Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KESEHATAN GLOBAL
TENTANG
SOSIAL BUDAYA DAN KESEHATAN

OLEH :

KELOMPOK 4

1. Mutia Febrina 1910070120015


2. Nur Afiza 1910070120014
3. Gion Steven Prasetio 1910070120017

DOSEN :

Sri Oktarina, SKM, M.Kes

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS BAITURRAHMAH PADANG
TAHUN 2021
1. Defenisi Sosial Budaya
Sosial budaya terdiri dari 2 kata yaitu kata sosial dan budaya, kata sosial berasal dari
bahasa latin yaitu ’socius’ yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh, dan
berkembang dalam kehidupan bersama (Salim, 2002). Sudarno (dalam Salim, 2002)
menekankan pengertian sosial pada strukturnya, yaitu suatu tatanan dari hubungan-
hubungan sosial dalam masyarakat yang menempatkan pihak-pihak tertentu (individu,
keluarga, kelompok, kelas) didalam posisi-posisi sosial tertentu berdasarkan suatu sistem
nilai dan norma yang berlaku pada suatu masyarakat pada waktu tertentu. (Ainun, 2017)
Kebudayaan berasal dari kata Budhayah (Jamak dari Buddhi) yang artinya budi dan akal
Kebudayaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan akal. Kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985).
Jadi sosial budaya adalah pola dalam suatu wilayah lokal, seringkali dipandang secara
birokratis dan sesuatu yang terorganisir, berkembang, berbudaya termasuk teori
pemikiran sistem kepercayaan dan aktivitas sehari-hari, hal ini dapat diterapkan dalam
praktek keseharian. Terkadang sosial budaya digambarkan menjadi suatu yang tidak
dapat ditangkap oleh akal sehat atau sesuatu diluar kemampuan panca indra (Roth, 2013)
Perilaku sosial atau tingkah laku manusia (behavior) semata-mata dipahami sebagai
sesuatu yang ditentukan oleh sesuatu rangsangan (stimulus) yang datang dari luar dirinya.
Indifidu sebagai aktor tidak hanya sekedar penanggap pasif terhadap stimulus tetapi
menginterpretasikan stimulus yang diterima itu. Masyarakat dipandang sebagai aktor
kreatif dari realitas sosial, sehingga perubahan sosialpun dapat terjadi dan akan
berdampak pada aspek lain khususnya interaksi sosial pada masyarakat. Interaksi sosial
diatas yang diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial timbal balik yang dinamis, yang
menyangkut hubungan antara orang- orang secara perorangan, antara kelompok-
kelompok manusia, maupun antara orang dengan kelompok manusia dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Interaksi tersebut terjadi karena adanya saling mengerti maksud
dan tujuan masing-masing pihak dalam hubungan sosial. Rasa saling mengerti dapat
menjadikan interaksi yang dinamis antara satu pihak dengan pihak yang lain, sehingga
tujuan dari suatu program masyarakat akan dapat meningkatkan kualitas hidup
masyarakat itu sendiri.
Perkembangan dari suatu hubungan sosial dapat pula diterangkan melalui tujuan-tujuan
dari manusia yang melakukan hubungan sosial itu dimana ketika ia mangambil manfaat
dari tindakan memberikan perbedaan yang menjadikan manfaat dari tindakan tersebut
menjadi lebih dapat dimanfaatkan untuk menjadi solusi dari permasalahan sosial.
Masyarakat yang menjadikan suatu aturan budaya sebagai solusi terbaik tanpa berfikir
jernih dalam menyelesaikan permasalahan tidak akan bertahan lama dalam melakukan
aktivitas sosial.
Kebudayaan memiliki unsur yang sama dalam setiap kebudayaan di dunia. Baik
kebudayaan kecil bersahaja dan terisolasi maupun yang besar, kompleks dan dengan
jaringan hubungan yang luas. Kebudayaan sangat mudah berganti dan dipengaruhi oleh
kebudayaan lain, sehingga akan menimbulkan berbagai masalah yang besar. Dalam suatu
kebudayaan terdapat sifat sosialis masyarakat yang didalamnya terdapat suatu ikatan
sosial tertentu yang akan menciptakan kehidupan Bersama. Kebudayaan mencakup suatu
pemahaman komprehensif yang sekaligus bisa diuraikan dan dilihat beragam vairabel dan
cara memahaminya. Kebudayaan dalam arti suatu pandangan yang menyeluruh yang
menyangkut pandangan hidup, sikap dan nilai. Pembangunan kebudayaan dikaitkan
dengan upaya memperbaiki kemampuan untuk recovery, bangkit dari kondisi yang buruk,
bangkit untuk memperbaiki kehidupan bersama, bangkit untuk menjalin kesejahteraan.
Dalam hal inilah sosial budaya berperan untuk memberikan solusi terbaik bagi beragam
bidang kehidupan

