Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

International Diabetes Federation (2019) menyatakan bahwa

terdapat 463 juta orang yang hidup dengan Diabetes Mellitus di tahun

2019, diperkirakan akan terjadi peningkatan kasus sebanyak 700 juta

orang di tahun 2045. Berdasarkan jumlah penderita Diabetes Mellitus,

Indonesia berada di urutan ke7 dari 10 negara dengan jumlah penderita

tertinggi setelah China, India, Amerika, Pakistan, Brazil dan Mexico yaitu

sebanyak 10,7 juta jiwa.

Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa Diabetes Mellitus

merupakan penyakit kronis keempat di Indonesia. Prevalensi Diabetes

Mellitus meningkat secara signifkan dari tahun 2013 hingga tahun 2018.

Berdasarkan diagnosa dokter meningkat dari 1,5% pada tahun 2013

menjadi 2% pada tahun 2018, berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa

darah meningkat dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun

2018. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi tertinggi (3,4 %)

sementara Sumatera Barat berada di urutan ke 22 dari 35 provinsi dengan

prevalensi total yaitu 1,6% (Kementerian Kesehatan RI, 2018).

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat prevalensi

Diabetes Mellitus di Indonesia dari tahun 2013 hingga tahun 2018

mengalami peningkatan yang signifikan dengan prevalensi 1,5% di tahun

2013 dan 2% di tahun 2018. Sumatera Barat berada di urutan ke 22 dari 34


provinsi dengan prevalensi total yaitu 1,6% (Kementerian Kesehatan RI,

2018). Kota Padang merupakan wilayah dengan kasus Diabetes tertinggi

di Sumatera Barat dengan 5.252 kasus di tahun 2018 dan mengalami

peningkatan di tahun 2019 yaitu ditemukan 17.017 kasus (Dinas

Kesehatan Kota Padang, 2019). Situasi tersebut sudah seharusnya dapat

dijadikan acuan kepada semua pihak termasuk pelayanan kesehatan untuk

dapat melakukan penatalaksanaan yang tepat dalam mengurangi angka

penderita Diabetes Mellitus.

Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronis tidak menular yang

terjadi akibat tingginya kadar gula darah (hyperglikemia) karena adanya

gangguan aktivitas insulin maupun kurangnya sekresi insulin. Insulin

sendiri berfungsi sebagai hormon untuk mengatur keseimbangan gula

darah (Hartanti, 2013). Diabetes dapat muncul gejala khas seperti sering

merasa haus, sering buang air kecil, penglihatan kabur, penurunan berat

badan, dan infeksi pada kelamin (WHO, 2019). Komplikasi dapat terjadi

pada Diabetes Mellitus berupa gangguan sistem saraf/neuropati, dan

gangguan pada pembuluh darah (makrovaskular dan mikrovaskular).

Komplikasi makrovaskular pada umumnya dapat menyerang organ otak,

jantung, dan pembuluh darah, sedangkan mikrovaskular dapat terjadi pada

organ mata dan ginjal (PERKENI, 2019).

Berdasarkan penelitian Saputri(2020) di Rumah Sakit Pertamina

Bintang Amin, Bandar Lampung dari 72 orang responden didapatkan

sebanyak 43 pasien (59,7%) mengalami komplikasi diabetes dimana

distribusi frekuensinya yaitu komplikasi akut ketoasidosis diabetik 6


pasien (8,3%), hipoglikemia 8 pasien (11,1%). Komplikasi mikrovaskuler

yaitu neuropati 5 pasien (6,9%), retinopati 8 pasien (11,1%) dan nefropati

11 pasien (15,3%). Komplikasi makrovaskuler yaitu serebrovaskuler 3

pasien (4,2%), penyakit jantung koroner 8 pasien (11,1%), dan ulkus 20

pasien (27,8%). Penyebab kematian ke empat di dunia adalah komplikasi

yang disebabkan oleh Diabetes Mellitus (Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia, 2019).

Penderita DM dalam mencegah terjadinya komplikasi,

dilakukannya self-management diabetes yaitu tindakan yang dilakukan

perorangan untuk mengontrol diabetes meliputi tindakan pengobatan dan

pencegahan komplikasi. Self-care merupakan upaya mempertahankan

kesehatan dengan melakukan perawatan diri baik secara fisik maupun

psikologis (Hartono, 2019). Menurut badan kesehatan World Health

Organization (WHO) Self-care merupakan upaya untuk menjaga

kesehatan, mencegah timbulnya penyakit, meningkatkan status kesehatan,

dan mengatasi kecacatan sesuai dengan kemampuan individu, keluarga,

dan masyarakat dengan atau tanpa dukungan penyedia layanan kesehatan.

Seorang yang menderita Diabetes Mellitus bertanggung jawab dalam

menjalankan tindakan atau program self-care activity selama

kehidupannya (Tharek et al., 2018).

