Anda di halaman 1dari 21

Aplikasi Transkultural Nursing Sepanjang Daur Kehidupan Manusia

Makalah

OLEH :

Kelompok 5

SUTRI NAHADDA WERY DWIYANTI

TIARA ARMELIA WINDI TUT FEBRIANI

VIVI RISTIA PUTRI YENNI FITRIA

VOVVI ARENI

1C

Dosen Penampu : Ns. Ulfa Suryani, M. Kep. Sp. Kep. J

PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
TAHUN 2019/2020
Kata pengantar

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa
selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun
terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Padang, 15 Oktober 2019


DAFTAR ISI

Kata pengantar

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………………………………..…1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………….1
C. Tujuan Penulisan ……………………………...…………………………………………1

BAB II PEMBAHASAN
A. Perspektif Transkultural dalam Keperawatan ………………………………………..….2
B. Aplikasi Konsep dan Prinsip Transkultural
Sepanjang Daur Kehidupan Manusia …………………………………………………….9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ………………………….………………………………………………….17
B. Saran ………………………...………………………………………………………….17

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman di era globalisasi saat ini, terjadi peningkatan jumlah
penduduk baik populasi maupun variasinya. Keadaan ini memungkinkan adanya
multicultural atau variasi kultur yang setiap wilayah. Tuntutan kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas pun semakin tinggi. Hal ini
menuntut setiap tenaga kesehatan professional termasuk perawat untuk mengetahui
dan bertindak setepat mungkin dengan prespektif global dan medis bagaimana
merawat pasien dengan berbagai macam latar belakang kultur atau budaya yang
berbeda dari berbagai tempat di dunia dengan memperhatikan namun tetap pada
tujuan utama yaitu memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas. Penanganan
pasien dengan latar belakang budaa disebut dengan transkultural nursing.

Transkultural nursing adalah suatu daerah atau wilayah keilmuan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokusnya memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada
manusia (Leininger, 2002).

Proses keperawatan transkultural di aplikasi untuk mengurangi konflik perbedaan


budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai professional dan pasien.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan transkultural?
2. Bagaimana aplikasi konsep dan prinsip transkultural nursing dis sepanjang daur
kehidupan manusia?

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan transkultural.
2. Dapat mengaplikasikan konsep dan prinsip transkultural nursing di sepanjan
daur kehidupan manusia.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perspektif Trankultural dalam Keperawatan


1. Keperawatan Transkultural dan Globalisasi dalam Pelayanan Kesehatan
Dunia saat ini sedang mengalami era globalisasi. Globalisasi memungkinkan
adanya perpindahan penduduk (imigrasi) antar Negara atau daerah yang
menyebabkan peningkatan jumlah penduduk dalam Negara, baik populasi
maupun variasinya. Menurut United Nations Population Fund (2011), pada khir
bulan oktober tahun 2011 jumlah penduduk dunia akan mencapai tujuh milir
penduduk. Ini memungkinkan adanya multicultural atau variasi kultur pada
suatu wilayah. Berdasar pula hal tersebut, penting bagi setiap tenaga kesehatan
professional termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak dengan
perspektif global bagaimana merawat pasien dengan berbagai macam latar
belakan kultur atau budaya yang berbeda dan berbagai tempat di dunia saat ini.

Penangana pasien dengan perbedaan latar belakang budaya disebut dengan


taranskultural nursing. Menurut Leininger (2002), transkultural nursing adalah
suatu area atau wilayah keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek
keperawatan yang focus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya
dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan
asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia,
yang dalam penggunaannya bertujuan untuk mengembangkan sains dan pohon
keilmuan yang huamnis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang
spesifik atau universal kultur dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini
dan dilakukan hampir semua kultur, misalnya seperti budaya minum yang dapat
membuat tubuh sehat.