2. Hubungan yang paling penting pada sosial budaya dan Kesehatan


Peran sosial budaya terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk, mengatur
dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu- individu suatu kelompok sosial
untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan, sehingga sosial budaya mampu menjadi
penentu kualitas kesehatan masyarakat. Apabila suatu masyarakat terlalu terpaku pada
sosial budaya setempat, hal tersebut juga dapat mempengaruhi perilaku-perilaku
kesehatan di masyarakat (Roth, 2013)
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak membawa
perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam hal perubahan pola hidup maupun
tatanan sosial termasuk dalam bidang kesehatan dan tentunya banyak yang tidak luput
dari unsur sosial dan budayanya. Karena tiap masing masing daerah memiliki adat dan
norma yang berbeda antara satu dengan yang lain. Hubungan antara budaya dan
kesehatan sangat erat, seperti pada suatu daerah mereka bisa mengolah sumber daya alam
yang berada di daerah mereka sebagai obat penyembuh suatu penyakit dengan
ketrampilan dan pengetahuan yang mereka punya yang tentu nya tak luput oleh tradisi
turun temurun yang dilestarikan dan sudah dipercaya. Namun, tidak semua budaya dapat
berpengaruh baik terhadap kesehatan. (Erina Esa Aisyarah & Muhammad Ali Sodik,
2017)
Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peranan penting dalam mencapai
derajat kesehatan yang setinggi- tingginya. Perkembangan sosial budaya dalam
masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah
mengalami suatu perubahan dalam proses berfikir. Perubahan sosial dan budaya bisa
memberikan dampak positif maupun negative. Hubungan antara budaya dan kesehatan
sangat erat, sebagai salah satu contoh suatu masyarakat desa yang sederhana dapat
bertahan dengan cara pengobatan tertentu sesuai dengan tradisi mereka . Kebudayaan
atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit
dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi
tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat
mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan
keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.
A. Aspek Sosial yang Mempengaruhi Status Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Ada
beberapa aspek sosial yang mempengaruhi status kesehatan antara lain adalah
1. Umur
Jika dilihat dari golongan umur maka ada perbedaan pola penyakit berdasarkan golongan
umur. Misalnya balita lebih rentan terkena penyakit infeksi, sedangkan golongan usila
lebih banyak menderita penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit jantung koroner,
kanker, dan lain- lain.
2. Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin akan menghasilkan penyakit yang berbeda pula. Misalnya di
kalangan wanita lebih banyak menderita kanker payudara, sedangkan laki-laki banyak
menderita kanker prostat. Karena perempuan dan laki-laki memiliki hormon yang
berbeda dan potensi memiliki suatu penyakit juga berbeda.
3. Pekerjaan
Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan pola penyakit. Misalnya sebaliknya buruh
yang bekerja di industri, semisal dipabrik bahan kimia, maka pekerka terebut juga lebih
rentan terganggu kesehatannya terlebih mengenai organ pernapasan oleh karena itu
disetiap industri memiliki SOP nya masing- masing.
4. Sosial Ekonomi Keadaan
sosial ekonomi juga berpengaruh pada pola penyakit. Misalnya penderita obesitas lebih
banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi, dan
sebaliknya malnutrisi lebih banyak ditemukan di kalangan masyarakat yang status
ekonominya rendah. Dari sini dapat kita simpulka bahwa ekonomi dalam suatu keluarga
sangat berdampak pada kesehatan.
Menurut H.Ray Elling (1970) ada 2 faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku
kesehatan :
1. Self concept
Self concept ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan yang kita rasakan
terhadap diri kita sendiri, terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita kepada
orang lain. Apabila orang lain melihat kita positif dan menerima apa yang kita lakukan,
kita akan meneruskan perilaku kita, begitu pula sebaliknya.
2. Image kelompok
Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image kelompok. Sebagai contoh, anak
seorang dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan orang-orang dengan
pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau petani tidak terpapar dengan lingkungan
medis dan besar kemungkinan juga tidak bercita-cita untuk menjadi dokter.
B. Aspek Budaya yang Mempengaruhi Status Kesehatan dan Perilaku Kesehatan
Menurut G.M. Foster (1973), aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan :
1. Pengaruh tradisi
Tradisi adalah suatu wujud budaya yang abstrak dinyatakan dalam bentuk kebiasaan, tata
kelakuan dan istiadat. Ada beberapa tradisi di dalam masyarakat yang dapat berpengaruh
negatif juga positif.
a. Contoh negatif : tradisi cincin leher. Meskipun berbahaya karena penggunaan cincin ini
bisa membuat tulang leher menjadi lemah dan bisa mengakibatkan kematian jika cincin
dilepas, namun tradisi ini masih dilakukan oleh sebagian perempuan Suku Kayan.
Mereka meyakini bahwa leher jenjang seperti jerapah menciptakan seksual atau daya
tarik seksual yang kuat bagi kaum pria. Selain itu, perempuan dengan leher jenjang
diibaratkan seperti naga yang kuat sekaligus indah.
b. Contoh positif: tradisi nyirih yang dapat menyehatkan dan menguatkan gigi.
2. Sikap fatalistis
Sikap fatalistis yang juga mempengaruhi Perilaku kesehatan. Contoh : beberapa anggota
masyarakat di kalangan kelompok tertentu (fanatik) sakit atau mati adalah takdir,
sehingga masyarakat kurang berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi
anaknya yang sakit.
3. Pengaruh nilai
Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Contoh
masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daripada beras merah, padahal
mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi pada beras merah daripada beras
putih.
4. Sikap ethnosentris
Sikap yang memandang kebudayaan sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan
kebudayaan pihak lain. Misal sikap seorang yang menggunakan vitsin pada makanannya
Yang menganggap itu lebih benar daripada orang yang tidak menggunakan vitsin padahal
vitsin tidak bagi kesehatan.
5. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya Contoh : dalam upaya
perbaikan gizi, di suatu daerah pedesaan tertentu menolak untuk
makan makan daun singkong, walaupun mereka tahu kandungan vitaminnya tinggi.
Setelah diselidiki ternyata masyarakat beraggapan daun singkong hanya pantas untuk
makanan kambing dan mereka menolaknya karena status mereka tidak dapat disamakan
dengan kambing.
6. Pengaruh norma Contoh : upaya untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan karena ada
norma yang melarang hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan dengan bumil
sebagai pengguna pelayanan.

7. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan Apabila seorang


petugas
kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan masyarakat, maka yang harus
dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan,
menganalisis faktor- faktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan dan berusaha untuk
memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebut. (Erina Esa
Aisyarah & Muhammad Ali Sodik, 2017)
Cara dan gaya hidup manusia, adat istiadat, kebudayaan,kepercayaan bahkan seluruh
peradaban manusia dan lingkungannya berpengaruh terhadap penyakit. Secara fisiologis
dan biologis tubuh manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia
mempunyai daya adaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah, yang sering
membawa serta penyakit baruyang belum dikenal atau perkembangan/perubahan
penyakityang sudah ada. Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial
dan pengertian profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandangan kedokteran, sehat
sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah
sesederhana itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. WHO melihat sehat dari berbagai
aspek. Kajian mengenai konsekuensi kesehatan perlu memperhatikan konteks budaya dan
sosial masyarakat.
Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan dengan
munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga
dapatmenimbulkan penyakit. Masyarakat dan pengobat tradisional menganut dua konsep
penyebab sakit, yaitu naturalistik dan personalistik. Penyebab bersifat naturalistik yaitu
seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan),
kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan panas
dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut
pengobat tradisional (Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu
keadaan yang berhubungan dengan keadaan badan atau kondisi tubuh kelainan-kelainan
serta gejala yang dirasakan.
Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal,wajar, nyaman, dan dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu
keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga
menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya
orang yang sehat.
Sedangkan konsep Personalistik menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan
oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh,
leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung). Menelusuri
nilai budaya, misalnya mengenaipengenalan kusta dan cara perawatannya. Masyarakat
dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, ada dua sebab perubahan
yaitu:
a. Sebab yang berasal dari masyarakat dan lingkungannya sendiri,misalnya perubahan
jumlah dan komposisi
b. sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang
hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan
kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
c. adanya difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan
inovasi.
Masyarakat maju, perubahan kebudayaan biasanya terjadi melalui penemuan (discovery)
dalam bentuk ciptaan baru (inovation) dan melalui proses difusi. Discovery merupakan
jenis penemuan baru yang mengubah persepsi mengenai hakikat suatu gejala mengenai
hubungan dua gejala atau lebih. Invention adalah suatu penciptaan bentuk baru yang
berupa benda (pengetahuan) yang dilakukan melalui penciptaan dan didasarkan atas
pengkombinasian pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala
yang dimaksud. Ada empat bentuk peristiwa perubahan kebudayaan.
a. Pertama, cultural lag, yaitu perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam
kebudayaan suatu masyarakat. Dengan kata lain, cultural lag dapat diartikan sebagai
bentuk ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan
pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat menyesuaikan
diri terhadap benda tersebut.
b. Kedua, cultural survival, yaitu suatu konsep untuk meng- gambarkan suatu praktik
yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup, dan berlaku
semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata- mata. Jadi, cultural survival
adalah pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak
dahulu hingga sekarang.
c. Ketiga, pertentangan kebudayaan (cultural conflict), yaitu proses pertentangan antara
budaya yang satu dengan budaya yang lain. Konflik budaya terjadi akibat terjadinya
perbedaan kepercayaan atau keyakinan antara anggota kebudayaan yang satu dengan
yang lainnya.
d. Keempat, guncangan kebudayaan (cultural shock), yaitu proses guncangan kebudayaan
sebagai akibat terjadinya perpindahan secara tiba-tiba dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lainnya. Ada empat tahap yang membentuk siklus cultural shock, yaitu:
(1) tahap inkubasi, yaitu tahap pengenalan terhadap budaya baru,
(2) tahap kritis, ditandai dengan suatu perasaan dendam; pada saat ini terjadi korban
cultural shock,
(3) tahap kesembuhan, yaitu proses melampaui tahap kedua, hidup dengan damai, dan
(4) tahap penyesuaian diri; pada saat ini orang sudah membanggakan sesuatu yang dilihat
dan dirasakan dalam kondisi yang baru itu; sementara itu rasa cemas dalam dirinya sudah
berlalu.

