Anda di halaman 1dari 31

PROPOSAL PENELITIAN SOSIOLOGI KESEHATAN

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KONSEP SEHAT DAN SAKIT


DI DESA LATTEKO KECAMATAN AWANGPONE KABUPATEN BONE

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 2
Meydinatul Husna E031201018 Muhammad Akbar E031201037
Muh. Taufik E031201019 Qanitah Khaerunnisa E031201048
Moudita H. Puri E031201023 Betsina Theodora H. E031201052
Tri Indah Utami E031201024 Fahrum Rya Syam E031201053
Audy Hidayatullah N E031201030 Muhammad Hidayat E031201064
Aisyah Yulindasari E031201032 Nurfadilah E031201066
Nur Alif E031201034 Bungin Tandiseru E031201067

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada hakekatnya setiap manusia selalu mendambakan hidup sehat dan
sejahtera lahir dan batin. Oleh karena kesehatan merupakan salah satu
kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sehat
merupakan keadaan dari kondisi fisik yang baik, mental yang baik, dan juga
kesejahteraan sosial, disamping kebutuhan akan sandang, pangan dan
pendidikan. Kesehatan menurut Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 adalah
“keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial untuk
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi”
(Undang-undang tentang kesehatan tahun 2009). Hanya dengan kondisi
kesehatan yang baik serta tubuh yang prima manusia dapat melaksanakan
proses kehidupan untuk tumbuh dan berkembang menjalankan segala aktivitas
hidupnya. Sehat termasuk manusia seutuhnya meliputi aspek fisik, emosi,
sosial, kultural dan spiritual (S. Dwi Krisna & Yohanes, 2017).
Pentingnya masalah kesehatan dapat dilihat dari pertambahan penduduk
sekitar daerah-daerah perdagangan, perkantoran, industri sehingga akan terjadi
suatu tingkat persaingan yang cukup tinggi di dalam mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang dijalani (D. Budijanto & Betty, 2006).
Sebagian besar dari banyak yang berdatangan tanpa bekal keterampilan,
pendidikan memadai, sehingga banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan
yang layak dengan penghasilan cukup, yang berakibat masyarakat tetap
miskin. Apalagi yang masih menempati daerah pemukiman dan berada pada
sekitar daerah pelabuhan. Dengan keadaan yang 'pas pasan tersebut sangat
memungkinkan berpengaruh pada persepsi dan pola pencarian pengobatan jika
mereka sakit.
Sehat maupun sakit menurut keluarga dipersepsikan secara berbeda.
Persepsi tentang sehat-sakit juga dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa
lalu, disamping unsur sosial budaya. Pengalaman masa lalu menjadi acuan
(referensi) persepsi individu tentang kondisi sehat dan sakit. Seorang individu
menggunakan pengalaman sebagai patokan untuk berperilaku dan merupakan
sumber dari tujuan dan nilai-nilai pribadinya (Yunindyawati dalam D.
Budijanto & Betty, 2006).
Menurut Parson dalam S. Dwi Krisna & Yohanes (2017) bahwa sakit
adalah perasaan yang tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena
menderita sesuatu (demam, sakit perut, dan lain-lain). Sakit juga merupakan
gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas, termasuk keadaan
organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya (Parson dalam
S. Dwi Krisna & Yohanes). Sakit juga dapat disebabkan oleh beberapa hal,
baik itu yang berasal dari gaya hidup yang kurang sehat, lingkungan yang
tidak bersih, ataupun karena menurunnya metabolisme tubuh.
Semakin majunya dunia kesehatan tidak berjalan beriringan dengan
perilaku sehat dari masyarakat. Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon
seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan (Simons & Morton dalam S.
Dwi Krisna & Yohanes, 2017). Dengan demikian dasar orang berperilaku
dapat ditentukan oleh nilai, sikap, dan pendidikan atau pengetahuan
(Notoadmojo, 2014). Masyarakat seringkali tidak ingin pergi ke rumah sakit
yang umumnya disebabkan karena biaya pengobatan di rumah sakit yang
terbilang cukup tinggi bagi masyarakat dengan tingkat perekonomian
menengah kebawah.
Terdapat dua jenis pengobatan yang sering digunakan oleh masyarakat
antara lain pengobatan modern, dan pengobatan tradisional. Pengobatan
modern adalah pengobatan yang berkembang saat ini, yakni dengan metode
medis dan kedokteran, pengobatan modern dilakukan dengan cara-cara ilmiah
atau telah diujicobakan dengan penelitian dan dipertanggungjawabkan
hasilnya, dan pengobatan tradisional menurut WHO dalam S. Dwi Krisna &
Yohanes (2017) adalah jumlah total pengetahuan, keterampilan, dan praktek-
praktek yang berdasarkan teori-teori, keyakinan, dan pengalaman masyarakat
yang mempunyai adat dan budaya yang berbeda, baik dijelaskan atau tidak,
digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta dalam pencegahan, diagnosa,
perbaikan atau pengobatan penyakit secara fisik dan juga mental.
Masyarakat sendiri akan menentukan dirinya dengan arah untuk berobat
atau melakukan pengobatan, baik itu ke pengobatan tradisional maupun
modern, namun pada dasarnya budaya juga mengambil peran yang penting
dalam pembentukan perilaku dan kepercayaan ini, seperti penelitian yang
dilakukan oleh Quah dan Bishop dalam S. Dwi Krisna & Yohanes (2017)
terhadap warga Cina asli dengan Cina-Amerika terkait dengan persepsi
terhadap kesehatan, warga asli Cina menganggap bahwa penyakit muncul
akibat adanya ketidakseimbangan dalam tubuh, hal ini sama dengan budaya di
Cina yang menganggap bahwa seseorang dapat dikatakan sehat apabila
memiliki keseimbangan tubuh (S. Dwi Krisna & Yohanes, 2017). Sedangkan
warga Cina-Amerika mengatakan bahwa suatu penyakit muncul diakibatkan
oleh virus-virus, sehingga warga Cina asli akan memilih berobat ke
pengobatan tradisional Cina sedangkan warga Cina-Amerika akan lebih
memilih untuk berobat ke tenaga kesehatan (Matsumoto & Juang dalam . S.
Dwi Krisna & Yohanes, 2017). Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan
bahwa kesehatan itu yang paling diutamakan dikarenakan meliputi ke semua
aspek fisik. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Persepsi
Masyarakat Terhadap Konsep Sehat dan Sakit di Desa Latteko, Kecamatan
Awangpone, Kabupaten Bone.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas perumusan permasalahan
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep sehat dan sakit menurut masyarakat di Desa
Latteko, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan sakit dan penyakit yang dialami
masyarakat di Desa Latteko, Kecamatan Awangpone, Kabupaten
Bone?
3. Bagaimana upaya pihak kesehatan menanggulangi berbagai ancaman
penyakit di Desa Latteko, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus masalah penelitian yang dirumuskan, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis bagaimana masyarakat memahami konsep sehat dan
sakit yang didasarkan pada budaya masyarakat, khususnya di Desa
Latteko, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone.
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penyebab utama
timbulnya penyakit di tengah masyarakat, serta bagaimana upaya yang
dilakukan tenaga kesehatan dalam menanggulangi berbagai ancaman
di Desa Latteko, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone.

D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pendukung terhadap teori
yang sebelumnya dan dapat memperluas wawasan keilmuwan terkhusus
pada masyarakat di Desa Latteko, Kecamatan Awangpone, Kabupaten
Bone mengenai konsep sehat dan sakit.
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pada
masyarakat di Desa Latteko, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone
mengenai persepsi masyarakat tentang konsep sakit dan sehat yang terjadi
di desa mereka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Persepsi Masyarakat
a. Pengertian Persepsi Masyarakat
Menurut Suharto (2005:47) Persepsi masyarakat adalah keseluruhan
atau rata-rata persepsi individu terhadap suatu obyek yang kurang lebih
mempunyai persepsi yang sama. Kesamaan-kesamaan tersebut biasanya
diwujudkan ke dalam pengakuan bersama terhadap suatu obyek, misalnya
memakai simbol, tanda-tanda, dan bahasa-bahasa verbal dan nonverbal
yang sama.
Jalaluddin Rakhmat (2004:62) Persepsi masyarakat terhadap suatu
obyek merupakan landasan pokok bagi timbulnya perilaku dari masing-
masing individu dalam setiap kegiatan. Makna positif dan negatif sebagai
hasil persepsi masyarakat terhadap suatu obyek yang sangat tergantung
dari bentuk dan proses interaksinya. Masing-masing individu mempunyai
persepsi yang berbeda dalam menanggapi suatu obyek. Kemudian masing-
masing individu akan melakukan proses pertukaran persepsi di antara
masing-masing individu. Proses pertukaran persepsi tersebut dapat
berlangsung antara individu yang tergabung dalam komunitas tertentu.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi
masyarakat timbul karena adanya persepsi dari masing-masing individu di
mana persepsi dari masing-masing individu tersebut terhadap suatu obyek
dikumpulkan menjadi satu sehingga timbullah suatu persepsi masyarakat.
Persepsi masyarakat merupakan proses mengamati obyek melalui indera
kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan melalui bentuk-bentuk
rangsangan suatu obyek atau peristiwa berdasarkan latar belakang masing-
masing individu sehingga akan muncul tanggapan atau reaksi yang
diwujudkan dalam bentuk kemampuan membeda-bedakan,
mengelompokkan, menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan serta
terwujudnya komunikasi antara manusia dengan obyek.
b. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat
Makna persepsi seseorang adalah proses yang berhubungan dengan
penginderaan, seperti melihat, membau, mendengar, merasakan,
menanggapi, menyentuh, menerima dan lain-lain. Pernyataan ini
menyiratkan bahwa persepsi itu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
dari dalam (interen individu) dan faktor luar (ekstren individu). Adapun
menurut Bimo Walgito (1989:56-57) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi yaitu:
a) Faktor individu, yang meliputi: (1) Perhatian, baik perhatian spontan
maupun perhatian tidak spontan; dinamis atau statis; (2) Sifat
Struktural individu; simpati atau antipati; (3) Sifat Temporer individu;
emosional atau stabil; (4) Aktivitas yang sedang berjalan pada
individu.
b) Faktor Stimulus (rangsangan). Stimulus akan dapat disadari oleh
individu, bila stimulus ini cukup kuat. Bagaimanapun besarnya
perhatian dari individu, tetapi bila stimulus tidak cukup kuat, maka
stimulus itu tidak akan di presepsi oleh individu yang bersangkutan,
dan ini tergantung pada: (1) intensitas (kekuatan) stimulus; (2) ukuran
stimulus; (3) perubahan stimulus; (4) ulangan dari stimulus; (5)
pertentangan atau kontras dari stimulus.

Sedangkan Jalaluddin Rakhmat (2004:55) mengemukakan bahwa persepsi


ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor-faktor fungsional bersifat personal
berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, proses belajar dan motif dan
faktor-faktor struktural berasal dari luar individu antara lain lingkungan
keluarga, hukum yang berlaku dan nilai-nilai dalam masyarakat. Oleh karena
itu, setiap individu dalam masyarakat mempunyai persepsi yang berbeda-beda
dalam menanggapi suatu obyek. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan
pengalaman atau lingkungan, maka persepsi dapat berubah-ubah sesuai
dengan suasana hati, cara belajar, dan keadaan jiwa. Jadi persepsi itu
tergantung pada proses berpikir atau kognitif seseorang, sehingga persepsi
akan selalu berubah setiap saat. Perubahan itu tergantung pada kemampuan
selektivitas informasi yang diterima setelah diolah ternyata bermakna positif
maka seseorang mendukung informasi yang diterima, tetapi bila negatif maka
yang terjadi sebaliknya.
c. Proses Terjadinya Persepsi Masyarakat
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa persepsi itu
merupakan proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah
proses diterimanya stimulus melalui alat indera atau reseptor. Stimulus
kemudian diteruskan ke otak dan proses selanjutnya adalah proses
persepsi. Lebih rinci lagi mengenai proses terjadinya persepsi menurut
Bimo Walgito (Fitri:2015) adalah Objek menimbulkan stimulus, dan
stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses stimulus mengenai alat
indera merupakan proses kelaman atau proses fisik. Stimulus yang
diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini
yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak
sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat,
atau apa yang didengar, atau apa yang diraba. Proses yang terjadi dalam
otak atau dalam pusat kesadaran yang disebut sebagai proses psikologis.
Proses terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang
misalnya apa yang dilihat, diraba, didengar, yaitu stimulus yang diterima
melalui alat indera.
Mencermati proses terbentuknya persepsi masyarakat dapat
dikemukakan bahwa seseorang diawali oleh adanya rangsangan atau
stimulus yang diterima oleh alat indera atau reseptor, kemudian melalui
proses persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang
berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan. Dengan merujuk
pada pengertian persepsi masyarakat, faktor-faktor yang mempengaruhi
dan proses terjadinya persepsi masyarakat yang telah di paparkan si atas,
maka dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya persepsi masyarakat
adalah proses mengamati obyek melalui indera kemudian diorganisasikan
dan diinterpretasikan melalui bentuk–bentuk rangsangan suatu obyek atau
peristiwa berdasarkan latar belakang masing–masing individu sehingga
akan muncul tanggapan atau reaksi yang diwujudkan dalam bentuk
kemampuan membeda-bedakan, mengelompokkan, menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Dalam penelitian ini peneliti
mengangkat tentang persepsi masyarakat terhadap konsep sehat dan sakit.
Jadi kami ingin melihat seberapa jauh pengetahuan masyarakat mengenai
konsep sehat dan sakit.

2. Analisis Konsep Sehat dan Sakit


Sosiologi kesehatan adalah suatu cabang ilmu dari sosiologi yang
membahas masalah kesehatan masyarakat. Kesehatan masyarakat adalah
kesehatan public (masyarakat umum) yang membahas Kesehatan
penduduk, kesehatan keluarga, kesehatan rumah tangga, atau kesehatan
subjek yang ada di dalam masyarakat. Jika ada pernyataan yang
mengatakan bahwa “kalau begitu cukup dengan ucapan kesehatan
masyarakat saja, tidak perlu harus mengatakan sosiologi kesehatan”.
Pernyataan iu akan kita tepis dengan mengatakan bahwa objek formal
sosiologi adalah “interaksi”. Interkasi menjadi objek formal tidak akan
terlepas dari interaksi dengan manusia atau lingkungan sekitarnya.
Akibatnya bisa menimbulkan hal-hal yang negatif maupun hal-hal yang
positif.
Hal-hal negatif itu termasuk tertularnya penyakit dari satu orang ke
orang lain (penyakit menular langsung) seperti penyakit TBC, keamin,
mata, dan lain-lain, sedangkan tertularnya penyakit tidak langsung seperti
penyakit malaria, demam berdarah, filaria, disentri, dan lain-lain yang
disebabkan oleh serangga, ternak, dan hewan. Semua ini akibat interaksi
manusia dengan lingkungan fisik maupun dengan lingkungan sosialnya.
Di sinilah sosiologi kesehatan sangat erat hubungannya dengan ilmu
kesehatan karena ilmu kesehatan membicarakan masalah kesehatan secara
panjang lebar. Tentu kesehatan dalam konteks ini adalah kesehatan
masyarakat (public health). Dengan begitu, hal-hal yang menjadi kajian
sosiologi kesehatan adalah kajian keehatan secara umum, sedangkan
secara teknis medis atau klinik menjadi ompetensi ilmu kedokteran, ilmu
keperawatan, dan lain-lain. Jadi, yang menjadi ‘mainstream’ kajian
sosiologi kesehatan adalah “kesehatan masyarakat”. inti pemikiran
sosiologi kesehatan ini dibahas dalam idiom-idiom kualitatif maupun
kuantitatif.
Konsep sehat menurut World Health Organization (WHO) yaitu
“Health is a state of complete physical, mental and social well-being and
not merely the absence of disease or infirmity” atau dengan kata lain sehat
merupakan suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan
sosial yang tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan (WHO,
1948). Sementara Peraturan Perundangan Indonesia tentang Kesehatan
menyatakan konsep sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik secara
fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No. 36 Tahun
2009). Berdasarkan konsep tersebut, sehat meliputi tiga karakteristik,
yaitu: merefleksikan perhatian pada individu sebagai manusia,
memandang sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal, serta
sehat didefinisikan sebagi hidup yang kreatif dan produktif. Dalam
perkembangan selanjutnya, sehat didefinisikan secara lebih kompleks.
WHO perkembangan arti sehat menyebutkan terdapat empat dimensi
holistik, yaitu:
1) Organo-biologik Sehat dalam dimensi organo-biologik menjelaskan
konsep sehat secara fisik atau badan jasmani. Dalam dimensi ini,
badan jasmani dikatakan sehat apabila terbebas dari penyakit atau
kecacatan fisik sehingga dapat beraktivitas mandiri secara normal.
2) Psikologis Dimensi psikologis menjelaskan bahwa seseorang
dikatakan sehat apabila tidak ada gangguan secara emosional atau
kejiwaannya. Terbebas dari pikiran dan emosi negatif sehingga mampu
berpikir yang positif dalam segala hal.
3) Sosial budaya Konsep sehat dalam dimensi sosial budaya merupakan
keadaan dimana seseorang mampu beradpatasi dan bersosialisasi
secara baik dengan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, termasuk
mampu mematuhi serta menjalankan norma-norma dan nilai-nilai
sosial budaya di sekitarnya dengan baik.
4) Spiritual Konsep sehat dalam dimensi spiritual merupakan suatu
kondisi dimana seseorang yang memiliki kepercayaan tertentu dan
mampu melaksanakan ajaran kepercayaan atau agama yang dianutnya
sehingga mampu berpikir, berkata, dan bersikap yang baik (Wardhana,
2016).

Seperti halnya konsep sehat, konsep sakitpun memiliki dimensi bio-


psikososial yaitu:
1) Disease
Merupakan suatu dimensi sakit yang menggambarkan sakit dalam bentuk
fisik. Disease merupakan bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme,
benda asing, ataupun luka (injury). Disease ini merupakan suatu fenomena
objektif yang ditandai oleh perubahan-perubahan fungsi tubuh sebagai
organisme biologis, dimana terdapat penyimpangan yang muncul melalui
gejala-gejala tertentu. Disease dapat ditemukan melalui suatu diagnosis.
Adapun contoh disease, antara lain: demam, influenza, kanker, AIDS, dan
berbagai penyakit lain.
2) Sickness
Dimensi sickness merupakan konsep sakit dalam dimensi psikologis.
Konsep sakit dalam dimensi sickness ini merupakan penilaian seseorang
terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung
dialaminya. Konsep sickness muncul akibat adanya ketidaknyamanan
dalam diri seseorang akibat faktor psikis.
3) Illness
Konsep sakit dalam dimensi illness merupakan konsep sakit secara
sosiologis. Konsep sakit ini berkaitan dengan penerimaan sosial terhadap
seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan (illness
maupaun disease). Seseorang yang dalam keadaan illness biasanya
dibenarkan untuk melepaskan tanggung jawab, peran atau kebiasaan-
kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat secara sementara akibat dari
ketidak-sehatannya. Sakit dalam konsep sosiologis ini berkenaan dengan
peran khusus yang dilakukan sehubungan dengan perasaan kesakitannya
dan sekaligus memiliki tanggung jawab baru, yaitu mencari kesembuhan
(Wardhana, 2016).

Menurut WHO, sehat adalah keadaan utuh fisik, jasmani, mental, dan
sosial dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan. Sedangkan kesehatan adalah suatu keadaan sehat jasmani,
mental dan sosial. Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 mendefinisikan
kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual,
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Konsep sakit adalah penilaian seseorang
terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung
dialaminya (bersifat subyektif). Penyakit adalah bentuk reaksi biologis
terhadap suatu organisme benda asing atau luka (bersifat objektif).
Seseorang yang menderita penyakit belum tentu merasa sakit dan
sebaliknya orang mengeluh sakit padahal tidak ditemukan penyakit.
Sehat fisik dimana tidak ada rasa sakit dan kondisi tubuh dan organ
dalam kondisi yang normal dapat berfungsi dengan baik. Pendapat lain
mengatakan bahwa sehat fisik adalah suatu keadaan bentuk fisik dan
faalnya tidak mengalami gangguan sehingga memungkinkan berkembang-
nya mental dan sosial untuk dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari
dengan optimal.
Sehat mental adalah suatu kondisi memungkinkan perkembangan fisik,
intelektual, emosional yang optimal dari seseorang. Pengertian lain bahwa
sehat mental adalah keadaan dimana jiwa dan pikiran kita dapat berpikir
secara logis dan dimengerti orang lain.
Sehat spiritual adalah saat keadaan seseorang dapat memperlihatkan
kehidupannya yang mengakui adanya Tuhan dan beribadah sesuai dengan
norma yang ada dalam masyarakat, cerminan sehat spiritual ini adalah
adanya rasa syukur, memaafkan, pengendalian diri, menyayangi, dan
ajaran baik pada agamanya.
Sedangkan sehat sosial adalah disaat sesorang dapat hidup
berdampingan dengan orang lain, mematuhi norma yang ada
dimasyarakat, dan diterima hidup bersama masyarakat. Pengertian lainnya
adalah dimana perikehidupan dalam masyarakat setiap warga negara
mempunyai cukup kemampuan untuk memelihara memajukan kehidupan
sendiri dan keluarganya dalam masyarakat yang memungkinkannya
bekerja, beristirahat, serta menikmati hiburan pada waktunya.

3. Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead


Salah satu teori sosiologi yang melandasi penelitian ini adalah teori
interaksionisme simbolik dengan tokoh George Herbert Mead. Teori
interaksionisme simbolik di dalamnya menyatakan bahwa komunikasi
yang dijalin manusia terjadi melalui pertukaran dan pemaknaan suatu
simbol. Interaksionisme simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai
individu dan interaksi dalam masyarakat.
Hubungan yang terjalin secara alami diantara individu dengan
masyarakat dengan individu merupakan karakter dasar interaksionisme
simbolik (Arisandi, 2014). Inti dari interaksionisme simbolik adalah suatu
aktivitas yang menjadi ciri khas dari manusia, yang mana dalam hal ini
manusia akan saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan
tindakannya tersebut.
George Herbert Mead adalah seorang yang dikenal sebagai filsuf,
sosiologo dan psikolog, ia dilahirkan di Massacusettes Amerika Serikat
pada tahun 1863. Ia dikenal sebagai tokoh pencetus awal teori
interaksionisme simbolik. Mead banyak mengadopsi konsepnya dari
seorang tokoh sosiologi klasik Max Weber. Menurut Morrisan (2013: 224-
225) interaksionisme simbolik mendasarkan gagasannya atas enam hal
yaitu:
1) Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang
dihadapinya sesuai dengan subjektifnya.
2) Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial
bukanlah struktur atau bersifat struktural maka dari itu akan terus
berubah.
3) Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol yang
digunakan dilingkungan terdekatnya (primary group), dan Bahasa
merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial.
4) Dunia terdiri dari berbagai subjek sosial yang memiliki nama dan
makna yang ditentukan secara sosial.
5) Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka dengan
mempertimbangkan dan mendefinisikan objek-objek dan tindskan
yang relevan pada situasi saat itu.
6) Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial
lainnya diri diefinisikan melalui interkasi sosial dengan orang lain.

Mead adalah pemikir yang sangat penting dalam sejarah interaksionisme


simbolik (Joas, 2001) dan bukunya yang berjudul Mind, Self, dan Society
adalah karya tunggal yang amat penting dalam tradisi itu. Mead megambil tiga
konsep kritis yang diperlukan dan saling memengaruhi satu sama lain untuk
menyusun sebuah teori interaksionisme simbolik. Dengan demikian, pikiran
manusia (mind), dan interaksi sosial (diri/self) digunakan untuk
menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) (Elvinaro,
2007:136).
1) Pikiran (Mind)
Pikiran (mind) adalah salah satu dari tiga gagasan kunci dalam interaksi
simbolik Mead, yang merupakan proses menggunakan pemikiran simbolik
dalam berpikir melalui situasi dan merencanakan tindakan terhadap objek
tertentu. Mead mendefinisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan dalam
memanfaatkan simbol dengan makna sosial yang sama, dan ia berpendapat
bahwa manusia perlu berinteraksi dengan orang lain untuk mengembangkan
pemikiran mereka. Menurut Mead, pikiran terjadi bersamaan dengan proses
komunikasi yang melibatkan bahasa serta gerak tubuh. Dalam hal ini Mead
melihat secara pragmatis yang mana pikiran, melibatkan proses berpikir yang
mengarah pada penyelesaian masalah

2) Diri (Self)
Mead mendefinisikan Diri (Self) sebagai kemampuan untuk melihat diri
sendiri melalui sudut pandang atau perspektif orang lain. Ketika Mead
berpikir tentang diri, ia melihat bahwa melalui bahasa, seseorang akan
mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek bagi dirinya sendiri.
Dalam melakukan suatu tindakan maka kita telah menjadi subjek. Sedangkan
ketika kita mengamati tindakan yang telah kita lakukan sendiri maka kita telah
menjadi objek. Dalam menjelaskan bagaimana orang berbagi makna tentang
simbol dan merefleksikannya, Mead menggunakan istilah isyarat-isyarat yang
bermakna (significant gestures) dan komunikasi signifikan. Jadi, diri dikaitkan
dengan tindakan refleksi diri, yang juga dikenal sebagai pengendalian diri (self
control) atau pemantauan diri (self monitoring). Individu, menurut Mead,
dapat menyesuaikan diri dalam kondisi dimana individu tersebut berada, dapat
pula menyesuaikan suatu makna dan dampak dari tindakan yang mereka
lakukan melalui gambaran diri.

3) Masyarakat (Society)
Pada tingkat yang paling dasar, Mead menggunakan istilah masyarakat
(society), yang mengacu pada proses sosial yang tidak pernah berakhir yang
terjadi mengawali pikiran dan diri. Dalam terbentuknya Pikiran dan diri,
masyarakat memiliki peran penting. Pada tingkat lain, menurut Mead,
masyarakat adalah kumpulan tanggapan yang terorganisir yang diambil alih
individu dalam bentuk “Me”. Dimana dalam hal ini Mead memiliki banyak
pemikiran tentang pranata sosial (social institutions). Pada tingkat
kemasyarakatan yang khas, norma atau aturan mengenai suatu aktivitas
masyarakat yang lebih khusus disebut pranata atau institusi. Norma atau
aturan dalam pranata terdiri dari (undang-undang dasar, undang-undang yang
berlaku, sanksi berdasarkan hukum yang berlaku) dan tidak ditulis terdiri dari
(hukum adat, adat istiadat yang berlaku, sanksi sosial atau moral).

Mead menyebutkan ada empat tahapan yang saling berhubgan dialektis


yang membedakan anatara manusai dan binatang, hal ini terdiri dari: (1)
Impuls yang merupakan suatu dorongan hati berupa rangsangan spontan yang
berkaitan dengan alat indera serta reaksi aktor pada stimulus yang
diterimanya. (2) persepsi, terjadi saat aktor mendakan suatu pengamatan dan
kmemberikan reaksi terhadap rangsangan yang berkaitan dengan impuls. (3)
manipulasi penentuan tindakan yang berkaitan dengan objek tersebut, (4)
konsumsi, dimana aktor memutuskan untuk mengambil suatu tindakan yang
akan dilakukannya.
Teori ini digunakan dalam melandasi penelitian mengenai “Persepsi
Masyarakat terhadap Konsep Sehat dan Sakit di desa Lattekko, Kecamatan
Awanpone, Kabupaten Bone” karena dianggap sejalan dengan bagaimana
masyarakat menginterpretasi simbol yang membentuk suatu makna mengenai
konsep sehat dan sakit, sehingga tercipta suatu persepsi atau pemahaman bagi
masyarakat mengenai pengetahuan konsep sehat dan sakit yang diperoleh dari
proses berpikir dan menghasilkan suatu pemaknaan, menginterpretasi simbol
yang ada disekitar, baik melalui media ataupun yang ada di lingkungannya
serta interaksi sosial yang dilakukan dengan masyarakat lain.

B. Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Metode Hasil Temuan
. Peneliti & Penelitian Penelitian Penelitian
Tahun
Terbit
1 Sri Rahayu Perspektif Penelitian ini Perspektif masyarakat
Yusnita Sehat Dan menggunakan tentang kondisi sehat,
Situmorang, Sakit Anak desain sakit dan penyebab
Vera Chitra Pada kualitatif penyakit pada satu
Dewi Masyarakat dengan kebudayaan belum
Saragih. Batak Toba pendekatan tentu sama
(2021) Di fenomenologi dengankebudayaan
Kabupaten yang bertujuan lainnya begitu juga
Samosir untuk menggali cara mengatasinya.
perspektif Hasil penelitian
anak sehat pada menggambarkan anak
Masyarakat yang sehat menurut
Batak Toba di Masyarakat Batak
Kabupaten Toba di Desa Tanjung
Samosir dalam Bunga Kabupaten
perawatan anak Samosir
usia di bawah 5 dicirikan dengan berat
tahun. badan yang
Pengumpulan bertambah, kuat
data dilakukan makan, tinggi badan
dengan bertambah, lasak,
wawancara jarang sakit, lincah,
mendalam aktif dan tidak
kepada korengan. Anak yang
informan sakit digambarkan
dengan badan yang
panas atau biasa
disebut “banggor”
setelah ibu
melakukaan perabaan
(palpasi) pada tubuh
anak. Perspektif ibu
tentang anaknya yang
sakit selanjutnya
adalah saat anak
mengalami ingusan,
cengeng, lemas,
matanya kelihatan
panas, merah, sembab
dan layu. Anak juga
kelihatan tidak aktif,
tidak lasak. Beberapa
ibu menyebutkan anak
sakit berdasarkan
gejala penyakit yang
dialami anak
seperti mencret dan
gejala sakit perut.
Penyebab penyakit
dapat dikategorikan
menjadi personalistik
yaitu adanya
opungopung, niat
jahat orang, angin-
angin dan sebagainya.
Penyebab naturalistik
juga
diungkapkan karena
anak sering bermain
tanah, kurang gizi,
demam dan masuk
angin. Masyarakat
memiliki pandangan
yang berbeda-beda
tentang sehat, sakit
dan
penyebab penyakit.
Hal ini sangat terkait
dengan nilai,
kepercayaan, budaya
yang dianut dan
lingkungan
sekitarnya. Biasanya
pandangan tersebut
berbeda antara satu
daerah dengan daerah
lainnya. Pandangan
terhadap sehat, sakit
dan penyebab
penyakit yang berbeda
dengan ilmu
kesehatan dalam
masyarakat
diturunkan dari
generasi ke generasi
dan masih diterapkan
sampai masa modern
sekarang ini terutama
pada masyarakat
lokal. Perpektif
tentang sehat,
sakit dan penyebab
penyakit akan
memengaruhi upaya
kesehatan yang
dilakukan oleh
masyarakat karena
berdasarkan konsep
inilah masyarakat
akan menentukan cara
perawatan dan
pengobatan masalah
kesehatan
yang dialami anak.
Penelitian selanjutnya
yang
direkomendasikan
adalah upaya
kesehatan berupa cara
perawatan dan
pengobatan yang
dilakukan masyarakat
Batak Toba di
Kabupaten Samosir

2. Harjati, Konsep Jenis penelitian Konsep sehat dan


Ridwan M. Sehat Sakit ini adalah sakit dalam
Thaha, Terhadap penelitian pandangan orang Bajo
Sudirman Kesehatan kualitatif yaitu dipersepsikan secara
Natsir. Ibu Dan penelitian yang berbeda.
Anak Pada bermaksud Persepsi merupakan
Masyarakat untuk sesuatu hal yang
Suku Bajo, memahami bersifat subjektif.
Kabupaten fenomena Persepsi seseorang
Bone, tentang apa dipengaruhi oleh
Sulawesi yang dialami faktor pengalaman,
Selatan oleh subyek proses belajar dan
penelitian. pengetahuannya.
Teknik Persepsi sehat dan
pengambilan sakit adalah relatif
informan dalam antara satu individu
penelitian ini dengan individu lain,
dilakukan antara kelompok
dengan cara masyarakat dan antara
purposive budaya satu
sampling. dengan budaya yang
Metode lain. Karenanya
purposif konsep sehat dan sakit
samplingadalah bervariasi sosial.
tehnk Menurut umur,
pengambilan jenis kelamin, level
sampel sumber sakit, tingkat
data dengan mobilitas dan
pertimbangan interaksi. Menurut
tertentu. responden ibu hamil
Pengumpulan yang sakit adalah ibu
data dilakukan hamil yang tidak
dengan cara dapat melakukan
mencari data pekerjaan sehari hari,
sekunder . sakit kepala. Muntah
–muntah, lemah.
Menurut responden
ibu melahirkan
yang sehat adalah ibu
yang memiliki
penampilan fisik yang
baik, setelah
melahirkan.
Sedangkan
ibu melahirkan yang
sakit adalah ibu yang
memiliki kondisi fisik
lemah, tiga kuat
bekerja. enurut
responden anak yang
sehat adalah anak
yang memiliki
penampilan fisik yang
baik,
dapat beraktifitas,
lincah,ceria, kuat
makan dan tidur.
Sedangkan anak yang
sakit adalah anak
yang memiliki
penampilan fisik tidak
sehat seperti lemah
dan kondisi
psikologisnya tidak
menyenangkan,
kurang makan, tidak
mau tidur dan tidak
mau bermain. Kondisi
tersebut
disebabkan oleh
penyakit seperti
demam, influenza,
sakit perut, gatal –
gatal dan Kakanya.
Kaka
adalah ari –ari yang
dianggap sebagai
saudara kembar dari
anak yang dilahirkan.
Orang Bajo
memberikan sajen
kepadanya apabila
anaknya itu sakit atau
tidur dengan gelisah.
Ari –ari
dibayangkan
menjalankan hidupnya
didasar laut. Demam
adalah merupakan
sebagai bagian
hubungan tetap dan
pasti antara orang
Bajo dan kakak
sulungnya yang
berada didasar lautan.

C. Kerangka Pemikiran
Kerangka konsep sejatinya merupakan arah penalaran yang dipergunakan
untuk memberikan jawaban sementara atas beragam bentuk permasalahan
yang dirumuskan, sedangkan membahas terkait konsepsi masyarakat
terkhususnya mengenai sehat dan sakit tidak lepas dari bagaimana kemudian
persepsi tersebut terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu sendiri,
untuk mempermudah kajian terkait konsepsi masyarakat mengenai sehat dan
sakit, berikut ini akan disajikan proses penyusunannya dalam bentuk bagan.
Konsepsi masyarakat terhadap
konsep sehat dan sakit

Latar belakang terbentuknya


konsepsi atau kebiasaan
masyarakat dalam membentuk

Pengambilan hasil kajian


berdasarkan teori dan penelitian
mengenai konsepsi masyarakat
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian


1. Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 3 hari dimulai pada 18 November
2022 sampai dengan 20 November 2022.

2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Latteko, Kecamatan
Awangpone, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun alasan
peneliti memilih lokasi penelitian di tempat ini ialah terdapat masalah
yang menarik untuk teliti dan lokasi penelitian mudah dijangkau, sehingga
memudahkan peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian.

B. Tipe dan Dasar penelitian


Tentang metode penelitian kualitatif, Creswell (2008) mendefinisikannya
sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan
memahami suatu gejala sentral. Untuk mengerti gejala sentral tersebut peneliti
mewawancarai peserta penelitian atau partisipan dengan mengajukan
pertanyaan yang umum dan agak luas. Informasi yang disampaikan oleh
partisipan kemudian dikumpulkan. Informasi tersebut biasanya berupa kata
atau teks. Data yang berupa kata-kata atau teks tersebut kemudian dianalisis.
Hasil analisis itu dapat berupa penggambaran atau deskripsi atau dapat pula
dalam bentuk tema-tema. Dari data-data itu peneliti membuat interpretasi
untuk menangkap arti yang terdalam.
Adapun dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan
pada studi kasus yakni, metode untuk menghimpun dan menganalisis data
yang berkenaan dengan sesuatu yang diteliti dalam hal ini peran aparatur desa
dalam pelaksanaan transformasi birokrasi di Desa Latteko, Kecamatan
Awangpone, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.

C. Teknik Penentuan Informan


Penelitian ini menggunakan teknik penentuan informan purposive
sampling. Menurut Yusuf (2014) Purposive dapat diartikan sebagai maksud,
tujuan, atau kegunaan. Lebih lanjut Yusuf juga menjelaskan bahwa penentuan
sumber informasi secara purposive dilandasi tujuan dan pertimbangan tertentu
terlebih dahulu. Oleh karena itu, pengambilan sumber informasi didasarkan
pada maksud yang telah ditetapkan sebelumnya (Yusuf, 2014).
Penelitian ini sendiri ingin mengetahui dan menggambarkan bagaimana
persepsi masyarakat terkait dengan konsep sehat dan sakit serta melihat apa
penyebab masyarakat mengalami kondisi sakit Oleh karena itu, dirumuskan
kriteria informan, sebagai berikut:
1. Masyarakat desa latekko
2. Berusia 20-50 tahun
3. Pernah mengalami kondisi sakit dan di rawat oleh tenaga kesehatan.
Penelitian ini membatasi kriteria informan hanya masayarakat yang pernah
mengalami kondisi sakit dan pernah mendapatkan pelayanan kesehatan di
instansi kesehatan.hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan keabsahan data
yang peneliti butuhkan serta menjawab pertanyaan penelitian.

D. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
pengumpulan data model Miles dan Huberman. Menurut Miles dan Huberman
(Sugiyono, 2013) aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara terus
menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Adapun beberapa komponen dalam teknik analisis data model Miles dan
Huberman menurut Sugiyono (2013), yaitu:
1. Reduksi Data/Data Reduction
Setelah data terkumpul, perlu adanya upaya untuk mereduksi data yang
dikumpul di lapangan sebab bisa jadi jumlah data yang didapatkan di
lapangan jumlahnya cukup banyak. Menurut Sugiyono (2019) mereduksi
data berarti merangkum, memilah hal-hal yang pokok, memfokuskan pada
hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang
telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya,
dan mencarinya bila diperlukan. Lebih lanjut Sugiyono juga menjelaskan
bahwa reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti
komputer mini, dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu.
Selain itu reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang
memerlukan kecerdasan dan keluasan dan kedalaman wawasan yang
tinggi. Oleh karena itu, peneliti yang masih baru dalam melakukan reduksi
data dapat mendiskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang ahli.
Melalui diskusi itu, maka wawasan peneliti akan berkembang, sehingga
data mereduksi data-data yang memiliki nilai temuan dan perkembangan
teori yang signifikan.

2. Penyajian/Display Data
Setelah melakukan reduksi data terhadap data-data yang didapatkan dari
lapangan, peneliti kemudian melakukan penyajian data/display data.
Dalam penyajian data kualitatif penyajian data dapat dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan hubungan antara kategori, flowchart dan
sejenisnya (Sugiyono, 2013). Namun menurut Miles dan Huberman
(Sugiyono, 2013) yang paling sering digunakan dalam menyajikan data
dalam penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif.
Tujuan melakukan display data, adalah agar peneliti yang melakukan
penelitian lebih muda untuk memahami apa yang terjadi. Hal ini senada
dengan apa yang diutarakan oleh Mile dan Huberman (Sugiyono, 2013)
bahwa dalam penelitian kualitatif, mendisplay data akan memudahkan
untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya
berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.

3. Conclusion Drawing/Verification
Langkah selanjutnya dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan
Huberman, adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi. Menurut
Sugiyono (2013) kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
untuk mendukungnya pada tahap pengumpulan berikutnya. Namun
sebaliknya, jka kesimpulan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti
yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan untuk
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
suatu kesimpulan yang kredibel.
Lebih lanjut Sugiyono (2013) menerangkan bahwa, dengan demikian,
dalam penelitian kualitatif mungkin untuk menjawab masalah yang
dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti yang
telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian
kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti
ada di lapangan.
PEDOMAN WAWANCARA

A. Jadwal Wawancara
Tanggal/Bulan/Tahun :
Lokasi :
Waktu Mulai Wawancara :
Waktu Selesai Wawancara :

B. Identitas Informan
Nama :
Jenis Kelamin :
Usia :
Pekerjaan :
No. Hp :

C. Pertanyaan Penelitian
1. Menurut I/B/S apa itu sehat?
2. Menurut I/B/S apa itu sakit?
3. Bagaimana cara I/B/S menjaga kesehatan?
4. Ke mana atau apa yang akan I/B/S lakukan ketika sakit?
5. Dari mana I/B/S tahu tentang hal tersebut (terkait dengan pertanyaan
nomor 4)?
6. Ada tidak ahli yang I/B/S percaya ketika sedang sakit? Mengapa?
7. Jika I/B/S mendengar kata sakit hal apa yang terlintas di kepala?
Mengapa?
8. Apa I/B/S Punya penyakit khusus? Sudah berapa lama?
9. Jika I/B/S sedang tidak sehat, apa yang biasa di lakukan?
10. Menurut I/B/S apa saja yang dapat membuat orang menjadi sehat?
11. Menurut I/B/S apa yang perlu di lakukan untuk menjaga kesehatan?
12. Menurut I/B/S disaat seperti apa orang bisa dikatakan sakit dan
sehat?
13. Menurut pengalaman I/B/S apa saja yang bisa membuat orang
gampang terkena sebuah penyakit?
14. Layanan kesehatan apa saja yang ada di desa I/B/S?
15. Menurut I/B/S apakah layanan yang ada di desa berjalan sesuai
tugasnya? Bisa dijelaskan cara beroperasinya?
16. Apakah menurut I/B/S ada orang pintar (dukun) di sini?
17. Apakah I/B/S mengetahui ada yang pernah terkenal penyakit non
medis di desa ini?
18. Apakah menurut I/B/S banyak warga di desa ini yang percaya
terhadap penyakit non-medis?
19. Menurut I/B/S bagaimana dokter menganangi pasien yang terkena
penyakit non-medis?
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Arisandi, H. Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi Dari Klasik Sampai
Modern: Biografi, Gagasan, Dan Pengaruh Terhadap Dunia.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.
Dr. A. Iskandar, D. M. (2012). Sosiologi Kesehatan. Bogor: Kampu IPB Taman
Kencana Bogor.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. (2008). Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.
Notoadmojo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: RINEKA CIPTA
Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya.
Jakarta: PT Grasindo.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatof Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Yusuf, M. (2014). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan (Pertama). Jakarta: Kencana.
Wirawan, Ida Bagus. (2014) Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta
Sosial, Definisi Sosial, & Perilaku Sosial). Jakarta: Kencana.

Jurnal/Sumber Lainnya:
D. Budijanto & Betty (2006). Persepsi Sehat-Sakit dan Pola Pencarian
Pengobatan Masyarakat Daerah Pelabuhan. Jurnal Kesehatan, Vol. 9 No.
2, 2006: 93-99.
Fatikah, P. (2022). Perubahan Persepsi Masyarakat Tentang Vaksinasi Covid-19
di Desa Sumberarum, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro
(Doctoral Dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).
Filsafat, S. J. (2021). Konsep Sehat-Sakit: Sebuah Kajian Filsafat. Sanjiwani
Jurnal Filsafat, 88-99.
Juwita, Citra Puspa. (2021). Modul Konsep Sehat dan Sakit.
S. Dwi Krisna & Yohanes. (2017). Konsep Sehat dan Sakit Pada Individu
Urolithiasis (Kencing batu) di Kabupaten Klungkung, Bali. Jurnal
Psikologi Udayana, Vol.4, 263-276.
Susanti, E., & Kholisoh, N. (2018). Konstruksi Makna Kualitas Hidup Sehat
(Studi Fenomenologi pada Anggota Komunitas Herbalife Klub Sehat
Ersand di Jakarta). LUGAS Jurnal Komunikasi, 2(1), 1-12.
Undang-Undang tentang Kesehatan tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai