
Spanyol dan Portugal mulai menaklukkan Amerika Latin. Benua ini tidak pernah
mengalami

feodalisme.

Misalnya,

ketika

ilmuwan

Marxis

maupun

Borjuis

mengidentifikasikan feodalisme dalam pertanian orang Brasil, mereka mengkaikannya


dengan mitos. Saat kapitalisme perdagangan muncul di wilayah ini, mulai terjadi
kapitalis terbelakang. Struktur dasar kapitalisme ini masih tetap tidak berubah sejak
kolonialisme awal. Sebenarnya kapitalisme telah menelusuri semua sudut dibenua ini,
bahkan nampaknya struktur pra kapitalis maupun non kapitalis, dapat menjelaskan
tanpa acuan terhadap kapitalisme. Misalnya, pertanian subsistensi ditentukan secara
komersial karena hal tersebut merupakan sisa bagi pertanian komersial. Yang disebut
dengan Masalah Indian bukanlah suatu kekurangan akan integrasi kultural atau
ekonomi orang Indian dalam masyarakat. Sebaliknya, masalah Indian adalah masalah
integrasi mereka ke dalam sistem kapitalis yang eksploitatif. Aspek thesis dasar Frank
ini bermaksud menentang teori aliran modernisasi masyarakat ganda yang mana, di
Amerika Latin, feodalisme dan kapitalisme dilihat sebagai sektor yang sangat
independen. Kapitalisme, kekuatan modernisasi progresif dari sudut dualisme, bagi
Frank merupakan struktur regresif yang mencegah kemajuan dan pembangunan.
Struktur sistem kapitalis dunia diungkapkan oleh Frank sebagai sistem
metropolis mengeksploitasi satelit dan menyesuaikan beberapa atau semua surplus
ekonomi. Satelit dimiskinkan oleh hubungan eksploitatif ini dan diturunkan ke keadaan

ketergantungan akan metropolis. Hubungan metropolis-satelit dasar adalah antara


bangsa kapitalis industri dan bangsa Amerika latin sesungguhnya negara-negara yang
sama dikategorikan dalam Dunia Ketiga. Namun, Frank mengidentifikasikan rantai
hubungan metropolis-satelit dengan menelusurinya dari ruang senat New York sampai
pemduduk petani dilembah Andes terjauh. Misalnya, dalam penjelasannya mengenai
perkembangan keterbelakangan di Brasil, Frank menulis :

model ini terdiri dari

metropolis dunia (sekarang AS) dan kelas pemerintahannya, dan satelit nasional dan
internasional serta pimpinannya satelit nasional seperti negara bagian selatan AS,
dan satelit internasional seperti Sao Paulo. Sejak Sao Paulo menjadi metropolis
nasional, propinsi seperti Recife atau Belo Horizonte, serta kemudian satelit lokal dan
regionalnyasuatu rantai metropolis menyeluruh sampai ke hacienda (perkebunan)
atau pedagang desa yang menjadi satelit bagi pusat metropolitan komersial lokal
namun juga memiliki para petani sebagai satelit mereka ( Frank,, 1971, hal 174-5).
Pada kenyataannya seluruh dunia terdiri dari rangkaian konstelasi metropolis
disesuaikan dengan bagian atau bahkan keseluruhan surplus perekonomian satelitsatelitnya. Jadi pekerja yang tidak memiliki tanah dapat dieksploitasi oleh pemilik tanah.
Namun mereka mungkin juga bisa memiliki surplus perekonomian yang disesuaikan
dengan pemilik tanah yang lebih besar dan klas bisnis propinsi. Rantai ini berkelanjutan
sampai puncak hirarki, sehingga metropolis dunia dapat dicapai tidak ada lagi orang
yang berada dibawah metropolis ini.
Imperialisme

metropolis

dunia

bukan

saja

menjadi

imperialisme

yang

membiarkan struktur dasar ini tetap utuh selama berabad-abad. Kerjasama klas-klas
dominan di satelit-satelit juga diperlukan. Struktur ketergantungan telah memungkinkan
klas pemerintahan domestik untuk menjadi bagian yang disesuaikan dengan surplus.
Sebaliknya klas-klas ini tidak banyak membantu perubahan struktur. Klas-klas ini
banyak diuntungkan oleh keterbelakangan. Menurut Frank, kaum borjuis menggunakan
kabinet pemerintah dan aparat negara lainnya untuk menghasilkan kebijakan
keterbelakangan dalam kehidupan ekonomi sosial dan politik bangsa dan masyarakat
Amerika Latin. Namun kekuatan ketergantungan selalu berbeda sepanjang waktu.
Misalnya, depresi dan perang pada tahun 1930-an dan PD II bisa menyebabkan
melemahnya ikatan ketergantungan karena metropolis dunia tidak mampu mengelola

seluruh hegemoni di satelit-satelitnya. Hal ini menyebabkan kaum borjuis nasional


untuk bergelut dalam industri yang otonom seperti terjadi di Brasil, Meksiko, Argentina
dan India selama depresi tahun 1930-an dan PD II. Namun involusi kapitalis aktif
seperti ini, yang memiliki ciri hubungan metropolis-satelit kolonialisme atau imperialisme
internal bukanlah contoh satu-satunya. Involusi kapitalis pasif juga terjadi ketika sebuah
satelit bergerak menuju atau menjadi suatu masyarakat subsistensi keterbelakangan
ekstrem yang terisolasi. Sejarah Brazil Timur Laut dengan industri gulanya yang sangat
fluktuatif adalah contohnya.
Akhirnya, penting sekali untuk menghargai implikasi politis praktis model
ketergantungan Frank. Ketika analisanya menunjukkan bahwa tidak ada cara produksi
pra-kapitalis feodal, semi feodal atau lainnya di Amerika Latin maka tidak ada alasan
untuk mendukung revolusi demokratis borjuis. Frank menolak pandangan Marxis
tradisional Kiri yang menciptakan peristiwa tersebut untuk mengembangkan kekuatan
produksi dan mempersiapkan revolusi proletari pada suatu saat dimasa mendatang. Ia
yakin bahwa kaum borjuis telah menguasai Amerika Latin sejak abad 16. Kapitalisme
telah mapan dimana saja dan struktur metropolis-satelit yang ada tidak bisa berbuat
apa-apa selain menimbulkan keterbelakangan yang kian parah. Dengan demikian,
semua usaha politik seharusnya diarahkan ke revolusi sosialis. Pengaruh Castro dan
revolusi Kuba telah sangat besar bagi karya Frank. Dalam beberapa hal, teori
ketrgantungannya merupakan usaha membersihkan nama baik revolusi Kuba, yaitu
suatu kritik kaum Stalin ortodoks dan suatu pembenaran teoritis revolusi sosialis secara
tepat.
Meskipun penjelasan singkat ini tidak bisa menilai semua keanekaragaman
ketergantungan yang telah ditingkatkan, perlu sekali menyebutkan secara singkat salah
satu ciri ketergantungan, yang salah satunya yaitu tulisan Immanuel Wallerstein. Ketika
banyak sekali pernyataannya yang serupa dengan pemikiran Frank, Wallerstein
memberikan wawasan tambahan dan tetap setia mengikuti teori sistem-dunia, yakni
versi ketergantungannya. Subyek analisa Wallerstein yaitu sistem sosial. Hal ini
seharusnya tidak dibingungkan dengan hubungan negara-negara bagian. Sistem sosial
merupakan

suatu

totalitas

yang

mendefinisikannya sebagai berikut:

melebihi

batasan

politik

seperti

itu.

Ia

Suatu bagian dari dunia kerja, yang mana berbagai sektor atau area didalamnya
tergantung pada pertukaran ekonomi dengan yang lainnya untuk penyediaan atas
berbagai kebutuhan di area tersebut secara lancar dan berkesinambungan. Pertukaran
ekonomi seperti ini bisa muncul secara nyata tanpa adanya unsur politik umum dan
bahkan nampak jelas lagi tanpa berbagi budaya yang sama. (Wallerstein, 1979,5).
Hanya ada tiga jenis sistem sosial. Pertama, sistem-mini, yaitu hanya pertanian
atau perburuan sederhana dan masyarakat yang berkumpul. Tetapi kini dimana-mana
mereka musnah karena dimodifikasi, dikurangi atau dihancurkan oleh sistem sosial lain,
yang keduanya merupakan sistem dunia. Kerajaan dunia dibentuk berdasarkan
kehancuran kekuasaan oleh kewenangan pusat dan peradaban pramodern seperti
China, Mesir dan Romawi adalah contoh-contohnya. Kategori terakhir adalah
perekonomian dunia, suatu sistem yang dihubungkan oleh pertukaran pasar. Harus
dicatat bahwa suatu sistem dunia tidak harus menyebar ke seluruh dunia, meskipun hal
ini bisa terjadi bagi dunia kontemporer. Suatu pembagian kerja tunggal dan sistem
budaya ganda menghasilkan sesuatu yang disebut sistem dunia.
Menurut Wallerstein, perekonomian dunia Eropa muncul pada akhir abad 15 dan
awal abad 16, yang merupakan tipe sistem dunia yang sangat baru. Sistem ini secara
ekonomis menyatu, dengan pembagian kerja tunggal, namun secara politik beragam,
dengan politik ganda. Pembagian kerja jelas masih merupakan ciri kapitalisme. Ciri
utama perekonomian dunia kapitalis adalah produksi untuk penjualan di pasar demi
mewujudkan keuntungan maksimum. Pembangunan sistem ini tidak adil. Sistem ini
menghasilkan negara dengan hierarki tiga tingkat - inti, semi pinggiran dan pinggiran.
Mekanisme negara kuat pada inti (bangsa-bangsa kapitalis industri) dan mekanisme
negara yang lemah dipinggiran (Dunia Ketiga) memungkinkan negara inti melakukan
hubungan pertukaran yang tidak adil bagi negara pinggiran. Jadi kapitalisme tidak saja
melibatkan penyesuaian nilai surplus oleh pemilik dari pekerja, tetapi suatu
penyesuaian surplus dari perekonomian dunia secara keseluruhan oleh wilayah-wilayah
inti. Karena itu Wallerstein menyamai Frank dalam pandangan bahwa inti secara aktif
men-terbelakang-kan pinggiran. Kenyataannya, sistem ini terus membuat pinggiran
melemah sejak munculnya kapitalisme pertanian. Serangan, ancaman, pembatasan

pasar dan perlindungan industri adalah beberapa taktik yang dilakukan negara-negara
kuat untuk menciptakan kelemahan negara-negara pinggiran.
Strata menengah hirarki internasional, yakni semi-pinggiran, jelas penting bagi
mulusnya perjalanan perekonomian dunia kapitalis. Pihak semi-pinggiran mencegah
polarisasi inti dan pinggiran. Pihak inti telah menciptakan semi-pinggiran untuk
mencegah instabilitas politik dan kehancuran sistem pertukaran yang tidak adil pihak
inti dengan melakukan eksploitasi besar-besaran diwilaayh pinggiran. Mekanisme
proses ini tidak begitu jelas dalam karya Wallerstein. Pihak semi-pinggiran dapat
mengeksploitasi dan dieksploitasi dari lokasinya sebagai penengah sementara bangsabangsa

dapat

saja

beralih

dari

inti

menjadi

semi-pinggiran

atau

dinaikkan

kedudukannya. Hal ini berlawanan dengan pandangan Frank tentang hubungan


metropolis-satelit sulit melihat bagaimana satelit-satelit yang terbelakang dapat
mengubah status keterbelakangannya. Konsep semi-pinggiran Wallerstein meliputi
banyak negara dalam kaitannya dengan kekuatan ekonomi dan latar belakang politik.
Brazil, Mexico, Argentina saling berdempetan dengan Portugal, Spanyol, Italia,
Norwegia dan Finlandia. Negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Mesir meluas
sepanjang Nigeria dan Zaire sementara Kanada, Australia dan mungkin Selandia Baru
juga berlokasi disini. Dan masih ada ruang tersisa bagi negara-negara sosialis Eropa
Timur dan Vietnam.
Paradigma

ketergantungan

menteorikan

pembangunan

dunia

dengan

kekacauan. Ia mempercepat kematian teori modernisasi dan memberikan penjelasan


tentang Dunia Ketiga yang lebih meyakinkan dan dapat diterima secara politis
dibandingkan perspektif Marxisme Klasik. Keberhasilan utama aliran ketergantungan
adalah menjelaskan kembali obyek untuk dikaji. Melalui pendekatan modernisasi
penekanan akademis akan ditetapkan pada apa yang terjadi dalam ikatan bangsabangsa berkembang. Pendekatan ketergantungan menguak kepelikan ini dan
menunjukkan perekonomian dunia sebagai tujuan utama kajian. Hubungan antara
bangsa-bangsa menentukan status perkembangannya. Keterbelakangan tidak lagi
satu-satunya penyebab bagi mereka yang masih terbelakang. Kemiskinan, stagnasi
ekonomi, kegagalan industrialisasi, tidak adanya tahap lepas landas dan kinerja proyek
yang buruk dewasa ini telah menjadi nyata. Namun, seperti pendahulunya, paradigma

ketergantungan tidak memberikan jawaban untuk semua hal. Setelah paradigma ini
diterima, teori ketergantungan menjadi lebih sistematis dan mulai menimbulkan banyak
kritik. Munculnya kritisisme ini umumnya berasal dari dalam tradisi Marx, dari suatu
debat tentang cara produksi yang dihidupkan dan dimodifikasi kembali. Debat ini
menjadi pokok pembahasan bagian berikut.
NEO-MARXISME: PENGGAMBARAN CARA-CARA PRODUKSI
Kritik awal yang sangat berpengaruh dari perspektif dependensi yang berasal
dari penganut Marxisme Amerika Latin yang bernama Ernesto Laclau. Sasaran
utamanya didalam mengkritik adalah Frank tetapi Wallerstein juga dimasukkan catatan
tambahan dalam penerbitan ulang essay aslinya (Laclau, 1971, 1977). Keberatan
utama Laclau yaitu terhadap pandangan Frank adalah bahwa Amerika Latin secara
keseluruhan merupakan kapitalis dan hal ini terjadi sejak awal penaklukan Spanyol dan
Portugis. Dalam rangka mengungkapkan kasusnya Laclau berdasarkan pada konsep
penganut Marxis yang tidak bisa dipahami mengenai cara produksi.
Bagi Frank dan Wallerstein, kapitalisme merupakan suatu sistem hubungan
pertukaran. Menurut Laclau abstraksi ini, memungkinkan para teoritikus dependensi
tersebut untuk memasukkan suatu cakupan hubungan eksploitatif yang sangat luas
didalam kapitalisme -- inquilinos Chili, merupakan pekerja tekstil di Manchester, bahkan
petani Eropa Abad Pertengahan dan budak pda latifundum Roma. Sebenarnya, yang
meliputi kesemuanya itu adalah persepsi kapitalisme Frank yang menyatakan bahwa
kita bisa menyimpulkan bahwa mulai dari revolusi neolithik sampai selanjutnya tidak
terdapat hal yang lainnya selain kapitalisme (Laclau, 1971, hal 23). Laclau kembali ke
konsep Marxis mengenai cara produksi --suatu hubungan dan kekuatan produksi sosial
yang terintegrasikan secara kompleks yang terhubungkan ke suatu jenis kepemilikan
tertentu atas alat-alat produksi (Laclau, 1971, hal 34). Hanya dua cara produksi yang
membuat Laclau tertarik pada kasus Amerika Latin, yaitu feodalisme dan kapitalisme.
Dalam kedua cara surplus ekonomi tersebut diberikan oleh klas dominan tetapi didalam
kapitalisme buruh yang bebas untuk menjual tenaga kerjanya pada saat kepemilikan
alat-alat produksi dihentikan dari kepemilikan tenaga kerja. Laclau melanjutkannya
dengan mentukan sesuatu yang disebut dengan suatu sistem ekonomi, yaitu

hubungan yang saling menguntungkan diantara unit-unit produksi yang berbeda, dalam
skala regional, nasional maupun internasional (Laclau, 1971, hal 35). Dengan demikian,
dalam posisi yang bertentangan dengan Frank, Laclau mengamati bahwa suatu sistem
ekonomi yang ada mungkin terdiri dari cara produksi yang berbeda tetapi tumbuh
bersamanya dengan suatu cara produksi yang mengasumsikan suatu posisi yang
berbeda.
Di Amerika Latin, pada saat kapitalisme menjadi dominan, terdapat strukturstruktur feodal di seluruh benua tersebut sedangkan pada saat sekarang kondisi semi
feodal masih sangat bercirikan Amerika Latin yang masih pedesaan (Laclau, 1971, hal
32). Laclau merasa tidak nyaman untuk membuat jarak diantara dirinya dengan thesis
dualisme aliran modernisasi. Pada aliran modernisasi ini tidak terdapat adanya
hubungan yang jelas antara sektor progresif modern dengan sektor tradisional tertutup.
Sebaliknya Laclau menyatakan bahwa eksploitasi bergaya feodal ditekankan dan
dikonsolidasikan oleh aktifitas kapitalis di Amerika Latin. Sebagai kutipan untuk contoh,
para petani diarahkan untuk harus merendahkan diri dan pasti merendahkan diri
supaya memaksimalkan keuntungan.
Bertahannya cara feodal bahkan refeodalisasi terjadi sebagai suatu bagian
sistem ekonomi lebih besar yang integral dan dan terstruktur yang didominasi oleh cara
kapitalis. Laclau setuju dengan pendapat Frank bahwa surplus ekonomi sedang
ditransfer dari pinggiran ke pusat. Namun demikian, saat Frank meyakini bahwa
perpindahan ini merupakan penyebab keterbelakangan, Laclau berpendapat bahwa hal
ini merupakan hasil dari hubungan yang lebih mendasar. Kepemilikan alat-alat
produksi, yang merupakan konsep penganut Marx fundamental, membentuk inti
hubungan dasar tersebut yang menentukan bentuk kanalisasi (penyaluran) surplus
ekonomi dan tingkat pembagian tugas, yang selanjutnya merupakan dasar kapasitas
kekuatan produksi spesifik untuk ekspansi (Laclau, 1971, hal 4). Penjelasan Laclau
mengenai pentingnya keterbelakangan bagi pembangunan telah dituduh tidak
meyakinkan secara teoritis maupun dalam prakteknya. (Brewer, 1980,hal 170).
Pemfokusan pada hubungan produksi pasti bermanfaat tetapi hampir kelihatan bahwa
Laclau telah melakukan hal ini dengan lebih bertujuan untuk menunjukkan autentisitas
penganut Marx daripada untuk pencerahan yang menjelaskan. Namun demikian, orang

tidak bisa menuduh Laclau hanya dengan mengulangi pernyataan kedudukan penganut
Marx

klasik

karena

ia

tidak

berbagi

optimisme

Marx

sehubungan

dengan

perkembangan kekuatan produksi dalam suatu kapitalisme Dunia Ketiga. Karya Laclau
bahkan mungkin dipandang sebagi kritik terhadap perspektif penganut Marx klasik.
Yang menganalisa secara bersamaan tetapi independen terhadap pemikiran
Laclau tentang persoalan cara produksi yaitu sekelompok antropolog Perancis
Meillassoux, Godelier, Terray, Dupre dan khususnya Rey. Tulisan-tulisan mereka
menunjukkan suatu sintesa prinsip-prinsip Marxis, dan inspirasinya berasal dari prosa
teoritikus Marxis yang padat dan sulit yaitu Althusser dan Balibar. Antropologi baru
berkeinginan memakai pembedaan Althusser antara cara produksi dan pembentukan
sosial.
Cara produksi merupakan suatu konsep abstrak yang meliputi kekuatan dan
hubungan produksi dan pasti memasukkan mekanisme distribusi. Perlu dicatat bahwa
ambiguitas dan ketidaksetujuan konseptual mengenai apa yang membentuk suatu cara
produksi dan penggunaan konsep yang tidak penting, khususnya untuk semua bentuk
tujuan yang sifatnya menjelaskan telah memperlemah kasus versi neo-Marxisme ini.
Pembentukan sosial merupakan konsep yang lebih konkret yang mana suatu
masyarakat yang sebenarnya mungkin dianggap sebagai pembentukan sosial. Hal ini
mengandung beberapa cara produksi berlainan dan hal seperti ini jelas sekali memiliki
afinitas (daya tarik menarik) dengan pernyataan Laclau tentang sistem ekonomi. Cara
produksi diwujudkan, yaitu cara tersebut akan hidup bersama atau berinteraksi dengan
cara produksi yang mendominasi atas yang lain dalam pembentukan sosial. Hal ini
berbeda dengan marxisme klasik dimana cara produksi dilihat sebagai tahap
perkembangan yang berturut-turut. Misalnya, kapitalisme menggantikan feodalisme.
Dalam reformulasi antropologis hal ini sangat dihargai bahwa transisi diantara cara-cara
adalah suatu hubungan yang sangat lama, sebegitu lamanya sehingga pada
kenyataannya transisi merupakan keadaan hubungan yang normal. Dengan demikian,
tugas analisa utama adalah memahami cara-cara dimana cara yang berbeda saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Cara-cara tersebut saling bertentangan
dimana yang satu pasti menggantikan lainnya dan perlu sekali mengidentifikasikan
bagaimana masing-masing cara direproduksi selama transisi dari dominasi satu cara ke

dominasi cara lain. Penjelasan singkat karya Rey seharusnya membantu menjelaskan
persoalan ini.
Keberatan mendasar Rey yaitu penyusunan suatu kerangka kerja analitis
tunggal yang akan memahami transisi Eropa dari feodalisme ke kapitalisme maupun
perwujudan kapitalisme dengan cara prakapitalis lainnya. Rey mengidentifikasikan tiga
tahap perwujudan, Pertama, interaksi melibatkan kapitalisme yang mengerahkan cara
prakapitalis. Misalnya, dalam masyarakat seketurunan Afrika Barat, perdagangan
budak dan barang sebenarnya memperkuat cara produksi yang ada. Pada tahap
kedua, cara produksi kapitalis menetapkan dominasinya atas cara lain yang hidup
bersama. Misalnya, upah buruh akan diperoleh (jika perlu dengan kekerasan) dan tidak
dihitung dengan hubungan kapitalisme buruh. Secara bersamaan, ekonomi subsistensi
pertanian akan memungkinkan untuk mempertahankan gangguan. Bahkan ketika
diperkenalkan pengumpulan uang cara ini hanya digunakan pada sebagian daerah
pedesaan. Cara produksi kapitalis dan tradisional akan berinteraksi. Penetrasi pertanian
kapitalis mengalami proses lambat. Pada tahap ketiganya cara prakapitalis telah hilang
sepenuhnya. Hal ini belum terjadi di Dunia Ketiga. Rey yakin bahwa, dengan
perkecualian feodalisme, semua syarat produksi prakapitalis bertentangan dan
menentang penyebaran kapitalisme. Untuk menanamkan kapitalisme diperlukan
kekerasan. Negara mengenalkan kolonialisme untuk misi peradaban, dan Rey tidak
mengenal apa yang disebut cara produksi kolonial, yang ditentukan oleh rekruitmen
kerja secara paksa dan penjualan produk secara paksa. Bila dominasi cara kapitalis
tercapai maka tentara kolonial dapat ditarik, kemerdekaan politik dapat diberikan dan
kapitalisme dapat diproduksikan kembali dalam bentuk yang oleh neokoloni sekarang
disebut dengan alat ekonomi murni. Sementara cara prakapitalis tetap ada (misalnya
dalam pengelompokan politis pasca kemerdekaan atau pertanian tradisional), modal
keuangan

metropolitan

menjadi

dominan,

khususnya

dalam

sektor

ekspor.

Keterbelakangan klas kapitalis pribumi dalam cara produksi kolonial membutuhkan


campur tangan jenis modal ini dalam jumlah besar.
Melalui Brewer (1980) kita menemukan cara yang sangat berbeda, pada
kesimpulan politis yang sama dicapai oleh Frank. Eksploitasi yang diderita penduduk
Dunia Ketiga dapat diakhiri hanya melalui konfrontasi langsung revolusi sosialis. Bagi

Frank suatu kapitalisme keterbelakangan yang aktif berada disetiap penjuru Dunia
Ketiga dan tidak akan sepenuhnya mengembangkan kekuatan produksi. Bagi Rey,
diseluruh dunia, kapitalisme dewasa ini memainkan peran revolusi tandingan yang
fundamental: kapitalisme membiarkan bentuk kuno tetap ada dan mempersiapkannya
bila terancam. Kapitalisme akan mengangkat bentuk kuno hanya bila bentuk ini
memang diperlukan dan sesuai dengan kapitalisme. Bila perlu, cara prakapitalisme
lama akan diperbaharui kembali. Analisa ini sangat berbeda dengan gagasan Frank
namun resep aksi politisnya sama. Sama dengan semua aliran teori pembangunan
persaudaraan perwujudan cara produksi telah menghadapi kritik yang tajam. Konsep
cara produksi dasar yang sukar di pahami dan kurangnya aplikasi telah menghambat
dalam penerimaannya yang lebih luas. Dalam beberapa hal, sering terjadi bahwa dunia
akademik hanya menjadi

menara gading yang tidak dekat dengan realitas

pembangunan. Sesungguhnya penurunan penggunaan pendekatan cara produksi


banyak berkaitan dengan fakta bahwa pedekatan ini lebih sebagai persoalan semantik
dan tidak mengacu pada apa yang benar-benar terjadi di Dunia Ketiga. Masalah lain
pendekatan ini adalah bahwa dalam beberapa hal nampaknya terdapat beberapa
jumlah cara produksi yang tidak terbatas . Misalnya ,di pegunungan atau daerah rawa
papua Nugini , dapat ditemukan siatu kelompok bahasa ,budaya, dan cara produksi
yang baru ! Ada yang menanyakan apakah cara produksi kolonial merupakan konsep
yang sah . Apa hubungan sesungguhnya dengan kapitalisme? Ciri utamanya adalah
pemaksaan rekruitmen tenaga kerja , namun dalam banyak contoh para penganut
prakapitalis tidak mengakui hubungan kerja dunia kapitalisme . Mungkin generalisme
yang dilakukan rey mengenai persoalan ini berasal dari kajiannya yang hanya bertumpu
pada satu studi kasus yaitu masyarakat seketurunan di Kongo-Brazzaville.
Pandangan neo-Marxisme juga banyak sekali jumlahnya. Misalnya, Arghiri
Emmanuel mengusulkan teori pertukaran yang tidak seimbang, yang merupakan
perluasan teori Marx tentang harga produksi dalam perekonomian internasional.
Froebel dan teman-temannya mengenalkan perubahan kualitatif dalam perekonomian
dunia yang menghasilkan suatu pembagian tugas internasional yang baru. Produksi
komoditas telah disubdivisikan ke dalam bagian-bagian kecil yang diberikan ke negara
mana saja yang memiliki kombinasi antara modal dan tenaga kerja yang paling

menguntungkan. Hal ini berarti bahwa, untuk pertama kalinya, pelaksanaan manufaktur
di negara berkembang dapat menguntungkan. Samir Amin (1976) memiliki pendapat
yang sesuai dengan hampir setiap konsep dalam aliran neo-Marxisme dengan program
teoritasnya yang kurang ambisius. Kami hanya memberikan suatu sampel dari
beberapa perdebatan dan persoalan utama dalam literatur teoritas yang telah
dihasilkan selama tahun 1970-an dan awal 1980-an perkembangan neo-Marxisme.

NEO-POPULISME
Meskipun neo-Markis menentang cara-cara produksi dan sistem dunia, beberapa
penulis lain mengambarkan inspirasi dari sumber yang berbeda. Ini merupakan tradisi
pemikiran populis. Sejak abad ke-19 awal, Eropa secara reguler menelorkan banyak
penulis yang mengkritik industrialisasi berskala besar dengan alasan biaya sosial dan
biaya manusia dari proses ini jauh tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh
(Kitching, 1982). Secara umum mereka ingin memunculkan banyak hambatan untuk
mencegah kerusakan dan pembinasaan yang diakibatkan oleh industrialisasi. Periode
setelah Perang Dunia Pertama menyaksikan banyak penulis, terutama Chayanov
(1966), mengkritik pandangan populis dan mempertanyakan dasar pemikiran ekonomi
untuk melakukan produksi berskala besar baik dalam pertanian dan industri, sementara
itu secara bersamaan menunjukkan sebuah strategi alternatif pembangunan. Visi
pembangunan seperti ini masih kita anut hari ini dalam karya neo-populis masa kini dan
berfokus pada perusahaan berskala kecil, retensi (pemertahanan) produksi pertanian
dan retensi produksi komoditasnon-pertanian kecil-kecilan, dan berfokus pada dunia
desa dan kota-kota kecil daripada kota industri besar (Kitching, 1982, hal 98). Namun
demikian, kaum neo-populis dewasa ini bukan seorang yang mengejar (membuat) idyl
(proses yang menggambarkan keindahan alam) pedesaan. Mereka kenal dengan dan
menggunakan ilmu ekonomi jauh lebih baik daripada para pendahulunya, mereka
menerima industrialisasi parsial (sebagian saja) dan ingin memodernisasikan (seperti
membuat

lebih

produktif)

pertanian.

Perhatian

moralnya

masih

tertuju

pada

pertidaksamaan (ketidakadilan) dan masalah prinsip sehubungan dengan bagaimana


mendistribusikan kekayaan dan pendapatan secara merata. Usulan mereka untuk
produksi skala kecil dan inovasi kebijakan terkait lainnya umumnya dibuat dengan

pertimbangan ini. Neo-populis merupakan kelompok yang bervariasi sesuai dengan


nama-nama yang dikutip dalam buku Kitching. Julies Nyerere, E.F. Schumacher,
Michael Lipton, Organisasi Buruh Internasional (ILO), Bank Dunia (WB), dan tambahan
dari kami, ecodevelopers semuanya adalah neo-populis. Jelas nama-nama mereka
dikenal dengan lebih baik daripada banyak penulis lain yang kami temukan dalam
survei teori pembangunan. Banyak orang mendengarkan Julius Nyerere, mantan
presiden Tanzania, atau E.F. Schumacher, atau organisasi multinasional seperti ILO.
Sebaliknya, orang-orang tertentu hanya mengetahui sedikit atau bahkan kurang
memahami mereka yang membuat teori mengenal cara-cara produksi, apa saja
kebaikan intelektual dari pendekatan ini. Sebagaimana bisa diduga dari label nama
yang kami kumpulkan, gagasan noe-populis lebih bisa dicerna dan mempunyai
peredaran dan daya tarik yang luas. Gagasan mereka berorientasi praktis, khususnya
bila dibandingkan dengan teori neo-Marxis atau variabel pola Parson.
Julius Nyerere mempunyai banyak daya tarik pada tahun 1960-an ketika dia
meneliti dan kemudian berusaha mengimplementasikan versi sosialisme Afrika. Baik
kaum liberal maupun kaum revolusioner juga terpesona. Nyerere percaya kalau bentuk
tradisional sosialisme Afrika yang bertahan hidup itu dapat digunakan sebagai basis
untuk

mengembangkan

sosialisme

dengan

segera.

Perlunya

untuk

melewati

kapitalisme yang telah berkembang dengan sempurna agar dapat mencapai sosialisme
ditiadakan dan dikecam sebagai alat pemikiran Eropa yang bersifat etnosentrik. Afrika
sebelum dijajah adalah sosialis, dan meskipun keluarga Afrika secara politik tidak
menyadari hal ini, mereka hidup sesuai dengan prinsip dasar ujamaa--saling
menghormati, berbagi kekayaan dan pendapatan, dan kewajiban untuk bekerja.
kelemahan diakui. Wanita adalah bawahan dan dieksploitasi sementara itu juga terjadi
kemiskinan

materi.

Kolonialisme

telah

memperkenalkan

unsur-unsur

yang

bertentangan, seperti individualisme ekonomi dan pertentangan kelas/golongan. Tetapi


tidak hilang semuanya. Sosialisme Afrika yang telah direvitalisasi dan diperbaiki dapat
dimobilisir untuk menghasilkan perkembangan sosial dan ekonomi secara seimbang.
Nyerere menunjukkan peranan sentral dalam pertanian. Untuk alasan pragmatis
murni hal ini tidak bisa dielakkan. Tanzania adalah sebuah negara yang umumnya
tersusun dari petani-petani miskin. Industrialisasi yang cepat tidak jalan karena

kelangkaan modal dalam negeri dan kurangnya infrastruktur dan ketrampilan, dengan
demikian perusahaan multinasional akan sulit masuk kedana. Nyerere menganggap
Tanzania tersusun dari desa-desa yang ujamaa yang mandiri yang menghasilkan dan
mengkonsumsi berdasarkan kerjasama. Industrialisasi haruslah padat tenaga kerja,
secara teknis dan geografis tersebar dengan tepat. kota-kota kecil dan besar bersifat
eksploitatif dan parasit dan tidak mempunyai peranan sentral dalam pertanian masa
depan bangsa. Tengkulak dan lintah darat, dalam negeri atau internasional, juga
memperlihatkan karakteristik yang buruk sekali dan tidak bisa dipercaya. Kerjasama,
koperasi dan kerja keras tidak begitu tampak. Akhirnya, seperti diamati oleh Kitching
(1982, hal 69), tidak bisa dikatakan kalau sosialisme, bagi Nyerere, adalah persamaan
atau

setidaknya

peningkatan

keadilan dalam distribusi

produksi

sangat

penting,

kekayaan masyarakat.

peningkatan

produksi

harus

Meskipun
dilakukan

sehubungan dengan langkah-langkah untuk menjamin keadilan dalam distribusi


produksi.
Implementasi filsafat ujamaa tidak berjalan dengan baik dalam pola yang
diharapkan. Meskipun banyak pelayanan yang membaik dan setidaknya persamaan
terpelihara, pertumbuhan ekonomi tidak terjadi seperti yang diharapkan (lihat Tabel
2.1). Kenaikan produksi yang lamban dalam tanaman pangan cukup mencemaskan.
Desasisasi

