Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Di era globalisasi ini, perkembangan ilmu dan teknologi mengalami kemajuan
yang sangat pesat. Seiring dengan hal tersebut, tuntutan dan kebutuhan masyarakat
akan pelayanan kesehatan yang berkualitas juga semakin meningkat. Sehat dan sakit
sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena da factor-faktor lain diluar
kenyataan klinis yang memengaruhinya terutama factor sosial budaya. Kedua
pengertian saling memengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam
konteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi,
kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan
pengertian tentang konsep sehat sakit ditinjau dari berbagai disiplin ilmu.
Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan
atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan, baik secara biologis,
psikologis, maupun sosial budaya. Menurut WHO(1947), yang dikatakan sehat adalah
suatu keadaan lengkap meliputi kesejahteraan fisik, mental, dan sosial bukan semata-
mata bebas dari penyakit dana tau kelemahan. Lalu definisi sakit adalah seseorang
yang menderita penyakit menahun (kronis), atau memiliki gangguan kesehatan lain
yang menyebabkan aktivitas atatu kerjanya terganggu. Walaupun seseorang sakit
dalam istilah sehari-hari, seperti masuk angin atau flu, tetapi bila dia bisa
melaksanakan kegiatannya tanpa terganggu maka ia dianggap tidak sakit.
Berkaitan dengan hal diatas, kita sebagai bagian dari keperawatan yang
dimana yaitu sebuah profesi yang memiliki batang tubuh pengetahuan (body of
knowledge) yang kuat yang dapat dikembangkan dna diimplementasikan dalam
praktik keperawatan. Perawat saat ini tidak hanya memeberikan asuhan keperawatan
pada suku bangsa sendiri, ettapi juga bangsa lain. Setiap suku bangsa memiliki sosio-
budaya yang berbeda, sehingga perawat dituntut untuk mampu memberikan asuhan
keperawatan yang sesuai dengan sosio-budaya dari masing-masing suku bangsa
tersebut.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Apa pengertian dari teori transkultural keperawatan?
1.2.2 Bagaimana konsep dasar sosial dan budaya?
1.2.3 Apa itu konsep sehat dan sakit dalam budaya masyarakat?
1.2.4 Bagiamana peran perawat dalam mengubah perilaku masyarakat terkait
dengan konsep sehat dan sakit?
1.2.5 Bagaimana implementasi sosial-budaya dalam asuhan keperawatan?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk mengetahui tentang teori tanskultural keperawatan
1.3.2 Untuk mengetahui konsep dasar sosial dan budaya
1.3.3 Untuk mengetahui konsep sehat dan sakit dalam budaya masyarakat
1.3.4 Untuk mengetahui peran perawat dalam mengubah perilaku masyarakat
terkait dengan konsep sehat dan sakit
1.3.5 Untuk mengetahui implementasi sosial-budaya dalam asuhan keperawatan

1.4 MANFAAT
1.4.1 Manfaat teoritis
Untuk memberikan informasi terkait dengan teori transkultural
keperawatan, konsep dasar sosial dan budaya, konsep sehat dan sakit dalam
budaya masyarakat, peran perawat dalam mengubah perilaku masyarakat
terkait dengan konsep sehat dan sakit, serta implementasi sosial-budaya dalam
asuhan keperawatan.
1.4.2 Manfaat praktis
Untuk memberikan acuan dalam melakukan asuhan keperawatan agar
sesuai dengan sosio-budaya masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TEORI TRANSKULTURAL KEPERAWATAN


Perkembangan teori keperawatan menurut smith dan liehr(2008) terbagi menjadi
empat tahap, yaitu metha theory, grand theory, midle range theory, dan practice
theory. salah satu teori dalam tahap middle range theory disebut teori transkultural
keperawatan. apabila ditinjau lebih dalam, teori transkultural keperawatn termasuk ke
dalam disiplin ilmu Antropologi, namun kemudian dikembangkan dalam konteks
keperawatan. menurut marriner-tomey (1994), transkultural keperawatan merupakan
suatu arahan utama dalam keperawatan, yang berfokus pada studi komparatif dan
analisis tentang budaya dan subbudaya yang berbeda didunia, yang menghargai
perilaku caring, layanan keperawatan, nilai-nilai,keyakinan tentang sehat sakit, serta
pola-pola tingkah laku yang bertujuan mengembangkan batang tubuh pengetahuan
yang ilmiah dan humanistik guna memberi tempat praktik keperawatan pada budaya
tertentu dan budaya universal.
teori transkultural keperawatan menekankan pentingnya peran keperawatan dalam
memahami adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam masyarakat dan
diri klien. menurut leininger dan mc farland (2000), dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada klien, keanekaragaman budaya dan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat harus diperhatikan. apabila perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan mengabaikan hal ini, cultural shock atau culture
imposition kemungkinan besar terjadi.
culttural shock akan dialami oleh klien, pada suatu kondisi ketika perawat tidak
mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan yang dianut oleh
klien. ketidakmampuan perawat untuk beradaptasi akan menimbulkan rasa tidak
nyaman, tidak berdaya, dan disorientasi. sementara itu, culture imposition adalah
kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara diam-diam maupun terang-
terangan, memaksakan nilai-nilai budaya, keyakinan, dan kebiasaan atau perilaku
yang dimilikinya pada individu, keluarga, atau kelompok dari budaya lain karena
mereka meyakini bahwa budayanya lebih tinggi dibandingkan budaya kelompok lain.
peran perawatan pada teori transkultural keperawatan ini adalah menjembatani antara
sistem perawatan yang dilakukan masyarakat awam dengan sistem perawatan
profesional melalui asuhan keperawatan.
salah satu contoh adalah ketika seorang perawat merawat orang Jepang. orang Jepang
memiliki suatu budaya, yaitu sering menggunakan komunikasi non-verbal,
menghargai kesunyian, dan menghindarin kontak mata langsung. akibatnya, pada saat
memeberikan asuhan keperawatan, dan ingin berkomunikasi dengan orang jepang,
sebaiknya perawat menghindari kontak mata secara langsung. dengan melakukan
kontak mata langsung, ekspresi emosi seseorang dapat terlihat, seperti tertawa atau
sedih, marah atau ramah. oleh sebab itu, hindari kontak mata langsung agar sesuai
dengan kebudayaan mereka dan supaya dianggap sopan.
kurangnya pengetahuan kebudayaan yang dialami oleh para perawat akan berdampak
pada menurunnya kualitas pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan.
sehubungan dengan hal tersebut, perawat profesional harus mempunyai pengetahuan
tentang kebudayaan dari berbagai suku bangsa sendiri dan suku bangsa lain. dengan
kemampuan menyesuaikan diri dengan kebudayaan mereka, diharapkan asuhan
keperawatan yang diberikan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan.

