Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan metabolik yang ditandai

dengan hiperglikemia atau tingginya kadar gula dalam darah dan gangguan

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang diakibatkan oleh

gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, atau akibat dari keduanya

(American Diabetes Association, 2015). Diabetes melitus adalah salah satu

gangguan metabolik akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin

atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang telah diproduksi secara

efektif, yang ditandai dengan adanya peningkatan konsentrasi glukosa

darah serta biasanya disertai dengan munculnya gejala utama yang khas,

seperti terbuangnya glukosa bersama dengan urin atau dikenal dengan

glukosuria (Kemenkes RI, 2014).

International Diabetes Federation (IDF) tahun 2017 melaporkan

bahwa jumlah pasien DM di dunia pada tahun 2017 mencapai 425 juta

(IDF, 2017). Angka kejadian DM di Indonesia mengalami peningkatan

dari 6,9 % pada tahun 2013 meningkat menjadi 8,5 % pada tahun 2018

(RISKESDAS, 2018). Menurut Riskesdas tahun 2013 prevalensi DM di

Sumatera Barat yaitu 1,3 % dan meningkat pada tahun 2018 menjadi 1,6%

(RISKESDAS, 2018). Dinas Kesehatan Sumbar mencatat tahun 2018

1
sebanyak 245,105 atau 13,72% masyarakat menderita diabetes melitus

(DM). Pada Laporan Kunjungan dan Kasus PTM Kota Padang tahun 2018

mencatat 23794 kunjungan (0,2%) dan 5252 (0,16%) kasus dengan

diabetes melitus. Ini merupakan penyakit dengan jumlah kunjungan dan

kasus terbanyak setelah hipertensi pada penyakit tidak menular di Kota

Padang.

DM tipe 2 merupakan diabetes yang tidak tergantung pada insulin.

DM ini terjadi akibat adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin yang

disebut dengan resistensi insulin atau akibat penurunan jumlah produksi

insulin. DM tipe 2 ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan

obesitas meskipun dapat terjadi pada semua umur, ketosis jarang terjadi

kecuali dalam keadaan stres atau mengalami infeksi (PERKENI, 2015).

Kejadian DM tipe 2 mencapai 90-95% dari populasi dunia yang

menderita diabetes melitus (ADA, 2017). Secara global sekitar 425 juta

(8,8%) orang di seluruh dunia diperkirakan menderita DM tipe 2.

Diperkirakan penderita DM tipe 2 usia 20-79 tahun di Indonesia sebanyak

10,3 juta jiwa (IDF, 2017). Menurut Laporan Tahunan Puskesmas Andalas

Padang (2018) diperoleh pasien diabetes melitus sebanyak 2628 dengan

kasus terbanyak DM tipe II.

DM tipe 2 apabila tidak ditangani dengan baik maka akan

menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 berhubungan

dengan disfungsi makrovaskular akibat gangguan pembuluh darah besar

dan mikrovaskular akibat gangguan pembuluh darah kecil. Komplikasi

2
makrovaskular diawali oleh aterosklerosis dan manifestasinya, seperti

penyakit pembuluh darah perifer atau peripheral artery disease (PAD),

stroke dan penyakit arteri koroner. Retinopati, neuropati diabetik dan

nefropati merupakan komplikasi mikrovaskular dan penyebab utama

terjadinya kebutaan dan gagal ginjal (Paneni et al., 2013).

Peripheral artery disease (PAD) merupakan salah satu komplikasi

makrovaskuler yang sangat sering dari DM tipe 2 (ADA, 2008). Penelitian

menemukan bahwa seseorang yang menderita DM tipe 2 memiliki risiko

terkena PAD 11,6 kali lebih besar dibanding yang tidak menderita DM

(Rahman et al., 2012). Pasien dengan PAD berisiko tiga sampai empat kali

terkena penyakit kardiovaskular dibanding pasien tanpa PAD (Dachun et

al., 2010). PAD umumnya tidak terdiagnosis dan kurang mendapat

perawatan optimal. Hanya 40% pasien mengalami gejala ini dan hanya 1/3

nya melaporkan gejala ke dokter (O’Donnell et al., 2011).