(villagisation)

yang

dipaksakan

sering

tidak

populer

sementara

administrasi yang ditinggalkan sangat diinginkan. Pertanian komunal (umum) diabaikan


oelh orang-orang karena kekeringan tidak berarti apa-apa untuk membantu mereka
(untuk evaluasi yang rinci lihat Kitching, 1982, hal 104-124).
Menurut Michael Lipton ekonom akademikus (1977, hal 13), pertentangan kelas
yang paling penting dinegara-negara miskin dunia dewasa ini bukan antara tenaga
kerja dan modal. Ataupun bukan antara kepentingan asing dan kepentingan nasional.
Pertentangan itu adalah antara kelas pedesaan dan kelas perkotaan. Ini bukan
pertentangan kelas dalam artian Marks atau bahkan Weber tetapi tampaknya lebih
mengarah ke kelompok kepentingan. Betapapun pertentangan itu digambarkan dengan
tepat, perkotaan terus menjadi pemenang. Agar dapat mencegah oposisi pedesaan
yang terorganisir, kaum elit perkotaan terus sibuk menyogok kelas-kelas pedesaan
yang ternama. Akibat dari pertentangan dan manuver politik ini adalah kebijakan

pembangunan dibiaskan (dibelokkan) sesuai dengan daerah perkotaan. Kemiskinan,


yang sangat terpusatkan didaerah pedesaan, dipertahankan dan proses pembangunan
daerah.
Rejim kebijakan bias perkotaan termasuk peningkatan industrialisasi padatmodal, yang secara spasial (ruang/tempat) terpusatkan didaerah perkotaan dan tidak
efisien. Peraturan perdagangan domestik merugikan produsen pedesaan. Para
produsen pedesaan merugi akibat harga input pertanian sangat mahal sementara pada
saat yang sama mereka menerima inisiatif pemerintah untuk menjaga harga makanan
secara rendah untuk konsumen perkotaan. Terlalu sedikit dana yang diinvestasikan
untuk pendidikan pedesaan sementara terlalu banyak mereka yang mendapatkan
ketrampilan lebih baik pindah ke kota. Tetapi bias perkotaan tidak hanya terbukti dalam
hal alokasi sumber daya, tetapi juga kondisi pikiran. Alokasi sumber daya yang tidak
tepat terkait dengan sifat atau kecenderungan bias perkotaan diantara pembuatkeputusan dan orang-orang yang berpengaruh. Tidak saja mereka melakukan alokasi
sumber daya yang tidak merata sesuai dengan daerah perkotaan, mereka juga
mendapati justifikasi (pembenaran) intelektual untuk hal tersebut.
Tragisnya, Lipton percaya kalau pertanian para petani sangat efisien. Rasio
modal/output adalah lebih rendah untuk pertanian petani daripada untuk kegiatan
ekonomi lainnya--dampak terhadap output $1 dari investasi yang dipilih dengan
seksama dikebanyakan negara adalah lebih tinggi dua hingga tiga kali di pertanian
daripada di bidang lain (Lipton, 1977, hal 16). Dia melakukan perbaikan dengan cara
mengarahkan kembali modal ke pertanian dan jauh dari kegiatan perkotaan yang tak
efisien dan golongan perkotaan yang diistimewakan secara berlebihan. Jika pemutarbalikan harga (langkah pemerintah untuk menjaga harga makanan tetap rendah,
subsidi untuk barang modal industri yang diimpor) dihilangkan maka keseluruhan
konspirasi bias perkotaan akan terbuka. Sehingga pembangunan yang merata yang
didasarkan pada petani yang efisien akan bisa berlangsung. Akhirnya, industrialisasi
bisa diijinkan, tetapi biasanya diperlukan perkembangan pertanian massa sebelum
anda dapat memperluas pembangunan yang berhasil dalam banyak sektor lainnya
(Lipton, 1977, hal 23). Banyak orang tidak mempercayainya dan terjadi perdebatan
sengit dan kecaman. Misalnya, pada tataran empirik, pernyataannya tentang arus

sumber daya satu-arah dari pedesaan ke daerah perkotaan diragukan, apakah pajak
sebenarnya lebih berat membebani pertanian daripada industri atau apakah distribusi
pendapatan intra-pedesaan kurang merata daripada distribusi pendapatan intraperkotaan. Pada tataran konseptual, gagasan dia tentang kelas banyak diserang
sementara sifat analisa ekonomi jangka-pendeknya juga kurang. Bahkan Lipton (1984,
hal 39) dalam mempertahankan tesisnya, mengakui kalau bias perkotaan tidak berlaku
pada semua negara kurang maju, misalnya beberapa perekonomian yang sangat
terbuka.
Lawan

final

ecodevelopment,

untuk

sebuah

kesimpulan
kata

yang

dalam

kategori

digulirkan

pada

menggabungkan ekologi (ecology) dan pembangunan

neo-populis
tahun

1970

adalah
dengan

(development), yang berarti

pembangunan yang aman secara ekologi atau secara lingkungan (Glaeser dan
Vyasulu, 1984, hal 23). Asal-usul pendekatan ini terjadi pada akhir 1960-an ketika
kontrol polusi harus masuk dalam agenda politik negara industri. Ini melahirkan
kepedulian lebih besar terhadap lingkungan fisik. Segera bel alarm berdering, ada
peringatan kalau planet bumi dalam kondisi membahayakan (Dasmann, 1972).
Semakin membaiknya penekanan pada sumber daya dunia tidak dapat dipertahankan.
Eco-doomster meramalkan bencana kedepan. Umat manusia diambang kepunahan
(Ehrlich, 1970, hal 1), perjalanan peradaban sekarang nyaris bunuh-diri (Commoner,
1972, hal 294). Sesuatu harus dilakukan untuk menyelamatkan ruang bumi. Adalah
perlu untuk meningkatkan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan lingkungan
fisik, suatu hubungan yang akan menjamin kesehatan fisik dan keberlangsungan hidup
masyarakat dan lingkungan fisik.
Hal penting pada kasus pembangunan ekologi (ecodevelopment) adalah kritik
pembangunan ekonomi. Disamping ahli lingkungan, banyak ahli ekonomi meragukan
apakah pembangunan dapat diimbangi dengan ekspansi GNP secara konstan atau
apakah ekspansi demikian dapat dipertahankan. Tidakkah lebih banyak produksi berarti
lebih banyak polusi dan degradasi lingkungan? Dan biaya darimana yang digunakan
untuk memperbaiki malapetaka ini? Ekonom Inggris, Mishan, menentang pertumbuhan
ekonomi (Mishan, 1967,1977). Dia bersikeras kaalu penerimaan pertumbuhan ekonomi
tanpa adanya kritik, maka pertumbuhan ekonomi seperti ini akan melupakan ongkos

pertumbuhan itu. Dia juga sepakat dengan ahli lingkungan, dengan berkata kalau
mereka tidak menginginkan ekonomi tanpa pertumbuhan semata, tidak menghendaki
terjadinya resesi dalam perekonomian yang sedang tumbuh......[Mereka] menginginkan
masyarakat pada umumnya menerima kondisi ekonomi yang stabil sebagai bentuk
kebijakan sosial yang dikehendaki (Mishan, 1977, hal 108). Schumacher (1973, hal 28)
cemas kalau pengejaran pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas berpengaruh buruk
terhadap sistem alam yang seimbang [yang kemudian] menjadi tidak seimbang. Dia
menyedihkan kenyataan kalau telah terjadi penerimaan gagasan secara tidak kritis,
yang disebarkan oleh ekonom dan politikus, bahwa pertumbuhan GNP harus bagus
sehubungan dengan apa yang telah tumbuh dan siapa yang telah mengambil manfaat.
Gagasan bahwa akan terjadi pertumbuhan patologi, pertumbuhan tak sehat,
pertumbuhan destruktif atau bersifat merusak.......merupakan gagasan jahat yang tidak
boleh muncul ke permukaan (Schumacher, 1973, hal 46). Bahkan Club of Rome yang
tenang menurunkan sebuah laporan berjudul The Limits to Growth (Batas-batas pada
Pertumbuhan) oleh para ilmuwan dari Massachussetts Institute of Technology
(Meadows dkk, 1972). Ini disusul dengan sebuah laporan lebih lanjut yang
berkesimpulan bahwa fokus manusia pada pertumbuhan harus menghasilkan
keseimbangan (Forrester, 1971).
Pembangunan ekologi menuntut jawabana atas terjadinya bencana lingkungan
di masa mendatang yang mengancam keberadaan bumi. Pertama pembangunan
ekologi diduga menjadi sebuah strategi pembangunan yang didasarkan pada
penggunaan sumber daya lokal secara bijaksana dan berdasarkan pengetahuan para
petani kecil, yang bisa diaplikasikan pada daerah pedesaan terpencil dari negara Dunia
Ketiga'(Sachs, 1971, hal 1). nAmun, konsep in diperluas untuk mencakup makna:
Pendekatan pada pembangunan dimaksudkan untuk menyelaraskan tujuan
sosial dan tujuan ekonomi dengan manajemen ramah ekologi, dalam semangat
solidaritas dengan generasi mendatang; berdasarkan asas mandiri, pemenuhan
kebutuhan dasar, simbiosis baru antara manusia dan bumi; jenis pertumbuhan
kualitatif lain, bukan pertumbuhan nol, bukan pertumbuhan negatif (Sachs seperti
dikutip dalam Glaeser dan Vyasulu, 1984, hal 25).
Menurut Sachs, pembangunan ekologi mencakup tipe kebijakan berikut:

1. Harmonisasi pola konsumsi, penggunaan waktu, gaya hidup;


2. Teknologi yang tepat, rancangan berbasis-ekologi;
3. Profil rendah energi, promosi basis energi yang bisa diperbaruhi;
4. Penggunaan sumber daya baru lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara
bijaksana, recycling (daur ulang);
5. Asas-asas ekologi untuk membina pola perkampungan dan penggunaan lahan;
6. Perencanaan partisipatori dan pemberdayaan akar rumput (kaum marjinal).
Sachs dan ecodevelopers sejamannya (pembangun berorientasi lingkungan)
mengatakan kalau mereka tidak menganjurkan tipe regresi (kemunduran) kearah gaya
hidup pedesaan yang diidamkan, yang sebenarnya tidak pernah ada. Mereka juga
mengatakan kalau mereka tidak bermaksud menghentikan atau menghambat
pertumbuhan tetapi bermaksud menemukan metode dan penggunaan pertumbuhan
yang membuat kemajuan sosial dan manajemen sumber daya dan lingkungan secara
bijaksana (Sachs, 1977, hal 1).
Pernyataan bersifat mendamaikan kearah gagasan pertumbuhan ini bisa
mencerminakan upaya para ecodevelopers untuk menghilangkan kecurigaan atau
ketidakpercayaan terhadap Dunia Ketiga dan dibanyak kasus, meredakan pertentangan
yang

hebat

dengan

ecodevelopers.

Pertama,

reaksi

Dunia

Ketiga

terhadap

memburuknya masalah polusi global pada tahun 1970-an adalah bahwa masalah polusi
global itu telah diciptakan oleh bangsa-bangsa industri yang oleh karena seharusnya
bertanggung jawab menyelesaikan masalah itu. Kedua, ada kecurigaan kalau
pembicaraan anti-pertumbuhan, anti-industrialisasi adalah bagian dari konspirasi untuk
menjaga Dunia Ketiga agar dalam kondisi pengangguran secara abadi. Kenaikan
produksi yang berarti sangat diperlukan untuk mensuplai kebutuhan dasar dibanyak
negara. Banyak diskusi yang meragukan manfaat pertumbuhan merupakan sindiran
bagi

negara

industri.

Para

ecodevelopers

memperkuat

dukungannya

pada

industrialisasi melalui strategi industri alternatif, yang berpendapat kalau strategi industri
alternatif ini merupakan elemen kunci pembangunan (Vyasulu, 1984). Ini sesuai dengan
semua pembangunan neo-populis. Ketiga, gerakan pembangunan ekologi ditujukan
untuk mempromosikan teknologi yang tepat dalam pertanian dan manufaktur. Teknologi
ini mula-mula berskala kecil, sederhana, mudah dipelihara, padat karya, tidak

menimbulkan polusi dan mudah dihasilkan kembali. Pemerintah Dunia Ketiga bahkan
lebih mencutigai plot Dunia Pertama yang dimaksudkan untuk menipu Dunia Ketiga
dengan teknologi-level dua (tentu tidak sehebat teknologi yang dipunyai Dunia
Pertama) agar bisa memproteksi hak istimewa Dunia Pertama. Sehingga, perumusan
kembali teknologi yang tepat yang lebih baru berupa teknik apa saja, intermediate atau
maju, berskala besar atau skala kecil, sederhana atau canggih, yang menggunakan
ilmu pengetahuan dalam suatu pola yang sesuai dengan persyaratan situasi--yang
ditentukan oleh konsep pembangunan ekologi--dan oleh karena itu mencakup faktorfaktor ekonomi, ekologi sosio-kultural dan politik (Glaeser dan Vyasulu, 1984, hal 31)-bukan merupakan definisi yang terjelas! Mungkin pemerintah, atau setidaknya
kelompok-kelompok tekanan, dinegara-negara Dunia Ketiga semakin menyadari
persoalan lingkungan karena hutan semakin gundul, batas air yang rusak, erosi tanah
yang semakin merajalela, polusi perkotaan semakin hebat dan, mereka sadar, industri
yang paling mengganggu dan limbah beracun Dunia Pertama telah menetap kembali di
Negara Ketiga. Banyak lembaga internasional dan lobi politik Barat terus menyebarkan
kepedulian mereka mengenai pentingnya masalah tersebut. Pembangunan ekologi
kemudian menjadi sangat hidup.
KESIMPULAN
Di bab ini kami meninjau beberapa pendekatan paska-perang penting pada
sosiologi pembangunan. Tak satupun teori mencapai dan mempertahankan dominasi
eksplanatori. Saat sekarang, Marxis (penganut Marx) telah mengidentifikasi adanya
jalan-buntu dalam pendekatan-yang dipengaruhi Marxis pada sosiologi pembangunan
(Booth, 1985). Mereka tidak melihat jalan jelas kearah depan tetapi berpendapat kalau
masalah metateori tertentu membutuhkan solusi sebelum kemajuan lebih lanjut bisa
dicapai. Tetapi yang lainnya tidak begitu terbebani. Teori ketergantungan menolak
untuk melangkah jauh dan tunduk pada penilaian kembali secara reguler (misalnya
Seers, 1981). Bahkan ada badan literatur yang menunjuk atau mengacu pada
pembalikan ketergantungan (dependency reversal), dimana banyak penulis berusaha
untuk

membentuk

peristiwa,

proses-proses

dan

fenimena

yang

lepas

dari

ketergantungan (Sklair, 1988, hal 702; Doran dkk, 1983). Saran lebih lanjut

mengatakan bahwa tradisi Weber-kiri akan memberikan pandangan yang paling


bermanfaat untuk sosiologi pembangunan (Vandergeest dan Buttel, 1988). Bahkan ada
perspektif modern yang direvitalisasi dimana kekeliruan masa lalu diketahui dan banyak
upaya dibuat untuk menghadapi cara-cara baru dengan agenda modernisasi yang
belum selesai (Nash, 1984). Pendekatan ini menghasilkan interpretasi baru dari Kiri
(Worsely, 1984) sebuah perhatian untuk budaya, khususnya jalan dimana kebudayaan
bisa mempengaruhi proses pembangunan.
Meskipun telah ada banyak aktivitas diatas, ada keraguan tentang apakah
sosiologi teori pembangunan telah memberikan kontribusi bermakna pada praktek
pembangunan. Banyak yang mengatakan kalau kesukaan pada sosiologi berhubungan
dengan dunia pembangunan nyata. Ciri-ciri yang khas dari negara atau kawasan lenyap
dalam terminologi cara-cara produksi atau variabel pola, yang tampaknya tidak berguna
untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Diskusi
mengenai proses-proses kemasyarakatan yang luas mungkin bisa menyediakan sedikit
saran nyata pada mereka yang tugasnya adalah untuk menghasilkan pembangunan.
Salah satu masalah pokok dari sosiologi pembangunan ada dalam sosiologi
yang sesungguhnya . Dikatakan kalau pada tahun 1960-an sosiologi kurang
memperhatikan perubahan sosial pada peranan disipliner yang kecil dan meninggalkan
asas-asas intervionis pra-perang (Midgley, 1988). Pelepasan tanggung jawab ini
mempermuda munculnya ilmu ekonomi baik dalam teori maupun praktek pembangunan
. Penerimaan pembangunan sebagai proses ekonomi yang esensial mudah di peroleh.
Sosiologi memainkan peranan pendukung (mendukung peranan ekonomi, tidak
memainkan peran yang utama ). Banyak ekonom (seperti Hoselizt, 1960) bahkan
menjadi sosiolog untuk dirinya sendiri. Tokoh ternama dari sosiologi pembangunan neoMarkis telah menjadi ekonom atau penulis tentang ekonomi politik dan ekonom sosial
(seperti Frank, Warren, Wallerstain). Bahkan ketika fenomena sosial seperti kemiskinan
dan kebutuhan dasar mengancam garis terdepan perhatian pembangunan, para penulis
yang berbasis tradisi neo-ekonomi institusional (seperti Myrdal, Seers dan Streeten)
membuka jalan (Midgley, 1988, hal 21). Saat ini, gagasan para ekonom, yang dikenal
secara kolektif sebagai counter-revolutionaries (Toye, 1987), tampaknya tetap bergema
dalam dunia pembangunan. Berbeda dengan kebanyakan sosiolog, tetapi seperti

banyak pendahulu indisiplinernya, para ekonom ini (seperti Bauer, Balassa, Little dan
Lal) telah mendemonstrasikan bagaimana teori dapat dengan mudah diterjemahkan
kedalam praktek oleh pembuat-kebijakan. Memang, mereka percaya kalau kinerja
pembangunan yang buruk terutama merupakan akibat dari pembuatan kebijakan yang
buruk dan telah mengidentifikasi tiga masalah pokok dalam kebijakan pembangunan
masa kini--sektor publik yang diperluas secara berlebihan, penekanan berlebihan pada
pembuatan modal fisik dan berkembangnya kontrol ekonomi yang menimbulkan banyak
gangguan. Meski banyak yang percaya bahwa penerapan visi pertumbuhan barunya
bersifat tidak jelas dan kabur, banyak tokoh berpengaruh dalam media politik dan media
finansial, Kanan Baru (the New Right), pemerintah Barat dan lembaga ekonomi
multinasional seperti Bank Dunia sangat menerima gagasan counter-revolutionary itu.
Bahkan mungkin untuk melihat dukungan sosiologi dalam bentuk sebuah strategi yang
dinamakan pembangunan institusional, suatu proses untuk memperbaiki kemampuan
lembaga-lembaga untuk memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber finansial
yang ada secara efektif (Israel, 1987, hal 1). Tetapi sosiologi masih tetap menjadi
bawahan ilmu lainnya. Bauer (1984) kembali pada sosiologi ekonomnya sendiri dalam
penjelasannya mengenai bagaimana kebudayaan berpengaruh terhadap kinerja
ekonomi.
Meski ada masalah subordinasi, abstraksi dan grandness, praktek teori dalam
sosiologi pembangunan bukan berarti sia-sia dan masa depannya cukup cerah.
Pertama, hari-hari grand theory telah berlalu. Kita tidak lagi menemukan pendukung
teori ini yang berusaha menjelaskan segala sesuatu. Sebagian hal ini diakibatkan
kesadaran kalau keragaman (heterogenity) merupakan salah satu karakteristik yang
menonjol dari Dunia Ketiga. Sehingga, daripada mencari keteraturan (regularity) dab
ciri-ciri umum pembangunan yang menyebabkan kebanyakan Dunia Ketiga tampak
serupa, para sosiolog sekarang tampaknya bersedia menyampaikan masalah yang
sangat berbeda--kekuatan-kekuatan apa yang menyebabkan variasi yang dramatik tadi
dalam Formasi Dunia Ketiga? Seperti dicatat oleh Boudon (1986, hal 87), para teorikus
pembangunan menyukai hukum kondisional tipe jika A maka B. Ini terbukti
menimbulkan validitas yang meragukan, karena setiap hukum yang dirumuskan dapat
dibuat dari Dunia Ketiga yang sangat beragam. Saran Boudon (1986) yang dinamakan

hukum adalah model ideal yang dapat lebih atau kurang bisa diwujudkan dalam kasus
tertentu, tetapi area validitasnya tidak dapat didefinisikan secara eksak.
Apresiasi beberapa atau semua kelemahan dalam sosiologi teori pembangunan
telah mengurangi kecurangan dan pertengkaran sengit yang mensifati debat teori
terdahulu. Yang muncul sekarang adalah tanda mundur dari ideologi dogmatik dan
menerima kalau ada kesepadanan yang terbatas pada perspektif (Harrison, 1988).
Jalan kedepan tahun 1980-an lebih melalui karya ilmiah yang berinformasi teori.
Banyak sosiolog menjadi lebih bijaksana karena debat teori tahun 1970-an. Mereka
banyak belajar dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, kesalahan yang dibuat dan
asumsi-asumsi yang diperselisihkan. Mereka tidak lagi merasa perlu untuk melengkapi
pembaca dengan sebuah teori. Dalam kata-kata Walton (1987, hal 200), trens-nya ke
arah menjelaskan banyak pengalaman yang kusut. Karena itu, dengan menjelaskan
pengalaman sebagai tujuan pokok, adalah mungkin untuk memanfaatkan teori yang
tepat yang ditarik dari berbagai perspektif. Juga benar kalau sosiolog telah
menunjukkan kesediaannya untuk memanfaatkan teorinya dalam melakukan penelitian
yang berorientasikan masalah. Dan bila ada Marxist yang memerlukan strategi politik
untuk mempercepat revolusi sosialis yang tidak pernah datang, maka sekarang ada
banyak teorikus yang mendukung kepentingan yang direvitalisasikan dalam persoalan
kebijakan dan praktek pembangunan dunia-nyata (Booth, 1985, hal 777).

BAB IV
Teori Pembangunan

4. A.Teori- teori Pembangunan : Sebuah analisis komperatif


Ada lima pendekatan dalam mempelajari pembangunan ekonomi; 1. model- model
pertumbuhan bertahap linier (linier- stages-of growth models), 2. Kelompok teori dan
pola-pola perubahan struktural ( the structural chang teories and patterns), 3. Revolusi
ketergantungan international ( international dependence ervolution), 4. kontrarevolusi
pasar bebas neo klasik ( neoclasical

free

market kontrarevolution) 5.

teori

pertumbuhan ekonomi baru atau endogen ( new or endogenous theory of economic


growth).
4. B. Teori tahapan linear
1.Tahap- tahap pertumbuhan Rostow
Menurut teori ini, negara- negara maju seluruhnya telah melampui tahapan
tinggal landas menuju pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang
berlangsung secara otomatis ( kemajuan

ekonomi mereka sudah

sedemikian mapan, sehingga roda ekonomi tanpa diatur secara khusus,


sudah dapat berputar dengan sendirinya untuk menggerakkan perekonomian
dan membawa seluruh penduduk ke taraf hidup yang lebih baik), Sedangkan
negara- negara yang sedang berkembang pada umumnya berada

pada

tahapan penyusunan kerangka dasar tinggal landas. Salah satu dari sekian
banyak taktik pokok pembangunan untuk tinggal landas adalah pengerahan
atau mobilisasi dana tabungan ( dalam mata uang domestik maupun valuta
asing) gunan menciptakan bekal investasi dalam jumlah yang memadai untuk
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Adapun mekanisme perekonomian
yang mengandalkan peningkatan investasi demi mempercepat pertumbuhan
ekonomi, dapat diterangkan melalui pertumbuhan Harrod- Domar ( HarrodDomar Growth Model ) sebagai berikut:
2. Model Pertumbuhan Harrod- Domar
Setiap perekonomian pada dasarnya memang harus senantiasa menabung
sebagian tertentu dari pendapatan

nasionalnya untuk menambah atau

menggantikan barang-barang

modal ( gedung, alat-alat dan bahan baku)

yang telah susut atau rusak. Namun, untuk memacu pertumbuhan ekonomi,
dibutuhkan investasi yang baru merupakan tambahan neto terhadap
cadangan aau stok modal (capital stock). Bila kita asumsikan bahwa ada
hubungan

ekonomi

langsung

antara

besarnya

stock

modal

secara

keseluruhan, atau K, dengan toal GNP, atau Y-katakanlah jika dibutuhkan


modal sebesar US$ 3 untuk menghasilkan US$ 1 dari GNP- maka hal itu
berarti bahwa setiap tambahan neto terhadap stock modal dalam bentuk
investasi baru akan menghasilkan kenaikan arus output nasional atau GNP.
Mari kita umpamakan saja bahwa hubungan ini, yang dalam ilmu ekonomi
dikenal sebagai rasio modal output ( capital output rasio) adalah 3
berbanding 1. Seandainya kita tetapkan rasio modal- output sebagai k, rasio
tabungan sebagai s, merupakan persentasi atau bagian tetap dari output
nasional yang selalu ditabung ( misalnya

6 persen) dan bahwa jumlah

investasi ( penanaman modal) baru ditentukan oleh jumlah tabungan total (S),
maka kitapun dapat menyusun sebuah model pertumbuhan ekonomi yang
sederhana sebagai berikut:
1.

Tabungan (S) adalah bagian dalam jumlah tertentu, atau s, dari


pendapatan nasional (Y). Oleh karena itu, kitapun dapat menuliskan
hubungan tersebut dalam bentuk persamaan yang sederhana:
S = sY

2.

Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang
dapat diwakili oleh AK, sehingga kita dapat menuliskan persamaan
sederhana kedua sebagai berikut:

I = AK , Akan tetapi, karena jumlah stok modal

K mempunyai hubungan

langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y, seperti telah


ditunjukkan oleh rasio modal output, k, maka:
K/Y = k atau AK/AY = k atau akhirnya AK = kAY.
B. Terakhir, meningat jumlah keseluruhan dari tabungan nasional (S) harus
sama dengan keseluruhan investasi (I), maka persamaan berikutnya dapat
ditulis sebagai berikut:

AY/Y = s/k.
Persamaan yang merupakan versi sederhana dari persamaan Harrod Domar
dalam teori pertumbuhan ekonomi yang sangat terkenal. Secara jelas
menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan GNP (AY/Y) ditentukan secara
bersama-sama oleh rasio tabungan nasional, s, serta rasio modal output
nasional,k, Secara lebih spesifik, persamaan itu menyatakan bahwa tingkat
pertumbuhan pendapatan nasional akan secara langsung atau secara positif
berbanding lurus dengan rasio tabungan ( yakni semakin banyak bagian GNP
yang ditabung dan dinvestasikan, maka pada akhirnya nanti akan lebih besar
lagi

pertumbuhan

GNP

yang

dihasilkannya)

dan

secara

negatif

atau

perbandingan terbalik terhadap rasio modal-output nasional atau k, maka tingkat


pertumbuhan GNP akan semakin rendah). Logika ekonomi yang terkandung
dalam persamaan tersebut sangat sederhana. Agar bisa tumbuh dengan pesat
maka setiap perekonomian haruslah menabung dan menginvestasikan sebanyak
mungkin dari GNP-nya . Semakin banyak yang dapat ditabung atau
diinvestasikan maka laju pertumbuhan perekonomian semakin cepat. Akan
tetapi, Tingkat pertumbuhan maksimal yang dapat dijangkau pada setiap tingkat
tabungan dan investasi juga amat tergantung kepada tingkat produktifitas
investasi tersebut. Apa yang lazim disebut sebagai tingkat tingkat produktivitas
investasi adalah- banyaknya tambahan output yang didapat dari satu unit
investasi - dapat diukur dengan kebalikan rasio output- modal, k, karena rasio
yang sebaliknya ini yakni 1/k, adalah rasio output modal atau output- investasi,
Selanjutnya dengan mengalikan tingkat rasio baru s =I/Y,

dengan tingkat

produktivitasnya, I/K, maka akan didapat tingkat pertumbuhan pendapatan


nasional atau kenaikan angka GNP.

C. Model Perubahan Struktural.


Teori

perubahan struktural ( structural-change theory) memusatkan

perhatiannya pada mekanisme yang sekiranya akan memungkinkan negaranegara

yang

masih

terbelakang

untuk

mentranformasikan

struktur

perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian

subsisten tradisional yang hanya mampu mencukupi keperluan sendiri ke


perekonomian yang lebih modern,

lebih berorientasi ke kehidupan

perkotaan, dan lebih bervariasi, serta memiliki sektor industri manufaktur


serta jasa-jasa yang tangguh. Model perubahan struktural tersebut dalam
analisisnya menggunakan perangkat-perangkat neoklasik berupa konsepkonsep harga dan alokasi sumber daya, serta metode-metode ekonometri
untuk menjelaskan

terjadinya

proses tranformasi.

perubahan struktural ini didukung

Aliran

pendekatan

oleh ekonom-ekonom yang sangat

terkemuka seperti W. Arthur Lewis yang termasyur dengan model teoritisnya


tentang

surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplust labor) dan

Hollis B. Chenery yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang


pola-pola pembangunan ( patterns of development).
C.. Teori Pembangunan Lewis
a. Model Dasar
Salah satu model teoritis tentang pembangunan yang terkenal yaitu
tranformasi struktural ( structural

tranformation)

suatu perekonomian

sussisten, mula- mula dirumuskan W.Arthur Lewis, salah satu ekonom


besar dan penerima hadiah Nobel, pada pertengahan dekade 1950-an,
dan kemudian diubah, di formalkan, dan dikembangkan lebih lanjut oleh
John Fei dan Gustav Ranis. Model dia sektor Lewis ( Lewis two sector
model) ini sekarang telah diakui sebagai teori umum yang baku. Pada
intinya, teori tersebut membahas proses pembangunan di negara-negara
Dunia

Ketiga yang mengalami

selama akhir dekade 1960-an

kelebihan penawaran
dan dekade 1970-an.

Lewis ini, sampai sekarangpun masih banyak

tenaga

kerja

Teori rumusan

penganutnya, terutama

dikalangan ahli ekonomi pembangunan di Amerika.


Menurut model pembangunan yang diajukan oleh Lewis, perekonomian
terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisional, yaitu
sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan
produktivitas marginal tenaga kerja sama dengan nol- ini merupakan

situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus


tenaga kerja (surplus

labor)

sebagai suatu fakta bahwa sebagian

tenaga kerja tersebut ditarik dari dari sektor pertanian dan sektor itu tidak
akan kehilangan outputnya sedikitpun dan (2) sektor industri perkotaan
modern yang tingkat

produktivitasnya tinggi

penampungan tenaga kerja


sektor subsisten.

dan menjadi tingkat

yang ditranfer sedikit demi

sedikit

dari

Perhatian utama dari model ini diarahkan pada

terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output


dan peningkatan penyerapan

tenaga kerja di sektor

yang

modern.

Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut


dimungkinkan oleh adanya perluasan

output

pada sektor modern

tersebut. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut


ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal
secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi ini sendiri
dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan

sektor modern dari

selisih upah, dengan asumsi bahwa para kapitalis yang berkecimpung


dalam sektor modrn tersebut bersedia

menanamkan kembali seluruh

keuntungannya. Yang terakhir, tingkat upah disektor industri perkotaan


(sektor modern) diasumsikan konstan dan berdasarkan

suatu premis

tertentu, jumlahnya diitetapkan melebihi tingkat rata-rata upah disektor


pertanian sussisten tradisional.

Lewis berasumsi

bahwasanya tingkat

upah di daerah perkotaan sekurang-kurangnya harus 30 persen lebih


tinggi daripada rata-rata pendapatan di daerah-daerah pedesaan untuk
memaksa para pekerja pindah dari desa-desa asalnya ke kota- kota).
Pada tingkat upah di daerah perkotaan

yang konstan, maka kurva

penawaran tenaga kerja pedesaan dianggap elastis

sempurna.

Selanjutnya kita dapat mengilistrasikan pertumbuhan sektor modern dari


model perekonomian dua sektor rumusan Lewis pada peraga 3-1. Sektor
pertama, yakni sektor pertanian subsisten tradisional terlukis pada dua
gambar

sebelah kanan ( Peraga 3-1b).

Peraga atau diagram

sebelah atas memperlihatkan bagaimana produksi

yang

pangan subsisten

semakin sulit mengimbangi kenaikan input tenaga kerja. Ini khas fungsi
produksi ( production function)

sektor pertanian, dimana total output

atau produk (TPA) berupa bahan pangan

ditentukan oleh perubahan

satu-satunya variabel input, yakni input tenaga kerja (LA), sedangkan


input modal, KA,

dan teknologi, tA,

diasumsikan

tidak

mengalami

perubahan apapun. Pada diagram kanan bawah kita dapati kurva


produktivitas tenaga marjinal

atau MPLA dan kurva produktivitas

tenaga kerja rata-rata atau APLA yang merupakan turunan dari kurva
produksi total yang ditunjukkan persis diatasnya. Kuantitas tenaga kerja
pertanian (QLA)

yang tersedia pada

kedua sumbu

horisontal

dan

dinyatakan dalam jutaan tenaga kerja, Lewis mengemukakan bahwa


dalam suatu perekonomian terbelakang, 80 persen hingga 90 persen
angkatan kerjanya terkumpul

di daerah-daerah pedesaan

serta

menggeluti pekerjaan di sektor pertanian.


Lewis mengemukakan dua asumsi perihal sektor
pertama adalah adanya surplus
dengan nol,

tradisional.

Yang

tenaga kerja, atau MPLA,

sama

Kedua bahwasanya semua pekerja di daerah pedesaan

menghasilkan output yang sama

sehingga tingkat upah riil di daerah

pedesaan ditentukan oleh produktifitas tenaga kerja rata-rata, bukannya


produktifitas

tenaga kerja marginal ( seperti pada

Asumsikan bahwa sejumlah LA

tenaga kerja

sektor modern).
pertanian

yang

menghasilkan produk pangan hingga sebanyak TPA dan masing-masing


tenaga kerja menghasilkan output pangan dalam jumlah
Peraga 3-1: Model Pertumbuhan Sektor Modern dalam Perekonomian
Dua Sektor yang Mengalami Surplus Tenaga Kerja Hasil
Rumusan Lewis.

T
o
t
a
l
p
r
o
d
u
k

U
p
a
r
i
i
l
(=
M
P)
L
M
Surplus tenaga kerja
Kuantitas tenaga kerja(QLM) (ribuan)
(a) sektor modern (industri)

Kuantitas tenaga kerja(QLA) (jutaan)


(b) sektor tradisional (pertanian)

Kuantitas tenaga kerja (QLM) (ribuan)

Kuantitas tenaga kerja(QLA) (jutaan)

(a) sektor modern (industri)

(b) Sektor tradisional (pertanian)

yang persis sama, yakni sebanyak WA ( ini sama dengan hasil hitungan TPA/LA), Produktifitas marjinal tenaga kerja
sebanyak LA tersebut sama dengan nol, sebagaimana tampak pada diagram di sebelah bawah peraga 3-1b; dengan
demikian, asumsi surplus tenaga kerja berlaku pada seluruh pekerja yang melebihi LA ( Perhatikan kurva TPA berbentuk
horisontal setelah melewati jumlah pekerja LA pada diagram kanan atas) Inilah sumber atau pijakan asumsi surplus tenaga
kerja itu. Sedangkan diagram disebelah kiri atas pada peraga 3-1a memperlihatkan kurva-kurva produksi total ( fungsi
produksi) untuk sektor industri modern. Sekali lagi, tingkat output dari barang-barang manufaktur atau ( TPM), merupakan
fungsi dari variabel input dari tenaga kerja LM, dengan catatan stok modal (KM) dan teknologi (TM) sama sekali tidak
berubah. Pada sumbu horisontal, kuantitas tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan sejumlah output, misalnya
TPMI, dengan stok modal KMI, dinyatakan dalam ribuan dari pekerja perkotaan LI. Dalam model Lewis, stok modal di
sektor modern dimungkinkan untuk bertambah dari KM1 menjadi KM2, kemudian menjadi KM3 dan seterusnya. Sehubungan
dengan adanya kegiatan reinvestasi dan pertumbuhan sektor industri modern. Seperti digambarkan pada diagram sebelah kiri
bawah pada peraga 3-1a, hal tersebut akan menggeser kurva total produk keatas, masing-masing ke TPM (KM1), lalu ke TPM
(KM2), dan akhirnya ke TPM (KM3). Proses yang akan menghasilkan keuntungan para kapitalis dari investasi ulang dan
pertumbuhan digambarkan dalam diagram kiri bawah pada peraga 3-1a. Disini kita mendapati kurva-kurva produksi tenaga
kerja marjinal dari sektor modern yang merupakan turunan kurva-kurva TPM pada diagram persis diatasnya. Dengan
asumsi bahwa pasar tenaga kerja sektor modern itu kompetitif sempurna, maka kurva-kurva produksi marjinal itu yang
menentukan besar- kecilnya tingkat permintaan yang aktual akan tenaga kerja. Begitulah garis besar mekanisme kerja dari
sistem itu.

Segmen WA pada diagram-diagram sebelah bawah pada peraga 3-1a


dan peraga 3-1b memperlihatkan tingkat rata-rata pendapatan riil dari
sektor ekonomi subsisten tradsional di daerah-daerah pedesaan. Dengan
demikian, segmen WM pada peraga 3-1a memperlihatkan tingkat upah
riil

pada sektor kapitalis modern.