Di Indonesia self-care pada penderita Diabetes Mellitus belum

optimal.Penelitian yang dilakukan Windani, Abdul & Rosidin (2019) di

Puskesmas Taragong, Kabupaten Garut pada 138 pasien DM tipe 2

perilaku self-care pada pasien Diabetes Mellitus rata-rata berada pada


tingkat sedang yaitu ; berdasarkan diet sebanyak 14,5% (baik), 48,6%

(sedang) dan 37,0% (buruk). Perilaku self-care berdasarkan pengobatan

sebesar44,2% (baik),16,7%(sedang) dan 39,1% (buruk), Perilaku self-care

management berdasarkan latihan fisik sebesar 1,4% (baik), 98,6%

(sedang) dan tidak ada yang buruk , Perilaku self-care manegement

berdasarkan pemantauan gula darah sebesar 16,7% (baik), 50,0% (sedang)

dan 33,3% (buruk).Perilaku self- care management berdasarkan perawatan

kaki sebesar 4,3% (baik), 94,9% (sedang) dan 7% (buruk). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Putri (2017) menyatakan bahwa sebagian

penderita Diabetes Mellitus di Puskesmas Srondol Semarang telah

menyadari pentingnya self-care management diabetes, namun sebagian

pasien dalam penerapannya masih belum menjalankan beberapa aspek

self-care management secara optimal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Lenni Sastra dan Lola despitasari menunjukkan bahwa 56.7% responden

memiliki self care management yang kurang baik, 50% responden dengan

self care agency kurang baik, 46.7% responden dengan self efficacy

kurang baik dan 61.7% responden dengan diabetes knowledge kurang

baik. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa antara perilaku self care

baik dan perilaku self care kurang memiliki distribusi frekuensi hampir

sama pada penderita DM. Pada kategori self care baik sebesar 50,4% dan

self care kurang sebesar 49,6%.

Diabetes mellitus mencangkup diet, latihan fisik, aktivitas spiritual,

medikasi, pemantauan glukosa darah dan perawatan kaki (Lenni, Afrizal,

Adella, 2011). Pengelolaan atau manajemen diri diabetes merupakan hal


yang sangat penting bagi setiap individu dalam pengelolaan penyakit ini

serta penting dalam mengendalikan dan mencegah komplikasi diabetes

(Astuti, 2014).

Salah satu hal yang penting dilakukan pada penderita Diabetes

Mellitus untuk memperbaiki self management adalah kebutuhan spiritual.

Spiritual merupakan hubungan antar manusia dengan Tuhannya dengan

melakukan kegiatan sesuai agama dan kepercayaan setiap manusia.

Spiritual bisa dijadikan sumber harapan bagi seseorang ketika menghadapi

rasa sakit dan merasa menderita (Zehtab & Adib-Hajbaghery, 2014).

Semakin baik spiritual yang dilakukan maka akan semakin baik kualitas

hidup penderita Diabetes Mellitus (Mu’in & Wijayanti, 2015). Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara

kesejahteraan spiritual dengan manajemen diabetes seperti kontrol gula

darah dan manajemen diri (Ardian, 2016). Penelitian dari Gupta, et al.

(2014) tentang peranan spiritual dalam manajemen kesehatan pada pasien

diabetes menunjukan terdapat peranan yang cukup signifikan. Penelitian

lain yang dilakukan pada orang Afrika- Amerika terkait hubungan spiritual

dengan diabetes menunjukan bahwa pentingnya spiritual berdampak baik

pada perawatan diri diabetes Melilitus.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nadiva Salsabila tahun 2021

didaptkan responden dengan pemeriksaan gula darah puasa normal

mayoritas memiliki tingkat spiritual sedang yaitu sebanyak 84 orang

(21%), dari 295 responden pemeriksaan gula darah puasa hiperglikemi

mayoritas memiliki tingkat spiritual tinggi yaitu sebanyak 152 orang


(38%), dari 108 responden pemeriksaan gula darah 2 jam normal

mayoritas memiliki tingkat spiritual sedang yaitu sebanyak 73 orang

(18,25%), dari 278 responden pemeriksaan gula darah 2 jam hiperglikemi

mayoritas memiliki tingkat spiritual tinggi yaitu sebanyak 142 orang

(35,7%), dari 119 responden pemeriksaan gula darah sewaktu normal

mayoritas memiliki tingkat spiritual sedang yaitu sebanyak 104 orang

(25,9%), dan dari 273 responden pemeriksaan gula darah sewaktu

hiperglikemi mayoritas memiliki tingkat spiritual tinggi yaitu sebanyak

142 orang (35,6%). dalam penelitian ini ada 41 orang (10,3%) penderita

Diabetes Mellitus yang mayoritas berada pada usia dewasa memiliki

tingkat spiritual rendah. Peneliti berpendapat bahwa usia, pendidikan,

pekerjaan, dan lama menderita DM dapat berpengaruh pada aktivitas

spiritual mereka. Hal ini sejalan dengan pernyataan Cahyono (2013) yang

mengatakan apabila seseorang semakin tumbuh dan semakin dewasa maka

pengalaman dan pengetahuan spiritual tersebut semakin berkembang

karena spiritual berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari seorang

