Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

( PROMOSI KESEHATAN )

Oleh :

Nama : Valentina. M.F Koibur


Nim : 2022072014017

Pembimbing :
Dr.Arius Togodly, S.Pd., M.Kes

Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat


Universitas Cenderawasih
Jayapura
Papua
2023
Bab I
Pendahuluan
I. Latar Belakang
PERKEMBANGAN SOSIOLOGI MEDIS

Di masa lalu dalam sosiologi telah lama dikenal cabang sosiologi, sosiologi medis, yang
merupakan pendahulu sosiologi kesehatan dan terkait erat dengannya. Pertumbuhan sosiologi
medis berlangsung melalui enam tahap. Menurut Mechanic tugas medis hanya dapat
dilaksanakan secara efektif manakala yang dipertimbangkan baik faktor biologis maupun faktor
sosial dan psikologis. Mulai dikajinya peran faktor sosial-budaya dalam keberhasilan
pelaksanaan tugas medis menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya sosiologi
medis.Sosiologi medis melibatkan analisis sosiologi terhadap organisasi dan institusi medis,
pembuatan pengetahuan dan pemilihan metode, tindakan dan interaksi pakar kesehatan, dan
dampak sosial atau budaya dari suatu praktik medis. Bidang ini lebih berinteraksi dengan
sosiologi pengetahuan, studi ilmu dan teknologi, dan epistemologi sosial. Sosiolog medis juga
tertarik pada hal-hal yang dialami pasien secara kualitatif, biasanya bekerja di bidang kesehatan
masyarakat, pekerjaan sosial, demografi dan gerontologi untuk mendalami fenomena di
persimpangan ilmu sosial dan klinis. Disparitas kesehatan secara umum berkaitan dengan
kategori umum seperti kelas dan ras. Hasil penelitian sosiologi objektif dengan cepat menjadi
sebuah masalah normatif dan politik. Straus membedakan antara sosiologi mengenai bidang
medis dan sosiologi dalam bidang medis. Menurutnya sosiologi mengenai bidang medis terdiri
atas kajian sosiologis terhadap faktor di bidang medis yang dilaksanakan oleh ahli sosiologi yang
menempati posisi mandiri di luar bidang medis dan bertujuan mengembangkan sosiologi serta
untuk menguji prinsip dan teori sosiologi. Menurut Kendall dan Reader, sosiologi mengenai
bidang medis mengulas masalah yang menjadi perhatian sosiologi profesi dan sosiologi
organisasi. Menurut Straus sosiologi dalam bidang medis merupakan penelitian dan pengajaran
bersama yang sering melibatkan pengintegrasian konsep, teknik dan personalia

Orang Papua berdasarkan kajian-kajian etnografi mempunyai keanekaragaman


kebudayaan yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Tidak hanya saja pada keanekaragaman
kebudayaan tetapi dalam semua unsure kebudayaan mempunyai keaneka ragaman yang berbeda
satu sama lainnya. Keaneka ragaman ini juga melukiskan adanya perbedaan terhadap pandangan
serta pengetahuan tentang kesehatan. Kalau dilihat kebudayaan sebagai pedoman dalam
berperilaku setiap individu dalam kehidupannya, tentu dalam kesehatan orang Papua mempunyai
seperangkat pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kesehatan berdasarkan perspektif
masing-masing suku bangsa. Keaneka ragaman dalam kebudayaan baik dalam unsur mata
pencaharian, ekologi, kepercayaan/religi, organisasi sosial, dan lainnya secara langsung
memberikan pengaruh terhadap kesehatan para warganya. Dengan demikian secara kongkrit
orang Papua mempunyai seperangkat pengetahuan berdasarkan kebudayaan mereka masing-
masing dalam menanggapi masalah kesehatan. Kajian etnografi ini akan memberikan ilustrasi
tentang bagaimana kebudayaan, kesehatan orang Papua berdasarkan perspektif antropologi, yang
dapat memberikan pemahaman kesehatan secara kultural.
Bab II
Tinjauan Pustaka

A. KEBUDAYAAN DAN PERILAKU SEBAGAI KONSEP DASAR

Kebudayaan sebagai pedoman dalam kehidupan warga penyandangnya jauh lebih


kompleks dari sekedar menentukan pemikiran dasar, karena kenyataan kebudayaan itu sendiri
akan membuka suatu cakrawala kompetensi dan kinerja manusia sebagai makhluk sosial yang
fenomenal. Untuk itu dapatlah dikemukakan beberapa rumusan kebudayaan: mengacu pada tipe-
tipe masyarakat, suku bangsa, tetapi terilihat juga pada sistem-sistem yang formal (organisasi
formal dalam membicarakan pengaruh-pengaruh kebudayaan birokratisme dan profesionalisme).
Untuk dapat memahami rumusan kebudayaan, tidaklah berpendapat bahwa seluruh kelompok
masyarakat memiliki kesatuan kebudayaan, tetapi masing-masing kelompok masyarakat
menunjukkan adanya perbedaan budaya secara nyata (Geertz, 1966).
Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Bila berbicara
tentang sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebaga suatu tindakan yang kongkrit dan
dapat dilihat , yang diwujudkan dalam sistem sosial di lingkungan warganya. Berbicara tentang
konsep perilaku, hal ini berarti merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku
kesehatan seseorang sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam
lingkungan sosialnya, berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial)
berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing. Kebudayaan mempunyai sifat yang tidak statis,
berarti dapat berubah cepat atau lambat karena adanya kontak-kontak kebudayaan atau adanya
gagasan baru dari luar yang dapat mempercepat proses perubahan. Hal ini berarti bahwa terjadi
proses interaksi antara pranata dasar dari kebudayaan penyandangnya dengan pranata ilmu
pengetahuan yang baru akan menghasilkan pengaruh baik langsung ataupun tidak langsung yang
mengakibatkan terjadinya perubahan gagasan budaya dan pola perilaku dalam masyarakat secara
menyeluruh atau tidak menyeluruh. Ini berarti bahwa, persepsi warga masyarakat penyandang
kebudayaan mereka masingmasing akan menghasilkan suatu pandangan atau persepsi yang
berbeda tentang suatu pengertian yang sama dan tidak sama dalam konteks penyakit,sehat, sakit.
Dengan demikian, nampaknya ada kelompok yang lebih menekankan pada terapi adikodrati
(personalistik), sedangkan lainnya pada naturalistic berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan
tubuh. Hal ini berarti masyarakat ada yang menekankan pada penjelasan sehat-sakit berdasarkan
pemahaman mereka secara emik pada konsep personalistik maupun naturalistik. Jadikeaneka
ragaman persepsi sehat dan sakit itu ditentukan oleh pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma
kebudayaan masing-masing masyarakat penyandang kebudayaannya masing-masing. Dapatlah
dikatakan bahwa kebudayaanlah yang menentukan apa yang menyebabkan orang menderita
sebagai akibat dari perilakunya. Sehubungan dengan hal di atas, maka kebudayaan sebagai
konsep dasar, gagasan budaya dapat menjelaskan makna hubungan timbal balik antara
gejala-gejala sosial (sosiobudaya) dari penyakit dengan gejala biologis (biobudaya) seperti apa
yang dikemukakan oleh Anderson/Foster. Berarti orang Papua sebagai suatu kelompok
masyarakat yang mempunyai seperangkat pengetahuan, nilai, gagasan, norma, aturan sebagai
konsep dasar dari kebudayaan, akan mewujudkan bentuk-bentuk perilakunya dalam kehidupan
sosial. Perilaku itu akan mewujudkan perbedaan persepsi terhadap suatu konsep sehat, sakit,
penyakit secara kongkrit berbeda dengan kelompok etnik lainnya. Apalagi dengan adanya
keaneka ragaman kebudayaan pada orang Papua, tentu secara kongkrit akan mewujudkan adanya
perbedaan persepsi dalam menyatakan suatu gejala kesehatan.

B. KONSEP SEHAT DAN SAKIT

1. KONSEP SEHAT
Konsep “Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan komunitas.
Sebagaimana dikatakan di atas bahwa orang Papua terdiri dari keaneka ragaman kebudayaan,
maka secara kongkrit akan mewujudkan perbedaan pemahaman terhadap konsep sehat yang
dilihat secara emik dan etik. Sehat dilihat berdasarkan pendekatan etik, sebagaimana yang yang
dikemukakan oleh Linda Ewles & Ina Simmet (1992) adalah sebagai beriku:
1) Konsep sehat dilihat dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata karena
perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh;
2) Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan
koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada hubungan
yang dekat diantara ketiganya;
3) Konsep sehat dilihat dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi seperti
takut, kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan emosi-emosi
secara cepat;
4) Konsep sehat dilihat dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain;
5) Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan
praktek keagamaan, berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip
6) tingkah laku, dan cara mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
7) Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat
individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang
melingkupi individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam masyarakat
yang “sakit” yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk pemenuhan kebutuhan
dasar dan emosional. (Djekky, 2001:8)
Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalam dengan pendekatan etik yang
dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO) maka itu berarti bahwa:
Sehat itu adalah “a state of complete physical, mental, and social well being, and not
merely the absence of disease or infirmity” (WHO,1981:38) Dalam dimensi ini jelas terlihat
bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi mental dan sosial
seseorang. Rumusan yang relativistic mengenai konsep ini dihubungkan dengan kenyataan akan
adanya pengertian dalam masyarakat bahwa ide kesehatan adalah sebagai kemampuan
fungsional dalam menjalankan peranan-peranan sosial dalam kehidupan sehari-hari (Wilson,
1970:12) dalam Kalangie (1994:38).
Pendekatan secara emik bagi suatu komunitas yang menyandang konsep kebudayaan
mereka, ada pandangan yang berbeda dalam menanggapi konsep sehat tadi. Hal ini karena
adanya pengetahuan yang berbeda terhadap konsep sehat, walaupun secara nyata akan terlihat
bahwa seseorang secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat melakukan aktivitas
sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut dapat menyatakan dirinya sehat. Jadi hal ini berarti
bahwa seseorang berdasarkan kebudayaannya dapat menentukan sehat secara berbeda seperti
pada kenyataan pendapat di bawah ini sebagai berikut:
Adalah kenyataan bahwa seseorang dapat menentukan kondisi kesehatannya baik
(sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatu kelainan fisik maupun psikis. Walaupun ia
menyadari akan adanya kelainan tetapi tidak terlalu menimbulkan perasaan sakit, atau tidak
dipersepsikan sebagai kelainan yang memerlukan perhatian medis secara khusus, atau kelainan
ini tidak dianggap sebagai suatu penyakit. Dasar utama penetuan tersebut adalah bahwa ia
tetap dapat menjalankan peranan-peranan sosialnya setiap hari seperti biasa. Standard apa
yang dapat dianggap “sehat” juga bervariasi. Seorang usia lanjut dapat mengatakan bahwa ia
dalam keadaan sehat pada hari ketika Broncitis Kronik berkurang sehingga ia dapat berbelanja
di pasar. Ini berarti orang menilai kesehatannya secara subyektif, sesuai dengan norma dan
harapan-harapannya. Inilah salah satu harapan mengapa upaya untuk mengukur kesehatan
adalah sangat sulit. Gagasan orang tentang “sehat” dan merasa sehat adalah sangat bervariasi.
Gagasan-gagasan itu dibentuk oleh pengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan harapan-
harapan (Kalangie, 1994:39-40)
2. KONSEP SAKIT
Sakit dapat diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan secara ilmiah dan
dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari masing-masing penyandang
kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman secara “etik” dan “emik”.
Secara konseptual dapat disajikan bagaimana sakit dilihat secara “etik” yang dikutib dari Djekky
(2001: 15) sebagai berikut :
Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu
organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu bersifat
obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita
suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subyektif ini\ ditandai dengan perasaan tidak
enak. Di negara maju kebanyakan orang mengidap hypo-chondriacal, ini disebabkan karena
kesadaran kesehatan sangat tinggi dan takut terkena penyakit sehingga jika dirasakan sedikit
saja kelainan pada tubuhnya, maka akan langsung ke dokter, padahal tidak terdapat gangguan
fisik yang nyata. Keluhan psikosomatis seperti ini lebih banyak ditemukan di negara maju
daripada kalangan masyarakat tradisional. Umumnya masyarakat tradisional memandang
seseorang sebagai sakit, jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak
dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatannya
sehingga harus tinggal di tempat tidur (Sudarti, 1988).
Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman konsep kebudayaan
masyarakat penyandang kebudayaannya sebagaimana dikemukakan di bawah ini:
Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease) pada masyarakat
tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai etnomedisin, bahwa
konsep penyakit masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu:
(1) Personalistik, munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang
aktif, yang dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau dewa), mahluk yang bukan
manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk manusia (tukang sihir, tukang
tenung).
(2) Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang sistematik dan bukan
pribadi. Naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-
unsur yang tetap dalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan
seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan
sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah penyakit (1986;63-70)

C. ORANG PAPUA DAN KESEHATAN


1. IMPLIKASI KONSEP SEHAT DAN SAKIT
Implikasi dari konsep sehat dan sakit tersebut di atas, dapat memberikan perbedaan
pandangan untuk setiap individu, dan hal ini akan lebih Nampak berbeda bila dikaitkan
berdasarkan konsepsi kebudayaan masing-masing penyandangnya, seperti ditulis dalam
karangan Djekky (2001: 15).
Demikian juga halnya dengan konsep sehat dan sakit. Pandangan orang tentang kriteria
Tubuh sehat dan sakit sifatnya selalu tidak obyektif, bahkan lebih banyak unsure subyektivitas
dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sehat dan sakit ini
sangatlah dipengaruhi oleh unsur-unsur pengalaman masa lalu, disamping unsur sosial-budaya.
Sebaliknya para medis yang menilai secara obyektif berdasarkan simpton yang tampak guna
mendiagnosa kondisi fisik seorang individu. Perbedaan kedua kelompok ini yang sering
menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan. Kadang-kadang orang tidak
pergi berobat atau menggunakan sarana kesehatan yang tersedia sebab ia tidak merasa
mengidap penyakit. Atau si individu merasa bahwa penyakitnya itu disebabkan oleh mahluk
halus, atau “gunaguna”, maka ia akan memilih untuk berobat kepada dukun, shaman atau
orang pandai yang dianggap mampu mengusir mahluk halus tersebut atau guna-guna orang
tersebut dari tubuhnya sehingga penyakitnya itu akan hilang (Jordan, 1985; Sudarti, 1988),
dalam Djekky (2001:15).
Lebih jauh implikasi sehat dan sakit ini dapat dilihat berdasarkan pemahaman secara
“etik” oleh para medis terhadap masyarakat secara rasionalistik dengan melihat pada istilah yang
sistimatik secara naturalistic sebagai berikut dikutip dari Djekky (2001: 12):
Para medis umumnya mendeteksi kebutuhan masyarakat akan upaya kesehatan (Health
Care) pada tahap yang lebih awal. Kebutuhan ini akan hanya dideteksi pada awal dimulainya
suatu penyakit tetapi lebih awal lagi, yaitu ketika orangnya masih sehat tetapi membutuhkan
upaya kesehatan guna mencegah timbulnya penyakit-penyakit tertentu. Sebaliknya masyarakat
baru membutuhkan upaya kesehatan jika mereka telah berada dalam tahap sakit yang parah,
artinya tidak dapat diatasi dengan sekedar beristirahat atau minum jamu. Berbagai penelitian
menujukkan bahwa tindakan pertama untuk mengatasi penyakit adalah berobat sendiri (Self
Medication). Di Indonesia masih ada satu tahap lagi yang dilewati banyak penderita sebelum
mereka datang ke petugas kesehatan, yaitu pergi berobat ke dukun atau ahli pengobatan
tradisional lainnya (Jordan, 1985; Sarwono, 1992, Velsink, 1992) dalam Djekky (2001:
12).
Hal ini dapat berdampak negatif bila dikaitkan dengan bentuk pertolongan yang secara
etik kurang diperhatikan, sebab nampaknya masyarakat lebih banyak melakukan tindakan
pertama apabila sakit pergi ke dukun, setelah itu baru meminta pertolongan para medis.
Yang lebih sulit lagi, konsep sehat-sakit ini berbeda-beda antar kelompok masyarakat,
oleh sebab itu untuk keberhasilan program kesehatan, perlu dilihat persepsi masyarakat tentang
konsep sehat dan sakit, mencoba mengerti mengapa persepsi tersebut sampai berkembang
sedemikan rupa dan setelah itu mengusahakan merubah persepsi tersebut agar mendekati
konsep yang lebih obyektif. Implikasi dari konsep sehat-sakit tersebut membawa orang dalam
berperilaku mencari kesembuhan yang bervariasi pula. Suchman (Notoatmodjo, 1993),
menganalisis pola pencaharian pengobatan dimana terdapat lima macam reaksi dalam proses
pencaharian pengobatan tersebut, yaitu:
(1) Shopping, proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seorang yang
dapat memberikan diagnosa dan pengobatan yang sesuai dengan harapan si sakit.
(2) Fragmantation, proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama
seperti berobat ke dokter, sekaligus ke dukun.
(3) Procrastination, penundaan pencarian pengobatan walaupun gejala penyakitnya sudah
dirasakan.
(4) Self Medication, pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obat
yang dinilainya tepat baginya.
(5) Discontinuity, penghentian proses pengobatan. (Djekky, 2001:13)
Bagaimana orang Papua berdasarkan kebudayaannya mengkonsepkan sehat dan sakit.
Karena keaneka ragaman kebudayaan orang Papua yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka
konsep sehat dan sakit itu dapat dipersepsikan berbeda-beda menurut pandangan dasar
kebudayaan mereka masing-masing. “ Orang Moi di sebelah utara kota Jayapura
mengkonsepsikan sakit sebagai gangguan keseimbangan fisik apabila masuknya kekuatan alam
melebihi kekuatan manusia. Gangguan itu disebabkan oleh roh manusia yang merusak tubuh
manusia (Wambrauw, 1994). Hal ini berarti, bahwa bagi orang Moi yang sehat, ia harus selalu
menghindari gangguan dari roh manusia tersebut dengan menghindari diri dari tempat-tempat
dimana roh itu selalu berada (tempat keramat, kuburan, hutan larangan, dan sebagainya).
Karena kekuatan-kekuatan alam itu berada pada lingkungan-lingkungan yang menurut adat
mereka adalah tempat pantangan untuk dilewati sembarangan. Biasanya untuk mencari
pengobatan, mereka langsung pergi ke dukun, atau mengobati sendiri dengan pengobatan
tradisional atau melalui orang lain yang dapat mendiagnosa penyakitnya (dukun akan
mengobati kalau hal itu terganggu langsung oleh roh manusia). Orang Biak Numfor
mengkonsepsikan penyakit sebagai suatu hal yang menyebabkan terdapat ketidak seimbangan
dalam diri tubuh seseorang. Hal ini berarti adanya sesuatu kekuatan yang diberikan oleh
seseorang melalui kekuatan gaib karena kedengkiannya terhadap orang tersebut (Wambrauw,
1994).
Ini berarti sakit itu disebabkan oleh buatan orang lain melalui kekuatan gaib yang bisa
berupa tenung, black magic. Untuk itu maka penyembuhannya selalu melalui dukun atau orang
yang dapat mengembalikan buatan orang tersebut dengan menggunakan beberapa mantera.
Orang Marind-anim yang berada di selatan Papua juga mempunyai konsepsi tentang sehat dan
sakit, dimana apabila seseorang itu sakit berarti orang tersebut terkena guna-guna (black magic).
Mereka juga mempunyai pandangan bahwa penyakit itu akan datang apabila sudah tidak ada lagi
keimbangan antara lingkungan hidup dan manusia. Lingkungan sudah tidak dapat mendukung
kehidupan manusia, karena mulai banyak. Bila keseimbangan ini sudah terganggu maka akan
ada banyak orang sakit, dan biasanya menurut adat mereka, akan datang seorang kuat (Tikanem)
yang melakukan pembunuhan terhadap warga dari masing-masing kampung secara berurutan
sebanyak lima orang, agar lingkungan dapat kembali normal dan bisa mendukung kehidupan
warganya (Dumatubun, 2001). Hal yang sama pula terdapat pada orang Amungme, dimana bila
terjadi ketidak seimbangan antara lingkungan dengan manusia maka akan timbul berbagai
penyakit. Yang dimaksudkan dengan lingkungan di sini adalah yang lebih berkaitan dengan
tanah karena tanah adalah “mama” yang memelihara, mendidik, merawat, dan memberikan
makan kepada mereka (Dumatubun, 1987). Untuk itu bila orang Amungme mau sehat, janganlah
merusak alam (tanah), dan harus terus dipelihara secara baik. Orang Moi di Kepala Burung
Papua (Sorong) percaya bahwa sakit itu disebabkan oleh adanya kekuatan-kekuatan supernatural,
seperti dewa-dewa, kekuatan bukan manusia seperti roh halus dan kekuatan manusia dengan
menggunakan black magic.
Di samping itu ada kepercayaan bahwa kalau orang melanggar pantangan-pantangan
secara adat maka akan menderita sakit. Orang Moi, bagi ibu hamil dan suaminya itu harus
berpantang terhadap beberapa makanan, dan kegiatan, atau tidak boleh melewati tempat-tempat
yang keramat karena bisa terkena roh jahat dan akan sakit (Dumatubun,1999). Ini berarti untuk
sehat, maka orang Moi tidak boleh makan makanan tertentu pada saat ibu hamil dan suaminya
tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, seperti membunuh binatang besar, dan
sebagainya. Hal yang sama pula bagi orang Moi Kalabra yang berada di hulu sungai Beraur,
(Sorong). Mereka percaya bahwa penyakit itu disebabkan oleh adanya gangguan roh jahat,
buatan orang serta melanggar pantangan-pantangan secara adat. Misalnya bila seorang ibu hamil
mengalami keguguran atau perdarahan selagi hamil itu berarti ibu tersebut terkena “hawa kurang
baik” (terkena black magic/ atau roh jahat). Mereka juga percaya kalau ibu itu tidak bisa hamil/
tidak bisa meneruskan keturunan, berarti ibu tersebut telah dikunci karena suami belum melunasi
mas kawin.Kehamilan akan terjadi bila sang suami sudah dapat melunasinya, maka penguncinya
akan membuka black magic-nya itu (Dumatubun, 1999).
Orang Hatam yang berada di daerah Manokwari percaya bahwa sakit itu disebabkan oleh
gangguan kekuatan supranatural seperti dewa, roh jahat, dan buatan manusia. Orang Hatam
percaya bahwa bila ibu hamil sulit melahirkan, berarti ibu tersebut terkena buatan orang dengan
obat racun (rumuep) yaitu suanggi, atau penyakit oleh orang lain yang disebut “priet”
(Dumatubun, 1999). Orang Kaureh di kecamatan Lereh percaya bahwa seorang ibu yang mandul
adalah hasil perbuatan orang lain yaitu dengan black magic atau juga karena kutukan oleh
keluarga yang tidak menerima bagian harta mas kawin (Dumatubun, 1999). Hal yang serupa pula
pada orang Walsa (Keerom), percaya bahwa sakit disebabkan oleh gangguan roh jahat, buatan
orang, atau terkena gangguan dewa-dewa. Bila seorang ibu hamil meninggal tanpa sakit terlebih
dahulu, berarti sakitnya dibuat orang dengan jampi-jampi (sinas), ada pula disebabkan oleh roh-
roh jahat (beuvwa). Di samping itu sakit juga disebabkan oleh melanggar pantangan-pantangan
secara adat baik berupa makanan yang dilarang, dan perkawinan (Dumatubun,1999).
Berdasarkan beberapa contoh-contoh di atas dapatlah dikatakan bahwa orang Papua mempunyai
persepsi tentang sehat dan sakit itu sendiri berdasarkan pandangan dasar kebudayaan mereka
masing-masing. Memang kepercayaan tersebut bila dilihat sudah mulai berkurang terutama pada
orang Papua yang berada di daerah-daerah perkotaan, sedangkan bagi mereka yang masih berada
di daerah pedesaan dan jauh dari jangkauan kesehatan moderen, hal tersebut masih nampak jelas
dalam kehidupan mereka sehari-hari Bagaimana persepsi orang Papua tentang sehat dan sakit,
dapatlah diketahui bahwa orang Papua mempunyai persepsi bahwa sakit itu karena melanggar
pantangan secara adat, adanya gangguan roh jahat, dewa, serta pengaruh lingkungan alam. Jadi
sehat, berarti harus menghindari semua pantangan, dan menjaga keseimbangan antara manusia
dengan alam serta bisa menjaga, jangan sampai tempat-tempat keramat atau tempat roh-roh
diganggu atau dilewati dengan sengaja. Konsep demikian sangatlah erat hubungannya dengan
pandangan dasar dari kebudayaan mereka masing-masing dan erat terkait dengan unsur-unsur
budaya, religi, organisasi sosial, ekonomi, sistem pengetahuan, yang akhirnya mewujudkan
perilaku mereka dalam masalah kesehatan.