3. Teori perubahan perilaku pada Kesehatan


Menurut teori Lawrence green, Setiap individu memiliki perilakunya sendiri yang berbeda
dengan individu lain, termasuk pada kembar identik sekalipun. Perilaku tidak selalu
mengikuti urutan tertentu sehingga terbentuknya perilaku positif tidak selalu dipengaruhi
oleh pengetahuan dan sikap positif. Green (1980) mengklasifikasikan beberapa faktor
penyebab sebuah tindakan atau perilaku :
a. Faktor pendorong (predisposing factor) Faktor predisposing merupakan faktor yang
menjadi dasar motivasi atau niat seseorang melakukan sesuatu. Faktor pendorong meliputi
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan persepsi, tradisi, dan unsure lain yang
terdapat dalam diri individu maupun masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan (Heri,
2009).
b. Faktor pemungkin (enabling factor) Faktor enabling merupakan faktor-faktor yang
memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin meliputi
sarana dan prasarana atau fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. Untuk berperilaku
sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku
Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI), perempuan yang ingin mendapatkan informasi
harus lebih aktif dalam mencari informasi melalui pelayanan kesehatan seperti puskesmas,
rumah sakit, posyandu, dokter atau bidan praktik, dan juga mencari informasi melalui media
massa seperti media internet, media cetak, media elektronik, dan media sosial.
c. Faktor pendorong atau pendorong (reinforcing factor) Faktor reinforcing merupakan
faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku seseorang yang
dikarenakan adanya sikap suami, orang tua, tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.
Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan
perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan dari promosi Kesehatan atau
pendidikan kesehatan sebagi penunjang program – program kesehatan lainnya. Banyak teori
perubahan perilaku ini antara lain akan diuraikan di bawah ini:
1) Teori Stimulus Organisme (SOR) Perubahan perilaku merupakan sebuah respons atau
reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Teori ini didasarkan pada asumsi
bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas ransang
(stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi
(sources) misalnya kredibilitas kepemimpinan, dan gaya berbicara sangat menentukaan
keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok, atau masyarakat. Perilaku manusia
dapat terjadi melalui proses: StimulusOrganismeRespons, kemudian Skinner menyebutkan
teori ini menjadi teori ”SO-R” (stimulus-organisme-respons). Hosland, et, al (1953)
mengatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan proses belajar.
Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri
dari: a) Stimulus (ransang) yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau ditolak.
Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif dalam
mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh
organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif. b) Apabila
stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus
ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya c) Setelah itu organisme mengolah stimulus
tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya
(bersikap). d) Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka
stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).
Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus
(rangsang) yang diberikan benar – benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat
melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat menyakinkan
organisme. Dalam menyakinkan organisme faktor reinforcement memegang peranan penting.
Berdasarkan teori ”S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi
dua , yaitu :
a. Perilaku tertutup (Cover behavior)
Perilaku tertutup merupakan perilaku yang dimiliki oleh seseorang namun belum bisa dilihat
dan diidentifikasi secara jelas oleh orang lain. Respons yang diberikan oleh individu masih
terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus
yang bersangkutan sehingga tidak bisa diidentifikasi dan dilihat secara jelas oleh orang lain.
Bentuk ”unobservable behavior” atau ”covert behavior” yang dapat diukur adalah
pengetahuan dan sikap.
b. Perilaku terbuka (Overt behavior) Perilaku terbuka merupakan perilaku yang dimiliki oleh
seseorang dan bisa dapat diamati orang lain dari luar atau ”observable behavior. Perilaku
terbuka akan dapat dilihat dengan mudah dalam bentuk tindakan, praktik, keterampilan yang
dilakukan oleh seseorang.
2) Teori Festinger (Dissonance Theory)
Teori dissonance (cognitive dissonance theory) diajukan oleh Festinger (1957) telah banyak
pengaruhnya dalam psikologi sosial.Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance
(ketidak seimbangan). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan
ketidak seimbangan psikologi yang diliputi oleh ketengan diri yang berusaha untuk mencapai
keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu, maka berarti
sudah terjadi ketengan diri lagi, dan keadaan ini disebut consonance (keseimbangan) .
Dissonance (ketidak seimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat dua elemen
kognisi yang saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi adalah pengetahuan,
pendapat, atau keyakinan. Apabila individu mengalami suatu stimulus atau objek dan
stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda/bertentangan di dalam
diri individu itu sendiri, maka terjadilah dissonance. Ketidak seimbangan dalam diri sesorang
yang akan menyebabkan perubahan perilaku dikarenakan adanya perbedaan jumlah elemen
kognitif yang seimbang dengan jumlah elemen kognitif yang tidak seimbang dan sama –
sama pentingnya. Hal ini menimbulkan konflik pada diri individu tersebut. Contohnya,
seorang ibu rumah tangga yang bekerja dikantor. Di satu pihak, dengan bekerja ia dapat
tambahan pendapatan bagi keluarganya, yang akhirnya dapat memenuhi kebutuhan bagi
keluarga dan anak – anaknya, termasuk kebutuhan makanan yang bergizi. Apabila ia tidak
bekerja, jelas ia tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Di pihak lain, apabila ia
bekerja, ia khawatir perawatan anak – anaknya akan menimbulkan masalah. Kedua elemen
(argumentasi) ini sama – sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya sebagai ibu rumah
tangga yang baik. Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah penyesuaian diri secara
kognitif. Dengan penyesuaian diri ini maka akan terjadi keseimbangan kembali. Keberhasilan
yang ditunjukkan dengan tercapainya keseimbangan kembalimenunjukkan adanya perubahan
sikap dan akhirnya akan terjadi perubahan perilaku.
3) Teori Fungsi Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu
tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan
perubahan perilaku seseorang adalah stimulus yang dapat dimengerti dalam konteks
kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960) perilaku dilatar belakangi oleh kebutuhan
individu yang bersangkutan. Katz berasumsi bahwa:
a) Perilaku memiliki funsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan pelayanan
terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap objek demi
pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka
ia akan berperilaku negatif. Misalnya, orang mau membuat jamban apabila jamban tersebut
benar – benar sudah menjadi kebutuhannya.
b) Perilaku berfungsi sebagai defence mecanism atau sebagai pertahan diri dalam
menghadapi lingkungannya. Artinya dengan perilakunya, dengan tindakan – tindakannya,
manusia dapat melindungi ancaman – ancaman yang datang dari luar. Misalnya, orang dapat
menghindari penyakit demam berdarah karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi
dirinya.
c) Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan pemberi arti. Dalam perannya dengan
tindakan itu seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan
tindakan sehari – hari tersebut seseorang melakukan keputusan – keputusan sehubungan
dengan objek atau stimulus yang dihadapi. Pengambilan keputusan mengakibatkan tindakan
– tindakan tersebut dilakukan secara spontan dan dalam waktu yang singkat. Misalnya, bila
seseorang merasa sakit kepala maka secara cepat, tanpa berpikir lama, ia akan bertindak
untuk mengatasi rasa sakit tersebut dengan membeli obat di warung dan kemudian
meminumnya, atau tindakan – tindakan lain. d) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari
diri seseorang dalam menjawab suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri
seseorang dan merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu, perilaku dapat
merupakan layar dimana segala ungkapan diri orang dapat dilihat. Misalnya orang yang
sedang marah, gusar dan sebaginya dapat dilihat dari perilaku atau tindakannya. Teori ini
berkeyakinan bahwa perilaku mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar individu, dan
senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu
didalam kehidupan manusia, perilaku itu tampak terus menerus dan berusaha secara relatif.
4) Teori Kurt Lewin Lewin berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang
seimbang antara kekuatan – kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan – kekuatan
penahan (restining forces). Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidak seimbangan
antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan
terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang yakni :
a. Kekuatan – kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi karena adanya stimulus –
stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan – perubahan perilaku. Stimulus ini
berupa penyuluhan – penyuluhan atau informasi – informasi sehubungan dengan perilaku
yang bersangkutan. Misalnya, seseorang yang belum ikut KB (ada keseimbangan antara
pentingnya mempunyai anak sedikit dengan kepercayaan banyak anak banyak rezeki) dapat
berubah perilakunya ber KB, ditingkatkan keyakinannya dengan penyuluhan – penyuluhan
atau usaha – usaha lain.
b. Kekuatan – kekuatan penahan menurun. Hal ini terjadi karena adanya stimulus – stimulus
yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Misalnya pada contoh diatas. Dengan
pemberian pengertian kepada orang tersebut bahwa banyak anak banyak rezeki adalah
kepercayaan yang salah, maka kekuatan penahan tersebut melemah dan akan terjadi
perubahan perilaku pada orang tersebut.
c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun. Dengan keadaan semacam
ini jelas akan terjadi perubahan perilaku. Seperti pada contoh juga, penyuluhan KB yang
memberikan pengertian terhadap orang tersebut tentang pentingnya ber KB dan tidak
benarnya kepercayaan banyak anak banyak rezeki akan meningkatkan kekuatan pendorong
dan sekaligus menurunkan kekuatan penahan.
5) Teori Kognisi Sosial Teori kognisi sosial merupakan interaksi yang terus-menerus antara
suatu perilaku, pengetahuan, dan lingkungan. Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura
yang semula dikenal sebagai Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory).
Lingkungan merupakan tempat seseorang membentuk dan mempengaruhi perilakunya.
Menurutnya dalam teori pembelajaran sosial, lingkungan memang membentuk perilaku,
namun perilaku juga membentuk lingkungan dimana terjadi hubungan/interaksi antara
lingkungan, perilaku dan proses psikologi seseorang. Setiap orang akan mengalami proses
observasi, dimana ia akan melihat pengalaman orang lain, dan proses tersebut akan
memengaruhi orang dalam berperilaku. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa, bila kita
melihat sebuah perilaku, maka kemampuan kita meniru perilaku tersebut menjadi bertambah.
Contoh: seorang anak-anak akan mengikuti perilaku keluarga nya, teman atau orang yang
berada disekitarnya termasuk perilaku kesehatan. Perilaku merokok siswa sekolah daar
disebabkan mereka sudah melihat perilaku merokok tersebut dilakukan oleh orang-orang
disekitarnya.
6) Teori ABC (Anteseden, Behaviour, Consequence) Perilaku yang dilakukan oleh seseorang
tidak terlepas dari lingkungan sekitarnya . Kejadian yang terjadi di lingkungan sekitar dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu kejadian yang mendahului suatu perilaku dan kejadian
yang mengikuti suatu perilaku. Kejadian yang muncul sebelum suatu perilaku disebut
anteseden sedangkan kejadian yang mengikuti suatu perilaku disebut konsekuensi. Perilaku
memiliki prinsip dasar dapat dipelajari dan diubah dengan mengidentifikasi dan
memanipulasi keadaan lingkungan atau stimulus yang mendahului dan mengikuti suatu
perilaku. Menurut teori ABC, perilaku dipicu oleh beberapa rangkaian peristiwa anteseden
(sesuatu yang mendahului sebuah perilaku dan secara kausal terhubung dengan perilaku itu
sendiri) dan diikuti oleh konsekuensi (hasil nyata dari perilaku bagi individu) yang dapat
meningkatkan atau menurunkan kemungkinan perilaku tersebut akan terulang kembali.
Analisis ABC membantu dalam mengidentifikasi cara-cara untuk mengubah perilaku dengan
memastikan keberadaan anteseden yang tepat dan konsekuensi yang mengandung perilaku
yang diharapakan anteseden yang juga disebut sebagai aktivator dapat memunculkan suatu
perilaku untuk mendapatkan konsekuensi yang diharapkan (reward) atau menghindari
konsekuensi yang tidak diharapkan ( penalty). Dengan demikian, anteseden mengarahkan
suatu perilaku dan konsekuensi menentukan apakah perilaku tersebut akan muncul kembali.
Sebuah perilaku yang terjadi dapat dipengaruhi oleh anteseden kemudian ditempat lain
perilaku juga dipengaruhi oleh konsekuensi namun konsekuensi juga bisa dipengaruhi oleh
perilaku. Konsekuensi dapat menguatkan atau melemahkan perilaku sehingga dapat
meningkatkan atau mengurangi frekuensi kemunculan perilaku tersebut. Dengan kata lain,
konsekuensi dapat meningkatkan atau menurunkan kemungkinan perilaku akan muncul
kembali dalam kondisi yang serupa. Anteseden adalah penting namun tidak cukup
berpengaruh untuk menghasilkan perilaku. Konsekuensi menjelaskan mengapa seseorang
melakukan sebuah perilaku tertentu. (Mrl et al., 2019)
4. Upaya promosi perubahan perilaku untuk meningkatkan derajat Kesehatan
Dalam pencapaian target, segi manusia/masyarakat ataau kependudukan, harus diperhatikan
dalam upaya kesehatan. Dari segi perilaku, gaya hidup (life style) yang dipengaruhi sosial
budaya, pendidikan, pengertian sehat dan sakit, pengobatan sendiri, dan penggunaan sumber
daya kesehatan. Dari segi lingkungan, ekonomi, kehidupan fisik dan biologik. Semua
komponen ini menentukan interval maksimum yaitu sehat sampai yang minimum yaitu sakit
menjelang mati.
Berarti upaya kesehatan mencakup: promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dan
prolonged atau preservative yang efisien serta bersifat empowering. Karena itu faktor sosial-
budaya sangat berpengaruh terhadap upaya kesehatan. Apa lagi jika diingat bahwa dalam
upaya kesehatan nasional diberi peluang pendayagunaan Sistem Medis Tradisional di
samping medis modern yang masih lebih diutamakan dalam kebijakan kesehatan masyarakat.
Implikasinya memerlukan model yang dapat mempertemukan kedua sistem ini sehingga
tidak kontra produktif dalam institusionalisasi Kesehatan.
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional dalam
rangka pembangunan sumber daya manusia kearah terciptanya penduduk Indonesia yang
sehat, tangguh, mandiri dan berkualitas. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan selama
ini telah menunjukkan peningkatan kondisi kesehatan masyarakat di Kota Padang. Ini dapat
dilihat dari indikator kesehatan yaitu menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB),
menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI), meningkatnya angka harapan hidup dan
menurunnya penderita Kekurangan Energi dan Protein (KEP). Namun bila dibandingkan
dengan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia, maka kondisi kesehatan masyarakat Kota
Padang masih di bawah rata-rata tersebut.
pendekatan pembangunan kesehatan telah mengalami perubahan dari paradigma sakit ke
paradigma sehat, namun perubahan tersebut tidak serta merta diikuti oleh perubahan perilaku
kesehatan masyarakat. Sulitnya merubah perilaku kesehatan masyarakat tersebut karena ada
beberapa nilai dan kebiasaan yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat yang
sulit untuk dirubah. Namun perilaku kesehatan masyarakat dalam hal pencegahan penyakit,
khususnya immunisasi untuk anak menunjukkan hasil yang baik. Selain itu perubahan
beberapa nilai dan norma yang telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat juga
berdampak terhadap perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat dan berpengaruh
terhadap kesehatan masyarakat. Temuan lainnya menunjukkan bahwa upaya perubahan
perilaku yang dilakukan melalui pendidikan kesehatan yang dilakukan selama ini belum
mencapai sasaran dan menunjukkan hasil kearah perilaku hidup sehat. Kerjasama lintas
sektoral dengan sektor lain yang berkait belum berjalan dengan baik. Keterlibatan kekuatan
lain dalam pembangunan kesehatan mulai berkembang. Hasil penelitian juga menemukan
kritik terhadap teori yang dikemukakan Green. Kritiknya adalah : selain faktor pendidikan,
faktor ekonomi juga mempengaruhi faktor predisposisi, faktor pendukung dan pendorong.
rencana pembangunan kesehatan harus disusun sesuai dengan pendekatan paradigma sehat.
Pendidikan kesehatan merupakan salah satu usaha yang harus dilakukan untuk merubah
perilaku kesehatan masyarakat. Program pendidikan kesehatan untuk petugas kesehatan
bertujuan untuk menciptakan tenaga kesehatan yang ahli dan terampil sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan kesehatan untuk masyarakat
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Materi, metode,
media, sasaran, jadwal dan pelaksana pendidikan kesehatan harus disusun secara terencana
dan disesuaikan dengan kebutuhan, permasalahan serta kondisi daerah. Melalui kedua
program ini diharapkan perilaku kesehatan masyarakat berubah ke arah perilaku hidup sehat
sehingga jumlah penderita gizi buruk dan penderita penyakit karena perilaku menurun serta
tercipta lingkungan yang bersih dan sehat.(Library, n.d.)
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan,
dengan prioritas utama. Berkaitan dengan itu perlu terus ditingkatkan berbagai upaya
terutama untuk mendekatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat dengan mutu yang lebih
baik serta dengan memperluas cakupan pelayana kesehatan. Hal ini dilakukan agar
masyarakat lebih terdorong untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang telah disediakan
oleh pemerintah pusat sehingga angka morbiditas dan mortalitas yang semakin meningkat
dapat dicegah. Contohnya : Perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai
persalinan yang aman, risiko persalinan pada dukun bayi serta pentingnya pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan seperti bidan, mengadakan pendekatan budaya dan adat
istiadat setempat dalam penempatan bidan-bidan agar mudah diterima dan dimanfaatkan oleh
masyarakat (Roth, 2013)
5. Penilaian sosial budaya yang penting
penilaian sosial dan budaya menjelaskan bagaimana sebuah pesan yang disampaikan kepada
seseorang dimaknai berdasarkan ego involvement (kognitif dan mental) yang membantu
dalam menentukan perilaku selanjutnya sebagai tanggapan dari pesan yang diterima
penilaian social dari segi:

A. Skala Penilaian

Dalam hal ini bagaimana terjadinya penilaian pada diri individu, Sherf mengemukakan
bahwa dalam percobaannya dia memerikkan sejumlah benda dan setiap benda itu
menyatakan mana yang lebih berat dan mana yang lebih ringan. Disitlah jelas sifat yang akan
dinilai dan makin jelas patokan-patokan yang akan disusun agar penilaiana makin mantap.
Misalnya orang diberikan barang/benda yang dapat ditimabang yang beratnya bervariasi
antara 5-100gram. Dan orang percobaan tersebut disuruh menetapkan 50gram.sebagai
patokannya, maka menggolongkan benda yang brat dan yang ringan ini.stabil. sebaliknya
kalau sifat yang ditimbang itu meragukan dantidaka ada patokan jelas, maka penilaian akan
labil.
B. Efek asimilsi dan kontras

Sdalam kehidupan sehari-hari, kadang orang-orang haruse menggunakan patokan-patokan


diluar batas-batas yang diberikan oleh stimulus yang ada. Efek dari patokan ini bergantung
dari jauh dekatnya patokan dari stimulus. Jadi penilaian yang mendekati patokan disebut
asimilasi. Yaitu patokan yang dimasukkan kedalam rangkaian stimulus dalam batas
rangkaian stimulus diperbesar. Sehingga mencakupi paotkan. Dan penilaian yang menyalahi
patokan disebut kontras.

C. Garis lintang penerimaan, penolakan dan ketidakterlibatan

Perbedaan akan variasi antara individu akan mendorong timbulnyakonsep-konsep tentang


garis-garis lintang. Garis lintang penerimaan adalah rangakaian posisi sikap yang dapat
diberikan , diterima dan ditolerir oleh indivudu. Garis lintang penolakan adalah rangkaian
posisi sikap yang dapat tidak diberikan , tidak dapat diterima dan tidak bias ditolerir oleh
indivudu. Garis lintang ketidak terlibatan adalah posisi-posisi yang termasuk dalam lintang
yang pertama. Jari garis-garis lintang ini akan menentukan sikap indiviru terhadap
pernyataan dalam situasi tertentu.

D. Pola penerimaan dan penolakan

Jika seorang individu melibatkan sendiri dalam situasi yang dinilainya sendirimaka ia akan
menjadi patokan. maka makin tinggi ia terliat makin tinggi pula dan sedikait hal-hal yang
ditermanya. Sebalikanya ambang penolakan semakin rendah sehingga makin banyak hal-hal
yang tidak bias diterimanya.

E. Penilaian social dan penilaian sikap

Komunikasi menurut Sherif dan holand bisamendekatkan sikap individu dengansikap orang
lain.tetapi bias juga menjahui orang lain. Hal ini tergantung dari posisi awal tersebut terhadap
individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan semakin
memperjelas persamaan-persamaan diantara mereka dan sehingga terjadilah pendekatan.
Tetapi sebaliknya, jika posisi awal saling berjauhan, maka komuniksi akan mempertegas
perbedaan dan posisi mereka akan saling menjahui.

PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA EKONOMI AGAMA KESEHATAN GLOBAL


1. Sosial-Ekonomi
Status sosial ekonomi dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu
A. Status Pendidikan
B. Pendapatan ekonomi
Sehingga 2 faktor ini memperngaruhi status Kesehatan yaitu
A. Akses ke pelayanan Kesehatan
B. Angka Harapan Hidup
C. Keterpaparan atas resiko penyakit
Pengaruh status sosial-ekonomi terhadap Kesehatan masyarakat :

Jenis Contoh

Kondisi tempat
Peningkatan sanitasi, pengurangan kepadatan, metode memasak yang benar
tinggal

Pendidikan memiliki hubungan terkuat dengan perilaku kesehatan dan outcome kesehatan. Hal ini
Pendidikan bisa disebabkan karena pandangan yang lebih baik terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan
penyakit dan kemampuan yang lebih besar untuk mengendalikan faktor-faktor tersebut

Pendidikan bagi
Pendidikan bagi perempuan berdampak pada kesehatan anak dan keluarga
Wanita
Paparan Pekerjaan pada strata sosial ekonomi yang lebih rendah secara tradisional dikaitkan dengan
pekerjaan peningkatan paparan terhadap risiko kesehatan

Kemampuan untuk mengakses barang seperti alat pelindung diri, makanan, dan
Akses ke barang dan jasa layanan berkualitas tinggi, termasuk layanan medis dan sosial untuk melindungi
dan meningkatkan kesehatan

Ukuran keluarga yang besar mempengaruhi kesehatan dan secara tradisional dikaitkan
Ukuran Keluarga dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah dan dengan status kesehatan yang lebih
rendah

Eksposur terhadap perilaku Pengucilan secara sosial (Social alienation) yang terkait dengan kemiskinan dapat
berisiko tinggi dikaitkan dengan kekerasan, narkoba, perilaku berisiko tinggi lainnya

Status sosial ekonomi yang lebih rendah terkait dengan paparan yang lebih besar
Lingkungan
terhadap pencemaran lingkungan, bencana "alam“.