individu. Akbari et al. (2020) menjelaskan bahwa perlunya seorang

perawat dalam meningkatkan perawatan spiritual dan memasukkannya ke

dalam intervensi rutin kepada pasien karena dimensi spiritual pada

manusia sangat mempengaruhi mereka secara keseluruhan kesehatan

Asadzandi (2017) menjelaskan bahwa manusia telah menunjukkan pada

saat menderita, manusia selalu mendekatkan diri pada ilahi.

Penelitian oleh Reynold et al. (2014) di Amsterdan telah

membuktikan bahwa manusia dengan penyakit kronis seperti Diabetes


Mellitus menggunakan spiritual mereka sebagai cara mengatasi penyakit,

menciptakan rasa tujuan dalam hidup, mengurangi rasa penderitaan dan

keputusasaan, dan mengelola penyakit mereka dengan baik. Seseorang

yang telah lama menderita Diabetes Mellitus lebih bisa menyesuaikan

setiap perubahan yang terjadi akibat penyakitnya dibanding dengan

seorang yang baru menderita Diabetes Mellitus (Yulia, 2020).

Penyakit DM adalah penyakit seumur hidup, Segala macam

aktivitas yang menuntut rutinitas dalam watu lama sangat berisiko untuk

terjadinya kejenuhan, bosan, dan terlebih aktivitas tersebut membutuhkan

biaya yang banyak. Pada saat kebosanan terjadi maka sangat mungkin

timbul niat untuk melanggar kepatuhan terhadap self-management diabetes

(Sutedjo, 2010). Melihat banyaknya komplikasi yang timbul bila penderita

tidak mampu mengontrol diri terhadap penyakit, maka penderita DM harus

memiliki kesadaran diri bahwa akibat yang ditimbulkan akan lebih fatal

dan justru akan merugikan diri sendiri serta keluarga (Sutedjo, 2010).

(Zohar and Marshall, 2005) Menjelaskan kesadaran diri termasuk dalam

salah satu ciri-ciri kecerdasan spiritual seseorang. Kecerdasan spiritual

adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna

dan nilai (Zohar and Marshall, 2007) .

Kecerdasan spiritual penting guna dalam kehidupan seseorang

dengan memiliki kecerdasan spiritual maka seseorang akan dapat

berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku dan juga sesuai dengan hati

nurani, selain itu juga dapat menghindari seseorang dari perilaku yang

melanggar hukum maupun hati nurani. Orang dengan kecerdasan spiritual


yang baik juga akan lebih mampu menjalani hidup dengan lebih baik,

mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dan bermakna, dan juga

memiliki pegangan dalam menjalankan kehidupan (Mariska, 2008).

Kecerdasan spiritual merupakan kapasitas dari otak manusia yang

memberi kemampuan dasar untuk membentuk makna, nilai, dan

keyakinan. Keyakinan tersebut yang akan membentuk pikiran bawah sadar

yang selanjutnya akan menimbulkan energi yang dapat meningkatkan

ketenangan dalam menghadapi sesuatu (Agustian, 2006). Kecerdasan

spiritual akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam berespon serta

dapat digunakan dalam masalah yang krisis dalam hidup seseorang.

Kecerdasan spiritual merupakan dimensi untuk mendapatkan

kekuatan ketika menghadapi depresi, penyakit fisik dan masalah psikis

seseorang Zohar and Marshall, 2007). Dengan adanya kecerdasan spiritual

yang dimiliki penderita DM maka diharapkan dapat meningkatkan self

management (kontrol diri) pada penderita DM sehingga komplikasi dapat

terkendali atau tidak terjadi. Self care dalam pasien dengan penyakit kronis

merupakan hal yang kompleks, dan sangat dibutuhkan untuk keberhasilan

manajemen serta kontrol dari penyakit kronis (Larsen & Lubkin, 2009

dalam Nursalam, 2017). Rahmanian et al., 2017 menjelaskan dalam

penelitiannya tentang “Peran prediktif kecerdasan spiritual dalam

manajemen diri pada remaja dengan diabetes tipe 1” menunjukkan hasil

bahwa kecerdasan spiritual dapat memprediksi diabetes manajemen diri

dan memiliki peran yang menentukan dalam meningkatkan kesehatan

remaja dengan diabetes.


Dari latar belakang permasalahan tersebut, peneliti akan

melakukan penelitian tentang hubungan kecerdasan spiritual dengan self

management pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2.

Anda mungkin juga menyukai