Pada tingkat upah itu, penawaran

tenaga kerja pedesaan diasumsikan tidak terbatas atau elastis

sempurna, dan ini diperlihatkan oleh kurva penawaran tenaga kerja


horisontal WMSL, Dengan kata lain, Lewis mengasumsikan bahwasanya
pada tingkat upah diperkotaan

sebesar WM yang jauh lebih tinggi

daripada tingkat pendapatan pedesaan WA, maka para penyedia


lapangan kerja disektor modern dapat merekrut tenaga kerja pedesaan
sebanyak yang mereka perlukan tanpa harus merasa khawatir bahwa
tingkat upah akan meningkat. (Perhatikan bahwa kuantitas tenaga kerja di
sektor pedesaan pada peraga 3-1b yang dinyatakan dalam jutaan,
sedangkan dis ektor modern

perkotaan pada peraga 3-1a dinyatakan

dalam ribuan.) Pada tahap awal pertumbuhan sektor modern dengan


penawaran modal KM1 yang jumlahnya tetap dan sudah tertentu. Kurva
permintaan

terhadap

tenaga

kerja

semata-mata

ditentukan

oleh

penurunan produk marjinal para tenaga kerja, seperti ditunjukkan oleh


kurva D1(KM1)
sebelah kiri

yang mempunyai kemiringan negatif ( lihat diagram

bawah). Karena para majikan di sektor modern selalau

berusaha memaksimumkan keuntungan dan mereka diasumsikan akan


terus merekrut tenaga kerja sampai ketitik dimana produk fisik marjinal (
marjinal physical product) sama persis dengan upah riil. ( yaitu titik F
yang merupakan perpotongan

antara kurva permintaan dan penawaran

tenaga kerja0 kesempatan kerja disektor modern akan sama dengan L1),
Total output sektor modern (TPM1), ditunjukkan
dibatasi

oleh titik-titik OD1FL1, berdasarkan

Dengan demikian,

oleh bidang yang

total tenaga kerja L1,

untuk membagikan keseluruhan

empat persegi

panjang OWMFL1, sisa output yang ditunjukkan dengan WMD1F adalah


keuntungan total yang diterima oleh para pengusaha ( kapitalis) di sektor
modern. Karena Lewis berasumsi bahwa keuntungan tersebut

akan

ditanamkan kembali, maka stok modal yang lebih besar ini ( dari KM1
menjadi KM2)

menyebabkan kurva produk secara keseluruhan

pada

sektor modern meningkat menjadi TPM (KM2) yang pada gilirannya akan
mengakibatkan terus meningkatnya kurva permintaan tenaga kerja karena
pergeseran produk tenaga marjinal

tenaga kerja.

Pergeseran kurva

permintaan tenaga kerja ke arah luar dalam gambar-gambar ditunjukkan


oleh garis D2(KM2) pada peraga 3-1a sebelah bawah. Kemudian, suatu
titik keseimbangan baru tentang tingkat penyerapan tenaga kerja oleh
sektor modern akan brbentuk pada titik g dengan jumlah tenaga kerja
yang dikerahkan pada L2. Jumlah output meningkat menjadi TPM2 atau
OD2GL2, sementara jumlah upah para pekerja dan keuntungan para
pengusaha meningkat menjadi masing-masing OWMGL2 dan WMD2G.
Sekali lagi keuntungan (WMD2G) yang lebih besar ini akan ditanamkan
kembali, dan akan meningkatkan jumlah stok kapital ke KM3, yang akan
menggeser kurva permintaan tenaga kerja masing- masing ke TPM(KM3)
dan ke D3(KM3),

serta menaikkan

tingkat penyerapan tenaga kerja

sektor modern ke L3.


Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan ( self- sustaining
growth) atas sektor modern dan perluasan kesempatan kerja tersebut
diatas, diasumsikan akan terus berlangsung sampai surplus semua
tenaga kerja pedesaan diserap habis oleh sektor industri. Tenaga kerja
tambahan berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian dengan
biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut pasti akan mengakibatkan
merosotnya produksi pangan.
terhadap tanah

Hanya

secara drastis sajalah

penurunan rasio tenaga kerja


yang akan mampu membuat

produk marjinal tenaga kerja desa menjadi tidak sama dengan nol lagi.
Dengan demikian, tatkalah upah serta disektor modern terus mengalami
pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja bernilai
positif. Tranformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan
menjadi suatu kenyataan dan perekonomian itupun pada akhirnya pasti
beralih dari perekonomian pertanian tradisional yang berpusat di daerah
pedesaan

menjadi sebuah perekonomian industri modern yang

berorientasikan kepada pola kehidupan perkotaan.

C.2. Perubahan Struktural dan Pola-pola pembangunan

Analisis pola pembangunan ( pattern- of- developpment analysis) juga memusatkan


perhatiannya pada proses yang mengubah sektor ekonomi, industri dan kelembagaan
secara bertahap pada perekonomian
tampilnya

industri-industri baru

yang terbelakang, sehingga

memungkinkan

untuk menggantikan kedudukan sektor pertanian

sebagai roda penggerak pembangunan. Berbeda dengan pandangan dualisme yang


menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi merupakan syarat yang harus
dipenuhi, akan tetapi tidak memadai jika harus berdiri sendiri ( necessary but not
sufficient

conditions) dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

mensyaratkan bahwa selain akumulasi modal untuk

Pola ini juga

pendaaan sumber daya fisik

maupun sumber daya manusia, diperlukan juga suatu rangkaian perubahan yang saling
berkaitan dalam struktur perekonomian negara

yang bersangkutan demi ter

terselenggaranya transisi yang bersifat mendasar dari sistem ekonomi tradisional ke


sistem ekonomi modern. Perubahan-perubahan yang bersifat struktural ini melibatkan
seluruh fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan komposisi
permintaan konsumen, perdagangan internasional dan sumber daya serta perubahan
dalam faktor-faktor sosio ekonomi

seperti proses urbanisasi, pertumbuhan

sebaran/ distribusi penduduk di negara yang bersangkutan.


analisis perubahan struktural

dan

Pada umumnya para

yang berhaluan empiris selalu menekankan adanya

kendala- kendala pembangunan, baik itu yang bersifat dari dalam negeri maupun yang
bersumber dari lingkungan internasional.

Kendala pembangunan dari dalam negeri

antara lain adanya keterbatasan kepemilikan ekonomi seperti sumber daya alam dan
besarnya jumlah penduduk, serta keterbatasan kelembagaan seperti masih lemahnya
mekanisme perumusan kebijakan dan kurang jelasnya sasaran pemerintah. Adapun
kendala- kendala yang bersumber dari lingkungan internasional

terhadap jalannya

proses pembangunan antara lain adalah kelangkaan akses atau saluran bagi negara
yang bersangkutan untuk mendapatkan modal dan teknologi modern dari luar negeri,
serta

tuntutan untuk menghadapi

persaingan yang ketat dalam perdagangan

internasional. Perbedaan tingkat kemajuan pembangunan diantara sesama negara


berkembang

juga dianggap sebagai kendala

baik itu sebagai kendala domestik

maupun internasional. Perlu dicatat bahwa kendala- kendala yang bersumber dari
lingkungan internasional itulah yang membuat transisi yang harus dijalani oleh negara-

negara berkembang

sekarang ini jauh berbeda dengan yang dialami oleh negara-

negara sekarang ini telah menjadi negara industri yang maju.

4. D.Teori Dependensia
Pencetus dasar teori dependensia adalah Paul Baran, yang menciptakan model dasar
tesis alternatif mengenai keterbelakangan ekonomi yang terjadi di negara-negara dunia
ketiga. Teori ini berusaha menjelaskan penyebab keterbelakangan ekonomi yang
dialami oleh negara negara berkembang. Asumsi dasar teori ini adalah pembagian
perekonomian dunia menjadi dua golongan, yang pertama adalah perekonomian
negara-negara maju dan kedua

adalah perekonomian negara-negara yang sedang

berkembang. Andre Gunder Frank (1996) mengelompokkan ngara maju kedalam


negara-negara metropolis maju (developed metropolitan countries) dan negara yang
sedang berekembang dikelompokkan ke dalam negara satelit yang terbelakang ( satelit
underdeveloped countries). Sementara itu Samir Amin (1976), salah satu

ekonom

penganut dependensia, membagi perekonomian menjadi dua yaitu negara- negara


maju di pusat (core/ central) dan kelompok negara miskin pinggiran ( Periphery). Dalam
hal ini Samir Amin melukiskan bahwa pusat dari perekonomian dunia sangat
dipengaruhi oleh negara- negara pusat, sementara negara- negara miskin pinggiran
berada disekitar negara- negara pusat tersebut. Seperti halnya dalam perekonomian
Lewis, secara implisit dinyatakan bahwa perekonomian negara miskin pinggiran
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perekonomian tradisional pada teori Lewis.
Dalam perekonomian negara pinggiran, mekanisme pasar belum sepenuhnya berlaku
dalam masyarakat. Hubungan paternalistik dan kerjasama sosial antar anggota
masyarakat

masih

mendominasi

pada

sistem

perekonomian

ini.

Disisi

lain,

perekonomian negara pusat berciri perekonomian modern, dimana sistem pasar telah
berlaku dengan baik, interaksi sosial dan hubungan paternalistik telah memudar dan
digantikan oleh individualis dan penyelesaian segala permasalahan melalui kontrak
transaksi.
Interaksi yang terjadi antara negara maju dan negara miskin lebih bersifat ekploitasi
negara maju terhadaop negara miskin. Dominasi perekonomian dunia oleh negaranegara core dan rekayasa eksploitasi yang dilakukan oleh mereka, pada akhirnya justru

menjadikan negara-negara pinggiran ini semakin tergantung pada negara-negara


pusat. Paul Baran melihat bahwa investasi perusahaan multinasional dari negara maju
yang dilakukan di negara miskin akan meningkatkan pendapatan nasional negara
miskin tersebut. Namun demikian peningkatan pendapatan ini tidak dapat dinikmati
oleh sebagian besar masyarakat negara itu karena kepincangan dalam distribusi
pendapatan. Keuntungan yang dihasilkan dari investasi asing tersebut akan dinikmati
oleh pengusaha asing dan segelintir anggota masyarakat tertentu di dalam negeri yang
berupa semata- mata merupakan hasil eksploitasi sumber daya yang ada.
Sebagaimana hipotesis yang ditampilkan oleh Andre

Gunder

Frank tentang pola

hubungan antara negara maju dan miskin sebagai berikut:


1. Dalam struktur metropolis dan satelit seperti diatas, pihak metropolis akan
berkembang dengan pesat sedangkan pihak satelit akan menuju kepada
keterbelakangan yang terus- menerus.
2. Negara-

negara

miskin

sekarang

menjadi

satelit

dapat

mengalami

perekembangan ekonomi yang sehat dan mampu menumbuhkan perkembangan


industri yang otonom, apabila berkaitan dengan metropolis dari dunia kapitalis
internasional tidak ada atau sangat lemah.
3. Kawasan- kawasan yang sekarang sangat terbelakang dan berada dalam situasi
yang mirip dengan situasi feodal adalah kawasan yang pada masa lalu memiliki
kawasan kuat dengan metropolis dengan sistem kapitalis internasional.

Teori dependensia

pada dasarnya masih tetap dijiwai oleh pandangan Marxis,

sehingga nampak bahwa sistem pertentangan kelas dalam masyarakat masih


mewarnai pembahasan teori tersebut. Namun demikian pertentangan kelas ini justru
terjadi dalam konteks internasional, yaitu antara negara maju dan negara miskin.
Meski demikian teori dependensia telah memberikan peringatan kepada para
golongan menengah di negara-negara yang sedang berkembang, bahwa interaksi
antara negara maju dan miskin pada satu sisi menguntungkan, disisi lain juga
membawa efek ketergantungan yang pada masa-masa sebelumnya belum pernah
terpikirkan.

4.E. Kaum Neo-Klasik Penentang Revolusi


Dekade 1980-an menandai munculnya teori pembangunan Neo-klasik yang menjawab
sanggahan teori dependensia.

Teori dependensia yang cenderung

menggunakan

pendekatan yang bersifat revolusioner sebagai salah satu pemecahan eksploitasi


negara pusat terhadap periferi,
pembangunan neo klasik

mendapat sanggahan oleh teori ini.

Teori

yang anti terhadap pendekatan revolusioner yang sering

disebut sebagai teori penawaran ( supply side teory). Teori ini merekomendasikan
Swastanisasi BUMN, meningkatkan

peran perencanaan

dan penetapan regulasi

ekonomi yang menciptakan iklim kondusif bagi peningkatan peran pihak swasta dalam
pembangunan.
Arqumentasi sentral

yang dikemukakan oleh ekonom

penganut teori ini terhadap

serangan ekonom dependensia adalah bahwa keterbelakangan tidaklah disebabkan


oleh eksploitasi negara pusat terhadap periferi, Dengan kata lain mereka menyatakan
bahwa keterbelakangan bukanlah disebabkan oleh ekstern, tetapi lebih pada pengaruh
intern

dalam negara terbelakang tersebut.

pemerintah dalam aktifitas ekonomi,

Besarnya derajat campur tangan

merebaknya

korupsi, dan kurangnya intensif

ekonomi, serta kesalahan dalam mengalokasikan sumber daya, merupakan sumber


utama keterbelakangan.

Dalam teori ini dikemukakan

yang salah menyebabkan


ditambah

dengan

bahwa alokasi sumber daya

kebijakan penerapan harga menjadi

campur tangan

tidak efektif dan

pemerintah yang terlalu besar

dalam

perekonomian. Kedua hal ini merupakan sumber utama ketidak-efisienan mesin


perekonomian

di

negara

yang

sedang

berkembang.

Akibatnya

percepatan

pertumbuhan perekonomian menjadi lambat, sementara disisi lain kesalahan sistem


alokasi sumber daya tidak menunjang

terhadap tujuan pemerataan

kue

pembangunan.
Menurut ekonom penganut teori ini,seperti halnya

Jagdish

Krueger,Bela Ballasa,Deepak Lal dan lainnya, menyatakan

Baghwaty, Anne O
bahwa semakin besar

campur tangan pemerintah dalam perekonomian, semakin lambat laju pertumbuhan


ekonomi yang dialami dalam suatu negara. Para ekonom tersebut merekomendasikan
kepada negara berkembang agar menuju sistem perekonomian dengan didasarkan
pasar bebas. Seperti diketahui sebagian besar negara berkembang terletak di benua

Asia dan Afrika, dimana tradisi kekuasaan pemerintah yang ada di kedua benua
tersebut

banyak melakukan

campur tangan dalam aktifitas perekonomian. Kaum

Neo-klasik menyatakan bahwa dengan membebaskan pasar dari campur

tangan

pemerintah, Swastanisasi BUMN, promosi perdagangan bebas dan ekspansi ekspor,


membuka

diri dari

PMA,

dan

mengeliminasi

ketidakefisienan

dalam

regulasi

pemerintah ( melakukan deregulasi), serta menghilangkan distrorsi harga balik pada


input, produk dan pasar uang, mereka yakin bahwa efisiensi dan pertumbuhan
ekonomi

akan semakin

terdorong untuk maju.

Pasar bebas

dan perekonomian

laissez faire kemudian menjadi kata kunci bagi keberhasilan pembangunan, dalam
konteks teori ini. Diharapkan dengan terciptanya kedua hal tersebut, tangan gaib (
invisible hand) akan dapat berperan besar dalam mempercepat proses penyesuaian
akibat kejutan dalam perekonomian dan menjamin alokasi sumber daya secara
efisien. Korea Selatan, taiwan dan singapura merupakan contoh utama dari negara
yang melakukan kebijakan ekonomi sesuai dengan apa yang direkomendasikan oleh
kaum Neo-klasik, terbukti sukses, dan kegagalan campur tangan pemerintah bagi
peningkatan kerja ekonomi dicontohkan sebagaimana negara- negara yang ada di
Afrika dan Amerika latin. Teori ini nampaknya hanya tepat diterapkan di negaranegara

yang maju daripada

perdagangan bebas,

laissez

di negara yang sedang berkembang.


faire, dan pasar persaingan

sempurna

Konsep

merupakan

halnya dapat dipenuhi oleh negara- negara maju Bagi negara berkembang pasar yang
ada lebih berbentuk monopoli atau
kelembagaan yang

oligopoli. Perbedaan struktur masyarakat dan

dimiliki oleh negara sedang maju dengan negara berkembang,

menjadikan teori pembangunan tersebut pada banyak kasus justu gagal dilaksanakan
di negara berkembang. Adalah suatu hal yang sulit bagi negara berkembang untuk
menciptakan

kondisi pasar yang mendekati sistem yang ada di negara maju.

Penciptaan suatu sistem ekonomi harus didukung oleh suatu kondisi yang kondusif
terhadap kemungkinan perkembangan sistem ekonomi yang ada.

Kondisi sosial

masyarakat di negara yang sedang berkembang yang umumnya bersifat feodal, serta
masih menjunjunh tinggi hubungan paternalistik, tentunya memerlukan

waktu yang

relatif panjang untuk dapat mererapkan sistem ekonomi pasar secara baik. Pemaksaan
orientasi pasar pada sistem masyarakat feodal atau semi feodal justru akan

meningkatkan eksploitasi antara satu golongan terhadap golongan lain, seperti apa
yang telah diungkapkan oleh ekonom penganut faham dependensia diatas.

BAB V
Globalisasi Teori Pembangunan

5.1. Dari Dependensi Menuju Interdependensi


Ada beberapa dimensi yang mendasari

lahirnya konsep interdepensi

sebagai perkembangan dari konsep ketegantungan. Dimensi tersebut meliputi


dimensi fisik, ekonomi dan politik.
Dimensi fisik muncul pertama kali pada tahun 1970-an, setelah diadakan
konferensi lingkungan PBB pada tahun 1972. yang memunculkan kesadaran
akan adanya satu bumi , dimana kegiatan suatu negara akan mempengaruhi
keseimbangan lingkungan secara global. Dimensi ekonomi yang

mendasari

konsep interdepensi ini pertama kali dikemukakan dalam proposal yang diajukan
oleh komisi Brandt yang isinya menghendaki adanya hubungan ekonomi yang
saling menguntungkan. Adanya keterkaitan antar negara dalam dimensi fisik
maupun ekonomi diharapkan akan menciptakan kerjasama yang mendorong
adanya perdamaian dan pembangunan dunia. Perkembangan konsep konsep
ketergantungan menuju konsep interdepensi ini mengakibatkan adanya transisi
dalam perekonomian dunia. Ada beberapa kondisi pendukung tersebut meliputi
1. aliran dana dan pola investasi, 2. perubahan teknologi dan internasionalisasi
produk, 3. adanya perdagangan dan aturan-aturan internasional lainnya.
5..2. Pendekatan dalam konsep interdependensi
Pendekatan dalam konsep ini menyatakan bahwa kapitalisme dalam
perekonomian dunia sudah sejak abad ke 16. Sistem kapitalisme ini kemudian
berkembang yang pada akhirnya menyatukan wilayah- wilayah yang semula
terisolasi

maupun

masyarakatnya

wilayah-wilayah

secara

mandiri.

yang

mampu

Perkembangan

mencukupi
sistem

kebutuhan

kapitalisme

ini

mengandung dua dimensi, yaitu; ekspansi secara geografis dan ekspansi dalam
bidang sosial ekonomi. Adanya ekspansi ini menumbuhkan adanya daerahdaerah semiferi disamping daerah inti/pusat (core) dan daerah pinggiran (
periferi), Polarisasi antara daerah inti, periferi, dan semiferi ini berdampak pada
adanya pembagian kerja, dimana daerah inti merupakan produsen produk-

produk industri dan daerah periferi sebagai daerah penghasil pertanian. Adapun
daerah semiferi ini merupakan daerah transisi antara pusat dan periferi.,dimana
produknya

lebih mengarah

pada produk- produk industri meskipun tetap

menghasilkan produk pertanian. Dalam pendekatan ini interdependensi justru


lebih ditekankannya adanya kerja sama antara keduanya yang memungkinkan
bagi daerah periferi untuk berkembang menjadi daerah semiferi. Menurut
pendekatan ini, pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses
perubahan struktur ekonomi suatu daerah dari daerah periferi menjadi semiferi
atau daerah semiferi menjadi daerah inti. Secara umum, perkembangan sampai
pada saat ini telah mempercepat momentum globalisasi pasar keuangan hingga
akhir abad ini. Globalisasi mengubah pola hubungan finansial, proses produksi,
perdagangan, teknologi

informasi, dan hubungan ekonomi lain yang pada

gilirannya menimbulkan gegala menyatunya ekonomi suatu bangsa. kita hidup


dalam dunia tanpa batas.
5..3. Strategi Pembangunan dan Sistem Dunia
5.3.1.Upaya Reformasi Global
Interprestasi teoritis terhadap pembangunan global tergantung bagaimana kita
memahami fenomena interdependensi.

Yang diantaranya yang menjadi masalah

utama : siapakah yang dinamakan agen perubahan itu? Hal ini berkaitan dengan
konsep menghendaki intervensi yang terdapat dalam strategi pembangunan. Sehingga
bisa dikatakan negara adalah aktor yang dominan.
Tata ekonomi dunia baru (NIEO= New International Economic Orde) lebih
merupakan strategi politik dibanding strategi ekonomi. NIEO merupakan ekspresi dari
solidaritas negara-negara ketiga yang menghendaki gerakan swadaya secara kolektif.
Usulan utamanya adalah suatu jalur pembangunan yang dilakukan lewat perdagangan
dengan negara- negara industri dan akses terhadap teknologinya. Namun demikian
masalah yang dihadapi NIEO umumnya juga dihadapi oleh strategi global lainnya. Yaitu
bahwa strategi ini tidak diikuti dengan penjelasan mengenai siapa pelaku yang
melaksanakannya.

5.3.2. Percobaan untuk memisahkan diri (Delinking).

Strategi pembangunan mandiri self- reliant) telah dicoba di Tanzania, Ghana,


Jamaica, Nikaragua dan Burma. Dalam praktek percobaan strategi pembangunan
mandiri di kedua negara tersebut mengalami krisis dan berakhir dengan mengundang
IMF membantu program restrukturisasi ekonomi.
5.3.3. Klasifikasi Strategi Pembangunan.
Percobaan untuk memisahkan diri dengan sistem dunia dalam tingkat yang
radikal ( radical delinking) terbukti tidak di dukung oleh fakta empiris. Kendati demikian,
pilihan strategi pembangunan memang antara integrasi dengan sistem dunia ataukah
otonomi, ataupun antara penganut aliran radikal dengan pembangunan bertahap ( lihat
gambar.). Dua pilihan ini memang menjadi isu utama dalam teori pembangunan,
yang dimulai sejak kritik List terhadap ekonomi politik Inggris atau yang dinyatakan oleh
Friedrich list sebagai : ekonomi

politik nasional versus kosmopolitik. Isu ini, yaitu

apakah ada kontradiksi antara pembangunan nasional dan internasional, menandainya


munculnya ekonomi pembangunan. Ekonomi politik nasional dikembangkan lebih lanjut
oleh para penganut teori dependensia, yang mendukung strategi

radical delinking

dengan pasar dunia. Pendulum ini berbalik kembali kemudian sebagaimana


diperlihatkan dalam gambar berikut ini:

Neoklasik

Gradualist

Ekonomi
pembangunan
Otonomi

Integrasi

Dependensia

Marxisme
Neoklasik
Radikal

Gambar Klasifikasi Strategi Pembangunan

Sumber: Hettne ( 1991:h,146).


Berdasarkan pengalaman dalam proses pembangunan sebelumnya,
Griffin (1988) menggolongkan strategi pembangunan menjadi enam yaitu:
1. Strategi Pembangunan Monetaris
Strategi ini mengasumsikan bahwa efisiensi dalam alokasi sumber
daya akan tercapai dalam jangka panjang. Meskipun untuk mencapai
stabilitas ekonomi, dalam jangka pendek akan terjadi krisis. Dalam
strategi ini peranan negara dibatasi.
2. Strategi Pembangunan Ekonomi Terbuka
Strategi pembangunan inimenitikberatkan pada

perdagangan luar

negeri dan keterkaitan dengan dunia luar sebagai mesin pembangunan.


Kebijakan

sangat

tepat

diterapkan

pada

negara-negara

yang

berorientasi pada pembuatan produk yang ditujukan untuk pasar.


Strategi ini identik dengan apa yang disebut supply side- oriented
state karena menghendaki peran aktif negara disisi penawaran.
3. Strategi Pembangunan Industrialisasi
Strategi ini menitikberatkan sektor manufaktor yang berorientasi pasar,
baik pasar domestik maupun pasar luar negeri, sebagai mesin
pembangunan. Menurut strategi ini campur tangan pemerintah masih
diperlukan.
4. Strategi Pembangunan Revolusi Hijau
Strategi pembangunan melalui revolusi hijau menitik- beratkan pada
kebijakan

untuk meningkatkan

produktifitas dan

teknologi

bidang

pertanian sebagai alat untuk memacu pertumbuhan bidang lainnya.


5. Strategi Pembangunan Redistribusi
Strategi pembangunan redistribusi ini dimulai dari redistribusi pendapatan
dan kesejahteraan serta tingkat partisipasi masyarakat sebagai alat
memobilisasi peran serta penduduk dalam pembangunan.

6. Strategi Pembangunan Sosialis


Strategi pembangunan sosialisme lebih menekankan peran pemerintah
dalam pembangunan; mulai dari perencanaan, perusahaan milik negara
hingga pelayanan masyarakat. Meskipun dalam sistem sosialisme peran
pemerintah bisa bersifat ekstrem atau moderat.

Pendekatan yang kedua dalam studi perbandingan strategi pembangunan


adalah berdasarkan perspektif teoritis. Analisis yang berorientasi pada
sistem dunia menggaris bawahi keterbatasan pendukung nasionalisme
ekonomi. Para pendukung teori sistem dunia banyak sejalan dengan
tradisi pemikiran kaum dependensia. Menurut teori sistem dunia, pada
hakekatnya hanya dikenal tiga strategi pembangunan yaitu ;
1. Strategi Pembangunan Dengan Memanfaatkan Peluang

Pasar Luar

Negeri. Dalam strategi ini, pemerintah berperan aktif (state capitalism)


dalam memanfaatkan keunggulan komperatifnya untuk memanfaatkan
peluang pasar luar negeri.Meskipun harus diakui tidak semua negara
memiliki kemampuan untuk memanfaatkan peluang tersebut.
2. Strategi Pembangunan Dengan Mengundang Investasi Luar Negeri.
Dalam strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan
komperatif, seperti upah buruh yang murah serta kemudahankemudahan lainnya. Ini disebut juga sebagai model liberal open door.
3. Strategi Pembangunan Mandiri
Strategi pembangunan mandiri (self reliance) menekankan pada
kemampuan dalam negeri dan sesedikit mungkin bantuan dari pihak
luar. Strategi ini kurang berhasil diterapkan pada negara dunia ketiga
karena keterbatasan sumber daya alam maupun manusia.
Lihat gambar berikut ini.
Gambar 5.1. Klasifikasi Pembangunan Menurut Seers (1983)

Anti nasionalis

Socialist open door strategies


(Marxist socialist)

Egalitarian

Anti egalitarian

Self reliance
(dependency theory)

State capitalism
(traditional conservatives)

Nasionalis
Seers(1983) mengkombinasikan dimensi internal eksternal ( nasionalis
versus antinasionalis) dengan dimensi tingkat egalitarianisme. Dengan
cara ini terdapat 4 posisi strategi pembangunan, yaitu; variasi sosialis
dan liberalis terhadap internasionalisme, pendukung strategi kebijakan
pintu terbuka, variasi radikal dan konservatif dari strategi self-reliance, dan
delinking (lihat gambar). Menurut Seers, kebijakan pembangunan ibarat
pendulum. Oleh karena itu, selalu ada ruang untuk melakukan manuver,
sesuai dengan kondisi obyektif yang dihadapi maupun situasi historis
yang diwarisi.

Berdasarkan

pengalaman

dari

NICs

(Newly

Industrialized

Contries), keberhasilan dari pembangunan mereka tidak ditentukan pada


strategi pembangunan yang dipilih tetapi lebih ditentukan pada konsistensi
dan fleksibilitas dalam menerapkan kebijakan. Meskipun secara individual
keberhasilan

dari

NICs

memberikan

masukan-

masukan

dalam

pelaksanaan pembangunan di negara dunia ketiga, bukan berarti strategi


pembangunan yang diterapkan oleh NICs dapat diterapkan begitu saja di
negara lain. Hal ini disebabkan karena setiap negara memiliki keunikan
masing-masing.

BAB VI
Kebijaksanaan Pembangunan Ekonomi

a. Peranan Analisis Ekonomi dalam Perumusan Kebijaksanaan Pembangunan.


Teori Ekonomi yang sekarang diajarkan pada negara- negara yang sedang
berkembang umumnya merupakan teori konvensional ( teori ekonomi yang
berasal dari barat), yaitu teori ekonomi yang mempunyai karakteristik
institusional dan struktur negara industri

yang telah maju. Dapatkah teori

konvensional ( teori yang digunakan untuk menganalisis masalah- masalah di


negara maju dan sebagai landasan untuk merumuskan kebijaksanaan ekonomi
di negara- negara maju) digunakan di negara- negara yang sedang
berkembang? Di negara

yang maju keadaan ekonomi dan problema

ekonominya jelas berbeda dengan di negara yang sedang berkembang,


Berbeda dalam tingkat pertumbuhan penduduk, berbeda dalam tingkat teknologi,
tingkat kualitas tenaga kerjanya, dan orientasi setiap sektornya.) Karena struktur
ekonomi yang berbeda, dengan sendirinya konsep dan prinsip teori tersebut
tidak dapat sepenuhnya menggambarkan problema negara- negara yang sedang
berkembang. Dengan kata lain, kurang relevan apabila digunakan sepenuhnya
pada negara negara yang sedang berkembang. Teori ekonomi secara garis
besar dibagi menjadi tiga kategori, yaitu teori ekonomi mikro ( teori ekonomi
mikro memiliki fokus pada perilaku individual terutama perilaku dalam kegiatan
mengkonsumsi dan memproduksi, yang dapat dibedakan pula kedalam tiga
bagian; teori harga, teori produksi dan distribusi),
ekonomi secara agregat

makro ( melihat keadaan

yang meliputi konsumsi, tabungan, investasi, pasar

uang, pasar tenaga kerja dan anggaran pemerintah), dan Ekonomi Internasional
(yang berkaitan dengan kegiatan- kegiatan ekonomi antar negara- negara yang
pada prinsipnya merupakan gabungan antara ekonomi mikro dan ekonomi
makro).
Persoalan- persoalan dasar mengenai apa, berapa banyak yang harus
diproduksi, yang dibahas dalam ekonomi mikro ditentukan oleh persetujuan
bersama antara konsumen- konsumen yang selanjutnya digambarkan oleh kurva

permintaan masing- masing barang- barang dan jasa- jasa. Sedangkan


produsen bertindak sebagai pemenuh dan pelayan konsumen yang memiliki
motivasi ingin meningkatkan keuntungan. Titik tolak dalam analisis ini adalah
anggapan bahwa setiap perilaku dalam perekonomian akan bertindak secara
rasional dan ekonomis. Prinsip- prinsip ekonomi akan selalu berlaku; dari pihak
konsumen akan selalu berusaha membeli sebanyak- banyaknya barang dengan
sejumlah anggaran tertentu. Produsen akan selalu memproduksi barang dan
menjualnya kepada konsumen dengan harapan memperoleh keuntungan yang
maksimal. Dengan demikianlah terselesaikanlah persoalan yang dihadapi.
Mereka bersaing secara sempurna, dalam keadaan ini tidak dijumpai
kemampuan individu untuk merubah harga, baik harga barang maupun input,
output. Kesemuanya dikatakan oleh Adam Smith dikatakan sebagai hasil dari
kegiatan tangan ajaib kapitalisme.
Namun konsep ini merupakan konsep yang ideal yaitu hal yang jarang
terjadi dalam kehidupan yang nyata. Hasil tangan ajaib 9 invisible hand) pada
berbagai negara- negara yang sedang berkembang seringkali menunjukkan
ketidak sejahteraan keseluruhan masyarakat, tetapi hanya mengankat mereka
yang telah berada diatas dan menekan kebawah sebagian besar penduduk.
Dalam ekonomi makro, variabel- variabel ekonomi dan lembaga- lembaga
ditinjau melalu keseimbangan kompetitif. Kesimbangan antara permintaan
agregate dengan penawaran agregate

akan menunjukkan tinggi rendahnya

pengeluaran ( output) nasional, semakin tinggi permintaan agregate semakin


tinggi tingkat pengerjaan ( employment) dan semakin tinggi pula tingkat hargaharga. Apabila permintaan semakin tinggi, semua pengusaha akan menambah
produksi mereka, yang selanjutnya

akan mempertinggi pendapatan nasional

dan tingkat kesempatan tenaga kerja. Permintaan yang terus- menerus


bertambah pada akhirnya akan menciptakan kesempatan kerja penuh. Apabila
permintaan masyarakat akan terus bertambah lagi, sehingga permintaan
tersebut akan melebihi kemampuan perekonomian untuk memproduksi barang
dan jasa, keadaan ini menyebabkan inflasi. Oleh karena itu J M

Keynes,

berusaha untuk mempengaruhi jalannya perekonomian lewat manipulasi

permintaan aggregate. Dalam keadaan kelesuan ekonomi ( resesi) pemerintah


dapat memperbesar pengeluaran pemerintah (G), atau menurunkan pajak(T)
sehingga lapangan kerja akan semakin meluas. Sebaliknya bila permintaan
aggregate melebihi kapasitas produksi nasional, yang dipandang sebagai
penawaran aggregate, maka akan terjadi inflasi. Dalam keadaan ini pemerintah
dapat

mengeluarkan

pengeluarannya

dan

menaikkan

pajak,

sehingga

permintaan aggregate dapat menurun dan harga umum akan turun pula. Apabila
tercapai keseimbangan antara demad aggregate dengan supply agregate, dalam
keadaan ini terjadilah pendapatan nasional keseimbangan, yang selanjutnya
disertai dengan keseimbangan dan pasar tenaga kerja.
Menurut sifatnya, pengeluaran masyarakat ( demand Aggregate) dapat
dibedakan dalam empat golongan, yaitu pengeluaran Rumah Tangga untuk
konsumsi , pengeluaran investasi oleh para pengusaha (I),

pengeluaran

pemerintah untuk membeli barang- barang dan jasa- jasa (G), dan pengelauaran
dari / pendapatan dari perdagangan internasional ( X-M). Perubahan yang terjadi
pada golongan pengeluaran tertentu akan berpengaruh pada besarnya
pendapatan nasional keseimbangan yang selanjutnya akan menimbulkan
perubahan pada golongan pengeluaran diatas, dan seterusnya. Pada akhirnya
pendapatan nasional akan bertambah menjadi beberapa kali lipat. Untuk
mengetahui besarnya pertambahan pendapatan nasional yang ditimbulkan
pertambahan pengeluaran semula disebut proses multiplier. Koefisien multiplier
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

K= 1/ 1-MPC. Sedangkan pertambahan pendapatan ; AY = 1/ 1-MPC = (AI +


AG + AX), karena 1/ 1-MPC = k, maka AY = k (A1 + AG + AX), dimana
AY

= Perubahan pendapatan nasional yang ditimbulkan oleh perubahan

variabel- variabel pengeluaran.


K
MPC

= kefisien multiplier
=

Marginal Propemsity to Consume ( kecendrungan/ hasrat untuk

mengkonsumsi).
AI

= Perubahan pengeluaran untuk investasi

AG

= Perubahan pengeluaran pemerintah

AM

= Perubahan pengeluaran untuk import.


Menurut konsep multiplier tersebut pengeluaran pemerintah yang

bertambah akan menambah pendapatan masyarakat. Selanjutnya pendapatan


yang bertambah akan memperbesar kegiatan ekonomi dan tingkat kesempatan
kerja. Ini adalah teori umum Keynes yang terkenal mengenai penghasilan dan
determinasi pekerjaan. Untuk tujuan inlistratif kita menggunakan persamaan
sebagai berikut : Pendapatan dan atau pengeluaran nasional (Y) ditentukan oleh
tingkat demand aggregate (Z), dimana (Z) = C+I+G atau Y = C + I+ G. Tingkat
output nasional dianggap berhubungan secara unik dengan tingkat pekerjaan
nasional, umpamanya, Y = f (N,K,t), dimana Fn < 0. Untuk tingkat teknologi
tertentu (t), dan persediaan tanah dan modal tetap (K), jumlah output nasional
(PNK riil) akan berhubungan secara unik dengan tingkat pengerjaan yang lebih
tinggi (N). Akan tetapi pada suatu masyarakat tertentu

jumlah pengerjaan

dibatasi oleh jumlah angkatan kerja yang aktif, maka terdapat beberapa tingkat
pendapatan nasional maksimum yang unik, yaitu pada waktu full employment (
tingkat pengerjaan penuh). Tingkat pendapatan nasional pada waktu full N,
kadang-kadang disebut output potensial yang ditulis dengan Yf. Tingkat Yf
semuanya tergantung pada demand aggregatif (C + I + G). Karena itu, jika
konsumsi dan investasi sudah ditetapkan dengan tingkat pendapatan nasional
yang ada, satu- satunya cara agar permintaan aggregatif bisa ditingkatkan bagi
pemerintah adalah meningkatkan jumlah pengeluaran ( government expenditure)
(G), yaitu dari G ke G, Defisit anggaran belanja pemerintah ini perlu untuk
mengisi; gap diantara PNK riil, Dengan demikian meningkatkan tingkat output
nasional dan konsekuensinya mengurangi pengangguran.
Singkatnya resep teori Keynes untuk mengurangi pangangguran cukup
sederhana; dengan meningkatkan total aggregate demand melalui peningkatan
langsung pengeluaran pemerintah atau melalui kebijaksanaan pemerintah yang
secara tidak langsung akan mendorong investasi swasta yang lebih banyak (
misalnya menurunkan tingkat bungah atas pinjaman, tax alowance, dan subsidi).
Sepanjang masih terdapat pengangguran dan mengendornya perekonomian.

Maka supply barang dan jasa akan terpengaruh secara otomatis terhadap
demand yang lebih tinggi dan akan menciptakan kondisi untuk memperbanyak
income pada tingkat employment yang lebih banyak.
Gambar 6.1. Anggaran Pemerintah dan Kesempatan Kerja
(a)

C/I/G

C + I + G

3
2
1

C+I+G
C+I

Y1

Y1

(b)

N
Nf

Pada gambar 6 diagram (a) jumlah gabungan C + I + G menghasilkan


output nasional tingkat full employment potensial ( yf). Hasilnya adalah tingkat
pengangguran terjadi dengan dasar gap antara

Nf

dan N1

dalam fungsi

produksi bersama diagram (b). Setelahnya ada pengeluaran pemerintah yang


bertambah yaitu dari C + I + G ke C + I + G, maka output nasional bertambah
dari Y ke Yf., demikian pula employment akan begeser dari Ni ke Nf.
Fungsi

pemerintah

dalam

perekonomian

adalah

berusaha

untuk

menciptakan kesempatan kerja penuh tanpa inflasi. Dua alat kebijaksanaan


tersebut adalah kebijaksanaan fiskal dan moneter. Dengan kebijaksanaan

tersebut pemerintah haruslah berusaha (1) untuk menyesuaikan tingkat


pengeluarannya sehingga keseluuhan pengeluaran dalam perekonomian akan
mencapai atau mendekati tingkat pendapatan nasional pada tingkat full
employment, dan (2) Mempengaruhi tingkat penanaman modal, eksport, import
dan pengeluaran rumah tangga, sehingga tingkat pengeluaran mereka secara
aggregate ditambah pengeluaran pemerintah akan menjamin full employment.
Adapun besarnya government expenditure yang diperlukan tergantung pada
selisih pendapatan dalam full employment dan besarnya multiplier. Ini tergantung
pada hasyrat mengkonsumsi tambahan ( marginal propensity to consume).

b. Proses Multiplier di Negara- negara sedang Berkembang

Dari konsep analisis makro diatas dapatlah disimpulkan, bahwa apabila suatu
perekonomian menghadapi pengangguran, maka harus dilakukan pertambahan
dalam pengeluaran masyarakat . Besarnya pertambahan dalam pengeluaran
yang perlu dilakukan supaya full employment tergantung pada MPC dan jurang
diantara pendapatan nasional pada kesempatan kerja penuh dan pendapatan
nasional yang sekarang icapai. Makin tinggi MPC, makin besar multiplier,
berarti semakin sedikit pula pertambahan pengeluaran yang diperlukan untuk
menciptakan sejumlah

pertambahan dalam pendapatan nasional dan untuk

mencapai full employment. Negara yang sedang berkembang pada umumnya


merupakan negara yang memiliki MPC yang tinggi. Bila proses multiplier itu
berjalan mulus seperti teori, maka usaha untuk selalu mencapai pendapatan
nasional keseimbangan pada pengerjaan penuh akan dapat dilakukan dengan
mudah dan cepat, karena koefisien multipliernya lebih kecil jika dibandingkan
dengan negara-negara

maju.

Tetapi

pada

kenyataannya

berbeda, bila

pemerintah negara sedang berkembang menambah pengeluaran dengan tujuan


menghilangkan pengangguran, malah menimbulkan inflasi, sehingga negara
sedang berkembang memiliki tingkat inflasi yang tinggi disertai dengan tingkat
pengangguran yang tinggi pula. Ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

1). Kemampuan perekonomian untuk menambah produksi sangat terbatas kalau


dibandingkan dengan negara- negara maju.
2) Corak kegiatan ekonomi di negara yang sedang berkembang sangat berbeda
dengan negara- negara yang sudah maju.
Dinegara- negara yang sedang berkembang sektor tradisional menguasai
sebagian besar kegiatan ekonomi, walaupun terjadi permintaan sektor ini tidak
mampu menaikkan produksi dengan cepat. Karena mereka mempunyai alat- alat
produksi dan skill yang terbatas, mutuh produksinya jauh lebih rendah dibanding
dengan mutuh produksi dari negara- negara maju. Karena kemampuan sektor
tradisional untuk memperbesar tingkat produksi sangat terbatas, maka bila
pertambahan pengeluaran masyarakat terlalu besar, sedangkan

kemampuan

sektor tradisional untuk memenuhi permintaan sangat terbatas terjadilah


kenaikan harga.
Daya beli yang terlalu besar, akibatnya terjadilah persaingan yang
bertambah tajam diantara pembeli untuk mendapatkan

barang dan jasa, dan

akan menaikkan harga barang. Seringkali pertambahan

dalam pengeluaran

pemerintah juga meliputi pula kenaikan permintaan atas barang- barang import.
Ini menimbulkan masalah neraca pembayaran karena import lebih besar
daripada eksport. Nilai tukar valuta asing naik, sehingga mnyebabkan kenaikan
harga barang import. Kalau kenaikan harga disektor import ini menjalar ke
seluruh perekonomian, maka perekonomian tersebut akan ilanda inflasi. Selain
itu, dalam analisis makroekonomi, dianggap bahwa sektor perusahaan bersifat
responsif, terhadap rangsangan- rangsangan yang terjadi di pasar. Sifat ini
menambah kemampuan sektor

produksi untuk memenuhi kenaikan yang

terdapat di pasar dari masa- kemasa. Reaksi seperti itu belum tentu terdapat di
negara- negara yang sedang berkembang, sebab adanya kekurangan modal,
skill dan tenaga terdidik. Begitupula sektor pertanian kurang responsif, sebab
harga hasil pertanian jauh lebih tidak stabil kalau dibandingkan dengan harga
barang industri, tenaga kerja di sektor pertanian mempunyai kemampuan yang
sangat terbatas bila dibandingkan dengan sektor pengusaha- pengusaha sektor
modern. Dengan demikian apabila analisis ekonomi makro akan digunakan

untuk menganalisis keadaan kegiatan ekonomi di negara- negara sedang


berkembang

dan

sebagai

landasan

untuk

merumuskan

kebijaksanaan-

kebijaksanaan ekonomi di negara- negara yang bersangkutan maka harus lebih


hati- hati.

6.3. Tindakan- tindakan Domestik di Bidang Moneter dan Fiskal.

Sebagai

akibat

kurang

sempurnanya

analisis

makro

ekonomi

menggambarkan corak kegiatan ekonomi di negara- negara

dalam

yang sedang

berkembang, maka kebijaksanaan yang dikemukakan dalam teori makro


mempunyai kemampuan yang sangat terbatas dalam mengatasi masalah
ekonomi yang mereka hadapi. Oleh karena itu perlu dibuat penyesuaianpenyesuaian agar alat- alat kebijaksanaan ekonomi yang konvensional itu dapat
mencapai sasarannya. Adapun kebijaksanaan ekonomi makro yang dapat
diadakan penyesuaian-penyesuaian tersebut, adalah kebijaksanaan

moneter

dan kebijaksanaan fiskal.

6.3.1. Kebijaksanaan Fiskal

Kebijaksanaan fiskal yaitu kebijaksanaan pemrintah dalam

pengeluaran dan

pendapatannya dengan tujuan untuk menciptakan kesempatan kerja yang tinggi


tanpa inflasi. Dengan kata lain, semua tindakan yang dilakukan pemerintah untuk
mempengaruhi jalannya perekonomian melalui perubahan pendapatan atau
pengeluaran pemerintah. Tujuan yang ingin dicapai dalam kebijaksanaan ini
adalah mengusahakan agar keseluruhan pengeluaran masyarakat dapat
mencapai atau mendekati tingkat produksi maksimum atau dinamakan juga
sebagai pendapatan nasional pada tingkat kesempatan kerja penuh (kapasitas
penuh). Dalam keadaan dimana seluruh engeluaran dalam suatu perekonomian
adalah lebih besar daripada kesanggupan maksimum perekonomian untuk

memproduksi barang- barang, maka inflasi akan berlaku. Untuk menghindari


terjadinya kenaikan harga- harga ini, tingkat pengeluaran masyarakat perlu
diturunkan, yaitu melalui salah satu gabungan dari dua jenis kebijaksanaan fiskal
yang dapat dijalankan yang meliputi ; pertama, kenaikan pajak rumah tangga.
Kebijaksanaan

ini

akan

menyebabkan

jumlah

pendapatan

yang

dapat

dibelanjakan masyarakat berkurang, sehingga akan mengakibatkan penurunan


konsumsi masyarakat. Pajak merupakan instrumen yang paling efektif dari
segala kebijaksanaan fiskal, untuk mengurangi konsumsi swasta dan mengalikan
sumebr- sumber kepada pemerintah demi terselenggaranya investasi produktif.
Perpajakan mendorong pembentukan modal melalui dua cara : (1). mengalihkan
sumebr- sumber swasta kepada negara untuk digunakan dalam saluran produktif
yang diinginkan, (2)

dengan menyediakan rangsangan pada

sektor swasta

untuk menaikkan produksi.


Menurut J. Cheliah, dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi
suatu negara pajak dapat digunakan untuk mencapai tujuan tujuan sebagai
berikut:
1. Untuk membatasi konsumsi dan dengan demikian mentransfer sumbersumber dari konsumsi ke investasi.
2. Untuk meningkatkan dorongan menabung dalam menanam modal.
3. Untuk mentrasfer sumber- sumber dari

tangan masyarakat ke tangan

pemerintah sehingga memungkinkan adanya investasi pemerintah.


4. Untuk memodifikasikan pola investasi.
5. Untuk mengurangi ketimpangan ekonomi.
6. Untuk memobilisasi surplus ekonomi. ( J. Chelliah, fiscal polity in
underdeveloped countries; 55).

Kebijaksanaan fiskal yang kedua adalah mengurangi pengeluaran pemerintah.


Pengurangan pemerintah akan menurunkan pengeluaran masyarakat. Dan
dengan demikian akan dapat mengurangi tekanan inflasi. Jika keseluruhan
pengeluaran dilakukan dalam perekonomian itu lebih kecil daripada kemampuan
maksimum untuk memproduksi barang, maka masalah yang mungkin timbul

adalah deflasi atau pengangguran. Langkah-langkah yang dijalankan untuk


mengatasi masalah- masalah pengangguran dengan kebijaksanaan fiskal bagi
negara yang sedang berkembang akibat yang ditimbulkan sangatlah berbeda
dengan negara- negara maju. Masalah pengangguran di negara yang sedang
berkembang tidak dapat diatasi dengan menurunkan tingkat pajak yang
dikenakan pada masyarakat dan dengan menaikkan pengeluaran pemerintah. Di
negara- negara yang sedang berkembang jumlah tenaga kerja berlebihan
dibanding dengan faktor- faktor produksi lainnya. Oleh karena itu tambahan
pengeluaran pemerintah yang terlalu besar, penanaman modal para pengusaha
dan kenaikan pengeluaran konsumsi rumah tangga ( G+1+C) sebagai akibat
penurunan pajak tidak akan menaikkan kegiatan ekonomi dan mengatasi
masalah pengangguran, tetapi sebaliknya akan menaikkan harga- harga. Pada
negara- negara maju, seringkali pemerintah harus menjalankan kebijaksanaan
belanja defisit untuk mengatasi

masalah pengangguran. Pada negara yang

sedang berkembang kebijaksanaan seperti ini akan menimbulkan inflasi tanpa


diikuti oleh turunnya pengangguran.
Dalam mengatasi inflasi, kebijaksanaan fiskal yang biasanya dilakukan di
negara- negara maju, bagi negara yang sedang berkembang harus dilakukan
dngan hati- hati. Pada negara maju pada umumnya inflasi timbul sebagai akibat
dari tercapainya tingkat kesempatan kerja yang terlalu tinggi. Sedangkan di
negara- negara yang sedang berkembang inflasi dapat terjadi, sementara
pengangguran

cukup tinggi.

Disamping pendapatan yang diperoleh oleh

pemerintah dari sektor pajak sangat rendah, Pendapatan tersebut

diperoleh

bukan dari pajak pendapatan tetapi dari pajak tidak langsung, sehingga
perubahan struktur perpajakan tidak akan menimbulkan pengaruh yang nyata
terhadap perubahan pengeluaran konsumsi masyarakat. Terobosan lain untuk
mempercepat

perkembangan

industri.

Pemerintah

biasanya

memberikan

rangsangan fiskal, misalnya pemberian pembebasan pajak sementara ( tax


holiday), dan pembebasan atas pajak impor untuk barang- barang modal yang
didatangkan dari luar negeri. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
mengatasi keadaan inflasi di negara- negara yang sedang berkembang dengan

jalan menurunkan pengeluaran dan menaikkan pajak akan memperburuk


masalah pengangguran dan memperlambat proses pembentukan modal untuk
pembangunan . Pengurangan pengeluaran pemerintah dan kenaikan pajak
akan menurunkan lajunya pembangunan. Sektor industri tidak tertarik untuk
memperluas usahanya;

bahkan mereka cenderung membatalkan rencana-

rencana penanaman modal. Akibatnya pertumbuhan ekonomi jadi lambat dari


jumlah pengangguran bertambah besar. Sedangkan inflasi yang dihadapi dalam
jangka pendek belum dapat dibatasi, memang diakui bahwa pengurangan
pemerintah dapat mengurangi lajunya inflasi.
Meskipun kebijaksanaan fiskal tradisional tidak menciptakan hasil yang
sama

efektifnya dengan negara maju, apabila kebijaksanaan

dilaksanakan dalam
memegang peranan

fiskal

mempercepat proses pembangunan , maka dapat


dalam mempercepat

proses pembangunan . Adapun

usaha- usaha yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :


(1)

Kebijaksanaan fiskal harus dijalankan

dengan lebih konservatif 9

hati-hati) , yaitu selalu menjaga pengeluaran dan penerimaan dalam


keadaan seimbang dan menghindari pengeluaran yang berlebihlebihan.
(2)

Kebijaksanaan fiskal dapat dipergunakan untuk mempengaruhi


sumber daya ekonomi. Pembelanjaan pemerintah di satu sektor akan
dapat

menggalakkan

penanaman

modal

disektor

tersebut.

Sedangkan pajak yang tinggi yang dikenakan pada satu sektor akan
menurunkan gairah pengusaha untuk memperluas usahanya.
Kebijaksanaan fiskal lain yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sumbersumber daya

dalam perekonomian adalah dengan memberikan rangsangan-

rangsangan fiskal ( fiscal insentive) kepada para pengusaha tertentu. Misalnya,


memerikan modal dengan syarat- syarat yang ringan, pembebasan sementara
pajak,

mengurangi atau membebaskan pajak impor modal dan bahan baku.

Akhirnya kebijaksanaan fiskal dapat memacu pembentukan modal. Seperti yang


dikatakan oleh Jhingan,bahwa Dalam konteks

perekonomian negara

terbelakang peranan kebijaksanaan fiskal adalah untuk memacu lajunya

pembentukan modal. Ia dirancang sebagai piranti pembangunan ekonomi, Oleh


karena itu menurutnya tujuan kebijaksanaan ini adalah untuk :
1. Meningkatkan laju investasi. Kebijaksanaan fiskal bertujuan untuk memacu
dan meningkatkan laju investasi di sektor swasta dan sektor negara yang
dapat dicapai dengan mengendalikan konsumsi baik aktual maupun potensial
dan meningkatkan rasio tabungan marginal. Dalam rangka meningkatkan laju
investasi, pemerintah

pertama

kali harus menerapkan kebijaksanaan

investasi di sektor publik, sehingga dapat mendorong

investasi disektor

swasta. Di negara- negara yang sedang berkembang modal asing kurang


mencukupi,

maka

pengobatannya

menurut

Nurkse,

ialah

dengan

meningkatkan rasio tabungan incremental melalui keuangan negara, pajak


dan pinjaman wajib. Dalam rangka menaikkan rasio tabungan incremental ,
menurut Dr. R.M. Tripathy, ada enam metode yang dapat diterapkan yaitu; a.
kontrol fisik langsung, b. peningkatan tarif pajak yang ada, c. penerapan pajak
baru, d. surplus dari perusahaan negara, e. pinjaman pemerintah yang tidak
bersifat inflasioner; dan keuangan defisit.
2. Meningkatkan kesemapatn kerja
Agar kesempatan kerja meningkat, maka pengeluaran pemerintah

harus

diarahkan kepada penyediaan over head sosial dan ekonomi, dan dalam
jangka panjang ( long run) pengeluaran seperti itu akan menciptakan lapangan
kerja dan menaikkan efisiensi produktivitas ekonomi.
3. Untuk mendorong investadi optimal secara sosial.
Kebijaksanaan fiskal harus mendorong invesatsi ke jalur over head sosial
ekonomi yang diinginkan masyarakat secara optimal, seperti investasi
dibidang traspor, perhubungan, pengembangan tenaga dan investasi di
bidang pendidikan, kesehatan masyarakat dan fasilitas latihan teknik ditujukan
untuk over head sosial. Kedua kategori investasi ini menghasilkan ekonomi
eksternal, memperluas pasar, meningkatkan produktifitas dan mengurangi
biaya produksi.
4. Untuk meningkatkan stabilitas ditengah ketidakstabilan ekonomi internasional.
Negara- negara yang sedang berkembang pada umumnya mudah sekali

terguncang oleh siklus ekonomi internasional kerena oleh sifat perekonomian


mereka sendiri. Mereka mengekspor produk primer dan mengimpor barangbarang

modal. Akhirnya trem

of trade negara tersebut menjadi buruk,

pendapatan devisa merosot dan hutang luar negeri semakin membengkak


sebagai akibat konjungtur moneter internasionak karena ulah kebijaksanaan
ekonomi makro negara- negara maju.
Dalam rangka mengurangi kegoncangan ekonomi dan mengurangi dampak
fluktuasi siklus internasional pada masa boom, harus diterapkan pajak ekspor
dan impor. Pajak ekspor dapat menyedot winfall profit ( rejeki nomplok) yang
timbul dari kenaikan harga di pasar dunia. Sedangkan bea impor dapat
menghambat daya beli barang- barang mewah dan konsumsi. Pada resesi di
pasar dunia, penerimaan ekspor sangat merosot sekali dan barang- barang
ekspor

terpukul

keras.

Dalam

situasi

seperti

ini

pemerintah

harus

menyelenggarakan banyak pekerjaan umum melalui anggaran defisit tetapi


dalam jangka pendek suntikan menaikan daya beli akan cenderung menaikan
harga- harga, karena sifat penawarannya in elastis. Oleh karena dalam rangka
mengurangi dampak siklus internasional diperlukan juga suatu kebijaksanaan
fiskal kontra- siklus melalui anggaran defisit pada masa depresi dan anggaran
surplus pada masa inflasi. Namun kebijaksanaan ini harus dilngkapi dengan
tindakan moneter yang lebih tepat.
Dalam laporan PBB mengenai Method of financing in underdeveloped countrie
memiliki empat tujuan kebijaksanaan fiskal :
(a). Untuk meluruskan kembali ketimpangan yang berlebihan dalam distribusi
pendapatan dan kesejahteraan dengan cara memperluas pasar dalam negeri
dan mengurangi impor yang kurang perlu.
(b). Menanggulangi inflasi yang mungkin timbul dalam pembangunan ekonomi.

Memberikan rangsangan kepada jenis- jenis proyek pembangunan yang

diinginkan dan dengan demikian membantu mendorong pembangunan kearah


yang diinginkan.
(d) Meningkatkan jumlah tabungan total yang tersedia untuk pembangunan
ekonomi.

Dari berbagai uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan fiskal bagi
negara- negara maju adalah untuk menstabilkan perekonomian. Dalam analisis
Keynes tindakan moneter dipergunakan untuk mengurangi tabungan dan untuk
meningkatkan kecendrungan konsumsi. Sebaliknya, bagi negara- negara yang
sedang berkembang atau terbelakang, karena kecendrungan konsumsi sangat
tinggi dan kecendrungan konsumsi menabung sangat rendah,maka kebijaksanaan
fiskal diperlukan untuk mengekang kecendrungan konsumsi dalam rangka
meningkatkan kecendrungan menabung demi tercapainya pembentukan modal
bagi investasi. Sehingga kebijaksanaan fiskal memainkan peranan dinamis dan
berfungsi instrumen untuk menggalakkan pembangunan ekonomi, khususnya
sebagai alat untuk :
a. Mempertinggi penggunaan sumber- sumber daya
b. Sebagai alat untuk memperbesar penanaman modal.

6.3.2. Kebijaksanaan Moneter


Kebijaksanaan moneter yaitu kebijaksanaan pemerintah untuk mempengaruhi
jalannya perekonomian dengan cara mempengaruhi penawaran uang dalam
masyarakat atau dengan cara mempengaruhi tingkat bunga.
Ada beberapa jenis kebijaksanaan moneter yaitu:
1. Merubah cadangan minimum bank- bank komersial ( merubah reseve ratio).
2. Merubah tingkat bunga
3. Selestive credit control
4. Open market operation.

1. Reserve Ratio Policy


Kebijaksanaan moneter adalah instrumen untuk mmpengaruhi permintaan dan
penawaran uang. Ketidakseimbangan keduanya akan tercermin dalam tingkat
harga. Kekurangan persediaan uang akan menghambat pertumbuhan ekonomi,

sedangkan kelebihan akan uang mengakibatkan inflasi. Oleh karena itu bank
sentral harus mengatur cadangan bank- bank komersial sedemikian rupa
sehingga tingkat harga tercegah dari kenaikan dan tanpa berpengaruh buruk
pada investasi dan produksi.
2.

Politik Diskonto
Politik Diskonto yaitu kebijaksanaan bank sentral untuk mempengaruhi tingkat
bunga, suku bungan yang tinggi akan merupakan hambatan bagi pertumbuhan
investasi swasta maupun publik Sebaliknya suku bunga rendah merupakan
syarat penting untuk mendorong investasi swasta di bidang pertanian dan
industri, terutama bagi pengusaha dan industri kecil. Kebijaksanaan suku bunga
rendah ( kebijaksanaan uang murah) yaitu kebijaksanaan untuk menyediakan
pinjaman publik secara murah dan menjaga pelayanan uang publik yang tetap
rendah. Dengan kebijaksanaan uang murah, akan menarik investasi asing, tetapi
kebijaksanaan ini mempunyai kelemahan tersendiri, karena ia merangsang
pinjaman untuk tujuan spekulatif dan tujuan konsumstif. Dan dengan demikian
menghadapi pembiayaan investor produktif. Untuk mencegah mengalirnya
sumber- sumber ke jalur spekulatif, bank sentral harus mengambil suku bungan
diskriminatif, yaitu mengenakan suku bunga yang rendah pada pinjaman yang
produktif.
3.Credit Selektive Control
Kebijaksanaan ini dimaksudkan
produksi.

untuk mempengaruhi pola investasi dan

Tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan tekanan inflasioner

yang timbul di dalam

proses pembangunan. Pengendalian kredit kuantitaif

dalam mempengaruhi alokasi kredit dan pola investasi. Di negara- negara yang
sedang berkembang ada suatu kecendrungan kuat untuk menanam modal pada
sektor non produktif daripada sektor produktif.

Pengendalian kredit secara

selektif adalah lebih tepat karena dapat mengendalikan tindakan spekulatif


dan lebih berhasil dalam mengendalikan inflasi seksional serta mengurangi
permintaan import. Disamping itu penggunaan rasio cadangan variabel sebagai
metode pengendalian kredit adalah lebih efektif daripada umumnya cadangan

kas yang lebih besar. Bank sentral dapat bergerak mengecek perluasan ini
dengan cara menaikkan rasio cadangan wajib.
4. Open Market Operation.
Di negara- negara yang sedang berkembang, operasi pasar terbuka tidak begitu
banyak berhasil mengendalikan inflasi. Sukses operasi pasar terbuka tergantung
pada ; (a) keberadaan pasar efek yang terorganisir baik; (b) Pemeliharaan rasio
cadangan kas tetap oleh bank- bank

komersial; (c) ketiadaan

fasilitas

rediskonto dari bank sentral. Pada negara- negara yang seang berkembang
open market operation tidak bekerja efektif, karena pasar amat kecil dan tidak
brkembang. Hal ini disebabkan karena tingkat suku bunga obligasi pemerintah
relatif rendah, dan mereka lebih suka menyimpan cadangan dalam bentuk liquid
seperti emas, valuta asing dan uang kontan. Kebijaksanaan moneter ini sangat
memegang peranan penting dalam mendorong prkembangan ekonomi terutama
untuk

menanggulangi inflasi dan mempertahankan keseimbangan neraca

pembayaran internasional. Dalam keadaan resesi dan tingkat pengangguran


yang tinggi; pemerintah harus berusaha mempertinggi penawaran uang dalam
masyarakat, yaitu dengan mengurangi tingkat bunga atau menjual

surat

berharga kepada masyarakat.


Kebijaksanaan moneter bagi negara yang sedang berkembang mempunyai
kemampuan yang teratas dalam mempengaruhi perubahan penawaran uang dan
pengeluaran masyarakat. Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan
keadaan ini, yaitu :
(a). Bank- bank

komersial pada umumnya mempunyai

cadangan yang

berlebihan, sehingga perubahan pada tingkat cadangan minimum tidak akan


banyak mempengaruhi kgiatan mereka untuk meminjamkan uang kepada para
pengusaha dan masyarakat.
(b). Jumlah cadangan yang berlebihan yang dimiliki oleh bank komersial
mengakibatkan mereka jarang meminjam uang ke bank sentral tidak banyak
pengaruhnya terhadap kegiatan- kegiatan bank komersial.

Keadaan pasar uang dan pasar modal masih belum sempurna, ini

mengakibatkan operasi pasar terbuka tidak dapat dijalankan secara efektif


karena masyarakat belum banyak menjual belikan surat- surat berharga.
(d)

Sistem bank belum berkembang. Hanya sebagian kecil saja masyarakat


yang berhubungan dengan bank. Dengan demikian kebijaksanaan moneter
hanya sebagian kecil saja mempengaruhi kegiatan perekonomian.

Namun dengan adanya kelemahan tersebut, kebijaksanaan moneter tidak


berarti tidak dapat digunakan sama sekali di negara yang sedang berkembang.
Kebijaksanaan tersebut masih dapat digunakan di negara yang sedang
berkembang, khususnya dalam menciptakan kestabilan ekonomi di negaranegara yang sedang berkembang.

Tetapi bentuk kebijaksanaan harus

disesuaikan dengan masalah yang ada di negara yang sedang berkembang.


Sebagian besar penawaran uang di negara yang sedang berkembang
merupakan penawaran uang tunai, akibatnya kebijaksanaan moneter bukan saja
bertujuan untuk mempengaruhi penawaran uang yang diciptakan oleh sistem
perbankan, tetapi juga mempengaruhi enawaran uang tunai di dalam
masyarakat.

Dengan

semakin

banyak

pendapatan

masyarakat sebagai

penduduk

dan

makin

akibat adanya pembangunan,

tingginya
maka

penawaran uang harus ditambah dari waktu ke waktu. Dimasa inflasi penawaran
uang harus dikurangi, yaitu dengan menarik uang dari masyarakat, sehingga
akan mengeluarkan pengeluarannya. Caranya dengan menaikkan tingkat bunga
kepada para penyimpan deposito berjangka. Langka ini dapat mengurangi
pengeluaran rumah tangga dan dapat membantu menyediakan dana untuk
digunakan dalam menanam modal. Tugas kebijaksanaan moneter di negaranegara yang sedang berkembang pada umumnya lebih

berat dari pada di

negara- negara maju, faktor penyebabnya antara lain;


1. Tugas untuk menciptakan penawaran uang yang cukup, sehingga
pertambahannya harus selaras dengan jalannya pembangunan,
memerlukan disiplin yng kuat dikalangan penguasa moneter dan pihak
pemerintah.

Kekurangan

modal

dan

terbatasnya

pendapatan

pemerintah mondorong pemerintah untuk meminjam uang dari bank

sentral. Keadaan ini akan menimbulkan inflasi, karena penawaran


uang melebihi penawaran barang.
2. Bank sentral di negara- negara yang sedang berkembang harus lebih
teliti dan berhati- hati mengawasi penerimaan valuta asing dan
mengawasi kegiataan dalam sektor luar negeri (eksport- import)
karena sektor ini lebih mudah menimbulkan inflasi.
3. Tugas

kebijaksanaan

mempercepat

moneter

proses

yang

lain

pembangunannya

adalah

membantu

dengan

cara

mengembangkan badan- badan keuangan, untuk mempertinggi


pembentukan modal. Pada umumnya di negara- negara yang sedang
berkembang lebih menitikberatkan pemberian pinjaman pada sektor
perdagangan, karena lebih menguntungkan dan resikonya rendah.
Sedangkan sektor yang lain yaitu sektor pertanian dan industri,
kurang mendapat fasilitas pinjaman karena resikonya tinggi. Oleh
sebab itu untuk menjamin mengalirnya uang tabungan ke sektor
pertanian dan industri diperlukan perhatian yang khusus oleh
pemerintah melalui bank sentral.

6.4.

Inflasi dalam Pembangunan


Salah satu resiko yang paling besar dengan melalui kebijaksanaan moneter dan
fiskal yang agresif adalah inflasi. Jika pemerintah memperluas perluasan kredit
atau pembelanjaannya, maka harga akan naik dan akhirnya mempengaruhi
stabilitas. Kenaikan harga secara umum ini disebut dengan inflasi. Laju inflasi
akan semakin cepat apabila masyarakat semakin tidak percaya terhadap nilai
tukar uang, sehingga cenderung membelanjakan setiap pendapatan yang
diterimanya dan akhirnya terjadi increasing demand. Dengan adanya increasing
demand maka harga naik,

laba yang diperoleh pengusaha semakin besar,

pasar ramai, produksi terjual, para pengusaha akan memperbesar produksinya,


permintaan tenaga kerja naik, dan pembangunan lancar. Akan tetapi apabila
tingkat inflasi terlalu tinggi,

dapat mengakibatkan modal/ dana yang

diinvestasikan menjrus pada spekulatif ( lapangan kerja tidak bertambah),

produksi

nasional

tidak bertambah,

Hendaknya

kebijaksanaan invesatsi

diarahkan pada sektor produktif, supaya output nasional bertambah, lapangan


kerja semakin luas dan tingkat inflasi dapat diperkecil.
Jadi jika inflasi terlalu tinggi akan menghambat pembangunan ekonomi, tetapi
perlu dicatat bahwa setiap pembangunan ekonomi harus terlaksana jika diikuti
oleh inflasi, mengapa? Hal ini disebabkan dalam pembangunan ekonomi, kodal
atau dana yang diinvestasikan kepada beraneka macam- macam pabrik, dan lain
sebagainya begitu besar, sedangkan antara pembangunan pabrik hingga
berproduksi mempunyai tenggang waktu. Tegasnya invesatsi telah dilakukan
tetapi produksi belum dihasilkan. Ada tiga jenis inflasi dilihat dari penyebabnya
yaitu;
(1),

demand full inflation,

muncul apabila permintaan meningkat dari pada

penawaran output nyata. Harga naik akibat tidak disesuaikannya antara


permintaan dan penawaran.
(2).inflasi dorongan ongkos ( cost- push- inflation) terjadi jika harga terdorong
naik ( tanpa permintaan) akibat permintaan kenaikan balas jasa dari segolongan
masyarakat.
(3). Inflasi dalam bentuk struktural, jika kesulitan secara fisik dalam produksi
tidak memenuhi permintaan. Inflasi dapat menaikakan ratio investasi.
Diantara

para perencanaan

pembangunan

terdapat

suatu

pertentangan

pendapat tentang inflasi. Pertentangan pendapat tersebut lebih dikenal sebagai


Perbedaan diantara golongan monetaris dan strukturalis ( the monetarisstrukturalis controversi). Golongan monetaris menganggap bahwa inflasi
disebabkan oleh ekspansi moneter, yaitu kelebihan penawaran uang dan
permintaan agregate masyarakat. Pandangan ini

sesuai dengan teori

konvensional, yaitu apabila permintaan terus bertambah sedangkan kapasitas


memproduksi barang barang telah mencapai tingkat maksimum berarti
penawaran tidak

ditambah lagi maka inflasi akan terjadi.

Keinginan untuk

mempercepat lajunya pembangunan telah mendorong negara- negara yang


sedang berkembang melaksanakan ekspansi moneter yang berlebih- lebihan.
Ekspansi moneter ini terutama ditujukan untuk membiayai anggaran belanja

defisit pemerintah. Golongan monetris tidak menyetujui kebijaksanaan yang


demikian dilaksanakan dan menyarankan agar kebijaksanaan mempercepat
pembangunan bukan dengan ekspansi moneter seperti diatas, tetapi dengan
pengaliran tabungan yang diciptakan oleh masyarakat dan badan badan
keuangan pemerintah dan para pengusaha. Jadi kebijaksanaan defisit dalam
anggaran belanja tidak dibiayai dari mencetak uang, tetapi dengan menaikkan
tabungan pemerintah dan mengadakan perubahan dalam sistem perpajakan.

Referensi
-

Arief,Sritua

dan

Adi

Sasono,

Ketergantungan

dan

Keterbelakangan,LSP, Jakarta, 1984


-

Awh, Robert, Micro Economics: Theory and Applications, John Wiley


and Sons, New York, 1976

Budiman, Arief, Teori Pembangunan Ketiga, PT. Gramedia, Jakarta


1995

Corbridge, S, Capitalist World Development:

A Critique of Radical

Development Geography, Macmiland, London,1986


-

Djojohadi Kusumo,

Sumitro, Perkembangan

Pemikiran Ekonomi:

Dasar Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, LP3ES,


Jakarta 1994
-

David Hulme, Sociology and Development

Griffin, Keith, Alternatives Strategies for Economic Develompment,


OECD, Paris, 1988

Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Rajawali,


Press, Jakarta, 1988

Kuncoro, Mudrajad, Manajemen Keuangan Internasional: Pengantar


Ekonomi dan Bisnis Global, BPFE, Yogyakarta, 1996

Kuztnets Simon,

Modern Economic Growth, New Have; Yale

University Press, 1966


-

_____________, Economic Modern Growth; Findings and Reflection,


American, Review, 1973

Kwik Kian Gie, Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Jakarta,


LP3ES, 1983.

Lewis Arthur W, The Theory of Economic Growth, London; Allen


Urwin, 1957

___________,

The

Principles

of

Economic

Planning

and

Development, allen Urwin, London, 1968


-

Meiyer RE, Baldwin, Economic Development Theory, History Policy,


MC. Graw Hill, New York, 1957

Oh mae, Kenichi, The End of The Nation State: The Rise of Regional
Economies, The free Press, New York, 1995

Prayitno Hadi, Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta, BPFE, UGM,


1986.

Ranis, J.C.H. Fei G: Development of Labor Surplus Economy; Theory


and Policy, Home wood, irwin,1964.

Rostow, ww, development : the political economy of marshal, an long


period, dalam gerald m.meir and Dubley secris(ed 5 ), pioneers in
development, oxford university press, new york, 1984.

Rostow, ww, the stage of economic growth : Anon comunis in


manifisto, london / canbridge university press, 1960.

Todaro, michael P. Economic developmentin third word, edisi ke 5,


longman, new york, 1994.

Schoort j.w. modernisasi, pengantar sosiologi pembangunan negaranegara sedang berkembang, jakarta, gramedia, ..

Sukirno sadono, ekonomi pembangunan: proses, masalah dan dasar


kebijaksanaan, jakarta : FE-UI, 1985

Anda mungkin juga menyukai