2.2 KONSEP DASAR SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA


Konsep merupakan suatu ide yang memiliki kesan abstrak yang dapat diatur
menjadi simbol-simbol yang nyata, atau ide, gagasan, atau pemikiran yang menjadi
dasar. Sementara itu, sistem merupakan pola-pola keteraturan, kesatuan yang terdiri
dari komponen atau elemen yang saling behubungan. Budaya sangat erat
hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Sistem sosial dan budaya merupakan konsep untuk menelaah asumsi dasar
dalam kehidupan masyarakat. Konsep sistem sosial budaya adalah sesuatu yang
penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem
sosial budaya itu sendiri, tetapi juga memberikan pengertian melalui kenyataan yang
ada dalam kehidupan masyarakat.

2.2.1 Definisi Sistem Sosial Budaya

Definisi sistem adalah suatu hubungan yang tersusun atas bagian-


bagian dan hubungan yang berlangsung antara satuan atau komponen secara
teratur. Sosial berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem hidup
bersama atau hidup bermasyarakat dari orang atau sekelompok orang yang di
dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai sosia, dan aspirasi
hidup, serta cara mencapainya. Definisi budaya menurut Schaefer (2012)
adalah keseluruhan dari adat-istiadat, pengetahuan, objek materi, dan perilaku
yang dipelajari dan ditransmisikan secara sosial. Jadi, sistem sosial budaya
dapat diuraikan sebagai suatu pemikiran dan ide yang berisikan mengenai
komponen pembentuk kebudayaan suatu masyarakat.

2.2.2 Kehidupan Masyarakat sebagai Sistem Sosial dan Budaya

Kehidupan masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial, yaitu


suatu keseluruhan bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama
lain dalam suatu kesatuan. Menurut Bertrand (1974), suatu sistem sosial harus
memenuhi syarat, yaitu terdapat dua orang atau lebih; terjadi interaksi diantara
mereka; bertujuan dan memiliki struktur, serta harapan bersama yang
didambakannya. Dalam sistem sosial, pada umumnya terdapat proses yang
saling memengaruhi. Hal ini disebabkan oleh adanya saling keterkaitan antara
satu unsur dengan unsur lainnya. Slamet (2006) mengemukakkan bahwa
sistem sosial dipengaruhi oleh ekologi, demografi, kebudayaan, kepribadian,
waktu, sejarah, dan latar belakang. Ciri utama sistem sosial adalah menerima
unsur-unsur dari luar yang disebut ciri terbuka. Akan tetapi, terdapat sistem
sosial yang menimbulkan terjalinya ikatan antar-unsur di dalam masyarakat,
yang disebut ciri internal. Sementara itu, sistem sosial yang terdapat proses
saling pertukaran antara sistem sosial dengan lingkungannya disebut ciri
eksternal. Proses dalam sistem sosial yang terjadi meliputi komunikasi,
pemeliharaan tapal batas, penjalinan sosial, sosialisasi, pengawasan sosial,
pelembagaan dan perubahan sosial.