PAD merupakan suatu penyakit yang menyebabkan gangguan

sirkulasi darah pada ekstremitas yang biasanya disebabkan oleh proses

aterosklerosis (Abdulhannan et al., 2012). Gangguan sirkulasi darah

perifer tersebut akan menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah

sehingga akan menghambat aliran darah, menganggu suplai oksigen, dan

nutrisi dalam darah sehingga tidak sampai ke perifer (Bare & Smeltzer,

2010). Gangguan sirkulasi ke perifer menyebabkan nekrosis jaringan dan

iskemik perifer sehingga berisiko terjadi ulkus kaki diabetik (Ningsih,

2015).

3
Pemeriksaan penunjang yang paling sederhana untuk mendeteksi

gangguan sirkulasi perifer adalah dengan menilai ankle brachial index

(ABI). Ankle brachial index adalah pemeriksaan non invasive pembuluh

darah dan merupakan sebuah metode sederhana yang berfungsi untuk

mendeteksi adanya tanda dan gejala gangguan sirkulasi perifer seperti

iskemia (AHA, 2012).

Menurut (American Diabetes Association, 2015), satu dari tiga

orang penderita DM tipe 2 yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki

masalah sirkulasi perifer, dan lebih dari 50 % mungkin tidak menunjukkan

gejala. Pencegahan dan pengobatan untuk mengatasi gangguan sirkulasi

darah ke perifer pada pasien DM Tipe 2 membutuhkan kontrol dari faktor

risiko yang dapat dimodifikasi pada penyakit ini. Hal ini termasuk

perubahan gaya hidup dan pengobatan dari penyakit DM. Tujuan dari

pengobatan ini adalah menghentikan aterosklerosis sehingga sirkulasi

darah ke perifer meningkat atau bahkan membalikkan perkembangannya

(Boudi M, 2016). Obat DM tipe 2 yang sering digunakan adalah

metformin dan glibenclamid, berperan untuk mengontrol kadar gula darah

dan dapat meningkatkan antioksidan sehingga dapat memperbaiki

aterosklerosis serta gangguan sirkulasi perifer pada pasien tersebut

(Forouzandeh, 2014). Masalah setelah penggunaan obat metformin dapat

memicu timbulnya pusing dan mual (Al Abri, 2013). Rasa pusing pada

penggunaan metformin merupakan salah satu gejala hipoglikemia (Cunha,

2015). Glibenclamid memiliki efek samping yaitu hipoglikemia (Ogbru,

2015).

4
Menurut (RISKESDAS, 2018), proporsi upaya pengendalian

diabetes melitus pada orang yang terdiagnosis DM oleh dokter adalah

pengaturan makan 80,2%, olahraga 48,1%, dan alternatif herbal 35,7%.

Dilihat dari hasil tersebut upaya pengendalian diabetes tertinggi adalah

pengaturan makan. Menurut (Setyorini, 2017) penerapan diet merupakan

salah satu komponen utama dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes,

akan tetapi sering kali menjadi kendala dalam pelayanan diabetes karena

dibutuhkan kepatuhan dan motivasi dari pasien itu sendiri. Pasien DM

menganggap bahwa diet yang dijalankan cenderung tidak menyenangkan

sehingga mereka makan sesuai dengan keinginan bila belum menunjukkan

gejala serius (Setyorini, 2017). Selain dengan pengaturan diet atau makan,

olah raga atau latihan fisik juga merupakan bentuk lain dari upaya

pengendalian kadar gula darah pada pasein DM tipe 2.

Upaya untuk meningkatkan sirkulasi darah perifer dan mengontrol

kadar gula darah dapat dilakukan dengan latihan fisik (Katsilambros,

2010). Latihan fisik merupakan prinsip dasar yang bisa dilakukan untuk

mencegah terjadinya penyakit arteri perifer pada pasien DM tipe 2

(Mellisha, 2016). Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan

menjaga kadar gula darah tetap normal serta memperlancar aliran darah

terutama pada daerah perifer. Aktivitas fisik atau berolah raga mampu

memberikan rasa nyaman, mengurangi nyeri, mengurangi kerusakan saraf

dan mengontrol gula darah serta meningkatkan sirkulasi darah pada kaki

penderita diabetes melitus (Black & Hawks, 2014). Dengan latihan fisik

yang rutin, maka sel akan terlatih dan lebih sensitif terhadap insulin

5
sehingga asupan glukosa yang dibawa glukosa transporter ke dalam sel

meningkat. Aktifitas fisik ini pula yang kemudian menurunkan kadar

glukosa puasa pada sampel yang diperiksa, hal tersebut terjadi karena

glukosa yang ada dalam darah hasil dari proses pemecahan senyawa

karbohidrat mampu digunakan secara maksimal dalam proses metabolisme

yang dilakukan oleh sel-sel otot guna untuk mencukupi kebutuhan kalori

dalam beraktivitas (Tortora & Derrickson, 2011). Menurut (Turan, 2015)

