Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan sebagai bagian integral pelayanan kesehatan merupakan
suatu bentuk pelayanan professional yang didasarkan pada ilmu keperawatan.
Keperawatan merupakan profesi dalam bidang kesehatan yang memiliki andil
besar dalam proses pemulihan sehat-sakit atau pun proses peningkatan kesehatan.
Keperawatan termasuk ke dalam profesi karena keperawatan memenuhi syarat
sebagi suatu profesi. Keperawatan mengubah paradigm yang dahulu menyatakan
bahwa perawat bekerja secara vokasional menjadi perawat professional.
Maksudnya adalah perawat menjadi mitra dokter dalam setiap kegiatan yang
dilkukan tidak lagi dianggap “ pembantu” dokter.
Sebelum mengetahui lebih lanjut keperawatan transkultural, perlu kita
ketahui apa arti kebudayaan terlebih dahulu. Kebudayaan adalah suatu system
gagasan, tindakan, hasil karya manusia yang diperoleh dengan cara belajar dalam
rangka kehidupan masyarakat. (koentjoroningrat, 1986). Wujud-wujud
kebudayaan antara lain : Kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan,
Kompleks aktivitas atau tindakan, Benda-benda hasil karya manusia.
Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan body of knowledge yang
dapat dikembangkan dan diaplikasikan dalam praktek keperawatan. Teori
transkultural dari keperawatan berasal dari disiplin ilmu antropologi dan
dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konteks atau
konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan
nilai-nilai cultural yang melekat dalam masyarakat. Menurut Leinenger, sangat
penting memperhatikan keragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan
asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan
mengakibatkan terjadinya cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh klien
pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan
nilai budaya.
Keperawatan transkultural adalah ilmu dengan kiat yang humanis yang
difokuskan pada perilaku individu/kelompok serta proses untuk mempertahankan
atau meningkatkan perilaku sehat atau sakit secara fisik dan psikokultural sesuai
latar belakang budaya. Sedangkan menurut Leinenger (1978), keperawatan
transkultural adalah suatu pelayanan keperawatan yang berfokus pada analisa dan
studi perbandingan tentang perbedaan budaya.
Tujuan dari transkultural nursing adalah untuk mengidentifikasi, menguji,
mengerti dan menggunakan norma pemahaman keperawatan transcultural dalam
meningkatkan kebudayaan spesifik dalam asuhan keperawatan. Asumsinya adalah
berdasarkan teori caring, caring adalah esensi dari, membedakan, mendominasi
serta mempersatukan tindakan keperawatan. Perilaku caring diberikan kepada
manusia sejak lahir hingga meninggal dunia. Human caring merupakan fenomena
universal dimana,ekspresi, struktur polanya bervariasi diantara kultur satu tempat
dengan tempat lainnya

1.2 Rumusan Masalah


a) Bagaimana Aplikasi Transcultural Nursing Pada Masa Bayi/Balita?
b) Bagaimana Aplikasi Transcultural Nursing Pada Masa Anak?
c) Bagaimana Aplikasi Transcultural Nursing Pada Masa Remaja?
d) Bagaimana Aplikasi Transcultural Nursing Pada Masa Dewasa?
e) Bagaimana Aplikasi Transcultural Nursing Pada Masa Lanjut Usia?

1.3 Tujuan
a) Mengetahui Tentang Transcultural Nursing Pada Masa Bayi/Balita
b) Mengetahui Tentang Transcultural Nursing Pada Masa Anak
c) Mengetahui Tentang Transcultural Nursing Pada Masa Remaja
d) Mengetahui Tentang Transcultural Nursing Pada Masa Dewasa
e) Mengetahui Tentang Transcultural Nursing Pada Masa Lanjut Usia
BAB II
ISI