Pengaruh sosial budaya terhadap Kesehatan di Korea


Milenial Korea Selatan : Ciptakan 'kampung tanpa kecemasan' untuk rayakan kegagalan

Proyek inovatif memungkinkan generasi milenial Korea Selatan untuk menghindarkan diri dari
norma di masyarakat dan tempat kerja yang kerap merintangi kesuksesan mereka. Namun
apakah peluang itu cuma dimiliki orang kaya?
Sebagai pegawai paling junior di kantornya, Kim Ri-Oh, mantan jurnalis foto di sebuah majalah
di Seoul kerap dirundung oleh koleganya.
Bekerja akhir pekan dan jam lembur hingga pukul 11 malam merupakan tradisi di kantornya.
Setelah sekitar dua tahun bekerja, Kim mengetahui bahwa gajinya lebih rendah daripada pegawai
laki-lakinya baru di kantornya.
Dan kondisi itu tidak hanya dialami Kim. Muda-mudi Korea Selatan banyak yang menentang
pandangan umum tentang kesuksesan dan tanggung jawab di masyarakat.
Sejumlah proyek sosial maupun yang dilakukan beberapa perusahaan bermunculan untuk
menyokong anak-anak muda tersebut.
Kim yang berusia 26 tahun kini bekerja dalam program bertajuk Don't Worry Village (Kampung
Tanpa Kecemasan). Digelar di Mokpo, kota pelabuhan di barat daya Korea yang jumlah
penduduknya yang terus meningkat, proyek itu didanai anggaran pemerintah.
Program tersebut bertujuan memugar bangunan tak terpakai. Sekitar 20 orang berusia rata-rata
30 tahun menggerakan proyek itu.
Slogan mereka: "It's okay to rest. It's okay to fail. (Tak ada yang salah dengan istirahat. Tak ada
yang keliru dalam kegagalan)".
Kampung itu didirikan di pinggiran Mokpo yang dulunya kosong. Tempat itu dibangun ulang
untuk muda-mudi kreatif yang hendak membuka restoran dan kafe atau mempertontonkan seni
serta merekam karya dokumenter.
Selama retret enam minggu, anak-anak muda Korea Selatan, yang lelah mencari kerja,
berkumpul untuk merayakan kegagalan sebelumnya dan bereksperimen menciptakan proyek
mereka sendiri.
Beberapa dari mereka merasa ini adalah kesempatan kedua dalam hidup mereka.
Retret itu berjalan sesuai tujuan pribadi para pesertanya, tapi secara longgar dibangun untuk
memulihkan kembali nuansa kebersamaan yang hilang, waktu makan bersama, dan jam istirahat.
Park Myung-Ho (33 tahun), yang ikut menggagas proyek ini bersama Hong Dong-Woo (34),
menyebut kampung itu ditujukan untuk mewujudkan apa yang dikenal dengan istilah
'sohwakhaeng'.
Terminologi itu merujuk sebuah ide yang diilhami penulis asal Jepang, Haruki Murakami, yang
merangkum momen kebahagiaan kecil tapi jelas.
"Tidak lagi terobsesi pada pencapaian besar, anak muda Korea kini mengejar 'sohwakhaeng',"
kata Park.
"Entah itu menikmati sepotong kue keju di toko roti di kota Anda, menulis lagu atau buku.
Sesuatu yang kecil tapi sepenuhnya milikmu."
Korea Selatan telah mengalami paradoks populasi dalam beberapa tahun terakhir. Tingkat
demografi mereka menua secara cepat, berbanding terbalik dengan tingkat kelahiran terendah di
dunia. Angka pernikahan mereka pun anjlok.
Terbenam di bawah industri glamoir K-pop dan K-beauty yang sudah melahirkan jutaan
penggemar di seluruh dunia, ternyata terdapat kenyataan yang lebih suram, yaitu melonjaknya
tingkat pengangguran kaum muda dan jam kerja terberat di antara negara maju.
Milenial Korsel menyebut diri mereka sebagai bagian dari generasi Sampo, sebuah makna baru
yang diterjemahkan menjadi 'generasi dengan tiga pengorbanan'.
Artinya, mereka adalah generasi yang harus melepaskan hubungan perosonal, perkawinan dan
menunda memiliki anak untuk bertahan hidup dalam ekonomi yang mencekik.
Daftar pengorbanan itu terus meluas, termasuk mengesampingkan kehidupan sosial serta
kepemilikan atas rumah atau properti.
"Anak muda yang melihat diri mereka sebagai bagian dari 'generasi N-Po' yang skeptis," kata
Kim Ri-Oh.
"Mereka mencari cara untuk mendapatkan kepuasan diri dari kehidupan mereka di luar ukuran
kesuksesan tradisional," tuturnya.
Yoon Duk-Hwan, yang ikut menyusun laporan bertajuk 'Tren Korea 2019', menyebut bahwa
Korsel secara tradisional terus menjalankan 'budaya berkumpul'.
Reuni kelas tahunan yang dikenal dengan istilah 'dongchang-hweh' adalah contoh umum di mana
kehidupan pribadi teman sekelas, mulai dari pertunangan, pernikahan hingga mereka yang
menganggur, bisa menjadi tolok ukur.
"Pertemuan semacam itu memperkuat budaya otoriter sehingga semakin banyak anak muda
Korsel memilih untuk tidak lagi ikut serta," kata Yoon.
"Mereka menyadari bahwa mereka bisa memiliki kehidupan sosial yang tidak terikat dengan
budaya itu, pergaulan yang tidak didikte pencapaian orang lain."
Proyek seperti Don't Worry Village dan sejumlah program lain yang disebut 'ruang pertujunkan'
adalah upaya membuka banyak ruang untuk meninggalkan budaya lawas itu.
Sebuah penghormatan untuk ruang pertunjukan di Paris abad ke-18. Itu adalah ruang intim
tempat orang berkumpul untuk bertukar pengetahuan. Melalui ruang itu, berbagai perbincangan
berusaha mempertanyakan ulang budaya Korea.
"Korea tidak memiliki budaya berbicara satu sama lain karena takut mengganggu, terutama
dengan orang asing," kata Go.
"Ketika saya pertama kali membuka ruang pertemuan itu, pertanyaan yang paling sering saya
terima dari pengunjung adalah, 'bagaimana saya berbicara dengan orang asing?"
Topik percakapan diumumkan setiap tiga bulan dan dibahas secara mendalam seperti seminar ala
filsuf Sokrates, sesi baca malam hari, sesi pembuatan memo, menonton film, dan perbicangan di
bar. Go menggambarkan program itu sebagai medium pemikiran sosial di mana anggota bebas
bertukar pandangan.

