Anda di halaman 1dari 9

Hal ini menuntut setiap tenaga kesehatan profesional termasuk perawat untuk

mengetahui dan bertindak setepat mungkin dengan prespektif global dan medis bagaimana
merawat pasien dengan berbagai macam latar belakang kultur atau budaya yang berbeda
dari berbagai tempat di dunia dengan memperhatikan namun tetap pada tujuan utama
yaitu memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas. Penanganan pasien dengan latar
belakang budaya disebut dengan transkultural nursing.

Transkulturalal Nursing dikembangkan oleh Madeleine Leininger dari disiplin ilmu


antropologi, namun teori ini sangat relevan dengan kondisi keperawatan Indonesia yang
berkarekteristik multi budaya, multi religion dan multi etnis. Teori ini berfokus pada
perbedaan kultur dan subkultur dengan menghargai prilaku caring, pelayanan, nilai sehat-
sakit, dan keyakinan. Pendekatan ini dipandang relevan sebagai landasan untuk membantu
perubahan pola prilaku maupun untuk tujuan perkembangan keilmuan keperawatan .
Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya
dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut
diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural shock akan
dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan
perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa
ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientas

Dalam Proses Keperawatan keberhasilan perawat dalam memberikan asuhan


keperawatan sangat tergantung pada kemampuannya mensintesis berbagai ilmu dan
mengaplikasikannya ke dalam bentuk asuhan keperawatan yang sesuai latar belakang budaya
pasien. Terlaksananya asuhan keperawatan transkulturalal ditentukan oleh pemahaman
pengetahuan perawat tentang teori transkulturalal, karena pengetahuan yang dimiliki tersebut
akan mengklarifikasi fenomena, mengarahkan dan menjawab fenomena yang dijumpai pada diri
pasien dan keluarganya ketika memberikan asuhan keperawatan(Maria et al., 2014)

Budaya sangatlah berperan dalam kehidupan setiap manusia termasuk dalam


dunia kesehatan, oleh karena itu budaya merupakan salah satu faktor penting untuk
dipertimbangkan dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan untuk menghindari
terjadinya kesalahpahaman dalam interaksi perawat dan klien.

Kesalahpahaman dalam interaksi antara perawat dan klien dapat terjadi ketika
perawat tidak mampu memahami keberagaman budaya yang terdapat di masyarakat,
sikap menggeneralisasi semua kelompok masyarakat akan mengarah ke sikap dan
prasangka yang akan menghambat pemberian asuhan keperawatan

1. Tujuan Keperawatan Transkultural


Tujuan keperawatan transkultural:
a. Membantu individu/keluarga dengan budaya yang berbeda-beda untuk mampu
memahami kebutuhannya terhadap asuhan keperawatan dan kesehatan.
b. Membantu perawat dalam mengambil keputusan selama pemberian asuhan
keperawatanpadaindividu/keluarga melalui pengkajian gaya hidup, keyakinan tentang
kesehatan dan praktik kesehatan klien.
c. Asuhan keperawatan yang relevan dengan budaya dan sensitive terhadap kebutuhan
klien akan menurunkan kemungkinan stres dan konflik karena kesalahpahaman
budaya

2. Paradigma Transcultural Nursing


Transculturalal Nursing Dalam Konteks Teori Keperawatan Pemahaman perawat
terhadap keperawatan transkulturalal merupakan acuan dasar terhadap terlaksanana
implemenatasi pelayanan keperawatan dan terkait erat dengan dimensi teori dasar/konsep
sentral keperawatan yaitu (Kasron, 2016),:

a. Manusia
Setiap manusia memiliki budaya serta pengetahuan terkait perawatan secara
umum. Dalam penerapan keperawatan profesional, individu memiliki opini dan
pandangan tentang sehat, sakit, asuhan, sembuh, ketergantungan, dan kemandirian
yang berasal dari budaya tersebut. Pandangan , bahasa, filosofi, spiritual,
persaudaraan, social, politik, legal, pendidikan, dan ekonomi, teknologi, etnihistorikal,
serta lingkungan akan mempengaruhi nilai culture care.
Setiap individu, keluarga, dan kelompok dapat menentukan pilihan dan
dimanapun didasari oleh norma serta budaya yang dimilikinya. Berdasarkan
budayanya, manusia dipandang dari segi gender, jenis kelamin, ras, golongan, kondisi
biomedis, dan alkulturasi budaya. Menurut pendapat Leininger Setiap manusia hidup
di dalam dan dengan budayanya dan meneruskan pengetahuan tersebut terhadap
generasi berikutnya. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki atribut fisik dan
psikologis, maka hal tersebut merupakan atribut sosial dari kelompok masyarakat
tertentu. Hal ini dapat berpengaruh terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan
karena bisa terjadi salah persepsi dari perawat tehadap kondisi klien.
manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada
setiap saat dimanapun dia berada
b. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai totalitas dari suatu keadaan menyeluruh yang
meliputi situasi, pengalaman-pengalaman yang memberikan arti bagi perilaku
manusia, interpretasi, dan interaksi social dalam lingkungan fisik, ekologi, social
politik, dan atau susunan kebudayaan. Lingkungan fisik merupakan kondisi alam atau
sesuatu yang diciptakan manusia, lingkungan social berhubungan dengan perilaku
yang berdasarkan aturan –aturan yang berlaku pada lingkungan tersebut. Lingkungan
simbolik dapat mempersatukan individu atau kelompok melalui seni, music, bahasa
dan atribut yang digunakan.
Lingkungan fisik – Lingkungan alam atau lingkungan yang diciptakan oleh manusia.
Mis: pegunungan, iklim, daerah pemukiman. • Lingkungan sosial – Keseluruhan
struktur sosial yang berhubungan dengan sosialisasi keluarga atau kelompok ke dalam
masyarakat yang lebih luas. • Lingkungan simbolik – Keseluruhan bentuk atau simbol
yang membuat keluarga atau kelompok merasa bersatu. Mis: musik, seni, riwayat
hidup, bahasa atau atribut yang digunakan. namun jika dilihat bahwa telah terwakili dalam
kebudayaan, maka lingkungan adalah inti utama dari teori M. Leininger
c. Sehat dan sakit
Adapun konsep sehat-sakit yang diterapkan:
1) Kesehatan dan kesejateraan seseorang serta kelompok masyarakat, sangat
dipengaruhi oleh budayanya
2) Penerapan asuhan keperawatan akan bermanfaat jika digunakan secara tepat,
aman dan bermakna.
3) Sistem layanan budaya (cultural care) terdiri dari dua sub sistem yaitu (1)
Layanan kesehatan formal (Profesional) : semua layanan yang menjadi bagian
dari sistem layanan kesehatan regular, termasuk layanan medis, layanan
keperawatan, dan fisioterapi. (2) Layanan kesehatan informal, mencakup
semua konsep dan ritual yang terlibat dalam bantuan sukarela, pengobatan
tradisional, ritual dan kebiasaan etnik, pengobatan alternative.
Apresiasi sehat dan sakit berbeda-beda antar-budaya, oleh sebab itu
pengetahuan tentang budaya di perlukan agar mampu memahami makna yang
diberikan oleh kelompok budaya tertentu terhadap sehat dan sakit.
d.  Keperawatan
Keperawatan merupakan suatu proses pembelajaran humanistic dan profesi
keilmuan serta disiplin yang difokuskan pada aktifitas dan fenomena perawatan
manusia yang bertujuan untuk membantu, memfasilitasi serta memberikan dukungan
kepada individu maupun kelompok untuk memperoleh kesehatan mereka atau
kesembuhan dari penyakit, sesuai dengan nilai budaya dan gaya hidup mereka.
Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien ADA 3
STRATEGI

Strategi yang digunakan dalam penerapan asuhan kultural (Maria et al., 2014) yaitu :
a. Preservation/maintenance asuhan kultural
Suatu kebiasaan atau budaya klien akan di pertahankan jika, tidak bertentangan dengan
kesehatan. Seperti: budaya berolah raga setiap pagi.

b. Negoisasi asuhan kultural


Membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih
mendukung negosiasi akan dilakukan apabila budaya yang diyakini dapat
mennganggu kesehatan klien maka perawat akan membantu klien untuk beradaptasi
dengan budaya tertentu untuk mendukung peningkatan kesehatannya. Misalnya : ibu
hamil yang memiliki pantangan makan makanan yang berbau amis maka akan
diganti dengan sumber protein yang lainnya.
c. Restrukturikasi asuhan kultural
Rekonstruksi / memodifikasi budaya klien untuk mencapai hasil kesehatan yang
lebih baik (Sagar, 2012) Rekonstruksi asuhan kultural melibatkan kerjasama dengan
pasien dan keluarganya dalam rangka membawa perubahan terhadap perilaku mereka
yang berkaitan dengan sehat, sakit, dan asuhan dengan cara yang bermakna bagi
mereka. Jika budaya yang dimiliki pasien dapat merugikan kesehatannya, maka
perawat akan melakukan penataan kembali terhadap budaya atau kebiasaan
tersebut. Seperti tidak boleh mandi jika terkena penyakit cacar air. Rekonstruksi
asuhan kultural melibatkan kerjasama dengan pasien dan keluarganya

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perawat adalah kompetensi
kultural. Seorang perawat yang memiliki kompetensi kultural akan mempedulikan dan peka
terhadap kebutuhan budaya pasien yang menerima asuhan keperawatan. Pada saat ini,
kompetensi kultural perawat di Indonesia masih belum menjadi perhatian, mayoritas
perawat belum dipersiapkan kompetensi kulturalnya selama proses pendidikan

“Leininger’s Sunrise Model”dalam prespektif proses


keperawatan melalui pendekatan transkulturalal. Sunrise Model yang dikemukakan
oleh Leinenger merupakan teori yang relevan dengan asuhan keperawatan karena
merepresentasikan proses pemecahan, mulai dari tahap pengkajian, menegakkan
diagnosa, intervensi dan implementasi sampai evaluasi. Fokus Sunrise model adalah
pada pengetahuan dan pandangan budaya sebagai suatu kekuatan utama yang
dimiliki pasien sebagai penerima layanan kesehatan. Cultural shock dapat dialami
oleh pasien pada suatu kondisi dimana pasien tidak mampu beradaptasi dengan
perbedaan nilai budaya dan kepercayaannya sehingga memunculkan perasaan
ketidaknyaman, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi
7 komponen yang ada pada ”Sunrise Model” yaitu :
a) Faktor teknologi (tecnological factors) Teknologi kesehatan memungkinkan
individu untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah
dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit,
kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien
tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini.
b) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors) Agama
adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi
para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk
menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya
sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang
dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit,
cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap
kesehatan.
c) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors) Perawat
pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan,
umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga,
pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala
keluarga.

d) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai
budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya
yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah
yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang
perlu dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh
kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang
dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas
sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
e) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya,
yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang
berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh
menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
f) Faktor ekonomi (economical factors) Klien yang dirawat di rumah sakit
memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai
sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat
diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang
dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian
biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga.
g) Faktor pendidikan (educational factors) Latar belakang pendidikan klien
adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi
saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya
didukung oleh buktibukti ilmia

HEALTH LITERACY.
h) Perkembangan informasi menjadi semakin cepat dalam era digital. Untuk
mengimbangi hal tersebut, sudah selayaknya masyarakat pun memiliki
tingkat literasi informasi yang semakin baik pula, salah satunya adalah
literasi kesehatan. Literasi kesehatan yang baik sangat penting dimiliki
karena bisa berdampak pada batasan faktor sosial, kultur, dan individu,
sementara literasi kesehatan yang buruk juga dapat berefek pada
pelayanan kesehatanh yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien,
jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri
tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya
yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan
dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu
berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial,
agama dan kepercayaan serta pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi
lampau, sekarang dan mendatang
Hal ini jelas menunjukkan bahwa kompetensi perawat professional harus
menyatukan kompetensi tentang budaya dan pengetahuan serta kemampuan interpersonal
secara teknis (Cherry & R. Jacob, 2014). Dengan berkembangnya kompetensi budaya
(health transcultural nursing) maka dalam penerapannya dibutuhkan health literacy yang
mengacu pada karakteristik dan sumber daya sosial yang diperlukan untuk mengakses,
memahami dan menggunakan informasi untuk membuat keputusan terkait kesehatan
(Beauchamp et al., 2015). Health literacy adalah cara mendapatkan informasi kesehatan
yang jelas dan dapat dipahami dengan benar. Health literacy relevan dengan semua aspek
kesehatan dari sakit dan sehat, pencegahan dan pendeteksian penyakit, diagnosa dan
pembuatan keputusan dalam perawatan dan pengobatan. Health literacy juga berarti pada
pengetahuan dan keterampilan pasien dalam membuat keputusan kesehatan yang telah
diinformasikan (Dickens, 2013). Health literacy akan terus berkembang seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan dalam pemberian pelayanan
kesehatan dalam masyarakat, ditambah dengan terus meningkatnya harapan dan tanggung
jawab pada individu dan kelompok untuk dapat memahami dan bertindak atas informasi
kesehatan yang diberikan (Berkman, Davis, & McCormack, 2010).
Health literacy sangat penting untuk berhasilnya suatu proses perawatan dan
dalam pelayanan pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Health literacy juga sebagai
dasar yang diperlukan individu agar lebih aktif dalam pengambilan keputusan terkait
kesehatan (Koh et al., 2012).

Anda mungkin juga menyukai