2.2.3 Kehidupan Masyarakat sebagai Sistem Budaya

Unsur perilaku yang terjadi dalam masyarakat akan membentuk


gerakkan sosial. Perilaku masyarakat yang membentuk gerak sosial harus
memenuhi empat syarat, yaitu bertujuan mencapai tujuan tertentu, terjadi pada
situasi tertentu, diatur dengan kaidah tertentu, dan didukung oleh motivasi
tertentu. Gerak sistem sosial memiliki empat subsistem, yaitu subsistem
budaya (latent pattern maintenance), subsistem sosial (integration), subsistem
kepribadian (goal attaintment), dan subsistem organisasi perilaku (adaptasi).
Hakikatnya dari beberapa subsistem tersebut adalah sebagai pengaturan
(cybernetic order) dari tiap subsistem yang berada diatasnya dan menjadi
pengatur untuk subsistem di bawahnya. Parsons (1974) mengungkapkan
bahwa terdapat empat subsistem yang menjalankan fungsi utama kehidupan
masyarakat, yaitu fungsi adaptasi (adaptation), fungsi pencapaian tujuan (goal
attaintment), fungsi integrasi (integration), dan fungsi mempertahankan pola
dan struktur masyarakat (lattent pattern maintenance). Fungsi adaptasi
mencakup pengarahan, penyesuaian kebutuhan pokok manusia dengan
keadaan sekitar. Sementara itu, faktor pencapaian tujuan adalah faktor yang
penting sebagai penentu dalam pengembangan sistem untuk menjunjung nilai
dan kaidah dan pengorganisasian untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi
integrasi mencakup faktor-faktor penting dalam mencapai keadaan serasi atau
harmonis antar sistem. Unsur-unsur pokok yang terkandung dalam subsistem
sosial budaya adalah kepercayaan, perasaan dan pikiran, tujuan, kaidah,
kedudukan dan peranan, pengawasan, sanksi, fasilitas, kelestarian dan
kelangsungan hidup, dan keserasian kualitas kehidupan dengan lingkungan.

2.3 SEHAT DAN SAKIT MENURUT BUDAYA MASYARAKAT


Istilah sehat mengandung banyak muatan kultural, sosial, dan pengertian
profesional yang beragam. Dulu dari sudut pandang kedokteran, sehat sangat erat
kaitannya dengan kesakitan dan penyakit. Dalam kenyataannya tidaklah sesederhana
itu, sehat harus dilihat dari berbagai aspek. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melihat
sehat dari berbagai aspek. Definisi sehat menurut WHO (1981), Health is a state of
complete physical, mental, and social well-being, and not merely the absence of
disease or infirmity. Sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani,
maupun kesejahteraan sosial seseorang. Sebatas mana seseorang dapat dianggap
sempurna jasmaninya ? Oleh para ahli kesehatan, antropologi kesehtan dipandang
sebagai disiplin biobudaya yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan
sosial-budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara
keduanya sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mmengaruhi kesehatan dan
penyakit. Sakit menurut Perkin’s merupakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan
yang menimpa seseorang, sehingga menimbulkan gangguan dalam beraktivitas
sehari-hari baik aktivitas jasmani, rohani maupun sosial. Jadi, sakit berarti suatu
keadaan yang memperlihatkan adanya keluhan dan gejala sakit secara subjektif dan
objektif, sehingga penderita tersebut memerlukan pengobatan untuk mengembalikan
keadaan sehat. Keadaan sakit sering dipakai untuk menilai tingkat kesehatan suatu
masyarakat. Untuk mengetahui tingkat kesehatan tersebut dapat dilakukan melalui
pengukuran-pengukuran nilai unsur tubuh antara lain berat badan, tekanan darah,
frekuensi pernapasan, pemeriksaan cairan tubuh, dan lainnya. Kedaaan sakit
merupakan akibat dari kesalahan adaptasi terhadap lingkungan (maladaptation) dan
reaksi antara manusia dengan sumber-sumber penyakit. Kesakitan adalah reaksi
personal, interpersonal, kultural atau perasaan kurang nyaman akibat dari adanya
penyakit. Penyakit sendiri ditentukan oleh budaya. hal ini karena penyakit merupakan
pengakuan sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peran norma nya secara
wajar. cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan
dengan muncu nya berbagai macam penyakit, seain itu hasil berbagai kebudayaan
juga dapat menimbukan penyakit. Masyarakat dan pengobatan tradisional menganut
dua konsep penyebab sakit, yaitu naturalistik dan personalistik.
Naturalistik yaitu saat seorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan
juga termasuk juga kepercayaan panas-dingin seperti masuk angin dan penyakit
bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobat tradisional (battra) sama dengan
yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang berhubungan dengan
keadaan badan atau kondisi tubuh dengan kelainan-kelainan serta gejala yang
dirasakannya. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar,
nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan sakit
dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan
sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas
sehari-hari seperti halnya orang yang sehat. Konsep Personalistik menganggap bahwa
munculnya penyakit (illness) disebabkan oeh intervensi suatu gen aktif yang dapat
berupa makhuk bukalnl manusia (hantu, roh, leluhur atau roh jahat), atau manusia
(tukang sihir, tukang tenung). Menelusuri nilai budaya, milsalnya mengenai
pengenalan kusta dan cara perawatannya. Kusta telah dikenal oeh etnis Makasar sejak
lama. Adanya istilah kaddala sikuyu (kusta kepiting) dan kaddala massolong (kusta
yang lumer), merupakan ungkapan yang mendukung bahwa kusta secara endemik
telah berada daam waktu yang ama ditengah-tengah masyarakat tersebut. Hasil
penelitian kualitatif dan kuantitaf atas nilai-nilai budaya di Kabupaten Soppeng, daam
kaitannya dengan penyakit kusta (Kaddala, Bugis) di masyarakat Bugis menunjukkan
bahwa timbul dan diamalkannya leprophobia secara ketat karena, menurut salah
seorang tokoh budaya, dalam nasihat perkawinan orang-orang tua di sana, kata
kaddala ikut tercakup di dalamnya. Disebutkan bahwa bila terjadi pelanggaran
melakukan hubungan intim saat istri sedang haid, kedua mempelai akan terkutuk dan
menderita kusta/kaddala. Ide yang bertujuan guna terciptanya moral yang agung
dikeluarga baru, berkembang menurut proses komunikasi dalam masyarakat dan
menjadikan konsep penderita kusta sebagai penanggung dosa. Pengertian penderita
sebagai akibat dosa dari ibu-bapak merupakan awal derita akibat leprophobia. Rasa
rendah diri penderita dimulai dari rasa rendah diri keluarga yang merasa tercemar bila
salah seorang anggota keluarganya menderita kusta. Dituduh berbuat dosa, melakukan
hubungan intim saat istri sedang haid bagi seorangl fanatik Islam dirasakan sebagai
beban trauma psikosomatik yang sangat berat. Orang tua, keluarga sangat menoak
anaknya didiagnosis kusta. Pada penelitian Penggunaan Pelayanan Kesehatan di
Provinsi Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat (1990), hasil diskusi kelompok
di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa anak dinyatakan sakit jika menangis terus,
badan berkeringat, tidak mau makan, tidak mau tidur, rewe, kurus kering. Sedangkan
bagi orang dewasa, seseorang dinyatakan sakit jika sudah tidak busa bekerja, tidak
bisa berjalan, tidak enak badan, panas dingin, pusing, lemas, kurang darah, batuk-
batuk, mual, dan diare. Menurut hasil diskususi kelompok di Nusa Tenggara Barat
menunjukkan bahwa anak sakit dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya,
yaitu jika menunjukkan gejala misalnya panas, batuk, pilek, diare, muntah-muntah,
gatal, luka, gusi bengkak, badan kuning, kaki, dan perut bengkak. Seorang pengobat
tradisional yang juga menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai
pengetahuan yang menarikmengenai masalah sehat-sakit. Baginya, arti sakit adalah
ada tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi, pengelihatan lemah, tidak
kuat bekerja, sulit makan, tidur terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tidur
atau istrirahat saja. Pada penyakit batin tidak ada tanda-tanda dibadannya, tetapi bisa
diketahui dengan menanyakannya pada yang gaib. Pada orang yang sehat,
gerakkannya lincah,kuat bekerja, suhu badan normal, makan dan tidur normal,
pengelihatan terang, sorot mata cerah, tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit-sakit
badan. Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptif mengenai persepsi
masyarakat pada beberapa daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit.
Masyarakat mengganggap bahwa sakit adalah keadaan individu yang mengalami
serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit
ditandai dengan tingkah laku rewel, sering menangis, dan tidak nafsu makan. Orang
dewasa dianggap sakit jika lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau
“kantong kering” (tidak punya uang). Selanjutnya masyarakat menggolongkan
penyebab sakit kedalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Dikarenakan pengaruh gejala alam (panas,dingin) terhadap tubuh manusia.
2. Makanan yang diklasifikaskan ke dalam makanan panas dan dingin.
3. Supranatural ( roh, guna-guna, setan dan lain-lain).

Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golongan petama dan kedua, dapat
digunakan obat-obatan, ramuan-ramuan, pijit, kerok, pantangan makan, dan bantuan
tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ketiga harus dimintakan bantuan dukun,
kiai, dan lain-lain. Dengan demikan upaya penanggulangannya bergantung pada
kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit. Beberapa contoh penyakit pada bayi
dan anak diantaranya adaah sebagai berikut.

a. Sakit demam dan panas. Penyebabnya adalah perubahan cuaca, kena hujan, salah
makan, atau masuk angin. Pengobatannya adaah dengan cara mengompes dengan
es, oyong, labu putih yang dingin atau beli obat influenza. Di Indramayu
dikatakan sebagai penyakit adem meskipun gejalanya panas tinggi, supaya
demamnya turun. Penyakit tampek (campak) disebut juga sakit adem karena
gejalanya badan panas.
b. Sakit mencret (diare). Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu
banyak, makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat
kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain-lain. Penanggulangannya dengan
obat tradisonal misalnya dengan pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu
diberikan anaknya (Bima, Nusa Tenggara Barat). Obat lainnya adalah larutan gula
garam (LGG), oralit, pil ciba, dan lain-lain. Larutan gula garam sudah dikenal
hanya proporsi campurannya tidak tepat.
c. Sakit kejnag-kejang. Masyarakat pada umumnya menyatakan bahwa sakit panas
dan kejang-kejang disebabkan oleh hantu. Di Sukabumi disebut hantu gegep,
sedangkan di Sumatra Barat di sebut hantu jahat. Di Indramayu pengobatannya
denglan pergi ke dukun atau memasukkan bayi kebawah tempat tidur yang
ditutupi jaring.
d. Sakit tampek (campak). Penyebabnya karena anak terkena panas dalam, anak
dimandikan saat panas terik, atau kesambet. Di Indramayu ibu-ibu mengobatinya
denhgan membalur anak dengan asam kawak, meminumkan madu dan jeruk nipis,
atau memberikan daun suwuk, yang menurut kepercayaannya dapat mengisap
penyakit.