Go berkata, para peserta rata-rata adalah mahasiswa yang penasaran dengan gagasan baru ini dan
orang-orang yang berusia 50-an tahun.
"Biasanya, masyarakat Korea menentukan bagaimana Anda harus bertindak dan berinteraksi
dengan orang lain berdasarkan identitas itu," kata Go.
"Ketimbang identitas, perkenalan kami satu sama lain adalah melalui cara berpikir kami masing-
masing. Jarang Anda bisa berinteraksi dengan orang-orang di Korea dengan cara itu," tuturnya.
Membicarakan uang
Ruang seperti ini berusaha untuk mendemokratisasi hubungan sosial di Korea Selatan. Di negara
itu, sebagian besar kelompok masyarakat terikat pada norma ketat yang menentukan kapan orang
Korea yang lebih muda harus mencapai tujuan hidup tertentu.
Tahun 2019, proyek semacam ini terus tumbuh di Korea Selatan. Namun kenyataannya, ruang-
ruang ini tidak dapat diakses oleh banyak anak muda Korea, terutama mereka yang berasal dari
rumah tangga sosial ekonomi rendah. Padahal bisa dibilang, merekalah yang mungkin paling
membutuhkannya.

Tentu saja, gagasan untuk beristirahat, atau tidak bekerja dan memiliki pendapatan, mungkin
tidak menjadi pilihan bagi mereka, terutama ketika pengangguran kaum muda membengkak.
Depresi kini berada pada titik tertinggi sepanjang sejarah di antara kaum muda Korea. Menurut
Layanan Penilaian & Penilaian Asuransi Kesehatan, jumlah orang berusia 20-an tahun yang
didiagnosis depresi hampir dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Komunitas seperti yang ditemukan di ruang-ruang pertemuan baru dapat dilihat sebagai ruang
bagi mereka yang kesepian, kata Ha Ji-Hyun, seorang psikiater dan profesor di Pusat Medis
Universitas Konkuk di Seoul.
Ha berkata, depresi memiliki dampak berbeda pada remaja berpenghasilan rendah. Ada faktor
pengeluaran uang untuk perjalanan harian, makan, dan tiket film, misalnya.
Dengan kata lain, bersosialisasi secara inheren terikat dengan uang dan bisa lebih menjadi beban
daripada kesenangan.

Anak-anak muda Korea ingin mendemokratisasi ruang sosial.


Namun, dengan sekitar 82% pemuda Korea Selatan menggunakan media sosial, semakin banyak
generasi milenial dari keluarga berpenghasilan rendah mulai menggantikan interaksi kehidupan
nyata dengan digital.
"Pada titik tertentu, mereka sadar bahwa mereka tidak perlu mengeluarkan uang atau energi
untuk bersosialisasi," kata Ha.
"Tetapi kepuasan yang mereka peroleh dari berinteraksi dengan pengguna lain secara online
memiliki batas ... banyak yang akhirnya mengalami depresi setelah periode panjang terisolasi
secara fisik."
Kesepian muncul dari keinginan untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang lain, kata Ha.
Mereka yang memiliki sumber daya uang dan energi untuk secara aktif mencari ruang seperti
'ruang-ruang pertemuan' dan Don't Worry Village dapat memerangi kesepian itu.
Namun berbeda dengan mereka yang tak memiliki sarana untuk melakukannya. Mereka mungkin
jatuh lebih dalam ke dalam depresi dan isolasi sosial.
Menderita dalam keheningan
Generasi milenial Korsel mengubah dinamika kekuasaan di tempat kerja dan lingkungan sosial.
Walau masyarakat harus mengakui bahwa kesenjangan regional dan sosial ekonomi bergulir
begitu dalam, ada perubahan yang tak terbantahkan dalam bagaimana pemuda Korsel
mengadvokasi diri mereka sendiri.

Kim Ri-Oh mengatakan, tekanan dan ketidaksetaraan upah di pekerjaan sebelumnya


membawanya ke titik puncak kelelahan.
Dalam kasus Kim Ri-Oh, kesenjangan upah gender di tempat kerja adalah pendorong yang
membuatnya melihat gambaran yang lebih utuh tentang persoalan ini.
"Itu adalah fakta yang diabaikan bahwa laki-laki di industri media memperoleh rata-rata 200 ribu
won (Rp2,3 juta) per bulan lebih besar dari rekan kerja perempuan mereka," kata Kim.
"Tidak ada yang mengatakan apa pun, dan sepertinya tidak mungkin bagi saya untuk mengubah
keadaan, jadi saya berhenti bekerja."
"Saya menyadari bahwa tidak tidak perlu menderita seperti ini lagi," tuturnya.
Pemerintah Korsel telah memperhatikan kenyataan suram ini. Tahun 2018, Parlemen Korsel
mengeluarkan undang-undang yang akan secara drastis memangkas jam kerja mingguan, dari 68
menjadi 52 jam. Mereka berharap beleid itu dapat meningkatkan standar hidup.
Namun perubahan juga tampaknya terjadi secara organik. Tingkat pengunduran diri setelah
bekerja selama satu tahun di sebuah perusahaan mencapai puncaknya pada tahun 2018, dengan
persentase mencapai 28%.
Ini merupakan perubahan yang menentang gagasan tradisional Korea tentang 'satu tempat kerja
seumur hidup'.
Bagaimanapun, anak muda Korea memahami bahwa penderitaan bukan lagi prasyarat untuk
sukses. Alih-alih bertahan, mereka menjadi penulis untuk kisah sukses mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Ainun. (2017). Perancangan Media Promosi Lawang Agung Sebagai Group PT. Usaha Utama
Bersaudara Melalui Media Sosial Instagram. Jurnal islamiyah.
http://repository.dinamika.ac.id/id/eprint/2324/
Erina Esa Aisyarah, & Muhammad Ali Sodik. (2017). Kata Kunci : Sosial, Budaya, Kesehatan.
IIK Strada Indonesia, 1–7.
Library, U. I. (n.d.). Pdf_Abstrak-71470.
Mrl, A., Kes, M., Jaya, I. M. M., Kes, M., Mahendra, N. D., & Kep, S. (2019). BUKU AJAR
PROMOSI KESEHATAN Penulis : 1–107.
Roth, W. D. (2013). Sosial Budaya. International Migration Review, 47(2), 330-373.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/imre.12028/abstract

Anda mungkin juga menyukai