Berdasarkan defenisi Leininger di atas, dalam melaksanakan praktik


keperawatan yang bersifat humanis, prawat perlu memahami landasan teori dan
praktik keperawatan yang berdasarkan budaya. Budaya yang telah menjadi
kebiasaan tersebut diterapkan dalam asuhan keperawatan transkultural yang di

2
kenal dengan Leininger Sunrise Model (Leininger, 2002) dan tiga strategi utama
intervensi Leininger, yaitu pemeliharaan terhadap budaya, negosiasi budaya dan
merestrurisasi budaya

Bila seorang perawat mengabaikan landasan teori dan praktik keperawatan yang
berdasarkan budaya atau keperawatan transkultural, perawat akan mengalami
cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi
dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan
kepercayaan, hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan,
ketidakberdayaan, dan beberapa akan mengalami disorientasi. Salah satu contoh
yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada
beberapa daerah atau Negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan
rasa nyeri dengan berteriak atau menangis, tetapi bila seandainya perawat
terbiasa dengan hanya meringis jika merasa nyeri, ia akan mengangkap sikap
pasien mengganggu dan tidak sopan, maka perawat pun akan meminta pasien
bersuara pelan, bahkan tak jarang akan memarahinya karena di anggap
mengganggu pasien lainnya. Kebutuhan budaya yang dialami oleh perawat ini
akan berakibat pada penurunan kualitas keperawatan yang diberikan.

Penting bagi perawat untuk memahami cultural sendiri sebelum memahami


keperawatan transkultural. Konsep tentang budaya dan gambran perilaku dan
sikap yang mencerminkan budaya tertuang dalam ilmi antropologi kesehatan.
Dalam menerapkan keperawatan transkultural, tak hanya budaya yang harus
diperhatikan, namun paradigm keperawatan perlu diingat agar dapat
diaplikasikan dalam keperawatan transkultural. Leoninger (1985) mengartikan
paradigm keperawatan transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-
nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai
dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan,
yaitu: manusia, komponen sehat sakit, lingkungan serta keperawatan (Andrew
and Boyle, 1995).
2. Konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan transkultural
Konsep dalam asuhan keperawatan transkultural:
a. Budaya
Adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari,

3
serta member petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.
Budaya adalah suatu komplek yang mengandung pengetahuan, keyakinan,
seni, moral, hokum, kebiasaan dan kecakapan lain yang merupakan
kebiasaan manusia sebagai anggota komunitas setempat.

Karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut:

 Budaya adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak


ada dua budaya yang sama persis.
 Budaya yang bersifat stabil, tetapi juga dinamis, karena budaya
tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami
perubahan.
 Budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan manusia sendiri tanpa
disadari.
b. Nilai budaya
Adalah keiinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau suatu
tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
c. Perbedaan budaya
Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang
optimal dari pemberian asuhan keperawatan.
d. Etnosentris
Adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-buadaya yang dimiliki oleh
orang lain.
e. Etnis
Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut cirri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
f. Ras
Merupakan sistem pengklarifasian manusia berdasarkan karakteristik fisik,
pigmentasi, bentuk tubuh, bentuk wajah, bulu pada tubuh dan bentuk kepala.
Ada tiga jenis ras yang umumnya dikenal, yaitu kaukasoid, negroid dan
mongoloid.
g. Etnografi
Adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada pada

4
penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan
kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan
dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang dan saling
timbale balik diantara keduanya.
h. Care
Adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, dan kelompok.
i. Caring
Adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung
dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok dan keadaan yang
nyata.
j. Cultural care
Berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekpresi yang digunakan untuk membimbing,
mendukung atau meberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok
untuk mempertahankan kesehatan, berkembang dan bertahan hidup, hidup
dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
k. Cultural imposition
Berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan
kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya
bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi dari kelompok lain.

Prinsip dalam asuhan keperawatan transkultural:

a. Culture care preservation/maintenance


Yaitu prinsip membantu, memfasilitasi atau memperhatikan fenomena
budaya, guna membantu individu menentukan tingkat kesehatan dan
gaya hidup yang diinginkan.
b. Culture care accumodation/negotiation
yaitu prinsip membantu, menfasilitasi atau memperhatikan fenomena
budaya, merefleksikan cara-cara untuk beradaptasi, bernegoisasi, atau
mempertimbangkan kondisi kesehatan dan gaya hidup individu dank
lien.

5
c. Culture care reppatterning/restiueturing
Yaitu prinsip merekontruksi atau mengubah desain untuk membantu
memperbaiki kondisi kesehatan dan pola hidup klien kearah yan lebih
baik.
Hasil yang diperoleh melalui pendekatan keperawatan transkultural pada
asuhan keperawatan adalah kepercayaan cultur congruent nursing care
health and well being, yaitu asuhakan keperawatan yang kompeten
berdasarkan budaya dan pengetahuan kesehatan yang sensitive, kreatif,
serta cara-cara yang bermakna, guna mencapai tingkat kesehatan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.