Persepsi sehat-sakit yang berbeda antara masyarakat dan perawat dapat menimbukan
permasalahan. Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit dapat dipengaruhi oeh
pengalaman masa lalu terhadap penyakit serta terkait dengan sosial budaya
masyarakat setempat. Budaya masyarakat Jawa dan Madura dalam mencari
pengobatan sangat berbeda. Masyarakat Jawa terkadang lebih memilih berobat pada
“orang pintar” ke dukun daripada kedokter atau masyarakat madura yang lebih
meminta disuntik dua kali saat berobat kemantri, semua ini di dasari oleh persepsi
masyarakat dalam mencari pengobatan ketika mereka sakit. Menurut Sudarti (1988),
individu yang merasla penyakitnya disebabkan oleh makhluk halus, akan mencari
orang pintar atau dukun yang dianggap mampu mengusir makhluk halus yang
dipersepsikan sebagai penyabab sakit. Perbedaan seperti ini biasanya menimbulkan
masalah tersendir bagi perawat atau petugas kesehatan dalam menerapkan program
kesehatan. Penyakit merupakan sesuatu yang bersifat objektif, sedangkan sakit lebih
bersifat subjektif. Pengalaman sakit lebih menekankan pada perasaan tidak enak,
merasa sakit atau terdapat kekurangan pada individu yang merasa sakit. Kemungkinan
seseorang yang merasa sakit merasa sehat dan sebaliknya seorang yang merasa sakit
tidak terdapat penyakit pada dirinya. Di negara-negara Eropa atau Amerika yang
tergolong sebagai negara maju, memiliki kesadaran kesehatan yang cukup tinggi.
Masyarakat di negara maju ini cenderung takut terkena penyakit, sehingga jika merasa
terdapat kelainan pada tubuh mereka maka akan segera pergi kepelayanan kesehatan.
Padahal, setelah diperiksa secara seksama oleh perawat dan dokter, tidak terdapat
kelainan. Keluhan psikosomatis seperti ini lebih banyak dirasakan oleh masyarakat
negara maju atau orang kaya daripada negara berkembang atau masyarakat marginal.
Keadaan sakit sangat terkait dengan subjektivitas seseorang.

2.3.1 Perilaku Sehat Masyarakat


Menurut WHO (1974), sehat merupakan suatu keadaan yang
sempurna, baik fisik, mental, dan sosial tidak hanya bebas dari
penyakit atau kelemahan. Darli definisi ini, terdapat tiga karakteristik
utama tentang sehat di antaranya adalah :
1) Merefleksikan perhatian kepada individu sebagai manusia.
2) Memandang sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal.
3) Sehat diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif. Seorang yang
sehat akan berusaha untuk memertahankan kesehatannya dengan selalu
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Sehat merupakan keadaan rentang antara sehat sempurna dan keadaan


sebelum timbulnya gejala penyakit, digambarkan sebagai proses.
Proses disini dapat diartikan sebagai usaha adaptasi individu terhadap
lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Indikator sehat positif
menurut WHO :

a. Tidak terdapat kelainan


b. kemampuan fisik seseorang (aerobik, ketahanan, kekuatan, dan
kelenturan sesuai umur)
c. Penilaian kesehatan
d. Indeks masa tubuh

Sebagai konsekuensi dari konsep sehat ini maka seorang individu


dikatakan sehat jika tidak sakit ( bahagia secara rohani), tidak cacat
(sejahtera secara sosial), dan tidak emah (kuat secara jasmani). Secara
aktual sumber perawatan diri mencakup pengetahuan, keterampilan,
dan sikap individu, sedangkan penjaminan tindakan perawatan dari
individu berupa perilaku yang sesuai dengan tujuan. Hal ini diperlukan
untuk memperoleh, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi
psikososial dan spiritual.

