Anda di halaman 1dari 22

APLIKASI TEORI TRANSCULTURAL NURSING

DALAM PROSES KEPERAWATAN

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada abad ke-21,


termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin
besar. Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara
(imigrasi) dimungkinkan, menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutan
asuhan keperawatan.
Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan body of knowledge yang kuat,
yang dapat dikembangkan serta dapat diaplikasikan dalam praktek keperawatan.
Perkembangan teori keperawatan terbagi menjadi 4 level perkembangan yaitu
metha theory, grand theory, midle range theory dan practice theory.
Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah
Transcultural Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan
dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep
keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai
kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah
penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan
asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan
mengakibatkan terjadinya cultural shock.
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat
tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini
dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan
beberapa mengalami disorientasi. Salah satu contoh yang sering ditemukan adalah
ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada beberapa daerah atau negara
diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa nyerinya dengan berteriak
atau menangis. Tetapi karena perawat memiliki kebiasaan bila merasa nyeri hanya
dengan meringis pelan, bila berteriak atau menangis akan dianggap tidak sopan,
maka ketika ia mendapati klien tersebut menangis atau berteriak, maka perawat
akan memintanya untuk bersuara pelan-pelan, atau memintanya berdoa atau malah
memarahi pasien karena dianggap telah mengganggu pasien lainnya. Kebutaan
budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas
pelayanan keperawatan yang diberikan.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan proses asuhan keperawatan menggunakan teori
Transcultural Nursing.
2. Tujuan Khusus
a. Mengaplikasikan pengkajian asuhan keperawatan menggunakan teori
Transcultural Nursing
b. Mengaplikasikan penegakan diagnosa keperawatan menggunakan teori
Transcultural Nursing
c. Mengaplikasikan perencanaan asuhan keperawatan menggunakan teori
Transcultural Nursing
d. Mengaplikasikan pelaksanaan asuhan keperawatan menggunakan teori
Transcultural Nursing
e. Mengaplikasikan evaluasi asuhan keperawatan menggunakan teori
Transcultural Nursing

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada
proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan
untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya
kepada manusia (Leininger, 2002).
Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi
dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan
keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam
memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinya
diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan,
masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara
umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan
bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang
universal dimana ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu
tempat dengan tempat lainnya.

B. Konsep dalam Transcultural Nursing


1. Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang
dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan
mengambil keputusan.
2. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan
atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan
melandasi tindakan dan keputusan.
3. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang
optimal daei pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan
variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan
budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan
termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan
individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
4. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap
bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki
oleh orang lain.
5. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
6. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada
mendiskreditkan asal muasal manusia
7. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi
pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan
kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan
dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling
memberikan timbal balik diantara keduanya.
8. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan,
dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian
untuk memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan
kondisi dan kualitas kehidupan manusia.
9. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,
mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan
yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan
manusia.
10. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung
atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk
mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup
dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.
11. Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan
untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain
karena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada
kelompok lain.

C. Paradigma Transcultural Nursing


Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai
cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep
sentral keperawatan yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrew
and Boyle, 1995).
1. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai
dan norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan
melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki
kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun
dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).
2. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu
keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk
menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi
dalam aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama
yaitu ingin mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang
adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
3. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang
sebagai suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling
berinteraksi. Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik.
Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti
daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di
daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari
sepanjang tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang
berhubungan dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam
masyarakat yang lebih luas. Di dalam lingkungan sosial individu harus
mengikuti struktur dan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan tersebut.
Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang
menyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik, seni,
riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan.
4. Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang
budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memnadirikan individu sesuai
dengan budaya klien. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan
adalah perlindungan/mempertahankan budaya, mengakomodasi/negoasiasi
budaya dan mengubah/mengganti budaya klien (Leininger, 1991).
a. Cara I : Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan
sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga
klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya,
misalnya budaya berolahraga setiap pagi.
b. Cara II : Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih
dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan
kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang
berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang
lain.
c. Cara III : Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya
hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana
hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan
keyakinan yang dianut.
Gambar 1
LEININGER’S SUNRISE MODEL TO DEPICT THEORY OF CULTURE CARE
DIVERSITY AND UNIVERSALITY