3. Pengkajian asuhan keperawatan budaya


Pengakjian budaya merupakan pengkajian yang sistemik dan komprehensif dari
nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan dan praktik individual, keluarga dan
komunitas.

Tujuan pengkajian budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang signifikan


dari klien sehingga perawat dapat menerapkan kesamaan pelayan budaya
(Leininger dan Mc Farland, 2002).

Salah satu model pengkajian budaya adalah model matahari terbit dari Leininger
(2002) yang menggambarkan keragaman budaya dalam kehidupan sehari-hari
dan membantu menjelaskan alas an mengapa pengkajian budaya harus
dilakukan secara komprehensif. Model tersebut beranggapan bahwa nilai-nilai
pelayanan budaya, kepercayaan dan praktik merupakan hal yang tidak dapat
diubah dalam budaya dan dimensi struktur sosial masyarakat, termasuk
didalamnya konteks lingkungan, bahasa, dan riwayat etnik. Riwayat etnik
merupakan peristiwa-peristiwa bersjarah dari kelompok tertentu.

Sebelum melakukan pengkajian budaya, seorang perawat harus menyiapkan diri


dengan cara:
a. Mengetahui data sensus
Perawat memulai pengkajian budaya dengan mengetahui perubahan
demografik populasi pada lingkungan komunitas. Memiliki latar belakang
pengetahuan budaya membantu perawat dalam melakukan pengkajian yang
terarah.
6
b. Menanyakan pertanyaan
Salah satu masalah dalam pengkajian budaya adalah kurangnya kemampuan
untuk mengkaji pihak dalam perspektif emic klien dalam interpretasi
informasi selama penilaian. Hal ini dapat tertolong dengan menggunakan
pertanyaan terbuka, terfokus, dan kontraks. Tujuannya adalah mendorong
klien agar dapat menggambarkan nilai, kepercayaan dan praktik yang berarti
untuk pelayanan mereka yang tidak disadari oleh penyelenggara pelayanan
kesehatan
c. Membangun hubungan
Pengkajian budaya bersifat mencapuri dan menghabiskan waktu serta
membutuhkan hubungan saling percaya antara sesame peserta. Komunikasi
yang kurang biasanya terjadi pada hubungan intercultural. Hal ini
disebabkan karena perbedaan bahasa dan komunikasi diantara partisipan,
seperti halnya perbedaan dalam interpretasi tingkah laku masing-masing.
Dalam beberapa hal, perawat yang melakukan manajemen impresi membuat
klien mencapai hubungan yang diinginkannya (Pacquioo, 2000). Manajemen
impresi membutuhkan keahlian berbahasa, interpretasi yang sama secara
budaya terhadap sikap klien, mendengarkan dan keterampilan melaukan
pengamatan. Untuk itu seorang perawat harus berlaku sopan terhadap klien
sehingga klien mau menjalin hubungan.

Perawat mempelajari berbagai keterampilan yang diperlukan untuk


mendapatkan pengkajian budaya yang akurat, dan komprehensif sepanjang
waktu. Komponen pengkajian budaya berikut ini menyediakan pengertian
jenis informasi yang berguna dalam merencanakan dan menyampaikan
pelayanan keperawatan:
a. Warisan etnik dan riwayat etnik
Pengetahuan tentang asal dan sejarah Negara klien serta konteks ekologi
sangat berarti untuk pelayanan kesehatan contohnya imigran Haiti
memiliki bahasa dan pola komunikasi yang berbeda dengan Jamaica
walaupun mereka sama-sama berasal dari karibia dan meiliki sejarah
perbudakan. Hal ini harus diingat oleh perawat saat memberikan
pelayanan bahwa setiap klien memiliki asal dan sejara Negara yang
berbeda. Selain hal itu penting juga bagi seorang perawatmengetahui

