Anda di halaman 1dari 14

MODAL KEDAMAIAN SOSIAL DAN RESOLUSI KONFLIK: PERSPEKTIF

PEKERJAAN SOSIAL

Poverty is the ultimate systemic threat facing humanity. The widening gaps between rich and poor
nationsarepotentially socially explosiveIf the poor are left hopeless, poverty will undermine
societies through confrontation, violence and civil disorder
(Michel Camdessus, 2000).
When we think about security, we need to think beyond battalions and borders. We need to think about
human security, about winning a different war, the fight against poverty (James Wolfensohn, 2000).
Tujuan utama makalah ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi perancangan model-model teoretis
dalam menemukenali modal kedamaian sosial dan resolusi konflik di Indonesia menurut perspektif
pekerjaan sosial. Aspek-aspek apa saja yang dapat dijadikan indikator dalam memahami dan
mengidentifikasi modal kedamaian sosial? Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan konflik atau
ketidakdamaian sosial? Strategi apa saja yang dapat dikembangkan untuk mencapai kedamaian
sosial?
Pekerjaan sosial (social work) yang dimaksud dalam makalah ini bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela
atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan sebuah profesi pertolongan kemanusiaan yang
fokus utamanya untuk membantu keberfungsian sosial (social functioning) individu, keluarga, dan
masyarakat dalam melaksanakan peran-peran sosialnya (Siporin, 1975; Morales dan Sheafor, 1989;
Zastrow, 1982; 1989; Suharto, 1997). Dianalogikan dengan profesi kedokteran yang bergerak dalam
bidang kesehatan atau profesi guru yang bertugas dalam domain pendidikan, maka tugas dan peran
pekerjaan sosial lebih dominan dalam arena kesejahteraan sosial (social welfare). Dalam menjalankan
tugas-tugas profesionalnya, para pekerja sosial dilengkapi dengan seperangkat ilmu (body of knowledge),
keterampilan (body of skills) dan nilai (body of value) yang secara eklektik dibangun dari ilmu politik,
psikologi, sosiologi, antropologi dan filsafat sosial. Kompetensi pekerja sosial profesional umumnya
diperoleh melalui pendidikan formal (S1, S2 dan S3).
Meskipun dalam literatur pekerjaan sosial, modal kedamaian sosial masih belum dikenal luas sebagai
konsep dan pisau analisis yang bediri sendiri, pekerjaan sosial merupakan profesi kemanusiaan yang
telah lama terlibat dalam usaha-usaha penanganan konflik dalam konteks sosial budaya masyarakat.
DuBois dan Miley (1992) dalam Sosial Work: An Empowering Profession, misalnya, menyajikan dua bab
khusus: Social Work and Social Justice dan Social Work and Diversity, yang berkaitan dengan persoalan

konflik dalam masyarakat. Dalam buku The Integration of Social Work Practice, Parsons, Jorgensen dan
Hernandez (1994) juga menyajikan sedikitnya tiga bab yang berkaitan dengan resolusi konflik. Konsepkonsep lain yang sudah populer dan dapat digunakan dalam menelaah konflik dan modal kedamaian
sosial umumnya meliputi human capital (Haq, 1995; Robinson, 1997; Spellberg, 1997; Suharto, 2002),
social capital (Blakeley dan Suggate, 1997; Riddell, 1997; OBrien, 1997; Barker, 1997) dan human
security (Thomas, 2000). Selain itu, solidaritas sosial, integrasi sosial dan jarak sosial juga merupakan
konsep-konsep yang bermaanfaat dalam menelaah konflik dan dapat digunakan dalam menganalis
modal kedamaian sosial (lihat Miller, 1983).
PRASYARAT
Dalam perspektif pekerjaan sosial, at minimum, kedamaian sosial mensyaratkan terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs). Pencapaian kedamaian sosial, pada hakekatnya hanya dapat
diwujudkan jika kebutuhan dasar manusia dapat dipenuhi. Makanan, perumahan, pendidikan dan
kesehatan merupakan jenis-jenis kebutuhan dasar yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan
manusia. Dalam konteks ini, maka modal kedamaian sosial dipandang sebagai assets atau property yang
terbentuk dari kondisi dimana kebutuhan-kebutuhan material dasar individu dapat dipenuhi; dimana harga
diri manusia, termasuk partisipasi sosial dalam berbagai kehidupan masyarakat yang hakiki, dapat
diwujudkan. Dengan demikian, inti dari kata kedamaian atau damai dalam modal kedamaian sosial
merujuk pada makna aman atau bebas. Pengertian aman dan bebas di sini bukan saja dalam arti
aman atau bebas dari segala gangguan dan ketakutan yang bersifat destruktif, seperti aman dari
serangan pihak lain, melainkan pula:
1. Aman atau bebas dari kemiskinan, seperti kelaparan, kebodohan, ketergantungan; dan
2.

Aman atau bebas menentukan pilihan-pilihan (choices), seperti bebas berbicara, berkarya, dan
mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan sosial budaya.

Paparan di atas menunjukkan bahwa modal kedamaian sosial merupakan konsep yang cair yang tidak
dapat diisolasikan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Sedikitnya ada beberapa prasyarat yang
diperlukan untuk membangun modal kedamaian sosial:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi
terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan
relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses
terhadap berbagai pelayanan sosial.

4.

Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya untuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat
dikembangkan.

5.

Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai
perbedaan antar budaya dan kepercayaan.

6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan


sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7.

Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang


memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan
terpercaya.

MODAL KEDAMAIAN SOSIAL: KONSEP DAN PENGUKURANNYA


Pekerjaan sosial memandang bahwa kedamaian sosial bukanlah keadaan yang taken for granted, sekali
jadi, dan ditentukan oleh kondisi-kondisi alam. Meskipun bencana alam dapat menjadi sumber
ketidakdamaian sosial, manusia merupakan faktor penentu bagi terciptanya kedamaian sosial.
Ketidakdamaian sosial dapat terjadi karena struktur-struktur kekuasaan yang timpang; yang secara tidak
adil menetapkan siapa yang berhak memperoleh kedamaian dan siapa yang tidak. Struktur-struktur
tersebut dapat diidentifikasi dalam beberapa tingkatan, mulai dari tingkat global, regional, nasional dan
lokal. Misalnya, kegagalan pemerintahan nasional dalam memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan sosial
dan tercapainya keadilan sosial, dapat menimbulkan pencarian kedamaian sosial melalui saluran-saluran
informal dan bahkan illegal; diluar lembaga-lembaga formal negara.
Konsep modal kedamaian sosial kiranya sangat dipengaruhi oleh pemahaman mengenai arti modal
(capital) seperti halnya pada modal finansial (financial capital), modal manusia (human capital) dan
modal sosial (social capital). Para ekonom mendefinisikan modal finansial sebagai accumulated
monetary stocks which can either be held and saved for future investment or expended on such items as
plant and equipment, buildings, vehicles and the like. (Spellerberg, 1997:42-3). Sementara itu, para
ilmuwan sosial sering mengartikan modal manusia sebagai pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
manusia untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Sedangkan yang dimaksud modal sosial kerap
dimaknakan

sebagai keadaan organisasi sosial,

seperti jaringan-jaringan,

norma-norma,

dan

kepercayaan (trust) yang dapat meningkatkan produktivitas masyarakat (Blakeley dan Suggate, 1997;
Riddell, 1997; OBrien, 1997; Barker, 1997).
Modal kedamaian sosial pada dasarnya merujuk pada sumber atau potensi yang timbul dari proses
interaksi antara individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dalam konteks ini, modal
kedamaian sosial muncul bukan hanya pada saat orang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan dan

kepentingan umum, melainkan pula manakala terdapat kebebasan berserikat, relasi sosial yang sehat
dan berkelanjutan, serta adanya dialog dan komunikasi yang efektif diantara berbagai segmen
masyarakat. Secara teoretis, pengukuran konsep modal kedamaian sosial tidak selalu melibatkan
pengukuran interaksi-interaksi itu sendiri, melainkan lebih pada pengukuran hasil dari interaksi-interaksi
tersebut, seperti terciptanya kohesivitas, kepercayaan dan kesetiakawanan sosial diantara anggota
masyarakat yang bersangkutan.
Selain mengidentifikasi profil dan karakteristik masyarakat (misalnya: usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, formasi keluarga, agama, kelompok etnis, afiliasi dan partisipasi dalam
organisasi sosial), pengukuran modal kedamaian sosial dapat mencakup informasi mengenai
pandangan-pandangan (perception) dan sikap-sikap (attitudes) masyarakat dalam hal (lihat Miller, 1983;
Spellerberg, 1997):

Kepuasan dalam kehidupan, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan sosial
(aktualisasi diri dan partisipasi dalam berbagai bidang kegiatan kemasyarakatan).

Persepsi terhadap keterjangkauan pelayanan-pelayanan dan sumber-sumber sosial, seperti


transportasi, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, perumahan, kesehatan.

Rasa identitas (sense of identity) dan rasa memiliki (sense of belonging) atau alinasi (alienation)
dalam konteks kelompok sosial dan masyarakat.

Sikap terhadap orang lain dalam masyarakat, termasuk jarak sosial dengan kelompok lain.

Tingkat kepercayaan (level of trust) dan keyakinan terhadap orang lain dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan.

Sistem-sistem kepercayaan dan ideologi.

Nilai-nilai yang dianut dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.

Opini mengenai perlakuan-perlakuan pemerintah di masa lalu.

Perasaan ketakutan-ketakutan (fears).

Harapan-harapan untuk masa depan.

KEDAMAIAN SOSIAL DAN KONFLIK


Modal kedamaian sosial sangat berkaitan dengan konflik. Konflik dapat berfungsi sebagai faktor positif
(pendukung) dan faktor negatif (perusak) bagi modal kedamaian sosial. Secara positif, konflik dapat
berfungsi sebagai pendorong tumbuh-kembangnya modal kedamaian sosial. Seperti yang dinyatakan
oleh Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:261), konflik dapat meningkatkan kohesivitas kelompok,
memunculkan isu-isu dan harapan-harapan yang terpendam, memperjelas batas-batas dan norma-norma
kelompok, serta mempertegas tujuan yang hendak dicapai. Namun demikian, konflik juga bisa bersifat
destruktif terhadap keutuhan kelompok dan integrasi sosial masyarakat dalam skala yang lebih luas. Jika
melampaui batas toleransi dan kapasitas pihak-pihak yang terlibat serta tidak segera dicarikan solusinya,
konflik dapat menjurus pada ketidakdamaian sosial.
Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan
kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosialbudaya)
yang relatif terbatas. Menurut DuBois dan Miley (1992:148-158) sumber utama terjadinya konflik dalam
masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial, adanya diskriminasi terhadap hak-hak individu dan
kelompok, serta tiadanya penghargaan terhadap keberagaman. Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan
dengan sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang ditandai dengan akhiran ism: racism, elitism, sexism,
ageism, dan handicapism.
1.

Racism. Rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras
tertentu terhadap kelompok lainnya. Termasuk dalam pengertian ini adalah perasaan superioritas
yang berlebihan terhadap kelompok sosial tertentu. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim
bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan.
Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat
individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi,
diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan
kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga
sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.

2.

Elitism. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial
berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki
kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam
menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.

3.

Sexism. Isme ini merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu memiliki kelebihan atas jenis
kelamin lainnya. Pandangan ini seringkali didukung oleh interpretasi dan tradisi-tradisi keagamaan
yang pada umumnya memandang wanita sebagai jenis kelamin yang lebih rendah ketimbang lakilaki.

4.

Ageism. Usiaisme menunjuk pada sikap-sikap negatif terhadap proses ketuaan. Isme ini meyakini
bahwa kategori usia tertentu memiliki inferioritas dibandingkan dengan kelompok usia lainnya dan
karenanya perlakuan yang tidak adil dapat dibenarkan. Meskipun usiasisme umumnya diterapkan
kepada manusia lanjut usia (manula), sikap ini dapat pula ditujukan kepada anak-anak.

5.

Handicapism. Prasangka atau sikap-sikap negatif terhadap orang yang memiliki kecacatan adalah
manifestasi dari handicapism atau cacatisme. Orang yang memiliki kecacatan (tubuh, mental) secara
otomatis sering dianggap berbeda dan tidak mampu melakukan tugas-tugas kehidupan sebagaimana
orang normal. Orang dengan kecacatan atau penyandang kecacatan (terjemahan dari persons with
disabilities istilah yang lebih tepat daripada sebutan orang cacat) kerap dipandang sebagai orang
yang secara sosial tidak matang dan tidak mampu dalam segala hal.

Meskipun isme-isme tersebut, khususnya no 3, 4, dan 5, bukanlah faktor dominan dalam konteks konflik
di Indonesia, sikap-sikap prasangka tersebut dapat menjurus kepada tindakan-tindakan diskriminatif
terhadap beberapa kelompok yang dianggap memiliki karakteristik kurang kurang mampu, kurang
produktif, dan kurang normal. Isme-isme ini kemudian memberikan rasionalisasi atau justifikasi terhadap
ketidakadilan sosial dan tindakan-tindakan diskriminatif sosial terhadap masyarakat yang dianggap
memiliki struktur sosial kurang kurang memiliki kesempatan, kurang memiliki kemungkinankemungkinan, dan kurang memiliki sumber-sumber.
PLURALISME BUDAYA: SEBUAH KERANGKA KERJA
Indonesia adalah negara dengan ragam bahasa, agama, dan etnis. Indonesia memiliki kompleksitas
budaya yang plural dan heterogen. Konflik yang terjadi di Indonesia seringkali bersumber dari adanya
perbedaan dan pertentangan antar latar belakang sosio kultural. Indonesia dapat dianggap sebagai
negara yang memiliki modal kedamaian sosial rendah. Akibatnya, salah satu negara yang saat ini paling
tidak menikmati perdamaian adalah Indonesia (Salusu, 2000:120). Konflik yang berkepanjangan yang
terjadi di Kalimantan, Ambon dan Poso, serta aksi-aksi teorisme yang melanda Jakarta, Bandung dan
terakhir di Bali adalah beberapa kasus yang menunjukkan rendahnya modal kedamaian sosial.
Pendekatan pluralisme budaya merupakan sebuah alternatif dalam kaitannya dengan relasi sosial
diantara kelompok-kelompok etnis dan kebudayaan. Pendekatan ini dapat dijadikan sebagai strategi

pemecahan konflik maupun pembangunan modal kedamaian sosial. Pluralisme menunjuk pada saling
penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas
terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka
tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme
budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena,
seperti kata Kleden (2000:5), penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan
terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.
Dalam praktek pekerjaan sosial, pluralisme budaya merupakan sebuah ideologi yang kuat yang
mengharuskan para pekerja sosial untuk memahami sejarah, tradisi-tradisi yang berbeda, peranananperanan, pola-pola keluarga, simbol-simbol budaya, dan relasi-relasi mayoritas-minoritas. Pemahaman,
sensitifitas, dan keterampilan pekerjaan sosial, sangat menekankan para pekerja sosial untuk senantiasa
mampu menghindari kecenderungan memaksakan kehendak dirinya, kepercayaannya dan bahkan
keyakinan-keyakinan akademiknya dalam membantu orang-orang dari berbagai latar belakang budaya
yang berbeda. Tabel 1 menunjukkan model sederhana mengenai pendekatan pluralisme budaya dalam
memahami dan memecahkan konflik antar etnis. Fokus intervensinya mencakup tiga wilayah: mikro,
messo dan makro yang melibatkan berbagai isu pesonal, interpersonal dan sosiokultural.
PENDEKATAN RESOLUSI KONFLIK: MODEL DAN PERANAN PEKERJA SOSIAL
Mengacu pada Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), ada beberapa peran pekerjaan sosial dalam
penanganan konflik. Tiga peran di bawah ini mediator, fasilitator dan broker sangat relevan dalam
proses penanganan konflik dan dapat dijadikan model bagi para pendamai, khususnya bagi mereka yang
terlibat dalam kegiatan-kegiatan pembimbingan sosial yang bertugas di lapangan. Peran mediator
dilakukan pada tahap berlangsungnya konflik. Sedangkan peran fasilitator dan broker umumnya
dilakukan pada fase paska konflik dimana pertempuran dan benturan-benturan fisik sudah menurun.
Dua peran ini sering pula diterapkan pada tahap pra-konflik atau pencegahan konflik.
Mediator
Pekerja sosial sering melakukan peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya. Peran ini
sangat penting dalam penanganan konflik, terutama pada fase berlangsungnya konflik. Peran mediator
dilakukan pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada clash fisik antara berbagai
pihak. Dalam konteks ini, pekerja sosial dapat memerankan sebagai fungsi kekuatan ketiga untuk
menjembatani antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku,
negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam penanganan situasi kedaruratan. Dalam
mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai solusi menangmenang (win-win solution). Hal ini berbeda dengan peran sebagai pembela (advocate) dimana bantuan
pekerja sosial diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau membantu klien memenangkan dirinya
sendiri.

Compton dan Galaway (1989: 511) memberikan beberapa teknik dan keterampilan yang dapat digunakan
dalam melakukan peran mediator:

Mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik.

Membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak lain.

Membantu pihak-pihak yang bertikai dalam mengidentifikasi kepentingan bersama.

Hindari situasi yang mengarah pada munculnya kondisi menang dan kalah.

Berupaya untuk melokalisir konflik kedalam isu, waktu dan tempat yang spesifik.

Membagi konflik kedalam beberapa isu.

Membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mengakui bahwa mereka lebih memiliki manfaat jika
melanjutkan sebuah hubungan ketimbang terlibat terus dalam konflik.

Memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama lain.

Gunakan prosedur-prosedur persuasi.

Fasilitator
Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan fasilitator sering disebut sebagai pemungkin (enabler).
Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen dan
Hernandez (1994:188), The traditional role of enabler in social work implies education, facilitation, and
promotion of interaction and action. Selanjutnya Barker (1987) memberi definisi pemungkin atau
fasilitator sebagai tanggungjawab untuk membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional
atau transisional. Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial bahwa setiap perubahan terjadi pada
dasarnya dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan peranan pekerja sosial adalah
memfasilitasi atau memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang telah ditetapkan dan
disepakati bersama.
Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan
penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan

pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah menjadi beberapa
bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara
pencapaiannya (Barker, 1987:49). Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:190-203) memberikan
kerangka acuan mengenai tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial:

Mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan.

Mendefinisikan tujuan keterlibatan.

Mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan.

Memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem: menemukan kesamaan dan
perbedaan.

Memfasilitasi pendidikan: membangun pengetahuan dan keterampilan.

Memberikan model atau contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah bersama: mendorong
kegiatan kolektif.

Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan.

Memfasilitasi penetapan tujuan.

Merancang solusi-solusi alternatif.

Mendorong pelaksanaan tugas.

Memelihara relasi sistem.

Memecahkan konflik.

Broker

Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga lainnya di
pasar modal. Seorang broker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dari transaksi tersebut
sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien menyewa seorang
broker, klien meyakini bahwa broker tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan
yang diperoleh terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari.
Dalam konteks penanganan konflik, peran pekerja sosial sebagai broker tidak jauh berbeda dengan
peran broker di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam penanganan konflik terdapat klien
atau konsumen, yakni kelompok-kelompok yang bertikai. Namun demikian, pekerja sosial melakukan
transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan pertolongan sosial. Selain pengetahuan mengenai kualitas
pelayanan sosial di sekitar lingkungannya, pemahaman dan penghargaan pekerja sosial terhadap nilainilai pluralisme (non-judgemental, individualisation, self determination), sangat penting

untuk

menghindari konflik kepentingan dan menjaga kenetralan.


Dalam proses penanganan konflik, ada tiga prinsip utama dalam melakukan peranan sebagai broker:
Mampu mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat.
Mampu menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber secara konsisten.
Mampu mengevaluasi efektifitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien.
Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan makna broker seperti telah dijelaskan di muka. Peranan sebagai
broker mencakup menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa dan mengontrol kualitas
barang dan jasa tersebut. Dengan demikian ada tiga kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai
broker, yaitu: menghubungkan (linking), barang-barang dan jasa (goods and services) dan pengontrolan
kualitas (quality control). Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:226-227) menerangkan ketiga
konsep di atas satu per satu:

Linking adalah proses menghubungkan orang dengan lembaga-lembaga atau pihak-pihak lainnya
yang memiliki sumber-sumber yang diperlukan. Linking tidak sebatas hanya memberi petunjuk
kepada orang mengenai sumber-sumber yang ada. Lebih dari itu, ia juga mengkaitkan klien dengan
sumber referal, mendistribusikan sumber, dan menjamin bahwa barang-barang dan jasa dapat
diterima oleh klien, melakukan tindak lanjut.

Goods meliputi yang nyata, seperti makanan, uang, pakaian, perumahan, obat-obatan. Sedangkan
services mencakup keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan hidup
klien, semisal perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan, konseling, pengasuhan anak.

Quality Control adalah proses pengawasan yang dapat menjamin bahwa produk-produk yang
dihasilkan lembaga memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Proses ini memerlukan
monitoring yang terus menerus terhadap lembaga dan semua jaringan pelayanan untuk menjamin
bahwa pelayanan memiliki mutu yang dapat dipertanggungjawabkan setiap saat.

Dalam proses pendamaian konflik sosial, ada dua pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki
pekerja sosial:

Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen kebutuhan masyarakat (community needs


assessment), yang meliputi: (a) jenis dan tipe kebutuhan, (b) distribusi kebutuhan, (c) jenis dan tipe
pelayanan sosial, (d) pola-pola penggunaan pelayanan, dan (e) hambatan-hambatan dalam
menjangkau pelayanan.

Pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium dan jaringan antar organisasi. Kegiatan ini
bertujuan untuk: (a) memperjelas kebijakan-kebijakan setiap lembaga, (b) mendefinisikan peranan
lembaga-lembaga, (c) mendefinisikan potensi dan hambatan setiap lembaga, (d) memilih metode
guna menentukan partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan masalah sosial masyarakat, (e)
mengembangkan prosedur guna menghindari duplikasi pelayanan, dan (f) mengembangkan prosedur
guna mengidentifikasi dan memenuhi kekurangan pelayanan sosial.

STRATEGI KEBIJAKAN PUBLIK


Pembangunan modal kedamaian sosial tidak dapat hanya dilakukan pada tingkat mikro (individu,
keluarga) dan messo (kelompok etnis, lembaga-lembaga swadaya), melainkan pula pada tingkat makro
(negara) yang berkaitan dengan perancangan kebijakan publik yang kondusif. Dalam garis besar,
kebijakan-kebijakan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat sasaran:
1.

Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peningkatan


investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosial dasar yang lebih luas dan
adil.

2.

Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebijakan dalam kategori ini


meliputi desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengembangan
masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan kepentingankepentingannya.

3. Peningkatan masyarakat madani, meliputi perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorganisasi
dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-lembaga swadaya
masyarakat.

4.

Peningkatan partisipasi masyarakat. Kebijakan ini ditujukan untuk memberikan kesempatan pada
masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan dan praktek-praktek
pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki terhadap fungsi-fungsi organisasiorganisasi lokal.

PENUTUP
Pendekatan pekerjaan sosial memfokuskan pada peningkatan keberfungsian sosial. Penanganan konflik
maupun pembangunan modal kedamaian sosial dalam perspektif pekerjaan sosial dilakukan dalam tiga
aras secara terintegratif: mikro (individu dan keluarga), messo (kelompok dan lembaga-lembaga
swadaya) dan makro (negara-bangsa). Dalam konteks makro, misalnya, kebijakan publik yang kondusif
diyakini sebagai piranti penting dalam pembangunan modal kedamaian sosial. Di negara-negara Barat,
sistem kebijakan sosial dan jaminan sosial pada hakekatnya merupakan upaya untuk mereduksi
ketimpangan dan keadilan sosial secara melembaga yang pada gilirannya menjadi penopang modal
kedamaian sosial.
Model dan peranan pekerja sosial dalam menangani konflik bisa dipertimbangkan sebagai masukan bagi
pendekatan dan strategi pembangunan modal sosial dan integrasi bangsa di Indonesia. Harus diakui,
modal kedamaian sosial merupakan konsep yang masih memerlukan penajaman, terutama dalam
perumusan dan pengukurannya, setidaknya dalam perspektif pekerjaan sosial. Penelitian empiris yang
akan dilakukan oleh UIN Syarif Hidayatulah, Jakarta, merupakan langkah yang tepat.

Anda mungkin juga menyukai