2.3.2 Periaku Sakit Masyarakat


Menurut Notoatmojo dan Sarwono (1986), perilaku sakit merupakan
tindakan untuk menghilangkan rasa tidak enak atau rasa sakit sebagai
akibat timbulnya gejala tertentu. Menurut Mechanic dan Vokhart
(1961), perilaku sakit adalah suatu cara gejala penyakit ditanggapi oleh
individu sebagai perasaan tidak nyaman. Menurut Von Mering (1970)
perilaku sakit adalah usaha individu dalam usahanya untuk mengurangi
penyakitnya dengan terlibat dalam serangkaian proses pemecahan
masalah baik internal maupun eksternal, spesifik maupun nonspesifik.
Seperti yang selama ini dapat kita fikirkan bahwa istilah sakit memiliki
pengertian bahwa perasaan kita sedang tidak nyaman, tidak
menyenangkan, dan hal ini akan berpengaruh terhadap penurunan
kualitas hidup. Beberapa faktor penyabab mengapa seseorang menjadi
sakit, diantaranya adaah adanya penyakit, manusia, lingkungan,
perkembangan, sosial kultur, pengalaman masa au, keturunan,
pelayanan.
a. Penyakit
Penyakit adalah istilah medis yang digambarkan sebagai gangguan
dalam fungsi tubuh yang mengakibatkan berkurangnya suatu kapasitas
tertentu.
1) Faktor dari dalam tubuh (endogen). Faktor yang tidak terlihat dengan
jelas, merupakan faktor yang datang dari lahiriah seseorang serta dapat
berasal dari faktor genetik (turunan).
2) Faktor dari luar tubuh (eksogen). Faktor eksogen meliputi mekanis
(jatuh atau luka), fisis (panas, dingin, karena aliran listrik),
kimia( keracunan zat kimia atau defisiensi nutrisi).
b. Manusia
Manusia sebagai organisme hidup memiliki suatu sistem kekebalan
tubuh terhadap benda asing atau sistem imun. Sistem imun terbentuk
sejak manusia berada dalam kandungan yang dipengaruhi oeh sisitem
kekebalan tubuh dari ibu, terus berkembang sejak dilahirkan dan
didukung dengan munurun sehingga tubuh tidak mampu melawan
datangnya benda asing ke dalam tubuh atau suatu penyakit.
c. Lingkungan
Lingkungan hidup merupakan faktor yang sangat menentukan dan
sangat memengaruhi kesehatan manusia karena lingkungan hisup yang
bersih dan sangat menunjang kesehatan hidup manusia.
d. Perkembangan
Status kesehatan dapat dipengaruhi oveh faktor perkembangan yang
mempunyai arti bahwa perubahan status kesehatan dapat ditentukan
oleh faktor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan,
mengingat proses perkembangan dimulai dari bayi sampai usia lanjut
yang memiliki pemahaman dan respons terhadap perubahan kesehatan
yang berbeda-beda. Respons dan pemahaman inilah yang dapat
memengaruhi status kesehatan seseorang.
e. Sosia Kultur
Sosial kultur mampu memengaruhi proses perubahan status kesehatan
seseorang. Hal ini dapat memengaruhi persepsi atau keyakinan
individu sehingga dapat menimbulakan perubahan dalam perilaku
kesehatan. Misalnya seorang yang memiliki lingkungan tempat tinggal
yang kotor, namun jarang mengalami sakit akan beranggapan bahwa
mereka dalam keadaan sehat. Persepsi ini akan mengganggu proses
perubahan status kesehatan, hal ini dapat dianggap sebagai masalah
kesehatan.
f. Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman kesehatan yang tidak diinginkan atau pengalaman
kesehatan yang buruk akan berdampak pada perilaku kesehatan.
Misalnya seorang yang mengalami diare menyebabkan dirinya masuk
rumah sakit. Pengalaman sakit diare yang tidak menyenangkan ini
akan berdampak pada perilaku individu untuk berupaya tidak
mengulangi perilaku yang kurang sehat dengan melakukan pencegahan
terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan diare.
g. Keturunan
Keturunan memberikan pengaruh terhadap status kesehatan seseorang
mengingat potensi perubahan status kesehatan telah dimiliki melalui
faktor genetik walaupun tidak terlalu besar, tetapi memengaruhi
respons terhadap berbagai penyakit.
h. Pelayanan
i. Faktor penyebab sakit yang terakhir adalah adanya pelayan kesehatan
yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Pelayanan kesehatan
yang terlalu jauh atau kualitas pelayanan yang kurang sesuai dengan
standar pelayanan yang ada dapat memengaruhi masyarakat dalam
memilih pelayanan kesehatan. Bagi penduduk di daerah terpencil yang
jauh dari pelayanan kesehatan mereka akan cenderung enggan untuk
memeriksakan diri apabila ada keluarga yang mengalami sakit.
Demikian pula pelayanan kesehatan yang kurang standar akan
membuat masyarakat beralih ke sistem pelayanan kesehatan lain.
2.3.3 Hubungan Antara Penyakit dan Keadaan Sakit
Penyakit dan keadaan sait merupakan dua istilah yang berbeda.
Penyakit (disease) merupakan konsep medis terkait abnormaitas dari
tubuh seseorang yang dapat diVihat berdasarkan tanda dan gejalanya
( sign and simptom). Keadaan sakit (illness) merupakan perasaan
seseorang yang merasa terganggu terhadap status kesehatannya,
tampak dari keluhan sakit yang dirasakan, seperti tida enka badan,
merasa dingin dan lain sebagainya. Sangat mungkin seorang yang tidak
skait merasa dirinya sakit, dan sebaliknya seorang yang sakit merasa
sehat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sakit adalah rasa tidak
nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu (demam,
sakit perut dan sebagainya). Penyakit adaah sesuatu yang
menyebabkan terjadinya gangguan pada makhluk hidup; gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus atau kelainan sistem faal
atau jaringan pada organ tubuh (pada makhvuk hidup); kebiasaan yang
buruk; sesuatu yang mendatangkan keburukan. Berdasarkan definisi
diatas tampak bahwa penyakit dan keadaan skit merupakan dua istilah
yang berbeda. Penyakit menunjukan sesuatu yang objektif terlihat
adanya kerusakan, sedangkan keadaan sakit lebih bersifat subjektif dan
berkaitan dengan akibat dari suatu penyakit. Seseorang dikatakan sait
jika terdapat gangguan pada fisik maupun psikisnya sehingga
berpengaruh terhadap bipsikososial dan spiritual. Dengan demikian
keadaan sakit ditunjukkan oleh keadaan perasaan yang nyata,
pengkajian oleh perawat disebut simptoms, akan tetapi diharapi klien
secara nyata yang biasanya dilebih-lebihkan.
Terdapat empat kemungkinan pada individu terkait dengan penyakit da
keadaan sakit. Pertama, seseorang yang merasa sakit dan memang
terdapat tanda adanya penyakit. Kedua, seseorang yang merasa sakit
tetapi tidak terdapat tanda dan gejala sakit. Ketiga, seseorang yang
merasa tidak sakit tetapi terdapat tanda dan gejala penyakit. Keempat,
seseorang yang merasa tidak sakit dan tidak terdapat tanda gejala
penyakit.
2.4 PERAN PERAWAT DALAM MENGUBAH PERILAKU MASYARAKAT
Menurut Notoatmodjo dan Sarwono (1986), terdapat tiga macam cara yang
dapat digunakan perawat dalam mengubah perilaku masyarakat yaitu menggunakan
kekuasaan atau kekuatan, memberikan informasi, dan mengadakan diskusi dan
partisipasi.
Salah satu teori perubahan perilaku yang sering digunakan sebagai acuan
perawat aadalah teori adopsi inovasi Rogers. Teori yang yang dikembangkan oleh
Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan lima tahap dalam proses adopsi inovasi,
diantaranya mengetahui (awareness), perhatian (interest), memberikan penilaian
(evaluation), mencoba (trial), setuju untuk menerima (adoption), dikenal sebagai
AIETA ( Awarness, Interest, Evaluation, Trial, Adoption).