7
latar belakang klien seperti status sosial ekonomi, sumber daya yang
tersedia untuk pengobatan medis, risiko kesehatan dalam lingkungan dan
ketersediaan sistem dukungan.
b. Riwayat biokultural
Identifikasi risiko kesehatan klien yang berhubungan dengan riwayat
sosial budaya dan biologis pada waktu masuk. Beberapa risiko kesehatan
disebabkan oleh konteks ekologi budaya. Contohnya hipertensi maligna
pada orang Amerika Afrika, penyakit tay-sach pada orang Yahudi
Ashkenzi, intolerasi laktosa pada orang Asia, Afrika, dan Hispanic
(USDHHS, Office of Minority Health.n.d)
c. Organisasi sosial
Kelompok budaya terdiri dari unit-unit organisasi yang disatukan oleh
hubungan kekeluargaan, satus dan peran yang sesuai dengan anggotanya.
Contohnya pada masyarakat yang sebagian besar terdiri atas orang
amerika, unit organisasi sosial yang terbanyak adalah keluarga inti
dimana anak yang sudah menikah dan dewasa tinggal dikerabat jauh
sebanyak tiga generasi dan hubungan fiktif atau tanpa hubungan darah.
Hubungan keluarga bisa diperluas sampai ke keluarga pihak ayah dan
pihak ibu atau terbatas pada pihak ayah saja atau pihak ibu saja.

Status klien dalam hierarki sosial biasanya berhubungan dengan kualitas


seperti usia dan gender dan status kesuksesan seperti pendidikan dan
kedudukan. Tapi seorang perawat harus mampu menentukan siapa yang
berhak membuat keputusan dalam keluarga dan bagaimana cara
membicarakannya dengan individu yang bersangkutan.
d. Agama dan kepercayaan spiritual
Agama dan kepercayaan spiritual sangat mempengaruhi pandangan klien
tentang kesehatan dan penyakitnya. Rasa nyeri dan penderitaan serta
kehidupan dan kematian. Banyak buday tidak mebedakan antara agama
dan spiritual tapi ada sebagian lain yang mebedakan dengan jelas konsep
spiritualis.
e. Pola komunikasi
Kelompok budaya yang berbeda memiliki pola bahasa dan komuniaksi
yang berbeda-beda pula. Pola ini menggambarkan nilai-nilai dasar
budara dari suatu masyarakat. Mengamati tingkah laku klien dan

8
menjelaskan pesan dari pihak dalam yang terpercaya akan mencegah
terjadinya interpretasi yang salah. Budaya juga membentuk komunikasi
non verbal. Budaya mempengaruhi jarak antara partisipan dalam sebuah
hubungan, kontak mata, sentuhan dan seberapa banyak informasi pribadi
yang akan klien bagikan. Untuk memperkecil jarak dalam komunikasi
dengan klien, perawat perlu membangun hubungan dan berkelakuan
sesuai dengan budaya klien menajemen impresi.
f. Orientasi waktu
Semua budaya mempunyai dimensi waktu lampau, sekarang dan
mendatang. Penting bagi perawat untuk memahami orientasi waktu
klien. Informasi ini bermanfaat dalam merencanakan pelayanan harian,
membuat perjanjian procedural, dan membantu klien merencanakan
kegiatan perawatan diri dirumah. Perbedaan terjadi dalam dimensi waktu
yang berfokus budaya dan cara pengungkapan waktu. Orientasi waktu
mendatang memperkecil waktu sekarang sehingga komunikasi
cenderung bersifat langsung dan berfokus pada penerimaan tugas.
Komunikasi bersifat sirkular dan secara tidak langsung menghindari
risiko menyinggung dan tidak menghormati orang lain. Untuk
meperbaiki akses klien terhadap pelayanan kesehatan dibutuhkan jadwal
yang sesuai dengan pola kegiatan budayanya saat menjadwalkan
perjanjian dan rujukan. Ketahui dan atasi yang menjadi penghalang
menepati waktu dengan klien. Supaya bantuan terorganisasi dengan baik,
perawat memerlukan partisipasi klien dan membantu klien dalam
membuat perubahan.

B. Aplikasi Konsep dan Prinsip Transkultural Sepanjang Daur Kehidupan


Manusia
1. Perawatan Kehamilan dan Kelahiran
Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan buadaya
dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran
secara universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-
cara yang berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993).

Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek cultural tentang


kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang

9
harus dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di provinsi
misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat
setempat jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti
rebung. Makan jantung pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan
membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil.

Dalam kebuyaan batak, wanita hamil yang menginjak usia kehamilan tujuh
bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita hamil tersebut selamat
dalam proses melahirkan. Ketika sang bayi lahir pun nenek dari pihak ibu
memberikan lagi ulos tondi kepada cucunya sebagai symbol perlindungan. Sang
ibu akan menggendong anaknya dengan ulos tersebut agar anaknya sehat selaulu
dan cepat besar. Ulos tersebut dinamakan ulos parompa.

Pantangan dan simbol yang terbentu dari kebudayaan hingga kini amsih
dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini,
pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk
menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya
berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan
keluarga.
Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari amsyarakat yang sering
mentitikberatkan perhatian pada aspek kritis kehidupan dan peristiwa kehamilan
dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat istiadat mereka terdapat
berbagai upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti pada
upacara mitoni, procotan, dan brokohan.

Perbedaan yyang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran


oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan
modern penanaganan oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain
sebagainya tapi penanganan dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Menurut
Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya adalah perempuan, walaupun dari
berbgagai kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki-laki seperti pada
masyarakat Bali Hindu yang disebut balian mamak dengan usia di atas 50 tahun
dan profesi ini tidak dapat digantikan oleh perempaun karena dalam proses
menolong persalinan, sang dukun harus membacakan mantra-mantra yang
hanya boleh diucapkan oleh laki-laki karena sifat sakralnya.

10
Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam-macam.
Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang
diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula ynag mempelajari dari
seorang guru karena merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak
hanya merupakan suatu proses semata-mata berkenaan dengan lahirnya sang
bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus terhindar dari berbagai kotoran
tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga kebuyaan menetapkan bahwa
proses mengeluarkan unsure-unsur yang kotor atau keduniawian harus
dilangsungkan di tempat yang sesaui keperluan itu. Jika dokter meiliki obat-obat
medis makan dukun bayi pun banyak ramuan untuk dapat menangani ibu dan
janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan-
bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar
proses persalinan.

Menurut pendekatan biososiokultural dan kajian antropologi, kehamilan dan


kelahiran dilihat bukan hanya spek biolgis dan fisiologis saja, melainkan sebagai
proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti: pandangan
mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam
pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara penecgahan
bahaya, penggunaan ramuan atau obat-obatan tradisional, cara menolong
kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan meneganai pertolongan
serta perawatan bayi dan ibunya.

Berdasarkan uraian di atas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya


yang meiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk meilki keterampilan
dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu
berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi
sosial, agama dan kepercayaan serta pola komuniakasi. Semua budaya
mempunyai dimensi lampau, sekarang dan mendatang. Untuk itu penting bagi
perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan
dan sensitive terhadap warisan budaya keluarganya.

2. Perawatan dan Pengasuhan Anak


Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal
masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi

11
peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham
dan bisa mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia.
Salah satu contohnya yaitu apliaksi transkultural pada perawatan dan
pengasuhan anak.

Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan stimulant, baik
perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosianya sesuai dengans tandar
kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan
berbagai unsure yang terlihat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat
dioptimalkan secara sinergis. Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya
ada lima sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu:
pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak
tumbuh dan berkembang yang meliputi : keluarga, teman sebaya, sekolah dan
lingkungan sekitar tetangga. Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di
antara mikro sitem, misalnya hubungan pengalaman-pengalaman yang di
dapatkan di dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman
dengan teman sebaya. Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman
dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di laur kontrol aktif tetapi
memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak, sperti: pekerjaan
orang tua dan media massa. Keempat, sistem makro yang merupakan budaya
dimana individu hidup seperti: ideology, budaya, sub-budaya, atau strata sosial
amsyarakat. Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis
transisional (kondisi sosio-historik).

Keemapat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam


pengemabagnagn berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan,
pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola
kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses sosialisasi pada
anak secara umum memalui 4 fase, yaitu:
1) Fase Laten (Laten Pattern), pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat
jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan
dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak
masih dianggap sebgai bagian dari ibu, dan anak pada fase ini masih
merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”.

