KESEHATAN GLOBAL
TENTANG
SOSIAL BUDAYA DAN KESEHATAN
OLEH :
KELOMPOK 4
DOSEN :
A. Skala Penilaian
Dalam hal ini bagaimana terjadinya penilaian pada diri individu, Sherf mengemukakan
bahwa dalam percobaannya dia memerikkan sejumlah benda dan setiap benda itu
menyatakan mana yang lebih berat dan mana yang lebih ringan. Disitlah jelas sifat yang akan
dinilai dan makin jelas patokan-patokan yang akan disusun agar penilaiana makin mantap.
Misalnya orang diberikan barang/benda yang dapat ditimabang yang beratnya bervariasi
antara 5-100gram. Dan orang percobaan tersebut disuruh menetapkan 50gram.sebagai
patokannya, maka menggolongkan benda yang brat dan yang ringan ini.stabil. sebaliknya
kalau sifat yang ditimbang itu meragukan dantidaka ada patokan jelas, maka penilaian akan
labil.
B. Efek asimilsi dan kontras
Jika seorang individu melibatkan sendiri dalam situasi yang dinilainya sendirimaka ia akan
menjadi patokan. maka makin tinggi ia terliat makin tinggi pula dan sedikait hal-hal yang
ditermanya. Sebalikanya ambang penolakan semakin rendah sehingga makin banyak hal-hal
yang tidak bias diterimanya.
Komunikasi menurut Sherif dan holand bisamendekatkan sikap individu dengansikap orang
lain.tetapi bias juga menjahui orang lain. Hal ini tergantung dari posisi awal tersebut terhadap
individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan semakin
memperjelas persamaan-persamaan diantara mereka dan sehingga terjadilah pendekatan.
Tetapi sebaliknya, jika posisi awal saling berjauhan, maka komuniksi akan mempertegas
perbedaan dan posisi mereka akan saling menjahui.
Jenis Contoh
Kondisi tempat
Peningkatan sanitasi, pengurangan kepadatan, metode memasak yang benar
tinggal
Pendidikan memiliki hubungan terkuat dengan perilaku kesehatan dan outcome kesehatan. Hal ini
Pendidikan bisa disebabkan karena pandangan yang lebih baik terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan
penyakit dan kemampuan yang lebih besar untuk mengendalikan faktor-faktor tersebut
Pendidikan bagi
Pendidikan bagi perempuan berdampak pada kesehatan anak dan keluarga
Wanita
Paparan Pekerjaan pada strata sosial ekonomi yang lebih rendah secara tradisional dikaitkan dengan
pekerjaan peningkatan paparan terhadap risiko kesehatan
Kemampuan untuk mengakses barang seperti alat pelindung diri, makanan, dan
Akses ke barang dan jasa layanan berkualitas tinggi, termasuk layanan medis dan sosial untuk melindungi
dan meningkatkan kesehatan
Ukuran keluarga yang besar mempengaruhi kesehatan dan secara tradisional dikaitkan
Ukuran Keluarga dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah dan dengan status kesehatan yang lebih
rendah
Eksposur terhadap perilaku Pengucilan secara sosial (Social alienation) yang terkait dengan kemiskinan dapat
berisiko tinggi dikaitkan dengan kekerasan, narkoba, perilaku berisiko tinggi lainnya
Status sosial ekonomi yang lebih rendah terkait dengan paparan yang lebih besar
Lingkungan
terhadap pencemaran lingkungan, bencana "alam“.
Proyek inovatif memungkinkan generasi milenial Korea Selatan untuk menghindarkan diri dari
norma di masyarakat dan tempat kerja yang kerap merintangi kesuksesan mereka. Namun
apakah peluang itu cuma dimiliki orang kaya?
Sebagai pegawai paling junior di kantornya, Kim Ri-Oh, mantan jurnalis foto di sebuah majalah
di Seoul kerap dirundung oleh koleganya.
Bekerja akhir pekan dan jam lembur hingga pukul 11 malam merupakan tradisi di kantornya.
Setelah sekitar dua tahun bekerja, Kim mengetahui bahwa gajinya lebih rendah daripada pegawai
laki-lakinya baru di kantornya.
Dan kondisi itu tidak hanya dialami Kim. Muda-mudi Korea Selatan banyak yang menentang
pandangan umum tentang kesuksesan dan tanggung jawab di masyarakat.
Sejumlah proyek sosial maupun yang dilakukan beberapa perusahaan bermunculan untuk
menyokong anak-anak muda tersebut.
Kim yang berusia 26 tahun kini bekerja dalam program bertajuk Don't Worry Village (Kampung
Tanpa Kecemasan). Digelar di Mokpo, kota pelabuhan di barat daya Korea yang jumlah
penduduknya yang terus meningkat, proyek itu didanai anggaran pemerintah.
Program tersebut bertujuan memugar bangunan tak terpakai. Sekitar 20 orang berusia rata-rata
30 tahun menggerakan proyek itu.
Slogan mereka: "It's okay to rest. It's okay to fail. (Tak ada yang salah dengan istirahat. Tak ada
yang keliru dalam kegagalan)".
Kampung itu didirikan di pinggiran Mokpo yang dulunya kosong. Tempat itu dibangun ulang
untuk muda-mudi kreatif yang hendak membuka restoran dan kafe atau mempertontonkan seni
serta merekam karya dokumenter.
Selama retret enam minggu, anak-anak muda Korea Selatan, yang lelah mencari kerja,
berkumpul untuk merayakan kegagalan sebelumnya dan bereksperimen menciptakan proyek
mereka sendiri.
Beberapa dari mereka merasa ini adalah kesempatan kedua dalam hidup mereka.
Retret itu berjalan sesuai tujuan pribadi para pesertanya, tapi secara longgar dibangun untuk
memulihkan kembali nuansa kebersamaan yang hilang, waktu makan bersama, dan jam istirahat.
Park Myung-Ho (33 tahun), yang ikut menggagas proyek ini bersama Hong Dong-Woo (34),
menyebut kampung itu ditujukan untuk mewujudkan apa yang dikenal dengan istilah
'sohwakhaeng'.
Terminologi itu merujuk sebuah ide yang diilhami penulis asal Jepang, Haruki Murakami, yang
merangkum momen kebahagiaan kecil tapi jelas.
"Tidak lagi terobsesi pada pencapaian besar, anak muda Korea kini mengejar 'sohwakhaeng',"
kata Park.
"Entah itu menikmati sepotong kue keju di toko roti di kota Anda, menulis lagu atau buku.
Sesuatu yang kecil tapi sepenuhnya milikmu."
Korea Selatan telah mengalami paradoks populasi dalam beberapa tahun terakhir. Tingkat
demografi mereka menua secara cepat, berbanding terbalik dengan tingkat kelahiran terendah di
dunia. Angka pernikahan mereka pun anjlok.
Terbenam di bawah industri glamoir K-pop dan K-beauty yang sudah melahirkan jutaan
penggemar di seluruh dunia, ternyata terdapat kenyataan yang lebih suram, yaitu melonjaknya
tingkat pengangguran kaum muda dan jam kerja terberat di antara negara maju.
Milenial Korsel menyebut diri mereka sebagai bagian dari generasi Sampo, sebuah makna baru
yang diterjemahkan menjadi 'generasi dengan tiga pengorbanan'.
Artinya, mereka adalah generasi yang harus melepaskan hubungan perosonal, perkawinan dan
menunda memiliki anak untuk bertahan hidup dalam ekonomi yang mencekik.
Daftar pengorbanan itu terus meluas, termasuk mengesampingkan kehidupan sosial serta
kepemilikan atas rumah atau properti.
"Anak muda yang melihat diri mereka sebagai bagian dari 'generasi N-Po' yang skeptis," kata
Kim Ri-Oh.
"Mereka mencari cara untuk mendapatkan kepuasan diri dari kehidupan mereka di luar ukuran
kesuksesan tradisional," tuturnya.
Yoon Duk-Hwan, yang ikut menyusun laporan bertajuk 'Tren Korea 2019', menyebut bahwa
Korsel secara tradisional terus menjalankan 'budaya berkumpul'.
Reuni kelas tahunan yang dikenal dengan istilah 'dongchang-hweh' adalah contoh umum di mana
kehidupan pribadi teman sekelas, mulai dari pertunangan, pernikahan hingga mereka yang
menganggur, bisa menjadi tolok ukur.
"Pertemuan semacam itu memperkuat budaya otoriter sehingga semakin banyak anak muda
Korsel memilih untuk tidak lagi ikut serta," kata Yoon.
"Mereka menyadari bahwa mereka bisa memiliki kehidupan sosial yang tidak terikat dengan
budaya itu, pergaulan yang tidak didikte pencapaian orang lain."
Proyek seperti Don't Worry Village dan sejumlah program lain yang disebut 'ruang pertujunkan'
adalah upaya membuka banyak ruang untuk meninggalkan budaya lawas itu.
Sebuah penghormatan untuk ruang pertunjukan di Paris abad ke-18. Itu adalah ruang intim
tempat orang berkumpul untuk bertukar pengetahuan. Melalui ruang itu, berbagai perbincangan
berusaha mempertanyakan ulang budaya Korea.
"Korea tidak memiliki budaya berbicara satu sama lain karena takut mengganggu, terutama
dengan orang asing," kata Go.
"Ketika saya pertama kali membuka ruang pertemuan itu, pertanyaan yang paling sering saya
terima dari pengunjung adalah, 'bagaimana saya berbicara dengan orang asing?"
Topik percakapan diumumkan setiap tiga bulan dan dibahas secara mendalam seperti seminar ala
filsuf Sokrates, sesi baca malam hari, sesi pembuatan memo, menonton film, dan perbicangan di
bar. Go menggambarkan program itu sebagai medium pemikiran sosial di mana anggota bebas
bertukar pandangan.
Go berkata, para peserta rata-rata adalah mahasiswa yang penasaran dengan gagasan baru ini dan
orang-orang yang berusia 50-an tahun.
"Biasanya, masyarakat Korea menentukan bagaimana Anda harus bertindak dan berinteraksi
dengan orang lain berdasarkan identitas itu," kata Go.
"Ketimbang identitas, perkenalan kami satu sama lain adalah melalui cara berpikir kami masing-
masing. Jarang Anda bisa berinteraksi dengan orang-orang di Korea dengan cara itu," tuturnya.
Membicarakan uang
Ruang seperti ini berusaha untuk mendemokratisasi hubungan sosial di Korea Selatan. Di negara
itu, sebagian besar kelompok masyarakat terikat pada norma ketat yang menentukan kapan orang
Korea yang lebih muda harus mencapai tujuan hidup tertentu.
Tahun 2019, proyek semacam ini terus tumbuh di Korea Selatan. Namun kenyataannya, ruang-
ruang ini tidak dapat diakses oleh banyak anak muda Korea, terutama mereka yang berasal dari
rumah tangga sosial ekonomi rendah. Padahal bisa dibilang, merekalah yang mungkin paling
membutuhkannya.
Tentu saja, gagasan untuk beristirahat, atau tidak bekerja dan memiliki pendapatan, mungkin
tidak menjadi pilihan bagi mereka, terutama ketika pengangguran kaum muda membengkak.
Depresi kini berada pada titik tertinggi sepanjang sejarah di antara kaum muda Korea. Menurut
Layanan Penilaian & Penilaian Asuransi Kesehatan, jumlah orang berusia 20-an tahun yang
didiagnosis depresi hampir dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Komunitas seperti yang ditemukan di ruang-ruang pertemuan baru dapat dilihat sebagai ruang
bagi mereka yang kesepian, kata Ha Ji-Hyun, seorang psikiater dan profesor di Pusat Medis
Universitas Konkuk di Seoul.
Ha berkata, depresi memiliki dampak berbeda pada remaja berpenghasilan rendah. Ada faktor
pengeluaran uang untuk perjalanan harian, makan, dan tiket film, misalnya.
Dengan kata lain, bersosialisasi secara inheren terikat dengan uang dan bisa lebih menjadi beban
daripada kesenangan.
Ainun. (2017). Perancangan Media Promosi Lawang Agung Sebagai Group PT. Usaha Utama
Bersaudara Melalui Media Sosial Instagram. Jurnal islamiyah.
http://repository.dinamika.ac.id/id/eprint/2324/
Erina Esa Aisyarah, & Muhammad Ali Sodik. (2017). Kata Kunci : Sosial, Budaya, Kesehatan.
IIK Strada Indonesia, 1–7.
Library, U. I. (n.d.). Pdf_Abstrak-71470.
Mrl, A., Kes, M., Jaya, I. M. M., Kes, M., Mahendra, N. D., & Kep, S. (2019). BUKU AJAR
PROMOSI KESEHATAN Penulis : 1–107.
Roth, W. D. (2013). Sosial Budaya. International Migration Review, 47(2), 330-373.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/imre.12028/abstract