2.1 Perspektif Transkultural dalam Keperawatan


1. Keperawatan Transkultural dan Globalisasi dalam Pelayanan
Kesehatan
Dunia saat ini sedang mengalami era globalisasi. Globalisasi
memungkinkan adanya perpindahan penduduk (imigrasi) antar negara atau
daerah yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk dalam negara,
baik populasi maupun variasinya. Menurut United Nations Population
Fund (2011), pada akhir bulan oktober tahun 2011 jumlah penduduk dunia
akan mencapai tujuh miliar penduduk. Ini memungkinkan adanya
multikultural atau variasi kultur pada suatu wilayah. Berdasar pada hal
tersebut, penting bagi setiap tenaga kesehatan profesional termasuk
perawat untuk mengetahui dan bertindak dengan perspektif global
bagaimana merawat pasien dengan berbagai macam latar belakang kultur
atau budaya yang berbeda dari berbagai
tempat di dunia saat ini.
Penanganan pasien dengan perbedaan latar belakang budaya
disebut dengan transkultural nursing. Menurut Leininger (2002),
transkultural nursing adalah suatu area/wilayah keilmuan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan
dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit
didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan
ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya
budaya atau keutuhan budaya kepada manusia, yang dalam
penggunaannya bertujuan untuk mengembangkan sains dan pohon
keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur
yang spesifik dan universal kultur dengan nilai-nilai dan norma-norma
yang diyakini dan dilakukan hampir semua kultur, misalnya seperti
budaya minum the yang dapat membuat tubuh sehat.
Berdasarkan definisi Leininger di atas, dalam melaksanakan
praktik keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu memahami
landasan teori dan praktik keperawatan yang berdasarkan budaya. Budaya
yang telah menjadi kebiasaan tersebut diterapkan dalam asuhan
keperawatan transkultural berdasarkan kerangka kerja keperawatan
transkultural yang dikenal dengan Leininger Sunrise Model (Leininger,
2002) dan tiga strategi utama intervensi Leininger, yaitu pemeliharan
terhadap budaya, negosiasi budaya dan merestrukturisasi budaya.
Bila seorang perawat mengabaikan landasan teori dan praktik
keperawatan yang berdasarkan budaya atau keperawatan transkultural,
perawat akan mengalami cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh
klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan
perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. hal ini dapat menyebabkan
munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan, dan beberapa akan
mengalami disorientasi. salah satu contoh yang sering ditemukan adalah
ketika klien sedang mengalami nyeri. pada beberapa daerah atau negara
diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyeri dengan
berteriak atau menangis. tetapi bila seandainya perawat terbiasa dengan
hanya meringis jika merasa nyeri, ia akan menganggap sikap pasien
mengganggu dan tidak sopan. maka perawat pun akan meminta pasien
bersuara pelan, bahkan tak jarang akan memarahinya karena dianggap
mengganggu pasien lainnya. kebutaan budaya yang dialami oleh perawat
ini akan berakibat pada perununan kualitas keperawatan yang diberikan.
Penting bagi perawat untuk memahami kultural sendiri sebelum
memahami keperawatan transkultural. Konsep tentang budaya dan
gambaran perilaku dan sikap yang mencerminkan budaya tertuang dalam
ilmu antropologi kesehatan. Dalam menerapkan keperawatan transkultural,
tak hanya budaya yang harus diperhatikan, namun paradigma keperawatan
pun perlu diingat agar dapat diaplikasikan dalam keperawatan
transkultural. Leoninger (1985) mengartikan paradigma keperawatan
transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep
dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar
belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan, yaitu:
manusia, komponen sehat sakit, lingkungan serta keperawatan (Andrew
and Boyle, 1995)
2. Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada
saat ini, termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas
akan semakin tinggi. Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan
penduduk antar negara menyebabkan adanya pergeseran terhadap tuntutan
asuhan keperawatan. Sehingga, perawat tidak hanya dituntut untuk bisa
berkembang pada masa kini tapi perawat pun harus berkembang dari masa
lalu, seperti kebudayaan klien, latar belakang klien, dan lain sebagainya.
Menurut J.N Giger dan Davidhizar konsep dan prinsip dalam
asuhan keperawatan ada beberapa, antara lain:

a. Budaya
Norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari,
dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan
mengambil keputusan.
b. Cultural
Seseorang yang memiliki pertentangan antara dua individu dari
budaya, gaya hidup, dan hukum hidup. Contohnya, Didin adalah anak
yang dilahirkan dari pasangan suku sunda dan batak.
c. Diversity
Diversity atau keragaman budaya adalah suatu bentuk yang ideal dari
asuhan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan
budaya individu, kepercayaan, dan tindakan.
d. Etnosentris
Prsepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki
oleh orang lain.
e. Ras
Perbedaan manusia didasarkan pada asal muasal manusia.
f. Cultural shock
Suatu keadaan yang dialami klien pada suatu kondisi dimana perawat
tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan
kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa
ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami
disorientasi.
g. Diskriminasi
Perbedaan perlakuan individu atau kelompok berdasarkan ras, etnik,
jenis kelamin, sosial, dan lain sebagainya.
h. Sterotyping
Anggapan suatu individu atau kelompok bahwa semua anggota dari
kelompok budaya adalah sama. Seperti, perawat beranggapan bahwa
semua orang Indonesia menyukai nasi.
i. Assimilation
Suatu proses individu untuk membangun identitas kebudayaannya,
sehingga akan menghilangkan budaya kelompoknya dan memperoleh
budaya baru.
j. Perjudice
Adalah prasangka buruk atau beranggapan bahwa para pemimpin lebih
suka untuk menghukum terlebih dahulu suatu anggota.

2.2 Aplikasi Konsep dan Prinsip Transkultural Nursing di Sepanjang


Daur Kehidupan Manusia

a. Perawatan Kehamilan dan Kelahiran


Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial
dan budaya dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu,
fisiologi kelahiran secara universal sama. Namun proses kelahiran sering
ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka kelompok
masyarakat (Jordan, 1993).
Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek
kultural tentang kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu
merupakan tahapan yang harus dijalani didunia. Salah satu kebudayaan
masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya, wanita hamil dilarang
makan rebung karena menurut masyarakat setempat jika wanita hamil
makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti rebung. Makan jantung
pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan membuat bayi lahir
dengan ukuran yang kecil.
Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia
kehamilan tujuh bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita
hamil tersebut selamat dalam proses melahirkan. Ketika sang bayi lahir
pun nenek dari pihak ibu memberikan lagi ulos tondi kepada cucunya
sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan menggendong anaknya
dengan ulos tersebut agar anaknya selalu sehat dan cepat besar. Ulos
tersebut dinamakan ulos parompa.
Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini
masih dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam
menghadapi situasi ini, pelayanan kompeten secara budaya diperlukan
bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan dalam pelayanan,
bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan
yang optimal bagi klien dan keluarga.
Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat
yang sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari
peristiwa kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat
adat istiadat mereka terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk
menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni, procotan, dan
brokohan.
Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan
dan kelahiran oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang
menanganinya, kesehatan modern penanganan oleh dokter dibantu oleh
perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi penangana dengan adat dibantu
oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya
adalah perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun
bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang disebut
balian manak dengan usia di atas 50tahun dan profesi ini tidak dapat
digantikan oleh perempuan karena dalam proses menolong persalinan,
sang dukun harus membacakan mantra mantra yang hanya boleh
diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya.
Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi
bermacam macam. Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui
proses belajar yang diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula
yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi
budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata mata
berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun
harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian,
sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur
unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang
sesuai keperluan itu.
Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya
banyak ramuan untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan
itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan-bahan lainnya yang
diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan.
Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan
dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja,
melainkan sebagai proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-
hal seperti; pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran,
persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah
tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan bahaya, penggunaan
ramuan atau obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran, pusat
kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta
perawatan bayi dan ibunya.
Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami
kondisi kliennya yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut
untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan
komprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan etnik dan riwayat
etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan serta
pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang
dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi
waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitif terhadap
warisan budaya keluarganya.
b. Perawatan dan Pengasuhan Anak
Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa
transisi dari awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut
serta mempengaruhi peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan
budaya, perawat harus paham dan bias mengaplikasikan pengetahuannya
pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi
transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak.
Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan
simultan, baik
perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar
kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu
dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak
sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis.
Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 (lima)
sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu:
Pertama,sistem mikro yang terkait dengan setting individual di
mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi: keluarga, teman
sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga.
Kedua,sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro
sistem,misalnya hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di
dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan
teman sebaya.
Ketiga,sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh
dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki
pengaruh langsung terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang
tua dan media massa. Keempat,sistem makro yang merupakan budaya di
mana individu hidup seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata
sosial masyarakat.
Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis
transisional (kondisi sosio-historik).
Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara
sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan
pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan
media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling
mendukung. Proses sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase,
yaitu:
1. Fase Laten (Laten Pattern),pada fase ini proses sosialisasi belum
terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri
sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase
ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini
masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”.
2. Fase Adaptasi (Adaption),pada fase ini anak mulai mengenal
lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari
lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase adaptasi,karena
anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan
orangtuanya.
3. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment),pada fase ini dalam
sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas
rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki
maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu
untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya.
4. Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi
hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan
penghargaan,tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu
dengan dirinya sendiri.
Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah
mengenalkan dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di
sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga turut berperan serta dalam
tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh
budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan
pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak pada perilaku
perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan
kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk koping dengan
membantu mencapai keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat
juga harus sangat melibatkan anak dalam merencanakan proses
perkembangan. Karena preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan
sosial yang meningkat sehingga dapat merencnakan aktifitas
perkembangan.
Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara
kooperatif dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang
budaya. Dalam proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan
psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi
pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan
sebaya tidak adekuat, atau gangguan belajar). Perawat harus merancang
intervensi peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang
berkembang pada anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak
yang akan mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan
anak.
Pada umumnya aplikasi teori keperawatan transkultural dalam
keperawatan diharapkan adanya kesadaran dan apresiasi terhadap
perbedaan kultur. Hal ini berarti perawat yang professional memiliki
pengetahuan dan praktek yang berdasarkan kultur secara konsep
petencanaan dan untuk praktik keperawatan. Tujuan penggunaan
keperawatan transkultural adalah untuk mengembangkan sains dan pohon
keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur
yang spesifik dan universal kultur yang spesifik adalah kultur dengan
nilai-nilai dan norma spesifik yang dimiliki oleh kelompok lain. Kultur
yang universal adalah nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan
dilakukan hampir semua kultur seperti budaya minum teh yang dapat
membuat tubuh sehat.

3. Perawatan Menjelang Kematian


Perawat sebagai pelayan kesehatan memiliki peran yang sangat penting
bagi keluaraga dan pasien yang akan menjelang ajal.Seorang perawat harus
dapat berbagi penderitaan dan mengintervensi pada saat klien menjelang ajal
untuk meningkatkan kualitas hidup.
Menjelang ajal atau kondisi terminal adalah suatu proses yang progresi
menuju kematian berjalan melalui tahapan proses penurunan
fisik,psikososial,dan spiritual bagi individu. Secara umum pengaplikasian
caring pada klien menjelang ajal berupa:
a. Peningkatan kenyamanan
Kenyamanan bagi klien menjelang ajal termasuk pengenalan dan
perbedaan distress (oncology society and the American Nurses
Association,1974). Hal hal yang harus diperhatikan dalam peningkatan
kenyamanan:
 Kontrol nyeri; Seluruh pelayan kesehatan dan keluarga harus dapat
membantu klien mengatasi rasa nyeri,karena nyeri dapat
mempengaruhi klien dalam memenuhi kebutuhan istirahat
tidur,nafsu makan,mobilitas dan fungsi psikologis.
 Ketakutan; Tenaga kesehatan dan keluarga harus dapat membantu
klien mengurangi rasa ketakutan terhadap gejala yang ditimbulkan
seperti nyeri umum yang selalu datang setiap saat yang dapat
membuat sagala aktifitas terganggu.
 Pemberian terapi dan pengendalian gejala penyakit; Pemberian
terapi merupakan bagian yang dapat mengurangi rasa tidak nyaman
seperti rasa nyeri dapat teratasi setelah pemberian terapi,pemberian
chemotherapi,dan radiasi dapat membantu mengurangi penyebaran
penyakit.
 Higiene personal ; Pemenuhan kebersihan diri merupakan salah
satu yang harus dipenuhi agar klien merasa segar dan nyaman.
b. Pemeliharaan Kemandirian
Adalah pilihan yang diberikan kepada klien menjelang ajal untuk memilih
tempat perawatan dan memberikan kebebasan sesuai kemampuan
klien,karena sebagian besar klien menjelang ajal menginginkan sebanyak
mungkin mapan diri.
Dalam pemeliharaan kemandirian dapat dilakukan bisa perawatan akut
dirumah sakit,ada juga perawatan dirumah atau perawatan hospice.
1) pemeliharaan kemandirian di rumah sakit
Klien yang memilih tempat perawatan menjelang ajal dirumah sakit
diberikan kebebasan sesuai kemampuan. Sikap perawat dalam
pemeliharaan kemandirian di rumah sakit :
 Perawat harus mengimformasikan klien tentang pilihan
 Perawat dapat memberikan dorongan dengan berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan untuk memberikan rasa kontrol klien
 Perawat tidak boleh memaksakan bantuan
 Perawat memberikan dorongan kepada keluarga untuk memberikan
kebebasan klien membuat keputusan.
2) pemeliharaan kemandirian dirumah (perawatan hospice)
Adalah perawatan yang berpusat pada keluarga yang dirancang untuk
membantu klien sakit terminal untuk dapat dengan nyaman dan
mempertahankan gaya hidupnya senormal mungkin sepanjang proses
menjelang ajal. Menurut Pitorak (1985) mengambarkan komponen
perawatan hospice sebagai berikut :
 Perawatan dirumah yang terkoordinasi dengan pelayanan rawat
jalan dibawah administrasi rumah sakit
 Kontrol gejala (fisik,sosiologi,fisiologi, dan spiritual ).
 Pelayanan yang diarahkan dokter
 Perawtan interdisiplin ilmu
 Pelayanan medis dan keperawatan tersedia sepanjang waktu
 Klien dan keluarga sebagai unit perawatan
 Tindak lanjut kehilangan karena kematian
 Penggunaan tenaga sukarela terlatih sebagai bagian tim
 Penerimaan kedalam program berdasarkan pada kebutuhan
perawatan kesehatan ketimbang pada kemampuan untuk
membayar.
c. Pencegahan Kesepian dan isolasi
Untuk mencegah kesepian dan penyimpangan sensori perawat
menintervensi kualitas lingkungan. Hal-hal yang dilakukan untuk
mencegah kesepian dan isolasi.
 Tempatkan pasien pada ruangan biasa ( bergabung dengan pasien
lain) tidak perlu    ruangan tersendiri, kecuali pada keadaan kritis
atau tidak sadar.
 libatkan klien dalam program perawatan sesuai kemampuan klien,
agar klien merasa diperhatikan.
 Berikan pencahayaan yang baik dan bisa diatur agar memberikan
stimulus yang bermakna.
 memberikan stimulus berupa gambar, benda yang menyenangkan,
atau surat dari anggota keluarga.
 Libatkan keluarga dan teman untuk lebih perhatian
 Berikan waktu yang cukup kepada keluarga untuk menjenguk atau
menemani klien.
d. Peningkatan ketenangan spiritual

Memberikan ketenangan spiritual mempunyai arti lebih besar dari


sekedar kunjung rohani. Perawat dapat memberikan dukungan kepada
klien dalam mengekspresikan filosofi kehidupan. Ketika kematian
mendekat, klien sering mencari ketenangan dengan menganalisa nilai dan
keyakinan yang berhubungan dengan hidup dan mati. Perawat dan
keluarga dapat membantu klien dengan mendengarkan dan mendorong
klien untuk mengekspresikan tentang nilai dan keyakinan, perawat dan
keluarga dapat memberikan ketenangan spiritual dengan menggunakan
keterampilan komunikasi, mengekspresikan simpati, berdoa dengan klien.
e. Dukungan untuk keluarga yang berduka

Dukungan diberikan agar keluarga dapat menerima dan tidak terbawa


kedalam situasi duka berkepanjangan. Hal-hal yang dilakukan perawat,
perhatikan
 perawat harus mengenali nilai anggota keluarga sebagai sumber
dan membantu mereka untuk tetap berada dengan klien menjelang
ajal.
 mengembangkan hubungan suportif.
 menghilangkan ansietas dan ketakutan keluarga
 menetapkan apakah mereka/ kelurga ingin dilibatkan.

4. Perawatan Setelah Kematian


Perawat mungkin orang yang paling tepat untuk merawat tubuh klien
setelah kematian karena hubungan terapeutik perawat-klien yang telah
terbina selama fase sakit. Dengan demikian perawat mungkin lebih sensitif
dalam menangani tubuh klien dengan martabat dan sensitivitas.
Peran perawat :
 perawat menyiapkan tubuh klien dengan membuatnya tampak
sealamiah dan    senyaman mungkin
 perawat memberikan kesempatan pada keluarga untuk melihat
tubuh klien
 perawat memberikan pendampingan pada keluar pada saat melihat
tubuh klien
 perawat harus meluangkan wakyu sebanyak mungkin dalam
membantu keluarga  yang berduka
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :
a. Proses keperawatan transkultural merupakan salah satu dasar teori untuk
memenuhi asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya
pasien.
b. Proses keperawatan transkultural diaplikasikan untuk mengurangi konflik
perbedaan budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai profesional
dan pasien. Perilaku budaya terkait sehat sakit masyarakat secara umum
masih banyak dilakukan pada keluarga secara turun temurun.
c. Sehat dan sakit atau kesehatan dalam perspektif transkultural nursing
diartikan pandangan masyarakat tentang kesehatan spesifik bergantung
pada kelompok kebudayaannya teknologi dan non-teknologi pelayanan
kesehatan yang diterima bergantung pada budaya nilai dan kepercayaan
yang dianutnya.
d. Proses keperawatan transkultural terdiri dari tahap pengkajian keperawatan
transkultural, diagnosa keperawatan transkultural, rencana tindakan
keperawatan transkultural, tindakan keperawatan transkultural dan
evaluasi tindakan keperawatan transkultural.
e. Prinsip pengkajian keperawatan transkultural berpedoman pada model
konsep dari Leininger. Konsep utama dari model sunrise berupa cultural
care, world view, culture and social culture dimention, generic care
system, proffesional system, culture care preservation, culture care
accomodation, culture care repattering, culture congruent.
f. Rencana tindakan transkultural didasari pada prinsip rencana tindakan dari
teori Sunrise Model yang terdiri dari 3 strategi tindakan, yaitu
perlindungan perawatan budaya atau pemeliharaannya, akomodasi
perawatan budaya atau negosiasi budaya, perumusan kembali dan
restrukturasi.
g. aplikasi teori keperawatan transkultural dalam keperawatan diharapkan
adanya kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur. Hal ini berarti
perawat yang professional memiliki pengetahuan dan praktek yang
berdasarkan kultur secara konsep petencanaan dan untuk praktik
keperawatan. Tujuan penggunaan keperawatan transkultural adalah untuk
mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga
tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal kultur
yang spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai dan norma spesifik yang
dimiliki oleh kelompok lain. Kultur yang universal adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang diyakini dan dilakukan hampir semua kultur seperti
budaya minum teh yang dapat membuat tubuh sehat.

3.2 Saran
Sebagai calon perawat profesional hendaklah nantinya mengaplikasikan teori-
teori Leininger dalam setiap melakukan proses keperawatan, tanpa membeda-
bedakan pasien, baik itu dari segi agama, budaya, dan sebagainya sehingga
pelayanan kesehatan dapat dilakukan secara optimal.
Selain itu, dengan adanya makalah ini, para mahasiswa keperawatan dapat
mengetahui konsep keperawatan transkultural sehingga mulai sekarang
mempersiapkan diri menghadapi beragam perbedaan dengan pasien yang
nantinya akan didapatkan di pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd
Ed,Philadelphia, JB Lippincot Company

Cultural Diversity in Nursing, (1997), Transcultural Nursing ; Basic Concepts and


Case Studies, Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari
http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing

Fitzpatrick. J.J & Whall. A.L, (1989), Conceptual Models of Nursing : Analysis
and Application, USA, Appleton & Lange

Giger. J.J & Davidhizar. R.E, (1995), Transcultural Nursing : Assessment and
Intervention, 2nd Ed, Missouri , Mosby Year Book Inc

Iyer. P.W, Taptich. B.J, & Bernochi-Losey. D, (1996), Nursing Process and
Nursing Diagnosis, W.B Saunders Company, Philadelphia

Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,


Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies

Swasono. M.F, (1997), Kehamilan, kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam
Konteks Budaya, Jakarta, UI Press

Royal College of Nursing (2006), Transcultural Nursing Care of Adult ; Section


One Understanding The Theoretical Basis of Transcultural Nursing Care
Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari
http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing

Anda mungkin juga menyukai