12
2) Fase Adaptasi (Adaption), pada fase ini anak mulai mengenal
lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsangan dari
lingkungannya. Orang tua berperan besar pada fase adaptasi, karena
anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan
orangtuanya.
3) Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment), pada fase ini dalam
sosialisasinya anak tidak hanya skedar memberikan umpan balik atas
rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya, tapi sudah meiliki
maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu
untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya.
4) Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku tidak lagi hanya
sekedar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk emndapatkan
penghargaan, tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu
dengan dirinya sendiri.
3. Perawatan Menjelang Kematian
Perawat sebagai pelayan kesehatan memiliki peran yang sangat penting abgi
keluarga dan pasien yang akan menjelang ajal. Seorang perawat harus dapat
berbagi penderitaan dan mengintervensi pada saat klien menjelang ajal untuk
meningkatkan kualitas hidup.

Menjelang ajal atau kondisi terminal adalah suatu proses yang progresi menuju
kematian berjalan melalui tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan
spiritual bagi individu. Secara umum pengaplikasikan caring pada klien
menjelang ajal berupa:
a. Peningkatan Kenyamanan
Kenyamanan bagi klien menjelang ajal termasuk pengenalan dan perbedaan
distress (oncology society and the American Nurses Association, 1974).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam peningkatan kenyamanan:
 Kontrol nyeri: seluruh pelayanan kesehatan dan keluarga harus dapat
membantu klien mengatasi rasa nyeri, karena nyeri dapat
mempengaruhi klien dalam memenuhi kebutuhan istirahat tidur,
nafsu makan, mobilitas dan fungsi psikologis.
 Ketakutan: tenaga kesehatan dan keluarga harus dapat membantu
klien mengurangi rasa ketakutan terhadap gejala yang ditimbulkan

13
seperti nyeri umum yang selalu dating setiap saat yang dapat
membuat segala aktivitas terganggu.

 Pemberian terapi dan pengendalian gejala penyakit: pemberian terapi


merupakan nagian yang dapat mengurangi rasa tidak nyaman seperti
rasa nyeri dapat teratasi setelah pemberian ehemotherapi, dan radiasi
dapat membantu mengurangi penyebaran penyakit.
 Hygiene personal: pemenuhan kebersihan diri merupakan salah satu
yang harus dipenuhi agar klien merasa segar dan nyaman.
b. Pemeliharaan Kemandirian
Adalah pilihan yang diberikan kepada klien menjelang ajal untuk memilih
tempat perawatan dan memberikan kebebasan sesuai kemampuan klien.,
karena sebagian besar klien menjekang ajal menginginkan sebanyak
mungkin mapan diri. Dalam pemeliharaan kemandirian dapat dilakukan bisa
perawatan akut dirumah sakit, ada juga perawatan dirumah atau perawatan
hospice.
1) Pemeliharaan kemandirian di rumah sakit
Klien memilih tempat perawatan menjelang ajal dirumah sakit
diberikan kebebasan sesuai kemampuan. Sikap perawat dalam
pemeliharaan kemandirian di rumah sakit:
 Perawat harus menginformasikan klien tentang pilihan
 Perawat dapat memberikan dorongan dengan berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan untuk memberikan rasa kontrol
klien
 Perawat tidak boleh memaksakan bantuan
 Perawat memberikan dorongan kepada keluarga untuk
memberikan kebebasan klien membuat keputusan

2) Pemeliharaan kemandirian dirumah (perawatan hospice)


Adalah perawatan yang berpusat pada keluarga yang dirancang untuk
membantu klien sakit terminal untuk dapat dengan nyaman dan
mempertahankan gaya hidupnya senormal mungkin sepanjang proses
menjelang ajal. Menurut pitorak (1985) menggambaran komponen
perawatan hospice sebagai beriku:
 Perawatab dirumah yang terkoordinasikan dengan pelayanan
rawat jalan dibawah administrasi rumah sakit
14
 Kontrol gejala (fisik, sosiologi, fisiologi, dan spiritual)
 Pelayanan yang diarahkan dokter
 Perawatan interdisiplin ilmu
 Pelayanan medis dan keperawatan tersedia sepanjang waktu
 Klien dan keluarga sebagai unit perawatan
 Tindak lanjut kehilangan karena kematian
 Penggunaan tenaga sukarela terlatih sebagai bagian tim
 Penerimaan kedalaman program berdasarkan kepada
kebutuhan perawatan kesehatan ketimvang pada kemampuan
untuk membayar
c. Pencegahan kesepian dan isolasi
Untuk mencekagah kesepian dan penyimpangan sensori perawat
meintervensi kualitas lingkungan. Hal-hal yang dilakukan untuk mencegah
kesepian dan isolasi.
 Tempatkan pasien pada ruangan biasa (bergabung dengan pasien
lain) tidak perlu ruangan tersendiri, kecuali pada keadaan kritis atau
tidak sadar
 Lihatkan klien dalam program perawatan sesaui kemampuan klien,
agar klien merasa diperhatikan.
 Berikan pencahayaan yang baik dan bisa diatur agar memberikan
stimulus yang bermakna.
 Memberikan stimulus berupa gambar, benda yang menyenangkan,
atau surat dari anggota keluarga.
 Libatkan keluarga dan teman untuk lebih perhatian.
 Berikan waktu yang cukup kepada keluarga untuk menjenguk atau
menemani klien.
d. Peningkatan ketenangan spiritual
Memberikan ketenangan spiritual mempunyai arti lebih besar dari sekedar
kunjun rohani. Perawat dapat memberikan dukungan kepada klien dalam
mengekspresikan filosofi kehidupan. Ketika kemtian mendekat, klien sering
mencari ketenangan dengan menganalisa nilai dan keyakinan yang
berhubungan dengan hidup dan mati. Perawat dan keluarga dapat membantu
klien dengan mendengarkan dan mendorong klien untuk mengekpresikan
tentang nilai dan keyakinan, perawat dan keluarga dapat memberikan
ketenanganan spiritual dengan menggunakan keterampilan komunikasi,
mengekspresikan simpati, berdo’a dengan klien.
15
e. Dukungan untuk keluarga yang berduka
Dukungan diberikan agar kelaurga dapat menerima dan tidak terbawa
kedalam situasi duka berkepanjangan. Hal-hal yang dilakukan perawat,
pehatikan :
 Perawat harus mengenali nilai anggota keluarga sebagai sumber dan
membantu mereka untuk tetap berada dengan klien menjelang ajal.
 Mengembangkan hubungan suportif.
 Menghilangkan ansietas dan ketakutan keluarga.
 Menetapkan apakah mereka atau keluarga ingin dilibatkan.
4. Perawatan setelah kematian
Perawatan mungkin orang yang paling tepat untuk merawat tubuh klien setelah
kematian karena hubungan teraupetik perawat-klien yang telah terbina selama
fase sakit. Dengan demikian perawat mungkin lebih sensitif dalam menangani
tubuh klien dengan martabat dan sensitivitas.

Peran perawat:
 Perawat menyiapkan tubuh klien dengan membuatnya tampak sealamiah
dan senyaman mungkin.
 Perawat memberikan kesempatan pada keluarga untuk melihat tubuh
klien.
 Perawat harus meluangkan waktu sebanyak mungkin dalam membantu
keluarga yang berduka.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan:
1) Proses keperawatan transkultural merupakan salah satu dasar teori untuk
memenuhi asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya
pasien.
2) Proses keperawatan transkultural diaplikasikan untuk mengurangi konflik
perbedaan budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai professional dan
pasien.
3) Perilaku budaya terkait sehat sakit masyarakat secara umum masih banyak
dilakukan pada keluarga secara turun temurun.
4) Sehat dan sakit atau kesehatan dalam perspektif transkultural nursing diartikan
pandangan masyarakat tentang kesehatan spesifik bergantung pada kelompok
kebudayaannya teknologi dan non-teknologi pelayanan kesehatan yang diterima
bergantung pada budaya nilai dan kepercayaan yang dianutnya.
B. Saran
Adapun saran yang penulis sampaikan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Kepada mahasiswa keperawatan hendaknya lebih memahami prisip
keperawatan transkultural serta aplikasinya baik teori mampu pelaksanaan di
lapangan.
2) Pendekatan ilmu pengetahuan hendaknya mencakup pelayanan kepada klien
sehingga profesionalitas keperawatan tetap terjaga.
3) Penggunaan alat teknologi mendukung kinerja dan tidak mengurangi pelayanan
keperawatan transkultura.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ginger, J. N. dan Davidhizar (1995). Transcultural Nursing: Asseeement and


intervention. St, Louis: Mosby, hal 1-157.

Novieastari, Enie. “Transcultural Nursing Care”.


http://staff.ui.ac.id/internal/132014715/material/

Anda mungkin juga menyukai