Perilaku Kesehatan (-)

Intervensi oleh

Awarness

Interest

Evaluation

Trial

Adoption

Perilaku Kesehatan (-) Perilaku Kesehatan (+)

Sebagai salah satu tenaga kesehatan, perawat akan selalu berusaha melakukan
intervensi jika terdapat penyimpangan perilaku hidup masyarakat. melalui intervensi
yang telah dirancang oleh perawat mula-mula individu menerima informasi dan ide
baru (tahap awareness). Pengetahuan dan ide baru akan menimbulkan minat terhadap
individu (tahap interest). Perawat akan berusaha untuk meningkatkan motivasi
terhadap ide baru yang diberikan kepada individu tersebut (tahap evaluation). Melalui
dukungan yang diberikan oleh perawat, individu yang menerima ide baru akan
berusaha mencoba menerapkan ide baru tersebut (tahap trial). Jika ide baru tersebut
menguntungkan individu maka hal ini akan berusaha dipertahankan oleh individu
(tahap adoption).

2.5 IMPLEMENTASI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM ASUHAN KEPERAWATAN

Untuk memahami lebih dalam mengenai implementasi sosial dan budaya


dalam asuhan keperawatan dengan budaya sehat-sakit masyarakat, sebuah studi
kasus akan dibahas berikut.

Studi kasus

Anak X, berjenis kelamin perempuan, berusia 1.5 tahun, dan beralamat di


Desa Karangduren, Kecamatan Sakaraja, Kabupaten Banyumas, anak X
adalah anak kandung dari Tn. S dan ibu T. Menurut ibu T, anaknya sudah
beberapa hari sakit panas, sering mengigau, dan sulit makan sehingga
badannya terlihat kurus.

Menurut kepercayaan orang tuanya, anaknya panas karena bermain-main di


tempat yang angker di sekitar rumahnya. Selanjutnya orang tuanya meminta
pertolongan ke dukun di desanya. Anak X diberi segelas air putih untuk
diminum, namun upaya tersebut tidak berhasil. Anak X tidak segera dibawa
ke RS karena ia takut dan menangis bila berhadapan dengan petugas
kesehatan. Pada saat mahasiswa perawta mewawancarai, anak X sudah dua
hari dirawat di RS.

Berikut adalah pembahasan studi kasus tersebut.


1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan oleh : Aji
Tanggal pengkajian :7 Juli 2013
Tanggal masuk RS : 5 Juli 2013
a. Identitas klien

Nama An. X
Umur 1.5 tahun
Tempat dan tanggal lahir Banyumas, 12 Februari 2012
Jenis kelamin Perempuan
Status Anak kandung
Tipe keluarga Keluarga inti
Pengambilan keputusan dalam Tn. D
anggota keluarga
Kebiasaan yang rutin dilakukan Bercengkrama dengan keluarga dan
oleh keluarga tetangga
Kegiatan yang dilakukan bersama Arisan RT, turut kerja bakti
masyarakat

b. Factor nilai budaya dan gaya hidup


1) Posisi dan jabatan : Tidak memiliki jabatan
2) Bahasa yang digunakan : Bahasa Jawa
3) Kebiasaan membersihkan diri : Mandi 2 x sehari
4) Kebiasaan makan : Anak X makan sulit dan
tidak teratur
5) Makan pantang berkaitan dengan kondisi sakit : makanan
pantang tidak ada, namun makanan yang dikonsumsi
kurang mengandung zat gizi karena hanya makan nasi dan
lauk seadanya, jarang makan daging, dan buah-buahan.
6) Sarana hiburan yang bisa dimanfaatkan berkaitan dengan
aktivitas sehari-hari : menonton TV
7) Persepsi sehat-sakit : Sehat apabila tidak ada keluhan dan
dapat bekerja sehari-hari dengan baik, sakit adalah
sebaliknya. Ibu beranggapan anaknya sedang sakit panas
saat ini, yang ditandai dengan sering mengigau karena
kemasukan roh halus yang berasal dari tempat bermain
yang angker. Selain itu, anaknya takut dan menangis bila
berhadapan dengan petugas kesehatan.
c. Faktor kebijakan dan peraturan rumah sakit
1) Peraturan dan kebijakan berkenaan dengan jam berkunjung
2) Jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu : 1 orang
3) Hak dan kewajiban klien yang harus dikontrakkan klien
oleh rumah sakit
4) Cara pembayaran untuk klien yang dirawat : JAMKESDA
d. Faktor ekonomi
1) Sumber ekonomi yang dimanfaatkan oleh klien :
penghasilan orang tua
2) Tabungan dan patungan antar anggota keluarga : tidak ada
3) Pekerjaan klien : belum bekerja
4) Kebiasaan menabung dan jumlahnya dalam sebulan : tidak
ada
e. Factor Pendidikan
1) Latar belakang Pendidikan klien : belum bersekolah
2) Tingkat Pendidikan klien : --
3) Tingkat Pendidikan keluarga : SD (bapak dan ibu)
4) Jenis Pendidikan : --
5) Kemampuan klien untuk belajar secara aktif dan mandiri
tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang
kembali : orang tua tidak mengizinkan kalau anaknya sudah
sembuh untuk bermain di tempat yang angker dan hujan-
hujanan.
f. Pemeriksaan fisik
1) Inpeksi
a) Mata : agak menonjol
b) Wajah : bulat dan terlihat pucat
c) Kepala : rambut agak kemerahan
d) Abdomen : perut bulat
e) Kulit : kulit agak bersisik, keadaan turgor kulit
normal
2) Palpasi
Pembesaran hati tidak ada
3) Aukultasi
Bising usus 16x/menit
g. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan darah: trombosit (250.000 sel/mm3), tifus
1/3000
2) Pemeriksaan urin : tidak dilakukan
3) Uji faal hati : tidak dilakukan
4) EKG : tidak dilakukan
5) Ronsen paru : tidak dilakukan
6) Tekanan darah : 110/70 mmHg
7) Suhu/pernafasan : 38.5ºC dan frekuensi napas 24x/menit
2. Analisis data