latihan fisik yang melibatkan berbagai gerak sendi atau peregangan di

segala arah dapat meningkatkan aliran darah ke ekstremitas bawah.

Latihan fisik merupakan prinsip dasar yang bisa dilakukan untuk

mencegah terjadinya PAD pada pasien DM.

Salah satu bentuk latihan fisik adalah Buerger allen exercise

(Mellisha, 2016). Buerger allen exercise merupakan sistem latihan untuk

mengatasi insufisiensi arteri tungkai bawah dengan menggunakan

perubahan gravitasi pada posisi yang diterapkan dan muscle pump yang

terdiri dari dorsofleksi dan plantarfleksi melalui gerakan aktif dari

pergelangan kaki untuk kelancaran otot pembuluh darah. Muscle pump

dengan dorsofleksi dan plantarfleksi dapat merangsang endotel untuk

mengeluarkan atau melepaskan nitrit oksida sehingga akan memberikan

sinyal ke otot polos vaskular untuk relaksasi maka pembuluh darah akan

vasodilatasi sehingga aliran darah ke perifer kaki menjadi lancar

(Purnawarman & Nurkhalis, 2014). Perubahan postural (gravitasi pada

posisi yang diterapkan) pada Buerger allen exercise akan membantu

mengosongkan dan mengisi kolom darah secara bergantian sehingga dapat

6
meningkatkan transportasi darah melalui pembuluh darah (Sherwood,

2016).

Penelitian (Abishal, 2016) menyatakan bahwa buerger allen

exercise diberikan selama 5 kali/hari dalam kurun waktu 5 hari

menunjukkan hasil terjadi peningkatan perfusi ekstremitas bawah yaitu

nilai ABI. Menurut penelitian (Jannaim et al., 2018) terjadi peningkatan

nilai ankle brachial index (ABI) setelah diberikan latihan Buerger allen

exercise pada penelitian ini adalah sebesar 0,1, dimana nilai ABI setelah

latihan berada dalam rentang normal. Menurut penelitian (Supriyadi et al.,

2018) nilai ankle brachial index sebelum diberikan Buerger allen exercise

adalah 0,84 dan mengalami peningkatan sesudah diberikan Buerger allen

exercise yaitu 0,93. Pada penelitian ini nilai ankle brachial index (ABI)

berada dalam rentang normal. Buerger allen exercise terbukti mampu

meningkatkan nilai ankle brachial index pada penderita diabetes melitus

tipe 2 yang belum mempunyai ulkus setelah latihan dengan nilai rata-rata

0,9. Buerger allen exercise memiliki pengaruh dan efektif dalam

meningkatkan nilai ABI, namun dari beberapa penelitian memiliki

responden dengan peningkatan nilai ABI yang masih rendah.

Menurut (Mahameed, 2009) nilai ABI 0,91-1,30 menunjukkan

kategori normal. Peningkatan nilai ankle brachial index kemungkinan

terjadi karena memanfaatkan gaya gravitasi untuk membantu melancarkan

peredaran darah pada kaki, dan menggunakan gerakan-gerakan sederhana

pada daerah kaki sehingga merangsang kontraksi otot. Pembuluh darah

akan berdilatasi akibat kontraksi otot tersebut, hal ini menyebabkan

7
peredaran darah di daerah kaki menjadi lancar, sehingga nilai ankle

brachial index dapat meningkat.

Latihan fisik pada DM tipe 2 juga berperan dalam pengaturan

kadar glukosa darah (Agus et al., 2008). Latihan fisik memicu ambilan

glukosa darah dalam otot sehingga kadar glukosa darah menjadi menurun

dan dapat terkontrol (Fitriani, 2007). Salah satu latihan fisik untuk

meningkatkan ambilan glukosa darah adalah Therapeutic walking

exercise. Therapeutic walking exercise merupakan salah satu jenis latihan

fisik aerobik yang ringan, aman dan dapat dilakukan kapan saja dan

dimana saja (Simanjuntak, 2019). Menurut (Barnes, 2011) saat melakukan

Therapeutic walking exercise terjadi penggunaan glukosa yang tersimpan

didalam otot. Otot akan mengambil glukosa dari darah jika jumlah glukosa

dalam otot berkurang. Hal ini menyebabkan penurunan glukosa darah

sehingga pengendalian glukosa darah meningkat. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh (Hermawan & Falahi, 2013), menunjukkan

bahwa setelah dilakukan jalan kaki 30 menit terjadi penurunan kadar

glukosa darah sebesar 14,150 mg/dl. Selain dapat menurunkan kadar gula

darah Therapeutic walking exercise juga dapat melenturkan otot dan sendi

serta ligamen disekitar kaki, pembuluh darah balik akan lebih aktif

memompa darah ke jantung sehingga sirkulasi darah ke kaki lebih lancar

untuk membawa nutrisi dan oksigen ke pembuluh darah perifer (AC

Guyton, 2002).

Jalan kaki adalah salah satu latihan yang dianjurkan untuk aktivitas

fisik. Sasaran jangka panjang yang banyak diinginkan orang dewasa

8
adalah 10.000 langkah perhari setara dengan 8 km untuk seseorang yang

panjang langkahnya rata-rata. Penelitian ini menyatakan bahwa setelah

dilakukan Therapeutic walking exercise nilai ABI yang diperoleh sebelum

melakukan latihan yaitu 0,87 dan meningkat setelah dilakukan

Therapeutic walking exercise menjadi 1,04. Hasil ini menyatakan terjadi

peningkatan nilai ABI dengan Therapeutic walking exercise sebesar 0.17.

Menurut (Yollanda & Widayati, 2016) rata-rata nilai ABI setelah

dilakukan Therapeutic walking exercise mengalami peningkatan sebesar

0,095. Hasil ini didapat dari selisih rerata sebelum melakukan latihan yaitu

0,806 dan setelah melakukan latihan yaitu 0,901. Therapeutic walking

exercise terbukti mampu meningkatkan nilai ABI. Namun dari beberapa

penelitian peningkatan nilai ABI dengan Therapeutic walking exercise

memiliki selisih nilai yang cukup rendah.

Upaya untuk meningkatkan sirkulasi darah perifer dilakukan

dengan teknik kombinasi antara therapeutic walking exercise dan buerger

allen exercise. Buerger allen exercise terbukti meningkatkan nilai ABI

karena adanya perbedaan mekanisme dari perlakuan yang diberikan

dimana Buerger allen exercise merupakan latihan gabungan dari muscle

pump yaitu dorsofleksi dan plantarfleksi yang membuat sel otot-otot polos

relaksasi maka pembuluh darah akan vasodilatasi sehingga aliran darah ke

perifer kaki menjadi lancar dan perubahan gravitasi yaitu elevasi kaki 45̊,

penurunan kaki, tidur telentang akan membantu mengosongkan dan

mengisi kolom darah secara bergantian sehingga dapat meningkatkan

transportasi darah melalui pembuluh darah (Sari et al., 2019). Therapeutic

9
walking exercise terbukti mampu meningkatkan nilai ABI karena saat

melakukan latihan ini terjadi penggunaan glukosa yang tersimpan dalam

otot. Otot akan mengambil glukosa dari darah jika jumlah glukosa dalam

otot berkurang. Hal ini menyebabkan menurunnya glukosa darah sehingga

meningkatkan meningkatkan pengendalian glukosa darah (Barnes, 2011).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Hermawan &

Falahi, 2013), menunjukkan bahwa setelah dilakukan jalan kaki 30 menit

terjadi penurunan kadar gula darah sebesar 14,150 mg/dl (Daniar, 2013).

Beberapa penelitian membuktikan latihan kombinasi efektif untuk

meningkatkan sirkulai darah perifer. Penelitian tentang teknik latihan

kombinasi yang dilakukan oleh (Rahayu, 2018) pada hasil penelitiannya

menyimpulkan teknik latihan kombinasi active lower range of motion

(ROM) dan heel raise efektif dalam meningkatkan nilai ABI dengan

selisih mean 0,1687. Pada penelitian (Utama & Setiadi, 2017) teknik

kombinasi senam kaki diabetik dan perendaman kaki dengan air hangat

efektif dalam meningkatkan nilai ABI dari rentang nilai 0,43-0,71 menjadi

0,49-0,75. Pada penelitian (Cofiana, 2018) teknik kombinasi Therapeutic

walking exercise dan rendam kaki air hangat efektif meningkatkan nilai

ABI dari 0,67 menjadi 0,77 dengan selisih mean terdapat peningkatan

sebesar 1,06.

Pada survey pendahuluan di Puskesmas Andalas Padang pada

bulan Januari 2020 didapatkan pasien dengan DM tipe 2 di Kelurahan

Kubu Dalam Parak Karakah pada tahun 2019 berjumlah 122 yaitu

sebanyak 37 orang dengan komplikasi peripheral artery disease. Rentang

10
usia pasien dengan DM tipe 2 terbanyak di Kelurahan Kubu Dalam Parak

Karakah yaitu 55-65 tahun atau kategori lansia akhir. Pemeriksaan ankle

brachial index (ABI) yang dilakukan pada 10 orang pasien DM tipe 2 pada

tanggal 20Januari 2020 di dapatkan 25% memiliki nilai ankle brachial

index (ABI) dengan statusnormal (0,9 – 1,3), 55% memiliki status

borderline (0,6 – 0,8) dan 20% memiliki status iskemia berat (0,5). Pada

saat wawancara 10 orang dari 10 orang pasien mengatakan belum pernah

di periksa ankle brachial index (ABI) dan belum pernah melakukan

Buerger allen exercise dan Therapeutic walking exercise. Upaya yang

dilakukan 10 pasien DM tipe 2 saat di wawancara untuk meningkatkan

sirkulasi darah perifer yaitu hanya dengan cara mengontrol glukosa

darahnya dengan mengkonsumsi obat hipoglikemia oral (OHO) dan 4 dari

10 orang ada yang mengikuti senam diabetik.

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis ingin melakukan penelitian

dengan mengkombinasikan dua latihan fisik untuk meningkatkan sirkulasi

darah perifer pada PAD dengan judul “ Pengaruh Buerger allen

exercisedan Therapeutic walking exercise terhadap sirkulasi darah perifer

pada pasien DM tipe 2 di Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Padang”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah

“Apakah terdapat pengaruh Buerger allen exercise dan Therapeutic

walking exercise terhadap sirkulasi darah perifer pada pasien DM tipe 2 di

Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Padang”.

11
3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh Buerger allen exercise dan

Therapeutic walking exercise terhadap sirkulasi darah perifer pada

pasien DM tipe 2

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui sirkulasi darah perifer pada pasien DM tipe 2

berdasarkan nilai ABI sebelum dilakukan Buerger allen exercise

dan Therapeutic walking exercise.

b. Untuk mengetahui sirkulasi darah perifer pada pasien DM tipe 2

berdasarkan nilai ABI setelah dilakukan Buerger allen exercise dan

Therapeutic walking exercise.

c. Untuk mengetahui pengaruh Buerger allen exercise dan

Therapeutic walking exercise terhadap sirkulasi darah perifer

berdasarkan nilai ABI pada pasien DM tipe 2.

4. Manfaat Penelitian

1. Bagi pelayanan keperawatan

Hasil penelitian diharapkan sebagai rekomendasi terapi non

farmakologi yang dapat meningkatkan sirkulasi darah perifer melalui

Buerger allen exercise dan Therapeutic walking exercise.

2. Bagi pendidikan keperawatan

12
Hasil penelitian ini dapat sebagai masukan bagi peserta didik untuk

mengetahui terapi non farmakologi dalam meningkatkan sirkulasi

darah perifer pada pasien DM dengan Buerger allen exercise dan

Therapeutic walking exercise.

3. Bagi penelitian keperawatan

Penelitian dapat dijadikan sebagai rekomendasi atau pembanding

untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan meningkatkan

sirkulasi darah perifer pada pasien DM tipe 2 untuk mencegah ulkus

diabetik.

13

Anda mungkin juga menyukai