2. Interpretasi Orang Papua Tentang Ibu Hamil, Melahirkan, Nifas


Orang Papua mempunyai konsepsi dasar berdasarkan pandangan kebudayaan mereka
masing-masing terhadap berbagai penyakit demikian halnya pada kasus tentang kehamilan,
persalinan, dan nifas berdasarkan persepsi kebudayaan mereka. Akibat adanya pandangan
tersebut di atas, maka orang Papua mempunyai beberapa bentuk pengobatan serta siapa yang
manangani, dan dengan cara apa dilakukan pengobatan terhadap konsep sakit yang berkaitan
dengan kehamilan, persalinan, perdarahan, pembengkakan kaki selama hamil, berdasarkan
pandangan kebudayaan mereka. Sebagai ilustrasi dapat disajikan beberapa contoh kasus pada
orang Papua ( Orang Hatam, Sough, Lereh, Walsa, Moi Kalabra). Hal yang sama pula ada pada
suku bangsa-suku bangsa Papua lainnya, tetapi secara detail belum dilakukan penelitian terhadap
kasus ibu hamil, melahirkan, dan nifas pada orang Papua. Interpretasi Sosial Budaya Orang
Hatam dan Sough tentang Ibu hamil, melahirkan, nifas, didasarkan pada pemahaman dan
pengetahuan kebudayaan mereka secara turun temurun. Hal ini jelas didasarkan atas perilaku
leluhur dan orang tua mereka sejak dahulu kala sampai sekarang. Bagi orang Hatam dan Sough,
kehamilan adalah suatu gejala alamiah dan bukan suatu penyakit. Untuk itu harus taat pada
pantangan-pantangan secara adat, dan bila dilanggar akan menderita sakit. Bila ada gangguan
pada kehamilan seorang ibu, biasanya dukun perempuan (Ndaken) akan melakukan
penyembuhan dengan membacakan mantera di air putih yang akan diminum oleh ibu tersebut.
Tindakan lain yang biasanya dilakukan oleh Ndaken tersebut juga berupa, mengurut perut ibu
hamil yang sakit. Sedangkan bila ibu hamil mengalami pembengkakan pada kaki, berarti ibu
tersebut telah melewati tempat-tempat keramat secara sengaja atau pula telah melanggar
pantangan-pantangan yang diberlakukan selama ibu tersebut hamil. Biasanya akan diberikan
pengobatan dengan memberikan air putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum ibu
tersebut. Juga dapat diberikan pengobatan dengan menggunakan ramuan daun abrisa yang
dipanaskan di api, lalu ditempelkan pada kaki yang bengkak sambil diuruturut. Ada juga yang
menggunakan serutan kulit kayu bai yang direbus lalu airnya diminum. Disini posisi seorang
dukun perempuan atau Ndaken sangatlah penting, sedangkan dukun laki-laki tidak berperan
secara langsung. Bagaimana persepsi orang Hatam dan Sough tentang perdarahan selama
kehamilan dan setelah melahirkan ? Hal itu berarti ibu hamil telah melanggar pantangan,
suaminya telah melanggar pantangan serta belum menyelesaikan masalah dengan orang lain atau
kerabat secara adat. Bila perdarahan terjadi setelah melahirkan, itu berarti pembuangan darah
kotor, dan bagi mereka adalah suatu hal yang biasa dan bukan penyakit. Bila terjadi perdarahan,
maka Ndaken akan memberikan air putih yang telah dibacakan matera untuk diminum oleh ibu
tersebut. Selain itu akan diberikan ramuan berupa daun-daun dan kulit kayu mpamkwendom yang
direbus dan airnya diminum oleh ibu tersebut. Bila terjadi pertikaian dengan kerabat atau orang
lain, maka suaminya secara adat harus meminta maaf. Di sini peranan dukun perempuan
(ndaken) dan dukun laki-laki (Beijinaubout, Rengrehidodo) sangatlah penting.Persalinan bagi
orang Hatam dan Sough adalah suatu masa krisis. Persalinan biasanya di dalam pondok (semuka)
yang dibangun di belakang rumah. Darah bagi orang Hatam dan Sough bagi ibu yang melahirkan
adalah tidak baik untuk kaum laki-laki, karena bila terkena darah tersebut, maka akan mengalami
kegagalan dalam aktivitas berburu. Oleh karena itu, seorang ibu yang melahirkan harus terpisah
dari rumah induknya. Posisi persalinan dalam bentuk jongkok, karena menurut orang Hatam dan
Sough dengan posisi tersebut, maka bayi akan mudah keluar. Pemotongan tali pusar harus
ditunggu sampai ari-ari sudah keluar. Apabila dipotong langsung, maka ari-ari tidak akan mau
keluar. Bagi orang Kaureh yang berada di kecamatan Lereh, juga mempunyai interpretasi tentang
ibu hamil, melahirkan dan nifas berdasarkan pemahaman kebudayaan mereka. Orang Kaureh
melihat kehamilan sebagai suatu masa krisis, dimana penuh resiko dan secara alamiah harus
dialami oleh seorang ibu, untuk itu perlu taat terhadap pantangan-pantangan dan aturan-aturan
secara adat. Bila melanggar, ibu hamil akan menderita sakit. dan bisa meninggal. Biasanya bila
seorang ibu hamil mengalami penderitaan (sakit), akan diberikan ramuan berupa air putih yang
telah dibacakan mantera untuk diminum. Yang lebih banyak berperan adalah kepala klen
atau ajibar/pikandu. Sedangkan bila seorang ibu hamil mengalami pembengkakan pada kaki, itu
berati ibu tersebut telah melewati tempat-tempat terlarang atau keramat. Di samping itu pula bisa
terjadi karena buatan orang dengan tenung/black magic, atau terkena suanggi. Pengobatannya
dengan cara memberikan air putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum, atau seorang
dukun/kepala klen (ajibar/Pikandu) akan mengusirnya dengan membacakan mantera-mantera.
Apabila seorang ibu hamil mengalami perdarahan dan setelah melahirkan mengalami
perdarahan, itu bagi mereka adalah suatu hal yang biasa saja. Perdarahan berarti pembuangan
darah kotor, dan bila terjadi banyak perdarahan berarti ibu tersebut telah melanggar pantangan-
pantangan secara adat dan suami belum menyelesaikan persoalan dengan kerabat atau orang lain.
Untuk itu biasanya ajibar/Pikandu memberikan ramuan berupa air putih yang telah dibacakan
mantera yang diminum oleh ibu tersebut. Untuk masalah pertikaian maka suami harus meminta
maaf secara adat pada kerabat dan orang lain. Sedangkan persalinan bagi orang Kaureh adalah
suatu masa krisis, dan persalinan harus dilakukan di luar rumah dalam pondok kecil di hutan
karena darah sangat berbahaya bagi kaum laki-laki. Posisi persalinan dengan cara jongkok,
karena akan mudah bayi keluar. Pemotongan tali pusar biasanya setelah ari-ari keluar baru
dilaksanakan, sebab bila dipotong sebelumnya maka ari-ari akan tinggal terus di dalam perut.
Bagaimana orang Walsa yang berada di kecamatan Waris daerah perbatasan Indonesia dan
Papua Niguni. Mereka juga mempunyai kepercayaan tentang kehamilan, persalinan dan nifas
yang didasarkan pada pemahaman kebudayaan mereka secara turun temurun. Bagi orang Walsa,
kehamilan adalah kondisi ibu dalam situasi yang baru, dimana terjadi perubahan fisik, dan ini
bagi mereka bukan suatu kondisi penyakit. Sebagaimana dengan kelompok suku bangsa yang
lain, mereka juga percaya bahwa untuk dapat mewujudkan seorang ibu hamil sehat, maka harus
menjalankan berbagai pantangan-pantangan. Namun demikian kadangkala bila ibu mengalami
sakit bisa terjadi karena adanya gangguan dari luar seperti terkena roh jahat, atau buatan orang
lain yang tidak senang dengan keluarga tersebut. Untuk mengatasi gangguan tersebut biasanya
dukun (Putua/ Mundklok) akan membantu dengan memberikan air putih yang telah dibacakan
manterauntuk diminum, atau dengan memberikan ramuan daun-daun yang direbus lalu diminum
ibu hamil tersebut. Sedangkan bila terjadi pembengkakan pada kaki, berarti ibu hamil telah
melanggar pantangan, menginjak tempattempat keramat, terkena roh jahat, dan suami belum
melunasi mas kawin. Untuk mengatasi masalah tersebut, dukun akan memberikan air putih yang
dibacakan mantera untuk diminum, sedangkan untuk mas kawin, maka suami harus lunasi
dahulu kepada paman dari istrinya. Sedangkan bila terjadi perdarahan selama hamil dan setelah
bersalin, bagi orang Walsa itu hal biasa saja, karena terjadi pembuangan darah kotor, atau ibu
telah melanggar pantangan secara adat, suami belum melunasi mas kawin dan ibu terkena jampi-
jampi. Untuk mengatasi masalah tersebut, biasanya dukun Putua/ Mundklok akan menyarankan
untuk menyelesaikan mas kawin, dan juga diberikan ramuan daun-daun untuk diminum. Bagi
orang Walsa persalinan adalah suatu masa krisis, untuk itu tidak boleh melanggar pantangan
adat. Dahulu melahirkan di pondok kecil (demutpul) yang dibangun di hutan, karena darah bagi
kaum laki-laki sangat berbahaya. Bila terkena darah dari ibu hamil, berarti kaum laki-laki akan
mengalami banyak kegagalan dalam usaha serta berburu. Dalam proses persalinan biasanya
dibantu oleh dukun Putua/Mundklok, tetapi disamping itu ada bantuan juga dari dewa Fipao
supaya berjalan dengan baik. Proses persalinan dalam kondisi jongkok, biar bayi dengan mudah
dapat keluar, dan tali pusar dipotong setelah ari-ari keluar. Orang Moi Kalabra yang berada di
kecamatan Wanurian dan terletak di hulu sungai Beraur Sorong mempunyai persepsi juga
terhadap kehamilan, persalinan dan nifas bagi ibu-ibu berdasarkan kepercayaan kebudayaan
mereka secara turun temurun. Kehamilan bagi mereka adalah si ibu mengalami situasi yang baru
dan bukan penyakit. Untuk itu ibu tersebut dan suaminya harus menjalankan berbagai
pantangan-pantangan terhadap makanan dan kegiatan yang ditata secara adat. Mereka juga
percaya bila ada gangguan terhadap kehamilan, itu berarti ibu dan suaminya telah melanggar
pantangan, di samping itu pula ada gangguan dari roh jahat atau buatan orang (suanggi). Untuk
mengatasi hal tersebut, dukun laki-laki (Woun) dan dukun perempuan (Naredi Yan Segren) atau
Biang akan membantu dengan air putih yang dibacakan mantera untuk diminum, atau dengan
menggunakan jimat tertentu mengusir roh jahat atau gangguan orang lain terekan roh jahat,
disihir orang lain dan suami belum melunasi mas kawin, serta menginjak tempat-tempat keramat.
Sedangkan apabila terjadi perdarahan pada waktu hamil dan setelah melahirkan itu adalah suatu
hal biasa, karena membuang darah kotor. Bila terjadi banyak perdarahan berate ibu tersebut
melanggar pantangan serta disihir oleh orang lain. Untuk itu maka akan diberikan ramuan daun-
daun dan kulit kayu yang direbus lalu diminum. Kadang diberi daun jargkli, bowolas pada
tempat yang sakit oleh dukun Woun atau Naredi Yan Segren, Biang. Adapun persalinan
merupakan suatu masa krisis untuk itu tidak boleh melanggar pantangan adat. Biasanya proses
persalinan dilakukan dalam pondok kecil yang dibangun di hutan, karena darah bagi kaum pria
adalah berbahaya, bias mengakibatkan kegagalan dalam berburu. Posisi persalinaan biasanya
dalam kondisi jongkok karena bayi akan mudah keluar, dan tali pusar dipotong setelah ari-ari
telah keluar. Untuk membantu persalinan biasanya dukun akan memberikan ramuan daun-daun
yang diminum dan pada bagian perut dioles dengan daun jargkli, gedi, jarak, kapas, daun sereh
untuk menghilangkan rasa sakit dan proses kelahiran dapat berjalan cepat. Semua kegiatan
persalinan dibantu oleh dukun perempuan (Naredi Yan Segren).

D. POLA PENGOBATAN TRADISIONAL ORANG PAPUA


Sebagaimana dikemukakan bahwa secara “etik” dan “emik”, dapat diketengahkan konsep
sehat dan saklit, namun demikian secara konseptual dapatlah dikemukakan konsep pengobatan
secara “etik” dan “emik” berdasarkan pandangan para medis dan masyarakat dengan
berlandaskan pada kebudayaan mereka masing-masing. Untuk itu dapat dikemukakan pola
pengobatan secara tradisional orang Papua berdasarkan pemahaman kebudayaan mereka yang
dikemukakan oleh Djekky R. Djoht (2001: 14-15).
Berdasarkan pemahaman kebudayaan orang Papua secara mendalam, dapatlah dianalisis
bagaimana cara-cara melakukan pengobatan secara tradisional. Untuk itu telah diklasifikasikan
pengobatann tradisional orang Papua kedalam enam (6) pola pengobatan , yaitu:
1) Pola Pengobatan Jimat. Pola pengobatan jimat dikenal oleh masyarakat di daerah
kepala burung terutama masyarakat Meibrat dan Aifat. Prinsip pengobatan jimat,
menurut Elmberg, adalah orang menggunakan benda-benda kuat atau jimat untuk
memberi perlindungan terhadap penyakit. Jimat adalah segala sesuatu yang telah diberi
kekuatan gaib, sering berupa tumbuhtumbuhan yang berbau kuat dan berwarna tua.
2) Pola Pengobatan Kesurupan. Pola kesurupan dikenal oleh suku bangsa di daerah sayap
burung, yaitu daerah teluk Arguni. Prinsip pengobatan kesurupan menurut van Longhem
adalah seorang pengobat sering kemasukan roh/mahluk halus pada waktu berusaha
mengobati orang sakit. Dominasi kekuatan gaib dalam pengobatan ini sangat kentara
seperti pada pengobatan jimat.
3) Pola Pengobatan Penghisapan Darah. Pola penghisapan darah dikenal oleh suku
bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi, Marind-anim, Kimaam,
Asmat. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut Oosterwal, adalah bahwa penyakit itu
terjadi karena darah kotor, maka dengan menghisap darah kotor itu, penyakit dapat
disembuhkan. Cara pengobatan penghisapan darah ini dengan membuat insisi dengan
pisau, pecahan beling, taring babi pada bagian tubuh yang sakit. Cara lain dengan
meletakkan daun oroh dan kapur pada bagian tubuh yang sakit. Dengan lidah dan bibir
daun tersebut digosok-gosok sampai timbul cairan merah yang dianggap perdarahan.
Pengobatan dengan cara ini khusus pada wanita saja. Prinsip ini sama persis pada
masyarakat Jawa seperti kerok.
4) Pola Pengobatan Injak. Pola injak dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang
sungai Tor di daerah Sarmi. Prinsip dari pengobatan ini menurut Oosterwal adalah
bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan menginjak-injak
tubuh si sakit dimulai pada kedua tungkai, dilanjutkan ketubuh sampai akhirnya ke
kepala, maka injakan tersebut akan mengeluarkan roh jahat dari dalam tubuh.
5) Pola Pengobatan Pengurutan. Pola pengurutan dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di
daerah selatan Merauke yaitu suku bangsa Asmat, dan selatan kabupaten Jayapura yaitu
suku bangsa Towe. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut van Amelsvoort adalah
bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan mengurut seluruh
tubuh si sakit, maka akan keluar roh jahat dari dalam tubuhnya. Orang Asmat
menggunakan lendir dari hidung sebagai minyak untuk pengurutan. Sedangkan pada
suku bangsa Towe penyebab penyakit adalah faktor empirik dan magis. Dengan
menggunakan daun-daun yang sudah dipilih, umunya baunya menyengat, dipanaskan
kemudian diurutkan pada tubuh si sakit.
6) Pola Pengobatan Ukup. Pola ukup dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di selatan
kabupaten Jayapura berbatasan dengan kabupaten Jayawijaya yaitu suku bangsa Towe,
Ubrup. Prinsip dari pengobatan ini adalah bahwa penyakit terjadi karena tubuh
kemasukan roh, hilang keseimbangan tubuh dan jiwa, maka dengan mandi uap dari hasil
ramuan daun-daun yang dipanaskan dapat mengeluarkan roh jahat dan penyebab
empirik penyakit.
Sosiologi kesehatan adalah studi tentang perawatan kesehatan sebagai suatu sistem yang
telah terlembaga dalam masyarakat, kesehatan (health) dan kondisi rasa sakit (illness)
hubungannya dengan faktor- faktor sosial. Menurut ASA (American Sociological Association;
1986) Sosiologi kesehatan: merupakan sub bidang yang mengaplikasikan perspektif, konsep-
konsep dan teori-teori serta metodologi di bidang sosiologi untuk melakukan kajian terhadap
fenomena yang berkaitan dengan penyakit dan kesehatan manusia. Sebagai suatu bidang yang
spesifik sosiologi kesehatan diartikan pula sebagai bidang ilmu yang menempatkan
permasalahan penyakit dan kesehatan dalam konteks sosiokultural dan perilaku.

Termasuk dalam kajian bidang ini antara lain; deskripsi dan penjelasan atau teori-teori
yang berhubungan dengan distribusi penyakit dalam berbagai kelompok masyarakat; perilaku
atau tindakan yang diambil oleh individu dalam upaya menjaga atau meningkatkan serta
menanggulangi keluhan sakit, penyakit dan cacat tubuh; perilaku dan kepercayaan/keyakinan
berkaitan dengan kesehatan, penyakit, cacat tubuh, dan organisasi serta penyedia perawatan
kesehatan; organisasi dan profesi atau pekerjaan di bidang kesehatan, sistem rujukan dari
pelayanan perawatan kesehatan, pengobatan sebagai suatu institusi sosial dan hubungannya
dengan institusi sosial yang lainnya; nilai-nilai budaya dan masyarakat kaitannya dengan
kesehatan, keluhan sakit dan kecacatan serta peran faktor sosial dalam kaitan dengan penyakit,
khususnya ketidakteraturan emosi dan persoalan stress yang dikaitkan dengan penyakit.
Sebelum membahas sosiologi kesehatan secara rinci, kita akan terlebih dahulu meninjau sejarah
pertumbuhan dan perkembangan cabang sosiologi ini. Di masa lalu, sebelum ada sosiologi
kesehatan, dalam sosiologi telah lama dikenal cabang sosiologi yang di Amerika Serikat
dinamakan medical sociology atau sociology of medicine, dan di Negeri Belanda disebut
medische sociologie. Cabang tersebut, sosiologi medis, merupakan pendahulu sosiologi
kesehatan dan terkait erat dengannya. Nama lain yang digunakan ialah sosiologi kedokteran.
Meskipun perkembangannya telah dirintis melalui kajian medika sosial di tahun 1920-an dan
1930-an namun, apabila dibandingkan dengan usia sosiologi, sosiologi medis merupakan suatu
subdisiplin sosiologi yang relatif baru. Menurut Wolinsky (1980: 33) cabang sosiologi ini
merupakan suatu bidang yang mulamula tumbuh di Amerika Serikat dan kemudian berkembang
secara pesat di sana.
Bab III
Pembahasan
I. Definisi Promosi Kesehatan
Pengertian Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan dari berbagai sumber: WHO 1984, “Promosi kesehatan tidak hanya
untuk merubah perilaku tetapi juga perubahan lingkungan yan memfasilitasi perubahan perilaku
tersebut.” Green 1984,
“Promosi Kesehatan adalah segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi
yang terkait dengan ekonomi, politik dan organisasi yang dirancang untuk memudahkan
perubahan perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi lingkungan.” Ottawa Charter 1986,
“Proses memampukan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka.”
Bangkok Charter 2005,
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran diri oleh dan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri, serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan
didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kemenkes, 2011).
Promosi kesehatan adalah kombinasi antara upaya pendidikan, kebijakan (politik),
peraturan, dan organisasi untuk mendukung kegiatan dan kondisi hidup yang dapat
menguntungkan kesehatan seseorang, kelompok, atau komunitas (Green dan Kreuter, 2005).
Sedangkan menurut WHO, promosi kesehatan adalah proses atau upaya pemberdayaan
masyarakat untu dapat memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Untuk mencapai keadaan
yang sehat seseorang perlu mengidentifikasi dan menyadari aspirasi, mampu memenuhi
kebutuhan dan merubah atau mengendalikan lingkungan (Piagam Ottawwa, 1986).
Sedangkan Keputusan Menteri Kesehatan No.11114/Menkes/SK/VIII/2005 mengatakan
bahwa promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
mengendalikan factor kesehatan melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyrakat
agar dapat menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya
masyarakat yang sesuai dengan sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan public yang
berwawasan kesehatan.
TUJUAN PROMOSI KESEHATAN
Promosi kesehatan bertujuan sesuai dengan visi promosi kesehatan itu sendiri yaitu
menciptakan atau membuat yang:
1. Mau (willingness) memelihara dan meningkatkan kesehatannya
2. Mampu (ability)memelihara dan meningkatkan kesehatannya
3. Memelihara kesehatan,berarti mau dan mampu mencegah penyakit
4. Melindungi diri dari gangguan-gangguan kesehatan
5. Meningkatkan kesehatan, mau dan mampu meningkatkan kesehatannya. Kesehatan perlu
ditingkatkan karena derajat kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat.

Dilihat dari visi tersebut sehingga tujuan promosi kesehatan dapat dilihat dari beberapa hal
yaitu:
1. Tujuan promosi kesehatan menurut WHO
a. Tujuan umum
Mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang kesehatan
b. Tujuan khusus
1) Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai bagi masyarakat
2) Menolong individu agar mampu secara mandiri/kelompok mengadakan kegiatan untuk
mencapai tujuan hidup sehat.
3) Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan
yang ada.
2. Tujuan operasional
a. Agar orang memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi dan perubahan
system dalam pelayanan kesehatan serta cara memanfaatkannya secara efisien dan
efektif.
b. Agar klien atau masyarakat memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatan
(dirinya), keselamatan lingkungan dan masyarakatnya
c. Agar orang melakukan langkah positif dalam mencegaha terjadinya sakit, mencegah
berkembangnya sakit menjadi lebih parah dan mencegah keadaan ketergantungan melalui
rehabilitas cacat karena penyakit.
d. Agar orang mempelajari apa yang dapat dia lakukan sendiri dan bagaimana caranya,
tanpa selalu meminta pertolongan kepada system pelayanan kesehatan yang normal.

Sedangkan menurut Green, 1991 dalam Maulana (2009), tujuan promosi kesehatan ada 3 yaitu:
1. Tujuan program
Refleksi dari fase social dan epidemiologi beruapa pernayataan tentang tujuan yang akan
dicapai pada periode tertentu yang berhubungan dengan kesehatan. Tujuan ini juga bisa disebut
tujuan jangka panjang.
2. Tujuan pendidikan
Pembelajaran atau pendidikan yang harus dicapai agar tercapainya perilaku yang
diinginkan. Tujuan ini juga bisa disebut tujuan menengah
3. Tujuan perilaku
Gambaran perilaku yang akan dicapai dalam mengatasi masalah kesehatan. Tujuan ini
disebut tujuan jangka pendek yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan.

PRINSIP-PRINSIP PROMOSI KESEHATAN


Prinsip-prinsip promosi kesehatan menurut WHO pada Ottawa Charter for Health
Promotion (1986) mengatakan bahwa ada tujuh prinsip pada promosi kesehatan adalah:

1. Empowerment (pemberdayaan) yaitu cara kerja untuk memungkinkan seseorang untuk


mendatkan control lebih besar atas keputusan dan tindkan yang mempengaruhi kesehatan
mereka.
2. Partisipative (partisipasi) yaitu dimana seseorang mengambil bagian aktif dalam
pengambilan keputusan.
3. Holistic (menyeluruh) yaitu memperhitungkan hal-hal yang mempengaruhi kesehatan dan
interaksi dari dimensi-dimensi tersebut.
4. Equitable (kesetaraan) yaitu memastikan kesamaan atau kesetaraan hasil yang didapat
oleh klien.
5. Intersectoral (antar sector) yaitu bekerja dalam kemitraan dengan instansi terkait lainnya
atau organisasi.
6. Sustainable (berkelanjutan) yaitu memastikan bahwa hasil dari kegiatan promosi
kesehatan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
7. Multi strategy yaitu bekerja pada sejumlah strategi daerah seperti program kebijakan.

Sedangkan menurut Maulana, 2009 prinsip-prinsip promosi kesehatan anatara lain sebagai
berikut:
1. Manajemen puncak harus mendukung secara nyata serta antusias program intervensi dan
turut terlibat dalam program tersebut.
2. Pihak pekerja pada semua tingkat ini pengorganisasian harus terlibat dalam perencanan
dan ilmplementasi intervensi.
3. Focus intervensi harus berdasarkan pada factor risiko yang dapat didefinisikan serta
dimodifikasi dan merupakan prioritas bagi pekerja.
4. Intervensi harus disusun sesuai dengan karateristik dan kebutuhan pekerja.
5. Sumber daya setempat harus dimanfaatkan dalam mengorganisasikan dan
mengimplementasikan intervensi.
6. Evaluasi harus dilakukan.
7. Organisasi harus menggunakan inisiatif kebijakan berbasis populasi maupun
intervensipromosi kesehatan yang intensif dengan berorientasi pada perorangan dan
kelompok
8. Intervensi harus bersifat continue serta didasarkan pada prinsip pemberdayaan dan atau
model yang berorientasi pada masyarakat dengan menggunakan lebih dari satu metode

Sasaran Promosi Kesehatan

Menurut Maulana (2009), pelaksanaan promosi kesehatan dikenal memiliki 3 jenis

sasaran yaitu sasaran primer, sekunder dan tersier.

a) Sasaran primer

Sasaran primer kesehatan adalah pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga)

sebagai komponen dari masyarakat. Masyarakat diharapkan mengubah perilaku hidup mereka

yang tidak bersih dan tidak sehat menjadi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Akan tetapi
disadari bahwa mengubah perilaku bukanlah sesuatu yang mudah. Perubahan perilaku pasien,

individu sehat dan keluarga (rumah tangga) akan sulit dicapai jika tidak didukung oleh sistem

nilai dan norma sosial serta norma hukum yang dapat diciptakan atau dikembangkan oleh para

pemuka masyarakat, baik pemuka informal maupun pemuka formal. Keteladanan dari para

pemuka masyarakat, baik pemuka informal maupun formal dalam mempraktikkan PHBS.

Suasana lingkungan sosial yang kondusif (social pressure) dari kelompok-kelompok masyarakat

dan pendapat umum (public opinion). Sumber daya dan atau sarana yang diperlukan bagi

terciptanya PHBS, yang dapat diupayakan atau dibantu penyediaannya oleh mereka yang

bertanggung jawab dan berkepentingan (stakeholders), khususnya perangkat pemerintahan dan

dunia usaha (Maulana, 2009).

b) Sasaran Sekunder

Sasaran sekunder adalah para pemuka masyarakat, baik pemuka informal (misalnya

pemuka adat, pemuka agama dan lain-lain) maupun pemuka formal (misalnya petugas kesehatan,

pejabat pemerintahan dan lain-lain), organisasi kemasyarakatan dan media massa. Mereka

diharapkan dapat turut serta dalam upaya meningkatkan PHBS pasien, individu sehat dan

keluarga (rumah tangga) dengan cara: berperan sebagai panutan dalam mempraktikkan PHBS.

Turut menyebarluaskan informasi tentang PHBS dan menciptakan suasana yang kondusif bagi

PHBS. Berperan sebagai kelompok penekan (pressure group) guna mempercepat terbentuknya

PHBS (Maulana, 2009).

c) Sasaran Tersier

Sasaran tersier adalah para pembuat kebijakan publik yang berupa peraturan perundang-

undangan di bidang kesehatan dan bidang lain yang berkaitan serta mereka yang dapat
memfasilitasi atau menyediakan sumber daya. Mereka diharapkan turut serta dalam upaya

meningkatkan PHBS pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga) dengan cara:

 Memberlakukan kebijakan/peraturan perundang-undangan yang tidak merugikan

kesehatan masyarakat dan bahkan mendukung terciptanya PHBS dan kesehatan

masyarakat.

 Membantu menyediakan sumber daya (dana, sarana dan lain-lain) yang dapat

mempercepat terciptanya PHBS di kalangan pasien, individu sehat dan keluarga (rumah

tangga) pada khususnya serta masyarakat luas pada umumnya (Maulana, 2009)

A. Pengertian Konsep dan Strategi Promosi Kesehatan


Sejarah Promosi Kesehatan

Sebelum istilah promosi kesehatan diperkenalkan, masyarakat lebih mengenal istilah


pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan menurut Green (1980) adalah “any combination of
learning’s experiences designed to facilitate voluntary adaptations of behavior conducive to
health” (kombinasi dari pengalaman pembelajaran yang didesain untuk memfasilitasi adaptasi
perilaku yang kondusif untuk kesehatan secara sukarela). Definisi pendidikan kesehatan tersebut
menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan tidak hanya sekedar memberikan informasi pada
masyarakat melalui penyuluhan.

Definisi pendidikan kesehatan tersebut menunjukkan bahwa pengalaman pembelajaran


meliputi berbagai macam pengalaman individu yang harus dipertimbangkan untuk memfasilitasi
perubahan perilaku yang diinginkan. Istilah pendidikan kesehatan tersebut seringkali
disalahartikan hanya meliputi penyuluhan kesehatan saja sehingga istilah tersebut saat ini lebih
populer diperkenalkan dengan istilah promosi kesehatan.Tahun 1984, World Health
Organization (WHO) mengubah istilah pendidikan kesehatan menjadi promosi kesehatan.
Perbedaan kedua istilah tersebut yaitu pendidikan kesehatan merupakan upaya untuk mengubah
perilaku sedangkan promosi kesehatan selain untuk mengubah perilaku juga mengubah
lingkungan sebagai upaya untuk memfasilitasi ke arah perubahan perilaku tersebut.
Istilah Health Promotion (promosi kesehatan) ini secara resmi disampaikan pada Konferensi
Internasional tentang Health Promotion di Ottawa, Kanada pada tahun 1986. Pada Konferensi
tersebut health promotion didefinisikan sebagai “the process of enabling peoples to increase
controls over, and to improved their health” yaitu proses yang memungkinkan seseorang untuk
mengontrol dan meningkatkan kesehatan. Definisi ini mengandung pemahaman bahwa upaya
promosi kesehatan membutuhkan adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagai cara untuk
memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan baik perorangan maupun masyarakat.
Pada tahun 1994 Indonesia mendapat kunjungan dari Direktur Health Promotion WHO yaitu Dr.
Ilona Kickbush.

Indonesia ditunjuk sebagai penyelenggara Konferensi Internasional Health Promotion


yang keempat sehingga Depkes berupaya untuk menyamakan konsep dan prinsip tentang
promosi kesehatan serta mengembangkan beberapa daerah menjadi daerah percontohan. Dengan
demikian, penggunaan istilah promosi kesehatan di Indonesia pada dasarnya mengacu pada
perkembangan dunia internasional. Konsep promosi kesehatan tersebut ternyata juga sesuai
dengan perkembangan pembangunan kesehatan di Indonesia yaitu mengarah pada paradigma
sehat (Nurianti, 2015).

Untuk mewujudkan atau mencapai visi dan misi promosi kesehatan secara efektif dan
efisien, diperlukan cara dan pendekatan yang strategis. Cara ini sering disebut strategi´, yakni
teknik atau cara bagaimana mencapai atau mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan tersebut
secara berhasil guna dan berdaya guna.
Strategi Promosi Kesehatan menurut WHO
Berdasarkan rumusan WHO (1994) Strategi promosi kesehatan secara global ini terdiri dari 3
hal, yaitu :
1. Advokasi (Advocacy)
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain agar orang lain tersebut
membantu atau mendukung terhadap apa yang diinginkan. Dalam konteks promosi kesehatan,
advokasi adalah pendekatan kepada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan di berbagai
sektor, dan di berbagai tingkat, sehingga para penjabat tersebut mau mendukung program
kesehatan yang kita inginkan. Dukungan dari para pejabat pembuat keputusan tersebut dapat
berupa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk undang- undang, peraturan
pemerintah, surat keputusan, surat instruksi, dan sebagainya. Kegiatan advokasi ini ada
bermacam-macam bentuk, baik secara formal maupun informal. Secara formal misalnya,
penyajian atau presentasi dan seminar tentang issu atau usulan program yang ingin
dimintakandukungan dari para pejabat yang terkait. Kegiatan advokasi secara informal misalnya
sowan kepada para pejabat yang relevan dengan program yang diusulkan, untuk secara informal
meminta dukungan, baik dalam bentuk kebijakan, atau mungkin dalam bentuk dana atau
fasilitaslain. Dari uraian dapat disimpulkan bahwa sasaran advokasi adalah para pejabat baik
eksekutif maupun legislatif, di berbagai tingkat dan sektor, yang terkait dengan masalah
kesehatan (sasaran tertier).

2. Dukungan Sosial (Social support)


Strategi dukungan sosial ini adalah suatu kegiatan untuk mencari dukungan sosial melalui
tokoh-tokoh masyarakat (toma), baik tokoh masyarakat formal maupun informal. Tujuan utama
kegiatan ini adalah agar para tokoh masyarakat, sebagai jembatan antara sektor kesehatan
sebagai pelaksana program kesehatan dengan masyarakat (penerima program) kesehatan.
Dengan kegiatan mencari dukungan sosial melalui toma pada dasarnya adalah mensosialisasikan
program-program kesehatan, agar masyarakat mau menerima dan mau berpartisipasi terhadap
program-program tersebut Oleh sebab itu, strategi ini juga dapat dikatakan sebagai upaya bina
suasana, atau membina suasana yang kondusif terhadap kesehatan. Bentuk kegiatan dukungan
sosial ini antara lain: pelatihan pelatihan paratoma, seminar, lokakarya, bimbingan kepada toma,
dan sebagainya. Dengan demikian maka sasaran utama dukungan sosial atau bina suasana adalah
para tokoh masyarakat di berbagai tingkat (sasaran sekunder).

3. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)


Pemberdayaan adalah strategi promosi kesehatan yang ditujukan pada masyarakat
langsung. Tujuan utama pemberdayaan adalah mewujudkan kemampuan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (visi promosi kesehatan). Bentuk
kegiatan pemberdayaan ini dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan, antaralain: penyuluhan
kesehatan, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam bentuk misalnya: koperasi,
pelatihan-pelatihan untuk kemampuan peningkatan pendapatan keluarga (income generating
skill).Dengan meningkatnya kemampuan ekonomi keluarga akan berdampak terhadap
kemampuan dalam pemeliharaan kesehatan mereka, misalnya: terbentuknya dana
sehat,terbentuknya pos obat desa, berdirinya polindes, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan
semacam ini di masyrakat sering disebut gerakan masyarakat untuk kesehatan. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa sasaran pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat.
A. Ruang Lingkup Promosi Kesehatan
Berdasarkan Piagam Ottawa tahun 1986, ruang lingkup promosi kesehatan
dikelompokkan menjadi lima area yaitu:
Build Healthy Policy
Build Healthy Policy atau membangun kebijakan public yang berwawasan kesehatan
memperhatiikan dampak kesehatan dari setiap keputusan yang telah dibuat. Kebijakan public
sebaiknya menguntungkan kesehatan. Bentuk kebijakan public antara lain berupa peraturan
perundang-undangan, kebijakan fiskal, kebijakan pajak dan pengembangan organisasi serta
kelembagaan. Berikut contoh-contoh bentuk kebijakan di Indonesia:
 Kebijakan kawasan tanpa rokok
 Pembatasan iklan rokok
 Pemakaian helm dan sabuk pengaman

Create Supportive Environment


Create Supportive Environment atau menciptakan lingkungan yang mendukung merupakan
peranan yang besar untuk mendukung seseorang atau mempengaruhi kesehatan dan perilaku
seseorang. Berikut merupakan contoh lingkungan yang mendukung:
 Penyediaan pojok laktasi di tempat-tempat umum
 Penyediaan tempat sampah
 Pengembangan tempat konseling remaja

Strengthen Community Action


Strengthen Community Action atau memperkuat gerakan masyarakat. Promosi kesehatan
berperan untuk mendorong serta memfasilitasi upaya masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka. Berikut contoh-contoh penguatan gerakan masyarakat :
 Terbentuknya yayasan atau lembaga konsumen kesehatan
 Terbentuknya posyandu
 Terbentuknya pembiayaan kesehatan bersumber daya masyarakat
Develop Personal Skill
Develop Personal Skill atau mengembangkan keterampilan individu merupakan upaya agar
masyarakat mampu membuat keputusan yang efektif tentang kesehatannya. Masyarakat
membutuhkan informasi, pendidikan, pelatihan dan berbagai keterampilan. Promosi Kesehatan
berperan untuk memberdayakan masyarakat agar dapat mengambil keputusan dan mengalihkan
tanggung jawab kesehatan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan setiap individu.
Pemberdayaan akan lebih efektif bila dilakukan dari tatanan rumah tangga, tempat kerja, dan
tatanan lain yang telah ada di masyarakat.
Re-Orient Health Service
Re-Orient Health Service atau menata kembali arah utama pelayanan kesehatan kepada
upaya preventif dan promotif serta mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitative

B. Strategi Promosi Kesehatan menurut Piagam Ottawa


Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa ± Canada pada tahun 1986
menghasilkan piagam Otawa (Ottawa Charter). Di dalam piagam Ottawa tersebut dirumuskan
pula strategi baru promosi kesehatan, yang mencakup 5 butir, yaitu:

1. Kebijakan Berwawasan Kebijakan (Health Public Policy)


Adalah suatu strategi promosi kesehatan yang ditujukan kepada para penentu atau
pembuat kebijakan, agar mereka mengeluarkan kebijakankebijakan publik yang mendukung atau
menguntungkan kesehatan. Dengan perkataan lain, agar kebijakan-kebijakan dalam bentuk
peraturan, perundangan, surat-surat keputusan dan sebagainya, selalu berwawasan atau
berorientasi kepada kesahatan public. Misalnya, ada peraturan atau undang-undang yang
mengatur adanya analisis dampak lingkungan untuk mendirikan pabrik, perusahaan, rumah sakit,
dan sebagainya. Dengan kata lain, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat publik, harus
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan (kesehatan masyarakat).
2. Lingkungan yang mendukung (Supportive Environment)
Strategi ini ditujukan kepada para pengelola tempat umum,termasuk pemerintah kota,
agar mereka menyediakan sarana-prasarana atau fasilitas yang mendukung terciptanya perilaku
sehat bagi masyarakat, atau sekurang-kurangnya pengunjung tempat-tempat umum tersebut.
Lingkungan yang mendukung kesehatan bagi tempat-tempat umum lainnya: tersedianya tempat
samapah, tersedianya tempat buang air besar/kecil, tersedianya air bersih, tersedianya ruangan
bagi perokok dan non-perokok, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, para pengelola tempat-
tempat umum, pasar, terminal, stasiun kereta api, bandara, pelabuhan, mall dan sebagainya,
harus menyediakan sarana dan prasarana untuk mendukung perilaku sehat bagi pengunjungnya.
3. Reorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorient Health Service)
Sudah menjadi pemahaman masyarakat pada umumnya bahwa dalam pelayanan
kesehatan itu ada 3 provider´ dan 3 consumer´. Penyelenggara (penyedia) pelayanan kesehatan
adalah pemerintah dan swasta, dan masyarakat adalah sebagai pemakai atau pengguna pelayanan
kesehatan. Pemahaman semacam ini harus diubah, harus diorientasikan lagi, bahwa masyarakat
bukan sekedar pengguna atau penerima pelayanan kesehatan, tetapi sekaligus juga sebagai
penyelenggara, dalam batas-batas tertentu. Realisasida rireontitas pelayanan kesehatan ini,
adalah para penyelenggara pelayanan kesehatan baik pemerintrah maupun swasta harus
melibatkan, bahkan memberdayakan masyarakat agar mereka juga dapat berperan bukan hanya
sebagai penerima pelayanan kesehatan,tetapi juga sekaligus sebagai penyelenggara pelayanan
kesehatan. Dalam meorientasikan pelayanan kesehatan ini peran promosi kesehatan sangat
penting.
4. Keterampilan Individu (Personnel Skill)
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan agregat yang terdiri dari individu, keluarga, dan
kelompok-kelompok. Oleh sebab itu, kesehatan masyarakat akan terwujud apabila kesehatan
indivu-individu, keluarga-keluarga dan kelompok- kelompok tersebut t erwujud. Oleh sebab itu,
strategi untuk mewujudkan keterampilan individu-individu (personnels kill) dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatan adalah sangat penting. Langkah awal dari peningkatan
keterampilan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka ini adalah memberikan
pemahaman kepada anggota masyarakat tentang cara-cara memelihara kesehatan, mencegah
penyakit, mengenal penyakit, mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan profesional,
meningkatkan kesehatan, dan sebagainya. Metode dan teknik pemberian pemahaman ini lebih
bersifat individu daripada massa.
5. Gerakan masyarakat (Community Action)
Untuk mendukung perwujudan masyarakat yang mau dan mampu memelihara dan
meningkatkan kesehatannya seperti tersebut dalam visi promosi kesehatan ini, maka di dalam
masyarakat itu sendiri harus ada gerakan atau kegiatan-kegiatan untuk kesehatan. Oleh karena
itu, promosi kesehatan harus mendorong dan memacu kegiatan-kegiatan di masyarakat dalam
mewujudkan kesehatan mereka. Tanpa adanya kegiatan masyarakat di bidang kesehatan, niscaya
terwujud perilaku yang kondusif untuk kesehatan atau masyarakat yang mau dan mampu
memelihara serta meningkatkan kesehatan mereka.

C. PEMILIHAN STRATEGI PROMKES


Beberapa Strategi Promkes dan Pemilihan Strategi Promkes adalah sebagai berikut :
1. Ceramah
a. Mudah digunakan tapi sulit dikuasai
b. Membagi informasi, mempengaruhi pendapat, merangsang
a. pemikiran berdasarkan pesan verbal
b. Sasaran biasanya pasif, sedikit interaksi dengan narasumber atau
c. peserta lainnya
2. Media Massa
a) Saluran komunikasi yang menjangkau sasaran luas
b) Umumnya, sasaran tidak atau sedikit usaha untuk menerima pesan
c) Strategi ini tidak efektif karena pesan tidak dapat dikhususkan untuk sasaran tertentu
d) Strategi ini efisien karena biaya yang murah dalam skala ekonomi
e) Contoh : televisi, radio, koran, majalah, outdoor media
3. Instruksi individual
a) Dalam tatanan pasien, disebut konseling
b) Bersifat individual, digunakan bila perbedaan karakteristik sasaran sangat besar
c) Penyuluh memberikan advokasi solusi permasalahan kesehatan berdasarkan kebutuhan
individual
d) Tidak efisien bagi penyuluh, tapi efisien bagi sasaran
4. Simulasi
a) Simulasi adalah metode ekperiental di mana model situasi nyata digunakan untuk
merangsang atau membantu proses pembelajaran
b) Semakin mirip dengan situasi nyata semakin baik simulasi tersebut
c) Bentuk simulasi : permainan, drama, bermain peran (role playing), model komputerisasi
d) Simulasi cocok untuk meningkatkan motivasi dan mengubah sikap
5. Modifikasi Perilaku
a. Memodifikasi perilaku spesifik berdasarkan prinsip pengkondisian melalui rangsangan dan
konsekuensi
b. Teori : rangsangan (antecedent) - perilaku spesifik - konsekuensi (positif/negatif)
 Contoh rangsangan : iklan televisi
 Contoh konsekuensi positif : hadiah, pujian
 Contoh konsekuensi negatif : sanksi
6. Pengembangan Masyarakat
a. Proses yang berorientasi kepada metode pengorganisasian masyarakat yang menekankan
pada pengembangan kemampuan, keterampilan dan pemahaman pada masyarakat
tertentu
b. Strategi ini berdasarkan kemandirian, kesepakatan bersama dalam pemecahan masalah.
c. Penyuluh bertindak sebagai fasilitator
d. Evaluasi strategi ini lebih sulit dibandingkan strategi lain karena efeknya terjadi dalam
waktu yang lama
D. Aturan Dalam Memilih Strategi Promosi Kesehatan
Pilih minimal tiga strategi Umumnya, penggunaan media sering digunakan dalam promosi
kesehatan
 Semakin lama program, semakin banyak strategi
 Dimulai dengan strategi yang paling murah & sederhana
 Semakin kompleks permasalahan perilaku yang akan diintervensi, semakin
banyak strategi yang digunakan
 Strategi yang mempengaruhi faktor predisposisi umumnya mempunyai efek yang
singkat.

E. Metode Promosi Kesehatan


Menurut Notoatmodjo (2014) metode promosi kesehatan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi tercapainya suatu hasil promosi kesehatan secara optimal. Metode yang
dikemukakan antara lain:
1) Metode perorangan (individual)
Dalam promosi kesehatan metode ini digunakan untuk membina perilaku baru atau seseorang
yang telah mulai tertarik pada suatu perubahan perilaku atau inovasi dasar digunakan pendekatan
individual ini karena setiap orang mempunyai masalah atau alas an yang berbeda-beda
sehubungan dengan penerimaan atau perilaku baru tersebut. Bentuk dari pendekatan ini antara
lain :
a) Bimbingan dan penyuluhan
Dengan cara ini kontak antara klien dengan petugas lebih intensif. Setiap masalah yang
dihadapi oleh klien dapat diteliti dan dibantu penyelesaiannya. Akhirnya klien akan dengan
sukarela, berdasarkan kesadaran dan penuh pengertian akan menerima perilaku tersebut.
b) Wawancara (Interview)
Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan. Wawancara
antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi mengapa ia tidak atau belum
menerima perubahan, ia tertarik atau belum menerima perubahan, untuk mempengaruhi apakah
perilaku yang sudah atau akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang
kuat, apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.
2) Metode kelompok
Metode promosi kesehatan kelompok harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta
tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan berbeda
dengan kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya kelompok
sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya
akan berbeda dengan kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan tergantung pula pada
besarnya
sasaran promosi kesehatan. Metode ini mencakup :
 Kelompok besar
Peserta promosi kesehatan lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok ini
adalah ceramah dan seminar.
 Ceramah
Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ceramah adalah:
 Persiapan
Ceramah yang berhasil apabila penceramah itu sendiri menguasai materi apa yang akan
diceramahkan, untuk itu penceramah harus mempersiapkan diri. Mempelajari
materi dengan sistematika yang baik. Lebih baik lagi kalau disusun dalam diagram atau skema
dan mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran.
 Pelaksanaan
Kunci keberhasilan pelaksanaan ceramah adalah apabila penceramah dapat menguasai sasaran.
Untuk dapat menguasai sasaran penceramah dapat menunjukkan sikap dan penampilan yang
meyakinkan. Tidak boleh bersikap ragu-ragu dan gelisah. Suara hendaknya cukup keras dan
jelas. Pandangan harus tertuju ke seluruh peserta. Berdiri di depan/di pertengahan, tidak duduk
dan menggunakan alat bantu lihat semaksimal mungkin.
 Seminar
Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar deng pendidikan menengah ke
atas. Seminar adalah suatu penyajian dari seseorang ahli atau beberapa orang ahli tentang suatu
topik yang dianggap penting dan dianggap penting dan dianggap hangat di masyarakat.
Kelompok kecil Peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang biasanya kita sebut kelompok kecil.
Metode-metode yang cocok untuk kelompok kecil antara lain:
1. Diskusi Kelompok
Dalam diskusi kelompok agar semua anggota kelompok dapat bebas berpartisipasi dalam
diskusi, maka formasi duduk para peserta diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat
berhadap-hadapan atau saling memandang satu sama lain, misalnya dalam bentuk lingkaran atau
segi empat. Pimpinan diskusi juga duduk di antara peserta sehingga tidak menimbulkan kesan
yang lebih tinggi. Dengan kata lain mereka harus merasa dalam taraf yang sama sehingga tiap
anggota kelompok mempunyai kebebasan/keterbukaan untuk mengeluarkan pendapat.
Untuk memulai diskusi, pemimpin diskusi harus memberikan pancingan-pancingan yang
dapat berupa pertanyaan-petanyaan atau kasus sehubungan dengan topik yang dibahas. Agar
terjadi diskusi yang hidup maka pemimpin kelompok harus mengarahkan dan megatur
sedemikian rupa sehingga semua orang dapat kesempatan berbicara, sehingga tidak
menimbulkan dominasi dari salah seorang peserta.
2. Curah Pendapat (Brain stroming)
Metode ini merupakan modifikasi metode diskusi kelompok. Prinsipnya sana dengan
metode diskusi kelompok. Bedanya, pada permulaan pemimpin kelompok memancing dengan
satu masalah dan kemudian tiap peserta memberikan jawaban atau tanggapan (curah pendapat).
Tanggapan atau jawaban-jawaban tersebut ditampung dan ditulis dalam flipchart atau papan
tulis. Sebelum semua peserta mencurahkan pendapatnya, tidak boleh dikomentari oleh siapa pun.
Baru setelah semua anggota dikeluarkan pendapatnya, tiap anggota dapat mengomentari dan
akhirnya terjadi diskusi.
3. Kelompok-kelompok kecil (Buzz group)
Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil (buzz group) yang
kemudian diberi suatu permasalahan yang sama atau tidak sama dengan kelompok lain, Masing-
masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut, Selanjutnya hasil dan tiap kelompok
didiskusikan kembali dan dicari kesimpulannya.
4. Bermain Peran (Role Play)
Dalam metode ini beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang peran tertentu
untuk memainkan peranan, misalnya sebagai dokter Puskesmas, sebagai perawat atau bidan, dan
sebagainya, sedangkan anggota yang lain sebagai pasien atau anggota masyarakat. Mereka
memperagakan, misalnya bagaimana interaksi atau berkomunika sehari-hari dalam
melaksanakan tugas.
5. Permainan Simulasi (Simulation game)
Metode ini merupakan gabungan antara role play dengan diakusi kelompok. Pesan-pesan
kesehatan disajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti permainan monopoli. Cara
memainkannya persis seperti bermain monopoli, dengan menggunakan dadu, gaco (petunjuk
arah), selain beberan atau papan main. Beberapa orang menjadi pemain, dan sebagian lagi
berperan sebagai narasumber.
3) Metode massa
Metode massa penyampaian informasi ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa
atau publik. Oleh karena sasaran bersifat umum dalam arti tidak membedakan golongan umur,
jenis kelamin, pekerjaan, status ekonomi, tingkat pendidikan dan sebagainya, maka pesan
kesehatan yang akan disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap
oleh massa tersebut. Pada umumnya bentuk pendekatan masa ini tidak langsung, biasanya
menggunakan media massa. Beberapa contoh dari metode ini adalah ceramah umum, pidato
melalui media massa, simulasi, dialog antara pasien dan petugas kesehatan, sinetron, tulisan
dimajalah atau koran, bill board yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster dan sebagainya.
Beberapa contoh metode pendidikan kesehatan secara massa ini, antara lain:
a) Ceramah umum (public speaking)
Pada acara-acara tertentu, misalnya pada Hari Kesehatan Nasional, Menteri Kesehatan
atau pejabat kesehatan lainnya berpidato dihadapan massa rakyat untuk menyampaikan
pesanpesan kesehatan. Safari KB juga merupakan salah satu bentuk pendekatan massa.
a) Berbincang-bincang (talk show) tentang kesehatan melalui media elektronik, baik TV
maupun radio, pada hakikatnya merupakan bentuk promosi kesehatan massa.
b) Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya tentang
suatu penyakit atau masalah kesehatan adalah juga merupakan pendekatan pendidikan
kesehatan massa.
c) Tulisan-tulisan di majalah atau koran, baik dalam bentuk artikel maupun tanya jawab
atau konsultasi tentang kesehatan adalah merupakan bentuk pendekatan promosi
kesehatan massa.
d) Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster, dan sebagainya juga
merupakan bentuk promosi kesehatan massa.
e) Contoh : Bill Board Ayo ke Posyandu.

II. Definisi Sosial Budaya Dan Ekonomi


A. Pengertian

1. Sosiologi Sosiologi terdiri dari kata socius : masyarakat dan logos : ilmu Sosiologi adalah ilmu
yang mempelajari masyarakat, perilaku sosial manusia (perilaku kelompok, interaksi kelompok
& menganalisis pengaruh kegiatan kelompok pada anggotanya) Sosiologi : pengetahuan tentang
hubungan sosial manusia & produk dr hubungan tersebut

2. Sosiologi kesehatan Sosiologi Kesehatan : ilmu terapan sosiologi, kajian sosiologi dalam
konteks kesehatan Sosiologi Kedokteran : studi tentang faktor-faktor sosial dalam etiogi
(penyebab), prevalensi (angka kejadian), profesi kedokteran& hubungan dokter-masyarakat
Perilaku kesehatan, pengaruh norma sosial thd perilaku, interaksi antar petugas & petugas
kesehatan-masyarakat Prinsip dasar : penerapan konsep & metode sosiologi dalam
mendeskripsikan, menganalisis, memecahkan masalah kesehatan
3. Metodologi sosiologi Menggunakan penelaahan ilmiah didasarkan bukti yang dapat diuji.
Identitas sosiologi adalah sifat empiris yaitu mempelajari apa yang terjadi (das sein) di
masyarakat bukan yang seharusnya (das sollen) terjadi di masyarakat. (Roland J Pellegrin )
Apek hubungan interaksi antara individu dgn individu & kelompok, serta kelompok dgn
kelompok Metode : – Kualitatif : tidak bisa diukur dg angka tetapi nyata dalam masyarakat
(metode historis, komparatif, studi kasus) – Kuantitatif : bisa diukur dg angka menggunakan
skala, indeks, tabel & formula (metode statistik,sociometry) Metode Historis : analisis peristiwa
di masa silam merumuskan prinsip umum Metode Komparatif : perubandingan antara
bermacam-macam masyarakat perbedaan, persamaan serta sebab-sebabnya Metode studi
kasus (case study) : penelaahan suatu persoalan khusus yang merupakan gejala umum dari
persoalan lainnya dalil umum Sociometry : himpunan konsep dan metode yang bertujuan
menggambarkan & meneliti hubungan antar manusia dalam masyarakat secara kuantitatif
Metode Historis : analisis peristiwa di masa silam merumuskan prinsip umum

Metode Komparatif : perubandingan antara bermacam-macam masyarakat perbedaan,


persamaan serta sebab-sebabnya Metode studi kasus (case study) : penelaahan suatu persoalan
khusus yang merupakan gejala umum dari persoalan lainnyadalil umum Sociometry : himpunan
konsep dan metode yang bertujuan menggambarkan & meneliti hubungan antar manusia
dalam masyarakat secara kuantitatif.

4. Metode riset sosiologi kesehatan Metode riset :

– Cross Sectional – Longitudinal : Prospektif : pengamatan saat ini dilanjuntukan ke depan


dalam jangka waktu tertentu Retrospektif ( ex post facto) : studi yang bekerja mundur,
menggunakan data yang telah dicatat Metode eksperimen laboratorium dan lapangan, dgn
teknik pasangan (match-pair technique) & teknik penugasan acak 4. Teori implisit dan
eksplisit Teori Implisit : tindakan sosial yang dilandasi oleh asumsibahwa setiap org memiliki
keunikan & membutuhkan perlakuan yang berbeda Teori Eksplisit : upaya mem-verbal-kan apa
yang dilakukan manusia dalam berinteraksi dg sesama manusia (mengapa?)
Konsep Umum Tentang Kesehatan

1. Health for all : kesehatan adalah kebutuhan setiap individu dari berbagai kalangan
status kesehatan (sakit-sehat), ekonomi (kayamiskin), sosial (elit-wong alit), geografik (desa-
kota) dan psikologi perkembangan (bayi, anak, remaja, dewasa, manula) promotif
(peningkatan), preventif (pencegahan), uratif(penyembuhan), re habilitatif (perbaikan)

2. All for health : seluruh aktifitas manusia terkait dan berpengaruh terhadap kesehatan 3.
Perspektif nilai kesehatan : kemampuan menggali unsur budaya/sumber daya alam untuk
kesehatan 4. Dimensi kesehatan manusia : Jasmaniah material keseimbangan nutrisi
Kesehatan fungsional organ energi aktivitas jasmaniah Kesehatan pola sikap dikendalikan
pikiran Kesehatan emosi-rohaniah aspek spiritual keagamaan 5. Perawatan kesehatan yang
menyeluruh (holistik) Proses penyembuhan dengan menggunakan terapi nutrisi, emosi & sosial
(dukungan/support dari keluarga motivasi sembuh pasien)

C. Peran Sosiologi dalam Praktik Kesehatan

Peran Sosiolog :• Sebagai ahli riset : penelitian ilmiah & pembinaana pola pikir terhadap
masyarakat • Konsultan kebijakan : menganalisis fakta sosial, dinamika sosial & kecenderungan
proses serta perubahan sosial • Teknisi dalam perencanaan & pelaksanaan program kegiatan
masyarakat • Peran sebagai pendidik kesehatan : wawasan & pemahaman thd tenaga kesehatan/
pengambil kebijakan kesehatan Manfaat Sosiologi bg kesehatan : Mempelajari cara org
meminta pertolongan medis Mengetahui latar belakang sosial-ekonomi masyarakat dalam
pemanfaatan layanan kesehatan Menganalisis faktor-faktor sosial dalam hubungannya dg
etiologi penyakitC. Peran Sosiologi dalam Praktik Kesehatan Peran Sosiolog : • Sebagai ahli
riset : penelitian ilmiah & pembinaana pola pikir terhadap masyarakat • Konsultan kebijakan :
menganalisis fakta sosial, dinamika sosial & kecenderungan proses serta perubahan sosial •
Teknisi dalam perencanaan & pelaksanaan program kegiatan masyarakat • Peran sebagai
pendidik kesehatan : wawasan & pemahaman thd tenaga kesehatan/ pengambil kebijakan
kesehatan Manfaat Sosiologi bg kesehatan : Mempelajari cara org meminta pertolongan medis
Mengetahui latar belakang sosial-ekonomi masyarakat dalam pemanfaatan layanan kesehatan
Menganalisis faktor-faktor sosial dalam hubungannya dengan etiologi penyakit .
– Menempati wilayah ukuran kecil maupun sangat luas

– Adaptasi budaya daya / kekuatan internal masyarakat untuk menyesuaikan diri dgn
perubahan sosial

– Memiliki identitas

– Kelompok perkumpulan secara formal Kategori tingkah laku :

– Social episode : bereaksi thd seseorang dalam hubungannya dg orang lain

– Potentially social episode : tidak bereaksi walaupun hanya terhadap satu orang saja
yang dihadapinya sikap tidak kooperatif

– Nonsocial episode : apatis, menyendiri atau egois

2. Masyarakat pedesaan

• Warga memiliki hubungan yang lebih erat

• Sistem kehidupan berkelompok atas dasar kekeluargaan

• Umumnya hidup dr pertanian • Golongan orang tua memegang peranan penting

• Dari sudut pemerintah, hubungan antara penguasa & rakyat bersifat informal

• Perhatian masyarakat lebih pada keperluan utama kehidupan

• Kehidupan keagamaan lebih kental

• Banyak berurbanisasi ke kota .

Community

• Masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (geografis ) dgn batas-batas


tertentu, dimana faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih dibandingkan dg
penduduk di luar batas wilayahnya.
Kriteria Klasifikasi masyarakat :

– Jumlah penduduk

– Luas, kekayaan & kepadatan penduduk

– Fungsi khusus thd seluruh masyarakat

– Organisasi masyarakat setempat yang bersangkutan

3. Masyarakat perkotaan

• Jumlah penduduknya tidak tentu

• Bersifat individualistis

• Pekerjaan lebih bervariasi, lebih tegas batasannya & lebih sulit mencari pekerjaan • Perubahan
sosial terjadi secara cepat, menimbulkan konflik antara golongan muda dengan golongan orang
tua

• Interaksi lebih disebabkan faktor kepentingan daripada faktor pribadi

• Perhatian lebih pada penggunaan kebutuhan hidup yang dikaitkan dg masalah prestise

• Kehidupan keagamaan lebih longgar

• Banyak migran yang berasal dr daerah berakibat pengangguran, naiknya kriminalitas, dll

4. K e b u d a y a a n

• Culture : mengolah tanah

• Kebudayaan : seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, karya yang dihasilkan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dgn belajar Co. seorang sakit ingin sehat
gagasan merasa menderita jika sakit rasa jika sakit mencari pengobatan tindakan dokter
mengobati menggunakan obat karya

• Wujud budaya (Koentjaraningrat) : artefak/benda fisik, sistem tingkah laku/tindakan berpola,


sistem gagasan, ideologis/ keyakinan.
• Kebudayaan sebagai sistem norma :

• Kebiasaan (folkways): cara yang lazim& wajar untuk melakukan sesuatu secara berulang-ulang
oleh sekelompok org

• Tata kelakuan (mores) : gagasan kuat mengenai salah-benar yang menuntuk tindakan
tertentu/melarang yang lain

• Hukum : perangkat aturan yang telah ditetapkan secara resmi oleh kelompok sebagai tata
kelakuan yang berlaku

• Lembaga (institution): sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai
& tata cara tertentu serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tertentu Unsur Budaya :

• Bahasa : alat / media komunikasi lisan, tulisan atau simbolik

• Sistem pengetahuan : aspek fungsi dari akal-pikiran manusia

• Organisasi sosial : kelembagaan sosial di masyarakat

• Sistem peralatan hidup & teknologi : perangkat bantu dalam memperlancar aktivitas manusia
dalam mencapai kebutuhannya

• Sistem mata pencaharian

• Sistem religi : aspek kepercayaan/keyakinan manusia pada sesuatu yang suci

• Kesenian : wujud ekspresi seni masyarakat

5. Macam-macam kelompok

• Kelompok primer (face to face group) : kelompok sosial yang paling sederhana dimana
anggotanya saling mengenal serta kerja sama yang erat; co. keluarga

• Kelompok sekunder : kelompok yang terdiri dari banyak orang, yang sifat hubungannya tidak
berdasarkan pengenalan pribadi dan tidak langgeng; co. kontrak jual beli

• Paguyuban : btk kehidupan bersama dimana anggotanya diikat oleh hubungan batin murni,
alamiah & kekal; co kelompok kekerabatan, rukun tetangga
• Formal group : kelompok dg peraturan tegas & sengaja diciptakan oleh anggotanya untuk
mengatur hubungan

• Informal group : tidak mempunyai struktur organisasi tertentu

• Membership group : kelompok dimana setiap org secara fisik menjadi anggota kelompok

• Reference group : kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota) untuk
membentuk pribadi & perilakunya

• Individu-individu yang sehat akan menjadi masyarakat yang sehat (the sane society)

• Ciri masyarakat sehat : keterbukaan, daya cipta, rasional – Kuantitatif : angka harapan hidup,
kematian bayi, mortalitas, kematian ibu & anak, penurunan angka kelahiran – Sisi pelayanan :
rasio tenaga kesehatan dengan penduduk, distribusi tenaga kesehatan, sarana-kebutuhan

• Ciri masyarakat sakit : narsisme, dekstruktif, individualitas, irasional

6. Antropologi kesehatan

Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya terhadap


penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan (Solita Sarwono, 1993) Antropologi
Kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang berbeda
yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya. Pokok perhatian Kutub Biologi :

 Pertumbuhan dan perkembangan manusia

 Peranan penyakit dalam evolusi manusia Paleopatologi (studi mengenai penyakit-


penyakit purba)

 Pokok perhatian kutub sosial-budaya : Sistem medis tradisional (etnomedisin)

 Masalah petugas-petugas kesehatan dan persiapan professional

 mereka Tingkah laku sakit

 Hubungan antara dokter pasien


 Dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan

 barat kepada masyarakat tradisional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa


Antropologi Kesehatan adalah disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan
sosio-budya dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya
disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada
manusia (Foster/Anderson, 1986; 1-3). Antropologi kesehatan merupakan bagian dari
antropologi sosial dan kebudayaan yang mempelajari bagaimana kebudayaan dan masyarakat
mempengaruhi masalah-masalah kesehatan, pemeliharaan kesehatan dan masalah terkait lainnya.
Istilah “Antropologi Kesehatan" telah digunakan sejak 1963 sebagai sebutan untuk hasil
penelitian empiris dan teoritis yang dilakukan oleh antropologis kedalam proses sosial dan
gambaran kebudayaan dari kesehatan, kesakitan, dan perawatan yang berhubungan dengan
kebudayaan Antropologi kesehatan merupakan bagian dari antropologi yang menggambarkan
pengaruh sosial, budaya, biologi, dan bahasa terhadap kesehatan (dalam arti luas) meliputi
pengalaman dan distribusi kesakitan, pencegahan dan pengobatan penyakit, proses penyembuhan
dan hubungan sosial manajemen pengobatan serta kepentingan dan kegunaan kebudayaan untuk
sistem kesehatan yang beranekaragam. Antropologi kesehatan mempelajari bagaimana kesehatan
individu, formasi sosial yang lebih luas dan lingkungan dipengaruhi oleh hubungan antara
manusia dan spesies lain, norma budaya dan institusi sosial, politik mikro dan makro, dan
globalisasi Selama lebih dari 20 abad konsep popular medicine atau folk medicine
(pengobatan tradisional) telah familiar baik untuk dokter maupun antropologis. Istilah tersebut
dipakai untuk menggambarkan praktek pengobatan masyarakat setempat terutama dengan
pengetahuan etnobotani mereka. Selanjutnya, mempelajari pengobatan tradisional menjadi
tantangan bagi dunia barat seperti hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama 7. Akar dari
Antropologi Kesehatan 1. Antropologi fisik Ahli-ahli antropologi fisik, belajar dan melakukan
penelitian di sekolah-sekolah kedokteran (anatomi) Ahli-ahli antropologi fisik adalah ahli
antropologi kesehatan Sejumlah besar ahli antropologi fisik adalah dokter Hasan dan Prasad
(1959) menyusun daftar lapangan studi antropologi kesehatan yang meliputi.

Nutrisi dan pertumbuhan Korelasi antara bentuk tubuh dengan variasi yang luas dari
penyakit-penyakit, misal radang pada persendian tulang (arthritis), tukak lambung (ulcer),
kurang darah (anemia) dan penyakit diabetes. Underwood Ppengaruh-pengaruh evolusi manusia
serta jenis penyakit yang berbeda-beda pada berbagai populasi yang terkena sebagai akibat dari
faktor-faktorbudaya, misal: migrasi, kolonisasi dan meluasnya urbanisasi Fiennes Penyakit
yang ditemukan dalam populasi manusia adalah suatu konsekuensi yang khusus dari suatu cara
hidup yang beradab, dimulai dari pertanian yang menjadi dasar bagi timbulnya dan
berkembangnya pemukiman penduduk yang padat Kedokteran forensik, Suatu bidang
mengenai masalah-masalah kedokteranhukum yang mencakup identifikasi misal: umur, jenis
kelamin, dan peninggalan ras manusia yang didugamati karena unsur kejahatan serta masalah
penentuan orang tua dari seorang anak melalui tipe darah, bila terjadi keraguan mengenai siapa
yang menjadi bapaknya. Dalam usaha pencegahan penyakit Penelitian mengenai penemuan
kelompok-kelompok penduduk yang memiliki risiko tinggi, yakni orang-orang yang tubuhnya
mengandung sel sabit (sickle-cell) dan pembawa penyakit kuning (hepatitis). Para ahli ini telah
memanfaatkan pengetahuan mereka mengenai variasi manusia untuk membantu dalam bidang
teknik biomedikal (biomedical engineering).
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran diri oleh dan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri, serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan
didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kemenkes, 2011).
Promosi kesehatan adalah kombinasi antara upaya pendidikan, kebijakan (politik),
peraturan, dan organisasi untuk mendukung kegiatan dan kondisi hidup yang dapat
menguntungkan kesehatan seseorang, kelompok, atau komunitas (Green dan Kreuter, 2005).
Sedangkan menurut WHO, promosi kesehatan adalah proses atau upaya pemberdayaan
masyarakat untu dapat memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Untuk mencapai keadaan
yang sehat seseorang perlu mengidentifikasi dan menyadari aspirasi, mampu memenuhi
kebutuhan dan merubah atau mengendalikan lingkungan (Piagam Ottawwa, 1986).
Orang Papua mempunyai persepsi tentang sehat dan sakit itu sendiri berdasarkan
pandangan dasar kebudayaan mereka masing-masing. Memang kepercayaan tersebut bila dilihat
sudah mulai berkurang terutama pada orang Papua yang berada didaerah-daerah perkotaan,
sedangkan bagimereka yang masih berada di daerah pedesaan dan jauh dari jangkauankesehatan
moderen, hal tersebut masih nampak jelas dalam kehidupan mereka sehari-hari. Misal : Orang
Marind-anim yang berada di selatan Papua juga mempunyaikonsepsi tentang sehat dan sakit,
dimana apabila seseorang itu sakit berarti orang tersebut terkena guna-guna (black magic).
Mereka juga mempunyai pandangan bahwa penyakit itu akan datang apabila sudah tidak ada lagi
keimbangan antara lingkungan hidup dan manusia. Lingkungan sudah tidak dapat mendukung
kehidupan manusia, karena mulai banyak. Bila keseimbangan ini sudah terganggu maka akan
ada banyak orang sakit, dan biasanya menurut adat mereka, akan datang seorang kuat (Tikanem)
yang melakukan pembunuhan terhadap warga dari masing-masing kampungsecara berurutan
sebanyak lima orang, agar lingkungan dapat kembalinormal dan bisa mendukung kehidupan
warganya (Dumatubun, 2001). Hal yang sama pula terdapat pada orang Amungme, dimana bila
terjadi ketidak seimbangan antara lingkungan dengan manusia maka akan timbulberbagai
penyakit.

Anda mungkin juga menyukai