CULTURE CARE
WORLDVIEW

Cultural & Sisuak Structure Dimentions

Cultural
Value &
Kinships lifeways Political
& Sosial &
Factor Legal
Factor

Religious,
Philosophi Economic
cal Faktor Factors

Influences
Care Expression,
Patterns & Praktices

Technological
Factor Educational
Holistic Health (well being)
Factor

Individual, Families, groups, communities, & Institutions


In
Diverse health Systems

Generic
Or Folk Nursing Profesional
Systems Care Systems

Nursing Care Decisions & Action

Culture Care Preservation/maintanance


Culture Care Accomodation/negotiations
Culture Care Repatterning/restructuring

Culture Congruent Nursing Care


Health & Well being
Proses keperawatan Transcultural Nursing
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan
asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari
terbit (Sunrise Model) seperti yang terdapat pada gambar 1. Geisser (1991)
menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai
landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and
Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi
masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and
Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada
pada ”Sunrise Model” yaitu :
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau
mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan
berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan
kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien
tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang
amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang
sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di
atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat
adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien
terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang
berdampak positif terhadap kesehatan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama
lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan
hubungan klien dengan kepala keluarga.

d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan
oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma
budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas
pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah :
posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang
digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi
sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan
membersihkan diri.
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala
sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan
keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji
pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan
jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara
pembayaran untuk klien yang dirawat.
f. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber
material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh.
Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan
klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,
biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor
atau patungan antar anggota keluarga.
g. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-
bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi
terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang
perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis
pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri
tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang
budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi
keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosa
keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural
yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur,
gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan
ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang
diyakini.

3. Perencanaan dan Pelaksanaan


Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah
suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah
suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah
melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang budaya klien (Giger
and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam
keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu : mempertahankan
budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan
kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang
menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang
dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.
a. Cultural care preservation/maintenance
1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang
proses melahirkan dan perawatan bayi
2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b. Cultural careaccomodation/negotiation
1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana
kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien
dan standar etik

c. Cultual care repartening/reconstruction


1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang
diberikan dan melaksanakannya
2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok
3) Gunakan pihak ketiga bila perlu
4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan
yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua
5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan
Perawat dan klien harus mncoba untuk memahami budaya masing-
masing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka.
Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak
percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan
menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.

4. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau
beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan
budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
ANALISA KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas klien
Nama : Ny. N
Usia : 22 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan :-
Suku : Sunda
Alamat : Kp. Lebak Desa Tanjung kerta,
Sukamantri, Panjalu
Diagnosa Medis : Post Natal 1 hari (G 2P2A0)

b. Identitas penanggung jawab


Nama : Tn. K
Usia : 23 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku : Sunda
Alamat : Kp. Lebak Dusun Kersamenak,
Desa Tanjungkerta, Sukamantri,
Panjalu, Jawa Barat
Hubungan dengan : Suami
klien

2. Riwayat kesehatan sekarang


Klien post natal 1 hari, melahirkan di bidan pukul 22.00 WIB dengan usia
kehamilan 40 minggu. Kehamilan yang kedua dan diharapkan oleh pasangan
suami istri. Mulai merasakan mulas sejak pukul 12.00 dinihari, berharap dapat
melahirkan di dukun beranak (indung beurang). Pukul 04.00 klien merasakan
adanya cairan yang keluar dari kemaluannya, berwarna bening, oleh dukun
Beranak dicoba untuk mengeluarkan bayi dengan cara diurut dari bagian atas
perut, minum air kelapa muda tetapi ternyata bayi tidak mau keluar. Setelah
klien kecapaian dan tidak ada tenaga lagi untuk mengejan oleh indung beurang
klien dibawa ke puskesmas yang berjarak 50 km (1 jam perjalanan
menggunakan ojek) dari tempat tinggal klien. Setelah dirangsang bayi keluar
pukul 22.00 di puskesmas. Keluarga memaksa membawa pulang bayi dan ibu
yang baru melahirkan karena menurutnya bayi tidak boleh berada terlalu lama
di luar rumah.
3. Faktor teknologi
Klien memeriksakan kehamilannya kepada indung beurang dan melahirkan
disana. Sebelum kehamilan klien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi
dan setelah melahirkan klien dan suami berencana menggunakan alat KB
tradisional yaitu dengan meminum bunga pohon jati yang telah direbus.
4. Faktor agama dan falsafah hidup
Klien menyatakan beragama Islam, percaya kepada ilmu sihir dan hal-hal
gaib. Klien percaya bila bayinya dibawa terlalu lama dari rumah maka bayinya
akan hilang dibawa gendolwewe atau kalongwewe. Biasanya bayi tersebut
akan dibawa selepas maghrib, karena menurut mereka bayi masih berbau amis
dan mahluk gaib sangat menyukai hal-hal yang berbau amis. Bayi tersebut
biasanya digunakan tumbal oleh mereka yang memuja ingin awet muda.
Biasanya bagi keluarga yang baru saja memiliki bayi akan menggunakan
tradisi ”meutingan” yaitu tradisi menginap di rumah keluarga yang baru saja
melahirkan. Mereka biasanya ngaos (membaca ayat-ayat suci Al Qur’an)
selama 7 hari 7 malam yang dimulai selepas maghrib sampai dengan Isya.
Mereka percaya dengan cara tersebut bayi yang baru saja lahir tidak akan
hilang.
5. Faktor sosial dan keterikatan keluarga
Hubungan kekerabatan masih sangat kuat terutama dari keluarga perempuan.
Ibu dari pihak wanita, uwak (kakak orangtua wanita), bibi (adek dari orang
tua) akan menginap dan mendukung anak wanitanya yang baru saja
melahirkan samapi dengan bayi berusia 1 minggu. Keputusan dalam keluarga
dipegang oleh suami. Biasanya pasangan akan menanyakan terlebih dahulu
kepada orang tua masing-masing bagaimana yang terbaik, tetapi keputusan
tetap diambil oleh suami. Selama proses setelah melahirkan sampai dengan 40
hari biasanya akan tinggal di pihak suami.
6. Faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda. Wanita setelah melahirkan
pantang makan-makanan yang berbau hanyir (amis) seperti ikan, telur karena
akan menyebabkan proses penyembuhan pada alat kelamin akan lama (sulit
kering). Ibu diwajibkan menggunakan kain panjang (stagen) agar perut ibu
dapat kembali seperti keadaan semua sebelum hamil selama 3 bulan. Bagi
bayi, sebelum berusia 40 hari bayi akan dipasangkan bawang putih, peniti,
jarum dan gunting yang dimasukkan ke dalam kantong (buntel kadut) dan
disematkan pada baju bayi. Pada saat kelahiran anak pertama ibu membuang
air susu pertama yang masih berwarna bening (colostrum) karena menurut ibu
dan orang tua bayi akan mengalami keracunan dan mati. Bayi yang belum
diberi ASI akan diberi air gula jawa sampai usia ± 3 hari, bahkan anak yang
pertema pada hari kedua diberi makan dengan pisang karena bayinya yang
masih lapar meskipun sudah diberi air gula jawa. Untuk plasenta bayi, orang
tua bayi akan mencuci sampai bersih, diberi perlengkapan (tujuh potong
kain perca dengan warna berbeda), dibungkus dengan kain putih bersih dan
dikubur dibelakang rumah. Selama 7 hari 7 malam diberi penerangan dengan
tujuan agar bayi yang baru lahir juga akan terang. Mereka percaya bahwa bali
adalah saudara muda yang akan mendampingi bayi dalam keadaan suka dan
duka.
7. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku
Indung beurang adalah wanita yang sangat dihormati oleh masyarakat
setempat. Pada saat proses kehamilan dan melahirkan, wanita di daerah
tersebut diwajibkan untuk berobat hanya pada indung beurang, bila berobat ke
petugas kesehatan meskipun dekat akan dikucilkan oleh warga setempat.
Selama 7 hari setelah bayi lahir, indung beurang akan datang setiap hari ke
rumah bayi untuk memandikan bayi, mengurut bayi dan merawat tali pusat
bayi.

8. Faktor ekonomi
Keduanya adalah pasangan muda, yang mencari nafkah hanya laki-laki,
bekerja dengan cara merantau ke daerah lain untuk berdagang. Kehadiran
mertua dan ibu dari pihak wanita sangat membantu ibu dalam perawatan bayi.
Biaya persalinan ditanggung bersama-sama antara keluarga perempuan dan
laki-laki.
9. Faktor pendidikan
Pendidikan keduanya adalah SD, mereka tidak mengetahui adanya kontrasepsi
modern karena selama pendidikan belum pernah mendengar alat kontrasepsi
modern. Keluarga tidak punya biaya untuk menyekolahkan ke SMP karena
untuk sekolah ke SMP sangat jauh dan mengeluarkan biaya yang cukup besar
untuk sekali berangkat ke sekolah.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang dapat ditegakkan pada kasus ini adalah : resiko ketidakpatuhan
dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.

C. Perencanaan dan Pelaksanaan


Berdasarkan data-data yang ada dimana ibu melahirkan anak yang kedua, anak
pertama tidak diberi ASI colostrum, diberi makan pisang maka tindakan yang
harus dilakukan adalah :
a. Cultural care preservation/maintenance
1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses
melahirkan dan perawatan bayi
2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b. Cultural care accomodation/negotiation
1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2) Jelaskan tentang pentingnya makan-makanan yang mengandung protein.
Ikan dan telur boleh saja tidak dimakan tetapi harus diganti dengan
tempe dan tahu, kalau bisa sekali-kali makan daging ayam untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani baik kepada orang tua maupun
keluarga klien.
3) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
c. Cultual care repartening/reconstruction
1) Jelaskan kepada klien tentang pentingnya pemberian colostrum untuk
meningkatkan pertahanan tubuh bayi.
2) Jelaskan kepada klien akan pentingnya pemberian ASI exclusive sampai
dengan 6 bulan, tanpa pemberian makanan tambahan lain, hanya ASI.
3) Gunakan gambar-gambar yang lebih mudah dipahami oleh klien
4) Jelaskan pada klien bahwasanya pemberian pisang pada hari kedua akan
sangat membahayakan kesehatan pencernaan bayi dan berikan contoh-
contoh dimana bayi yang bayu lahir diberi makan pisang dapat
mengakibatkan kematian.
5) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan
dan melaksanakannya
6) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok
7) Gunakan pihak ketiga misalnya keluarga yang sekolah sampai ke tahap
SMA atau pada saat menjelaskan juga menghadirkan kepala desa sebagai
pemimpin di daerah tersebut.
8) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang
dapat dipahami oleh klien dan orang tua
9) Berikan informasi pada klien tentang sarana kesehatan yang dapat
dugunakan misalnya imunisasi di Puskesmas untuk melindungi bayi dari
berbagai penyakit mematikan.

D. Evaluasi
Evaluasi dilakukan terhadap peningkatan pemahaman klien tentang :
1. Makan-makan protein nabati seperti tempe dan tahu dan makan protein
hewani selain ikan dan telur misalnya daging ayam.
2. Pemberian ASI (colostrum) kepada bayi, setelah diberikan penjelasan ibu
tidak lagi membuang ASI colostrumnya tetapi justru memberikannya kepada
bayi.
3. Tidak lagi memberi makan pisang kepada bayi meskipun bayi tersebut
menangis. Makanan yang diberikan hanyalah ASI sampai dengan 6 bulan (ASI
exclusive)

PEMBAHASAN

Proses keperawatan adalah suatu tahapan desain tindakan yang ditujukan


untuk memenuhi tujuan keperawatan yang meliputi : mempertahankan keadaan
kesehatan klien yang optimal, apabila keadaannya berubah membuat suatu jumlah dan
kualitas tindakan keperawatan terhadap kondisinya guna kembali ke keadaan yang
normal. Jika kesehatan yang optimal tidak dapat tercapai, proses keperawatan harus
dapat memfasilitasi kualitas kehidupan yang maksimal berdasarkan keadaannya untuk
mencapai derajat kehidupan yang lebih tinggi selama hidupnya (Iyer et al, 1996).
Pearson (1996) menyatakan konsep proses keperawatan dalam konteks budaya
mendefinisikan sebagai siklus, ada saling keterkaitan antar elemen proses
keperawatan dan bersifat dinamis (Royal College Nursing, 2006). Keperawatan
transkultural adalah suatu proses pemberian asuhan keperawatan yang difokuskan
kepada individu dan kelompok untuk mempertahankan, meningkatkan perilaku sehat
sesuai dengan latar belakang budaya. Sehingga didapatkan kesinambungan antara
proses keperawatan dengan keperawatan transkultural.
Kasus yang dibahas pada makalah ini adalah kasus pada pasien pasca
melahirkan. Kasus ini pada umumnya menggunakan format pengkajian pasca
melahirkan Penggunaan format pengkajian ini pada umumnya hanya melihat
kebutuhan fisik pada ibu melahirkan. Penggunaan pengkajian aspek budaya pada saat
ini dianggap penting karena bila perawat tidak melihat konteks budaya maka pasien
mungkin saja mengikuti apa yang dianjurkan oleh perawat tetapi hanya pada saat
dirawat, setelah kembali ke rumah karena kuatnya pengaruh budaya maka pasien akan
kembali kepada budayanya sendiri. Bila hal ini terjadi maka tujuan dari asuhan
keperawatan tidak akan tercapai.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Iyer, Taptich &
Bernochi). Pengkajian pada konteks budaya didefinisikan sebagai proses
mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai
dengan latar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Pengkajian
dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada ”Sunrise Model” yaitu : 1)
Faktor teknologi, 2) Faktor agama dan filosofi, 3) Faktor sosial dan kekerabatan
keluarga, 4) Nilai budaya dan gaya hidup, 5) Faktor ekonomi, 6) Faktor
pendidikan dan 7) Faktor politik dan peraturan yang berlaku.
1. Faktor teknologi
Faktor ini menguraikan alasan klien memilih pengobatan tradisional. Pada
kasus tersebut mungkin disebabkan karena tempat tinggal klien yang cukup
jauh dari pusat kota, ketiadaan pelayanan kesehatan dan didukung pula oleh
adanya peraturan yang tidak tertulis bila berobat ke petugas kesehatan akan
dikucilkan oleh masyarakat setempat. Penggunaan rebusan air daun jati untuk
menjrangkan kehamilan menurut pasien dianggap cukup efektif dan terbukti
dengan jarak antara putra pertama dengan kedua yang cukup jauh yaitu 7
tahun (menikah pada usia 15 tahun, memiliki anak pertama usia 16 tahun dan
sekarang adalah kehamilan kedua).
2. Faktor agama dan falsafah hidup
Meskipun pasien beragama Islam tetapi karena kuatnya budaya membuat ia
percaya akan hal-hal gaib. Meskipun pada saat itu belum diperbolehkan
pulang pasien memaksa untuk pulang karena pasien tidak menghendaki
kejadian yang menimpa tetangganya terjadi pula pada dirinya. Penggunaan
bawang putih dan lainnya ditujukan untuk menolak bala. Bila dilihat dari
aspek medis dan penjelasan ilmiah maka hal tersebut tidak dapat dipercaya.
Tetapi sebagai perawat yang memahami konteks budaya maka tidak dapat
dipaksakan untuk tidak menggunakan seperangkat alat penolak bala. Bila
dilihat dari efek negatif terhadap kesehatan, penggunaan seperangkat alat yang
ditempelkan di baju bayi tidak membahayakan kondisi kesehatan bayi. Hanya
saja mungkin bau yang menyengat akan mengganggu rasa nyaman baik ibu
maupun bayi.
3. Faktor sosial dan keterikatan keluarga
Keterikatan keluarga pada kasus ini cukup kuat. Perawat yang tidak
mengetahui konteks budaya mungkin akan mengabaikan peran keluarga dalam
pengambilan keputusan. Keputusan yang dianggap penting adalah ibu dan
suami. Tetapi dalam konteks ini ternyata bukan ibu bayi yang paling berperan
dalam pengambilan keputusan melainkan suami dan pihak dari keluarga
suami. Sehingga perawat hendaknya pada saat akan merencanakan suatu
tindakan yang berhubungan dengan pasien juga melibatkan keluarga terutama
dari pihak suami. Sehingga tindakan yang diberikan dapat dilaksanakan dan
dengan dukungan dari keluarga.
4. Nilai budaya dan gaya hidup
Nilai budaya dan gaya hidup yang dimiliki oelh pasien dari kasus yang ada
nampak sangat bertentangan dengan kesehatan. Hal ini jelas terlihat dari
dibuangnya ASI pertama karena dapat menyebabkan kematian, pemberian
pisang pada hari-hari pertama bayi lahir karena dianggap bayi lapar. Kedua hal
tersebut sangat tidak sesuai dengan kesehatan. Colostrum yang seharusnya
diberikan dan tidak diberikan makanan lain selain ASI justru dilaksanakan
oleh pasie (ibu). Untuk mengatasi hal tersebut maka harus ada tindakan yang
dapat mengubah pola pandang keluarga berkaitan dengan budaya yang
diyakini. Tetapi tentu saja pelaksanaan ini harus dilaksanakan dengan sangat
hati-hati agar tidak menimbulkan ketidaksukaan kepada perawat.
5. Faktor politik dan peraturan yang berlaku
Hasil pengkajian didapatkan bahwasanya indung beurang sangat memiliki
pengaruh di daerah dimana pasien tersebut tinggal. Perawat bila akan
melakukan intervensi terhadap masalah ini tentunya harus melibatkan orang
ketiga yang dianggap cukup berpengaruh sehingga tidak menimbulkan
ancaman baik kepada petugas kesehatan maupun kepada pasien itu sendiri.
Bila hal ini tidak diperhatikan maka ada kemungkinan pasien tidak akan
melakukan apa yang telah disarankan perawat.
6. Faktor ekonomi
Hasil pengkajian didapatkan keinginan keluarga untuk mengatasi masalah
pasien dalam hal keuangan. Hubungan kekerabatan yang sangat kuat dalam
keluarga menyebabkan pasien tidak mengalami kesulitan untuk membayar
biaya persalinan. Kekuatan ini sebaiknya dimanfaatkan oleh perawat apabila
nantinya pasien mau mengikuti saran dari perawat misalnya mau mengikuti
program KB dengan penggunaan teknologi yang ada. Tetapi tentunya hal ini
harus mendapatkan dukungan dari keluarga.
7. Faktor pendidikan
Pendidikan pasien dan suami hanyalah lulusan SD. Hal ini menyebabkan
proses penerimaan pesan yang disampaikan oleh perawat akan sulit dicerna
oleh pasien. Sehingga dalam pemberian informasi, perawat hendaknya
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien. Hal ini diperparah
lagi oleh ketiadaan informasi ke daerah tersebut sehingga pasien tidak
mengetahui bahwasanya ada cara baru dalam menjarangkan kehamilan yaitu
alat kontrasepsi.

B. Diagnosa Keperawatan
Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan
keperawatan transkultural yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan
dengan perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi
sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem
nilai yang diyakini. Pada kasus ini diagnosa yang diangkat adalah resiko
ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
Diagnosa ini diangkat berdasarkan data yaitu ASI (colostrum) tidak diberikan
kepada bayi, diberikannya pisang pada hari-hari pertama bayi lahir dan ibu tidak
diperbolehkan makan makanan protein hewani yang berbau amis misalnya ikan.
Data-data tersebut lebih cenderung kepada diagnosa ketidakpatuhan dalam
pengobatan karena sistem nilai yang diyakini oleh pasien sangat kuat.

C. Perencanaan dan Pelaksanaan


Untuk mengatasi budaya klien dimana klien tidak boleh makan makanan protein
hewani yang berbau amis misalnya ikan dan telur, tindakan yang dilakukan adalah
mengakomodasi budaya klien yang tidak menguntungkan. Intervensi yang
diberikan adalah mengganti dari protein nabati atau dari hewan lain yang tidak
berbau amis misalnya daging ayam. Sedangkan budaya yang merugikan kesehatan
bayi yaitu dibuangnya kolostrum dan diberi makan pisang maka perawat harus
mampu mengubah budaya klien. Hanya saja dalam pelaksanaan tindakannya tidak
dapat langsung menyalahkan tetapi dengan dukungan, dengan pemberian
informasi yang adekuat dan dengan penuh kesabaran serta menggunakan pihak
ketiga yang memiliki pengaruh yang cukup kuat di daerah tersebut.

D. Evaluasi
Kemajuan perkembangan pasien dilihat dari apakah klien mengganti protein
hewani dengan protein nabati untuk memenuhi kecukupan gizi ibu dan bayi,
apakah ibu tidak membuang kolostrum dan apakah ibu tidak memberikan
makanan tambahan selain hanya ASI. Bila ini tidak berhasil maka petugas harus
melakukan evaluasi ketidakberhasilan dan berupaya memberikan penyuluhan
kepada masyarakat yang ada di daerah tersebut serta melibatkan indung beurang
agar tujuan asuhan keperawatan dapat tercapai.

KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dijabarkan pada bab terdahulu tentang penerapan asuhan
keperawatan Transkultural dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Keperawatan transkultural adalah suatu proses pemberian asuhan keperawatan
yang difokuskan kepada individu dan kelompok untuk mempertahankan,
meningkatkan perilaku sehat sesuai dengan latar belakang budaya
2. Pengkajian asuhan keperawatan dalam konteks budaya sangat diperlukan untuk
menjembatani perbedaan pengetahuan yang dimiliki oleh perawat dengan klien
3. Diagnosa keperawatan transkultural yang ditegakkan dapat mengidentifikasi
tindakan yang dibutuhkan untuk mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, membentuk budaya baru yang sesuai dengan kesehatan atau bahkan
mengganti budaya yang tidak sesuai dengan kesehatan dengan budaya baru.
4. Perencanaan dan pelaksanaan proses keperawatan transkultural tidak dapat begitu
saja dipaksakan kepada klien sebelum perawat memahami latar belakang budaya
klien sehingga tindakan yang dilakukan dapat sesuai dengan budaya klien.
5. Evaluasi asuhan keperawatan transkultural melekat erat dengan perencanaan dan
pelaksanaan proses asuhan keperawatan transkultural.

REFERENSI

Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2ndEd,
Philadelphia, JB Lippincot Company

Cultural Diversity in Nursing, (1997), Transcultural Nursing ; Basic Concepts and


Case Studies, Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari
http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing

Fitzpatrick. J.J & Whall. A.L, (1989), Conceptual Models of Nursing : Analysis and
Application, USA, Appleton & Lange

Giger. J.J & Davidhizar. R.E, (1995), Transcultural Nursing : Assessment and
Intervention, 2ndEd, Missouri , Mosby Year Book Inc

Iyer. P.W, Taptich. B.J, & Bernochi-Losey. D, (1996), Nursing Process and Nursing
Diagnosis, W.B Saunders Company, Philadelphia

Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,


Theories, Research and Practice, 3rdEd, USA, Mc-Graw Hill
Companies

Swasono. M.F, (1997), Kehamilan, kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam
Konteks Budaya, Jakarta, UI Press

Royal College of Nursing (2006), Transcultural Nursing Care of Adult ; Section One
Understanding The Theoretical Basis of Transcultural Nursing Care
Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari
http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing

__________________________, Transcultural Nursing Care of Adult ; Section Two


Transcultural NursingModels ; Theory and Practice, Ditelusuri tanggal
14 Oktober 2006 dari
http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing

__________________________, Transcultural Nursing Care of Adult ; Section Three


Application of Transcultural Nursing Models, Ditelusuri tanggal 14
Oktober 2006 dari http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing

Anda mungkin juga menyukai