NO Pengelompokan Data Masalah Etiologi


1 DS : Ketidakpatuhan Sistem nilai
- Ibu klien mengatakan terhadap yang diyakini
bahwa anaknya sudah pengobatan
beberapa hari panas
- Ibu klien mengatakan
bahwa sakit anaknya
disebabkan oleh
bermain di tempat
yang angker
DO :
- Ibu T membawa
anaknya ke dukun
sebelum ke RS
- Anaknya diberi
minum air putih dari
dukun
2. DS : Hipertermia Infeksi penyakit
Ibu klien mengatakan
ananknya sudah beberapa
hari panas dan mengigau
DO :
- Suhu tubuh 38.5ºC
- Pemeriksaan lab ;
tifus = 1/3000
3. DS : Kurang Disorientasi
Ibu klien mengatakan bahwa pengetahuan sosial
anaknya takut dan menangis
bila berhadapan dengan
petugas kesehatan.
DO :
- Anak X tampak takut
- Anak X tampak tidak
kooperatif saat akan
dilakukan tindakan
keperawatan
- Anak X menangis
melihat petugas
kesehatan
Ket : DO = data objektif, DS : data subyektif

3. Diagonis keperawatan
1) Ketidakpatuhan keluarga terhadap pengobatan berhubungan
dengan sistem nilai yang diyakini yang ditandai dengan
a. DS : Ibu klien mengatakan bahwa sakit anaknya disebabkan oleh
roh halus
b. DO : Ibu klien membawa anaknya berobat ke dukun sebelum ke
RS
Anaknya diberikan minum air putih oleh dukun
2) Hipertermia berhubungan dengan infeksi penyakit yang ditandai
dengan:
a. DS : Ibu klien mengatakan ananknya sudah beberapa hari
panas dan mengigau
b. DO : Suhu 38.5ºC, Pemeriksaan lab : tifus = 1300
3) Kurang pengetahuan berhubungan dengan disorientasi sosial yang
ditandai dengan :
a. DS : Ibu klien mengatakan bahwa anaknya takut dan
menangis ketika bertemu dengan petugas kesehatan.
b. DO : Anak X tampak takut, Anak X tampak tidak
kooperatif saat akan dilakukan tindakan keperawatan, Anak
X mengangis ketika melihat petugas kesehatan.

Dari kasus tersebut, dapat dilihat bahwa ada dua diagnosis yang terkait dengan sosio-
budaya masyarakat, yaitu diagnosis nomor satu dan tiga. Lalu, bagaimana cara untuk
mengatasi tersebut? Untuk dapat mengatasi masalah pada diagnosis pertama dan ketiga, hal
yang perlu diperhatikan adalah keyakinan ibu tentang penyebab penyakit anaknya yang sudah
begitu kuat (karena bermain di tempat yang angker sehingga perawat harus dapat menerapkan
komunikasi terapeutik yang efektif agar tujuan asuhan keperawatan yang diberikan dapat
tercapai).

Selanjutnya, perawat dapat menerapkan salah satu pedoman dalam asuhan


keperawatan dengan perbedaan kebudayaan, yaitu transcultural keperawatan. Metode yang
dapat digunakan adalah mengubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan
dengan kesehatan dan mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang
menguntungkan kesehatan.

Perawat juga dapat berkomunikasi dengan klien dengan menggunakan Bahasa yang
mudah dipahami oleh klien, kemudian menerjemahkan istilah kesehatan yang terkait dengan
penyakit yang dialami pasien, baik itu definisi, tanda, gejala, maupun kepada orang tua atau
keluarganya ke dalam Bahasa kesehatan yang mudah dipahami.

Perawat memiliki kewajiban untuk memberikan informasi pada klien tentang sistem
pelayanan kesehatan, kemana saja klien bisa mendapatkan pertolongan, pembiayaan
pengobatan dan perawatan, dan cara mendapatkan pembebasan biaya perawatan jika klien
mengalami masalah pada kesehatannya.

Keluarga juga harus dilibatkan dalam perencanaan perawatan. Jika perlu, libatkan
pihak ketiga yang sekiranya dapat menjelaskan kondisi pasien kepada keluarganya agar tidak
menimbulkan kesalahpahaman. Apabila ternyata konflik tetap saja terjadi antara perawat
dank lien (klien tetap berpegang teguh kepada keyakinan yang dimiliki), perawat dapat
melaksanakan negosiasi melalui kesepakatan berdasarkan atas pengetahuan biomedis, serta
pandangan klien dan standar etik yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai