Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

 
A. Latar Belakang

Kelahiran dan perkembangan sosiologi tidak lepas dari settingsosial yang

melatarbelakanginya dan sekaligus merupakan basis masalah pokoknya. Revolusi

politik Perancis (1789), revolusi industri yang berlangsung sepanjang Abad Ke-19

dan munculnya kapitalisme merupakan faktor yang paling besar perannya dalam

perkembangan (teori-teori) sosiologi.

Transformasi masyarakat dunia barat dari corak pertanian ke sistem

industri menjadikan banyak orang meninggalkan usaha pertanian ke pekerjaan

industri yang ditawarkan oleh pabrik-pabrik yang sedang berkembang. Hal ini

menimbulkan permasalahan-permasalahan yang mengganggu keteraturan

kehidupan sosial yang mendorong munculnya pemikiran-pemikiran sosiologi.

Sistem ekonomi kapitalis yang memunculkan segelintir orang dengan keuntungan

yang besar di satu pihak, dan di pihak lain ada sebagian besar orang yang bekerja

membanting tulang dengan jam kerja yang sangat panjang tetapi dengan sedikit

penghasilan, telah memunculkan reaksi menentang sistem industri dan

kapitalisme. Setting sosial akibat industrialisasi sangat mewarnai pemikiran para

pemikir sosiologi awal (para perintis), seperti Saint Simon (1760-1825), Auguste

Comte (1798-1857), Karl Marx (1818-1883), Emmile Durkheim (1858-1917),

Max Weber (1864-1920), dan lain-lain.

Pemikiran sosiologi muncul dari kesalingterkaitan antara personal

troubles dan public issuesyang bersumber pada krisis pada keteraturan sosial.

1
Industrialisasi dan kapitalisme oleh para perintis dianggap sebagai hal yang

menganggu keteraturan sosial, sehingga muncul pemikiran-pemikiran untuk

memulihkan keadaan atau memunculkan keadaan baru sebagai solusi atas masalah

yang timbul.

Tulisan ini –apapun adanya—diharapkan dapat menjadi prasaran atau

bahan diskusi mengenai peran atau fungsi pengajaran sosiologi di SMA untuk

mengantarkan para peserta didik memahami keteraturan sosial di masyarakat atau

lingkungan sosialnya. Apakah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada

dan sekaligus merupakan pagu dalam standar isi (Permen 22 Tahun 2006) telah

cukup memadai untuk maksud tersebut? Kemudian, terkait dengan pelaksanaan

SMA Bertaraf Internasional, bagaimana model atau bentuk adaptasi kurikulum

yang ada dengan kurikulum berstandar internasional, dalam hal ini A-Level

Cambridge University.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Pokok Bahasan Sosiologi

2. Bagaimana Pembentukan Keteraturan social

3. Bagaimana Keteraturan Sosial dalam Masyarakat Multikultural

C. Tujuan

1. Mengetahui Bagaimana Pengertian Pokok Bahasan Sosiologi

2. Mengetahui Bagaimana Pembentukan Keteraturan social

3. Mengetahui Bagaimana Keteraturan Sosial dalam Masyarakat

Multikultural

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pokok Bahasan Sosiologi

Emmile Durkheim (1965), menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi

adalah fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada di

luar individu, tetapi mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu.

Fakta sosial, menurut Durkheim, berada di luar individu, tetapi bersifat memaksa

dan mengendalikan individu, sehingga individu akan melakukan tindakan-

tindakan yang sebenarnya tidak selalu merupakan kehendak dirinya. Individu

yang bertindak tidak sesuai dengan fakta sosial, akan mendapat sanksi dari suatu

kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Durkheim mencontohkan perilaku bunuh

diri (suicide) yang juga merupakan fakta sosial.  Integrasi sosial dalam suatu

kelompok atau masyarakat yang terlalu kuat dapat memaksa individu untuk

melakukan altruistic suicide. Misalnya di dunia militer atau sekte tertentu,

individu dapat melakukan bunuh diri demi keselamatan rekan-rekannya. Bentuk

lain bunuh diri yang juga merupakan fakta sosial sebagaimana dijelaskan oleh

Durkheim adalah bunuh diri anomic dan egoistic.

Meskipun berbeda dari Durkheim, Max Weber mengungkapkan tentang

pokok bahasan sosiologi, yaitu tindakan sosial. Tindakan sosial merupakan

tindakan yang oleh individu/aktor dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku

pihak lain.  Sebagaimana fakta sosial yang diungkapkan oleh Durkheim, tindakan

sosial pun berorientasi kepada terbentuknya keteraturan sosial. Orientasi kepada

terbentuknya keteraturan sosial juga tampak pada uraian-uraian sosiolog lain,

3
seperti C. Wrights Mills (Sociological Imagination) ataupun Peter L. Berger

(thing are not what they seem).

Sedikit mengenai sosiologi di Indonesia, secara sangat singkat dapat

diuraikan sebagai berikut. Meskipun tidak secara formal, ajaran-ajaran Wulang

Reh (Mangkunegoro IV), Ki Hajar Dewantoro, mengandung unsur sosiologi.

Tahun 1948 Kuliah Pertama Sosiologi oleh Prof. Mr. Soenario Kolopaking di

Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang FISIPOL UGM). Tahun 1950 Hasan

Shadily menulis Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Tahun 1962 Selo

Soemardjan menulis Social Change in Yogyakarta, dan bersama dengan

Soelaiman Soemardi pada Tahun 1964 menulis buku Setangkai Bunga Sosiologi.

Dalam Setangkai Bunga Sosiologi, Selo Soemardjan memperkenalkan sosiologi

sebagai ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur, proses, dan perubahan-

perubahan sosial. Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi unsur-unsur

sosial yang pokok (nilai dan norma, kelompok, kelas, lembaga sosial, dll).

Sedangkan proses sosial menunjuk pada adanya hubungan timbal-balik di antara

unsur-unsur sosial . Struktur dan proses sosial membentuk sistem sosial, dan

masyarakat adalah sebuah sistem sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan

perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi baik pada struktur dan

proses sosial.

Hal yang penting diperhatikan ketika seseorang membicarakan struktur

sosial adalah bahwa ia sedang berbicara mengenai sesuatu yang terdiri atas

bagian-bagian yang saling bergantung dan membentuk suatu pola tertentu, dapat

berupa pola perilaku individu atau kelompok, institusi, maupun masyarakat.

4
Kiranya dapat dinyatakan bahwa perilaku sosial sesungguhnya merupakan fungsi

dari struktur sosial dan kebudayaan. Hampir semua tindakan-tindakan atau

perilaku yang dilakukan oleh individu lebih merupakan preferensi struktur sosial

atau kelompok daripada pribadinya.

B. Pembentukan Keteraturan sosial

Keteraturan sosial terbentuk karena ada proses sosial yang

dinamakan konformitas, yaitu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya

seseorang berperilaku terhadap yang lain sesuai dengan harapan kelompok. Sejak

lahir seorang anak diajarkan oleh orangtuanya untuk berperilaku sebagaimana

jenis kelamin yang dimiliki. Bayi perempuan dan bayi laki-laki diperlakukan

secara berbeda, diberi pakaian dengan bentuk dan warna yang berbeda, diberi

mainan yang berbeda, dst. Proses pembelajaran demikian dalam studi sosiologi

disebut sosialisasi.

Sosialisasi merupakan konsep penting dalam sosiologi, sebab seperti

diakatakan Mead, bahwa diri manusia berkembang secara bertahap (preparatory,

play stage, game stage, dan generalized other) melalui interaksi dengan anggota

masyarakat yang lain. EH Sutherland menyatakan bahwa manusia menjadi jahat

atau baik diperoleh memalaui proses belajar.

Sosialisasi berlangsung melalui interaksi sosial seorang individu atau

kelompok dengan individu atau kelompok lain, baik yang berlangsung secara

equaliter maupun otoriter, secara formal maupun nonformal, secara disadari

maupun tidak disadari, di kelompok primer maupun sekundernya. Namun, untuk

dapat berinteraksi dan berpartisipasi secara baik dalam kelompok atau

5
masyarakatnya, individu juga harus melakukan sosialisasi. Individu harus

mempelajari simbol-simbol dan cara hidup (cara berfikir, berperasaan, dan

bertindak) yang berlaku dalam masyarakatnya sehingga ia menjadi wajar atau

tidak aneh dan dapat diterima oleh warga lain dalam masyarakatnya.

Agen-agen atau media sosialisasi yang penting antara lain, (1) keluarga,

(2) teman sepermainan, (3) lingkungan sekolah, (4) lingkungan kerja, dan (5)

media massa. Di lingkungan keluarga peran para significant other (orang penting

yang bermakna bagi seseorang), seperti ayah, ibu, kakak,baby sitter, pembantu

rumah tangga, dll sangat penting. Kemandirian dan keterampilan sosial lainnya

yang sangat penting bagi perkembangan seorang anak, dapat diperoleh melalui

pergaulannya dengan teman sepermainan. Di samping mengajarkan tentang

keterampilan membaca, menulis, berhitung, cara berfikir kritis dan analistis,

rasional dan objektif,  lingkungan pendidikan/sekolah juga mengajarkan aturan-

aturan tentang kemandirian, prestasi, universalisme, dan spesivisitas.

Peran media massa sebagai agen sosialisasi tidak diragukan lagi. Dari

beberapa penelitian ditemukan fakta bahwa sebagian besar waktu anak-anak dan

remaja di beberapa kota dihabiskan untuk menonton telivisi, bermain game

online, chating, dan berinteraksi antar-sesama melaluiblog (web log) seperti face

book dan friendster. Ahli media massa menyatakan bahwa media is the message.

Homogenisasi (proses menjadi semakin serupanya struktur dan trend berbagai

masyarakat dari berbagai belahan bumi) yang merupakan trend global kurang

lebih merupakan hasil dari berperannya media massa yang berbasis teknologi

informasi dan komunikasi, khususnya televisi dan internet.

6
Meskipun sosialisasi telah berlangsung sejak seseorang dilahirkan atau

menjadi warga baru suatu masyarakat, tetapi tidak semua orang dapat berhasil

dalam proses sosialisasi. Dengan kata lain, tidak semua orang mampu hidup

dengan cara-cara yang sesuai dengan harapan sebagaian besar warga masyarakat.

Meskipun para anggota masyarakat cenderung konformis, tetapi ada sedikit orang

yang perilakunya berbeda atau menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan sebagian

besar anggota masyarakat. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari perilaku

yang sekedar aneh, lucu, nyentrik, masih merupakan individual peculiarities,

belum lazim karena terlalu maju, sampai dengan perilaku yang benar-benar

merusak tatanan sosia, bahkan jahat (crime).

Kepada sebagian kecil warga masyarakat yang berperilaku berbeda atau

menyimpang inilah peran mekanisme dari lembaga-lembaga pengendalian sosial,

baik yang formal maupun informal, baik melalui cara-cara yang bersifat persuasif

ataupun kurasif, preventif maupun kuratif. Pengendalian sosial menurut Durkheim

akan merupakan kekuatan yang berasal dari luar individu yang memaksanya

untuk bertindak, berperasaan, dan berfikir sebagaimana fakta sosial, melalui

diberlakukannya sanksi-sanksi (fisik, ekonomi, maupun mental) baik yang bersifat

positif maupun negatif.

Dengan kata lain, keteraturan sosial akan tercipta apabila: (1) dalam

struktur sosial terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas sebagai salah satu

unsurnya; jika tidak demikian akan menimbulkan  anomie, (2) individu atau

kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan norma-

norma yang berlaku (peran sosialisasi), (3) individu atau kelompok menyesuaikan

7
tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku

(internalisasi dan enkulturasi), dan (4) berfungsinya sistem pengendalian sosial

(social control).

C. Keteraturan Sosial dalam Masyarakat Multikultural

Masyarakat multikulrural (majemuk, plural) merupakan masyarakat yang

terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu

sama lain di dalam suatu kesatuan politik (Furnivall, 1967). Majemuk/plural

bukan sekedar heterogen. Seperti dinyatakan Cliford Geertz bahwa pluralitas

ditunjukkan oleh terbagi-baginya masyarakat ke dalam subsistem-subsistem yang

kurang lebih berdiri sendiri dan terikat oleh hal-hal yang bersifat primordial.

Dengan cara yang lebih rinci, Pierre van den Berghe menyebutkan beberapa sifat

dasar masyarakat majemuk, yaitu: (1) terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-

kelompok dengan subkultur saling berbeda satu dari lainnya, (2) struktur sosial

terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, (3) kurang

dapat mengembangkan konsensus mengenai nilai yang bersifat dasar, (4) relatif

sering mengalami konflik antar-kelompok, (5) integrasi sosial tumbuh di atas

paksaan (coercion) dan ketergantungan ekonomi, atau (6) dominasi politik oleh

suatu kelompok atas kelompok lainnya.

Mengingat karakteristik masyarakat plural seperti diuraikan di atas, proses

integrasi sosial atau pembentukan keteraturan sosialnya akan memerlukan energi

yang lebih besar, dan sangat tergantung pada bentuk dan konfigurasi struktur

sosialnya serta proses-proses sosial yang ada.

8
Struktur sosial dalam masyarakat multikultural dapat dibedakan

antara intersected danconsolidated. Dalam struktur yang intersected, integrasi

atau keteraturan sosial lebih mudah terbentuk karena adanya silang-menyilang

keanggotaan dan loyalitas. Sedangkan pada struktur yang consolidated, proses

integrasi atau keteraturan sosialnya akan terhambat karena terjadi penguatan

identitas dan sentimen kelompok yang diakibatkan oleh terjadinya tumpang tindih

parameter dalam pemilahan struktur sosialnya.

Konfigurasi etnis dalam masyarakat multikultural, apakah (1) kompetesi

seimbang, (2) maioritas dominan, (3) minoritas dominan, atau (4) fragmentasi,

menentukan juga proses integrasi sosialnya. Pada konfigurasi (1) dan (4)

memerlukan komunikasi dan adanya koalisi lintas-etnis, sedang pada konfigurasi

(2) dan (3) integrasi sosial dapat terbentuk karena adanya dominasi suatu

kelompok terhadap lainnya.

Ethnosentrisme, primordialisme, dan berkembangnya politik aliran

merupakan faktor yang menghambat integrasi dan keteraturan sosial dalam

masyarakat multikultural.  Pendidikan multikulturalsme diharapkan dapat

menumbuhkan faham relativisme kebudayaan, universalisme, dan berkembangnya

kehidupan politik nasional yang non-aliran dan berbasis program dan ideologi

nasional.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang ada dapat disimpulkan bahwa (1) pengajaran sosiologi di

SMA berperan penting dalam mengantarkan peserta didik untuk memahami

terbentuknya keteraturan sosial dalam mastarakatnya, (2) Berdasarkan teori

mengenai terbentuknya keteraturan sosial, SK dan KD pada standar isi

(Permendikna Nomor 22 Tahun 2006) telah memadai untuk mengantarkan peserta

didik memahami pembentukan keteraturan sosial, (3) subtansi SK dan KD dalam

standar isi tidak jauh berbeda dari subject content Sosiologi pada A-Level

Cambridge University. Di samping sekuen subjek yang berbeda, beberapa subjek

yang yang ada di A-Level seperti Work and Leisure tidak tercantum dalam SK

dan KD. Dengan demikian, apabila peserta didik akan mengikuti eksaminasi A-

Level perlu mengadaptasi SK dan KD dengan Subject Content dalam A-Level.

10
DAFTAR PUSTAKA

Budiono Kusumohamidjojo. 2000. KEBHINEKAAN MASYARAKAT DI


INDONESIA; Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo.

George Ritzer, Douglas J. Goodman. TEORI SOSIOLOGI MODERN, Edisi Ke-


6.Terjemahan Oleh Alimandan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

A.R Tilaar. 2004. MULTIKULTURALISME, Tantangan-tantangan Global Masa


Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

Kamanto Sunarto. 2004. PENGANTAR SOSIOLOGI, Edisi Revisi. Jakarta:


Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1992.
SISTEM SOSIAL INDONESIA. Jakarta: Rajawali Pers

Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 SK dan KD Sosiologi SMA

Syllabus of General Certificate of Education (International) Advanced Level and


Advanced Subsidiary Level SOCIOLOGY 9699 (www.cie.org.uk)

11

Anda mungkin juga menyukai